BAB I PENDAHULUAN A. Analisis Situasi Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi bencana alam yang cukup besar. Indonesia yang terdiri atas beribu pulau dan sebagian besar daerahnya berupa lautan sangat berpotensi untuk terpengaruh pergerakan lempengan-lempengan besar dunia sehingga bencana alam gempa bumi seringkali terjadi di berbagai daerah Indonesia. Di sisi lain, Indonesia juga terletak pada sabuk pegunungan berapi dunia sehingga sebagian besar gunung yang ada di Indonesia merupakan gunung berapi yang aktif setiap waktu. Oleh karena alasan terakhir tersebut, kejadian meletusnya gunung-gunung berapi di Indonesia hampir sering terjadi sepanjang tahun. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki gunung api teraktif di dunia, yaitu gunung merapi. Hampir setiap tahun gunung merapi ini mengeluarkan laharnya, baik dengan intensitas rendah, sedang, maupun tinggi. Kejadian terbaru di Bulan November 2010, gunung merapi meletus dengan mengeluarkan laharnya dan materialmaterial panasnya berupa awan panas yang dapat menyapu segala bentuk kehidupan dengan kecepatan tinggi pada daerah yang dilaluinya. Keberadaan gunung merapi di bagian Utara DIY dan berbatasan dengan Jawa Tengah ini memiliki dilema tersendiri karena berhubungan dengan keberlanjutan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Kejadian meletusnya gunung merapi merupakan fenomena alam yang tidak dapat kita prediksi secara cepat dan tepat. Bagi masyarakat sekitar gunung merapi, kejadian-kejadian alam seperti itu seringkali dianggap memilik hal-hal yang bernuansa mistis. Kejadian meletusnya gunung merapi yang memakan korban manusia telah membuka mata dan pikiran masyarakat lereng merapi. Tingkat bahaya yang sangat besar apabila terjadi gunung meletus telah banyak disadari oleh masyarakat sehingga mereka menjadi lebih paham akan pentingnya penyelematan diri dan keluarga ketika gunung merapi akan memuntahkan lahar dan awan panasnya.
1
Kejadian mengerikan itu sangat mungkin akan membekas secara mendalam pada semua orang yang berada di daerah rawan bencana gunung merapi. Lebih mengkhawatirkan lagi, kejadian tersebut tentu membekas pada anak-anak, sehingga banyak anak-anak korban erupsi merapa mengalami trauma pasca bencana. Ketakutan yang mengakibatkan trauma bila melihat laut karena tsunami, merasakan gempa bumi dan sebagainya bisa berakar hingga menjadi trauma mendalam. Anak-anak lebih mudah mengalami trauma karena pandangan mereka tentang bencana jauh berbeda dengan orang dewasa. Hal inilah yang bisa mempengaruhi mental anak-anak (Kidnesia, 2010). Trauma terhadap bencana pada anak-anak dapat menimbulkan dampak masalah psikologis pada perkembangan jiwa mereka. Kehilangan kesenangan bermain, harta benda, dan bahkan orang yang dicintai telah membawa anakanak pada guncangan jiwa yang mendadak. Mencegah terjadinya gangguan perkembangan kejiwaan akibat ketakutan yang sangat, akibat pengalaman bencana tersebut maka sangat diperlukan pemulihan trauma pasca bencana. Penelitian yang dilakukan Soni Nopembri, dkk (2011) menemukan bahwa stress anak-anak pasca bencana erupsi merapi berada pada tingkat sedang sebanyak 86,36 %, sedangkan tingkat tinggi hanya 4,55 %, dan tingkat rendah, 9,09%. Hal ini diperlukan kegiatan pemulihan Pemulihan trauma pasca bencana pada anak-anak mutlak diperlukan untuk mengembalikan semangat dan keceraiaan mereka terutama dalam menjalani kegiatan-kegiatan yang penting bagi kehidupannya kelak. Berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga sudah banyak memberikan bantuan, baik dalam bentuk material maupuan psikologis. Akan tetapi, bantuan yang diberikan terhadap upaya pemulihan trauma pasca bencana pada anakanak belum banyak dilakukan dikarenakan program pemulihan yang belum memiliki konsep jelas dalam pelaksanaanya. Olahraga sebagai sebuah bentuk khusus dari aktivitas manusia yang lebih menekankan pada gerak manusia secara utuh dapat dijadikan sebagai wahana dalam upaya pemulihan trauma pasca bencana pada anak-anak korban bencana. Olahraga memiliki dampak yang signifikan dalam pengembangan
2
manusia, baik secara fisik maupun psikologis. Berbagai penelitian sudah membuktikan bahwa olahraga secara signifikan dapat memberikan dampak pada perubahan psikologis dan sosial seseorang. Seperti yang diungkapkan oleh Coakley (2001:2) menekankan bahwa sports are more than just games and meets; they are also social phenomena that have meanings that go far beyond scores and performance statistic. Oleh karena itu, olahraga dapat memberikan konstribusi pada pemulihan psikologis dan sosial manusia.
B. Landasan Teori 1. Stress Traumatis Pasca Bencana Secara sederhana, trauma berarti luka atau kekagetan (syok/shock). Penyebab trauma adalah peristiwa yang sangat menekan, terjadi secara tibatiba
dan
di
luar
kontrol/kendali
seseorang,
bahkan
seringkali
membahayakan kehidupan atau mengancam jiwa (Irma S. Martam, 2009). Peristiwa ini begitu mengagetkan, menyakitkan dan melebihi situasi stress yang dialami sehari-hari. Peristiwa ini dinamakan sebagai peristiwa traumatis. Ciri-ciri peristiwa traumatis (Irma S. Martam, 2009) adalah : a. Terjadi secara tiba-tiba. b. Mengerikan, menimbulkan perasaan takut yang amat sangat. c. Mengancam keutuhan fisik maupun mental. d. Dapat menimbulkan dampak fisik, pikiran, perasaan, dan perilaku yang amat membekas bagi mereka yang mengalami ataupun yang menyaksikan. Bencana alam seperti gunung meletus jelas merupakan peristiwa traumatis, karena tidak pernah ada yang bisa meramalkan kapan akan datang dan menimbukan perasaan takut dan mengerikan, sehingga dapat menimbukan trauma bagi yang mengalaminya. Kondisi seperti stres yang kita rasakan setelah munculnya peristiwa traumatis disebut sebagai stres traumatis. Kondisi inilah yang biasa kita kenal sebagai trauma.
3
Gejala trauma sebenarnya dapat juga dialami oleh orang yang tidak mengalami langsung peristiwa traumatis. Misalnya, seseorang yang menonton berita bencana secara terus menerus (Irma S. Martam, 2009). Ia kemudian menjadi sulit tidur, mengalami rasa takut dan waspada berlebihan. Hal semacam ini disebut sebagai trauma sekunder, yaitu stres traumatis yang dialami oleh orang yang tidak mengalami secara langsung. Sesungguhnya setiap manusia, memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah dan menyesuaikan diri terhadap masalah, termasuk dalam menghadapi peristiwa traumatis. Akan tetapi, berbeda dengan stres sehari-hari yang umumnya lebih mudah ditangani, trauma bila tidak segera ditangani dengan baik akan mempengaruhi aktivitas kita dan sangat mengganggu. Seperti telah disebutkan sebelumnya, peristiwa traumatis adalah peristiwa yang sangat mengagetkan, menyakitkan, bahkan mengancam keselamatan jiwa. Oleh karenanya, amatlah wajar jika segera atau beberapa lama setelah mengalami peristiwa tersebut kita mengalami sulit tidur, selalu terbayang peristiwa tersebut, sangat takut, atau menghindari tempat kejadian. Siapapun orangnya, sekuat dan sehebat apapun dia, biasanya akan menunjukkan respon tertentu. Respon yang muncul mungkin berbeda-beda bagi tiap orang, namun umumnya respon yang muncul (Irma S. Martam, 2009) adalah: a. Memiliki ingatan atau bayangan yang sulit dilupakan, seperti mencengkeram, atau ingatan lainnya tentang traumanya. Merasakan peristiwa seperti terjadi lagi (flashback). b. Merasa terganggu bila diingatkan, atau teringat peristiwa c. Traumatis karena sesuatu yang dilihat, didengar, dirasakan, atau diciumnya. d. Ketakutan, merasa kembali berada dalam bahaya e. Kesulitan mengendalikan perasaan karena tidak mampu f. mengendalikan ingatan tentang peristiwa traumatis.
4
Selain respon-respon tersebut, kita mungkin akan mengalami perubahan perasaan ataupun perilaku. Perubahan perasaan yang mungkin dialami antara lain: a. Cepat sedih b. Cepat marah c. Ingin menangis d. Merasa bersalah e. Merasa tidak berdaya f. Suasana hati tidak menentu atau mudah berubah g. Merasa tidak dipahami oleh orang-orang disekitarnya Sementara perubahan perilaku yang mungkin terjadi antara lain: Lebih banyak menyendiri, Gemetar, Tidak mau keluar rumah, Mudah tersinggung, Mengalami gangguan tidur, seperti: sering mimpi buruk, susah tidur atau justru terlalu banyak tidur, Gelisah, Kewaspadaan berlebih, sangat ingin menjaga dan melindungi diri, Mengalami gangguan makan, seperti : mual, muntah, tidak mau makan, atau justru terlalu banyak makan, Mudah merasa was-was, Tiba-tiba dicekam bayangan menakutkan, Sulit berkonsentrasi atau berpikir jernih, Badan sering terasa lemas dan keluar keringat dingin, Sesak napas. Biasanya perubahan perilaku maupun perasaan tersebut akan berkurang seiring dengan berjalannya waktu. Namun, kita perlu mewaspadai apabila perubahan tersebut dirasakan lebih dari 6-8 minggu dan mengganggu kehidupan kita sehari-hari. Dampak yang dialami mungkin lebih besar daripada yang kita bayangkan. Jika memungkinkan, segeralah mencari bantuan ke ahli (psikolog atau psikiater). Apabila tidak tersedia, bisa bercerita kepada pendamping, keluarga atau teman. Yang perlu diingat, trauma bukanlah miring atau tidak waras. Gejala trauma wajar dan bisa dialami oleh siapapun, segera atau beberapa lama setelah mengalami peristiwa sulit. Kejadian psikologis yang sering ditemukan pada para korban bencana alam adalah Posttraumatic Stress Disorder (PTSD). Keadaan ini
5
terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu peristiwa tragis atau luar biasa. Orang yang bersangkutan menjadi sangat terpukul, marah, kecewa, meratapi nasib, sangat sedih, cemas, gelisah, sulit tidur, takut berlebihan, waspada berlebihan, manarik diri, sulit konsentrasi, tidak percaya apa yang dialaminya, merasa tidak berdaya, bingung tidak tahu apa yang
harus
dilakukan,
kehilangan
(wanitadanbuahcinta.blogspot.com
dalam
jati Ike
diri
dan
Agustina,
sebagainya 2010:3-4).
Pengukuran PTSD dilakukan dengan Depression Anxiety Stress Scales (DASS). 2. Dampak Bencana terhadap Anak-anak Bencana dalam hal ini bencana alam merupakan suatu peristiwa yang tak terduga dan muncul tiba-tiba. Akibat dari bencana adalah perubahan struktur alam dan penghuninya. Manusia sebagai salah satu korban bencana selalu berfikir untuk menyelamatakan dirinya. Anak-anak adalah korban yang belum mampu berfikir seperti orang dewasa dalam menghadapi bencana alam. Beberapa fakta disebutkan oleh Country Director Plan Indonesia, John McDonough (2011) yang dirilis melalui Kompas (13 Oktober 2011) bahwa Setiap tahun diperkirakan sekitar 66 juta anak di seluruh dunia terkena dampak bencana. Oleh karena itu, anak-anak dan remaja harus diutamakan dalam pengurangan risiko bencana. Anak-anak, khususnya yang berada di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, terkena dampak kemarau berkepanjangan, gempa bumi, tsunami, dan banjir besar. Menurut Ehrenreich (2001) ada dua mitos yang merupakan hambatan potensial untuk mengenali respon anak terhadap bencana yang harus ditolak, adapun mitos tersebut adalah: (1) anak-anak yang mempunyai bawaan sifat yang ulet akan sembuh dengan cepat akan lebih cepat pulih dari trauma yang sangat parah, (2) bahwa anak-anak, terutama anak muda, tidak terpengaruh oleh bencana kecuali mereka terbawa pengaruh oleh tanggapan orangtua mereka. Kedua keyakinan adalah salah. Sebuah bukti yang nyata menunjukkan bahwa anak-anak mengalami dampak ganda dari bencana yang dialami. Bahkan, anak yang sangat muda secara langsung dipengaruhi oleh pengalaman kematian, penghancuran, teror, penyerangan 6
fisik pribadi, dan bahkan kematian atau ketidakberdayaan orang tua mereka. Mereka juga secara tidak langsung terpengaruh efek dari bencana yang menimpa pada orang tua serta guru mereka. Dalam jangka pendek, rasa tidak aman anak dapat menghambat ekspresi dari perasaan sendiri. Kebanyakan anak merespons bijaksana dan tepat terhadap bencana, terutama jika mereka mengalami perlindungan, dukungan, dan stabilitas dari orang tua mereka dan orang dewasa terpercaya lainnya. Namun, seperti orang dewasa, mereka mungkin merespon bencana dengan berbagai gejala. Tanggapan mereka umumnya sama dengan orang dewasa, meskipun mereka dapat muncul di lebih langsung. Di antara anak-anak pra-sekolah (usia 1-5), gejala kecemasan dapat muncul dalam bentuk umum karena kekhawatiran tentang perpisahan, ketakutan pada orang asing, ketakutan dari "hantu" atau hewan, atau gangguan tidur. Anak juga dapat menghindari situasi tertentu atau lingkungan, yang mungkin atau tidak mungkin memiliki hubungan yang jelas terhadap bencana. Anak mungkin menunjukkan ekspresi emosi yang terbatas. Anak lebih tua (usia 6-11 atau lebih) Anak dapat mengekspresikan (secara terbuka atau secara halus) kekhawatiran tentang keadaan bahaya. Gangguan tidur, lekas marah, atau perilaku agresif dan rasa marah mungkin muncul (Ehrenreich, 2001). Ehrenreich (2001) juga menyampaikan bahwa anak mungkin menunjukkan kecemasan terpisah dengan orang tuanya, hal ini menunjukkan bahwa pendapat mereka sudah menyerupai orang dewasa. Akan tetapi, beberapa perilaku yang agresif, menentang orang tua, kenakalan, penyalahgunaan obat terlarang, bisa saja semakin nyata bentuknya. Anak-anak dari segala usia sangat dipengaruhi oleh respon dari orang tua mereka atau pengasuh lainnya untuk bencana. Anak-anak sangat rentan terhadap perasaan ditinggalkan saat mereka terpisah dari orang tua mereka atau kehilangan. "Melindungi" anak-anak dengan mengajak mereka meninggalkan lokasi bencana, sehingga mereka terpisah dari orang yang mereka cintai, dapat menambahkan trauma bagi anak, sehingga dengan
7
didekatkan dengan orang tua mereka, diharapkan trauma anak akan bencana akan semakin menurun. 3. Olahraga Sebagai Sebuah Fenomena Sosial dan Psikologis. Olahraga dengan jelas lebih penting dari apapun, baik bagi individu maupun bagi masyarakat dalam hubungan-hubungan ekonomi, budaya, dan keuangan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Lawrence (2005:1) bahwa “Sports are clearly more important than ever to both the individual and society in economic, cultural and financial terms”. Sedangkan Coakley (2001:9) menyatakan bahwa “sports clearly are an important part of cultures and societies around the world”. Olahraga secara jelas merupakan bagian penting dari budaya dan masyarakat di seluruh dunia. Hubungannya dengan kebudayaan, Coakley (2001:3) lebih lanjut menjelaskan bahwa “sports are cultural practices that differ from place to place and time to time”. Artinya, olahraga merupakan praktik budaya yang berbeda dari tempat ke tempat dan waktu ke waktu. Beberapa pernyataan tersebut menggaris bawahi pentingnya olahraga dalam aspek-aspek kehidupan manusia termasuk budaya yang akan berbeda seiring dengan perubahan tempat dan waktu. Olahraga merupakan sebuah fenomena sosial-budaya yang perlu untuk dipahami dan pelajari. Hal ini dikarenakan olahraga secara budaya telah melekat kuat dalam diri individu dan masyarakat. Coakley (2001:2) menekankan bahwa “sports are more than just games and meets; they are also social phenomena that have meanings that go far beyond scores and performance statistic”. Olahraga bukan hanya sekedar permainan dan pertandingan tetapi juga merupakan sebuah fenomena sosial yang memiliki makna lebih jauh dari sekedar angka dan penampilan. Olahraga menunjukkan tiga pola, yaitu: merefleksikan budaya dan masyarakat, mempertebal perbedaan sosial, dan merupakan sebuah wahana untuk konflik sosial (Freeman, 2001:41-42). Olahraga merupakan produk sosial dan budaya yang memiliki makna nyata bagi individu, komunitas, dan masyarakat secara umum (Maguire et al, 2002:168). Lebih lanjut Maguire mengungkapkan bahwa “. . . through sport we can begin to understand 8
societies, nations, and communities”. Artinya, memahami masyarakat, komunitas, dan bangsa dapat dimulai melalui olahraga. Olahraga merupakan produk sosial dan budaya yang dapat dipelajari, dipahami, dan dicermati melalui pendalaman secara detail pada individu dan masyarakat terhadap kontak-kontak sosial yang mereka lakukan dalam lingkup perilaku olahraganya. 4. Pendidikan Jasmani dan Olahraga sebagai sarana intervensi psikososial Salah satu dampak psikososial bencana pada anak adalah timbulnya traumatic disorder atau trauma, sehingga diperlukan sebuah bentuk model pemulihan melalui berbagai pendekatan termasuk olahraga dan pendidikan jasmani. Soni Nopembri, dkk (2011) telah mengembangkan sebuah model pemulihan trauma pasca bencana melalui olahraga yang disusun berdasarkan hasil kajian terhadap tingkat traumatik, kajian terhadap berbagai bahan pustaka dan juga kajian kebutuhan dari anak-anak korban bencana erupsi merapi. Model ini menekankan bahwa adanya lima tahapan dalam mengimplementasikan pemulihan trauma pasca bencana melalui olahraga.
Kelima
tahapan
tersebut
adalah
Persiapan,
Asesmen,
Perencanaan, Pelaksanaan, dan Monitoring dan Implementasi. Tahapantahapan tersebut hendaknya dapat dilakukan secara sistematis agar dapat diperoleh tujuan akhir yaitu menurunnya tingkat trauma pasca bencana pada anak-anak. Tahap persiapan, mengidentifikasi profil olahraga dan permainan atau latar/setting masyarakat yang terkena dampak adalah prasayarat pokok dalam memformulasikan program. Tujuannya adalah untuk mendesain program sehingga dapat sesuai mungkin dengan struktur yang telah ada. Ini melibatkan penyelenggara program yang melaksanakan riset dalam wilayah historis dan praktik olahraga kini, sebelum memulai program. Tahap Asesmen, perlu adanya eksplorasi tipe kegiatan anak-anak yang biasanya melibatkan anak-anak dan bagaimana ini dapat dimodifikasi untuk
memberikan
dukungan
psikososial
yang diperlukan,
serta
9
mengidentifikasikan individu-individu dalam masyarakat yang dipercaya oleh anak-anak agar orang-orang tersebut dapat terlibat dalam intervensi. Beberapa sumber informasi yang penting adalah (1) Anak-anak dan orang tua dari masyarakat yang terkena bencana, (2) pemimpin, kelompok rentan, wanita, pekerja kesehatan, guru sekolah, institusi, CBO, dsb, (3) Struktur olahraga lokal, (4) Kantor dan perwakilan pemerintah setempat, (5) Organisasi-organisasi local, dan (5) Media lokal. Sedangkan data yang berhubungan dengan anak-anak dan olahraga diantaranya (1) Jumlah anakanak yang terkena dampak (laki-laki dan perempuan) di area yang terkena dampak, (2) Jumlah anak-anak difabel/cacat yang terkena dampak dan tipe difabel, (3) Kegiatan olahraga dan rekreasi yang sudah ada dan kegiatan yang ingin dilakukan, (4) Ketersediaan ruang pada saat itu untuk kegiatan olahraga dan permanan (yang dapat diakses bagi mereka yang difabel dan cocok untuk remaja putri), (5) Rekomendasi untuk orang-orang yang berperan sebagai mentor, (6) Jadwal harian anak-anak (untuk menghindari konflik dengan sekolah, tugas rumah tangga, dan tanggung jawab lain).
Gambar 1. Pemulihan Trauma Pasca Bencana melalui Olahraga Sumber: Soni Nopembri, dkk (2011:56) Tahap Perencanaan, program olahraga harus memperhatikan seluruh masyarakat, mengidentifikasikan, mengangkat kesadaran dan mengajak keterlibatan kakak, ibu, guru, dan penguasa lokal adalah sangat penting (khususnya untuk partisipasi anak perempuan). Untuk mendorong partisipasi anak-anak dari seluruh bagian masyarakat, keterlibatan 10
masyarakat harus mencakup isu/masalah seperti struktur kekuasaan, etnis, agama, dan jender. Kegiatan harus mencerminkan tetapi sesekali menunjukkan pendirian yang kritis terhadap sistem dan sumber daya kepercayaan budaya lokal (Duncan, 2004). Tahap Pelaksanaan dan Monev, pelaksanaan kegiatan olahraga dapat dilakukan melalui berbagai bentuk. Model ini merekomendasikan format kompetisi (sport education) yang ditekankan pada penanaman tanggungjawab personal dan sosial dalam menerapkan olahraga bagi anakanak korban bencana yang diakhiri dengan sebuah penghargaan bagi para pemenang dan juga bagi para parisipan. Kegiatan monev dilakukan secara berkelanjutan dan terus-menerus. Kegiatan monev meliputi berbagai hal yang dapat diukur dan diamati selama pelaksanaan program. Model pemulihan trauma pasca bencana melalui olahraga hasil penelitian pengembangan tahun sebelumnya dapat dijelaskan pada gambar 1.
C. Identifikasi dan Perumusan Masalah Berdasarkan Analisis Situasi dan Landasan Teori tersebut di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi bencana alam cukup besar. 2. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki beberapa titik daerah rawan bencana alam akan tetapi masyarakat masih kurang menyadari hal tersebut. 3. Bencana alam yang terjadi di DIY sering kali dikait dengan hal-hal mistis oleh masyarakat sekitar. 4. Indonesia pada umumnya dan DIY pada khususnya masih memiliki kemampuan yang terbatasnya dalam memprediksi keterjadian bencana alam dengan akurat. 5. Pemerintah pusat maupun daerah seringkali kurangnya perhatian responsif terhadap pemulihan dampak psikososial masyarakat korban bencana alam.
11
6. Dampak psikososial bencana alam erupsi merapi sangat terlihat pada anakanak korban bencana tersebut tetapi pemerintah dan masyarakat masih beranggapan sesuatu yang biasa dan wajar. 7. Dampak psikososial bencana alam erupsi merapi pada anak-anak lebih besar dan berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhannnya di masa depan. 8. Belum digarapnya olahraga sebagai model aktivitas pemulihan trauma bencana, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Begitu banyaknya permasalahan yang ada sehingga perlu untuk dilakukan pembatasan agar program pengabdian ini dapat dilaksanakan. Permasalahan Program PPM ini dapat dirumuskan bahwa dampak psikososial bencana alam pada anak-anak perlu dilakukan pemulihan melalui pendidikan jasmani dan olahraga yang terprogram, baik pelatihan maupun pendampingan. D. Tujuan Kegiatan Kegiatan PPM ini bertujuan untuk melakukan pelatihan dan pendampingan pada para guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan (penjasorkes) untuk memberikan intervensi psikososial melalui program pendidikan jasmani dan olahraga kepada anak-anak korban bencana alam erupsi Gunung Merapi, sehingga anak-anak memiliki kemampuan psikososial untuk kesiapsiagaan dalam menghadapi kejadian serupa dan melanjutkan kehidupannya. E. Manfaat Kegiatan Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam upaya pemulihan dampak psikososial bencana alam khusus erupsi Merapi, bagi: 1. Anak-anak, sebagai suatu upaya pemulihan psikologis dan sosial dalam upaya menumbuhkan kembali semangat dan keceriaan. 2. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ingin memanfaatkan olahraga untuk proses pemulihan dampak psikososial pasca bencana. 3. Pemerintah Daerah dan Pusat diharapkan bisa menjalin kerjasama untuk lebih fokus melakukan trauma recovery dan kesiapsiagaan bencana dengan model aktivitas olahraga dan pendidikan jasmani.
12