BAB I PENADAHULUAN
A. Latar Belakang Menusia diciptakan oleh Allah SWT dengan keadaan saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Hal ini dikandung maksud supaya mereka saling tolong menolong dalam segala urusan, baik untuk kepentingan dirinya maupun kepentingan umum. Manusia dalam sisi lain hidupnya adalah makhluk religi, dengan naungan tata nilai dalam menjalani hidup demi meraih sukses secara sempurna. Namun suatu ketika manusia dihadapkan pada persimpangan yang sama berat, misalnya tolong-menolong sesama sebagai tuntutan kemanusiaan dan cara menolong yang tidak melanggar sharî’at Islam. Padahal dalam konteks agama tidak dijelaskan secara konkrit tehnis memberikan pertolongan, hal ini dimaklumi sebab manusia diberi anugerah kemampuan berfikir untuk menemukan yang terbaik. Allah menciptakan manusia dengan berbagai sifat, saling membutuhkan antara manusia satu dengan manusia lainnya, karena bagaimanapun juga manusia tidak akan mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan pihak lain, agar manusia dapat memenuhi kebutuhannya, maka
1
2
Allah menganjurkan sifat tolong-menolong, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah :
(٢ : *)('ة+ن )ا ِ اْ ِ" ْ! ِ وَا ُْـْوَا#َ$% َ َ&ى َو َ* َ)َ( َو'ُ&ا,.- وَا0/ 1ِ ْ ا#َ$% َ َو َ)َ( َو'ُ&ا Artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (QS. Al-Mâidah : 2).1 Dalam kehidupan dewasa ini semakin hari tingkat kebutuhan semakin meningkat, apalagi budaya konsumtif sudah semakin meluas ditengah-tengah masyarakat, maka tidak jarang ditemui transaksi yang dilakukan secara tidak tunai. Berkaitan dengan hal ini, Islam menganjurkan transaksi yang dilakukan secara kredit untuk menuliskannya supaya bisa berjalan dengan lancar. Sebagaimana dinyatakan dalam al-Qurân : (٢٨٢
: ةVW9+ )ا7ُ 8ُ9:ُ *@? >َ) ْآA َ CB E ٍF َ َ? َأ+ ِإJ ٍ Kْ 'َ Lِ ْM:ُ NَK'َاOَ ا ِإذَا8ُNCَ ءَاJ َ KِR+Sَ) اTKBَأUَK
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya." (QS. Al-Baqarah)2 Shari’at Islam melindungi manusia untuk berniaga dan dianjurkan berjualbeli sebagai jalan untuk mencari rizqi, karena itu aturan main jual beli itu wajib ditaati dan setiap jual-beli akan terjadi dua kemungkinan yaitu; pertukaran barang, jasa atau uang, selanjutnya akan terjadi pembelian secara tunai maupun tidak tunai, di dalam aktifitas mu’malah tentunya kita tidak menginginkan adanya
1 2
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Gema Risalah Press, 1989), 157. Ibid, 70
3
penipuan atau kecurangan hal ini akan sangat merugikan orang lain. sebagai contoh hadith Nabi Saw. di bawah ini, yang lazim digunakan sebagai landasan berusaha khususnya pada lingkup jual beli.
<%0=1ى4&دى< وا@? أBC(ا6!7 ,:;:(6!7 ,#45ى6!7 8ا1%(6!7 : ?PN : (لN G:H IE راJK <% G:H <4 Iٍ Eِ < رَا ِ 4ْ ِاDَ%(َE< ِر4 D:(1% وْ ٍر0ُ 1ْ Wَ Iٍ Pْ 4َ ?U َو ُآJِ ِ Pَ 4ِ ?ِ K ُ 0- ُ? اCَ % َ : َ( َلN ُ؟SPَ T ْ َأS ِ B ْ =َ ْ ي ا U َا8&ل اQ(ر: (?167 <4 C7 أJ)روا Artinya :“Menceritakan kepada kami “Abdullah, menceritakan kepada Ayahku, menceritakan kepada kami Yazid, menceritakan kepada kami Mas’udî, dari Wâil Abî Bakr, dari ‘Ubayah bin Rifâ’ah ibnu Râfi’ ibnu khudaij, dari kakek Râfi’ ibn khudaij berkata : Dikatakan :Ya Rsulûllah, pekerjaan apa yang lebih baik? Beliau menjawab : Usaha dengan tangannya sendiri dan tiap-tiap jual beli yang halal”. (HR. Ahmad ibn Hambal).3 Dalam amanat beliau terang bahwa jual beli yang halal mendapat predikat baik, akan tetapi tehnis jual beli yang halal merupakan ruang kreatifitas umat untuk mengisinya. Pada waktu yang berbeda manusia juga harus menentukan sikap untuk menghadapi kreatifitas yang berkembang. Jual beli menjadi sah apabila memenuhi syarat-syarat dan rukunnya. Dalam ekonomi Islam siapapun boleh berbisnis. Namun demikian, dia tidak boleh melakukan ikhtikar, yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi.4 Islam
69
3
Imâm Ahmad Ibn Hambal, Musnad Ahmad ibn Hambal, Vol 6 (Beirut: Dâr Al Fikr : 1991),
4
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam (Yogyakarta: Ekonosia, 2002), 203.
