BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kinerja atau performance berasal dari kata to perform
yang berarti
memenuhi satu obligasi dan memenuhi yang dijanjikan atau diharapkan (Swanson, 1999). Kata ini dalam bahasa Indonesia senada dengan unjuk kerja, kinerja, prestasi kerja, hasil karya, karya, pelaksanaan kerja, hasil pelaksanaan kerja. Dalam penelitian ini digunakan istilah kinerja. Setiap anggota atau pekerja organisasi dituntut memenuhi keseluruhan tugas yang diberikan untuk menghasilkan kinerja (performance) dan produktivitas tinggi serta keunggulan kompetitif organisasi. Pada level individu, kinerja juga penting karena akan melahirkan kepuasan dan penghargaan (Sonnentag & Frese, 2002). Menurut Motowidlo (2003), kinerja merupakan keseluruhan nilai yang diharapkan oleh organisasi dari standar perilaku pada periode tertentu. Pengertian ini lebih menekankan pada pemenuhan rincian tugas yang ditetapkan sebagai satu bentuk standar dalam berperilaku. Namun demikian kinerja dan perilaku merupakan hal yang berbeda. Viswesvaran (2001) lebih suka mengartikan kinerja analog dengan sistem linear dari input, proses, dan output. Input mencakup pengetahuan, keterampilan dan kompetensi. Proses meliputi aktivitas dan perilaku yang mentransformasikan input menjadi outcome, sedangkan output merupakan hasil dari perilaku dan aktivitas yang dikeluarkan di dalam proses. Sementara itu, menurut Dessler (2006) kinerja adalah prestasi aktual karyawan berbanding prestasi kerja yang diharapkan dari karyawan. 1
2
Prestasi kerja yang diharapkan adalah prestasi standar yang disusun sebagai acuan sehingga dapat melihat kinerja karyawan sesuai dengan posisinya dibandingkan dengan standar yang dibuat atau dengan membandingkan kinerja karyawan
tersebut
dengan
karyawan
lainnya.
Senada
dengan
itu,
Mangkunegara (2001) mendefinisikan kinerja (prestasi kerja) sebagai hasil kerja secara
kualitas
dan
kuantitas
yang
dicapai
seorang
pegawai
dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”. Kinerja merupakan kombinasi antara kemampuan dan usaha untuk menghasilkan apa yang dikerjakan agar menghasilkan kinerja yang baik. Begitu juga hal dengan pekerjaan dosen. Sebagai pekerja organisasi (Manuel & Asuquo, 2010), dosen dituntut untuk memenuhi tugasnya dan menunjukkan kinerja yang positif. Sebagaimana disitir UNESCO dan Volunteer Services Overseas atau VSO (dalam Amstrong, 2009), hal ini dikarenakan dosen merupakan pemain sentral di organisasi perguruan tinggi dan pihak yang paling bertanggung jawab dalam menciptakan suasana kampus yang ilmiah. Dosen merupakan salah satu komponen esensial dalam suatu sistem pendidikan di perguruan tinggi. Bahkan lebih jauh lagi peran, tugas, dan tanggung jawab dosen sangat
penting
dalam
mewujudkan
tujuan
pendidikan
nasional,
yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yang meliputi kualitas iman/takwa, akhlak mulia, dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta mewujudkan masyarakat Indonesia yang maju, adil, makmur, dan beradab (Dikti, 2010). Kaitannya dengan itu, kinerja dosen dapat diartikan dengan keseluruhan kemampuan dan perilaku untuk memenuhi tugas dan fungsi dosen dalam
3
melaksanakan
fungsi
tridharma
perguruan
tinggi
yaitu
pendidikan
dan
pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Pada dasarnya hal tersebut tidak berbeda dengan apa yang menjadi tugas dosen di belahan negara lain. Tugas pokok dosen ialah menfasilitasi pendidikan dan pengajaran, melakukan aktivitas penelitian, dan menjadi agen pengembangan nilai di tengah-tengah masyarakat
(http://www.prospects.ac.uk/p/types_of_job/higher_education_
lecturer_ job_description.jsp, diunduh pada 15 Juni 2011). Dosen mesti mengajar dengan efektif dan efisien sebagai agen utama transformasi serta melakukan aktivitas penelitian sebagai bagian penting dari universitas. Dosen juga harus menjalankan aktivitas yang disebut dengan keterikatan utuh dengan masyarakat (community engagement) dalam rangka mengidentifikasi dan memecahkan masalah (Molefe, 2010). Ketiga tugas tersebut bukan merupakan hal yang terpisah-pisah. Ketiganya mesti dilihat dalam peran tugas yang sama: pengajar, peneliti, dan intelektual publik yang bertugas sebagai mengembangkan budaya masyarakat (Star, 2004; Hemming & Kay, 2009). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab XI Pasal 39 ayat 2 menyebutkan “Pendidik merupakan tenaga profesional
yang
bertugas
merencanakan
dan
melaksanakan
proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”. Merujuk pada UU tersebut, ada tiga tugas utama (tridharma) yang harus dijalankan oleh perguruan tinggi, yaitu kegiatan pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat.
