BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan sangat ditentukan partisipasi dan kerjasama yang baik, antara pihak pemerintah, pengusaha (swasta) dan masyarakat. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi, tetapi seringkali dihadapkan pada masalah dana, baik untuk kebutuhan konsumtif maupun kebutuhan produktif. Kebutuhan konsumtif, misalnya anak sakit, uang sekolah, biaya kematian. Kebutuhan produktif, misalnya membeli pupuk/bibit (untuk petani), modal usaha atau memanfaatkan kesempatan usaha (untuk pedagang), beli bahan baku (untuk industri), dan masih banyak lagi.1 Kegiatan pinjam-meminjam berupa uang telah lama beredar dan dikenal oleh masyarakat Indonesia. Pada zaman dahulu, jika memerlukan pinjaman uang kebanyakan masyarakat mendatangi lintah darat atau yang biasa dikenal dengan rentenir dengan memberikan harta benda yang mereka miliki sebagai jaminan, serta membayar bunga yang sangat tinggi (melampaui batas kewajaran). Sehingga tujuan mereka yang semula untuk mengatasi masalah keuangan yang sedang dihadapi akhirnya justru menimbulkan masalah yang baru, sebab disamping harus membayar uang pokok pinjaman, mereka juga harus membayar bunga uang pinjaman tersebut.2
1
Iin Endang Mardiani, Analisis Faktor Penentu Perkembangan Pegadaian di Jawa Tengah, Tesis Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta:1994, hal. 34 2 Esther Million, Tugas dan Fungsi Pegadaian Sebagai Lembaga Pembiayaan Dalam Pemberian Kredit Dengan Sistem Gadai, Tesis, PPS USU, Medan, 2004, hal. 1
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah memberikan solusi dengan membentuk lembaga yang dapat memberikan pinjaman kepada masyarakat dengan bunga yang sepantasnya seperti misalnya lembaga keuangan perbankan yang sudah banyak meorientasikan bidang/kegiatan usahanya dibidang perkreditan. Tetapi ruang lingkup perkreditan pada bank ini kebanyakan hanya dinikmati oleh masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas. Hal ini tidak terlepas dari tujuan lembaga keuangan perbankan yang dalam memberikan kredit tersebut tentunya menginginkan adanya keuntungan. Keuntungan ini diperoleh pihak bank melalui penerapan suku bunga yang relatif tinggi, yang tentunya hanya mampu dipenuhi oleh masyarakat ekonomi menengah keatas.3 Di samping itu, untuk melakukan pinjaman melalui lembaga keuangan perbankan ada kalanya melalui sistem birokrasi yang panjang dan rumit serta harus melakukan koordinasi dengan berbagai instansi lainnya, seperti Notaris, PPAT, Kantor Badan Pertanahan, dan berbagai instansi lainnya.4 Untuk menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi, segala potensi, inisiatif dan kreasi masyarakat dikerahkan dan dikembangkan menjadi suatu kekuatan riil bagi peningkatan kemakmuran rakyat, pembinaan dan pengawasan perbankan serta landasan gerak perbankan didasarkan kepada ketentuan Undang-Undang perbankan yang selalu dikembangkan dan disempurnakan dari mulai Undang-Undang Nomor 14 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan, kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 yang disempurnakan lagi menjadi Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan yang sampai sekarang masih berlaku. Dalam undang3
Ibid. Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia ,PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 44. 4
Universitas Sumatera Utara
undang tersebut belum diatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah, kemudian dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah yang mengatur secara khusus mengenai perbankan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 1 angka 12 UUPS yang berbunyi sebagai berikut: “Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.”5 Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, maka Bank Indonesia tetap sebagai pemegang otoritas perbankan dengan mengeluarkan beberapa ketentuan berkaitan dengan perbankan syariah, ketentuan itu antara lain: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tertanggal 14 Oktober 2004 Tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Berdasarkan Prinsip Syariah. 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/1/PBI/2002 tanggal 27 Maret 2002 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan kantor Bank berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional. Sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
perkembangan
lembaga perbankan syariah cukup pesat. Demikian pula lembaga keuangan lain, juga sudah membuka unit syariah, seperti berbagai maskapai asuransi syariah, 5
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Universitas Sumatera Utara
penggadaian
syariah,
reksadana
syariah,
serta
berbagai
perusahaan
besar
mengeluarkan obligasi syariah guna mencari dana bagi usaha mereka.6 Lembaga keuangan syariah sebagai bagian dari sistem ekonomi syariah, dalam menjalankan bisnis dan usahanya juga tidak terlepas dari saringan syariah. Oleh karena itu, lembaga keuangan syariah tidak akan mungkin membiayai usahausaha yang di dalamnya terkandung hal-hal yang bertentangan prinsip-prinsip syariah, proyek yang menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat luas, berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila, perjudian, peredaran narkoba, senjata ilegal serta proyek-proyek yang dapat merugikan syiar Islam. Untuk itu dalam struktur organisasi lembaga keuangan syariah harus terdapat Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas
mengawasi
produk
dan
operasional
lembaga
tersebut.
