BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Keberagaman merupakan warna abadi bangsa Indonesia yang telah terpatri berratus-ratus tahun, bahkan mungkin berribu-ribu tahun lamanya. Di satu sisi, jika kemajemukan ini dapat diharmonisasi dan diberdayakan akan menjadi kekayaan, kekuatan dan aset bangsa yang maha dahsyat (Zamroni, 2011). Demikian juga sebaliknya, jika masyarakat tidak memahami makna dan hakekat keberagaman, maka sudah pasti perbedaan akan menjadi “mesin pembunuh” yang paling berbahaya di muka bumi. Terjadinya pembantaian di Ruanda, Yugosulavia, konflik etnis di Yaman, Irak, Afganistan dan beberapa negara lainnya merupakan bukti kongkrit rentannya keberagaman. Secara alamiah semua masyarakat menyadari dan mengakui bahwa bangsa Indonesia dibangun atas dasar pondasi keragaman etnis, ras, agama, golongan, budaya, adat istiadat, dan daerah. Kesatuan Indonesia adalah kesatuan yang berdasarkan kesadaran moral dan perjanjian suci antar masyarakat untuk mengakui pluralitas yang ada sebagai sarana untuk bersatu. Momentum persatuan masyarakat Indonesia yang disetujui oleh para pendiri bangsa dan semua masyarakat Indonesia tercetus lewat sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Hal ini menjadi dimensi dan bukti penting telah terpatrinya nilai-nilai multikultur pada hati sanubari setiap masyarakat Indonesia. Oleh masyarakat luar, Indonesia juga dikenal sebagai masyarakat yang cinta damai, saling tolong menolong (gotong royong), toleran, dan mencintai kebersamaan. Pada dimensi legal formal lembaga kenegaraaan, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI Tahun 1945) dan Bentuk Negara Kesatuan merupakan legitimasi adanya jaminan nilai-nilai multikultur sebagaimana dibangun oleh para pendiri bangsa (Jayanegara, 2008). Namun, dasar kebersamaan yang telah dibangun para pendiri bangsa kini dihadapkan pada tantangan, menurunnya moralitas masyarakat, memudarnya I Nengah Suastika, 2013 Pengembangan Model Pembelajaran Ips Berbasis Multikultur Di Sekolah Dasar (Studi Pengembangan Model Pada Siswa Kelas V Sd Di Kota Singaraja Provinsi Bali) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
nilai-nilai nasionalisme, terabaikannya identitas nasional, meningkatnya konflik antar etnis, ras dan agama, dan semakin menguatnya isu disintegrasi bangsa (Asyumardi, 2002). Bahkan menurut analisis Jayanegara, (2008: 7) telah terjadi degradasi kesadaran dan upaya penghapusan terhadap empat pilar aset nasional, yaitu : NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditandai dengan adanya keinginan beberapa daerah untuk memisahkan diri; terjadinya konflik antar ras, suku, agama, golongan; adanya upaya menjadikan Piagam Jakarta untuk mengganti pembukaan; dan adaya upaya untuk mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain, merupakan upaya terstruktur yang akan meruntuhkan rasa nasionalisme masyarakat Indonesia atau dengan kata lain berarti juga pengingkaran terhadap kebinnekaan masyarakat Indonesia. Bangun pluralisme masyarakat Indonesia secara empirik memang rentan terhadap berbagai isu yang tak jarang berimplikasi konflik. Kondisi ini tidak terlepas dari adanya kenyataan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk, baik secara vertikal maupun horizontal. Di sisi lain, nalar kolektif masyarakat tentang multikulturalisme kebangsaan masih terkooptasi oleh logosentrisme tafsir hegemonik yang sarat akan prasangka, kecurigaan, bisa kebencian dan reduksi terhadap kelompok yang berbeda di luar dirinya (the other) (Mahfud, 2010). Akibatnya, ikatan-ikatan sosial melalui kolektivitas dan kerjasama hanya berlaku di dalam kelompoknya sendiri tidak berlaku bagi kelompok lain. Proses monokultural yang “dipaksakan” pada masa pemerintahan Orde Baru, dengan mendegradasi budaya-budaya lokal dengan berbagai keunikannya berimplikasi pada meningkatnya prasangka, kecurigaan, bahkan kebencian diantara masyarakat yang berbeda secara kultural. Kebijakan monokultur sebagaimana diterapkan Orde Baru ini juga pernah dikembangkan di Amerika Serikat yang dinamakan melting pot, yaitu meleburnya semua kultur yang ada di Amerika Serikat menjadi satu, akan tetapi kebijakan ini juga gagal total (Zamroni, 2011). Di sisi lain Indonesia kaya akan keragaman nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan
sebagai
landasan
dasar
untuk
membangun
multikulturalisme.