4
Ketiga tugas ini diturunkan menjadi tugas pokok yang mesti diemban setiap dosen. Selain itu, ada juga kegiatan lain yang harus dijalankan dosen, misalnya memegang jabatan struktural dan menjadi anggota panitia atau kelompok kerja yang menjalankan kegiatan untuk fakultas ataupun universitas. Berdasarkan Petunjuk Teknis
Pelaksanaan
Angka
Kredit
Jabatan
Dosen
Peraturan
Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 36/D/0/2001, bidang kegiatan dosen dalam melaksanakan pendidikan dan pengajaran meliputi: (1) memberi kuliah/tutorial dan menguji (2) menyelenggarakan kegiatan praktek (3) membimbing seminar mahasiswa (4) membimbing praktek kerja nyata (5) membimbing pembuatan skripsi/karya tulis (6) bertugas dalam panitia ujian akhir (7) membina kegiatan kemahasiswaan dan (8) melaksanakan pengembangan program studi/modul. Sementara tugas penelitian mencakup merancang dan melaksanakan penelitian serta mempubilkasikannya dalam bentuk jurnal dan buku. Adapun bidang pengabdian masyarakat terkait dengan keterlibatan dan peran serta dalam pengembangan masyarakat dan kepanitiaan. Keseluruhan tugas dimaksud dinyatakan dalam beban kerja dosen setara dengan 40,5 jam per minggu. Ini berarti, pekerjaan seorang dosen merupakan pekerjaan yang kompleks (Seniati, 2006). Kaitannya dengan itu, ada beberapa masalah lain terkait dengan pelaksanaan tugas dan pemenuhan kinerja dosen ini.
Manuel dan Asuquo
(2010) dalam kasus Nigeria menemukan sikap yang unfavourable dan persepsi yang negatif terhadap pekerjaan dikarenakan persoalan remunerasi dan jaminan pensiun yang dipandang tidak memadai. Persepsi dan penelitian tentang hal ini memperlihatkan juga bahwa kualitas kinerja dan profesonalisme dosen, terutama dalam hal layanan, masih rendah. Hasil akreditasi Badan Akreditasi Nasional
5
(BAN-PT) selama ini juga menunjukkan kondisi program studi di Indonesia yang belum memenuhi harapan. Sebagian besar program studi berperingkat akreditasi B atau C (Dikti, 2003). Meskipun hasil akreditasi program studi bukan hanya problem kualitas dosen, namun data itu mengindikasikan bahwa dosen merupakan salah satu faktor penting dalam penilaian akreditasi. Hal ini didukung laporan pertemuan Menteri-Menteri Pendidikan negara-negara berpenduduk terbanyak pada tahun 2009 yang tergabung dalam negara E-9. Salah satu poin penting dalam Pertemuan Sembilan Menteri-Menteri Pendidikan Berpenduduk Terbesar di Dunia (The Seventh E-9 Ministrial Review Meeting) yang diikuti Cina, India, Indonesia, Brasil, Mesir, Bangladesh, Pakistan, Meksiko, dan