1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam agama Islam, ibadah haji mempunyai kekhususan dibandingkan dengan ibadah – ibadah lainnya, karena ibadah haji hanya dapat dilakukan pada waktu dan tempat yang tertentu. Untuk itu banyak hal yang dapat terjadi khususnya bagi kesehatan manusia, bagi penderita penyakit risiko tinggi dan menahun, besar kemungkinan dapat menjadi lebih berat dikarenakan aktivitas yang cukup banyak, pada keadaan yang sangat berbeda iklimnya dengan daerah asal (Sagala & Probosuseno, 2009).Rangkaian rukun haji, wajibhaji
dan
sunahnyaseluruhnya melibatkan fisik secara dominan. Disamping itu juga stres psikis karena banyaknya interaksi sosial dengan Jemaah Haji (JH) lain satu negara bahkan negara lain yang berbeda bahasa dan budayanya, juga
menghadapi
kondisi alam yang sangat berbeda. Jumlah JH Indonesia adalah yang terbesar di dunia, rata-rata sejumlah 155.000 hingga 210.000 orang setiap tahun pada musim haji. Sehingga tidak aneh jika ibadah haji merupakan hajat nasional (UU Nomor 13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan Ibadah Haji dan Kepmen Kesehatan RI nomor 442 tahun 2009 tentang pedoman penyelenggaraan Kesehatan Haji Indonesia). Jumlah JH yang berlanjut usia dari tahun ke tahun meningkat. Tahun 2013 jumlah total JH Indonesia 168.110 orang, JHdengan risiko tinggi (risti) karena usia > 60 tahun (selanjutnya disebut Jemaah Haji Usia Lanjut = JHUL)sebesar 11.318 orang dan risti karena usia > 60 tahun disertai penyakit
2
sebesar 28.410 orang, dan yang risti karena penyakit sejumlah 47.482 orang. Total jemaah haji Indonesia dengan risti tahun 2012 sebesar 47,37%, tahun 2013 naik menjadi 51%. Tingginya jumlah JH risti menjadikan beban negara (high cost),karena
berdampak morbiditas dan mortalitasnya yang juga tinggi
(Fidiansjah, 2013, 2014; Kemenkes RI , 2014). Dari laporan resmi TKHI di embarkasi & sistim komputerisasi Haji Terpadu Bidang Kesehatan (siskohatkes)JHUL mendominasi perawatan di Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) dan RS Arab Saudi (selanjutnya disingkat RSAS) sebesar 56%. Jika opname, membutuhkan waktu yang lama dan banyak menggunakan fasilitas intensif (ICU), sehingga pemerintah RI diperingatkan oleh kementerian kesehatan Arab Saudi “ JH Indonesia yang buruk kondisi kesehatannya jumlahnya banyak, kenapa boleh berangkat?” Meskipun JH tidak membayar pelayanan pengobatan (di BPHI dan RSAS, namun untuk merujuk pasien atau JH yang sakit ke RS membutuhkan biaya, waktu, tenaga yang besar. Setiap hari selalu dilakukan sweeping oleh petugas ke seluruh RSAS yang ada, dan ini membutuhkan biaya, waktu dan tenaga (Fidiansjah, 2013, 2014; Kementerian Agama RI, 2014; Kementerian Kesehatan RI, 2014, Alfarisi, 2016, Nurudin 2016). Dilaporkan pada tahun 2012 yang wafat 428 orang (2,2 per 1000 jemaah), sedangkan tahun 2013 saat itu pertama kalinya ahli penyakit dalam konsultan geriatri dilibatkan secara langsung (atas ide Dirjen Haji dan Umroh Anggito Abimanyu) untuk ikut melayani sebagai PPIH, dari total JH 169.867 orang, yang
3
wafat 266 orang (menurun sangat besar menjadi, 1,58 per 1000 jemaah). JH yang wafat pria sebesar 58%, yang berusia 60 tahun sebesar 73%, pada gelombang ke-2 sejumlah 51% pada periode praarmina 70 orang, periode Mina 11 orang dan periode pascaarmina 185 orang. Fase Arofah saat wukuf yang dilanjutkan mabit di Muzdalifah, selanjutnya melempar jumrah dan mabit di Mina yang selanjutnya diikuti thowaf ifadhoh, yang dikenal fase Armina dan postarmina/pascaarmina. Fase ini merupakan “masa bahaya atau kritis” karena saat ini secara masal terjadi kegiatan fisik yang sangat besar, penurunan kondisi fisik (kelelahan), iklimnyang sangat panas dan kering, terjadi lonjakan morbiditas dan mortalitas. Pemerintah berupaya keras untuk mengantisipasi hal ini dengan pembiayaan yang besar (Fidiansjah, 2013, 2014; Kementerian Kesehatan RI, 