BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Batik pada dasarnya adalah teknik menghias permukaan kain dengan cara menahan pewarna (malam/lilin). Teknik ini merupakan salah satu tahapan pencapaian dalam peradapan manusia. Bahan pewarna batik yang digunakan pada awalnya dibuat dari bahan-bahan alami yang berasal dari lingkungan setempat. Sumber bahan pewarna yang digunakan adalah bagian kulit kayu, buah, bunga, dan akar suatu tanaman (Sancaya, 2011:6). Terkait dengan pewarnaan alami, kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami. Siti Narsito Wulan dalam penelitiannya menuliskan kulit buah kakao mengandung pigmen karotenoid. Pigmen karotenoid dapat memunculkan warna merah hingga jingga. Kulit buah kakao mengandung tanin. Dikemukakan pula pemanfaatan limbah kulit buah kakao sebagai sumber zat pewarna (β-karoten) pada makanan, dilakukan untuk mengetahui potensi dan kestabilan pigmen dari kondisi ekstraksi pigmen yang optimal. Bahan yang digunakan adalah kulit kakao segar dan kulit yang dikeringkan. Apabila dibandingkan antara bahan segar dan bahan kering, kadar pigmen dari bahan segar lebih besar daripada bahan kering (2001:25). Penelitian kedua dilakukan oleh Indah Permata Ayuningtyas berjudul “Kajian Kulit Buah Kakao Sebagai Pewarna Alami Pada Tekstil” mengemukakan tentang pemanfaatan kulit buah kakao segar sebagai zat pewarna alami tekstil. Kandungan pigmen karotenoid, polifenol, flavonoid dan tanin diharapkan dapat
1
2
menimbulkan warna yang potensial untuk tekstil dengan variasi frekuensi pencelupan dan jenis fiksasi, kemudian diuji cobakan pada bahan sutera dengan proses ikat celup dan batik. Uji coba tersebut menghasilkan warna coklat ke merah muda dengan fiksator tawas, berwarna coklat ke merah dengan fiksator kapur, dan berwarna coklat tua ke hijauan dengan fiksator tunjung (2014: 49). Hasil pendalaman terhadap penelitian dari Indah Permata, penelitian tersebut berhenti sampai uji coba fiksasi pada satu kain dengan satu fiksator yang menghasilkan satu warna pada tiap kainnya. Hal tersebut menarik untuk dikembangkan lebih lanjut kedalam sebuah karya peracangan. Pengembangan dalam perancangan ini akan memadukan tiga fiksator (tawas, kapur, tunjung) dalam satu kain dengan menggunakan cara tumpangan. Hal yang penting untuk dipikirkan ketika membuat karya batik dengan pewarnaan alamiini, kecuali melakukan proses pewarnaan yang benar juga pada masalah corak. Motif batik adalah gambaran utama pada kain batik. Motif ini mencirikan dan menentukan jenis suatu batik (Setiati, 2008:43). Seni Kerajinan Batik Indonesia (Susanto, 1980: 212) mengungkapkan bahwa motif adalah kerangka gambar yang mewujudkan batik secara keseluruhan. Motif batik disebut juga corak batik atau pola batik. Motif banyak digunakan pada tekstil, antara lain motif flora, motif fauna, dan motif penggambaran diri manusia. Penggarapan corak batik seyogyanya dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan yang mendalam agar terwujud corak-corak yang semakin variatif dan tidak membosankan. Strategi penggarapan corak bisa dipecahkan melalui pengangkatan sumber ide dalam perancangannya.
3
Sumber ide perancangan selain menggunakan kulit buah kakao sebagai pewarna batik, dalam proyek perancangan ini juga menggunakan tanaman buah kakao sebagai sumber ide motifnya. Tanaman buah kakao merupakan hasil perkebunan di daerah Karanganyar, selain kakao ada beberapa hasil perkebunan, diantaranya durian, duku, manggis, dan ubi jalar. Hasil perkebunan tersebut sudah dijadikan sebagai sumber ide motif batik berkarakter kedaerahan di Karanganyar. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis memiliki ide untuk mengembangkan kakao sebagai visual motif dalam sebuah karya batik tulis. Diharapkan hasil dari karya ini dapat dijadikan sebagai alternatif batik berkarakter kedaerahan di Karanganyar.