Nigeria di Nusa Dua, Bali adalah pentingnya penekanan pada kualitas guru/dosen. Khusus untuk dosen, yang memenuhi kualifikasi S2/S3 baru mencapai 54,02 persen (Prayitno, 2009). Laporan ini seolah memberikan pembenaran terhadap rendahnya kualitas dosen yang ditunjukkan dari rendahnya mutu layanan dosen dalam persepsi mahasiswa, rendahnya kinerja dosen, dan berbagai persoalan lain. Rendahnya mutu dosen setidaknya dapat dilihat dari tiga sudah pandang masalah, yaitu profesionalitas dan kualifikasi dosen, kebiasaan “moonlighting”, dan fokus pekerjaan. Masalah pertama dalam kaitannya dengan kinerja dosen ialah masalah profesionalisme (Guspika, 2008). Asosiasi Dosen Indonesia (2009) melaporkan bahwa sebagian besar dosen Indonesia belum melaksanakan tugas pokoknya dengan baik. Hal ini dikarenakan sebagian dosen masih menjadikan profesi dosen sebagai simbol status yang tidak ditekuni sebagaimana profesinya yang lain. Mereka ada yang menjadi pengusaha, pedagang, atau proyek lain di luar tugasnya sebagai dosen. Hal lain yang mengganggu kualitas dan
6
profesionalisme dosen ialah kualifikasi pendidikan. Prosentase dosen yang belum memenuhi kriteria kualifikasi pendidikan S2/S3 hampir mencapai 45,08%. (ADI, 2009). Artinya, sebagian besar dosen memiliki kualitas yang hampir sama dengan dengan guru sekolah dasar dan sekolah menengah. Masalah kedua ialah kebiasaan ngamen atau moonlighting. Seniati (2006) mencatatkan beberapa problem dosen mulai dari banyaknya dosen yang melakukan kegiatan di luar kampus (moonlighting) demi mencukupi kebutuhan finansial karena gaji sebagai dosen dirasakan kurang memadai, banyak juga dosen yang ditarik sebagai pejabat di berbagai lembaga pemerintahan, hingga kurangnya minat untuk menjadi dosen. Bahkan bukan rahasia lagi jika sebagian dosen menjadi pengusaha, pedagang atau mencari objek lainnya yang berakibat kurangnya waktu persiapan mengajar. Belum lagi jika tugas-tugas lain juga menjadi tupoksi dosen seperti penelitian dan
pengabdian masyarakat
disertakan. Bayangkan jika seorang dosen mengajar lebih dari 20 sks, maka dapat diartikan dosen yang bersangkutan nyaris tidak lagi memiliki kesempatan pengembangan kompetensi akademik dan profesionalnya.
Belum lagi dengan
tugas penelitian dan pengabdian masyarakat. Bukan hal yang aneh, jika para dosen kurang memiliki keterlibatan dengan masyarakat. Sebagai dampak dari bunyi Undang-undang tentang Guru dan Dosen serta peraturan mengenai beban kerja dosen, sebagian dosen lebih memilih menfokuskan diri pada tugas-tugas tertentu dari tupoksinya.
