BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah 1.
Latar belakang masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat dewasa ini
mengakibatkan adanya perubahan pola hidup di masyarakat. Perubahan pola hidup akan menyebabkan adanya perubahan cara hidup, yang membawa pengaruh besar terhadap sikap hidup manusia di masyarakat. Hal yang demikian dapat mengakibatkan masyarakat akan merasa terombang-ambingkan oleh normanorma. Suasana yang demikian menyebabkan kehidupan manusia di masyarakat terbelenggu oleh adanya benturan-benturan antara hal-hal yang telah mapan dengan keanekaragaman norma yang baru dikenal. Keadaan yang demikian cepat atau lambat dapat mengakibatkan makna hak asasi manusia menjadi rancu sebagai akibat adanya kekaburan batas antara hak dan kewajiban. Berkaitan dengan kenyataan tersebut di atas, Ulrich Albrecht (1993: 59) menyatakan bahwa sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi memberi petunjuk bahwa perkembangan teknologi tidak sepadan berjalan mengikuti hukum alam, akan tetapi berhubungan erat dengan perkembangan masyarakat. Pada mulanya manusia masih berpegang erat pada suatu model perkembangan teknologi seragam, dan tidak tergantung pada pola-pola suatu masyarakat, akan tetapi pada akhir-akhir ini para ahli sejarah ilmu pengetahuan berkesimpulan bahwa tidak boleh diandalkan adanya teknologi yang berpola tunggal. Ilmu pengetahuan dan teknologi, di satu pihak dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia,
1
2
akan tetapi di lain pihak mempunyai kecenderungan mengancam kehidupan manusia. Modernisasi yang telah dilaksanakan oleh sebagian dari negara dan bangsa yang ada di dunia ini, pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada kenyataannya, dunia modern yang telah mengukir kisah sukses secara materi dan kaya ilmu pengetahuan serta teknologi, agaknya tidak cukup memberikan bekal hidupnya bagi manusia, sehingga hal tersebut menyebabkan manusia modern tersesat dalam kemajuan dan kemodernannya (Nashir, 1997: vi). Oleh karena itu harus diakui bahwa dengan modernisasi, manusia telah mampu menunjukkan kemampuan budinya dalam rangka mengungkapkan misteri alam semesta, yang kesemuanya itu dapat membantu manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Namun di sisi lain manusia modern telah kehilangan aspek moral yang digunakan sebagai rujukannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa modernisasi telah mengabaikan nilai spiritual transendental, sehingga berakibat kurang memiliki landasan yang kokoh. Hadirnya pascamodernisme yang diharapkan menjadi tren abad XXI ternyata tidak mampu memperbaiki kekurangan dari periode sebelumnya, bahkan pascamodernisme justru lebih rancu dari modernisasi. Modernisasi seharusnya tetap mengedepankan keseimbangan antara aspek materi dan non materi. Kemajuan dan peningkatan dalam bidang material seharusnya disertai dengan peningkatan dalam bidang spiritual, agar ada keseimbangan dalam kehidupan manusia (Asdi, 1995:1). Dalam konteks pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, tolok ukurnya adalah nilai-nilai yang telah dimiliki oleh bangsa
3
Indonesia itu sendiri yaitu Pancasila (Siswomihardjo,1982: 137). Berkaitan dengan hal tersebut, menarik untuk dikemukakan pandangan Alfred North Whitehead (1978: 208-215) yang menyatakan bahwa pemikiran haruslah mengarah pada perubahan, kemajuan dan proses. Selanjutnya Whitehead beranggapan bahwa organisme bukanlah bersifat mekanis, akan tetapi kreatif dalam rangka memahami suatu realitas yang berdemensi fisik dan non fisik yang sedang berproses. Berkaitan dengan modernisasi, Oliver L.Reiser dalam bukunya yang berjudul Cosmic Humanism (1996:520-521), menyatakan bahwa ada beberapa masalah kebudayaan manusia modern antara lain: masalah ketenagakerjaan, penderitaan, kelaparan, kejahatan, remaja, meningkatnya rasa kesukuan, peperangan, perdamaian, dekadensi moral, konflik, kekerasan, dan kebencian dalam kaitannya dengan adanya keturunan oleh adanya warna kesadaran sosial masyarakat. Modernisasi menyebabkan renggangnya ikatan-ikatan sosial, sebagai salah satu akibat adanya perubahan-perubahan sosial. Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu sisi dari adanya perkembangan ilmu pengetahuan yang kemudian melahirkan produk-produk teknologi, menyebabkan terwujudnya kesejahteraan umat manusia terutama dari aspek materialnya. Hal itu melahirkan suatu anggapan bahwa produk teknologi tidaklah sekedar merupakan sarana, akan tetapi justru dianggap sebagai kebutuhan yang bersifat substansial. Kecuali itu kenyataan menunjukkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan perubahan sosial. Di tengah-tengah perubahan sosial itu tampak adanya suatu gejala yang menunjukkan betapa ketatnya dalam proses interaksi
4
sosial, dan bersifat fungsional. Interaksi sosial yang bersifat fungsional banyak kebaikannya, akan tetapi ada pula kelemahannya, karena tidak setiap individu atau subsistem pasti dapat berinteraksi secara fungsional dalam suatu masyarakat atau sistem. Kenyataan yang demikian dapat menyebabkan munculnya kesenjangan sosial dan permasalahan sosial, yang pada gilirannya dapat melahirkan adanya konflik. Kondisi yang demikian akan sangat rawan dalam kehidupan sosial apabila tidak berpegang pada suatu nilai yang telah disepakati. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dan terutama sekali dalam hubungan antar etnis dan antar bangsa, hal semacam ini mungkin akan terjadi, lebih-lebih dalam era globalisasi dan keterbukaan dewasa ini. Apabila dikaji secara seksama, di beberapa kawasan dalam lingkup internasional telah terjadi ketidakharmonisan interaksi sosial yang mengarah pada tindakan kekerasan sebagai contoh yaitu kasus Kashmir (mulai l972 sampai sekarang), Chehnya (1994), Kamboja (1970), dan Bosnia (1995). Sementara pada lingkup nasional yaitu Indonesia menunujukkan adanya gejala disharmoni interaksi sosial contohnya yaitu kasus Kalimantan Barat (1997), Rengasdengklok (1997), Irian Jaya atau Papua (2004, 2005, dan 2006), Pekalongan (1995 dan 1997), Jakarta (1998), Tasikmalaya (1996), Ambon (2000), dan Poso (2002). Kenyataan di atas menunjukkan adanya suatu bukti merebaknya kebencian yang mendalam, yang seolah-olah menganggap orang lain itu sebagai lawan. Hal tersebut seolah-olah sesuai dengan adagiun homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya), dan belum omnium contra omnes (perang semua lawan semua), yang dilakukan dengan jalan menghalalkan semua cara untuk mencapai
5
tujuan atau the end justifies the means sebagai prinsip berpikir Machiavelli (Ridha, 2000: 1; Nashir, 1997: 65). Kesemuanya itu menunjukkan bahwa cinta antar sesama manusia dan bangsa seolah-olah tenggelam dalam nafsu-nafsu manusia yang bersifat sesaat, yaitu sekedar memenuhi keinginan-keinginan yang tidak terkendalikan. Seorang pemikir dari India yang konsep pemikirannya hingga kini dan untuk masa-masa yang akan datang masih relevan yaitu Mohandas Karamchand Gandhi. Radhakrishnan sebagaimana dinyatakan oleh Gedong Bagoes Oka (Sumartana dkk., l994: 33)
dalam ‘’Mahatma Gandhi: 100 Years : Gandhi Peace
Fondation’’, mengemukakan sebagai berikut : “Gandhi seorang pemikir yang revolusioner. Ia berikhtiar mengadakan perubahan total dalam alam manusia. Maka suaranya adalah suara masa mendatang dan bukan suara yang lemah menghilang dalam peradaban waktu”. Apa yang dipikirkan, dikatakan, dan diperbuat oleh Mohandas Karamchand Gandhi didasarkan pada cinta. Mengenai landasan cinta menurut Mohandas Karamchand Gandhi sebagaimana dinyatakan oleh Radhakrishnan (Gandhi, l988: xv) yaitu bahwa semua kegiatannya bersumber pada cinta yang kekal untuk manusia, karena semua anak manusia bersaudara, dan janganlah hendaknya manusia yang satu merasa asing terhadap yang lain, dan kebahagiaan semua manusia (sarvodaya) seharusnya menjadi tujuan dari manusia. Dalam kaitannya dengan hal tersebut di atas selanjutnya Radhakrishnan (Gandhi, l988: xvii) juga menyatakan bahwa dahulu Plato pernah mengatakan: “selalu ada keruntuhan, ketika pola-pola hidup yang telah dikenal mengalami kemencengan dan keretakan, dan selalu ada beberapa orang yang mendapat ilham di dunia ini dan berkenalan dengan mereka tak dapat dinilai harganya”.