I Nengah Suastika, 2013 Pengembangan Model Pembelajaran Ips Berbasis Multikultur Di Sekolah Dasar (Studi Pengembangan Model Pada Siswa Kelas V Sd Di Kota Singaraja Provinsi Bali) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Sebagaimana dikatakan oleh Asyumardi, (2002: 137) bahwa Indonesia adalah negara yang pluralis dengan keanekaragaman budaya yang sangat kompleks dan memiliki nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan, gotong royong, toleran dan adaptif. Jika kearifan budaya ini dapat dikemas dan ditrasformasikan dengan baik melalui proses pendidikan, diyakini akan memberikan pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan multikultur yang memadai bagi masyarakat Indonesia dan dapat bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia, sehingga bisa hidup damai dan harmonis. Rwa Bhineda misalnya sebagai padanan dari konsep oposisi biner yang dikembangkan Levis Strauss (laki-perempuan, hitam-putih, atas-bawah, siangmalam, baik-buruk) merupakan konsep yang telah ada pada masyarakat Indonesia sejak dahulu (Kardji, 1993). Oposisi biner adalah sebuah sistem yang membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan secara struktural (Strauss, 1967). Demikian juga dengan konsep dan pemaknaan atas kesatuan diri manusia yang beragam dikenal dengan istilah tattwamasi (aku adalah kamu, kamu adalah aku) merupakan konsep yang telah dikenal dan dijadikan pegangan hidup oleh masyarakat Indonesia. Bahkan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan bangsa Indonesia merupakan tulisan pengarang terkenal di jaman Kerajaan Majapahit Empu Tantular. Konsep dan nilai-nilai dasar inipun dijadikan sebagai “panutan” hidup oleh semua masyarakat Indonesia. Dengan nilai-nilai budaya bangsa yang telah ada dan dijadikan panutan tersebut, sepatutnya tidak terjadi lagi konflik yang berimplikasi pada kekerasan di Indonesia. Tetapi fakta berkata lain, konflik etnis, ras, agama, adat dan golongan terus terjadi di berbagai daerah, walapun akhirnya dapat diselesaikan melalui jalur hukum. Masyarakat Bali sebagai bagian dari Indonesia tidak terlepas dari kondisi ini. Konflik kultural (antar kasta dan antar banjar) juga terus terjadi pada masyarakat Bali, yang merupakan cerminan bentuk krisis akan nilai-nilai kultural pada masyarakat., Konflik terbuka yang paling menghebohkan masyarakat Bali akhir-akhir ini adalah kasus penyerangan secara terbuka yang dilakukan oleh masyarakat Desa Songan Kintamani terhadap masyarakat Banjar Kawan Kecamatan Bangli (Tersedia di http://nasional.vivanews.com/news/read/234565I Nengah Suastika, 2013 Pengembangan Model Pembelajaran Ips Berbasis Multikultur Di Sekolah Dasar (Studi Pengembangan Model Pada Siswa Kelas V Sd Di Kota Singaraja Provinsi Bali) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
bentrok-bangli--gubernur-bali-malu-berat). Kasus yang tak kalah menghebohkan lainnya adalah kasus bentrokan terbuka antar warga Kemoning dan Budaga, di Kecamatan Semarapura, Klungkung, Bali, terjadi Sabtu (17/9). Seorang dilaporkan
tewas
dan
puluhan
warga
terluka
(Tersedia
di
http://www.bisnis.com/articles/polri-gandeng-tokoh-masyarakat-selesaikanbentok-antardesa ). Bentrok dipicu perebutan Pura Dalem, Setra dan Prajapati yang sudah sejak beberapa waktu lalu menimbulkan ketegangan dan pengerahan massa antara warga Kemoning dan Budaga. Alih-alih konflik kultural ini juga tidak terlepas dari perebutan sumber daya ekonomi. Ada beberapa pretensi yang menjadi rasional terjadinya konflik kultural pada masyarakat Bali, yaitu: industri pariwisata yang berkembang menjadi sumber ekonomi yang dikompetisikan oleh setiap masyarakat, baik masyarakat Bali sendiri mapun masyarakat luar; perkembangan masyarakat Bali yang sangat heterogen seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan industri pariwisata; adanya gerakan ajeg Bali, sebagai bentuk pertahanan budaya Bali terhadap ancaman dari budaya luar; dan pengaruh globalisasi dengan semua implikasinya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Dantes menguraikan kerisauannya berkaitan dengan berbagai potensi konflik kultural yang terjadi pada masyarakat Bali dengan gambaran berikut: Tantangan yang paling besar dihadapi oleh masyarakat Bali berkaitan dengan keragaman kultural adalah adanya perebutan sumber daya ekonomi sebagai akibat ketimpangan yang terjadi pada masyarakat, kemajuan industri pariwisata yang diikuti dengan semakin meningkatnya jumlah migrasi tenaga kerja dari darah lain, semakin melunturnya kearifan tradisonal masyarakat Bali dan masuknya pola budaya asing, yang secara langsung menggerus pola kehidupan tradisional (Dantes, 1989: 234). Sedangkan gerakan ajeg Bali yang saat ini sedang dikembangkan oleh masyarakat Bali, sebagai antisipasi terhadap berbagai pengaruh budaya asing dan upaya pertahanan solidaritas budaya, juga ditenggarai akan menjadi pemicu terjadinya konflik kultural pada masyarakat Bali. Pemikiran ini sejalan dengan hasil penelitian Maryati (2012: iii) yang menemukan gerakan ajeg Bali sebagai pertahanan budaya Bali, berimplikasi pada penguatan posisi desa pakraman yang I Nengah Suastika, 2013 Pengembangan Model Pembelajaran Ips Berbasis Multikultur Di Sekolah Dasar (Studi Pengembangan Model Pada Siswa Kelas V Sd Di Kota Singaraja Provinsi Bali) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
