BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Demam Chikungunya merupakan salah satu re-emerging disease di kawasan Asia Tenggara disamping avian influenza dan demam kuning, penyakit ini tergolong vector-borne disease dan termasuk di dalam salah satu neglected infectious diseases di dunia (WHO, 2009). Dunia mencatat sejumlah laporan wabah mengenai demam chikungunya yaitu di Kinshasa dengan estimasi kasus sebanyak 50.000 orang pada tahun 19992000, di pulau La Réunion dengan estimasi jumlah kasus sebesar 270.000 (40% dari jumlah penduduk) pada tahun 2005-2006 dan di India pada tahun 2006-2007 dengan jumlah kasus 1.4 – 6.5 juta orang (Sourisseau, 2007). Di Indonesia, kejadian luar biasa (KLB) Chikungunya dilaporkan pada tahun 1982, Demam Chikungunya di Indonesia dilaporkan pertama kali di Samarinda pada tahun 1973, kemudian berjangkit di Kuala Tungkal, Martapura, Ternate, Yogyakarta (1983), Muara Enim (1999), Aceh dan Bogor (2001). Sebuah wabah Chikungunya ditemukan di Port Klang di Malaysia pada tahun 1999, selanjutnya berkembang ke wilayah-wilayah lain. Awal 2001, kejadian luar biasa demam Chikungunya terjadi di Muara Enim, Sumatera Selatan dan Aceh. Disusul Bogor bulan Oktober. Setahun kemudian, demam Chikungunya berjangkit lagi di Bekasi (Jawa Barat), Purworejo dan Klaten (Jawa Tengah). Diperkirakan sepanjang tahun 2001-2003 jumlah kasus Chikungunya mencapai 3.918 jiwa dan tanpa kematian yang diakibatkan penyakit ini (Depkes, 2012). 1
Kepadatan vektor di Indonesia (indeks premis/HI) diperkirakan 20% atau 5% di atas nilai ambang risiko penularan (Soeroso, 2002). Tetapi hasil penelitian di berbagai daerah menunjukkan angka yang lebih tinggi. HI di Kota Palembang mencapai 44,7%,( Budiyanto, 2005) di Jakarta Timur indeks rumah (HI) = 11,5%, indeks kontainer (CI) = 6,5% dan indeks breteau (BI) = 13,3 (Novelani, 2007). Di Jakarta Utara HI 27,3%, CI 17,9%, BI 33,7 (Hasyimi dan Soekirno, 2004). HI di Simongan dan Manyaran (Semarang Barat) 47,3% dan 53,49% (Widiarti et al., 2006). Indeks ovitrap (ovitrap index = OI) pada lingkungan rumah di Kota Semarang mencapai 36.6% (Wahyuningsih et al., 2007). Indeks Aedes sp yang tinggi tersebut berakibat Kota Semarang menjadi daerah endemis. Di Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2013 terdapat 639 kasus dengan gejala klinis Chikungunya. Jumlah penduduk Kabupaten Sukoharjo sebesar 851.157 jiwa (BPS, 2011) maka incidence rate chikungunyanya 75/100.000 penduduk. Kecamatan Tawangsari terdapat 108 kasus dengan gejala klinis chikungunya, bila penduduk Kecamatan Tawangsari berjumlah 58.962 jiwa (BPS, 2011) maka incidence rate Chikungunyanya adalah 183/100.0000 penduduk . Kasus terdapat di delapan desa Watubonang, Grajegan, Kedungjambal, Tangkisan, Kateguhan, Pojok, Pundungrejo, Lorog (DKK Sukoharjo, 2013). Keberadaan dan kepadatan populasi Aedes sp sering dikaitkan dengan penularan, endemisitas dan kejadian luar biasa (KLB) penyakit Demam Berdarah Dengue dan Chikungunya. Resistensi nyamuk Aedes sp terhadap insektisida golongan pyrethroid telah dilaporkan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Aedes sp dilaporkan resisten terhadap deltamethrin dan permethrin di Bandung, 2
Palembang dan Surabaya (Ahmad et al., 2007) serta Semarang (Brengues et al., 2003). Studi di Mae Sot dan Phatthalung, Thailand, membuktikan bahwa Aedes sp resisten terhadap permethrin (Ponlawat et al., 2005), sedangkan di Bangkok dan Nontthaburi resisten terhadap deltametrin dan alfasipermetrin (Thanispong et al., 2008). Resistensi serangga terhadap insektisida umumnya terjadi setelah masa penggunaan 2–20 tahun (Georghio dan Melon, 1983). Insektisida pyrethroid yang paling lama (lebih dari 10 tahun) dan sering digunakan di Jawa Tengah termasuk Kabupaten Sukoharjo adalah jenis cypermethrin. Fakta membuktikan bahwa Aedes sp di Semarang telah resisten terhadap insektisida pyrethroid jenis permethrin sejak 2003 (Brengues et al., 2003), serta jenis d-alethrin, permethrin, dan cypermethrin di Bandung (Astari dan Ahmad, 2005). Penggunaan insektisida di Kabupaten Sukoharjo menggunakan bahan aktif cypermethrin dari tahun 20092013 (DKK Sukoharjo, 2013). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui status resistensi nyamuk Aedes sp terhadap insektisida pyrethroid, khususnya cypermethrin melalui uji susceptibility. Keberadaan larva Aedes sp di suatu daerah merupakan indikator terdapatnya populasi nyamuk Aedes sp didaerah tersebut. Semakin tinggi populasi nyamuk disuatu daerah maka resiko transmisi nyamuk menjadi vektor penyakit cukup tinggi di daerah tersebut. Sebaliknya daerah yang tidak terdapat keberadaan jentik cenderung tidak terjadi transmisi (Novelani, 2007). Penurunan populasi Aedes sp akan menurunkan resiko transmisi virus (Reiter dan Gubler, 1997) . Untuk itu perlu diteliti seberapa besar pengaruh indikator entomologi terhadap incidence rate Chikungunya.