Dalam
operasionalnya, lembaga keuangan syariah berada dalam koridor-koridor prinsip:7 a.
Keadilan, yakni berbagi keuntungan atas dasar penjualan riil sesuai konstribusi dan risiko masing-masing pihak;
b.
Kemitraan, yang berarti posisi nasabah investor (penyimpan dana), dan pengguna dana, serta lembaga keuangan itu sendiri, sejajar sebagai mitra usaha yang saling bersinergi untuk memperoleh keuntungan;
c.
Transparansi, lembaga keuangan syariah akan memberikan laporan keuangan secara terbuka dan berkesinambungan agar nasabah investor dapat mengetahui kondisi dananya;
6 7
Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 58 Ibid, hal. 58
Universitas Sumatera Utara
d.
Universal, yang artinya tidak membedakan suku, agama, ras, dan golongan dalam masyarakat sesuai prinsip islam sebagai rahmatan lil alamin. Gadai yang ada saat ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal
yang dipandang memberatkan dan mengarahkan kepada suatu persoalan riba‟ yang dilarang oleh hukum syara’. Menurut A.A. Basyir,8 riba’ terjadi apabila dalam akad gadai ditemukan bahwa peminjam harus memberi tambahan sejumlah uang atau persentase tertentu dari pokok utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain yang telah ditentukan penerima gadai. Hal ini lebih sering disebut juga dengan „bunga gadai‟, yang pembayarannya dilakukan setiap 15 hari sekali. Sebab apabila pembayarannya terlambat sehari saja, maka nasabah harus membayar 2 kali lipat dari kewajibannya, karena perhitungannya sehari sama dengan 15 hari. Hal ini jelas merugikan pihak nasabah, karena ia harus menambahkan sejumlah uang tertentu untuk melunasi hutangnya. Padahal biasanya orang yang menggadaikan barang itu untuk kebutuhan konsumtif. Namun, apabila dilihat dari segi komersiil pihak Pegadaian dirugikan, misalnya karena inflasi, atau pelunasan yang tidak tepat waktu, sementara barang jaminan tidak laku dijual.9 Karena itu aktivitas akad gadai dalam Islam, tidak dibenarkan adanya praktik pemungutan bunga karena dilarang syara’, dan pihak yang terbebani merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus susah payah mengembalikan hutangnya, penggadai juga masih berkewajiban untuk membayar bunganya.
8
A.A. Basyir, Hukum Islam tentang Riba; Utang-Piutang Gadai, Al-Maarif, Bandung , 1983,
9
Ibid, hal. 4.
hal. 55.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Muhammad Akram Khan, bahwa pinjaman itu sebagai bagian dari faktor produksi dan memiliki potensi untuk berkembang dan menciptakan nilai, serta juga menciptakan adanya kerugian. Oleh karena itu, apabila menuntut adanya pengembalian yang pasti sebagai balasan uang (sebagai modal), maka yang demikian itu dapat dianggap bunga dan itu sama dengan riba’.10 Mengenai riba’ itu, para ulama telah berbeda pendapat. Walaupun demikian, Afzalurrahman dalam Muhammad dan Solikhul Hadi, memberikan pedoman bahwa yang dikatakan riba’ (bunga), di dalamnya terdapat 3 (tiga) unsur berikut: 11 a.
Kelebihan dari pokok pinjaman;
b.
Kelebihan pembayaran itu sebagai imbalan tempo pembayaran; dan
c.
