1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Fenomena perkembangan industri pertambangan di Indonesia yang sangat terkait dengan berbagai pihak dan kegiatan, serta diwarnai oleh unsur kapitalisme, telah mengarahkan kegiatan pertambangan pada beragam konflik mulai dari konflik politis, sosial, budaya hingga ekonomi. Konflik di kawasan pertambangan yang banyak berkembang, dipicu oleh dua perubahan dasar yakni kondisi ekonomi yang ditandai merosotnya kesejahteraan sebagian masyarakat Indonesia pasca krisis moneter, dan kondisi hukum yang masih lemah dalam hal penegakan menyebabkan banyaknya celah pemegang modal memanfaatkan rakyat untuk mendapatkan akses ke sumber daya mineral. Konflik di kawasan pertambangan biasanya melibatkan banyak aktor intelektual dan juga pemegang modal. Apabila ditelaah, maka dapat dikatakan bahwa konflik pertambangan bisa terjadi pada dua tataran yaitu tataran makro dan tataran mikro. Pada tataran makro, konflik terjadi pada lingkup horizontal yang lebih luas, mencakup konflik antar departemen pemerintah, lembaga kehutanan dan LSM, dengan pemerintah pusat dan daerah. Pada tataran mikro, konflik terjadi antara masyarakat setempat dengan perusahaan dan pemerintah setempat, atau dengan oknum spekulan dan aparat (Prasetyo, 2012). Konflik pada tataran mikro ini, umumnya terjadi pada tataran lokal yang melibatkan perusahaan dengan masyarakat lokal, antara lain konflik PT.Newmont Minahasa Raya (PT.
2
NMR) dengan masyarakat sekitar Teluk Buyat, Konflik pemanfaatan mineral timah antara PT. Indumuro Kencana dengan masyarakat Tambang Ilegal (TI) di Bangka Belitung, konflik di kawasan pertambangan emas antara PT. Palu Citra Mineral (PT.CPM) dengan penambang lokal di Kelurahan Poboya Palu, dan konflik Penambang Tanpa Izin (PETI) batubara di Kalimantan Selatan. Konflik yang terjadi di kawasan pertambangan emas Kecamatan Balaesang Tanjung Kabupaten Donggala merupakan konflik pada tataran mikro. Konflik ini dimulai saat Bupati Donggala, Habir Ponulele menerbitkan surat Izin Usaha Pertambangan (IUP) Ekplorasi Nomor:188.45/0288/DESDM/2010 kepada PT. Cahaya Manunggal Abadi (PT.CMA), dengan konsensi seluas 5.000 hektar yang diproyeksikan di dua desa yakni Malei dan Walandano. Namun dalam peta IUP PT. CMA konsensi tersebut mencakup wilayah enam desa yakni Desa Malei, Desa Walandano, Desa Kamonji, Desa Rano, Desa Palau dan Desa Pomolulu. Setahun kemudian DPRD Donggala mensahkan PERDA Nomor 1 tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Donggala Tahun 2011-2031, yang salah satu isinya menetapkan wilayah Kecamatan Balaesang Tanjung sebagai wilayah peruntukan pertambangan (Harian Umum Mercusuar, 10 Agustus 2012). Kehadiran PT. CMA ini memicu aksi protes warga karena konsensi tambang yang diperoleh akan menelan ribuan hektar kebun warga meliputi, kelapa, cengkeh, dan tanaman jangka pendek lainnya yang masih produktif. Selama turun temurun perkebunan telah menjadi urat nadi kehidupan masyarakat di enam desa tersebut, yang juga menggantungkan fungsi alam, tanah dan air dari kawasan itu. Hal ini diperparah dengan tindakan penguasaan lahan oleh oknum
3
perusahaan, yang melarang masyarakat untuk melakukan aktivitas berkebun di lahan-lahan yang masuk dalam konsensi tambang. Kehadiran PT. CMA telah mendorong terbentuknya kelompok-kelompok dalam masyarakat yang saling bertentangan (pro dan kontra). Masyarakat yang kontra menilai kebijakan pemerintah daerah lebih berpihak pada kepentingan investor tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat setempat. Pemerintah Kabupaten Donggala hingga level kecamatan dan desa juga dinilai kurang terbuka dalam melegalkan masuknya PT.CMA. Masyarakat yang kontra kemudian melakukan berbagai aksi protes yang intinya menolak PT. CMA melanjutkan kegiatannya ke tahap produksi. Puncaknya terjadi pada 17 Juli 2012 yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa di kalangan masyarakat. Pemerintah Kabupaten