B. StudiPustaka 1.
Batik Tulis dengan Zat Pewarna Alami a. Teknik Batik Tulis Batik tulis adalah pembuatan motif pada kain menggunakan tangan dan
alat bantu canting. Proses batik tulis sebelum kain dicanting dengan malam panas awalnya kain dicoret atau digambar sesuai motif yang diinginkan, selanjutnya kain yang sudah dicoret kemudian diberi malam panas dengan menggunakan canting sesuai dengan motif yang digambar untuk perintang warna. Langkah selanjutnya kain di beri warna dengan cara pencoletan atau pencelupan dan penguncian warna. Setelah penguncian warna kain dicuci dan dilorod. Tujuan pelorotan supaya malam yang berada di kain hilang. Setiap kain batik diproses dengan teknik ini memerlukan waktu yang lama. Teknik batik tulis biasanya lebih
4
mahal dari pada teknik batik yang lain misalkan batik cap. Pengerjaan batik tulis harus dengan teliti dan sabar supaya batik tulis yang dihasilkan akan lebih indah (Herry Lisbijanto, 2013:10). Tahap-tahap untuk membuat batik tulis ialah : 1) Membatik kerangka (nglowong) Membatik kerangka dengan memakai pola disebut mola, sedangkan tanpa pola disebut ngrujak. Baik menggunakan pola ataupun langsung di rujak, tetap disebut batik kosongan atau batikan klowongan. Canting yang digunakan adalah canting cucuk sedang yang disebut juga canting klowong. 2) Ngisen iseni Maka ngisen iseni berarti memberi isi atau mengisi, ngisen iseni dengan menggunakan canting cucuk kecil yang sering disebut canting isen. Batikan yang lengkap dengan isen-isen disebut reng-rengan. Oleh karena namanya reng-rengan, maka pembatik yang membatik sejak permulaan sampai penyelesaian
(akhir)
memberi
isen-isen
disebut
ngengreng.
Hasil
ngrengrengan merupakan kesatuan motif dari keseluruhan yang dikehendaki. 3) Nerusi Batikan yang berupa ngengrengan kemudian dibatik permukannya, dan dibatik lagi pada permukaan yang kedua. Membatik nerusi ialah membatik mengikuti motif
pembatikan
pertama
pada
bekas
tembusannya.
Canting yang
dipergunakan sama dengan canting untuk ngengreng. Nerusi terutama untuk mempertebal tembusan batikan pertama serta untuk memperjelas. Batikan yang selesai pada tahapan inipun disebut ngengreng (Herry Lisbijanto, 2013:26). 4) Nembok
5
Canting tembokan berukuran besar, bagian yang ditemboki biasanya disela-sela motif pokok. Nembok biasanya menggunakan malam kualitas rendah. Meskipun malam penuh kotoran tetapi canting bercucuk besar seperti canting tembokan tidak banyak terganggu. Pada hakekatnya fungsi malam selain untuk membentuk motif, juga untuk menutup pada tahapan-tahapan memberi warna pada sebuah kain, dimana warna itu sebagai pembentuk motif batik yang sesungguhnya. Proses nembok hanya dilakukan pada sebelah muka kain. 5) Bliriki Bliriki ialah nerusi tembokan agar bagian-bagian itu tertutup sepenuhnya. Bliriki menggunakan canting tembokan dan caranyapun sama seperti proses nemboki. Apabila tahap terakhir ini sudah selesai berarti proses pembatikan sudah selai (Herry Lisbijanto, 2013:26). 6) Nglorod Menghilangkan malam yang menempel di kain dengan menggunakan air mendidih. Setelah itu baru dijemur (Herry Lisbijanto, 2013:27). b. Zat Pewarna Alami Potensi sumber zat pewarna alami ditentukan oleh intensitas warna yang dihasilkan tergantung pada jenis coloring matter yang ada. Coloring matter adalah substansi yang menentukan arah zat warna alam, merupakan senyawa organik yang terkandung dalam sumber zat warna alam tersebut. Dalam satu jenis tumbuhan dapat terkandung lebih dari satu jenis zat pewarna( Hendri Suprapto, 2000 : 5). Berdasarkan dari jenis zat pewarnaan, zat pewarna alami dibagi menjadi empat golongan(Sri Herlina, 2003: 8-9), sebagai berikut:
6
1) Zat warna mordan (alam) : kebanyakan zat pewarna alam tergolong zat warna mordan alam agar dapat menempel dengan baik, proses pewarnaannya harus melalui penggabungan dengan kompleks oksida logam membentuk zat warna yang tidak larut. Zat pewarna alam golongan ini dapat menjadi sangat tahan. Misalnya zat pewarna alam yang berasal dari kulit akar pace (Morinda). 2)
Zat warna direk : zat warna ini melekat di serat berdasarkan ikatan hidrogen sehingga ketahanannya rendah, misal zat pewarna yang berasal dari kunyit (curcuma).