Para dosen begitu sibuk dengan urusan mengajar,
bahkan ada profesor yang mengajar 20 sks per semester (Syahid, Rahma, & Sanjaya, 2009). Padahal dalam menjalankan profesinya, dosen dituntut untuk melayani kepentingan kliennya melebihi kepentingan pribadinya. Hal ini memasukkan nilai altruisme, akuntabilitas, excellence, tugas, pelayanan,
7
kebanggaan, integritas, dan menghargai orang lain. Ini mencakup pelayanan, tujuan, dan kualitas (Coulehan, 2005). Menyikapi hal tersebut, pemerintah dan perguruan
tinggi
pada
dasarnya
telah
berupaya
dalam
meningkatkan
kompetensi dan remunerasi dosen. Sertifikasi dosen telah mulai diberikan sejak tahun anggaran 2010 bagi dosen yang dinyatakan lulus sertifikasi. Khusus bagi para guru besar telah lebih awal menikmati tunjangan profesi dan tunjangan kehormatannya pada tahun 2009. Masalah ketiga adalah masalah fokus pekerjaan. Terdapat perbedaan pemenuhan kinerja sebagaimana yang dituntut dalam muatan beban kerja dan dimensi mana yang mesti diunggulkan dalam pemenuhannya (Phromrak, Hatthakit et.al. 2008; Plotnick, Hiltz et.al. 2010; Sarrico, 2010; Michinov, OlivierChiron, et.al. 2008). Fakta menunjukkan bahwa ada dosen yang lebih memilih salah satu dari tridharma perguruan tinggi yang menjadi tugasnya dan merasa sudah memenuhi kinerja. Padahal pada saat yang sama sang dosen mesti mengikuti aturan-aturan dikarenakan dosen juga merupakan bagian dari pekerja yang terikat dengan administrasi (Star, 2004). Kaitannya dengan itu, penelitian ini dimaksudkan sebagai upaya akademik untuk melihat lebih lanjut mengenai kinerja dosen dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Secara teoretik terdapat dua faktor yang mempengaruhi kinerja individu dalam organisasi, yaitu faktor personal (Motowidlo, Borman, & Schmit, 1997; Schmitt, et.al., 2003) dan situasi/lingkungan (Tett & Burnet, 2003). Faktor personal mencakup kemampuan mental umum, kepribadian, kapabilitas individual, dan keterampilan. Faktor situasi meliputi dukungan dan situasi
8
lingkungan dan organisasi yang dipersepsi oleh individu yang dipandang sebagai fasilitator bagi pencapaian kinerja yang efektif (Sonnentag & Frese, 2002). Senada dengan itu, salah satu model teoretik yang tengah berkembang ialah Job Demand-Resources Model (JD-R model). Menurut model ini, semua pekerjaan terdiri dari demands dan resources yang mempengaruhi hasil melalui penurunan energi dan proses motivasional (Demerouti, Bakker, Nachreiner, & Schaufeli, 2001). Job demand merujuk kepada aspek-aspek dari pekerjaan yang memerlukan usaha fisik dan psikologis dan berkaitan dengan tekanan fisik dan psikologis. Job Demand terkait dengan aspek fisik, psikologis, dan sosal dari pekerjaaan yang memerlukan usaha, keterampilan, dan perhatian terus menerus baik secara fisik maupun secara psikologis yang dikaitkan dengan biaya fisiologis dan psikologis. Termasuk dalam hal ini adalah tekanan pekerjaan, lingkungan fisik yang tidak mendukung dan jam kerja yang tidak teratur (Demerouti & Bakker, 2011). Di sisi lain, job resources merujuk pada aspek fisik, psikologis, sosial, atau organisasional dari pekerjaan yang menfungsikan pencapaian tujuan, mengurangi job demand, dan merangsang pertumbuhan personal, pembelajaran, dan perkembangannya (Demerouti & Bakker, 2011). Job resources sebagai bagian dari proses motivasional yang dikaitkan dengan totalitas kerja yang pada akhirnya akan menghasilkan outcomes positif, seperti komitmen kerja, kesejahteraan, dan kinerja (Schaufeli & Bakker, 2004). Job resources dapat dilihat dalam konteks makro pada level organisasi (misal gaji, kesempatan karir, dan ketidakpastiaan kerja) atau pada hubungan interpersonal (misalnya supervisor dan dukungan teman kerja serta iklim kelompok) serta pada posisi kerja khusus (misal kejelasan peran, pastipasi dalam pengambilan keputusan)
9
dan pada level tugas (misal keragaman keterampilan, identitas tugas, signifikansi tugas, otonomi, dan umpan balik kinerja) (Demerouti & Bakker, 2011). Sebagai tambahan job demand dan job resources berinteraksi sebagai faktor pekerjaan dan organisasi dalam memprediksi kinerja dan outcome organisasi. Hal ini dihasilkan baik melalui penelitian yang bersifat self report maupun dari data yang objektif (Demerouti et al., 2001). Lebih lanjut JD-R model juga mempredikasi pengalaman burnout dan totalitas kerja (Demerouti, et.al., 2001; Schaufeli & Bakker, 2004). Selain itu, salah satu isu penting dari JD-R model adalah masuknya faktor personal. Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, dan Schaufeli (2007) menguji tiga faktor personal (self efficacy, organizational based self-esteem, dan optimisme) dalam memprediksi kehilangan daya/semangat dan totalitas kerja. Hasilnya memperlihatkan bahwa job resources berkaitan dengan personal resources dalam mempengaruhi totalitas kerja. Sebuah studi longitudinal dari Xanthopoulou et. al. (2009) bahkan menunjukkan bahwa ada hubungan yang bersifat resiprokal antara sumber daya personal dengan job resouces dan totalitas kerja.