6
Di samping itu banyak sekali orang yang terpesona pada Mohandas Karamchand Gandhi karena kebesaran jiwanya, dan kebesaran itu disebabkan oleh ajarannya yang mendasarkan pada daya cinta universal yang merupakan kekuatan kebenaran dan mampu merombak situasi sosial politik (Cremers, 1997: 30-32). Sesungguhnya seluruh jiwa Mohandas Karamchand Gandhi adalah penjelmaan cinta yaitu cinta terhadap semua makhluk. Akan tetapi cinta itu akan merupakan racun bila tidak didasarkan pada pertimbangan kesusilaan (Gandhi, 1950: 15, 24, 39). Bagi Mohandas Karamchand Gandhi, cinta itu merupakan sumber dan tujuan hidup yang sejati, yang dapat digunakan sebagai penawar kebencian. Kesusilaan adalah suatu kebajikan yang tidak didasarkan pada suatu keuntungan, akan tetapi oleh suatu hukum yang terdapat pada pribadi yang melakukan. Kebajikan itu sendiri telah memberikan upah kepada setiap orang yang melaksanakan. Untuk itu perbuatan susila haruslah didasarkan pada kesadaran, karena hal itu merupakan suatu kewajiban. Bertolak dari konsep cinta tersebut, maka lahirlah ahimsa, yaitu ajaran yang tidak membenarkan pemakaian kekerasan atau pantang kekerasan. Menurut Mark Juergensmeyer dalam bukunya yang berjudul Fighting With Gandhi, A Step by Step Strategy for Resolving Everyday Conflicts (1984: 28) dinyatakan bahwa bagi Mohandas Karamchand Gandhi, ahimsa juga diartikan sebagai suatu sikap yang tidak ingin merugikan lawan dan tidak bermaksud mengancam keselamatan musuh. Dalam kaitannya dengan musuh, Mohandas Karamchand Gandhi menyatakan “Our greatest enemy is not the foreigner, nor anyone else. Our enemies are we ourselves, that is our
7
desires’’(Gandhi, 1996: 7). Dalam ahimsa tidak dikenal istilah melarikan diri dan meninggalkan yang dicintai, yang artinya bahwa ahimsa itu sebagai suatu keberanian yang setinggi-tingginya, dan hal tersebut dikandung suatu makna bahwa ahimsa merupakan awal dan akhir dari keyakinannya (Burgess, 1984: 15). Berkenaan dengan hal tersebut di atas perlu diteliti, masih relevankah makna cinta menurut Mohandas Karamchand Gandhi dalam kehidupan manusia pada umumnya dan Indonesia khususnya dewasa ini dan masa yang akan datang yang cenderung berubah dan tidak menentu. Lebih-lebih apabila dikaitkan dengan adanya suatu kecenderungan bahwa transformasi budaya dan sosial masih diwarnai oleh kekerasan, yang menunjukkan retaknya sendi-sendi solidaritas sosial. Sekiranya tidak demikian maka hanya manusia yang mampu bertindak keras saja yang dapat hidup. Inilah sebenarnya yang menjadi permasalahan, dan untuk itu perlu dicari jalan pemecahannya. Bagi bangsa Indonesia acuan pemecahan yang bersifat formal sudah ada yaitu Pancasila. Dalam kaitannya dengan Pancasila, Lasiyo (1992: 34) dalam disertasinya yang berjudul “Agama Konghucu an Emerging Form of The Indonesian Chinese”, menyatakan bahwa: The ethics of Pancasila ethics can be divided into two categories: vertical and horizontal. The vertical is the relationship between human being and God, as stated in the first principle. The horizontal is the relationship between human beings, and between human beings and environment. This is based on principle of humanity and justice, which means that everyone has basically the some equal rights and obligations in this world.
Menurut Notonagoro (1995: 95), apabila ditinjau dari sifat kodratnya manusia itu sebagai diri bersifat pribadi perorangan (individu) dan juga sebagai pribadi
8
hidup bersama, pribadi bermasyarakat atau makhluk sosial. Oleh karena itu di samping hidup sendiri, juga senantiasa berhubungan dengan manusia lain. Kenyataan itu menunjukkan bahwa manusia, baik sebelum dilahirkan, sebagai bayi, anak remaja, dewasa, lanjut usia maupun setelah meninggal dunia selalu membutuhkan orang lain. Pancasila adalah sendi-sendi sikap, cara hidup, tujuan dan suasana hidup bermasyarakat. Selain itu bagi bangsa Indonesia merupakan pokok pangkal sudut pandangan (Genetivus Subjectivus), atau sering pula dikatakan sebagai postulat dan paradigma dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam rangka memberikan penyelesaian kemasyarakatan dan kenegaraan (Soejadi, 1999: 147). Pancasila yang di dalamnya terkandung nilai kerohanian, menurut penulis sangat tepat apabila digunakan sebagai acuan landasan moral pembangunan nasional, dengan maksud agar terdapat keseimbangan antara aspek pembangunan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa dalam derap lajunya pembangunan, terasa sekali bahwa aspek lahiriah tampak menonjol apabila dibandingkan dengan aspek batiniahnya (Supadjar, 1990: 133). Sebenarnya berbagai macam upaya untuk menghentikan kekerasan telah dilakukan, misalnya dalam konteks internasional, baik melalui himbauan yang disampaikan oleh berbagai negara maupun Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam konteks nasional, contohnya di Indonesia tindakan kekerasan juga belum dapat diselesaikan secara tuntas, meskipun pemerintah telah berupaya untuk mengatasinya. Mengapa demikian, karena pada akhirnya mengenai permasalahan itu akan sangat tergantung pada manusianya yang secara langsung
9
terlibat dalam tindak kekerasan. Kesemuanya itu menunjukkan betapa merajalelanya wujud dari kebencian, yang seolah-olah menenggelamkan kepemilikan perasaan cinta dalam kaitannya dengan sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Berkenaan dengan kenyataan di atas, maka penelitian mengenai makna cinta menurut Mohandas Karamchand Gandhi dan relevansinya bagi pengembangan solidaritas sosial di Indonesia mempunyai hubungan dengan masalah yang lebih luas, yaitu sebagai landasan moral dalam pengembangan solidaritas sosial manusia dalam mengatasi tindak kekerasan, baik yang berskala nasional, regional, maupun internasional. Cinta menurut Mohandas Karamchand Gandhi mempunyai hubungan langsung dengan Realitas Tertinggi, kebenaran, dan manusianya, maka akan dibahas pula mengenai aspek metafisika, epistemologi, dan aksiologinya. Dalam penelitian ini juga akan membahas makna cinta terkait dengan relevansinya terhadap pengembangan solidaritas sosial di Indonesia serta membahas makna cinta dari sudut pandang teori yang menyangkut sistem sosial di Indonesia.