3) Zat warna asam/basa : zat warna jenis ini mempunyai gugus kombinasi asam dan basa, tepat untuk diterapkan pada pewaranaan serat sutera atau wol, tetapi tidak memberikan warna yang permanen pada katun, misal flavonoid pigmens. 4) Zat warna bejana : zat warna ini mewarnai serat melalui proses reduksioksidasi, dikenal sebagai pewarna yang paling tua di dunia, dengan ketahanan yang paling unggul dibandingkan ke-3 jenis zat pewarna alam lainnya, misalnya zat pewarna yang berasal dari daun tom (indigo). c. Proses Pewarnaan Zat Pewarna Alami pada Tekstil 1) Mordanting Penggunaan zat pewarna alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, mempunyai rangkaian proses yang dimulai dari pengolahan awal serat/kain yaitu proses mordanting (Hendri Suprapto, 2005: 1). Tujuannya adalah untuk memperbesar daya serap kain terhadap zat warna alam. Resep mordan yang digunakan untuk kain katun dan sutera adalah :
7
Resep mordant untuk kain katun: Berat bahan (kain)
: 500 gram
Berat tawas
: 100 gram
Berat soda abu : 30 gram : 15 – 18 liter
Air
Resep mordant untuk kain sutera, wool: Berat bahan (kain)
: 500 gram
Berat tawas
: 100 gram
Air
: 15 – 18 liter Proses mordanting dilakukan dengan cara air didihkan, tawas dan soda abu
dimasukkan sambil diaduk-aduk hingga larut sempurna, kain dibasahi terlebih dahulu kemudian dimasukkan ke dalam larutan tawas, sambil diaduk-aduk hingga 1 jam, kompor dimatikan dan didiamkan selama 24 jam, dibilas/dicuci hingga bersih, siap untuk diwarnai dengan zat warna alam atau dibatik terlebih dahulu (Hendri Suprapto, 2000: 38). 2) Ekstraksi Zat Pewarna Alami Pembuatan larutan zat warna alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dapat dilakukan melalui sistem ekstraksi dan fermentasi, tergantung dari jenis tumbuhan, pada umumnya melalui sistem ekstraksi. Persiapan awal bagian-bagian tumbuhan untuk pewarnaan ketika bahan tumbuhan telah dipanen untuk diambil warnanya, ada yang digunakan pada saat tumbuhan dalam kondisi segar artinya habis dipanen langsung diambil zat warnanya, tetapi ada juga yang dikeringkan terlebih dahulu untuk disimpan dan kemudian diambil zat warnanya (Hendri
8
Suprapto, 2005: 1). Sumber zat pewarna alami pada tanaman akan menghasilkan warna dan ketahanan luntur yang berbeda pada serat alam. Menurut Hendri Suprapto dalam penelitiannya mengenai ekstraksi pewarna alam untuk kain/serat, menjelaskan bahwa pada umumnya bahan – bahan tumbuhan memerlukan perebusan/pendidihan secara perlahan-lahan yang berlangsung sekitar 1 jam, diperkirakan zat warnanya sudah dapat keluar semua, ada tanaman lain harus direndam terlebih dahulu kedalam air dengan harapan kandungan zat warnanya dapat keluar secara maksimal (2005: 2). 