Pendek
kata, dalam model JD-R, job demand dan job resources merupakan faktor-faktor situasi yang terdapat organisasi dan pekerjaan, sedangkan sumber daya personal merupakan faktor personal yang keduanya mempengaruhi totalitas kerja dan kinerja. Kaitannya dengan itu, penelitian ini lebih memfokuskan pada faktor personal dengan menggunakan perspektif teoretik dalam lingkungan psikologi positif dalam teori JD-R. Pilihan terhadap pendekatan ini didorong oleh tiga sebab. Pertama, gagasan utama dalam kajian mengenai kinerja adalah pertanyaan mengenai individu yang bagaimana yang dapat menghasilkan kinerja
10
positif. Gagasan utamanya adalah bahwa perbedaan kinerja lebih mungkin dijelaskan dengan memahami perbedaan individual di dalam kemampuan, kepribadian, kompetensi, kapabilitas mental, dan motivasi (Sonnentag & Frese, 2002). Perspektif ini merupakan pendekatan yang menjelaskan mengapa seseorang dapat berhasil dalam suatu peristiwa atau dalam menjalankan suatu program. Melalui pendekatan ini penyebab apa yang menjadi penentu bagi kinerja dapat dijelaskan dengan memahami penilaian individu terhadap proses kerjanya (Stucky, 2003). Kedua, kinerja tugas dan karakteristik fungsionalnya lebih mungkin dipengaruhi oleh perbedaan individual (Motowidlo, Borman, & Schmit, 1997; Morgan, 1986). Ketiga dalam perspektif positif diyakini bahwa kinerja sangatlah dipengaruhi oleh kapabilitas individual yang dibangun berdasarkan atribusi positif individu. Atribusi yang positif terhadap diri individu akan mempengaruhi hasil yang positif bagi kinerjanya. Fokus penelitian psikologi positif sendiri ialah pengalaman subyektif positif, sifat-sifat individu yang positif, dan lembaga yang positif (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000). Pada tingkat kelompok dan organisasi, kelompok dan institusi positif dapat mengembangkan dan menampilkan hubungan dan ciri-ciri yang positif yang berangkat dari pengalaman individu. Individu juga akan menampilkan sisi terbaiknya ketika keseluruhan lembaga, relasi, ciri-ciri dan pengalaman selaras satu sama lain dan menampilkannya di keseluruhan area yang ada (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000). Di dasari oleh model JD-R sebagai bagian psikologi positif, maka penelitian ini lebih menekankan keterkaitan faktor personal dalam mempengaruhi kinerja dalam proses motivasional. Proses motivasional ini memperkuat hubungan antara sumber daya dengan kinerja yang diantarai oleh totalitas kerja
11
(Bakker & Demerouti, 2007). Totalitas kerja didefinisikan sebagai keadaan positif dan penyelesaian pekerjaan yang dicirikan oleh semangat, dedikasi, dan keterlarutan (Bakker, Schaufeli, Leiter, & Taris, 2008). Totalitas kerja ini dipengaruhi oleh sumber daya kerja dan personal. Sumber daya kerja berasal dari tugas-tugas yang diasosiasikan dengan otonomi, hubungan interpersonal, dan struktur organisasi. Sedangkan sumber daya personal ialah karakteristik individu yang dikaitkan dengan resiliensi, termasuk di dalamnya penilaian positif mengenai kemampuan seseorang dalam mengendalikan dan mempengaruhi lingkungan mereka secara positif dalam situasi yang menekan (Bakker & Demerouti, 2007). Pekerja akan berkinerja lebih baik jika mereka total (engaged) dalam pekerjaannya. Schaufeli, Taris, dan Bakker (2006) melaporkan bahwa totalitas kerja berhubungan dengan in-role performance. Chung dan Angeline (2010) memberikan dukungan bahwa jika pekerja total dalam pekerjaannya maka kinerja mereka juga akan meningkat dengan baik. Sementara itu, totalitas kerja dalam model JD-R ini dipengaruhi oleh sumber daya kerja dan sumber daya personal yang erat kaitannya dengan kapasitas psikologis dan atribut profesional seseorang (Xanthopoulou, et.al., 2009). Kapasitas psikologis yang dimaksud termasuk harapan, optimisme, daya lenting, dan efikasi diri (Luthans & Avolio, 2003; Youssef & Luthans, 2007). Luthans, et.al. (2005) mendefinisikan modal psikologis ini sebagai situasi psikologis yang positif dari perkembangan yang dicirikan oleh pandangan mengenai kemampuan diri dalam menangani tugas-tugas dan tantangan, atribusi positif, keyakinan pada tujuan dan harapan, dan daya lenting (resiliensi) dalam mencapai kesuksesan. Berdasarkan itu, modal psikologis ini terdiri dari konstruk psikologis optimisme, harapan, resiliensi, dan efikasi diri. Optimisme ini diartikan