2.
Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan dapat dikemukakan
rumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana pemikiran kefilsafatan Mohandas Karamchand Gandhi? b. Bagaimanakah hakikat cinta menurut pemikiran Mohandas Karamchand Gandhi?
10
c. Bagaimana implementasi cinta dalam pemikiran Mohandas Karamchand Gandhi? d. Bagaimana manfaat cinta menurut Mohandas Karamchand Gandhi dalam interaksi sosial di Indonesia?
B. Keaslian Penelitian Menurut sepengetahuan penulis, penelitian mengenai Mohandas Karamchand Gandhi telah banyak dilakukan, antara lain : (1) Buku yang berjudul Dimensi Etis Ajaran Gandhi yang ditulis oleh R. Wahana Wegig, 1986; (2) Skripsi Lucia Hernawati yang berjudul Konsep Mohandas Karamchand Gandhi Tentang Manusia Sebagai Pembaharuan Dalam Filsifat India, 1989; (3) Skripsi yang ditulis oleh Arif Purnomo yang berjudul Konsep Kebenaran Moral Mohandas Karamchand Gandhi, 1998; (4) Skripsi yang ditulis oleh Suratno yang berjudul Konsep Manusia Menurut Mohandas Karamchand Gandhi (1869-1948), 1999; (5) Skripsi yang ditulis oleh L. Soewardjio yang berjudul Perbandingan Antara Konsep Moral Ki Hadjar Dewantara Dengan Mohandas Karamchand Gandhi (Sebagai Alternatif Pemecahan Krisis Multi Dimensi di Indonesia), 2006; (6) Tersis Marietta D. Susilowati yang berjudul Konsep Manusia Menurut Mohandas Karamchand Gandhi (Suatu Refleksi bagi Pengembangan Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab), 2002; (7) Tesis I Ketut Wisarja yang berjudul Masyarakat Tanpa Kekerasan (Tinjauan Filsafat atas Konsep Masyarakat Menurut Mohandas Karamchand Gandhi), 2004; (8) Disertasi Joseph Thekkinnedath yang berjudul Love of Neighbour in Mahatma Gandhi,1971; (9)
11
Disertasi Johannes Refteuw yang berjudul The Cross of Suffering Love: a Nonviolent Path to Peace in Tolstoy, Gandhi, and Dauglass, 1987. Penelitian penulis yang berjudul “Makna Cinta Menurut Mohandas Karamchand Gandhi (1869-1948): Relevansinya bagi Pengembangan Solidaritas Sosial di Indonesia” adalah asli dan berbeda, baik mengenai struktur judul maupun objek material yang ditelaah. Ada perbedaan yang khas antara penelitianpenelitian itu dengan penelitian yang penulis lakukan, yaitu yang menyangkut landasan cinta, makna cinta, implementasi cinta Mohandas Karamchand Gandhi, dan relevansinya bagi pengembangan solidaritas sosial di Indonesia.
C. Manfaat dan Tujuan Penelitian 1.
Manfaat penelitian Menurut Mohandas Karamchand Gandhi, apa yang telah dipikirkan,
dikatakan dan dilaksanakan dalam bentuk eksperimentasi dalam hidupnya yang ternyata berhasil dengan baik, sampai saat ini masih mengundang adanya perbedaan pendapat, antara yang mengatakan sebagai sesuatu hal yang baik dan tidak baik. Menurut penulis apa yang dipikirkan dan apa yang dikatakan, serta dilaksanakan oleh Mohandas Karamchand Gandhi merupakan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Adapun manfaat penelitian yang berjudul Makna Cinta Menurut Mohandas Karamchand Gandhi (1869-1948): Relevansinya bagi Pengembangan Soliodaritas Sosial di Indonesia yaitu:
12
a.
Bagi ilmu pengetahuan, makna cinta dan implementasinya oleh Mohandas Karamchand Gandhi dapat menambah khasanah hasil penelitian kefilsafatan pada umumnya, dan filsafat India pada khususnya.
b. Bagi bangsa dan negara, makna cinta dan implementasinya oleh Mohandas Karamchand Gandhi dapat digunakan untuk pengembangan dan pemantapan nilai-nilai Pancasila yang senantiasa digunakan sebagai rujukan bagi pelaksanaan berbagai macam kegiatan, termasuk pembangunan di Indonesia. Di samping itu juga dapat dimanfaatkan dalam rangka pengembangan solidaritas sosial di Indonesia. c.
Bagi peneliti itu sendiri, makna cinta dan implementasinya oleh Mohandas Karamchand Gandhi, dapat digunakan sebagai pengembangan daya nalar dan wawasan dalam kaitannya dengan pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi.
2.
Tujuan penelitian Penelitian dengan judul Makna Cinta Menurut Mohandas Karamchand
Gandhi (1869-1948): Relevansinya bagi Pengembangan Solidaritas Sosial di Indonesia, bertujuan: a.
Untuk menemukan pemikiran kefilsafatan Mohandas Karamchand Gandhi
b.
Untuk menemukan hakikat cinta menurut pemikiran Mohandas Karamchand Gandhi
c.
Untuk menemukan implementasi cinta dalam pemikiran Mohandas Karamchand Gandhi
13
d.
Untuk menemukan manfaat cinta menurut Mohandas Karamchand Gandhi dalam interaksi sosial di Indonesia.
D. Tinjauan Pustaka Menurut Dhirendra Mohan Datta (1953: 62) bahwa menurut Mohandas Karamchand Gandhi manusia itu merupakan bagian dari alam, dan tumbuh serta lenyap sesuai dengan hukum alam. Keberadaan manusia tidak hanya berupa tubuh (jasmani saja), akan tetapi berupa kesadaran, pikiran, hati nurani, kehendak, dan perasaan serta semacam kualitas dan potensi yang berupa spirit (semangat) atau jiwa yang ada pada manusia. Bertolak dari pernyataan tersebut, manusia menurut Mohandas Karamchand Gandhi terdiri dari jasmani dan rohani. Rohani manusia di dalamnya terdapat kesadaran, rasio, kehendak, emosi dan rasa keindahan. Dengan kesadaran manusia mampu mengambil jarak dengan lingkungannya. Adapun rasio menyebabkan manusia sanggup bertanya dan sekaligus menjawab terhadap kesadarannya. Sementara dengan kehendak dapat diwujudkan apa yang menjadi pemikirannya. Emosi menyebabkan manusia dapat mengetahui hubungan antara sesamanya. Akhirnya dengan keindahan manusia dapat menghargai budaya bangsa bagaimanapun coraknya (Wegig, 1986: 60). Ungkapan tersebut sebenarnya hanyalah merupakan sebagian kecil dari seluruh pemikirannya, namun hal tersebut mengandung suatu makna yang dalam, karena sebenarnya potensi dari manusia untuk menjadi bagaimana seharusnya menjadi manusia, telah ada dalam diri manusia itu sendiri. Apabila manusia mempunyai kecenderungan yang mengarah pada pemikiran, ucapan dan perbuatan yang bertentangan dengan nilai
14
moral, maka dirinya sendiri sebenarnya mampu mengetahui dan memperbaikinya. Akan tetapi tidaklah demikian halnya, karena tidak dapat dipungkiri banyak orang yang mengatakan bahwa apabila manusia melihat kebenaran, maka manusia itu akan melakukannya. Namun tidak mesti demikian, karena walaupun mengetahui apa yang benar belum tentu manusia memilih yang benar. Mengapa demikian, karena manusia telah dihinggapi oleh kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan yang tidak benar, yang berarti telah mengkhianati cahaya yang ada dalam diri manusia (Gandhi, 1988: xiv). Mohandas
Karamchand
Gandhi
menjadi
terkenal
dikarenakan
oleh
keberanian dalam pemikiran, ucapan, dan tindakannya yang tanpa menggunakan kekerasan. Sikap yang demikian itu bertumpu pada keyakinannya akan kekuatan cinta dan persaudaraan universal yang dianggap sebagai suatu potensi kebenaran yang mampu merubah situasi sosial dan politik. Dalam dimensi sosial, Mohandas Karamchand Gandhi mampu mengajarkan suatu pandangan tentang identitas universal spesies tunggal manusia, dengan maksud untuk mempersatukan pluralitas bangsa di dunia ini. Gagasannya itu dituangkan dalam karyanya yang berjudul “All Men Are Brothers” (Semua Manusia Bersaudara). Atas dasar pemikiran itu cintailah semua manusia termasuk musuh sekalipun. Manusia tidak boleh memaksa lawan dengan cara kekerasan dan penindasan, akan tetapi hendaknya menusia itu senantiasa memberanikan diri untuk mengubah sikap lawan atas dasar kemauan bebas. Sementara dalam politik, sejarah telah mencatat bahwa Mohandas Karamchand Gandhi adalah seorang pejuang kemerdekaan, yang telah membawa India memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1947.