Sejumlah tambahan itu disyaratkan dalam transaksi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Keputusan Fatwa Nomor 1 Tahun
2004 tentang Bunga (Interest/Fa’idah) berpendapat:12 1. Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase. 2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah. 3. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya.
10
Muhmmad Akram Khan, Economic Teaching of Prophet Muhammad: A Select Anthology of Hadith Literature on Economics, Alih Bahasa Team Bank Muamalat, Jakarta: 1996, hal. 180. 11 Muhammad dan Solikhul Hadi, Pegadaian Syariah, Salemba Diniyah, Jakarta, 2003, hal. 64. 12 Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Bunga (Interest/Fa’idah).
Universitas Sumatera Utara
4. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik di lakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu. 5. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan syari‟ah dan mudah di jangkau, tidak diperbolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga. 6. Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan syari‟ah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip darurat/hajat. Gadai syariah tidak menganut sistem bunga, namun menggunakan biaya jasa (ijarah) sebagai penerimaan dan labanya, yang dengan pengenaan biaya jasa itu, dapat menutupi biaya yang dikeluarkan dalam operasionalnya. Oleh karena itu, untuk menghindari adanya unsur riba’ (bunga) dalam gadai syariah dalam usahanya pembentukan laba, maka gadai syariah menggunakan mekanisme yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, seperti melalui akad qardhul hasan dan akad ijarah. Menurut pendapat Muhammad Akram Khan, bahwa keberadaan gadai syariah tidak hanya digunakan untuk fungsi komersiil (untuk mendapatkan keuntungan) saja, tetapi juga digunakan untuk fungsi sosial juga.13 Imbalan jasa yang masih digunakan oleh gadai yang dikenal dengan „bunga gadai‟, sangat memberatkan dan merugikan pihak penggadai. Hadirnya pegadaian sebuah lembaga keuangan formal di Indonesia, yang bertugas menyalurkan pembiayaan dengan bentuk pemberian uang pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan berdasarkan hukum gadai merupakan suatu hal yang perlu disambut positif. Hadirnya lembaga tersebut diharapkan dapat membantu masyarakat agar tidak terjerat dalam praktik-praktik lintah darat, ijon dan/atau pelepas uang lainnya. 13
Muhammad Akram Khan, Op. Cit. hal 179-184.
Universitas Sumatera Utara
Lembaga pegadaian di Indonesia dewasa ini ternyata dalam prakteknya belum dapat terlepas dari berbagai persoalan. Maka diharapkan pegadaian yang selama ini sudah berlaku di tengah-tengah masyarakat dapat berjalan sesuai tujuan pokoknya, serta benar-benar akan dapat berfungsi sebagai lembaga keuangan non-Bank yang dapat memberikan Kemaslahatan sesuai yang diharapkan masyarakat. Gadai syariah (rahn) merupakan salah satu alternatif pembiayaan dengan bentuk pemberian uang pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan berdasarkan pada prinsip syariat islam dan terhindar dari praktek riba atau penambahan sejumlah uang atau persentase tertentu dari pokok utang pada waktu membayar utang. Rahn adalah Menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada Bank dalam memberikan pembiayaan. Secara sederhana rahn adalah jaminan hutang atau gadai. Biasanya akad yang digunakan adalah akad qardh wal ijarah, yaitu akad pemberian jaminan dari bank untuk nasabah yang disertai dengan penyerahan tugas agar Bank menjaga barang jaminan yang diserahkan.14 Dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 283 dijelaskan bahwa gadai pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk dari konsep muamalah, dimana sikap menolong dan sikap amanah sangat ditonjolkan. Begitu juga dalam hadist Rasulullah SAW. dari Ummul Mu‟minin „Aisyah ra. yang diriwayatkan Abu Hurairah, di sana
14
H. Muhammad Nadratuzzaman Hosen, Sunarwin Kartika Setiati, Tuntunan Praktis Menggunakan Jasa Perbankan Syariah, Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah, Jakarta, 2007. hal. 109.