Donggala berdalih bahwa sebelum IUP eksplorasi dikeluarkan, masyarakat telah menyatakan dukungan terhadap kegiatan PT. CMA, yang dibuktikan dengan surat keterangan dukungan masyarakat Nomor: 141.037/ML/I/2009 tanggal 17 Januari 2009, yang menyatakan menerima dan tidak keberatan dibangunnya pabrik emas di Desa Malei Kecamatan Balesang Tanjung. Namun faktanya, konflik dikalangan masyarakat tidak dapat dihindari, padahal masyarakat Kecamatan Balaesang Tanjung sebelumnya hidup damai, karena pada dasarnya memiliki hubungan kekeluargaan/kekerabatan yang erat. Dalam rangka penyelesaian konflik di Kecamatan Balaesang Tanjung, pemerintah Kabupaten Donggala telah menginisiasi proses rekonsiliasi konflik. Rekonsiliasi bertujuan untuk penyembuhan atau pemulihan melalui penemuan kembali nilai kemanusiaan dari masing-masing pihak, pengakuan akan hak-hak
4
korban, dan penyesalan dari pelaku kekerasan yang disertai dengan pemaafan. Proses rekonsiliasi dimulai pada bulan Januari 2013, yang difasilitasi oleh Kepala Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Kabupaten Donggala Ir. Syamsul Alam. Oleh karena proses rekonsiliasi yang masih berlangsung hingga saat penelitian ini dilakukan, maka dalam penelitian ini fokus kajian tidak sampai pada efektivitas atau keberhasilan penyelesaian konflik. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini diarahkan untuk mendekripsikan anatomi konflik kegiatan eksplorasi pertambangan emas PT. CMA di Kecamatan Balaesang Tanjung, serta mengkaji peran pemerintah daerah dalam pengelolaan konflik. Konflik perusahaan dengan masyarakat lokal merupakan wujud adanya perbedaan kepentingan khususnya ekonomi, sehingga konflik ini memiliki tujuan dan substansi yang lebih rasional dan fokus (Prayogo, 2010). Pemilihan lokasi pada kawasan pertambangan emas Kecamatan Balesang Tanjung, karena konflik yang melibatkan perusahaan dan masyarakat lokal telah berlangsung ketika perusahaan masih pada tahap eksplorasi pertambangan, sementara di banyak daerah konflik biasanya terjadi ketika perusahaan telah berproduksi atau pada tahap eksploitasi. 1.2
Rumusan Permasalahan
Beberapa hal yang menarik dan menjadi perhatian dari kasus konflik di kawasan pertambangan emas Kecamatan Balaesang Tanjung Kabupaten Donggala adalah: 1. Konflik telah berlangsung ketika perusahaan (PT. CMA) masih pada tahap eksplorasi pertambangan.
5
2. Masyarakat Kecamatan Balaesang Tanjung sebelumnya hidup damai (tidak pernah
berkonflik),
karena
pada
dasarnya
memiliki
hubungan
kekeluargaan/kekerabatan yang erat. 3. Konflik tersebut melibatkan beberapa pihak yaitu kelompok masyarakat yang pro dan kontra, perusahaan (PT. CMA), serta pemerintah daerah, sehingga banyak kepentingan yang dipertarungkan. 4. Posisi pemerintah daerah tidak jelas, apakah menjalankan fungsinya sebagai mediator atau justru aktor yang ikut terlibat.
1.3
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Seperti apakah anatomi konflik kegiatan eksplorasi pertambangan PT. CMA di kawasan pertambangan emas Kecamatan Balaesang Tanjung Kabupaten Donggala?; 2. Bagaimana peran pemerintah daerah Kabupaten Donggala dalam pengelolaan konflik?
1.4
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: 1. Memetakan konflik untuk mendeskripsikan jenis dan tipe konflik, aktor-aktor yang terlibat konflik dan pola hubungannya, faktor-faktor penyebab konflik, serta dinamika konfliknya;
6
2. Mengkaji peran pemerintah daerah Kabupaten Donggala dalam pengelolaan konflik. 1.5
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memahami peran pemerintah daerah dalam pengelolaan konflik, sehingga dapat meminimalisir kelemahan-kelemahan dalam implementasi kebijakan yang dapat menimbulkan konflik. 2. Sebagai masukan bagi pemerintah daerah dalam melakukan resolusi konflik, serta membuat kebijakan yang rentan terhadap konflik. 3. Sebagai masukan bagi penelitian selanjutnya, khususnya yang terkait dengan konflik kegiatan pertambangan.
1.6
Keaslian Penelitian
Penelitian tentang konflik kegiatan pertambangan telah beberapa kali dilakukan dengan fokus, lokus, dan permasalahan yang berbeda. Penelitian ini didasarkan pada fenomena kasus konflik yang terjadi di kawasan pertambangan emas Kecamatan Balesang Tanjung antara perusahaan dengan masyarakat lokal, yang telah terjadi ketika perusahaan masih pada tahap eksplorasi pertambangan. Penelitian ini asli dan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang mengkaji fenomena konflik yang terjadi pada saat perusahaan sudah terlanjur beroperasi atau pada tahap eksploitasi, sehingga faktor-faktor penyebabnya seringkali telah terkait dengan persoalan dampak lingkungan. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan diantaranya sebagai berikut:
7
Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu PENULIS/ NO TAHUN 1. Tua Hasiholan Hutabarat (2004)
2.
Yurida Tungga Dewi (2005)
TOPIK
FOKUS
LOKUS
HASIL PENELITIAN
Sumber Konflik dan Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Konflik (APK) Dalam Sengketa Lingkungan Hidup Antara Masyarakat Sosorladang dengan PT. Toba Pulp Lestari
Pengaruh faktor rasional dan irrasional terhadap perkembangan sikap masyarakat; dan kemungkinan penerapan APK sebagai bentuk resolusi konflik
Kec. Porsea Kab. Toba Samosir
Dari empat faktor rasional yaitu tingkat pengetahuan masyarakat, akses terhadap sumberdaya alam, tingkat kerugian yang diterima masyarakat, dan perolehan bantuan, hanya faktor perolehan bantuan yang berkorelasi dengan pengembangan sikap masyarakat. Adapun empat faktor irasional yaitu etnosentris, kecemburuan, solidaritas, dan prasangka semuanya memiliki korelasi, dan faktor etnosentris menjadi faktor yang paling berpengaruh. Hasil pengujian bahwa faktor irrasional lebih mempengaruhi pembentukan sikap negatif masyarakat menyebabkan sulitnya penyelesaian konflik antara masyarakat dengan PT. TPL
Konflik antara masyarakat lokal di Teluk Buyat dengan PT. Newmont Minahasa Raya
Analisis konflik dan faktor-faktor penyebabnya
Teluk Buyat
Konflik yang terjadi antara masyarakat lokal dengan PT. NMR disebabkan kebijakan pemerintah selama ini tidak memihak pada kepentingan masyarakat. Banyaknya pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan kebijakan investasi dan pertambangan menyebabkan orientasinya lebih bersifat ekonomi. Kebijakan di sektor lingkungan hidup juga mendukung kebijakan diatas, dapat dilihat dengan mudahnya mengeluarkan izin pembuangan limbah ke laut kepada perusahaan asing. Pada kasus Teluk Buyat, PT.NMR diduga telah melakukan pencemaran karena membuang limbah ke laut
8
NO 3.
4.
PENULIS/ TAHUN Sahani (2006)
Amnah (2006)
TOPIK
FOKUS
LOKUS
HASIL PENELITIAN
Konflik Pengelolaan Pertambangan Timah di Kepulauan Bangka Belitung antara PT. Timah tbk dengan Pemerintah Kabupaten Bangka dan Asoisasi Industri Timah Indonesia
Tipologi konflik dan akar permasalahan konflik
Kep. Bangka Belitung
Pertama, konflik kepentingan antara PT. Timah tbk dengan pemerintah Kabupaten Bangka disebabkan isu tata niaga timah, isu peningkatan PAD yang membebani PT. Timah tbk, isu tambang inkonvensional yang dilindungi oleh Perda Kabupaten Bangka nomor 6 tahun 2001, isu legalitas pertambangan rakyat serta isu penggunaan alat berat yang mengancam cadangan timah milik PT. Timah tbk; Kedua, konflik kepentingan antara PT. Timah tbk dengan smelter milik AITI disebabkan inkonsistensi implementasi kebijakan royalti; Ketiga, interaksi konflik diwarnai dengan upaya masingmasig pihak mendayagunakan koneksi politik yang dimiliki guna mempengaruhi kebijakan pertambangan timah
Konflik Kegiatan Penambangan Bahan Galian C
Jenis tema substansi konflik, akar permasalahan konflik, dan faktor-faktor penyebab konflik
Wilayah Kab. Bima Bagian Timur
Terdapat 6 (enam) jenis tema substansi konflik yaitu: konflik lokasi, konflik ekonomis barang tambang, konflik penggunaan lahan, konflik pemahaman, konflik perijinan, dan konflik pengelolaan kegiatan penambangan. Akar permasalahan konflik adalah perbedaan nilai, perbedaan kepentingan, dan tidak terlaksananya kegiatan pengelolaan dan pengawasan kegiatan penambangan bahan galian golongan C. Upaya penyelesaian konflik yang dilakukan adalah penegakkan hukum, pemberdayaan penambang dan penyusunan peta zonasi wilayah penambangan
9
NO 5.
6.
PENULIS/ TAHUN Bambang Susilo (2008)
TOPIK Konflik Antar Stakeholders Dalam Pemanfaatan Lahan
Hadiwiyono Tumpang Tindih (2011) Ijin Lokasi Pertambangan Batubara
FOKUS
LOKUS
HASIL PENELITIAN
Keragaman konflik (tipologi, tahapan, penyebab dan akar konflik, serta resolusi konflik) yang terjadi antar stakeholders dalam pemanfaatan lahan di wilayah pesisir
Wilayah Pesisir Kab. Kulon Progo
Konflik disebabkan masyarakat takut kehilangan lahan pertanian di wilayah pesisir, adanya perbedaan pemahaman status kepemilikan lahan pesisir antara pemerintah dan masyarakat, pemerintah kurang optimal melakukan pengelolaan pemanfaatan wilayah pesisir, masyarakat khawatir akan terjadi kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam akibat penambangan pasir besi, pencemaran lingkungan akibat dari usaha-usaha swasta maupun masyarakat. Resolusi konflik yang ditempuh oleh pemerintah dan swasta antara lain: negosiasi dan musyawarah, pemberian kapling tanah, pupuk kandang gratis, dan kompensasi ganti rugi, serta pelaksanaan pilot project.
Mekanisme penerbitan ijin lokasi pertambangan batubara; kesesuaian ijin lokasi dengan rencana peruntukan kawasan pertambangan batubara; faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kasus tumpang tindih ijin lokasi pertambangan batubara
Lokasi Tambang Batubara PT. Bumi Baratama dan PT. Sungai Belati Coal di Kab. Sarolangun
Peraturan perijinan yang mengatur ketentuan dalam penerbitan ijin lokasi pertambangan batubara belum disesuaikan dengan peraturan tentang penataan ruang yang dapat dijadikan acuan bagi penerbitan ijin lokasi tersebut. Perlunya sinkronisasi antar peraturan dalam pelaksanaan kegiatan pertambangan batubara agar tidak terjadi kasus serupa di masa yang akan datang.
10
NO 7.
8.
PENULIS/ TAHUN Ida Harwati (2011)
Mappatoba Andi (2012)
TOPIK
FOKUS
LOKUS
HASIL PENELITIAN
Konflik Lingkungan dan Resolusinya
Pemetaan konflik (proses terjadinya, apa, siapa, dan dimana saja); faktor-faktor penyebab terjadinya konflik; efektivitas resolusi konflik
Taman Nasional Bukit Dua Belas Provinsi Jambi
Akar permasalahan konflik adalah penetapan TNBD dan pemanfaatan kawasan penyangganya. Konflik ini merupakan konflik ikutan yang mencerminkan ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan negara dan terganggunya kepentingan stakeholders dalam pemanfaatan kawasan TNBD dan kawasan penyangganya. Konflik lingkungan ini merefleksikan adanya kebijakan negara yang tidak sesuai diterapkan di suatu wilayah, dan terjadinya perubahan identitas serta pelemahan nilai-nilai kearifan lokal suatu masyarakat dalam pemanfataan lingkungan.
Pengelolaan Konflik di Kawasan Pertambangan Emas
Jenis-jenis konflik dan faktor penyebab terjadinya konflik; sistem pengelolaan konflik yang dilakukan Pemda dan Lembaga Adat, serta tingkat keberhasilannya
Kelurahan Poboya Kota Palu
Terdapat dua jenis konflik yang terjadi yaitu konflik spasial dan konflik sosial. Penyebab konflik spasial adalah lemahnya koordinasi antar departemen/ lembaga, pusat dan daerah. Konflik sosial disebabkan transformasi fungsi adat, serta belum adanya penetapan aturan formal yang mengatur aktivitas tambang di kawasan Poboya. Resolusi konflik spasial dilakukan melalui pendekatan aturan dan mediasi oleh Gubernur Sulteng, dan konflik sosial melalui mediasi oleh pemerintah dan lembaga adat Poboya. Peran Lembaga Adat Poboya dengan pendekatan upaya pencegahan dan mediasi mampu menyelesaikan konflik sosial di kawasan tambang emas Poboya.