15
Bertolak dari kenyataan di atas, maka kiranya benar apa yang dikatakan oleh Albert Einstein yang menyatakan bahwa “Gandhi adalah seorang politikus jenius terbesar pada masa kita ini”, di mana tanpa budaya etis tidaklah
mungkin terjadi
penyelamatan bagi umat manusia (Cremers,1997: 32, 33, 37, dan 79). Konsep dan makna pemikiran Mohandas Karamchand Gandhi tentang cinta dibentuk atas dasar berbagai pengaruh yaitu: 1.
Pengaruh Hinduisme Hinduisme
mengetengahkan
pencarian
kebenaran,
menghormati
kehidupan, upaya pembebasan dari belenggu hawa nafsu, pengorbanan segala-segalanya untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, kebajikan, kejujuran, ketulusan hati, kebersihan hati, cinta, tidak merugikan orang lain, tabah dan sabar. Menurut Bhagawan Sri Sathya Narayana (Jendra dalam Supartha ed., 1994: 149-150) bahwa dalam tradisi pemikiran Hinduisme yang mendasarkan Weda mengetengahkan panca pilar (lima tiang) sebagai nilainilai kemanusiaan (human values) yaitu (a) Satya (truth); (b) Dharma (Right conduct); (c) Prema (love); (d) Shanti (peace); dan (e) Ahimsa (nonviolence). Kelima pilar itu bersumber dari Prema (love) atau cinta, dengan pengertian sebagai berikut. Pertama, love as thought is truth, artinya cinta dalam wujud pikiran adalah kebenaran (sathya). Kedua, love as action is right conduct, artinya cinta dalam wujud perbuatan adalah kebajikan (dharma). Ketiga, love as feeling is peace artinya cinta dalam wujud perasaan adalah kedamaian (shanti). Keempat, love as understanding is non violence, artinya cinta dalam wujud pengertian adalah tidak melakukan tindak kekerasan (ahimsa). Selain
16
itu juga dinyatakan bahwa setiap perwujudan manusia adalah (1) Sat, artinya setiap manusia itu merupakan perwujudan kebenaran; (2) Cit, artinya setiap manusia itu merupakan perwujudan keberadaan; dan (3) Ananda, artinya setiap manusia itu merupakan perwujudan kebahagiaan (Susanto dalam Tim Redaksi Drijakara, peny., 1993: 66). Dalam tradisi pemikiran Hinduisme, ada suatu keyakinan bahwa “Ibu” dari kemanusiaan adalah Tat Twam Asi (dalam Chandogya Upanisad) atau So Ham (dalam Isa Upanisad) atau Aham Brahmo Asmi (dalam Brhadaranyaka Upanisad). Ketiga hal tersebut di atas artinya “Itu” (Tat) sama dengan kamu; saya adalah Siwa; dan saya adalah Brahman. Kata-kata tersebut mengandung makna yang bersifat internal dan eksternal dengan penjelasan bahwa apabila diri manusia dilihat secara internal, manusia atau makhluk lain menyebut dirinya Aham Brahmo Asmi (saya adalah Brahman) atau So Ham (saya adalah Siwa). Sementara apabila diri manusia atau makhluk lain, manusia menyebut mereka Tat Twam Asi ialah “Itu” (Dia, Tuhan) adalah sama dengan kamu. Diantara pemikir-pemikir Hinduisme, Mohandas Karamchand Gandhi sangat tertarik pada pemikiran-pemikiran Hinduisme yang tercantum dalam Upanisad dan Bhagavadgita, karena isinya banyak menawarkan ajaran moral dalam rangka mencapai kesempurnaan. Baginya Bhagavadgita bukanlah sekedar sebagai kitab suci, tetapi lebih dari itu, yaitu dianggap sebagai “ibunya” (Thekkinedath, 1971: 24).
17
2.
Pengaruh Kristiani Mohandas Karamchand Gandhi sudah mengetahui Kristiani sebelum ia pergi ke London untuk melanjutkan studi. Akan tetapi setelah ia berada di London, ia mulai membaca kitab suci Perjanjian Baru (New Testament), terutama Khotbah di Bukit. Dia merasa tertarik terhadap isi khotbah di bukit dan menyentuh hatinya (Thekkinedath, 1971: 24-25; Amaladass, Raj, Elampassery (ed.,), 1986: 143)
3.
Pengaruh Leo Tolstoy Mohandas Karamchand Gandhi juga terpengaruh oleh Tolstoy, terutama melalui bukunya yang berjudul The Kingdom of God is within You. Suatu hal yang menarik bagi Mohandas Karamchand Gandhi, yaitu apa yang dikatakan oleh Tolstoy bahwa cinta itu merupakan suatu prinsip tidak melawan dengan kekerasan dan tidak bekerja sama (Dear, 2007: 233; Thekkinedath, 1971: 29).
4.
Pengaruh John Ruskin Mohandas Karamchand Gandhi terpengaruh pula oleh pemikiran John Ruskin, lewat karyanya yang berjudul Unto This Last, yang kemudian buku itu diterjemahkannya dengan judul Sarvodaya (Richards, 1982: 74). Konsep dan makna cinta menurut Mohandas Karamchand Gandhi berakar
dari pemikiran Hinduisme, yang kemudian dikembangkan dan dipraktekkan atas dasar pengaruh dari pemikiran yang berasal dari luar. Cinta menurut Mohandas Karamchand Gandhi termasuk cinta yang berjenjang tertinggi dan mempunyai makna yang dalam.
18
Menurut Thoby M. Kraeng (2000: 9-10) cinta adalah suatu sikap hidup manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia dan Tuhan.