Universitas Sumatera Utara
nampak sikap menolong antara Rasulullah SAW. dengan orang Yahudi saat Rasulullah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi tersebut. Maka pada dasarnya, hakikat dan fungsi pegadaian dalam Islam adalah semata-mata untuk memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan dengan bentuk marhun sebagai jaminan, dan bukan untuk kepentingan komersiil dengan mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kemampuan orang lain.15 Sebelum Perum Pegadaian membuka unit gadai syariah, pelayanan jasa serupa telah dimulai oleh Bank Syariah Mandiri (untuk selanjutnya disebut BSM) dengan meluncurkan sebuah produk gadai syariah yang disebut gadai emas BSM, pada tanggal 1 november 2001 atau bertepatan dengan ulang tahun kedua BSM. dalam pelaksanaan gadai syariah ini, BSM menerapkan konsep transaksi (akad), yaitu gadai sebagai prinsip dan akad sebagai tambahan terhadap produk lain, seperti dalam pembiayaan bai' al-murabahah, yaitu (a) bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi dari akad yang dilakukannya. Namun bank tidak menahan jaminan secara fisik, kecuali surat-suratnya saja (secara fiducia); (b) gadai sebagai produk, yaitu bank dapat menerima dan menahan barang jaminan untuk pinjaman yang diberikan dalam jangka waktu pendek.16 Gadai emas BSM ketika itu, masih menerapkan fee terhadap jumlah pinjaman yang diberikan sebesar 4%, yang dialokasikan sebagai pendapatan yang dibagikan kepada para deposan dan biaya administrasi bank, yang di dalamnya juga termasuk asuransi. Pelaksanaan gadai dimaksud, mendapat reaksi dari Dewan Syariah Nasional 15
Muhammad dan Solikhul Hadi, Op. Cit, hal 63. Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan, Jakarta: Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 2001, hal. 217-218. 16
Universitas Sumatera Utara
(DSN) yang menganggapnya tidak lebih sebagai praktik bisnis ribawi dan menyalahi prinsip dan nilai hukum islam, yang membungakan pinjaman. Oleh karena itu, mulai bulan Juli 2002, BSM tidak lagi menerapkan praktik gadai konvensional dan menggantinya dengan skim pembebanan biaya pada penyimpanan barang gadai (deposit box) yang ditentukan oleh besar dan kecilnya terhadap risiko barang gadai (marhun), bukan pada besarnya pinjaman.17 Gadai Emas BSM merupakan produk pembiayaan atas dasar jaminan berupa emas dalam bentuk emas perhiasan sebagai salah satu alternatif memperoleh uang tunai dengan cepat, aman dan mudah. Cepat dari pihak nasabah dalam mendapatkan dana pinjaman tanpa prosedur yang panjang di bandingkan dengan produk pembiayaan lainnya. Aman dari pihak bank, karena bank memiliki barang jaminan yaitu emas yang bernilai tinggi dan relatif stabil bahkan nilainya cenderung bertambah. Mudah berarti pihak nasabah dapat kembali memiliki emas yang digadaikannya dengan mengembalikan sejumlah uang pinjaman dari bank, sedangkan mudah dari pihak bank yaitu ketika nasabah tidak mampu mengembalikan pinjamannya (utang) maka bank dengan mudah dapat menjualnya dengan harga yang bersaing karena nilai emas yang stabil bahkan bertambah. Dalam perjanjian gadai emas BSM, pihak Bank menggunakan 2 (dua) sistem akad dalam pelaksanaan gadai (rahn), yaitu akad qardh dan akad ijarah (sewa). Akad qardh dibuat oleh pihak Bank dengan pihak nasabah dalam hal transaksi gadai emas, sedangkan akad ijarah (sewa) dilakukan dalam hal penyewaan tempat untuk menyimpan barang (emas) yang digadaikan pada tempat penyimpanan barang 17
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
(deposit box). Pelaksanaan akad ijarah tersebut membebankan pihak nasabah untuk memberikan imbalan jasa atau kompensasi kepada pihak Bank atas penyewaan tempat. Dewan Syariah Nasional dalam Fatwa No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn emas, menyebutkan bahwa biaya atau ongkos yang ditanggung oleh penggadai besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan. Artinya, penggadai harus mengetahui besar rincian dan pengeluaran apa saja yang dikeluarkan oleh bank untuk melaksanakan akad gadai, seperti biaya materai, jasa penaksiran, formulir akad, foto copy, print out, dan lain-lain. Hal tersebut di atas yang juga menyebabkan biaya administrasi harus dibayar di depan.18 Intinya adalah pihak bank tidak diperbolehkan untuk mengambil keuntungan dari akad gadai syariah. Karena pada dasarnya akad gadai adalah transaksi pinjammeminjam (qardh) yang bersifat tabarru’ yang berarti kebaikan atau tolong menolong. Sehingga tidak diperkenankan untuk mengambil keuntungan atau manfaat dari kegiatan pinjam-meminjam (qardh) karena sifatnya adalah tabarru’. Sedangkan biaya pemeliharaan atau penyimpanan merupakan biaya yang dibutuhkan untuk merawat barang gadaian selama jangka waktu pada akad gadai. Sesuai dengan pendapat para jumhur ulama biaya pemeliharaan atau penyimpanan menjadi tanggungan penggadai (rahin), karena pada dasarnya penggadai (rahin) masih
18
Royyan Ramdhani Djayusman (IAEI-UGM), Gadai Emas Syariah, diakses dari http://shariaheconomics.org/sef/index.php?option=com_content&view=article&id=114:gadai-emassyariah&catid=32:kajian-fiqh-muamalah&Itemid=155, pada tanggal 6 Juni 2010.