melahirkan paham etnosentrisme, stereotip dan prasangka etnik. Gerakan ajeg Bali ibarat pisau bermata dua, di satu sisi akan menjadi kekuatan dan pertahanan terhadap tekanan serta pengaruh budaya asing, namun di sisi lain akan menjadi penyebab terjadinya berbagai konflik kultural pada masyarakat Bali sendiri. Terlebih dengan adanya upaya pelembagaan terhadap gerakan ajeg Bali, melalui institusionalisasi pada lembaga pendidikan, keluarga dan pranata sosial lainnya. Misalnya, kewajiban untuk menggunakan pakaian sembahyang pada hari-hari suci Hindu bagi siswa yang beragama Hindu, sedangkan pada hari-hari besar agama lain (Islam, Kristen, Budha), tidak ada kewajiban bagi siswa non-Hindu untuk menggunakan pakain sembahyang. Sementara, siswa (SD, SMP, SMA) yang ada di wilayah Bali, khususnya di daerah perkotaan terdiri dari beragam agama, ras, etnis, adat, daerah dan budaya. Adanya perbedaan “perlakuan” terhadap siswa dengan etnis atau agama tertentu akan menyebabkan terjadinya dominasi dan “rasa penguasaan” terhadap siswa dengan etnis atau agama lainnya, karena etnis atau agama mereka secara kuantitatif jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan yang lainnya. Terjadinya pemalakan di lingkungan sekolah oleh siswa yang merasa memiliki “power”, terjadinya tawuran antar pelajar, terjadinya penyeragaman dalam berbagai dimensi dalam sekolah, kegiatan ekstra kurikuler keagamaan, merupakan bentuk dikriminasi dalam praktek pendidikan yang berimplikasi pada sikap dan perilaku siswa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Terjadinya konflik SARA
yang berkaitan dengan perbedaan
“pemahaman” akan keragaman, merupakan bukti kongkrit rentannya nilai-nilai multikultur yang ada pada masyarakat yang menunjukkan semakin rendahnya kesadaran multikulturalisme masyarakat Indonesia (Mahfud, 2010; Dantes Dkk, 2008). Masyarakat menjadi sensitif, cepat tersinggung, gampang emosi dan tidak terkendali,
bahkan
cenderung
melakukan
tindakan
kekerasan
untuk
mempertahankan sikap dan keyakinannya yang dianggap benar, tanpa memberikan ruang pada keyakinan orang lain. Kondisi ini diperparah dengan sikap kurang tegas dari para penyelenggara negara, kebijakan yang sering I Nengah Suastika, 2013 Pengembangan Model Pembelajaran Ips Berbasis Multikultur Di Sekolah Dasar (Studi Pengembangan Model Pada Siswa Kelas V Sd Di Kota Singaraja Provinsi Bali) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
tumpang tindih dan tidak konsisten serta peraturan hukum yang tidak mengacu pada Undang-Undang Dasar yang berlaku, membuat masyarakat menjadi bingung dan semakin kehilangan pegangan hidup di tengah-tengah krisis kultural. Terjadinya krisis kultural ini tidak terlepas dari “teralinasinya” nilai-nilai budaya bangsa dari proses pendidikan. Tilaar, (2004: 132) mengatakan pendidikan di Indonesia telah kehilangan momentumnya dalam mentransformasikan nilainilai budaya bangsa dalam proses pendidikan. Padahal pendidikan merupakan medium internalisasi, pelestarian dan pengembangan budaya bangsa bagi setiap anak didik. Nilai-nilai budaya yang bersifat adiluhung terabaikan dalam proses pendidikan, khususnya pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Dominasi dan hegemoni praktik pendidikan nasional yang cenderung mengabaikan nilai-nilai humanisme-religius, karena dikuasai oleh ideologi pasar kapitalisme yang cenderung materialistik, roh pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai moral yang suci kian waktu cenderung menampakkan gejala sekulerisasi (Atmaja, 2008; Sukadi, 2006). Padahal dalam realita hidup masyarakat Indonesia pada umumnya, dan masyarakat Bali pada khususnya, cara berpikir dan nilai-nilai seperti ini bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat yang humanis dan religius. Praktik pendidikan seperti ini ditengarai akan menjauhkan dunia pendidikan dari tujuan pembentukan manusia Indonesia seutuhnya, dan makin menggelincirkan generasi masa depan bangsa Indonesia ke arah individualisme, materialisme, hedonisme, konsumerisme, instanisme, glamorisme, dan sejenisnya yang dibawa oleh faham dunia sekuler (Hadis, 2006). Praktik pendidikan seperti ini tampak dalam aktivitas pembelajaran di kelas yang kering dari sentuhan nilai-nilai sosial kultural dan menonjolkan pendidikan pada upaya pencapaian peningkatan kecerdasan intelektual yang cenderung rasionalistik. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, termasuk degradasi nilai-nilai kultural dan karakter bangsa, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Paradigma multikultural secara implisit menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU No. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal itu I Nengah Suastika, 2013 Pengembangan Model Pembelajaran Ips Berbasis Multikultur Di Sekolah Dasar (Studi Pengembangan Model Pada Siswa Kelas V Sd Di Kota Singaraja Provinsi Bali) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
dijelaskan,
bahwa
pendidikan
diselenggarakan
secara
demokratis,
tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Ketentuan ini bertujuan untuk memberikan keleluasaan satuan pendidikan dalam mengembangkan pendidikan yang berbasis multikultur dalam usaha internalisasi, pemberdayaan dan pembudayaan nilai-nilai kultural pada siswa sejak dini. Proses transformasi nilai-nilai budaya juga dijadikan sebagai wahana dalam membangun nilai-nilai multikultur pada peserta didik, khususnya melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, Agama dan IPS (Asyumardi, 2002). Bahkan Muchtar, (2008: 29) mengatakan penghayatan terhadap nilai merupakan inti pembelajatan IPS. Proses ini diharapakan dapat menjadi penggerak dan spirit bagi lembaga-lembaga pendidikan untuk menginternalisasi sikap menghargai orang lain, budaya, agama etnis, bahasa, kondisi sosial ekonomi dan keyakinan orang lain pada diri tiap-tiap siswa. Produk akhir dari praktik pembelajaran pendidikan multikultural adalah tumbuh dan berkembangnya sikap menghargai keberagaman agama, ras, etnis, budaya, bahasa, pola pikir serta kepribadian orang lain. Sehingga, sekolah merupakan instrumen untama wahana strategis pelatihan dan pembiasaan siswa untuk menerima keberagaman agama, ras, etnis, bahasa dan budaya sebagai sesuatu yang bersifat sunatulah yang tidak perlu dipertentangkan, akan tetapi dijadikan sebagai media untuk saling memahami antara yang satu dengan lainnya, sehingga dapat hidup secara damai dan harmonis. Namun harapan akan terjadinya proses transformasi nilai-nilai multikultur melalui media pendidikan tak sejalan dengan kenyataan. Dantes dkk, (2008: 76) dalam penelitiannya tentang pengembangan model pengorganisasian materi multikultur dalam pembelajaran IPS dan Pendidikan Kewarganegaraan
