1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat proses pembelajaran matematika berlangsung, sebenarnya siswa tidak hanya dituntut untuk mendapatkan informasi serta menghapal berbagai aturanaturan, rumus-rumus, definisi-definisi serta berbagai macam prosedural dalam matematika, namun keaktifan siswa sangat diperlukan, sehingga pengetahuan matematika dapat dipahami dengan baik oleh siswa. Hal ini sejalan dengan pendekatan kontruktivisme yang dinyatakan oleh Piaget (Cole dan Wertsch, 1996) bahwa anak secara individual mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui tindakan mereka terhadap alam sekitarnya, atau dapat dikatakan “to understand is to invent”. Tentunya hal ini harus menjadi perhatian bagi para pendidik, mengingat bahwa kemampuan pemahaman matematis penting untuk dimiliki oleh siswa. Permendiknas No. 22 mengungkapkan tujuan pembelajaran matematika sebagai berikut (Alam, 2012): (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luas, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; (2) menggunakan pemahaman pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Dalam Permendiknas tersebut dapat diketahui bahwa siswa harus memiliki kemampuan pemahaman matematis, sejalan dengan itu Alam (2012) mengemukakan bahwa siswa yang memiliki pemahaman konsep matematika yang baik akan mengetahui lebih dalam tentang ide-ide matematika, siswa dapat memberikan pendapatnya, menjelaskan suatu konsep, serta memiliki dasar dalam pembentukan pengetahuan baru sehingga Handayani Eka Putri, 2015 MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN STRATEGI KONFLIK KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI DAN PEMAHAMAN MATEMATIS SISWA SMA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
2
dapat digunakan dalam memecahkan masalah-masalah baru. Oleh karena itu kemampuan pemahaman matematis merupakan kemampuan yang penting untuk dimiliki siswa. Kemampuan pemahaman matematis erat kaitannya dengan kemampuan representasi matematis. Bagaimana caranya agar dapat menggambarkan pemahaman siswa tentang konsep matematika tersebut? Terdapat sebuah contoh dalam NCTM (2001), misalnya siswa diberikan angka -3, mungkin itu hanya dilihat sebagai tanda minus atau tanda negatif yang kemudian diikuti oleh angka 3, tapi mungkin ada juga siswa yang telah membentuk suatu pemahaman terhadap konsep yang berkaitan, tetapi gagal untuk mengasosiasikannya ke dalam notasi simbolis. Siswa lain mungkin memiliki sedikit atau tidak ada gagasan sama sekali mengenai angka negatif atau bahkan melihat angka kurang dari nol sebagai mustahil. Dari contoh tersebut dapat kita lihat bahwa setiap siswa masing-masing memiliki representasi internal yang berbeda-beda, atau istilah lainnya seperti yang diutarakan
oleh
Kosslyn
dan
Palmer
(NCTM,
2001)
yaitu
“mental
representation” siswa. Goldin (Abdullah, 2013) mengemukakan bahwa representasi adalah suatu konfigurasi (bentuk atau susunan) yang dapat menyajikan sesuatu benda dalam suatu cara. Goldin dan Shteingold (Salkind, 2007) menulis dua sistem representasi yaitu sistem representasi eksternal dan system representasi internal. Sistem representasi eksternal termasuk representasi konvensional biasanya berbentuk simbolis di alam. Sedangkan sistem representasi internal diciptakan dalam pikiran seseorang dan digunakan untuk menetapkan makna matematika. Sistem penomoran, persamaan matematika, ekspresi aljabar, grafik, dan geometri adalah contoh representasi eksternal. Representasi ini telah dikembangkan dari waktu ke waktu dan secara luas digunakan. representasi eksternal juga mencakup bahasa lisan dan tertulis. Contoh representasi internal yaitu meliputi sistem notasi, bahasa alami, citra visual, dan strategi pemecahan masalah. Dalam NCTM (2001) dinyatakan bahwa interaksi antara representasi internal dan eksternal merupakan hal yang fundamental agar kegiatan belajar dan mengajar berlangsung secara efektif. Proses pengembangan representasi internal pada siswa yang terjadi secara natural harus tetap menjadi perhatian utama. Selanjutnya NCTM (2001) juga Handayani Eka Putri, 2015 MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN STRATEGI KONFLIK KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI DAN PEMAHAMAN MATEMATIS SISWA SMA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