Universitas Sumatera Utara
menjadi pemilik dari barang gadaian tersebut, sehingga dia bertanggungjawab atas seluruh biaya yang dikeluarkan dari barang gadai miliknya.19 Penggadai (rahin) menggunakan jasa bank untuk menyimpan atau memelihara barang gadainya hingga jangka waktu gadai berakhir. Biaya pemeliharaan/penyimpanan ataupun biaya sewa tersebut diperbolehkan oleh para ulama dengan merujuk kepada diperbolehkannya akad ijarah. Jadi, pada dasarnya gadai diberikan untuk menjamin suatu tagihan atau kredit, seperti yang diketahui kredit diberikan terutama atas dasar integritas atau kepribadian debitur, kepribadian yang menimbulkan rasa percaya pada diri kreditur bahwa debitur akan memenuhi kewajibannya untuk melakukan pelunasan dengan baik.20 Jaminan yang diserahkan kepada pihak Bank tidak terbatas semata-mata atas dasar integritas nasabah saja, tetapi diperlukan untuk lebih meyakinkan Bank sekaligus menjadi pegangan bagi pihak Bank bila dikemudian hari nasabah ingkar janji (wanprestasi). Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untuk membahas dan meneliti lebih lanjut mengenai “Pelaksanaan Gadai Emas pada PT. Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Meulaboh Menurut Hukum Islam”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, rumusan masalah yag menjadi dasar pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 19
Ibid. J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Adithya Bakti, Bandung, 2002, hal. 95-96. 20
Universitas Sumatera Utara
1. Bagaimanakah pelaksanaan gadai emas pada PT. Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Meulaboh? 2. Bagaimanakah tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan gadai emas pada PT. Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Meulaboh?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pelaksanaan gadai emas pada PT. Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Meulaboh 2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan gadai emas pada PT. Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Meulaboh
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini dapat diklasifikasikan atas manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu: 1. Secara teoretis Hasil penelitian yang diperoleh ini diharapkan dapat memperkaya dan memperluas kajian ilmu pengetahuan tentang hukum perjanjian, khususnya dalam perjanjian gadai di perbankan syariah.
2. Secara praktis
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat khususnya kalangan dunia usaha dan instansi terkait mengenai Perjanjian Pembiayaan gadai (rahn) emas pada BSM.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang penulis lakukan di beberapa perpustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, diketahui belum ada suatu penelitian yang khusus memusatkan penelitian mengenai “Pelaksanaan Gadai Emas pada PT. Bank Syari‟ah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Meulaboh Menurut Hukum Islam”, sehingga penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Namun penulis ada menemukan beberapa tesis karya mahasiswa yang menyangkut masalah gadai, namun permasalahan dan bidang kajiannya berbeda, yaitu : -
Tesis atas nama Rina Dahlina, NIM: 037011072, dengan judul Kedudukan Gadai Syariah (Ar-rahn) dalam Sistem Perekonomian Islam (Studi di Bank Muamalat Indonesia Cabang Medan dan BNI Unit Syariah Cabang Medan).