di SMP di Provinsi Bali menemukan
bahwa: hanya 25 % domain multikultur yang terakomodasi dalam desain pembelajaran guru, sedangkan 57 % adalah materi yang tercandra pada kurikulum formal, dan 18 % tentang masalah-masalah sosial-budaya aktual di masyarakat. Penelitian ini juga menunjukkan masih lemahnya pengintegrasian pendidikan multikultur dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan IPS, sehingga I Nengah Suastika, 2013 Pengembangan Model Pembelajaran Ips Berbasis Multikultur Di Sekolah Dasar (Studi Pengembangan Model Pada Siswa Kelas V Sd Di Kota Singaraja Provinsi Bali) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
diperlukan model pengorganisasian materi pendidikan multikultur dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan IPS, pengembangan model pendidikan
multikultur,
dan
pengembangan
model
evaluasi
pendidikan
multikultur. Bahkan kompetensi multikultural dalam paktek pembelajaran IPS ditenggarai baru sebatas “pengetahuan” tentang keberagaman budaya (pengenalan pakaian daerah, etnis, agama dan budaya) belum menyentuh aspek nila dan kompetensi multikultural (Mahfud, 2010). Padahal, ciri utama pembelajaran IPS adalah adanya proses pemahaman, internalisasi dan pengamalan dalam praktik bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akhirnya, hasil belajar IPS juga kita lihat hanya membuat siswa pintar menghafal fakta-fakta, konsep, dan peristiwa, tetapi kering dan tidak bermakna bagi kehidupan riil siswa (Sukadi, 2006; Muchtar, 2008). Belum tampak wujud hasil
belajar
IPS
yang
menunjukkan
siswa
dapat
mengamalkan
mengibadahkan pengetahuan, nilai-nilai serta keterampilan
dan
multikulturalnya
dalam kehidupan sekolah, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia. Padahal, tujuan utama pembelajaran IPS adalah untuk menumbuhkan kesadaran dan keterampilan siswa dalam memecahkan masalah-masalah sosial kultural yang terjadi dalam lingkungan sekolah dan masyarakatnya, sejalan dengan nilai-nilai dan kearifan budaya yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Indonesia. Sampai disini, layak dipertanyakan kembali eksistensi dan efektivitas pendidikan multikultural dalam menumbuhkembangkan literasi sosial kultural siswa. Idealnya pengembangan literasi sosial kultural siswa ditekankan pada kompetensi dalam mengapresiasi budaya sendiri dan orang lain dengan keberagamannya,
bukan
pada
upaya
pencekokan
pengetahuan
tentang
kebudayaan. Kondisi ini menurut Mahfud (2010:185) akan mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran serta inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragam, baik dalam hal budaya, ras, etnis, agama, bahasa, kondisi sosial ekonomi, politik maupun budaya. Seyogyanya penglolaan pendidikan multikultural di Indonesia dilakukan secara sistematis, terstruktur dan terukur tingkat keberhasilannya, yang didasarkan pada standar-standar yang telah I Nengah Suastika, 2013 Pengembangan Model Pembelajaran Ips Berbasis Multikultur Di Sekolah Dasar (Studi Pengembangan Model Pada Siswa Kelas V Sd Di Kota Singaraja Provinsi Bali) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
ditentukan dan disepakati bersama antara pemerintah, pelaku pendidikan, akademisi dan dengan masyarakat. Bukan sebaliknya, dikelola untuk kepentingan politik dan pemuasan sesaat aspirasi rakyat yang menginginkan terjadinya peningkatan kesadaran kultural masyarakat. Dengan begitu, hasil proses pendidikan multikultural akan memberikan landasan yang kuat pada siswa untuk meyakini, mempersepsi, mengevaluasi dan melakukan tindakan yang rasional terhadap berbagai permasalahan kultural yang terjadi di masyarakatnya (Rahardjo, 2005: vii). Selama ini telah banyak penelitian dan kajian-kajian tentang pendidikan multikultural, namun belum banyak yang mengkaji dan mengembangkan model pembelajaran, model evaluasi serta perangkat pembelajaran IPS
berbasis
multikultur yang secara praktis dapat diterapkan guru sekolah dasar (SD) dalam melangsungkan
praktik
pembelajaran.
Padahal,
pengembangan
model
pembelajaran, model evaluasi dan perangkat pembelajaran IPS berbasis multikultural
akan
memudahkan
guru
dalam
melangsungkan
praktik
pembelajaran dan mengembangkan pengetahaun, nilai-nilai dan keterampilan kultural siswa sebagaimana tujuan IPS-SD. Di sisi lain, melalui pengembangan model IPS berbasis multikultur akan membantu siswa dalam menggali, memformulasikan, mendeskripsikan, menganalisis, dan mengimplementasikan pengetahuan, nilai-nilai dan tingkah laku multikulturnya dalam kehidupan seharihari di lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat (Zamroni, 2011). Di sisi lain, langkah-langkah (sintaks) pembelajaran yang berbasis kebutuhan, akan mempermudah guru dalam menjamin keberlanjutannya. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian Sukadi, (2010: 5) yang menyatakan bahwa inovasi pembelajaran yang kurang berbasis kebutuhan riil guru yang dikembangkan para pakar tidak terjamin kontinuitasnya oleh guru. Hal ini disebabkan inovasi yang dilakukan para pakar tersebut membuat guru asing dengan dunia profesi yang digelutinya sehari-hari dalam lingkungan sosial budaya masyarakatnya. Kondisi ini diyakini akan semakin menjauhkan pembelajaran IPS dari substansinya yang bersifat menantang, bermakna, terpadu, berbasis nilai, I Nengah Suastika, 2013 Pengembangan Model Pembelajaran Ips Berbasis Multikultur Di Sekolah Dasar (Studi Pengembangan Model Pada Siswa Kelas V Sd Di Kota Singaraja Provinsi Bali) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