3) Pencelupan Beberapa zat warna alam dapat digunakan secara baik untuk mewarnai serat-serat yang berasal dari binatang dan tumbuh-tumbuhan tanpa proses panas. Sebelum serat/kain dibasahi terlebih dahulu dengan larutan TRO 1 gram/liter, dan dicelup dengan zat warna secara dingin selama 15 menit. Pada umumnya proses batik selalu memakai sistem pencelupan secara dingin (Hendri Suprapto, 2005: 3). Serat/kain yang berasal dari tumbuh-tumbuhan misalnya serat kapas/katun, serat nanas dan serat abaca (pisang), akan lebih bagus apabila dicelup dalam larutan zat warna pada temperatur kamar dan warna yang dihasilkan dapat cerah, akan tetapi untuk proses batik karena terdapat lilin yang harus dilepas/dilorod pakai soda abu, maka hasilnya cenderung ke arah soft. Sedangkan serat yang berasal dari binatang yaitu sutera, jika dicelup dalam kondisi dingin akan menghasilkan warna bagus dan merupakan jenis serat yang terbaik pada penyerapan pewarna alam dibanding serat alam lainnya. Penggunaan teknik batik hasilnya lain karena adanya pelorodan atau pelepasan lilin (Hendri Suprapto, 2005: 3).
9
4) Fiksasi Macam-macam bahan fiksasi adalah a) Tawas/KAI (SO4) untuk menghasilkan arah warna muda sesuai warna aslinya. b) Kapur/Ca (OH)2 arah warna sedang atau arah kecoklatan. c) Tunjung/FeSO4 arah warna yang lebih tua atau kehitam-hitaman. Resep yang digunakan adalah Fiksasi tawas : 70 gram/liter Fiksasi kapur : 50 gram/liter Fiksasi tunjung: 50 gram/liter Cara membuat larutan fiksasi sesuai dengan jenis fiksasinya adalahsebagai berikut: a) Fiksasi dilarutkan kedalam air boleh dengan cara dingin. b) Larutan ditunggu hingga larut sempurna. c) Didiamkan selama 24 jam. d) Larutan dapat digunakan dengan mengambil cairan yang ada diatas. Pada akhir proses batik adalah pelepasan lilin atau istilahnya lorodan(Jawa). Bahan yang digunakan adalah air panas dan zat pembantu kanji untuk bahan dari kapas dengan ukuran 15 gram/liter, sedangkan untuk sutera menggunakan soda abu untuk sutera dengan ukuran 10 gram/liter. System pelorodan pada batik dengan direbus air panas dan diusahakan pada saat melorod cuaca perlu dipertimbangkan, jika melorod dalam cuaca hujan akan menimbulkan masalah pada saat pengeringan karena jika pengeringan tidak cukup 1 hari dimungkinkan benda kerja mudah ditumbuhi jamur, untuk hal ini sebaiknya
10
dipersiapkan tempat pengeringan dengan mesin pengering kayu atau oven (Hendri Suprapto, 2000: 22). 2.