-
Tesis atas nama Dessy Hamrina, NIM: 087011035, dengan judul Eksistensi Parate Eksekusi dalam Perjanjian Gadai di Perum Pegadaian.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Universitas Sumatera Utara
Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.21 Teori adalah ungkapan mengenai hubungan kausal yang logis diantara perubahan (Variable) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka berpikir (Frame of Thingking)
dalam memahami serta menangani
segala permasalahan yang timbul dalam bidang tersebut.22 Kerangka Teori yakni kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis si penulis mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin ia setujui ataupun tidak setujuinya.23 Menurut pendapat Sugiyono mengenai fungsi dari kerangka teori selaras dengan apa yang digunakan yaitu bahwa teori-teori yang relevan dapat digunakan untuk menjelaskan tentang variabel yang akan diteliti, setara sebagai dasar untuk memberikan jawaban sementara terhadap masalah yang diajukan.24 Teori yang dipakai dalam tesis ini adalah Teori Kepercayaan (vertrouwenstheorie) yaitu Teori yang mengatakan bahwa kata sepakat ini terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.25
21
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1982, hal.6. Bintaro Tjokroamidjoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Haji Masagung, Jakarta, 1998, hal.12. 23 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80 24 Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, Alfa Beta, Bandung, 1983, hal. 200 25 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, 1987, Bandung, hal.59. 22
Universitas Sumatera Utara
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, Asas Kepercayaan merupakan kemauan untuk saling mengikatkan diri dalam suatu perjanjian, membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu dipenuhi. Asas kepercayaan ini merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.26 Menurut Kasmir, kepercayaan merupakan suatu keyakinan pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan (berupa uang, barang atau jasa) akan benar-benar diterima kembali di masa tertentu di masa datang. Kepercayaan ini diberikan oleh bank, dimana sebelumnya sudah dilakukan penelitian penyelidikan tentang nasabah bank baik secara intern maupun dari ekstern. Penelitian dan penyelidikan tentang kondisi masa lalu dan sekarang terhadap nasabah pemohon kredit.27 Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan (Verbintenis), sebagaimana diatur dalam Pasal 1234 BW yang berbunyi : “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Subekti dalam bukunya mengenai Hukum Perjanjian menyebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.28 Di dalam Islam, kepercayaan berarti amanah (menepati janji). Amanah berasal dari kata a-mu-na – ya‘munu, yang artinya jujur atau dapat dipercaya.
26
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1983, hal. 89. 27 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan lainnya, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 94 28 Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta 1979, hal. 1
Universitas Sumatera Utara
Secara bahasa, amanah dapat diartikan sesuatu yang dipercayakan atau kepercayaan. Amanah juga berarti titipan (al-wadi‘ah).29 Menurut Pendapat Ulama Kontemporer yaitu Mujamma‟ Fiqih Islam di Jeddah dalam keputusan Nomor 2 daurah ke-5 yang diadakan di Kuwait periode 1-6 Jumadal Ula 1409 H memutuskan sebagai berikut:30 Menepati janji menjadi suatu keharusan bagi penjanji secara keagamaan kecuali bila ada ‘udzur (halangan). Ia harus memenuhinya dari sisi penunaian bila terkait dengan sebab dan orang yang diberi janji menghadapi kesulitan akibat janji tersebut. Pengaruh komitmen terhadap kondisi ini dapat dilakukan, baik dengan cara melaksanakan janji tersebut atau mengganti kerugian yang timbul secara langsung akibat tidak dipenuhinya janji tersebut tanpa ‘udzur. Menurut pendapat Syaikh Asy-Syanqithi, bahwa mengingkari janji tidak boleh sebab ia merupakan salah satu tanda kemunafikan, akan tetapi bila penjanji menolak untuk memenuhi janjinya, maka tidak dapat dituntut hukuman apa pun terhadapnya dan tidak harus dipaksa pula. Tetapi ia mesti diperintahkan untuk memenuhinya, tidak dipaksa.31 Jaminan merupakan kepercayaan/keyakinan dari Bank atas kemampuan atau kesanggupan debitur untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan agunan diartikan sebagai barang/benda yang dijadikan jaminan untuk melunasi utang nasabah debitur. Istilah agunan terdapat dalam Pasal 1 angka 23 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
29
Al-Munawwir, Kamus al-Munawir, Pustaka Progressif, Surabaya, 1997. Abualbinjy, Mengenal Tanda Munafik, diakses dari http://abualbinjy.wordpress. com/2008/03/08/hadits/, pada tanggal 20 Maret 2011. 31 Ibid. 30
Universitas Sumatera Utara