3
menjelaskan bahwa interaksi ini disoroti dengan beberapa contoh dari tindakan anak dalam menetapkan makna matematika sebagai struktur, tugas representasi eksternal dan membangun kepribadian, serta representasi internal dari lambang angka. Terdapat sepuluh standar pemahaman, pengetahuan dan keterampilan yang harus diperoleh dari siswa pra-TK hingga siswa kelas XII dalam NCTM (2000) yaitu: 1. Standar Isi: Operasi bilangan, Aljabar, Geometri, Pengukuran, Analisis data dan Probabilitas. 2. Standar
Proses:
Problem
Solving,
Penalaran
dan
Pembuktian,
Komunikasi, Koneksi, dan Representasi. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan representasi matematis pada siswa sangat diperlukan, yang sejalan dengan pendapat Abdullah (2013) bahwa “Dalam pengajaran matematika, kemampuan mengungkapkan gagasan/ide matematis dan merepresentasikan gagasan/ide matematis dapat merupakan suatu hal yang harus dilalui oleh setiap orang yang sedang belajar matematika”. Selain itu, Thomas dan Hong (2001) sangat setuju dengan pernyataan Lesh bahwa "... kefasihan representasional adalah jantung dari "memahami" hal-hal penting yang mendasari dalam konstruksi matematika" Bruner (Salkind, 2007) mengatakan bahwa “The power of a representation can . . . be described as its capacity, in the hands of a learner, to connect matters that, on the surface, seem quite separate. This is especially crucial in mathematics”. Sejalan dengan hal tersebut, Kilpatrick, Swafford, dan Findell (Salkind, 2007) juga menjelaskan bahwa representasi adalah alat yang berguna yang mendukung penalaran matematika, memungkinkan komunikasi matematika, dan menyampaikan pemikiran matematika. Flevares dan Perry (Salkind, 2007) menyatakan
bahwa
siswa menggunakan representasi
untuk
mendukung
pemahaman ketika mereka memecahkan masalah matematika atau belajar konsepkonsep matematika yang baru. Selain itu, penggunaan representasi non-lisan (objek, gambar, simbol, dan gerak tubuh) telah ditemukan dapat membantu dalam menghilangkan kebingungan matematika siswa.
Handayani Eka Putri, 2015 MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN STRATEGI KONFLIK KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI DAN PEMAHAMAN MATEMATIS SISWA SMA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
4
Berdasarkan
uraian
sebelumnya,
maka
dapat
disimpulkan
bahwa
kemampuan pemahaman matematis dan representasi matematis merupakan kemampuan yang harus siswa miliki. Namun, pada kenyataannya kemampuan pemahaman dan representasi matematis siswa di indonesia belum sepenuhnya baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdi, Ikhsan, & Marwan (2013) yang menunjukan hasil rata-rata tes soal matematika siswa SMA setara PISA masih dibawah level satu, yang berarti siswa belum mampu menyelesaikan soal matematika setara PISA, padahal soal-soal PISA merupakan soal-soal literasi matematis yang dalam penyelesaiannya menuntut siswa untuk memiliki kemampuan pemahaman serta representasi matematis. Dari penelitian yang dilakukan oleh Febriansyah, dkk. (2014) juga dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman matematis siswa SMA masih tergolong kurang. Selain itu menurut penelitian yang dilakukan oleh Handayani, dkk. (2014) menunjukkan bahwa kemampuan representasi matematis siswa SMA masih dikategorikan rendah yaitu dengan persentase rerata skor sebesar 40,62% dari skor ideal. Begitu