Ada tiga
jenjang/model cinta yaitu cinta seksual, cinta erotis, dan cinta agape. Manusia sebagai makhluk mempunyai kerinduan yang dalam untuk mencintai dan dicintai serta kerinduan yang dalam itu tergantung dalam cinta agape. Cinta agape adalah suatu jenjang/ model yang luhur dari Ilahi. Dalam hal ini cinta agape bukanlah bermakna cinta supaya dicintai, tetapi cinta supaya mencintai. John Powell dalam bukunya yang berjudul The Secret of Stying in Love (1992: 70 dan 72) menyatakan bahwa cinta pada umumnya diperkuat oleh perasaan-perasaan sebagai pendukung, akan tetapi cinta itu sendiri bukan perasaan, sebab apabila cinta itu perasaan, maka cinta itu dapat berubah, dan cinta yang berubah merupakan ketidaksetiaan. Cinta yang tulus atau cinta tidak bersyarat haruslah merupakan hadiah yang diberikan secara cuma-cuma. Menurut Erich Fromm (Powell, 1992: 74) bahwa : “Cinta tak bersyarat berhubungan langsung dengan kerinduan yang paling dalam, bukan hanya kerinduan pada anak tetapi kerinduan pada setiap manusia; sebaliknya, dicintai karena kepantasan diri atau karena berhak menerima cinta selalu menimbulkan keraguan; mungkin saya tak dapat membahagiakan orang yang saya inginkan mencintai saya. Atau mungkin, selalu ada rasa cemas jangan-jangan suatu waktu cinta akan lenyap. Selain itu, cinta yang didapat karena kepantasan mudah meninggalkan rasa getir dalam kesan: orang dicintai bukan karena dirinya, tetapi karena kemampuan membuat orang lain senang. Ini bukan cinta, tetapi manipulasi (The Art of Loving)”. Menurut Mohandas Karamchand Gandhi (Datta, 1953: 75-76 dan 91) cinta adalah esensi dari moralitas. Baginya moralitas merupakan sesuatu yang sangat fundamental dalam kehidupan, dan merupakan sumber dari ahimsa. Menurut sejarah pemikiran India, ahimsa diajarkan pertama kali oleh ajaran Jaina
19
(Jainisme) pada abad ke-6 SM, sebagai suatu reaksi terhadap pemikiran zaman Brahmana. Pada masa itu Jainisme menganggap bahwa ahimsa diartikan sebagai suatu perilaku yang tidak melukai, tidak menyakiti, tidak bohong, tidak mencuri dan melawan ketidaksucian
yang terikat duniawi. Kesemuanya itu harus
diwujudkan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari sebagai suatu upaya untuk mencapai kelepasan (Radhaknishnan, 1957: xxii-xxx). Selain itu ahimsa juga telah diajarkan oleh Upanisad, Buddhisme dan Hinduisme orthodox (Datta, 1953:88). Akan tetapi yang mengajarkan ahimsa secara radikal ialah Jainisme yaitu berupa sikap moral yang tidak melukai, tidak merugikan, dan tidak membunuh mulai dari bakteri atau amuba yang sangat kecil serta tanam-tanaman hingga manusia. Ahimsa yang pernah
digunakan sebagai referensi (rujukan)
dalam kehidupan Albert Schweitzer itu, kemudian diangkat oleh Mahatma Gandhi sebagai
prinsip pantang kekerasan dengan lebih
idealistik dan
bersifat
positivistik,
pragmatik (Bilimonia, 1995: 159 ; Lal, 1973: 99). Selain itu
Mohandas Karamchand Gandhi juga menyatakan, bahwa pantang kekerasan bukanlah merupakan sikap terhadap orang atau golongan yang lemah, karena ada keyakinan bahwa sejarah telah memberikan pelajaran padanya apabila kebencian dan kekerasan digunakan untuk tujuan yang mulia sekalipun, akan menghasilkan hal yang sejenis dan tidak mendatangkan kedamaian, akan tetapi justru membahayakan (Gandhi, 1988: 61). Dalam konteks Negara Republik Indonesia penulis berpendapat bahwa cinta menurut Mohandas Karamchand Gandhi relevan, mengingat sistem sosialnya bersifat majemuk. Masyarakat yang mempunyai sistem sosial majemuk menuntut
20
adanya solidaritas sosial di antara anggota masyarakatnya, agar integrasi nasional dapat diwujudkan. Emile Durkheim (1893: 34); Langer dalam Beilharz (2002: 106-107); Abdullah dan Leeden (1986: 13-18) menggolongkan solidaritas sosial menjadi dua macam, yaitu solidaritas mekanis dan solidaritas organis. Solidaritas mekanis terjadi karena adanya persamaan individu atau adanya perbedaan yang masih terbatas. Sementara solidaritas organis terjadi karena telah berkembangnya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Dalam hubungannya dengan sistem sosial Indonesia yang majemuk akan tetapi terintegrasi, Nasikun (1988 : 9-17) menggunakan pendekatan teoritis yang disebut fungsionalisme struktural (integration, order approach, equilibrium approach) yang dikembangkan oleh Talcott Parsons, dan pedekatan konflik non Marxis yang dikembangkan oleh Ralf Dahrendorf.
Pendekatan
fungsionalisme
struktural
menganggap
bahwa
masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan para anggotanya berdasarkan nilainilai tertentu. Pendekatan konflik beranggapan bahwa: 1. Setiap masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan; 2. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya; 3. Setiap unsur dalam masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial; dan 4. Setiap masyarakat terintegrasi atas dasar penguasaan atau dominasi sejumlah orang atas sejumlah orang yang lain.
E. Landasan Teori. Penelitian yang berjudul Makna Cinta Menurut Mohandas Karamchand Gandhi (1869-1948): Relevansinya bagi Pengembangan Solidaritas Sosial di
21
Indonesia, merupakan penelitian kepustakaan (library research). Objek material penelitian ini yaitu cinta menurut Mohandas Karamchand Gandhi, objek formalnya yaitu etika. Penelitian ini selain akan dibahas dari sudut pandang teori etika juga akan ditelaah menggunakan teori emanasi, teori intgrasi, teori perubahan sosial, teori solidaritas, dan teori eklektis-inkorporasi. Selanjutnya bertolak dari latar belakang masalah, perumusan masalah, dan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan, disusunlah suatu landasan teori yang dijadikan penuntun bagi penulis dalam penelitian dan pemecahan permasalahannya. Adapun landasan teori yang digunakan adalah sebagai berikut: 1.
Teori etika teleologis (Teleological ethical theory) Menurut Ali Mudhofir dalam bukunya yang berjudul Kamus Etika (2009: 213-215 dan 470), teleologi berasal dari bahasa Yunani telos yang artinya akhir, tujuan, keadaan utuh, dan logos yang artinya kajian tentang, prinsip rasional dari. Atau dapat dikatakan sebagai suatu kajian tentang gejala yang merupakan keteraturan, rencana, tujuan akhir, cita-cita, kecenderungan, sasaran dan arah serta bagaimana semuanya itu dapat dicapai dalam proses perkembangan. Teori etika teleologis beranggapan bahwa akibat atau hasil dari tindakan moral menentukan nilai tindakan. Di samping itu teori etika teleologis beranggapan bahwa nilai moral dari suatu tindakan dinilai berdasarkan pada sejauh mana tindakan itu mencapai tujuannya. Selain itu dalam teori etika teleologis di dalamnya kebenaran dan kesalahan suatu tindakan dinilai berdasarkan tujuan akhir yang diinginkn. Ada dua macam teori etika teleologis, yaitu utilitarianisme tindakan (act utilitarianism) dan
22
utilitarianisme peraturan (rule utilitarianism). Utilitarianisme tindakan sering pula disebut dengan istilah traditional utilitarianism. Menurut utilitarianisme tindakan seseorang harus mengajukan pertanyaan “Apa akibat dari perbuatan saya yang berupa kebaikan dan mengurangi keburukan?. Adapun menurut utilitarianisme peraturan (rule utilitarianism), seseorang harus mengajukan pertanyaan “Apa akibat bagi setiap orang yang mengikuti peraturan ini yang menghasilkan kebaikan dan mengurangi keburukan?
2.