dan aktif (NCSS, 2002). Sejalan dengan Muchtar, (2008: 25) model pembelajaran yang berlatar belakang sosial budaya asing yang dikembangkan di Indonesia, cenderung sulit untuk diaplikasikan, karena tidak sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia. Menurut Dantes dkk, (2008: 57) sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki peranan dan fungsi yang sangat strategis dalam kaitannya dengan pembekalan dan pelatihan sikap dan perilaku yang mencerminkan pemahaman dan kesadaran (literasi) multikultural. Melalui pembelajaran yang dikembangkan di sekolah, siswa dapat belajar memahami diri, sesamanya dan lingkungan hidupnya dengan segala dinamikanya, termasuk masalah keberterimaan terhadap keberagaman etnis dan budaya, serta peneguhan jiwa kesatuan dalam keberagaman dan keberagaman dalam kesatuan. Mahfud (2010:216) mengatakan pembelajaran berbasis multikultural akan mampu menjadi sarana transformasi bagi siswa dalam memahami multikulturalisme bangsanya, sebagaimana dikatakannya: Pembelajaran berbasis multikultur akan menjadi: (1) sarana pemecahan konflik, karena adanya kesadaran keberagaman sebagai sebuah keniscayaan yang tidak perlu dipertentangkan akan tetapi disyukuri dan dijadikan sebagai kekuatan untuk membangun; (2) sarana transformasi nilai-nilai budaya bangsa. Melalui pembelajaran berbasis multikultural akan terjadi proses internalisiasi, seleksi dan pengembangan budaya bangsa yang bersifat positif, sehingga generasi penerus bangsa tidak tercerabut dari akar budaya serta kehilangan jati dirinya ditengah-tengah glombang globalisasi; (3) proses transformasi demokrasi. Inti dari pembelajaran berbasis multikultural adalah adanya pengakuan kesamaan dan kesederajatan dalam bidang sosial, politik, hukum, budaya, agama, ekonomi dan aspek lainnya yang mampu mempercepat proses demokratisasi; dan (4) memperkuat empat pilar aset nasional (NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila dan UUD Tahun 1945). Dengan demikian, pengembangan perangkat pembelajaran, model evaluasi dan model pembelajaran IPS berbasis multikultur memiliki nilai yang sangat strategis. Mengingat kompetensi multikultur yang dimiliki oleh generasi penerus akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup bangsa dan negara yang menjadikan “multikultural sebagai warna dan karakter abadinya”. I Nengah Suastika, 2013 Pengembangan Model Pembelajaran Ips Berbasis Multikultur Di Sekolah Dasar (Studi Pengembangan Model Pada Siswa Kelas V Sd Di Kota Singaraja Provinsi Bali) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Sementara
menurut
Zamroni,
(2011:
33-34)
untuk
mewujudkan
pendidikan yang demokratis diperlukan adanya kesetaraan dan keadilan, dijauhkan dari bias dan setereotip serta senantiasa mengembangkan potensi kultural siswa. Proses pembelajaran yang berlandaskan pada kondisi tersebut diyakini akan melahirkan kemampuan berupa kesadaran akan dirinya sendiri, menghormati dan memahami kultur orang lain serta mau dan mampu bekerjasama dengan berbagai perbedaan kultur. Jika dikaji lebih dalam, kompetensi kultural dibentuk oleh empat faktor: (1) penguasaan pengetahuan, (2) critical thinking, (3) kemampuan mengembangkan pengetahuan, dan (4) kemampuan praktis (Zamroni, 2011). Kompetensi kultural merupakan hasil dari kesadaran atas pengetahuan dan bias kultural yang dimilikinya atas berbagai faktor yang mempengaruhi perbedaan kultur.
Untuk itu, proses pengembangan kompetensi multikultural mencakup
pengembangan
pengetahuan,
keterampilan,
sikap
dan
prilaku
yang
memungkinkan seseorang memahami dan berienteraksi secara efisien dengan orang yang memiliki perbedaan kultur. Berkenaan dengan itu, pembelajaran berbasis multikultural sebagai wahana sistemik pengembangan dan pembudayaan kesadaran kultural siswa mesti diterjadikan dalam rangka membangun kehidupan yang damai dan harmonis. Sebagaimana Blum, (2001: 16) mengatakan: Melalui pembelajaran multikultural pada diri siswa itu akan muncul pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Ia meliputi sebuah penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan dalam artian menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan mencoba melihat bagimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri. Berdasarkan analisis konseptual dan temuan penelitian di atas, tampaknya pengembangan model pembelajaran, model evaluasi dan perangkat pembelajaran IPS berbasis multikultur pada siswa SD di Kota Singaraja-Provinsi Bali sangat urgen untuk dilakukan. Kompetensi multikultur merupakan bekal untuk dapat hidup secara humanis, demokratis, beradab dan bermartabat. Terlebih, pulau Bali sebagai daerah tujuan wisata yang dihuni oleh masyarakat yang berasal dari beragam agama, etnis, ras, adat, bahasa, kondisi sosial ekonomi, pendidikan, I Nengah Suastika, 2013 Pengembangan Model Pembelajaran Ips Berbasis Multikultur Di Sekolah Dasar (Studi Pengembangan Model Pada Siswa Kelas V Sd Di Kota Singaraja Provinsi Bali) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
daerah dan budaya, memerlukan adanya proses pendidikan yang mampu memberikan kompetensi multikultural yang memadai bagi setiap masyarakatnya untuk dapat hidup damai dan harmonis dalam keberagaman. Model pembelajaran IPS berbasis multikultur yang dikembangkan ini mesti memiliki relevansi yang memadai untuk siswa SD di Kota Singaraja. Berkenaan dengan itu, maka perlu dilakukan uji efektivitas perangkat pembelajaran, model evaluasi dan model pembelajaran IPS berbasis multikultur yang dibandingkan dengan model pembelajaran sejenis. Salah satu model yang dinilai efektif dalam mengembangkan keterampilan sosial siswa adalah model pembelajaran kooperatif tipe STAD (student team achievement division). Secara teoretik antara model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan model pembelajaran IPS berbasis multikultur dibangun dan dikembangkan berdasarkan teori konstruktivis. Keduanya merupakan medel inovatif yang saat ini sedang trens digunakan oleh guru, termasuk dalam melangsungkan proses pembelajaran IPS-SD. Menurut Slavin (1995: 12) model pembelajaran kooperatif tipe STAD mampu membangun motivasi siswa supaya dapat saling mendukung dan membantu satu sama lain dalam mencapai keterampilan belajar yang ditargetkan. Pembelajaran kooperatif tipe STAD memberikan keuntungan yang signfikan dalam meningkatkan keterampilan mengemukakan pandapat dan perolehan prestasi siswa. Hal ini disebabkan, karena dalam pembelajaran kooperatif terjadi saling ketergantungan yang positif dalam menyelesaikan tugas bersama, saling memberikan motivasi, terjadinya interaksi yang intens, tangungjawab kelompok, dan pengelolaan kelompok yang positif. Menurut Kocak (2008: 376) pembelajaran kooperatif dapat mendorong siswa untuk berinteraksi dengan satu sama lain. Semakin baik mereka berada di interaksi tersebut, akan lebih banyak yang diperoleh. Melalui penggunaan pembelajaran kooperatif tipe STAD akan mungkinkan untuk membantu siswa dalam meningkatkan keterampilan sosialnya. Pembelajaran kooperatif didasarkan pada kerjasama antara para anggota kelompok, sehingga siswa saling membantu dalam belajar dan mencapai tujuan bersama. Ada beberapa rasional penggunaan model kooperatif tipe STAD untuk I Nengah Suastika, 2013 Pengembangan Model Pembelajaran Ips Berbasis Multikultur Di Sekolah Dasar (Studi Pengembangan Model Pada Siswa Kelas V Sd Di Kota Singaraja Provinsi Bali) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
uji efektivitas model pembelajaran IPS berbasis multikultur yang dikembangkan dalam penelitian ini, yaitu: (1) model pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan model pembelajaran yang dibangun berdasarkan teori konstruktivis; (2) model pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan salah satu model pembelajaran inovatatif yang banyak digunakan oleh guru dalam dalam melangsungkan proses pembelajaran IPS; (3) model pembelajaran kooperatif tipe STAD sudah sangat familiar dikalangan guru, khususnya guru-guru SD di Kabupaten Buleleng; dan (4) model pembelajaran kooperatif tipe STAD sangat relevan untuk diterapkan pada tahap perkembangan kognitif anak usia SD. Perbandingan efektivitas penerapan model ditinjau dari kompetensi multikultural yang diperoleh oleh siswa pada kelompok kontrol (kelas yang manggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD) dan kelompok eksperimen (kelas yang menggunakan model pembelajaran IPS berbasis multikultur). 1.2. Identifikasi dan Perumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang di atas, tampak seperangkat permasalahan yang
ada dalam proses pembelajaran IPS-SD, khususnya yang menyangkut
kualitas proses dan hasil belajar siswa berkaitan dengan pencapaian kompetensi multikultural, yaitu: 1. Belum tampak upaya strategis yang dilakukan guru dan kepala sekolah dalam mengintegrasikan nilai-nilai multikultur dalam proses pembelajaran, khususunya proses pembelajaran IPS. 2. Perangkat pembelajaran yang digunakan dalam melangsungkan proses pembelajaran kompetensi dasar dan materi IPS yang mengandung nilainilai multikultur sama dengan perangkat pembelajaran yang digunakan untuk standar kompetensi, kompetensi dasar dan meteri IPS pada umumnya. 3. Model pembelajaran yang digunakan oleh guru IPS-SD di Kota Singaraja dalam melangsungkan praktek pembelajaran IPS yang standar kompetensi, kompetensi dasar dan materinya mengandung nilai-nilai multikultur sama
I Nengah Suastika, 2013 Pengembangan Model Pembelajaran Ips Berbasis Multikultur Di Sekolah Dasar (Studi Pengembangan Model Pada Siswa Kelas V Sd Di Kota Singaraja Provinsi Bali) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
dengan model pembelajaran yang digunakan untuk melangsungkan standar kompetensi, kompetensi dasar dan materi IPS pada umumnya. 4. Sampai saat ini, belum ada upaya strategis yang dilakukan guru IPS-SD di Kota Singaraja untuk mengintegrasikan nilai-nilai budaya masyarakat dalam proses pembelajaran IPS yang standar kompetensi, kompetensi dasar dan materinya mengandung muatan multikultur. 5. Guru IPS-SD di Kota Singaraja belum mampu mengembangkan perangkat pembelajaran yang sejalan dengan standar kompetensi, kompetensi dasar dan materi IPS yang mengandung nilai-nilai multikultur. 6. Model evaluasi yang digunakan guru dalam menilai proses pembelajaran IPS, termasuk untuk standar kompetensi, kompetensi dasar dan materi yang mengandung nilai-nilai multikultur sama dengan standar kompetensi, kompetensi dasar dan materi biasa, yaitu berupa tes objektif pilihan ganda dan esay. 7. Proses pembelajaran lebih diorientasikan pada pencapaian hasil belajar dan
ketuntasan
materi,
dengan
mengesampingkan
ketercapaian
kompetensi multikultural siswa 8. Proses pembelajaran lebih bersifat ekspositoris dan otoritas metodologis yang masih kaku dengan mengutamakan sumber belajar dari “guru” dengan mengabaikan potensi siswa dan sumber belajar yang bersifat multi sumber, akibatnya pembelajaran menjadi membosankan dan tidak bermakna bagi kehidupan riil siswa. 9. Guru masih menemukan masalah dalam memformulasikan materi, sumber belajar
dan
media
pembelajaran
dalam
melangsungkan
proses
pembelajaran IPS yang kompetensi dasar, standar kompetensi dan materinya mengandung nilai-nilai multikultur. Berdasarkan pada identifikasi masalah sebagimana dipaparkan di atas, maka permasalahan umum penelitian ini adalah bagaimanakah pengembangan perangkat pembelajaran dan model pembelajaran IPS berbasis multikultur pada siswa SD di Kota Singaraja?. Berdasarkan masalah dan fokus penelitian, maka I Nengah Suastika, 2013 Pengembangan Model Pembelajaran Ips Berbasis Multikultur Di Sekolah Dasar (Studi Pengembangan Model Pada Siswa Kelas V Sd Di Kota Singaraja Provinsi Bali) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
penelitian ini mengarahkan pada proses pembelajaran IPS-SD dan kaitannya untuk menemukan dan mengembangkan perangkat pembelajaran dan model pembelajaran IPS bagi pengembangan kompetensi multikultur siswa SD. Secara rinci dapat dirumuskan masalah penelitian ini dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kebutuhan kompetensi multikultur siswa SD dan kondisi pembelajaran IPS-SD di Kota Singaraja? 2. Bagaimanakah desain model konseptual pembelajaran IPS berbasis multikultural yang dikembangkan untuk meningkatkan kompetensi multikultur siswa SD di Kota Singaraja? 3. Bagaimanakah efektivitas penerapan model pembelajaran IPS berbasis multikultral pada siswa SD di Kota Singaraja Provinsi Bali dibandingkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD ditinjau dari kompetensi multikultural siswa (pengetahuan, sikap dan keterampilan multikultural) ? 1.3. Tujuan Penelitian Secara