12
sebagai konstruk yang menjadi dasar tujuan yang terjadi ketika outcome dipandang sebagai sesuatu yang bernilai. Harapan didefinisikan sebagai kapabilitas untuk mengambil jalan yang relevan dengan tujuan dan motivasi diri melalui proses berpikir yang teguh untuk menggunakan jalan untuk keberhasilan. Resiliensi dalam positif psikologi dipandang sebagai kemampuan untuk bangkit kembali dari situasi kemalangan, tidak menentu, konlifk, kegagalan, atau perubahan peristiwa yang justru menambah tanggung jawab untuk lebih maju dan lebih baik. (Luthans, 2002).
Efikasi diri dipahami sebagai pandangan
terhadap kemampuan diri untuk menyelesaikan satu tugas dan persoalan. Luthans, et.al. (2005) menemukan bahwa modal psikologi berhubungan dengan kinerja. Hasil penelitian ini kemudian dibuktikan kembali dengan fakta baru melalui penelitian terhadap keunggulan kompetitif pekerja China. Luthans, et.al. (2007) memperlihatkan bahwa modal psikologis pekerja China berhubungan dengan kinerja mereka. Karakter kuat yang terdapat dalam modal psikologis juga membantu seseorang untuk memiliki dan menampilkan profesionalitasnya yang pada akhirnya menghasilkan kinerja yang positif (Shearon, 2007), baik efikasi (Stajkovic & Luthans, 1998a, 1998b), harapan (Onwuegbuzie & Snyder, 2000), daya lenting (Luthans, et.al., 2005), maupun optimisme (Luthans, et.al., 2005) Kaitannya
dengan
profesionalisme,
kinerja
ditunjukkan
melalui
kompetensi (Rethans, et.al., 2002; Widyatmini & Hakim, t.t.; Kim & Hong, 2005) yang berakar dari nilai-nilai dan makna kerja (Arnold, 2002). Dosen sebagai pengajar merupakan tugas yang melibatkan banyak orang yang menuntut kompetensi profesional kuat (Vathanophas & Thai-ngam, 2007). Agar kinerja dosen mencapai tujuan diperlukan keterampilan komunikasi yang justru menjadi
13
jantung bagi pelaksanaan tugas pokok, karena kinerja dosen sangat tergantung pada pelayanan mahasiswa dan masyarakat yang menjadi kliennya (Polk, 2006). Dosen menjadi patokan perilaku yang ditiru, sehingga diperlukan kematangan dan sikap menghargai yang positif. Kematangan dan sikap menghargai merupakan bagian penting dalam mencapai kinerja yang optimal (Nadeem, 2010). Dalam penelitian ini yang dimaksudkan dengan profesionalitas dosen ialah nilai dan sikap positif yang diperlihatkan seseorang dalam menjalankan profesinya. Profesionalitas dosen menentukan kualitas pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi sebagaimana yang ditunjukkan dalam kegiatan profesional dosen. Untuk menjamin pelaksanaan tugas dosen berjalan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam peraturan perundang undangan maka perlu dievaluasi setiap periode waktu yang ditentukan. (Dikti, 2010). B. Rumusan Masalah Berdasarkan paparan di atas, penelitian ini berusaha untuk mencari jawaban atas pertanyaan : apakah ada pengaruh faktor personal yang mencakup kompetensi profesional dan modal psikologis, variabel moderator totalitas kerja
terhadap kinerja dosen? Selain itu, mengikuti logika proses
motivasional dalam teori JD-R, apakah faktor-faktor organisasi dapat menjadi moderator bagi faktor personal dalam mempengaruhi kinerja? Secara operasional permasalahan penelitian ialah : 1. Apakah faktor-faktor personal yang meliputi variabel modal psikologis dan profesional dapat menjadi prediktor bagi kinerja dosen, baik secara langsung atau melalui totalitas kerja sebagai variabel moderator?