4
menghargai hak penjual maupun pembeli untuk menentukan harga sekaligus melindungi hak keduanya. Islam membolehkan, bahkan mewajibkan pemerintah melakukan intervensi harga, bila kenaikan harga disebabkan adanya distorsi terhadap permintaan dan penawaran.5 Ulama Fiqh sepakat menyatakan bahwa ketentuan penetapan harga ini tidak dijumpai dalam al-Qur’ân. Adapun dalam hadith Rasulullah saw dijumpai beberapa riwayat yang menurut logikanya dapat di induksikan bahwa penetapan harga itu dibolehkan dalam kondisi tertentu. Faktor dominan yang menjadi landasan hukum at-Tas’ir al-Jabari, menurut kesepakatan Ulama Fiqh adalah alMaslahah al-Mursalah (kemaslahatan)’.6 Dalam realitas di lapangan, penulis menemukan adanya bentuk transaksi jual beli bersyarat di Pangkalan jual beli sepeda motor Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo, dengan cara memberikan syarat dibelakangnya. Ada pihak penjual menawarkan barang miliknya kepada pembeli untuk mendapatkan uang sesuai harga barang dengan syarat pihak penjual tersebut (pemilik sepeda motor) membelinya kembali saat dia telah mempunyai sejumlah uang seperti yang diterima pada saat penjual/pemilik menjual sepeda motor tersebut. Penulis memahami tata cara jual beli yang dilakukan tersebut tergantung pada syarat yang diajukan penjual, konsekuensinya pihak pembeli tidak
5 6
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam (Yogyakarta: Ekonosia, 2002), 203. Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual (Jakarta: Gema Insani, 2003), 91.
5
mempunyai kebebasan untuk memperlakukan barang yang telah dibelinya, yaitu menjual kembali pada pihak lain.7 Dalam hal ini, jual beli bersyarat tidaklah dibenarkan dalam fiqh karena akan merugikan pihak pembeli, selain itu, ketika terkumpul syarat kepada jual beli maka seperti menggantungkan terhadap keadaan setelah transaksi yang bisa menyebabkan perselisihan dan menghilangkan tujuan dari jual beli. Padahal dalam fiqh Islam terdapat; 1) Yang membolehkan adanya jual beli dengan memberikan syarat, misalnya “saya beli barang in dengan harga sekian deangan syarat khiyâr dalam tiga hari atau kurang”,8 sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, yaitu: “Engkau boleh khiyâr pada segala barang yang telah engkau beli selama tiga hari tiga malam” (Riwayat Baihaqi dan Ibnu Majah)9,
2) Tidak
memboleh adanya jual beli dengan menggantungkan dengan adanya syarat di belakangnya, misalnya jual beli yang memberikan syarat batasan tempo waktu10. Berangkat dari permasalahan yang terjadi dalam transaksi tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengeksplorasi permasalahan yang urgen dalam transaksi tersebut diantaranya dari sisi akad dan dari sisi mekanisme penetapan harga melalui sebuah penelitian lapangan dalam kerangka tinjauan Hukum Islam sehingga dapat menjadi sebuah karya skripsi dengan judul “TINJAUAN HUKUM
7
Observasi pada tanggal 11 Januari 2007, Jam 18.30 WIB Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), 410. 9 Ibnu mas’ud, Fiqh Islam, 45. 10 Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâly, Al-Wasith, Juz 3 (Kairo; Dâr alSalâm, 1417), 73. 8
6
ISLAM TERHADAP JUAL BELI BERSYARAT” (Studi Kasus Jual Beli Sepeda Motor di Pangkalan Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo)
B. Penegasan Istilah Jual beli bersyarat : Suatu akad jual beli yang mana pembeli berkomitmen setelah sempurna akad bai` untuk mengembalikan barang yang
dibelinya
kepada
penjualnya
sebagai
ganti
pengembalian harga barang tersebut.11 C. Rumusan Masalah 1. Bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap akad jual beli bersyarat di Pangkalan jual beli sepeda motor Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo ? 2. Bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap mekanisme penetapan harga jual beli bersyarat di Pangkalan jual sepeda motor Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo ?
11
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Vol.III/ p.166
7
D. Tujuan Penelitian Penulisan skripsi ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui tinjauan Hukum Islam terhadap akad jual beli bersyarat di Pangkalan jual sepeda motor Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo. 2. Mengetahui tinjauan Hukum Islam terhadap mekanisme penentuan harga jual beli bersyarat di Pangkalan jual sepeda motor Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo. E. Kegunaan Penelitian Dari penelitian di atas yang penulis harapkan dalam menyusun skripsi ini dapat berguna bagi : 1. Memperkaya khazanah keilmuan, dan mampu menciptakan dinamika keumatan yang sesuai dengan konsep Hukum Islam. 2. Untuk dijadikan sebagai bahan acuan dalam melakukan aktifitas di Pangkalan jual beli sepeda motor Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo. F. Metode Penelitian Skripsi ini merupakan penelitian lapangan tentang aktifitas sosial yang kurang sesuai dengan ketentuan, “terdapat ketidak sesuaian kondisi yang dihadapi”.12 Kejanggalan dalam realitas sehari-hari merupakan titik sentral
12
Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Lapangan (Yogyakarta: Gajah Mada University Pers, 1996), 19.
8
penelitian ini, untuk selanjutnya perlu ditemukan sebuah kerangka hukum untuk menjawab permasalahan tersebut. Oleh karena itu penulis menggunakan metode penelitian lapangan sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Penelitian lapangan ini menggunakan methode pelaporan deskriptif. Sebagaimana pendapat para ahli metodologi penelitian “pengungkapan fakta (fact funding) dengan permasalahannya tanpa memberikan interprestasi”13 juga “penelitian atas kelompok manusia, obyek, setting kondisi, sistem pemikiran dan khas peristiwa masa sekarang”.14 Selain berbentuk deskriptif, penelitian ini juga berbentuk analitik. Analitik adalah “pembahasan hasil-hasil penelitian dengan menggunakan teori-teori yang telah dipaparkan, dengan cara mengamati esensi komunikasi secara kualitatif”.15 Dengan tujuan agar pembahasan tidak melebar, juga jawaban hukum relevan dengan aktifitas yang secara implicit terjadi. Selanjutnya analisis ini tetap merujuk pada pengajuan terhadap sesuatu untuk mengetahui hubungan-hubungannya.16 Agar tidak terjadi salah faham (Miss Undrstanding) membaca realita yang ada.