3
B. Rumusan Masalah Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1.
Apakah ada pengaruh indikator entomologi (ovitrap index, house index, container index, breteau index) terhadap incidence rate Chikungunya
2.
Apakah ada pengaruh status resistensi terhadap incidence rate Chikungunya
3.
Apakah terjadi clustering kasus Chikungunya di lokasi kasus C. Tujuan Penelitian
1.
Tujuan Umum Mengetahui pengaruh indikator entomologi dan status resistensi cypermethrin nyamuk Aedes sp terhadap incidence rate Chikungunya di Kecamatan Tawangsari Kabupaten Sukoharjo.
2.
Tujuan Khusus a. Mengetahui berapa besar pengaruh indikator entomologi (ovitrap index, house index, container index, breteau index)
terhadap incidence rate
Chikungunya b. Mengetahui berapa besar pengaruh status resistensi terhadap incidence rate Chikungunya c. Mengetahui clustering kasus Chikungunya di Kecamatan Tawangsari D. Manfaat Penelitian 1.
Bidang Akademik Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan dan menjadi tambahan referensi tentang penyakit infeksi Chikungunya khususnya vektor penularnya. 4
2.
Bidang Pengabdian Masyarakat Dengan mengetahui epidemiologi, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap transmisi Chikungunya, diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna bagi masyarakat dan Dinas Kesehatan Kabupaten dalam memahami pola transmisi Chikungunya dan dapat membuat model program pengendalian yang tepat.
3.
Bidang Penelitian Data hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi mengenai penyakit Chikungunya yang dalam beberapa tahun terakhir menimbulkan kejadian luar biasa dan dianggap sebagai “re-emerging disease”. Sehingga mendorong untuk dilakukannya penelitian Chikungunya lainnya. E. Keaslian Penelitian
1.
Indriani (2010) melakukan penelitian pola spatial temporal demam Chikungunya dan Demam Berdarah Dengue di kota Yogyakarta tahun 2008. Penelitian tersebut merupakan penelitian observasional dengan desain studi ekologi menggunakan pendekatan terintegrasi sistem informasi geografis, penginderaan jauh (remote sensing) dan teknik statistik sedangkan pada penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik, yang menganalisa pengaruh indikator entomologi dan status resistensi terhadap incidence rate Chikungunya dengan melihat clustering kasus Chikungunya.
2.
Sucipto (2009) melakukan penelitian deteksi transmisi transovarial virus dengue pada nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) jantan dan betina serta hubungannya dengan incidence rate demam berdarah dengue di kota 5
pontianak. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada variabel bebasnya dimana pada penelitian ini variabel bebasnya adalah indikator entomologi di derah endemis Chikungunya. 3.
Astuti (2012) melakukan penelitian index entomologi dan serotipe virus dengue pada nyamuk Aedes aegypti di Kabupaten Bantul, membandingkan perbedaan index entomologi diberbagai daerah endemis sedangkan pada penelitian ini mengukur pengaruh indikator entomologi dan status resistensi nyamuk Aedes sp terhadap incidence rate Chikungunya.
4.
Pradani et al. (2011) melakukan penelitian status resistensi Aedes aegypti dengan metode susceptibility di Kota Cimahi terhadap cypermethrin. Penelitian tersebut hanya melihat status resistensi dari nyamuk uji saja, sedangkan pada penelitian dihubungkan dengan incidence rate di daerah tersebut.
5.
Sayono et al. (2012) melakukan penelitian distribusi resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida sipermetrin di Semarang. Pada penelitian tersebut data dianalisis secara diskriptif untuk menentukan status resistensi dan indeks densitas populasi Aedes sp, sedangkan pada penelitian ini data dianalisa secara analitik dan dihubungkan dengan incidence rate kasus Chikungunya.
6