Teori etika deontologis (Deontological ethical theory) Menurut Ali Mudhofir dalam bukunya yang berjudul Kamus Etika (2009: 141, 143,145-146) deontologis berasal dari bahasa Yunani deon yang artinya kewajiban moral, yang mengikat secara moral, benar secara moral, kewajiban, perintah, kemestian, dan logos yang artinya kajian tentang alasan pokok dari sesuatu, ilmu tentang, dan uraian tentang, kajian tentang konsep kewajiban (tanggung jawab dan keterikatan). Teori etika deontologis adalah teori etis yang terutama berkaitan dengan kewajiban moral (moral obligation) sebagai suatu hal yang benar. Kewajiban moral berkaitan dengan kewajiban (duty), yang seharusnya, kebenaran moral atau kelayakan. Kewajiban moral mengandung keharusan melakukan tindakan.
3.
Teori etika keutamaan (Virtue-ethics theory) Menurut Ali Mudhofir dalam bukunya yang berjudul Kamus Etika (2009: 216) teori etika keutamaan mempelajari keutamaan atau kebajikan (virtue),
23
yaitu sifat watak yang dimiliki oleh manusia. Etika keutamaan tidak menyelidiki apakah perbuatan manusia baik atau buruk, akan tetapi menanyakan dan mempelajari apakah perbuatan baik dan buruk. Etika keutamaan ingin menjawab pertanyaan “Saya harus menjadi orang yang bagaimana?”. Adapun watak yang mengandung keutamaan antara lain, yaitu; baik hati, ksatria, belas kasih, terus terang, bersahabat, murah hati, bernalar, percaya diri, penguatan diri, sadar, suka bekerja bersama, berani, santun, jujur, terampil, adil, setia, moderat, disiplin, mandiri, bijaksana, peduli, dan toleran.
4.
Teori emanasi (Emanation theory) Kata emanasi sering dikaitkan dengan kata panteisme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 295 dan 826) arti kata emanasi yaitu sesuatu yang memancar (mengalir) sedang arti kata panteisme yaitu suatu ajaran yang menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan alam semesta. Atau dengan kata lain dapat dijelaskan sebagai suatu pandangan yang menyatakan bahwa proses penjadian alam semesta dan isinya dialirkan (dipancarkan) dari Tuhan. Berikut ini penulis kemukakan dua macam teori emanasi, yaitu: a. Teori emanasi Plotinos (284-269), yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini mengalir keluar dari “Yang Ilahi” (Hadiwijono, 1980: 67). b. Teori emanasi Hinduisme di India, menurut Taittiriya Upanisad bahwa yang keluar (mengalir) dari Brahman sebagai yang dipertuhan yaitu
24
akasa (ether), dari akasa mengalir hawa, dari hawa mengalir api, dari api mengalir air, dari air mengalir bumi, dari bumi mengalir tumbuhan, dari tumbuhan keluar makanan, dari makanan keluar manusia (Hadiwijono, 1971: 20).
5.
Teori integrasi (Integration theory) Untuk mengetahui struktur masyarakat Indonesia yang secara formal merupakan negara kesatuan, akan tetapi adakalanya masih terjadi konflik, maka akan digunakan teori fungsionalisme struktural dan teori konflik (non Marxis). Teori fungsionalisme struktural dikemukakan oleh Talcott Parsons dan teori konflik non-Marxis yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf dapat digunakan untuk menganalisis berbagai dinamika dan konflik internal serta adanya hambatan dan tekanan yang ditimbulkan oleh suatu lingkungan (Poerwanto, 2008: 143).
6.
Teori perubahan sosial (Social change theory) Perubahan sosial diartikan sebagai suatu perbedaan keadaan yang berarti dalam unsur masyarakat dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Perubahan sosial juga diartikan sebagai suatu proses perkembangan unsur sosial budaya dari waktu ke waktu yang membawa perbedaan yang berarti dalam struktur dan fungsi masyarakat. Adapun teori-teori yang digunakan untuk mengetahu proses perubahan sosial sebagai berikut. Teori- teori yang digunakan yaitu teori-teori klasik yang menggunakan pola linier (linier
25
change), pola siklis
(cyclical change), dan gabungan antara teori yang
menggunakan pola linier dan siklis (Hendropuspito, 1989: 256, 263, 266-267; Sunarto, 2004: 204). Selain itu juga digunakan teori-teori perubahan sosial yang bersifat modern, yaitu teori modernisasi, teori ketergantungan, dan teori sistem dunia (Sunarto, 2004: 207-208).
7.
Teori solidaritas (Solidarity theory) Untuk mengetahui solidaritas sosial di Indonesia digunakan teori solidaritas Emile Durkheim (Langer dalam Beilharz, 2002:106-107; Abdullah dan Leeden, 1986:13-18) yang menyatakan bahwa ada dua macam tipe solidaritas sosial yaitu solidaritas sosial mekanis dan solidaritas sosial organis.
8.
Teori eklektis-inkorporasi (Incorporation Eclectie theory) Dalam kaitannya dengan kemungkinan adanya pengaruh aliran filsafat yang berasal dari luar (asing), bangsa Indonesia tidak senantiasa menolak, sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Notonagoro (1974:19) dalam pidato penganugerahan gelar doctor honoris causa dalam ilmu filsafat menyatakan bahwa: “Di dalam menghadapi filsafat dari luar, telah dipikirkan dan diketemukan tjara untuk mendapatkan kemanfaatan jang sebaik-baiknja dari padanja, jaitu mengambil adjaran-adjaran kefilsafatan jang merupakan kenjataan dan kebenaran atau jang disebut secara eklektis, dengan melepaskan dari dasar sistim atau aliran filsafat jang bersangkutan dan selandjutnja diinkorporasikan jaitu dimasukkan dalam struktur filsafat Pantjasila, dengan lain perkataan diganti dasarnja jaitu mendjadi berdasarkan Pantjasila dan didjadikan unsur jang serangkai dalam struktur filsafat
26
Pantjasila. Misalnja prinsip kefilsafatan demokrasi adalah sebagai pendjelmaan dari hak kebebasan manusia, di dalam sistim filsafat Pantjasila tidak didasarkan atas kebebasan manusia sebagai individu melulu, akan tetapi atas hak kebebasan manusia, sebagai individu dan makhluk sosial dalam kesatuan dwitunggal jang seimbang, harmonis dan dinamis. Mungkin metode eklektis-inkorporasi ini dapat mendjadi jalan mendekatkan sistim-sistim filsafat di dunia.”