Perbankan, yaitu: “Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah”. Jadi agunan merupakan jaminan tambahan (accesoir). Tujuan agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank. Unsur-unsur agunan, yaitu:32 1. Jaminan tambahan 2. Diserahkan oleh debitur kepada bank 3. Untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan Dalam Pasal 24 angka 1 Undang-undang Nomor 14 tahun 1967 tentang perbankan disebutkan “Bank umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga.” Dalam Pasal 8 (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan mengenai jaminan, yaitu: ”Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.” Mengingat agunan menjadi salah satu unsur jaminan pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur untuk mengembalikan hutangnya, agunan hanya dapat
32
H. Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 21
Universitas Sumatera Utara
berupa barang proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.33 Dalam Pasal 1131 KUH Perdata disebutkan bahwa segala kebendaan si penghutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Secara umum jaminan dalam hukum Islam (fiqh) dibagi menjadi dua: jaminan yang berupa orang (personal guarancy) sering dikenal dengan istilah kafalah dan jaminan yang berupa harta benda dikenal dengan istilah rahn. Menurut ulama fiqh, rahn adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan utang, agar utang bisa dilunasi dengan jaminan tersebut, ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya. Ulama fiqh juga berpendapat bahwa Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi utang, maka akad arrahn bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, utang itu terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila utang tidak dapat dilunasi, barang jaminan dapat dijual dan utang dibayar. Apabila dalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan, maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya.34 Dalam pelaksanaan gadai emas pada BSM KCP Meulaboh, pihak Bank membutuhkan jaminan sebagai kepercayaan atas kemampuan atau kesanggupan nasabahnya dalam memenuhi kewajiban dari hubungan timbal balik. Penyerahan
33 34
H. Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Offset, Yogyakarta, 2000, hal. 54 Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, II, hal. 268.
Universitas Sumatera Utara
barang/benda yang dijadikan jaminan gadai adalah untuk melunasi utang nasabah dan mempermudah proses eksekusi apabila dikemudian hari nasabah wanprestasi. 2. Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, karena konsepsi adalah sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada dalam pikiran. “peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realistis”.35 Selanjutnya untuk menghindari salah pengertian dan pemahaman yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian dikemukakan konsepsi dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut : 1. Gadai Menurut ketentuan Pasal 1150 KUH Perdata, gadai adalah hak yang diperoleh kreditur atas suatu benda bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya, untuk menjamin suatu hutang, dan yang memberikan kekuasaan kepada kreditur untuk mendapat pelunasan dari benda tersebut lebih dahulu dari pada kreditur-kreditur lainnya, kecuali biaya-biaya untuk melelang benda tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk pemeliharaan setelah benda itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan. Gadai syariah (Ar-rahn) adalah suaatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang, yang menurut bahasa adalah barang yang dijadikan sebagai jaminan kepercayaan. Sedangkan menurut syara’ artinya 35
Masri Singarimbun dkk, Metode penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1999, hal.34.
Universitas Sumatera Utara
menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil sebagai tebusan.36 2. Gadai Emas Gadai Emas di perbankan syariah atau disebut juga pembiayaan Rahn emas merupakan penyerahan jaminan/hak penguasaan secara fisik atas barang berharga berupa emas perhiasan beserta aksesorisnya kepada Bank sebagai jaminan atas pembiayaan (qardh) yang diterima, sebagai salah satu alternatif memperoleh uang tunai dengan cepat, aman dan mudah. 3. Bank Syari‟ah Adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yaitu Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. 4. Bank Syariah Mandiri (BSM) Merupakan Bank milik pemerintah pertama yang melandaskan operasionalnya pada prinsip syariah, yaitu hasil penggabungan (merger) empat bank (Bank Dagang Negara, Bank Bumi Daya, Bank Exim, dan Bapindo) menjadi satu bank baru bernama PT Bank Mandiri (Persero) pada tanggal 31 Juli 1999. Kebijakan penggabungan tersebut juga menempatkan dan menetapkan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. sebagai pemilik mayoritas baru BSB. 36
Zainuddin Ali, Op.Cit, hal.1.