umum
mengembangkan
penelitian
perangkat
ini
bertujuan
pembelajaran,
untuk
model
menemukan
evaluasi
dan
dan model
pembelajaran IPS berbasis multikultur pada siswa SD di Kota Singaraja dalam meningkatkan kompetensi multikulturalnya. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis dan memformulasikan kebutuhan kompetensi multikultur siswa SD dan kondisi proses pembelajaran IPS-SD di Kota singaraja, 2. Menganalisis
dan
memformulasikan
desain
konseptual
model
pembelajaran IPS berbasis multikultur yang mampu mengembangkan pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan multikultur siswa SD di Kota Singaraja, dan 3. Menganalisis efektivitas penerapan model pembelajaran IPS berbasis multikultural pada siswa SD di Kota Singaraja Provinsi Bali dibandingkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD ditinjau dari I Nengah Suastika, 2013 Pengembangan Model Pembelajaran Ips Berbasis Multikultur Di Sekolah Dasar (Studi Pengembangan Model Pada Siswa Kelas V Sd Di Kota Singaraja Provinsi Bali) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
kompetensi multikultural siswa (pengetahuan, sikap dan keterampilan multikultural). 1.4. Penjelasan Istilah Model pembelajaran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses pembelajaran yang melibatkan keseluruhan komponen pembelajaran dan didasari oleh filsafat konstruktivis. Model pembelajaran menurut Wahab (2008: 52) adalah sebuah perencanaan pembelajaran yang menggambarkan proses yang ditempuh dalam pembelajaran agar tercapai perubahan spesifik prilaku siswa seperti yang diharapkan. Model pembelajaran digunakan untuk mengarahkan dalam mendesain pembelajaran untuk membantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Pada penelitian ini yang dimaksud dengan model pembelajaran adalah pedoman yang memberikan gambaran yang utuh bagi guru untuk merancang, melaksanakan dan melakukan proses evaluasi dengan langkahlangkah yang jelas dalam mencapai tujuan pembelajaran. Sedangkan yang dimaksud dengan kompetensi multikultural merupakan seprangkat sikap dan nilai-nilai hidup yang mengakui, menghargai, menghormati, budaya, etnis, ras, dan agama orang lain tanpa adanya prasangka dan sikap yang negatif, sehingga tercipta demokratisasi dan kesederajatan antar budaya. Adanya pengakuan kesederajatan budaya antara minoritas dan mayoritas akan menciptkan hubungan yang positif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang memiliki keragaman kultural seperti Indonesia. Dengan demikian, yang dimaksud dengan keterampilan multikultural dalam penelitian ini adalah kemampuan dan kemauan untuk menghargai, menyadari, memahami dan mengevaluasi budaya orang lain. Penelitian ini melibatkan dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel terikat. Sedangkan variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2010: 39). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model I Nengah Suastika, 2013 Pengembangan Model Pembelajaran Ips Berbasis Multikultur Di Sekolah Dasar (Studi Pengembangan Model Pada Siswa Kelas V Sd Di Kota Singaraja Provinsi Bali) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
pembelajaran yang diklasifikasikan menjadi model pembelajaran IPS berbasis multikultur dan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Model pembelajaran berbasis multikultural yang dimaksud dalam penelitian ini adalah model pembelajaran
yang
dikembangkan
berdasarkan
domain
dan
nilai-nilai
multikulturaisme. Sintaks model pembelajaran multikultural diawali dengan inisiasi, individual opinion, kelompok multikultural, multicultural opinion, implementasi dan refleksi. Sedangkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD yang dimaksud dalam penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif yang memenuhi langkah-langkah sintaks pembelajaran model pembelajaran kooperatif tipe STAD, yaitu penyampain tujuan oleh guru, menyajikan informasi, mengornasir kelompok belajar, membimbing kelompok, evaluasi dan pemberian penghargaan. Model pembelajaran berbasis multikultural kelompok eksperimen
dikenakan pada
dan model kooperatif tipe STAD dikenakan kepada
kelompok kontrol. Sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah pengetahuan, nilainilai dan keterampilan multikultur. Pengetahuan multikultural merupakan seprangkat pengetahuan tentang keberagaman suku, ras, agama dan budaya masyarakat Indonesia yang diperoleh oleh siswa melalui praktek pembelajaran IPS. Pengetahuan multikultural menyangkut aspek pengetahuan tentang toleransi, empati, cinta damai dan hukum karma yang dapat diukur melalui tes. Nilai-nilai atau sikap multikultural yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sikap untuk toleran, empati, cinta damai dan meyakini adanya hukum karma. Sikap toleran, empati, cinta damai dan meyakini adanya hukum karma ini dapat diukur dengan menggunakan inventori nilai. Sedangkan keterampilan multikultural merupakan seprangkat sikap dan nilai-nilai hidup yang mengakui, menghargai, menghormati, suku, ras, agama dan budaya orang lain tanpa adanya prasangka dan sikap yang negatif, sehingga tercipta demokratisasi dan kesederajatan antar budaya. Keterampilan multikultural mencakup dan terlihat dalam
kemampuan siswa
untuk mengkomunikasikan ide atau gagasan, keterampilan bekerjasama dan keterampilan untuk memecahkan masalah. I Nengah Suastika, 2013 Pengembangan Model Pembelajaran Ips Berbasis Multikultur Di Sekolah Dasar (Studi Pengembangan Model Pada Siswa Kelas V Sd Di Kota Singaraja Provinsi Bali) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