13
Ibid. M.Nasir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), 63. 15 Burhan Bungin, Metodologi penelitian Kualitatif (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004), 174. 16 James P. Spardly, Metode Etoggrafi (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997), 117. 14
9
2. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif sosiologis, dengan penjabaran sebagai berikut. Kualitatif adalah penelitian yang dilawankan dengan kuantitatif, sebab dalam, “kegiatan penelitian kualitatif tidak menggunakan angka-angka dalam pengumpulan data”17 berbeda dengan kuantitatif. Akan tetapi penelitian kualitatif lebih pada “kegiatan yang berupaya memahami, memberikan penafsiran pada fenomena yang dilihat dan arti yang diberikan kepadanya”18, terlepas dari dominasi angka yang mendukung atau sebaliknya. Oleh karena itu, maka dalam melakukan penelitian ini peneliti akan masuk serta mengadakan eksplorasi berbagai hal yang berhubungan dengan masalah yang ada demi akurasi data secara menyeluruh. Langkah peneliti di atas juga mempertimbangkan aspek sosiologis. Sosiologis adalah usaha mempelajari hidup bersama dalam masyarakat, dan mempelajari ikatan-ikatan antara manusia.19 Cakupan yang penulis harapkan dalam pendekatan sosiologis adalah mampu mengakomodir struktur dan proses-proses sosial.
17
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), 9. Agus Salim, Teori Dan Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), 5. 19 H. Abuddin Nata M.A, Metodologi Study Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 38. 18
10
Struktur sosial merupakan keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, sedangkan proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama.20 Pada akhirnya hasil penelitian ini merupakan fakta menyeluruh dari seluruh aspek, yang antara aspek satu dan yang lain saling mengikat dan memberikan pengaruh. 3. Sumber Data Sumber data yang penulis pakai merupakan hasil rekaman kejadian yang ada di lapangan, data tersebut adalah data yang diambil dari permasalahan di lapangan. Sumber data tersebut penulis peroleh dari beberapa sumber diantaranya; 1) Pihak penjual sepeda motor 2) Pihak pembeli sepeda motor 3) Pihak perantara jual beli sepeda motor 4. Tehnik Pengumpulan Data a. Obsearvasi Dalam hal ini peneliti meanggunakan observasi non partisipatif yaitu peneliti datang ke tempat yang diamati tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut.21
20 21
2000), 126
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi (Jakarta; Prenada Media, 2004), 66. Lexyj. Moleong. Metodologi penelitian kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
11
b. Interview Adalah tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengadakan tanya jawab ataua wawancara langsung dengan pihak-pihak terkait yaitu dengan mengumpulkan data-data yang diperlukan yang berkenaan dengan perlindungan dengan konsumen. Dalam hal ini penulis dapat menggunakan wawancara tersruktur yaitu berupa pertanyaan tertulis yang alternative jawabannyapun telah dipastikan.22 Dalam hal ini pihakpihak yang di wawancarai ialah penjual, pembeli dan perantara. 5. Tehnik Pengolahan Data Dalam pembahsan skripsi ini penulis menggunakan tehnik pengelolaan data sebagai berikut : a. Editing Yaitu memeriksa kembali semua data yang diperoleh terutama dari segi kelengkapan, keterbatasan, kejelasan makna, kesesuaian dan keselarasan satu dengan yang lainnya, relevansi dan keseragaman satuan atau kelompok data. b. Organizing Yaitu mengatur data dan menyusun data sedemikian rupa sehingga menghasilkan bahan-bahan untuk menyiusun skripsi ini. 22
Sugiono, Memahami Kulitatif (Bandung: CV. Alpabeta), 73-74. lihat juga Amirudin, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 66
12
c. Penentuan Hasil Data Yaitu melakukan analisa lanjutan terhadap hasil pengorganisasian data dengan menggunakan kaidah, teori, dan dalil-dalil sehingga diperoleh kesimpulan tertentu sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah. 6. Tehnik Analisa Data a.
Analisa Induktif, yaitu analisa data untuk memperoleh kesimpulan, dimulai dari pernyataan atau fakta-fakta khusus mengarah pada kesimpulan yang bersifat umum.
b.
Analisa Deduktif, yaitu analisa data untuk memperoleh sebuah kesimpulan, dimulai dari pernyataan umum menuju pernyataan khusus dengan menggunakan penalaran. 23
G. Sistematika Pembahasan Agar lebih mudah pembaca memahami isi skripsi ini maka penulis menyajikan dengan sistematika pembahasan sebagai berikut : Bab I
: PENDAHULUAN Bab ini merupakan gambaran umum untuk memberikan pola dasar dari keseluruhan skripsi yang meliputi: latar belakang masalah,
23
49.
Muhajir Noeng, Metodologi penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 998),
13
rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab II
: JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM Pada bab ini berfungsi sebagai landasan teori skripsi yang berisi tentang gambaran umum teori jual beli meliputi : 1) definisi, 2) dasar hukum, 3) syarat-syarat jual beli dan aspek pendukungnya, 4) harga dan riba dalam jual beli, kemudian juga gambaran khusus jual beli bersyarat meliputi pengertian dan jual beli bersyarat dalam prespektif hukum Islam.