juga data yang dihasilkan dari penelitian Ansari (2014) diketahui bahwa persentase penggunaan aspek representasi matematis siswa SMA dalam menyelesaikan soal tes sebesar 36,1%, hal ini menunjukkan bahwa masih kurangnya kemampuan representasi siswa SMA. Oleh karena itu diperlukan upaya dalam meningkatkan kemampuan representasi matematis dan kemampuan pemahaman matematis. Upaya ini tentu harus diimbangi dengan penggunaan pembelajaran yang sesuai. Menurut teori kontruktivisme yang diungkapkan Piaget (Cole dan Wertsch, 1996) bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh siswa merupakan pengetahuan hasil kontruksi yang siswa lakukan sendiri. Dalam pendekatan kontruktivisme, Clements dan Battista (Chambers, 2009) menjabarkan bahwa: (1) pengetahuan dibentuk secara aktif oleh siswa, bukan secara pasif diterima begitu saja dari lingkungan; (2) siswa membentuk pengetahuan baru mengenai matematika dengan merefleksikannya pada aksi fisik dan mental mereka; (3) belajar adalah proses sosial dimana siswa tumbuh ke dalam kehidupan intelektual dari orang-orang disekitar mereka. Oleh karena itu, pendekatan konruktivisme merupakan pendekatan pembelajaran yang dianggap mampu meningkatkan kemampuan matematis siswa. Handayani Eka Putri, 2015 MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN STRATEGI KONFLIK KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI DAN PEMAHAMAN MATEMATIS SISWA SMA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
5
Strategi konflik kognitif merupakan strategi pembelajaran yang berdasarkan pada pendekatan kontruktivisme. Lee, dkk. (2003) menyebutkan bahwa konflik kognitif adalah keadaan persepsi disaat seseorang menyadari perbedaan antara struktur kognitif dengan lingkungannya (informasi eksternal), atau antara komponen-komponen yang berbeda (misalnya, konsepsi, keyakinan, substruktur dan sebagainya) dari struktur kognitif seseorang. Menurut teori Piaget (Lee, dkk., 2003), ketika seorang anak mengakui konflik kognitif (disequilibrium), pengakuan ini memotivasi dia untuk mencoba menyelesaikan konflik. Piaget menyebut proses penyelesaian konflik ini adalah ''equilibrium''. Menurutnya, equilibrium mengacu pada proses pengaturan diri yang memelihara keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Sejak 1980-an menurut Lee, dkk. (2003) penggunaan konflik kognitif sebagai strategi pengajaran telah populer di bidang pendidikan sains dan sejumlah besar peneliti berpendapat bahwa konflik kognitif memiliki peran penting dalam perubahan konseptual, artinya strategi konflik kognitif mampu untuk membentuk pemahaman konsep pada siswa, atau dapat dikatakan representasi internal (representasi mental) pada siswa. Hal yang sama dikemukakan oleh Salkind (2007) bahwa untuk memahami sistem representasi eksternal, siswa harus memproses mereka secara internal, Oleh karena itu, pembelajaran dengan strategi konflik kognitif diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemahaman serta representasi matematis pada siswa. Selain itu hal ini didukung juga oleh penelitian yang dilakukan oleh Mariawan (1997) yang menunjukkan bahwa strategi konflik kognitif dapat meningkatkan rata-rata prestasi belajar siswa sebesar 75%. Prata, dkk. (2009) menyebutkan banyak peneliti telah menemukan hasil yang menunjukkan bahwa konflik kognitif dalam pembelajaran muncul dari proses kolaborasi, ketika siswa saling terlibat untuk mengkonstruksi pengetahuan secara bersama-sama. Bahkan, Moshman dan Geil, serta Kruger (Prata, dkk., 2009) mengklaim bahwa konflik kognitif yang produktif berlangsung hanya dalam konteks kerjasama, dan tidak melalui persaingan atau konflik interpersonal. Moshman dan Geil melihat bahwa konflik kognitif yang produktif tidak muncul dari siswa yang berdebat untuk mendukung pandangan mereka sendiri, tetapi dari membangun
solusi
secara
bersama-sama.