Kulit Buah Kakao sebagai Zat Pewarna Alami Batik a. Tanaman Kakao Kakao (Theobroma
cacao
L.) merupakan
salah
satu
komoditas
tanaman perkebunan baik untuk perkebunan negara maupun rakyat, sebagai tanaman perkebunan rakyat tanaman ini sangat cocok, karena tanaman ini dapat memberikan hasil sepanjang tahun. Dengan hasil yang dapat diperoleh setiap waktu ini sangatlah sesuai untk memenuhi kebutuhan petani yang menggantungkan hidupnya pada bertanam kakao tersebut (Wartoyo Suwadi Pudjogunarto, 2011: 2). Buah coklat berupa buah buni yang daging bijinya sangat lunak. Kulit buah mempunyai 10 alur dan tebalnya 1-2 cm. Buah coklat akan masak setelah 56 bulan dari proses penyerbukannya. Setiap tongkol berisi 30-50 biji. Buah kakao bisa dipanen apabila perubahan warna kulit dan setelah fase pembuahan sampai menjadi buah dan matang kurang lebih usia 5 bulan. Ciri-ciri buah akan dipanen adalah warna kuning pada alur buah. Tabel 1. Jenis Tanaman Kakao No 1
Jenis Tanaman Kakao Criollo
Karakter Visual Mutu biji sangat baik, kulit berwarna merah atau hijau, kulit tipis berbintil-bintil kasar dan lunak,
biji
buah
berbentuk
bulat
telur
berukuran besar dengan kotiledon berwarna putih pada waktu masih basah.
11
2
Forastero
Mutu biji sedang, kulit warna hijau, kulitnya tebal, biji buah tipis atau gepeng dan kotiledon berwarna ungu pada waktu basah.
3
Trinitario (merupakan hibrida Biji kakao ada yang termasuk baik dan ada alami
dari
Criollo
dan yang sedang, buah berwarna hijau atau merah
Forastero)
dan bentuknya bermacam-nacam. Biji buah juga
bermacam-macam
dengan
kotiledon
berwarna ungu muda sampai ungu tua pada waktu basah 4
Jenis trinitario yang banyak Biji kakao ada yang termasuk baik dan ada ditanam di Indonesia adalah:
yang sedang, buah berwarna hijau atau merah
a. Hibrid Djati Runggo dan bentuknya bermacam-nacam. Biji buah (DR) yaitu HIBRIDA, juga DRI,
DR2,
bermacam-macam
dengan
kotiledon
GC7, berwarna ungu muda sampai ungu tua pada
DR38, DRC16, ICS 60,
waktu basah
TSH 858 b. Uppertimazone Hybrida (kakao Lindak yaitu Klon GC7 dan Klon ICS13) (Sumber : Wartoyo Suwadi Pudjogunarto, 2011: 10-13) Terkait dari beberapa jenis buah kakao yang disebutkan di table 1, penelitian ini akan difokuskan pada kulit buah kakao jenis ICS 60, karena tanaman ini yang paling
banyak
ditanam
di
Jumapolo,
kabupaten
Karanganyar. Klon ICS60 merupakan habitus tanaman besar, daya hasil 1.500
12
kg/ha, berat biji kering 1.67 g/biji, yang memiliki ciri warna flush merah kekuningan, bentuk buah panjang meruncing, pangkal daun tumpul, bentuk buah bulat memanjang,
kulit buah kasar, pangkal buah tumpul dengan leher
botol, ujung buah meruncing, alur buah tegas, warna buah muda hijau muda dan saat masak berwarna kuning.
Gambar 1. Buah Kakao ICS 60 (Foto: Dini Kusumaningtyas, 2015)
Gambar 2. Buah Kakao yang Dibuka (Foto: Dini Kusumaningtyas, 2015) Tanaman buah kakao yang dibudidayakan oleh penduduk di kabupaten Karanganyar, merupakan tanaman yang tidak mengenal musim yang dapat berbuah sepanjang tahun. Hasil panennya yang diambil adalah biji kakao yang dapat dijual.