Bab III
: PELAKSANAAN JUAL BELI BERSYARAT DI PANGKALAN JUAL BELI SEPEDA MOTOR DESA JABUNG KECAMATAN MLARAK Pada bab ini merupakan penyajian data dari hasil penelitian yang berisi; Gambaran umum Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo, dan Pelaksanaan jual beli bersyarat di pangkalan desa Jabung yang di dalamnya meliputi Gambaran umum jual beli bersyarat, Motivasi dari pihak-pihak yang terlibat, mekanisme, penetapan harga, proses transaksi, dan pasca transaksi serta penyelesaian jika terjadi masalah. kemudian bab ini juga membahas manfaat dan resiko jual beli bersyarat di desa Jabung.
14
Bab IV
: ANALISA
HUKUM
ISLAM
TERHADAP
JUAL
BELI
BERSYARAT DI PANGKALAN JUAL BELI SEPEDA MOTOR DESA JABUNG KECAMATAN MLARAK Bab ini merupakan yang paling urgen sebab pada bab ini bermaksud menguraikan beberapa permasalahan dari rumusan masalah dengan menggunakan analisa hukum Islam, meliputi akad jual beli bersyarat di Pangkalan jual beli sepeda motor Desa Jabung dan mekanisme penentuan harga dalam jual beli sepeda motor bersyarat di pangkalan Desa Jabung. Bab V
: PENUTUP Bab ini merupakan suatu kesimpulan yang merupakan jawaban singkat dari rumusan masalah, serta saren-saran dari pendapat penulis yang merupakan harapan penulis yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam praktek jual beli bersayarat sepeda motor di pangkalan desa Jabung.
15
BAB II JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM
A. Definisi Jual Beli Menurut arti bahasa “jual beli” adalah menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedangankan jual beli secara etimologi berarti saling menukar, yaitu menukar harta dengan harta, sedangkan secara terminologi (pengertian sharî’at), jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela. Atau : memindahkan hak milik24 dengan ganti25 yang dapat dibenarkan.26 Sehingga dapat dipahami bahwa definisi jual beli adalah pertukaran harta antara dua belah pihak, atau memindahkan hak milik seseorang dengan menggunakan alat pembayaran yang sah, dan diakui keadaannya, misalnya uang rupiah, dan lain-lain atas dasar suka sama suka.27 Jual beli dalam literatur Fiqh Islam jual beli merupakan “suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara suka rela di antara kedua belah pihak sesuai dengan ketentuan yang dibenarkan oleh shara’ dan disepakati”.28
24
Milik disebut disini, agar terbedakan dari yang tidak dimiliki. Dengan ganti : agar terbedakan dengan hibah dan tidak dibenarkan. 26 Dibenarkan : agar terbedakan dengan jual beli terlarang. 27 Chairuman pasaribu dan suhardi k. lubis, Hukum-Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta: Sianar Grafika, 2004), 34. 28 Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 68-69. 25
16
Jual beli sah dengan adanya îjâb (pernyataan menjual). Îjâb adalah katakata yang menyatakan memilikkan secara jelas misalnya “saya jual barang ini kepadamu dengan harga sekian”, juga dengan adanya qâbul (persetujuan membeli). Qâbul yaitu kata-kata yang menyatakan tamalluk (menerima pemilikan) secara jelas. Misalnya “barang ini saya beli dengan harga sekian”.29 Maka jual beli tidak sah dengan Mu’atah (cara skedar saling memberi dan menerima) namun dipilih hukum yang sah pada barang-barang dengan cara mu’atah oleh ‘urf (adat kebiasaan) telah di maksud dengan jual beli, misalnya roti dan daging , bukan barang yang semacam binatang dan bumi. Maka menurut pendapat pertama (menganggap tidak sah), barang pembelian yang telah diterima dengan cara Mu’atah (tanpa akad atau samaran) dihukumi sebagai yang diterima dari akad jual beli fâsid (rusak) dalam hukum-hukum duniawinya; tentang di akhirat, maka tidak ada lagi lantaran Mu’atah itu.30
B. Dasar Hukum Jual Beli 1. Dalam Al-Qur’ân Jual beli dalam al-Qur’ân disebutkan :
(٢٧٥ : ةVW9+َ&ا )ا40ِّ َم ا0- 7 َ َوIَ Pْ 1َ ْ ا8? ا- 7 َ َوَأ.... Artinya : “….Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Q.S Al-Baqarah: 275)31 158.
29
H. Aly As’ad, Muhammad Drs, Terj. Fathul Mu’in, Jilid 2 (Kudus : Menara Kudus, 1979),
30
Ibid., 159. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung; Gema Risalah Press, 1989), 69.
31
17
ْ =ُ 6ْ Wِ ض ٍ َا0)َ ْ<% َ َ( َر ًةq)ِ ن َ ْ8zُ Oَ ْ* َأن- ِ? ِإT ِ (َ1ْ(4ِ ْ =ُ 6َ Pْ 4َ ْ =ُ َ &َاWْ &ْا َأ$ُ ُآ5ْ )َ *َ Artinya : “Janganlah kamu makan harta yang ada diantara kamudengan jalan batil melainkan dengan jalan jual beli suka sama suka”32 2. Dalam Al-Sunnah. Sabda Rasulullah SAW.;
<%0=1ى4&دى< وا@? أBC(ا6!7 ,:;:(6!7 ,#45ى6!7 8ا1%(6!7 : ?PN : (لN G:H IE راJK <% G:H <4 Iٍ Eِ < رَا ِ 4ْ ِاDَ%(َE< ِر4 D:(1% Jوْ ٍر )روا0ُ 1ْ Wَ Iٍ Pْ 4َ ?U َو ُآJِ ِ Pَ 4ِ ?ِ K ُ 0- ُ? اCَ % َ : َ( َلN ُ؟SPَ T ْ َأS ِ B ْ =َ ْ ي ا U َا8&ل اQ(ر: (?167 <4 C7أ Artinya : “Menceritakan kepada kami “Abdullah, menceritakan kepada Ayahku, menceritakan kepada kami Yazid, menceritakan kepada kami Mas’udî, dari Wâil Abî Bakr, dari ‘Ubayah bin Rifâ’ah ibnu Râfi’ ibnu khudaij, dari kakek Râfi’ ibn khudaij berkata : Dikatakan :Ya Rsulûllah, pekerjaan apa yang lebih baik? Beliau menjawab : Bekerja seseorang dengan tangannya, dan tiap-tiap jual beli mabrur”. (HR. Ahmad ibn Hambal).33 Yang dimaksud tiap-tiap jual beli mabrur pada penjelasan hadith diatas yaitu setiap jual beli yang baik tidak sambil Ghâsh (menipu barang dagangan) lagi pula tidak khianat.34 3. Ijmâ’
32 33
69
34
Ibid, 122. Imâm Ahmad Ibn Hambal, Musnad Ahmad ibn Hambal, Vol 6 (Beirut: Dâr Al Fikr : 1991), Ibid, 158.