2014; Alfarisi, 2016). Jumlah tenaga kesehatan yang melayani JH sangat terbatas, setiap satu pesawat ada tiga TKHI, kadang kala ada Tenaga Kesehatan Haji Daerah (TKHD) harus mengawal 375 JH, sehingga rasio TKI : JH sebesar 1:125, artinya setiap petugas kesehatan harus mengawasi status kesehatan 125 orang JH, suatu beban yang besar, apalagi jika lokasi jemaah tidak berkumpul dalam satu hotel. Disamping itu masa kerja TKHI tidak sama (pengalaman bekerjasama dengan berbagai karakter teman kerja, ternyata berpengaruh pada kinerja), dilaporkan 50 % petugas kesehatan haji belum pernah berhaji. Karena kualitas TKHI tidak sama, maka perlu diberi pembekalan secara seragam se Indonesia dengan bahan yang cukup lengkap, tetapi pelaksanaan pembekalan diserahkan
4
kepada setiap embarkasi/provinsi. Dari survey yang dilakukan peneliti (Probosuseno, 2014), hampir semua embarkasi pembekalan tentang JHUL terkait problem kesehatan dan kiat-kiat praktisnya sangat kurang bahkan ada yang tidak diberikan. Untuk Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) bidang kesehatan, pembekalannya dipusatkan di Ciloto Jawa Barat dan Pondok Gede Jakarta untuk menjamin keseragaman dan kerjasama yang baik karena akan ditugaskan di tempat rujukan (Sektor dan BPHI) dengan pembicara dari Kementerian Kesehatan RI serta narasumber lain tingkat nasional (Fidiansjah, 2013, 2014; Kemenkes RI, 2014) Sementara itu, JHUL benar benar harus mendapat perhatian yang lebih besar mengingat adanya kondisi khusus, terdapat penurunan kapasitas fungsional dan kebanyakan memiliki multipatologis. Proses menua mengubah komposisi tubuhnya. Pada saat umur di bawah 30 tahun, tubuh terdiri atas 61% H2O, 19% sel solid, 14% lemak,
6% tulang dan mineral. Pada usia lebih dari 65 tahun,
komposisi tersebut berubah menjadi H2O 53%, sel solid 12%, lemak 30%, sedangkan tulang dan mineral 5%(Amos et al., 1997 cit. Rochmah, 2004). Perubahan fisik karena perubahan komposisi tubuh yang menyertai pertambahan umur umumnya bersifat fisiologis, seperti turunnya tinggi badan, berat badan, kekuatan otot, daya lihat, daya dengar, kemampuan berbagai rasa (senses), turunnya berbagai fungsi otak, dan perubahan toleransi tubuh terhadap glukosa. Perubahan toleransi terhadap glukosa ini disebabkan oleh karena menurunnya berat jaringan sasaran (khususnya jaringan otot), turunnya jumlah air
5
dan meningkatnya jumlah jaringan lemak. Hal tersebut akan meningkatkan kadar glukosa darah karena menurunnya ambilan glukosa oleh jaringan tubuh. Pada sistem kardiovaskular, kekuatan otot jantung menurun, sedangkan tahanan perifer meningkat karena arteriosklerosis (Amos et al., 1997 cit. Rochmah, 2004). Perubahan-perubahan pada usia lanjut terus berjalan dan makin progresif, sehingga akan menimbulkan gangguan (impairment), kemudian menjadi ketidakmampuan (disability) yang berlanjut menjadi disfungsi dan akhirnya akan timbul rintangan (handicap). Seringkali proses tersebut mengarah pada suatu penyakit (disease) ( Rochmah, 2014). Beberapa masalah medis yang sering dijumpai pada usia lanjut sehubungan dengan perubahan komposisi tubuh adalah: terbatasnya gerakan (immobility), kurang stabil (instability), gangguan kecerdasan (intelectual impairment), sulit tidur (insomnia), merasa terpencil (isolation/depression), kelemahan syahwat/disfungsi ereksi (impotence), sulit menahan kencing (incontinence), gangguan pendengaran dan penglihatan (impairment of vision & hearing), sulit makan (inanition), kolon yang mudah teriritasi (irraTabel colon), menurunnya daya tahan (immune deficiency), mudah kena penyakit infeksi (infection), mudah terganggu oleh efek obat (iatrogenic), merasa miskin (impecunity). Dan penyakit yang terbanyak di masyarakat adalah nyeri sendi, hipertensi, bronchitis diabetes mellitus, mag. Seringkali menyandang beberapa peyakit bersamaan (Kane et al., 1989 cit Rochmah, 2004; Rochmah, 2014).