13
b. Kulit Buah Kakao Penelitian kakao,
±
Siti Narsito Wulan menuliskankandungan gizi kulit buah
19%protein;
6,2%
lemak
dan
16%
serat
kasar,
pigmen
karotenoid(memunculkan warna merah hingga jingga), dan tanin. Kristal tanin berwarna putih-kuning sampai coklat muda bila terkena cahaya matahari dan berwarna cokelat tua apabila teroksidasi(2014:23). Kulit buah kakao dapat dijadikan sebagai salah satu pilihan sebagai zat pewarna alami tekstil dengan proses ekstraksi kulit buah kakao dilakukan dengan memotong-motong kulit buah kakao (yang segar) dan direbus dalam air mendidih selama 1 jam. Adapun komposisi pembuatan ekstrak adalah Kulit buah kakao segar
: 4,5 kg
Air
: 36 liter
Bahan kain
: 1,2 kg
Hasil daripewarnaan ekstrak kulit buah kakao pada kain primissima, paris dan sutera dengan fiksator tawas menghasilkan warna coklat muda;fiksator kapur menghasilkan warna coklat kemerahan; sedangkan fiksator tunjung menghasilkan warna coklat kehijauan, masing-masing 3 jenis kain menghasilkan intensitas warna sesuai fiksator yang digunakan (Indah, 2014:33). Hasil evaluasi ketahanan luntur warna pada teknik batik terhadap pencucian dengan menggunakan alat standar skala abu-abu atau Grey scaleterhadap pencucian dapat dilihat pada tabel 2.
14
Tabel2. Hasil Evaluasi Ketahanan Luntur Warna pada Teknik Batik Menggunakan Grey Scale Terhadap Pencucian Jenis Fiksator Merk Kain
Tawas
Kapur
Tunjung
Primissima
hampir cukup
Cukup
Kurang
Paris
Cukup
Cukup
Jelek
Sutera
Cukup
Cukup
Cukup
(Sumber: Indah Permata Ayuningtyas, 2014:68)
3.
Desain Permukaan Menurut Nanang Rizali, dalam bukunya Tinjuan Desain Tekstil
mengatakan desain permukaan adalah penciptaan desain dengan cara memberi hiasan cara memberi motif dan warna diatas permukaan kain yang sudah ditenun. Penampilan rupa dan warnanya menjadi peran utama yang berkaitan dengan daya tarik estetik. Perwujudan dan wujud tekstilnya (2006:38) antara lain meliputi: a.
Ikat (pelangi), yaitu hasil pembuatan ragam hias diatas permukaan kain dengan cara mengikat dengan karet, rapia, serat nanas dan sebagainya.
b.
Imbuh (Novelty), yaitu upaya pembuatan ragam hias ditas permukaan kain dengan cara menambahkan unsur baru seperti:
1) Kida (Beading), yaitu dengan membubuhkan bahan yang berupa manikmanik, mute dan bahan lain yang bisa dijahitkan pada permukaan kain. 2) Dengan cara penggambaran langsung pada kain dengan cat akrilik, cat tekstil khusus, spidol dan lain-lain.
15
3) Jemeki (pailletes), yaitu dengan cara menambahkan atau menjahitkan payet pada kain berupa lempengen, bulat, silindris dan oval yang berkilau. 4) Sulam, yaitu cara menyulamkan benang pada kain dengan tangan atau mesin. 5) Tahit (tambal jahit), renda dan sahit (quilting). 6) Batik upaya pembuatan ragam hias pada permukaan kain dengan cara menutup bagian-bagian yang tidak dikehendaki berwarna dengan lilin/malam panas dengan menggunakan alat canting, kuas, cap, dan lain-lain. 7) Tekstil cetak, upaya pembuatan ragam hias pada permukaan kain melalui percetakan dengan menggunakan kain kasa berkerangka. Dalam prosesnya dapat dikerjakan dengan system manual/tangan, flat, dan rotary. a)
Teknik cetak saring datar (flat screen)
b) Teknik cetak saring tabung (rotary screen) 4.
Serat sutera Sutera adalah serat berbentuk filamen yang diperoleh darisejenis serangga
yang disebut lepidoptera. Serat tersebut dihasilkan oleh larva ulat sutera sewaktu membentuk kepompong, yaitu bentuk ulat sebelum menjadi kupu-kupu. Benang sutera adalah yang terhalus dari bahan-bahan tekstil asli dan yang terkuat jika dibandingkan dengan bahan lain yang sama halusnya, dalam keadaan basah kekuatan susut 15%. Terdiri atas benang filament yang panjangnya300 sampai 1600 meter. Penampangnya berbentuk segitiga dengan sudut-sudut membulat yang menyebabkan kilau pada sutera. Sifat-sifat serat suterahygroscopis, tahan ngengat, licin, dan tidak tahan asam (Ernawati, 2008:164).