Universitas Sumatera Utara
5. Kantor Cabang Pembantu (KCP) Adalah Kantor di bawah Kantor Cabang yang kegiatan usahanya membantu Kantor Cabang induknya. 6. Hukum Islam Adalah keseluruhan kumpulan hukum syara’ dari berbagai satuan kaidah atau norma-norma hukum yang bersumber pokok kepada alqur-an dan hadist, dan sumber-sumber tambahan meliputi ijma’ (konsensus), qiyas (analogi), istihsan (kebijaksanaan hukum), kemaslahatan, ‘uruf (adat kebiasaan), sadduz-zari’ah (tindakan preventif), istishab (kelangsungan hukum), fatwa sahabat Nabi saw., dan syar’u man qablana (hukum agama samawi terdahulu).
G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan dalam tesis ini bersifat analisis deskriptif. Bersifat deskriptif maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat bagaimana menjawab permasalahan.36 Dalam hal ini mengenai pelaksanaan gadai emas pada PT. Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Meulaboh, Aceh Barat.
36
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung,1994, hal. 101.
Universitas Sumatera Utara
Jenis penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada normanorma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.37 Artinya penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundangundangan yang berlaku,38 yang berkaitan dengan pelaksanaan gadai emas pada BSM. Metode pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan pada Al-quran, hadits, peraturan perundangundangan dan peraturan-peraturan lainnya yang relevan dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif yang kemudian dihubungkan dengan data dan kebiasaan yang hidup ditengahtengah masyarakat. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya.
37 38
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya, 2006, hal. 14. Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Andi Offset, Yogyakarta, 1989, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di PT. Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. 4. Sumber Data Data dalam penelitian ini diperoleh dari penelitian lapangan (field research) dan penelitian kepustakaan (library research), dengan rincian: a. Penelitian Lapangan Penelitian lapangan dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder yang tidak diperoleh dalam penelitian kepustakaan dan data primer untuk mendukung analisis permasalahan. b. Penelitian Kepustakaan Sumber-sumber data kepustakaan diperoleh dari: 1) Bahan hukum primer, yaitu: KUH Perdata, Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syari‟ah, Fatwa DSN Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn, Fatwa DSN Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan obyek penelitian adalah merupakan bahan hukum primer. 2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti berbagai bahan kepustakaan yang berkaitan dengan akad dalam hukum Islam serta berkaitan
Universitas Sumatera Utara
dengan Perbankan Syariah yang berhubungan dengan materi penelitian. 3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang untuk dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti berbagai hasil penelitian, seminar, jurnal hukum yang berkaitan erat dengan BSM dari kesemua itu dipilih asas-asas hukum, kaedah-kaedah hukum dan ketentuanketentuan hukum yang mempunyai kaitan erat dengan permasalahan yang diteliti selanjutnya disusun dalam kerangka yang sistematis guna mempermudah dalam menganalisanya. 5. Alat Pengumpulan Data 1.
Wawancara Untuk mendukung data skunder maka diperlukan wawancara terhadap informan. Informan dalam hal ini adalah pimpinan dan pegawai yang mewakili dari PT. Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Meulaboh. Sebelum dilakukan wawancara dengan informan tersebut maka terlebih dahulu dipersiapkan pedoman wawancara. Pedoman wawancara ini mengacu pada substansi masalah dalam penelitian. Sehingga, ketika dilakukan wawancara bisa dapat mengetahui jawaban atas permasalahan yang diajukan kepada informan tersebut
2.
Studi Kepustakaan
Universitas Sumatera Utara
Yaitu
membaca,
mempelajari,
meneliti,
mengidentifikasi
dan
menganalisis buku-buku/literatur, laporan penelitian, dokumen-dokumen tertulis, serta sumber-sumber lainnya yang relevan.37 Seperti menganalisis bahan kepustakaan yang berkaitan dengan perjanjian dan perikatan, bahan yang berkaitan dengan Perbankan Syariah, berbagai hasil penelitian, seminar, jurnal hukum, makalah yang berkaitan erat dengan perbankan syariah. 6. Analisis Data Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurut data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat ditemukan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.38 Data yang telah dikumpulkan baik dari penelitian kepustakaan maupun dari penelitian lapangan, selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Yang
dimaksud
kualitatif
yaitu
metode
analisis
data
yang
mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori-teori yang diperoleh dari studi kepustakaan, sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan.
37 38
Soejono Soekanto, Op. Cit, hal. 66. Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993,
hal.103.
Universitas Sumatera Utara