F. Metode Penelitian 1.
Bahan atau materi penelitian Bahan atau materi penelitian yang digunakan dalam penelitian yang berjudul
Makna
Cinta
Menurut
Mohandas
Karamchand
Gandhi
(1869-1948):
Relevansinya bagi Pengembangan Solidaritas Sosial di Indonesia, adalah sebagai berikut: a. Sumber primer, yaitu berupa buku-buku atau naskah-naskah yang ditulis oleh Mohandas Karamchand Gandhi. Adapun buku-buku yang menurut penulis ada hubungan dengan materi penelitian yaitu: 1) Gandhi’s Autobiography: The Story of My Experiments With Fruth, Public Affairs Press, Washington, D.C., 1954, secara singkat buku ini menjelaskan perjalanan kehidupannya mulai dari masa kelahiran, asalusul masa kanak-kanak, masa pendidikan di sekolah menengah di India, masa studi menuntut ilmu hukum di London, masa pengembaraannya di Afrika Selatan, dan perjuangannya melawan penjajah Inggris dengan mengunakan pendekatan ahimsa dan satyagraha. 2) Ethical Religion, Navajivan Publishing House, Ahmedabad, 1968. Secara singkat buku ini menjelaskan tentang moral yang ideal (tertinggi),
27
perbuatan bermoral atau perbuatan susila, hukum yang mengatasi semua hukum (hukum tertinggi), religi dan kesusilaan (moral). 3) My God, Navajivan Publishing House, Ahmedabad, 1962. Secara singkat buku ini menjelaskan tentang arti dan makna Tuhan, kenyataan tentang Tuhan, sifat Tuhan, Kebenaran adalah Tuhan, Ahimsa, Kejahatan dan Tuhan, ganjaran, jalan menuju Tuhan, mengabdikan kepada Tuhan, bhakti sejati, inkarnasi Tuhan, dan makna Tuhan bagi Mohandas Karamchand Gandhi (Gandhi, 1962: 3-55; Gandhi, 1996: 9-82). 4) All men are brathers: Life and Thoughts of Mahatma Gandhi as told in his own words, Navajivan Trust, Ahmedabad, 1958. Secara singkat isi buku itu menjelaskan tentang riwayat hidup, agama dan kebenaran, ahimsa, pengendalian diri, perdamaian dunia, kemiskinan, demokrasi, pendidikan , dan wanita. b. Sumber sekunder, yaitu berupa buku-buku atau naskah-naskah yang tidak ditulis oleh Mohandas Karamchand Gandhi, akan tetapi erat kaitannya dengan objek material dan formal penelitian ini. Sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini digolongkan sebagai berikut: 1) Buku-buku yang isinya membahas tentang pemikiran Mohandas Karamchand Gandhi, akan tetapi ditulis oleh orang lain. Buku itu antara lain yaitu: a) Chatterjee, Margaret, 1983, Gandhi’s Religious Thought; University of Notre Dame Press, Indiana.
28
b) Datta, Mohan Dhirendra, 1953, The Philosophy of Mahatma Gandhi, The University of Winconsin Press, Toronto. c) Iyer, Raghavan, 1990, The Essential Writing of Mahatma Gandhi, Oxford University Press, New Delhi. d) Nanda, R.B., 1985, Gandhi and His Critics, Oxford University Press, Bombay, Calcuta, Madras. e) Reddy, S., E., 1995, Gandhiji’s Vision of A Free South Africa, Jagdish Malhotra for Sancar Pubhishing House, New Delhi. f)
Richard, Glyn, 1982, The Philosophy of Gandhi: A Study of His Basic Ideas, Curzon Press, Londan and Dublin.
g) Vyas, Ashwin, 2000, Mahatma Gandhi and Social Stratification, Archana Publication 286, Chanakya Puri, Sadar, Meerut-250001 (India). 2) Buku-buku yang membahas tentang cinta, antara lain yaitu: a) Fromm, Erich, 2005, The Art of Loving, Syafi’ Aliel’ha, pen., Fresh Book, Jakarta Timur. b) Post G. Stephen, 1951, Unlimited Love: Altruism, Compassion, and Service, Templeton Foundation Press, Philadelphia and London. c) Tillich, Paul, 2004, Cinta, Kekuasaan, dan Keadilan, judul asli: Love, Power and Justice, Muhammad Hardani, pen., Pustaka Eureka, Surabaya. d) Kraeng, M., Thoby, SVD, 2000, Cinta yang Memanusiakan, Cetakan pertama, Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores.
29
e) Powell, John, S.J., 1992, Cinta Tak Bersyarat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. 3) Buku-buku, jurnal, internet, dan majalah yang merupakan sumber sekunder yang lain. Data yang berasal dari sumber-sumber tersebut terutama yang membahas tentang filsafat secara umum, metafisika, epistemologi, aksiologi, etika, filsafat Pancasila, metode penelitian filsafat, cinta, sistem sosial Indonesia, teori etika, teori emanasi, teori integrasi, teori perubahan sosial, teori solidaritas, teori eklektisinkorporasi, kekerasan, dan perdamaian.
2.
Alat penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini ialah berupa buku catatan dan
kartu-kartu untuk menulis data yang berasal dari buku-buku atau sumber-sumber yang telah dibaca.
3.
Jalan penelitian Penelitian yang berjudul: Makna Cinta menurut Mohandas Karamchand
Gandhi (1869-1948): Relevansinya bagi Pengembangan Solidaritas Sosial di Indonesia, apabila dikaji dari makna yang tersirat dalam judul, maka penelitian ini termasuk tipe penelitian mengenai konsep pemikiran seorang tokoh (filosof). Di sisi lain apabila ditinjau dari jenisnya, penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan filsafat yang bersifat deskriptif kualitatif (Kaelan, 2005:247). Dalam melaksanakan penelitian kepustakaan (library research) ini dilaksanakan dengan
30
langkah-langkah yang bersifat teknis dan strategis. Langkah-langkah ini dimulai sejak persiapan penelitian, samapai dengan pembuatan laporan penelitian (Kaelan, 2005:243). Bertolak dari pengertian langkah-langkah tersebut, maka jalan penelitian ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a.
Persiapan penelitian Pada tahap persiapan penelitian ini dilaksanakan serangkaian kegiatan sebagai berikut: 1) Menyusun kerangka penelitian 2) Menyiapkan alat penelitian berupa buku catatan, dan kartu data 3) Mengurus perizinan untuk membaca, mengkopi, dan meminjam bukubuku atau naskah-naskah yang berkaitan dengan objek material dan objek formal pada perpustakaan yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. 4) Mengurus perizinan untuk membaca dan mengkopi buku dan meminjam buku-buku atau naskah-naskah yang berkaitan dengan objek material dan objek formal pada perpustakaan Universitas Hindu Indonesia di Denpasar, Bali. 5) Mengurus perizinan untuk mengadakan kunjungan dan wawancara serta mengkopi buku-buku yang ada kaitannya dengan objek material dan objek formal penelitian pada Ashram Gandhi Candi Dasa milik Ibu Gedong Bagoes Oka, di Karangasem, Bali. 6) Mengurus perizinan untuk mengadakan kunjungan, dengan maksud untuk
memperoleh
gambaran
tentang
perkembangan
pemikiran
31
Mohandas Karamchand Gandhi di India dan dunia internasional pada Kedutaan Besar India di Jakarta. 7) Mengurus
perizinan
untuk
mengadakan
kunjungan
pada
Pusat
Kebudayaan Indonesia di Jakarta dengan maksud untuk membaca, mengkopi
buku-buku
atau
naskah-naskah
tentang
Mohandas
Karamchand Gandhi, yang ada kaitannya dengan objek material dan objek formal penelitian
b. Pengumpulan data Tahapan berikutnya setelah selesai mengurus perijinan ke lembaga-lembaga sebagaimana dipaparkan pada tahap persiapan penelitian adalah tahapan pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan dengan membaca buku-buku sumber, baik primer maupun sekunder. Sumber yang dibaca meliputi buku, jurnal hasil penelitian, majalah, data dari internet, dan makalah yang ada hubungannya dengan objek material dan objek formal penelitian. Di samping membaca sumber, juga dibuat catatan-catatan pada kartu data. Cara mencatat pada kartu data dilaksanakan dengan beberapa cara yaitu: 1) Mencatat data secara quotasi, artinya data dikutip secara langsung tanpa mengubah sedikitpun data aslinya. Pencatatan secara demikian dilakukan terutama untuk data yang bersifat substansial, dan untuk menjaga tingkat keobyektifannya.
32
2) Mencatat data secara paraphrase, artinya pencatatan data dengan kalimat yang disusun oleh peneliti sendiri. Catatan yang demikian dibuat setelah membaca dan menganalisis, yang kemudian dicatat inti sarinya. 3) Mencatat secara synopsis, artinya pencatatan data yang berupa ringkasan dari hasil pembacaan sumber. 4) Mencatat
secara
précis,
artinya
pencatatan
data
dengan
cara
mengelompokkan berdasarkan kategori data. Pengelompokan itu misalnya kelompok ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
c.