1.5. Manfaat Penelitian Berdasarkan pada latar belakang dan tujuan penelitian sebagaimana dikemukakan di atas, maka penelitian ini memberikan manfaat secara teoretis dan praktis. Secara teoretis produk penelitian ini berguna bagi: 1. Penelitian ini telah menghasilkan temuan baru berupa perangkat pembelajaran, model evaluasi dan model pembelajaran IPS berbasis multikultural yang sejalan dengan nilai-nilai budaya dan kebutuhan belajar siswa. Berkenaan dengan itu, konsep baru tentang perangkat pembelajaran, model evaluasi dan model pembelajaran IPS berbasis multikultural yang di dalamnya tercermin adanya pengetahuan, nilai-nilai dan tingkah laku multikultur siswa SD sebagai tujuan pembelalaran IPS dapat dijadikan sebagi acuan teoretik bagi pelaku dan praktisi pendidikan untuk dalam mengembangkan perangkat pembelajaran, model evaluasi dan model pembelajaran yang sejenis, 2. Penelitian dan pengembangan ini telah menghasilkan ide-ide berupa prinsip-prinsip dasar dalam mendesain perangkat pembelajaran, model evaluasi dan model pembelajaran IPS berbasis multikultur untuk meningkatkan pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan multikultur siswa SD. Prinsip-prinsip dasar dalam mendesain pengembangan perangkat pembelajaran, model evaluasi dan model pembelajaran ini dapat dijadikan acuan teoretik
bagi pelaku dan praktisi pendidikan untuk dalam
mengembangkan perangkat pembelajaran dan model pembelajaran yang sejenis, dan 3. Penelitian dan pengembangan ini telah menemukan perumusan konsep perangkat pembelajaran, model pembelajaran dan pola evaluasi yang sejalan dengan perkembangan kognitif siswa SD. Secara praktis produk penelitian diharapkan dapat teraplikasi dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Berkenaan dengan itu, maka hasil penelitian berguna bagi: I Nengah Suastika, 2013 Pengembangan Model Pembelajaran Ips Berbasis Multikultur Di Sekolah Dasar (Studi Pengembangan Model Pada Siswa Kelas V Sd Di Kota Singaraja Provinsi Bali) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
ini akan
1. Guru, sebagai pengembang dan pelaksana kurikulum hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam melangsungkan pembelajaran IPS berbasis multikultur untuk meningkatkan pengetahuan, nilai-nilai dan tingkah laku multikultur siswa SD, 2. Siswa, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagi salah satu sarana dalam mengembangkan potensi dirinya untuk memahami kearifan budaya dalam mengartikulasi multikultural bangsa Indonesia secara arif dan bijaksana, sehingga bisa hidup secara damain dan harmonis dalam keberagaman, 3. Kepala Sekolah, sebagai administrator dan manajer yang bertangungjawab terhadap keberhasilan sekolah, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam membudayakan pembelajaran yang berbasis kearifan budaya dalam pembelajaran IPS, sehingga lebih familiar terhadap pengetahuan, budaya dan keterampilan guru, dan 4. Peneliti sejenis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman
dalam
mengembangkan
bahan
ajar
dan
model-model
pembelajaran yang berbasis pada kearifan budaya, khususnya dalam pengembangan pembelajaran IPS yang memang harus berangkat dari kondisi sosial empirik di mana pembelajaran itu dilangsungkan. 1.6. Sistematika Organisasi Disertasi Pada bagian pertama diawali dengan bab I, yaitu pendahuluan yang memuat tentang latar belakang penelitian, identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian, penjelasan istilah dan manfaat penelitian. Bagian kedua (bab II) memuat tentang kajian teoretik yang terkait dengan masalah yang dikaji, yaitu kerangka pemikiran konstruktivisme, hakekat masyarakat multikultural, model pemelajaran
dalam
mengembangkan
model
pembelajaran
IPS
berbasis
multikultur, hakekat pembelajaran multikultur, dimensi dan pendekatan pembelajaran multikultur, pendidikan multikultural dalam konteks intraksional, pendidikan multikultural dalam pelajaran IPS, hakekat dan tujuan pembelajaran IPS-SD, dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan masalah yang dikaji. Bagian ketiga (bab III) metode penelitian yang memuat tentang desain penelitian, I Nengah Suastika, 2013 Pengembangan Model Pembelajaran Ips Berbasis Multikultur Di Sekolah Dasar (Studi Pengembangan Model Pada Siswa Kelas V Sd Di Kota Singaraja Provinsi Bali) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
lokasi dan seting penelitian, subjek dan objek penelitian, difinisi konseptual dan difinisi oprasional variabel yang akan diteliti, prosedur pengembangan model pembelajaran IPS berbasis multikultur pada siswa SD di Kota Singaraja, instrumen penelitian dan teknik pengumpulan data, serta teknik pengolahan dan analisis data. Bagian keempat (bab IV) hasil penelitian dan pembahasan. Adapun hasil penelitian menguraikan tentang kebutuhan keterampialan multikultur siswa SD dan kondisi pembelajaran IPS-SD di Kota Singaraja, desain konseptual model pembelajaran
IPS
berbasis
multikultural,
efektivitas
penerapan
model
pembelajaran IPS berbasis multikultur dibandingkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD ditinjau dari pengetahuan, sikap dan keterampilan multikultur siswa. Sedangkan pembahasan menguraikan tentang pembahasan mengenai
kebutuhan
kompetensi
multikultural
siswa
SD
dan
kondisi
pembelajaran IPS-SD di Kota Singaraja, interpretasi dan pemahasan desain model pembelajaran
IPS
berbasis
multikultural,
interpretasi
dan
pemahasan
eksperimentasi model pembelajaran IPS berbasis multikultur dibandingkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Bagian kelima (bab V) kesimpulan dan rekomendasi yang memuat intisari hasil penelitian dan pembahasan
serta
rekomendasi
bagi
pengambil
kebijakan
berkepentingan dengan hasil penelitian ini.
I Nengah Suastika, 2013 Pengembangan Model Pembelajaran Ips Berbasis Multikultur Di Sekolah Dasar (Studi Pengembangan Model Pada Siswa Kelas V Sd Di Kota Singaraja Provinsi Bali) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
dan
yang