6
Berdasarkan informasi ilmiah tersebut di atas, timbulah gagasan bagaimana caranya agar pengetahuan kesehatan untuk JHUL (geriatri) dapat diberikan dalam bentuk yang mudah dan sederhana tetapi sarat pesan kesehatan? Bagaimana menyampaikan pesan secara menarik dan apa saja yang perlu diketahui dalam mendeteksi gejala penyakit berbahaya pada JH, sehingga hasil akhirnya angka morbiditas dan mortalitas dapat ditekan serendah mungkin, yang diharapkan bisa menghemat biaya sebesar mungkin. Pelatihan inovatif yang berisi kiat haji sehat secara praktis (terutama Tepuk Haji Sehat = THS, lagu Gemzar = Gerakan minum zam zam dan makan kurma, dan Pusat KLB = Gejala dan Tanda Penyakit Berbahaya pada Jemaah Haji, karya Probosuseno, 2013, dan 2014), sederhana, namun padat pesan ilmu geriatri ditujukan pada JH dan JHUL melalui TKHI, yang merupakan personil strategis dalam menjaga status kesehatan JH dan melayani jika JH sakit. Pelatihan inovatif yang diberikan secara singkat, dengan media yang sederhana dan pembiayaan yang tidak besar (sticker), merupakan alternatif yang menarik. Jika TKHI memiliki pengetahuan yang cukup tentang lansia, problema dan pemecahannya, serta kinerjanya bagus dalam melayani JHUL, diduga kuat akan dapat menekan angka morbiditas dan mortalitas.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa JH Indonesia yang semakin meningkat jumlahnya serta peningkatan JH risti, dan dari laporan kematiannya cukup besar,
7
ini merupakan beban pemerintah dengan high cost, karena itu perlu penangangan khusus. Salah satu alternatif yang peneliti ajukan adalah dengan pelatihan inovatif.Ada beberapa masalah dalam penelitian ini diantaranya, 1.
Apakah pelatihan inovatif terhadap TKHI menaikkan kinerja TKHI ?
2.
Apakah pelatihan inovatif terhadap TKHI menurunkan morbiditas JHUL?
3.
Apakah pelatihan inovatif terhadap TKHI menurunkan mortalitas JHUL?
4.
Apakah pelatihan inovatif terhadap TKHI bersifat Cost-Effectiveness?
C.Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan pengaruh pelatihan inovatif terhadap kinerja TKHI dan clinicaloutcome JHUL di Arab Saudi. 2. Tujuan khusus a. Menganalisa penyebab morbiditas JHUL b. Mendiskripsikan mortalitas JHUL. c.
Menghitung besarnya pembiayaan dan manfaatnya terhadap angka
morbiditas dan mortalitas JHUL.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a.
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan bidang ilmu Geriatri yang
8
berkaitan dengan kesehatan JHUL b.
Sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya tentang manfaat tepuk haji sehat (THS) ditinjau dari kedokteran, psikologi dan spiritual.
2.Manfaat Praktis a. Menurunkan morbiditas JHUL b. Menurunkan angka mortalitas JHUL c. Sebagai masukan kepada pemerintah khususnya Kementerian Agama RI dan Kementerian Kesehatan RI, serta Kelompok Bimbingan Haji terkait penyelenggaraan ibadah haji.
E. Keaslian Penelitian Sepanjang penulis melakukan pencarian kepustakaan jurnal ataupun naskah lain, ada dua penelitian yang mirip dengan salah satu modul yaitu tepuk tangan untuk pendidikan. Penelitian Warren Brodsky dan Idit Sulkin (2010) dari Music Science Lab, Department of the Arts, Ben-Gurion University of the Negev, Beer-Sheva,Israel, mengajarkan teknik tepuk tangan pada anak-anak kelas musik. Ternyata anak-anak meningkat kemampuan kognitif dan motoriknya. Niken Kencono Ungu (2014) merujuk Brodsky dan Sukin (2010), mengajarkan Tepuk Keledai Cerdik dikombinasikan dengan scientific approach agar pembelajaran bahasa Inggris siswa SMK Yudakarya Magelang lebih termotivasi dan gembira. Motivasi dan gembira adalah bekal yang tak ternilai untuk bisa memberikan efek
9
pemahaman yang bersifat tahan lama.Materi terasa ringan, jauh berbeda dengan materi sesungguhnya yang
berat. Agar tidak bosan dikombinai lagu yang
dilakukan dengan tetap bertepuk tangan. Didapatkan kenaikan kemampuan siswa berbahasa Inggris sebesar 45,78% (nilai ujian 2011/2012 dibandingkan ujian tahun 2012/2013). Peneliti akan memberikan pelatihan tambahan yang bersifat inovatif kepada TKHI dengan materi geriatri dikaitkan dengan hal-hal di Arab Saudi yang dapat membahayakan status kesehatan, tepuk tangan yaitu Tepuk Haji Sehat (THS) dan lagu Gemzar (Probosuseno, 2014), serta Pusat KLB = Gejala dan Tanda Penyakit Berbahaya pada Jemaah Haji (Probosuseno, 2013) sebagai modul utama, dan modul lain untuk TKHI. Tujuan utama untuk menurunkan morbiditas, mortalitas JHUL, secara Cost Effective.