Reduksi data Data penelitian yang telah dikumpulkan direduksi dan diseleksi atau dirangkum, dipilah dan dipilih untuk dapat ditemukan maknanya yang substansial, dan sesuai dengan objek material dan objek formal dari penelitian yang dilakukan.
d. Klasifikasi data Data yang telah direduksi, kemudian dikelompokkan atas dasar ciri masingmasing
objek
formal
penelitian,
yaitu
mencakup
data
metafisika,
epistemologi, aksiologi, filsafat sosial, filsafat Pancasila, dan filsafat perdamaian (Kaelan, 2005: 69-70, 159-161).
33
e.
Display data Data yang telah diklasifikasikan, diatur sesuai dengan peta penelitian tentang Makna Cinta menurut Mohandas Karamchand Gandhi (1869- 1948): Relevansinya bagi Pengembangan Solidaritas Sosial di Indonesia, dalam perspektif filsafat Timur pada umumnya dan filsafat India pada khususnya, serta terutama Filsafat Mohandas Karamchand Gandhi.
4.
Analisis penelitian Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode sebagaimana
dikemukakan oleh Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair (1994: 63-65) dan Kaelan (2005: 250-254), yaitu: a. Deskripsi, artinya peneliti menguraikan secara teratur konsepsi pemikiran Mohandas Karamchand Gandhi. Selain itu peneliti juga menguraikan secara cermat mengenai faktor-faktor pemikiran yang mempengaruhinya, dan kemungkinan pemikirannya juga mempengaruhi para pemikir yang lain. Langkah demikian peneliti lakukan mengingat Mohandas Karamchand Gandhi adalah pemikir yang hidup dalam rentang masa tertentu (rentang sejarah). b. Periodisasi,
artinya
peneliti
berupaya
mengemukakan
tahapan/
perubahan/perkembangan pemikiran Mohandas Karamchand Gandhi semasa hidupnya. c. Rekonstruksi biografis, artinya peneliti menguraikan mengenai riwayat hidup, keadaan keluarga, lingkungan sosial, budaya, politik, pendidikan, dan pola-
34
pola pemikiran yang berkembang pada masa kehidupan Mohandas Karamchand Gandhi. d. Holistika, artinya dalam rangka peneliti memahami konsep-konsep pemikiran Mohandas Karamchand Gandhi, maka konsep-konsep pemikiran itu harus dilihat dalam keseluruhan visinya, baik yang menyangkut manusia, alam, dan Tuhan. e. Komparasi,
artinya
peneliti
membandingkan
pemikiran
Mohandas
Karamchand Gandhi dengan pemikiran tokoh-tokoh yang lain, baik yang sama, berbeda, maupun yang bertentangan. f. Hermeneutika, artinya peneliti berusaha menafsir makna yang substansial terhadap pemikiran Mohandas Karamchand Gandhi, terutama mengenai cinta. Dalam hal ini peneliti menganalisis data yang telah dikumpulkan, dipahami esensinya dalam hubungannya era dewasa ini. g. Heuristik, artinya setelah peneliti berusaha menemukan makna cinta menurut Mohandas Karamchand Gandhi, kemudian direnungkan untuk menemukan pemikiran baru dalam hubungannya dengan kehidupan manusia yang kongkret dewasa ini. h. Interpretasi, artinya peneliti berusaha mendalami pemikiran kefilsafatan Mohandas Karamchand Gandhi, terutama mengenai cinta, dengan maksud untuk dapat mengetahui makna dan nuansa pemikirannya secara spesifik. i. Refleksi, artinya peneliti dengan bertolak dari pemikiran Mohandas Karamchand Gandhi terutama mengenai makna cinta, kemudian dibentuk
35
suatu konsep pemikiran dalam kerangka relevansinya dengan pengembangan solidaritas sosial Indonesia yang berdasarkan pada filsafat Pancasila.
G. Sistematika Laporan Hasil Penelitian Laporan hasil penelitian ini penulis susun dengan sistematika sebagai berikut: Bab kesatu berisi pendahuluan, yang menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, bahan atau materi penelitian, alat, jalan penelitian, analisis hasil penelitian, dan sistematika laporan hasil penelitian. Bab kedua berisikan pendekatan teoritis terhadap makna cinta menurut Mohandas Karamchand Gandhi yang mencakup pengertian teori, etika dan permasalahannya, pengertian etika, pembagian etika, permasalahan etika, dan manfaat etika, teori etika teleologis (teleological ethical theory), teori etika deontologis (deontological theory), teori etika keutamaan (virtue-ethics theory) teori emanasi (emanation theory), teori integrasi (integration theory), teori fungsionalisme struktural (structural fungsionalism theory), teori konflik (conflict theory), teori solidaritas (solidarity theory), teori perubahan sosial (social change theory), teori eklektif inkorporatif (Incorporation eclektie theory) Bab ketiga berisi tentang pemikiran kefilsafatan Mohandas Karamchand Gandhi yang menguraikan tentang riwayat hidup Mohandas Karamchand Gandhi, karya-karya Mohandas Karamchand Gandhi, faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran kefilsafatan Mohandas Karamchand Gandhi, pengaruh Hinduisme
36
dalam pemikiran kefilsafatan Mohandas Karamchand Gandhi, pengaruh Kristiani dalam pemikiran kefilsafatan Mohandas Karamchand Gandhi, pengaruh Leo Tolstoy dalam pemikiran kefilsafatan Mohandas Karamchand Gandhi, pengaruh John Ruskin dalam pemikiran kefilsafatan Mohandas Karamchand Gandhi, pengaruh Henry David Thoreau dalam pemikiran kefilsafatan Mohandas Karamchand Gandhi, pandangan tentang Tuhan menurut Mohandas Karamchand Gandhi, pandangan tentang alam semesta (dunia), pandangan tentang manusia menurut Mohandas Karamchand Gandhi, pandangan tentang agama menurut Mohandas Karamchand Gandhi, dan pandangan tentang moral menurut Mohandas Karamchand Gandhi. Bab keempat berisi tentang hakikat cinta menurut Mohandas Karamchand Gandhi, yang menguraikan tentang pengertian cinta, jenis cinta, pengertian cinta menurut Mohandas Karamchand Gandhi, landasan ontologis cinta menurut Mohandas Karamchand Gandhi, landasan epistemologis cinta menurut Mohandas Karamchand Gandi, dan landasan aksiologis cinta menurut Mohandas Karamchand Gandi. Bab kelima tentang kedudukan dan implementasi cinta oleh Mohandas Karamchand Gandhi, yang menguraikan kedudukan cinta menurut Mohandas Karamchand Gandhi, implementasi cinta oleh Mohandas Karamchand Gandhi dalam bidang moral, implementasi cinta oleh Mohandas Karamchand Gandhi dalam bidang sosial, implementasi cinta oleh Mohandas Karamchand Gandhi dalam bidang politik, dan implementasi cinta oleh Mohandas Karamchand Gandhi dalam bidang ekonomi.
37
Bab keenam tentang manfaat makna cinta menurut Mohandas Karamchand Gandhi dalam interaksi sosial di Indonesia, yang menguraikan struktur masyarakat Indonesia, fenomena integrasi dan konflik dalam proses perubahan sosial masyarakat di Indonesia, manfaat cinta menurut Mohandas Karamchand Gandhi bagi pengembangan solidaritas sosial di Indonesia, dan berbagai pendapat tentang cinta menurut Mohandas Karamchand Gandi. Bab ketujuh merupakan bab penutup, yang berisikan tentang kesimpulan hasil penelitian dan saran penulis untuk penelitian selanjutnya.