16
5.
Cara Penggambaran dalam Ornamen Ornamen menurut Guntur (2004:1-59), merupakan seni hias. Sebagai seni,
ornament merupakan ekspresi keindahan yang diaplikasikan dalam berbagai objek buatan manusia. Perwujudan dalam penggambaran ornament, antara lain: a. Dekoratif Kata dekoratif berasal dari kata sifat decorative yang artinya”yang membuat sesuatu tampak lebih indah”. Sementara dekorasi yang berasal dari kata benda decoration diartikan “sesuatu yang digunakan untuk menghias (mendekor). Karena kata dekoratif mengandung warna indah dan dekorasi mempunyai makna menghias atau mendekor, istilah-istilah itu pada dasarnya bermuara pada makna indah.
Gambar 3. Dekoratif dengan Obyek Tumbuhan Sumber: Guntur (2004:171) Ciri-ciri penggambaran dekoratif: 1) Unsur-unsur yang ada tidak sejenis. 2) Tidak terikat pada pakem-pakem tertentu. 3) Bentuk sederhana. 4) Penekanannya lebih pada isian untuk menghias.
17
b. Naturalis Naturalis merupakan penggambaran motif yang pembentukan atau penyusunannya meniru penampakan fenomena alam. Naturalis dapat dikenali dari penampakan visualnya yang menyerupai benda-benda alam.
Gambar 4. Naturalis dengan Obyek Tumbuhan Sumber: Guntur (2004:39) c. Stilasi Stilasi merupakan cara penggambaran motif yang dalam pembentukan atau penyusunannya didasarkan pada penggayaan elemen dasar yang dirujuk. Stilasi dalam penampakannya berbeda dengan apa yang digambarkannya. Misalnya, tampilan teratai yang menjadi rujukan tidak lagi mudah dikenali seperti teratai, kecuali bagian-bagian signifikan tertentu yang menjadi tengaranya. Lebih jauh lagi, penggayaan itu dapat menjadi sangat jauh dari figur yang direpresentasikan karena dalam peggayaan terdapat kebebasan mengubah bentuk.
18
Gambar 5. Stilasi dengan Obyek Manusia Sumber: Guntur (2004:48) d. Distorsi Distorsi merupakan cara penggambaran motif dengan melakukan perubahan bentuk obyeknya dengan melakukan penyimpangan-penyimpangan yaitu keadaan yang dilebih-lebihkan baik dari sisi ukuran maupun bentuknya pada bagian-bagian tertentu. Terpenting tetap memperhatikan proporsi, keharmonisan, keseimbangan, dan kesatuan. Dharsono Sony dalam bukunya Pengantar Estetika, distorsi adalah penggambaran bentuk yang menekankan pada pencapaian karakter, dengan cara menyangatkan wujud-wujud tertentu pada benda atau objek yang digambar (2004:103).
19
Gambar 6. Distorsi dengan Obyek Hewan Sumber: Guntur (2004:121) e. Abstraksi Abstraksisering disebut dengan gambar non figuratif, artinya bentuk gambar yang lahir bukan dari alam melainkan penyimpangan dari bentuk-bentuk alam. Menurut Dharsono Sony abstraksipenggambaran motif dengan mengadakan perubahan dari bentuk aslinya sehingga bentuk asli obyek dalam penggambaran sudah atau hampir tidak nampak lagi(2004:102).
Gambar 7. Abstraksi dengan Obyek Tumbuhan Sumber: Tiwi Bina (2008:93)
20
C. Fokus Permasalahan 1.
Bagaimana penerapan tiga fiksasi, yaitu tawas, kapur, dan tunjung untuk menghasilkan variasi warna dalam satu kain?
2.
Bagaimana merancang motif batik dengan sumber ide tanaman buah kakao?
3.
Bagaimana proses visualisasi perancangan batik yang bersumber ide tanaman buah kakao dengan pewarnaan kulit buah kakao?