14
2. Apakah faktor organisasi perguruan tinggi dapat menjadi moderator bagi faktor-faktor personal dalam mempengaruhi kinerja dosen? C. Tujuan dan Manfaat Penelitan Tujuan penelitian ini ialah : 1. Untuk mengetahui apakah kinerja dosen dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor personal yang meliputi variabel modal psikologis dan profesionalitas baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui variabel moderator totalitas kerja. 2.
Untuk menggali keterkaitan antara faktor personal dan faktor situasi di dalam organisasi yang berbeda-beda dalam memprediksi kinerja. Berkaitan dengan itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan : (1)
manfaat praktis berupa hasil penelitian yang dapat dijadikan sebagai landasan bagi pengambil kebijakan dan praktisi pendidikan dalam mengembangkan kinerja dosen melalui penggalian dan peningkatan kapasitas positif pada individu dosen; (2) manfaat teoretis berupa sumbangan bagi pengembangan teori tentang modal psikologis, profesionalitas, dan totalitas kerja dalam kaitannya dengan kinerja dosen dan umumnya dalam lingkup kajian psikologi positif di lingkungan kerja dan organisasi. D. Keaslian Penelitian tentang kinerja dosen telah banyak dilakukan. Untuk bisa disebutkan, Judge dan Bono (2001) menemukan terdapat hubungan antara ciriciri self evaluasi yang mencakup self esteem, self efikasi, locus of control, dan stabilitas emosional dengan kepuasan kerja dan kinerja. Kin-Shing dan Choi-
15
Man (t.t.) meneliti tentang hubungan persona-lingkungan dan kinerja mengajar dosen di Hongkong. Ahsan, et.al. (2009) menemukan korelasi positif antara beban kerja, relasi dengan yang lain, ambiguitas peran, dan tuntutan untuk kinerja. Eren (2009) menyebutkan bahwa efikasi dan pencapaian tujuan berhubungan dengan konsepsi mengenai pengajaran. Beltman (2009) meneliti motivasi pendidik dalam melanjutkan karir profesionalnya yang melibatkan penggalian kemampuan pribadi dan faktor kontekstual. Sementara itu, Hemmings dan Kay (2009) menemukan bahwa terdapat dalam hal efikasi dosen pada kemampuan mengajar,
perbedaan gender
meneliti, dan publikasi
hasil penelitian. Dalam konteks Indonesia, penelitian mengenai ini umumnya dilakukan sebagai bagian dari peningkatan mutu pendidikan di Perguruan Tinggi. Sudiro (t.t.) dalam penelitian mengenai prestasi kerja dan karir Dosen dan menemukan bahwa komitmen kerja, kepusaan kerja, dan karir dosen berhubungan prestasi kerja. Lisnayetty dan Mubasyir (2006) menemukan bahwa meskipun 70% dosen Poltekkes Padang menunjukkan kinerja yang baik, tetapi beban kerja yang tinggi menjadi sebab rendahnya kinerja. Dosen yang mempunyai pangkat, golongan, masa kerja, dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memperlihatkan kinerja yang lebih baik. Susan (2005) menemukan bahwa kualitas jasa layanan akademik yang dirasakan mahasiswa akan berpengaruh terhadap nilai jasa perguruan tinggi melalui tingkat kepercayaan mahasiswa. Senada dengan itu., Sarjono (2007) menemukan bahwa terdapat hubungan antara kualitas pelayanan dosen dengan kepuasan mahasiswa.