Snyder
(Zulkarnain,
2013)
Handayani Eka Putri, 2015 MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN STRATEGI KONFLIK KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI DAN PEMAHAMAN MATEMATIS SISWA SMA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
6
mengutarakan bahwa model pembelajaran kooperatif memberi kesempatan pada siswa guna menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematis mereka. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini penulis akan menerapkan strategi konflik kognitif dengan model kooperatif dalam meningkatkan kemampuan representasi matematis dan kemampuan pemahaman matematis siswa. Piaget (Ismaimuza, 2010) mengatakan bahwa ada tiga tahapan atau level proses konflik kognitif, yakni level rendah, level menengah, dan level lebih tinggi. Pada level rendah, pengetahuan baru diasimilasi dan diakomodasi dengan baik sesuai dengan skema yang telah ada, terjadinya keseimbangan kognitif (equilibrium), sehingga tidak terjadi konflik kognitif. Pada level menengah, karena kurangnya data yang ada dalam pikiran, menimbulkan informasi yang diperoleh tidak cocok dengan pengetahuan atau struktur kognitif (schemata) yang dimiliki. Informasi yang ada tidak dapat diasimilasi, sehingga proses akomodasi tidak terjadi terhadap informasi tersebut, artinya terjadi ketidakseimbangan kognitif atau terjadi konflik. Untuk itu pada level ini, perlu adanya scaffolding yang baik oleh guru, maupun oleh teman sebaya yang tidak mengalami konflik kogntif. Pada level tinggi, terjadi re-equilibrium akibat adanya rekonseptualisasi terhadap informasi, sehingga terjadi keseimbangan baru dari apa yang sebelumnya bertentangan (konflik), proses asimilasi dan akomodasinya pun berlangsung dengan lancar. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kemampuan awal matematis siswa mempengaruhi proses terjadinya konflik kognitif pada siswa. Sejalan dengan itu, Retnawati (2009) menyebutkan bahwa materi-materi yang terdapat dalam pelajaran matematika tersusun secara hirarkis, artinya konsep matematika yang satu dengan yang lain saling berkorelasi membentuk konsep baru yang lebih kompleks, sehingga kemampuan siswa terhadap materi sebelumnya akan mempengaruhi proses serta kemampuan siswa dalam mempelajari pelajaran berikutnya. Dengan kata lain, kemampuan awal matematis siswa (KAM) dapat mempengaruhi proses serta kemampuan matematis siswa dalam pembelajaran tersebut. Oleh karena itu dalam penelitian ini peneliti juga akan mengkaji kemampuan pemahaman dan representasi matematis siswa antara siswa yang mendapat model pembelajaran kooperatif dengan strategi konflik
Handayani Eka Putri, 2015 MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN STRATEGI KONFLIK KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI DAN PEMAHAMAN MATEMATIS SISWA SMA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
7
kognitif dengan siswa yang mendapat model pembelajaran kooperatif jika ditinjau berdasarkan KAM (tinggi, sedang, rendah).
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa SMA yang mendapat model pembelajaran kooperatif dengan strategi konflik kognitif lebih baik dari pada siswa yang mendapat model pembelajaran kooperatif? 2. Apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa SMA yang mendapat model pembelajaran kooperatif dengan strategi konflik kognitif lebih baik dari pada siswa yang mendapat model pembelajaran kooperatif jika ditinjau berdasarkan KAM (tinggi, sedang, rendah)? 3. Apakah peningkatan kemampuan representasi matematis siswa SMA yang mendapat model pembelajaran kooperatif dengan strategi konflik kognitif lebih baik dari pada siswa yang mendapat model pembelajaran kooperatif? 4. Apakah peningkatan kemampuan representasi matematis siswa SMA yang mendapat model pembelajaran kooperatif dengan strategi konflik kognitif lebih baik dari pada siswa yang mendapat model pembelajaran kooperatif jika ditinjau berdasarkan KAM (tinggi, sedang, rendah)?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji: 1. Peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa SMA yang mendapat model pembelajaran kooperatif dengan strategi konflik kognitif dan siswa yang mendapat model pembelajaran kooperatif. 2. Peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa SMA yang mendapat model pembelajaran kooperatif dengan strategi konflik kognitif dan siswa yang mendapat model pembelajaran kooperatif jika ditinjau berdasarkan KAM (tinggi, sedang, rendah).
Handayani Eka Putri, 2015 MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN STRATEGI KONFLIK KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI DAN PEMAHAMAN MATEMATIS SISWA SMA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
8
3. Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa SMA yang mendapat model pembelajaran kooperatif dengan strategi konflik kognitif dan siswa yang mendapat model pembelajaran kooperatif. 4. Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa SMA yang mendapat model pembelajaran kooperatif dengan strategi konflik kognitif dan siswa yang mendapat model pembelajaran kooperatif jika ditinjau berdasarkan KAM (tinggi, sedang, rendah).
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk: 1. Siswa Meningkatkan kemampuan representasi dan kemampuan pemahaman matematis siswa. 2. Guru Dijadikan sebagai salah satu alternatif model pembelajaran di sekolah dalam meningkatkan kemampuan representasi dan kemampuan pemahaman matematis siwa. 3. Sekolah dan peneliti Dijadikan sebagai bahan informasi pengembangan dalam inovasi proses belajar serta usaha-usaha perbaikan dalam proses pembelajaran di sekolah serta bagi peneliti selanjutnya.
Handayani Eka Putri, 2015 MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN STRATEGI KONFLIK KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI DAN PEMAHAMAN MATEMATIS SISWA SMA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu