BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekolah merupakan lembaga formal yang dirancang untuk memberikan pengajaran kepada siswa atau murid di bawah pengawasan guru dan kepala sekolah. Di dalam sebuah institusi sekolah terdapat sebuah pendidikan yang mengajarkan peserta didiknya untuk dapat memahami apa yang menjadi kurikulum dalam dunia pendidikan selain itu sekolah juga mengajarkan peserta didik untuk menjadi orang yang mandiri, mampu memahami kemampuan dan kelebihan yang dimilikinya, mengembangkan potensi yang ada dalam diri individu, serta menanamkan moral dan ahklak yang baik. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk belajar justru menjadi tempat yang mencekam bagi beberapa siswa, seperti yang marak diberitakan dalam media masa, televisi, atau internet banyak terjadi tindakan kekerasan yang dilakukan para siswa seperti perkelahian, tawuran, penindasan yang dilakukan siswa baik senior kepada junior atau siswa sesama teman satu angkatan di sekolah tersebut. Banyak fakta empirik dan contoh nyata yang menunjukan maraknya kekerasan yang terjadi di sekolah, seperti yang dilansir dalam situs berita online Detik News (2010) diinternet yang menyebutkan Okke Budiman siswa kelas X SMA 46 Jakarta mengakui dianiaya oleh seniornya siswa kelas XII, hal ini bermula ketika pelaku berinisial B yang
sering meminjam motor Okke dengan cara memaksa dan dengan perlakuan kasar, puncaknya ketika Okke pulang sekolah tanpa berpamitan dengan B, kemudian B beserta komplotannya melakukan pemukulan dengan tangan kosong, helm, bahkan Okke mendapatkan 5 sudutan rokok dari para pelaku, sampai pada akhirnya orangtua Okke memilih untuk Home Schooling dalam pendidikan Okke, karena Okke mengalami trauma setelah kejadian tersebut. Kasus lain yang cukup menyita banyak perhatian adalahtindakan bullying yang marak terjadi saat masa orientasi siswa (MOS) disekolahsekolah. Salah satunya yang terjadi di SMA Don Boscho Pondok Indah Jakarta Selatan, seperti yang dilansir dalam situs pemberitaan online Tempo (2012), dimana siswa berinisial A, 15 tahun mengaku dipukuli dan disundut rokok oleh kakak kelasnya saat MOS, kejadian ini dibuktikan dari hasil visum dimana A mengalami luka pada beberapa bagian tubuh akibat sundutan rokok dan pukulan, serta ditemukan pula luka memar dan luka bakar di tengkuk leher. Sullivan (dalam Basyirudin, 2010) menyatakan bahwa pada dasarnya peilakuperilaku yang mengandung unsur tindakan agresivitas yang sistematis, terencana dan bertujuan dari satu pihak dengan pihak lain melalui penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang terjadi secara berulang selama periode tertentu baik berupa kekerasan fisik maupun psikologis, merupakan karakteristik khusus yang dikenal dengan istilah bullying.
Olweus (2007) menyatakan ” Bullying is when someone repeatedly and on purpose says or does mean or hurtful things to another person who has a hard time defending himself or herself ” (Bullying adalah ketika seseorang berulang kali dan mempunyai tujuan atau melakukan tindakan
jahat dan menyakiti orang lain, ketika ia memiliki waktu yang sulit untuk bergantung pada dirinya sendiri). Menurut Coloroso (2007) bullying adalah tindakan intimidasi yang dilakukan oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lemah. Tindakan penindasan ini diartikan sebagai penggunaan kekerasan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau kelompok sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya. Bentuknya bisa berupa fisik seperti memukul, menampar, dan memalak. Bersikap verbal seperti memaki,
menggosip,
dan
mengejek
serta
psikologis
seperti
mengintimidasi, mengucilkan, mengabaikan, dan mendiskriminasi. Catatan pada hasil survey KPAI di 9 propinsi terhadap lebih dari 1000 orang siswa siswi. Baik dari tingkat Sekolah Dasar/MI, SMP/mts, maupun SMA/ma. Survey ini menunjukan 87,6% siswa mengaku mengalami tindak kekerasan, baik kekerasan fisik maupun psikis, seperti dijewer, dipukul, dibentak, dihina, diberi stigma negatif hingga dilukai dengan benda tajam. Dan sebaliknya 78,3 persen anak juga mengaku pernah melakukan tindak kekerasan dari bentuk yang ringan sampai yang berat. Menurut SEJIWA (dalam Anissa, 2012), di Indonesia sendiri sudah ada penelitian yang dilakukan mahasiswa Psikologi UI, yayasan Sejiwa, dan LSM Plan Indonesia tahun 2008, penelitian ini melibatkan sekitar 1.233 SD, SMP, SMA di 3 kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Surabaya, Jogjakarta. Hasil penelitian menunjukan bahwa kekerasan antar siswa
SMP secara berurutan terjadi di Jogjakarta (77,5%), Jakarta (61,1%), dan Surabaya (59,8%). Kekerasan tingkat SMA terbanyak terjadi di Jakarta (72,7%), kemudian Surabaya (67,2%), dan terakhir Jogjakarta (63,8%). Dari data tersebut dapat diketahui bahwa di Indonesia bullying masih menjadi masalah yang ada disekolah. O’Connell (dalam Anissa, 2012) menyebutkan faktor-faktor yang memicu terjadi bullying adalah pola asuh orang tua yang mendidik dan mengajarkan anaknya menggunakan bullying maka akan tertanam dalam kepribadiannya. Harga diri juga memiliki peran dalam tindakan bullying, dimana orang yang memiliki harga diri semakin tinggi maka perilaku bullying akan semakin rendah seperti penelitian yang dilakukan oleh Sulistyowati, Septrina, dan Andrian (2009). Kemudian ada norma kelompok, biasanya anak yang ingin tergabung dalam suatu kelompok yang dianggap kuat dan sering melakukan tindakan bullying, maka anak yang akan bergabung dengan kelompok tersebut berusaha mengikuti norma, atau kebiasaan yang sering dilakukan oleh kelompok tersebut, dan yang terakhir adalah sekolah. Sekolah memiliki andil besar maraknya tindakan bullying, hal ini bisa terjadi dikarenakan guru dan pihak sekolah sering merasa acuh terhadap perilaku bullying, cenderung memberikan hukuman yang justru menguatkan tindakan bullying, sehingga hal ini menguatkan siswa pelaku tindak bullying di sekolah. Dari data fenomena empirik dan faktor-faktor yang memicu tindakan bullying di atas, serta diperkuat dari hasil wawancara dengan
guru pembimbing disekolah yang menyatakan sering terjadi tindakan bullying di SMP Kristen 2 Salatiga. Guru pembimbing juga mengutarakan bahwa siswa-siswa didiknya sering mengeluh mendapatkan ejekan, dan menjadi olok-olokan dari teman-temanya, hal yang biasanya menjadi bahan olok-olokan adalah masalah fisik siswa, nama orang tua, pekerjaan orang tua, masalah pacar-pacaran, nilai, dll. Berangkat dari hal tersebut bullying biasanya berubah menjadi tindakan kekerasan seperti pemukulan, perkelahian, dan kekerasan fisik lain. Dari alasan tersebut dipilihlah SMP Kristen 2 Salatiga sebagai tempat melakukan penelitian. Dari hasil pemaparan guru BK di SMP Kristen 2 Salatiga diatas, tentunya pihak sekolah juga tidak tutup mata akan hal ini, banyak usaha yang dilakukan guru dan pihak sekolah didalam mengatasi kasus bullying disekolah, seperti melakukan upaya mediasi diantara kedua pihak yang bertikai, memberikan layanan bimbingan dan konseling yang berkaitan dengan bullying, memberikan penyuluhan mengenai dampak dari perilaku bullying disekolah, namun upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak sekolah belum sepenuhnya dapat menghilangkan perilaku bullying disekolah. Dalam hal ini guru BK memiliki peranan yang besar dalam upaya mengatasi bullying di sekolah, guru BK biasanya intens memberikan layanan klasikal dan bimbingan kelompok yang didalamnya terdapat berbagai variasi layanan untuk mengatasi tindakan bullying, seperti melalui permainan, memperlihatkan akibat film yang sifatnya edukasi,
memberikan penyuluhan dll. Mengingat tindakan bullying sangat berbahaya apabila tidak diatas dan hanya dibiarkan saja tanpa adanya tindak lanjut secara serius oleh guru dan pihak sekolah, hal ini akan berakibat siswa yang menjadi korban bullying menjadi siswa yang suka mengurung diri dari pergaulan, gelisah, cemas saat disekolah, dan akibat lebih buruknya siswa mengalami luka-luka, dan lebam gara-gara penganiayaan, prestasi belajar menurun, sampai pada trauma pada korban bullying. Berangkat dari hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan eksperimen sebagai upaya untuk mengurangi tindakan bullying di sekolah melalui kegiatan bimbingan kelompok dengan menggunakan dan memanfaatkan teknik bermain peran atau yang lebih dikenal dengan istilah role play. Didalam kegiatan ini siswa diajak untuk memainkan sebuah peran dalam sebuah cerita kemudian siswa diminta untuk mendalami karakter yang mereka mainkan, memainkan peran tersebut, dan memecahkan masalah yang dihadapinya, disini tugas guru pembimbing atau konselor adalah sebagai fasilitator dimana konselor menanamkan sikap empati, tanggung jawab, dan mengendalikan emosi para pemain sehubungan dengan hal yang dilakukan untuk mengatasi tindakan bullying disekolah. Hal ini juga di dukung dengan keberhasilan pada penelitian Zulaikah (2011) tentang “Perubahan Perilaku Bystander Bullying Melalui Role Play Pada Siswa Kelas VIII E SMP Negeri 8 Salatiga” dan hasil
analisis
dapat diambil kesimpulan ada perbuahan signifikan perilaku
bystander bullying siswa kelas VIII E SMP N 8 Salatiga pada kelompok eksperimen setelah mengikuti bimbingan kelompok role play dengan koofisien Asymp. Sig. (2-tailed) 0,011 < 0,05. Perubahan tersebut dikarenkan perlakuan bimbingan kelompok yang telah diikuti kelompok eksperime. Terjadi penurunan perilaku bystander bullying pada kelompok eksperimen. Dari pre test kelompok eksperimen dalam kategori sedang 6 siswa dan kategori tinggi 4 siswa, terjadi perubahan pada post test dalam kategori rendah 3 siswa dan kategori sedang 7 siswa. Pada kelompok kontrol jumlah siswa dan kategori pada pre test dan post test tidak terdapat perubahan. Hal ini terbukti ketika pengujian pada kelompok kontrol pada post test menghasilkan koofisien Asymp. Sig. (2-tailed) 0,024 < 0,05 yang berarti ada perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah kelompok eksperimen
diberi bimbingan
kelompok dengan metode Role Play. Penelitian bimbingan kelompok dengan teknik role play bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan ketrampilan siswa didalam mengatasi perilaku bullying disekolah melalui teknik bermain peran (Role Play), dengan permainan peran ini dapat menumbuhkan keyakinan dan kemampuan dalam diri siswa dalam mengatasi permasalahan bullying yang ada di sekolah. Dari fenomena empirik, data/informasi dari guru pembimbing, serta alasan tersebut maka peneliti melakukan penelitian eksperimen yaitu
“Pemanfaatan Teknik Role Play Untuk Mengurangi Bullying Siswa Kelas VII A di SMP Kristen 2 Salatiga”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan penelitian adalah sebagai berikut : Apakah layanan bimbingan kelompok teknik role play dapat mengurangi tindakan bullying secara signifikan pada siswa kelas VII A di SMP Kristen 2 Salatiga? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui signifikansi penurunan tindakan bullying siswa melalui layanan bimbingan kelompok teknik role play pada siswa kelas VII A SMP Kristen 2 Salatiga. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Manfaat teoritis penelitian ini adalah memberi sumbangan teori bagi guru BK mengenai layanan bimbingan kelompok teknik role play dapat mengurangi perilaku bullying siswa. Apabila penelitian tentang penggunaan bimbingan kelompok teknik role play berhasil untuk menurunkan perilaku bullying subyek penelitian siswa kelas VII A SMP Kristen 2 Salatiga maka temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Zulaikah (2011) yang menyatakan bahwa Bimbingan kelompok teknik role play dapat menurunkan perilaku bystander bullying pada siswa. Jika temuan ini tidak terbukti ada penurunan
yang signifikan perilaku bullying siswa kelas VII A SMP Kristen 2 Salatiga, maka temuan ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Zulaikah (2011). 1.4.2 Manfaat Praktis a) Siswa Dengan mengikuti kegiatan bimbingan kelompok siswa akan terdorong untuk mengetahui bahaya dan dampak dari tindakan bullying, mengurangi perilaku bullying, menghargai orang lain, mau mengendalikan emosi, mengembangkan rasa setia kawan. b) Guru Penelitian ini bermanfaat bagi guru pembimbing SMP Kristen 2 Salatiga dalam memanfaatkan layanana bimbingan kelompok untuk menurunkan perilaku bullying siswa.