16
Sementara itu, sinyalemen bahwa kinerja dosen yang rendah ditunjukkan oleh sedikitnya dosen yang memiliki kualifikasi S3, kerja sambilan, dan iklim manajemen akademik di lingkungan perguruan tinggi dapat dilihat dari sejumlah hasil penelitian di atas. Seniati (2006) mengungkapkan pada dasarnya komitmen dosen masih banyak yang positif. Di samping itu, Anhar (2008) meneliti hubungan tingkat motivasi dari Maslow dengan produktivitas kerja akademik dosen.
Dalam penelitiannya, Anhar menunjukkan hubungan kebutuhan
fisiologis, penghargaan, kebutuhan sosial, aktualisasi diri dan keamanan dengan produktivitas kerja akademik dosen di Kalimantan. Hasil ini mengindikasikan bahwa ada hubungannya dengan persoalan upah yang tampaknya dijawab pemerintah melalui program sertifikasi. Kemungkinan lain adalah soal pemahaman soal profesi. Guspika (2007) meneliti profesionalisme dosen PNS. Dari penelitian perilaku profesional dosen PNS di PTN BHMN, PTN Non BHMN dan PTS. Dalam penelitian ini Guspika menunjukkan bahwa dosen PNS di Indonesia masih berorientasi kepada kemapanan status dan kejelasan karier, serta menggantungkan diri kepada program studi, jurusan. atau fakultas sebagai organisasi yang bertanggung jawab atas perkembangan kariernya. Selain itu, tuntutan peningkatan profesionalitas dosen ditanggapi sebaliknya, yaitu bahwa yang terlebih dulu harus ditingkatkan adalah aspek organisasi PT. Perilaku profesional yang telah didemonstrasikan lebih dipengaruhi oleh minat dan tanggung jawab moral yang tercermin dari tingginya komitmen pekerjaan, dan secara signifikan berpengaruh terhadap perilaku profesional.
17
Penelitian lain terkait kinerja dosen yang banyak ditemukan ialah soal pengukuran kinerja. Terkait dengan pengukuran kinerja dosen, Genoveva dan Elisabeth (2004) mencoba menyusun model pengukuran kinerja yang relevan dengan tri dharma perguruan tinggi. Menurut keduanya penilaian yang terbuka akan menimbulkan motivasi dari dosen untuk mencapai kinerja yang diinginkan. Penelitian selanjutnya dilakukan Asmaul, et.al. (2008) dari Universitas Brawijaya dengan subjek dosen Jurusan Teknologi Industri Pertanian FTP Universitas Brawijaya, Malang. Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap. Tahapan pertama, penilaian terhadap kegiatan Pendidikan dan Pengajaran dengan melibatkan mahasiswa dan rekan sejawat. Tahapan kedua, penilaian Penelitian dan Publikasi. Tahapan ketiga, penilaian Pengabdian Kepada. Masyarakat. Lebih jauh lagi, Suartika, Suwignjo, dan Syairuddin (2007) mencoba mengukur kinerja Perguruan Tinggi dengan metode IPM. Yang mengidentifikasi
38 indikator
kinerja kunci (KPI) yang dikelompokkan dalam 9 kriteria, yaitu kurikulum, mahasiswa, finansial, SDM, administrasi akademik, proses pembelajaran, evaluasi dan pengendalian, dan external party. Sepanjang pengetahuan peneliti belum ada penelitian yang berusaha menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kinerja
dosen
dengan
melibatkan variabel profesionalitas, modal psikologis, dan totalitas kerja merupakan prediktor yang baik terhadap kinerja dosen. Secara umum penelitian mengenai kinerja dosen lebih banyak dikaitkan dengan
faktor upah dan
kepuasan kerja. Penelitian ini berbeda dengan penelitian mengenai kinerja dosen sebelumnya pada pendekatan yang digunakan, keluasan unit analisis, indikator dan instrumennya, serta teknik analisis yang digunakan.