18
Ijma’ Ulama sepakat bahwa jual beli sudah berlaku (dibenarkan) sejak zaman Rasulullah saw hingga hari ini, karena kehidupan manusia tidak bisa tegak tanpa adanya jual beli.35
35
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 12 (Bandung: al-Ma’arif, 1998), 48
19
C. Syarat Jual Beli dan Aspek-aspek Pendukungnya 1. Syarat Rukun Jual Beli Syarat adalah sesuatu yang bergantung pada kondisi yang akan datang, adapun yang bergantung pada masa lampau bukanlah syarat. Oleh sebab itu tidak sah ikrar dengan syarat sebab itu adalah kabar dari masa lalu.36 Adapun syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli, di anatar para ulama terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama hanafiyah, rukun jual beli adalah îjâb dan qâbul yang menunjukkan pertukaran secara rida, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama ada empat, di antara sebagai berikut : a. Bai’ (Penjual) b. Mustari (Pembeli) c. Sighat (Îjâb dan Qâbul)37 2. Akad jual beli Akad adalah perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan shara’ yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum yang dilakukan oleh kedua belah pihak sebelum meninggalkan lokasi.38 Rasulullah saw bersabda :
36
Asbah, juz 1, 376. Syafi’i Rahmat, Fiqh Muamalah (Bandung : PT. Pustaka Setia), 75-76. 38 Ahmad Azhar Basjir, Asas-asas Hukum Mu’amalat (Yogyakarta: Perpus. Fakultas Hukum, 1982), 42. 37
20
&4 اJض )روا ٍ َا0)َ ْ<% َ *- َ(ن ِإ6!ْ < ِإ - Nَ 0ِ .َ v ْ :َ *َ َ( َلN ص مx / 1ِ 6- < ا /% َ x َy ِ َة َر0َ :ْ 0َ ُهxِ4<ْ َأ% َ ({يW0.داوود وا Artinya : “Dari abi Hurairah r.a. dari Nabi Saw bersabda; janganlah dua orang yang jual beli berpisah, sebelum saling meridâi” (Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi)39 Dalam melakukan transaksi, baik penjual maupun pembeli haruslah memiliki kopetensi dalam aktifitas jual beli, yakni : a. Berakal sehat. Karena hanya orang yang sadar dan berakallah yang akan sanggup melakukan transaksi jual beli secara sempurna. b. Baligh (berumur 15 tahun keatas/dewasa) Tidak sah transaksi yang melakukan oleh anak kecil, yang belum nalar (belum tahu apa-apa) dan orang gila. Firman Allah dalam QS. AnNisa’ ayat 5 :
.....(ًCPَ Nِ ْ =ُ َ 8 َ َ? اK َ #ِ.-&َاَ ُ= ْ اWْ َ~}َ( َء َأB U َو َ* ُ)ْ)ُ&اا Artinya : “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupanmu”.40 c. Yang melakukan akad adalah orang yang berbeda. d. Mukhtar Yaitu bebas (kuasa memilih) melakukan transaksi dalam jual beli, lepas dari paksaan (dengan kehendak sendiri) dan tekanan. Hal ini 39 40
Hendi, Fiqh Mu’amalah, 70. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Gema Risalah Press, 1989), 115.
21
didasarkan dalam al-Qur’ân dan hadîth yang mengungkapkan prinsip saling merelakan (taradî), yaitu :
ْ =ُ 6ْ Wِ ض ٍ َا0)َ ْ<% َ َ( َر ًةq)ِ ن َ ْ&=ُ )َ ْ* َأن- ِ? ِإT ِ (َ1ْ(4ِ ْ =ُ 6َ Pْ 4َ ْ =ُ َ &َاWْ &ْا َأ$ُ ُآ5ْ )َ *َ (٩٢ :ـ(ءB6)ا Artinya : “Janganlah kamu makan harta yang ada di antara kamu dengan jalan batil melainkan dengan jalan jual beli suka sama suka” (Q. S: An-Nisa: 92)41 Rasulullah saw bersabda :
< ُ 4;:;ا1%(6!7 .ٍ Cّ vW <4 وان0W(6!7 ,x U ,ِ ْ Wَ اP&< ا4 (س1( ا6!7 : & ُل,: ي ِّ ٍ ا{ْ ِرPQَ(4 أ ُ CQ : ( َلN ِ P4< أ% ,x ِّ 'ِ َ C ا ٍ (
< ُ 4 < داو َد% ,ٍ Cّ vW (K(W <4ض(( )روا ا ٍ َا0)َ ْ<% َ Iُ Pْ 1َ َ(اC'- م ))ِإ. ص8 ِ & ُل اQ( َل رN Artinya : “Mewartakan kepada kamu al ‘Abas ibn al Walîd al Dmasqiy; mewartakan kepada kami Marwân ibn Muhammad; mewartakan kepada kami ‘Abd al ‘Aziz ibn Muhammad, dari Dâwud ibn Salîh al Madany dari ayahnya, dia berkata : Rasûllâh SAW bersabda : sesungguhnya jual beli itu atas dasar suka sama suka.” (HR. Ibn Mâjjah)42 3. Syarat yang terkait dengan sighat (lafal ijab dan qabul) Adapun syarat ijab dan qabul adalah sebagai berikut : a. Diucapkan oleh orang yang baligh dan berakal. b. Keadaan ijab dan qabul saling berhubungan dan dilakukan dalam satu majelis. Artinya salah satu dari keduanya pantas menjadi jawaban dari yang lain dan belum berselang lama serta masing-masing pihak hadir di tempat berlangsungnya akad.
41 42
Ibid, 122. Abdullah Shonhaji, Teremahan Sunah Ibn Mâjjah, vol 3 (Semarang : Syifa’, 1993), 39
22
c. Ada kesepakatan ijab dan qabul pada barang yang saling mereka rela berupa barang yang dijual dan harga barang (antara ijab dan qabul harus sesuai). Pelaksanaan akad (îjâb dan qâbul) jual beli dapat dilakukan dalam segala macam pernyataan yang dapat dipahamkan maksudnya oleh kedua belah pihak yang melakukan akad, baik dalam bentuk perkataan (sighat), perbuatan (fi’il), isyarat bagi orang bisu maupun dalam bentuk tulisan (kitâbah) bagi orang yang berjauhan.43 4. Syarat yang terkait dengan barang yang dibeli (obyek) Dalam obyek jual beli juga terdapat syarat-syarat yang menentukan keabsahan jual beli, diantaranya sebagai berikut; a. Obyek jual beli tersebut harus suci, bermanfaat, dapat diserah terimakan, dan merupakan milik penuh salah satu pihak. b. Mengetaahui obyek yang diperjualbelikan dan juga pembayaran (ukuran, jenis, sifat, kualitas, dan harga harus jelas) c. Tidak memberikan batasan waktu d. Tidak sah menjual barang dengan jangka waktu tertentu yang diketahui atau tidak di ketahui44, seperti menjual burung di udara, menjual ikan di dalam air, budak yang telah lari.45 5. Syarat yang terkait dengan nilai tukar (harga barang) Dalam hal ini, ulama fiqh mengemukakan syarat sebagai berikut :
43
Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam. 74. Abdullah al Muslih & Shalah Ash Shawi, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, Terj. Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq, 2004), 92. 45 Hasbi Ash Shiddiqie, Hukum-Hukum Fiqh Islam. 366 44
23
a. Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya. b. Dapat diserahkan pada waktu akad, apabila barang itu dibayar kemudian (berutang), maka waktu pembayarannya harus jelas. c. Apabila jual beli itu dilakukan secara barter (al-muqâyyadah), maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan shara’ seperti babi dan khamr.46 Dari pemaparan di atas dapat penulis pahami bahwasanya, jual beli dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat dan rukun jual beli yang ditetapkan oleh kedua belah pihak dan tidak ada yang dirugikan antara keduanya atau berdasarkan suka sama suka.
D. Harga dan Riba dalam Jual Beli 1 Penetapan Harga dalam Hukum Islam Ekonomi Islam seperti dikemukakan SM. Hasanuzzaman adalah “Pengetahuan dan aplikasi ajaran-ajaran dan aturan-aturan sharî’ah yang mencegah ketidakadilan dalam pencarian dan pengeluaran sumber-sumber daya guna memberikan kepuasan bagi manusia dan memungkinkan mereka melaksanakan
kewajiban-kewajiban
mereka
terhadap
Allah
masyarakat”.47
46 47
Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam. 831. Rustam Effendi, Produksi dalam Islam (Yogyakarta: Magistra Insani Press, 2003), 3.
dan
24
Karena itulah keadilan ekonomi memiliki korelasi yang signifikan dengan keadilan dalam produksi. Dalam produksi, keadilan tersebut mencakup harga yang adil (as-Samân – al-‘adl) dan laba yang adil (al – ajr al-‘adl).48 “Dalam fiqh Islam dikenal dua istilah berbeda mengenai harga suatu barang, yaitu as-Samân dan as-Si’r. As-Samân adalah patokan harga satuan barang, sedangkan As-Si’r adalah harga yang berlaku secara aktual di pasar”.49 “Ulama Fiqh membagi as-Si’r itu kepada dua macam, yaitu : a. Harga yang berlaku secara alami, tanpa campur tangan pemerintah50 dan ulah para pedagang, Dalam harga yang berlaku secara alami ini, pemerintah tidak boleh ikut campur tangan, karena campur tangan pemerintah akan membatasi hak para pedagang. 51 b. Harga
suatu
komoditas
yang
ditetapkan
pemerintah
setelah
mempertimbangkan modal dan keuntungan wajar bagi pedagang ataupun produsen serta melihat keadaan ekonomi riil dan daya beli masyarakat. Mekanisme ini lazim disebut at-Tas’ir al-Jabari”.52 Penerapan konsep tas’ir dalam kehidupan ekonomi tentang penetapan harga ini sesuai dengan nilai yang terkandung dalam komoditas yang dijadikan obyek transaksi, serta dapat dijangkau oleh masyarakat.
48
Ibid., 3. Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual (Jakarta: Gema Insani, 2003), 90. 50 Ibid, 90. 51 Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, tt ), 139. 52 Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual (Jakarta: Gema Insani, 2003), 90. 49
25
Dengan adanya tas’ir, maka akan menghilangkan beban ekonomi yang mungkin tidak dapat dijangkau oleh masyarakat, menghilangkan praktik penipuan, serta memungkinkan ekonomi dapat berjalan dengan mudah dan penuh dengan kerelaan hati.53 Imam an-Nawâwi memperjelas definisi jual beli Imam ibn Qâsim dalam beberapa aspek sebagaimana berikut :
D:0&رة ا(ه$ 06(4 Kو0E PE P$C)* 'E ((40 اx%0 ذن4)و Artinya : ”(Dan kecuali dengan izin shar’I adalah riba) sebab hal itu pemindahan hak milik tidak ada di dalamnya, pengecualiannya dengan mempertimbangkan pada contoh yang nyata”. 54 Transaksi jual beli mengecualikan transaksi yang mengandung unsur riba, sebab hakikatnya tidak ada perpindahan milik didalamnya. Dalam pandangan Islam transaksi harus dilakukan secara sukarela (antaradim minkum) dan memberikan keuntungan
yang propesional bagi
para
pelakunya.55 Prinsip suka sama suka yaitu tidak mengandung pemaksaan yang menghilangkan hak pilih seseorang dalam aktivitas mu’amalah. Kemudian tentang harga sebagaimana berikut :
53
Abdul Sami’ al-Mishri, Pilar-Pilar Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),95. Muhammad Nawawi ibn Umar al-Jawi, Taushih ‘ala ibn Qâsim (Semarang: Karya Toha Putra), 130. 55 Hendrianto, Pengantar Ekonomi Mikro Islam (Yogyakarta: Ekonisa, 2003), 285. 54
26
ف8
8*+ 'وام+) ? ا9C NC P$C) >
>ن8+( اJ*}L جV) و ()N* ?*AO )T> )رةF)) اK أJ*}L جV وLVW+ اF ? وEL J* L .'L:+ا
? A+)Tو
Artinya : ”(Dan kecuali dengan lafadz tsaman) waqaf, maka sungguh di dalamnya adalah pemidahan manfaat yang diperbolehkan untuk selamanya kepada mauqûf ‘alaih dengan tanpa harga, melainkan atas dasar kebajikan, dan kecuali dengan lafadz thaman adalah (ijârah, maka itu tidak dinamakan thaman).”56 Dalam masalah harga, Imam an-Nawâwi mengecualikan dua contoh transaksi, wakaf dan upah. Alasanya untuk wakaf adalah pemindahan manfaat barang untuk selamanya atas dasar ibadah, sementara untuk upah adalah tidak berlaku tetap/ditetapkan. Pengecualian Imam an-Nawâwi terhadap dua transaksi di atas, penulis pahami bahwa harga adalah nominal yang berangkat dari motif mencari untung bukan ibadah kepada Tuhan. Juga nominal dapat ditetapkan secara umum kepada pihak yang melakukan aktifitas yang sama. Harga merupakan hasil perhitungan faktor-faktor seperti biaya-biaya produksi biaya investasi, promosi, pajak ditambah laba yang wajar.57 Mengenai harga, Aquinas mengatakan adalah sangat berdosa mempraktekkan
56
Muhammad Nawawi ibn Umar al-Jawi, Taushih ‘ala ibn Qâsim 130. Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan dalam Ekonomi Islam (Yogayakarta; BPEF Yogyakarta, 2004), 271. 57
27
penipuan terhadap tujuan penjualan sesuatu melebihi harga-harga yang adil, karena itu sama dengan mencurangi tetangganya agar menderita kerugian.58 Harga bisa disebut adil jika telah disetujui oleh kedua belah pihak yang melakukan transaksi, akan tetapi dalam realitasnya tidak bisa dikatakan bahwa pasar merupakan satu-satunya prinsip untuk menentukan harga yang adil.59 Dalam penentuan harga masa sekarang terdapat beberapa versi sebagaimana berikut; a. Strategi harga Cost-Plus. Yakni, harga dihitung dari biaya ditambah margin keuntungan yang diinginkan (persentase dari biaya). b. Strategi harga Mark-Up. Yakni, di mana harga dihitung sebagai suatu persentase dari harga jual. c. Strategi harga Break-even. Yakni, harga dihitung dengan menentukan tingkat penjualan yang diperlukan untuk menutup seluruh biaya tetap dan variabel. Jika biaya tetap Rp. 100.000,00, biaya variabel per unit Rp. 2,00 dan harga per unit Rp. 4,00, maka perusahaan harus menjual 50.000 unit untuk mencapai titik impas (atau sama dengan 100.000/(4-2)). d. Strategi harga going-rate. Yakni, yang berarti harga ditetapkan sama dengan harga produk pesaing.60 Dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 188 sebagaimana berikut :
58
Lihat Catatan Kaki, Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan dalam Ekonomi Islam,(Yogayakarta; BPEF Yogyakarta, 2004), 272. 59 Muhammad dan Alimin, Etika, 272. 60 Muhammad Ismail Yusanto, Muhammad Karebet Widjajakusuma, Manajemen Strategis Perspektif Syari’ah (Jakarta : Khairul Bayaan, 2003), 80.
28
ِ !ْ "ِ ْ(4ِ س ِ (-6&َا ِل اWْ <ْ َأWِّ (ً,:ْ 0ِ Eَ &ْا$ُ ُآ5ْ .َ ِ ( ِم-=v ُ ْ (}َ( ِإَى4ِ ِ? َو ُ)ُْ&ْاT ِ (َ1ْ (ِ4 ْ =ُ 6َ Pْ 4َ ْ =ُ َ&َاWْ ُ&اَأ$ ُآ5ْ )َ *َ َو .ن َ ْ&Cُ $َْ )َ ْ .ُ 'ْ َوَأ Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Q.S AlBaqarah: 188).61 Pesan urgen yang terkandung dalam ayat di atas bahwasannya, dalam jual beli, kita dilarang memberikan atau menetapkan harga yang bisa menjadikan permusuhan diantara kedua belah pihak. 2 Penyebab Rusaknya Harga Dalam Ekonomi Islam siapapun boleh berbisnis. Namun demikian, dia tidak boleh melakukan distorsi yang bisa merusak harga pasar ataupun mendistorsi pesaing yang lain. Oleh sebab itu, Islam melarang praktek – praktek jual beli yang bisa merusak harga antara lain seperti halnya : a. Penipuan misalnya kolusi produsen dan distributor dalam menetapkan harga (conpiratorial price fixing), ketidak tahuan konsumen, penyalah gunaan kuasa dan manipulasi emosi atau menggunakan kondisi psikologi orang yang sedang berkabung.62
61 62
Depag RI, AL-Qur’an, 46 Muhammad dan Alimin, Etika, 272.
29
b. Ghârâr, jual beli yang tidak memenuhi perjanjian dan tidak dapat dipercaya, dalam keadaan bahaya, tidak diketahui harganya, barangnya, keselamatannya –kondisi barang- waktu memperolehnya.63 c. Penipuan (ghârâr dan tadlis) gabn adalah sesuatu dengan harga lebih tinggi atau lebih rendah dari harga rata-rata. Sedangkan tadlis adalah penipuan pada pihak penjual atau pembeli dengan menyembunyikan cacat saat bertransaksi.64 3 Riba dalam jual beli menurut Fiqh Islam Makin diperlukan suatu bahan makanan bagi kelangsungan hidup, makin besar pula ketidak adilan yang ditimpakan dalam suatu pertukaran yang tidak adil. Begitu pula semakin besar kamampuan suatu barang atau pelayanan untuk bisa diukur atau ditimbang maka besar pula pedagang atau pembeli terkontaminasi oleh riba fadl. Jika ukuran atau timbangan yang adil tidak diberikan untuk ditukar dengan uang atau nilai imbangan yang diterima.65 Pemberlakuan larangan riba fadl adalah untuk menghapus kecurangan, ketidakpastian atau spekulasi dan monopoli atau monopsoni. Ia menuntut
63
Ibid, 323. Ibid, 325. 65 M. Umer Chapra, Sistem Moneter Islam (Jakarta; Gema Insani Press bekerjasama dengan Tazkia cendikia, 2000), 24-25. 64
30
pengetahuan yang adil mengenahi harga-harga yang berlaku pada kedua pihak penjual dan pembeli.66 Seperti dijelaskan dalam ayat di bawah ini:
(٢٧ : ة0,1َ&ا )ا40ِّ َم ا0- 7 َ َوIَ Pْ 1َ ْ ا8? ا- 7 َ َوَأ.... Artinya : “….Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Q.S Al-Baqarah: 275)67 Pesan urgen yang terkandung dalam ayat di atas adalah, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Dalam bukunya Muhammad dan Alimin menerangkan bahwa Bai’ alAyyinah adalah suatu bentuk jual beli yang bertujuan praktek ribawi, misalnya si A menjual barangnya ke B dengan harga satu juta secara kredit. Kemudian si A membeli lagi barang tersebut dari si B dengan harga satu juta lima ratus ribu. Sehingga beda harga tersebut akan menjadi riba. Perbuatan seperti ini salah satu bentuk taktik menghalalkan riba.68 Jumhurul fuqaha’ membagi jenis riba menjadi dua bagian, diantaranya sebagai berikut : a. Riba Fadl, yaitu adanya tafadhul (selisih timbangan) pada dua perkara yang
diwajibkan
secara
syar’i
adanya
tamatsul
(kesamaan
timbangan/ukuran) padanya. Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba khafi (samar), Para ulama berbeda pendapat tentang hukum
66
Chapra, Sistem Moneter Islam, 25. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung; Gema Risalah Press, 1989), 69. 68 Lihat catatan kaki, Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam (Yogyakarta; BPFE-Yogyakarta, 2004), 161. 67
31
riba fadhl. Yang rajih tanpa keraguan lagi adalah pendapat jumhur ulama bahwa riba fadhl adalah haram dengan dalil yang sangat banyak. ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim :
J ِ ْ *َ 'رْ َه+)ِL Mَ 'رْ َه+ ا َ َوJ ِ Kْ َ) َرNKْ ' +)ِL َ) َرNKْ ' +ا ا8ُْ 9ِ Oَ َ Artinya : “Jangan kalian menjual satu dinar dengan dua dinar, jangan pula satu dirham dengan dua dirham.” b. Riba Nasi’ah, yaitu adanya tempo pada perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya taqabudh (serah terima di tempat). Riba ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba jali (jelas) dan para ulama sepakat tentang keharaman riba jenis ini dengan dasar hadits Usamah bin Zaid di atas. Banyak ulama yang membawakan adanya kesepakatan akan haramnya riba jenis ini. Riba fadhl dan riba nasi`ah diistilahkan oleh para fuqaha dengan riba bai’ (riba jual beli).69
69
Zain al-Dîn ibn Abdu al-Azîz al-Malyabâry, Fathul Mu’in, Jilid 2 terj. H. Aly As’ad, Muhammad (Kudus : Menara Kudus, 1979), 174
32
E. Model Jual beli dengan Bersyarat (Bai’ Al-Wafa’) 1. Pengertian Bai` Wafa` Pengertian Bai` Wafa` adalah: Suatu transaksi (akad) jual-beli di mana penjual mengatakan kepada pembeli: saya jual barang ini dengan hutang darimu yang kau berikan padaku dengan kesepakatan jika saya telah melunasi hutang tersebut maka barang itu kembali jadi milikku lagi.70 Menurut Ibnul `Abidin, bai` al-Wafa` adalah: Suatu akad di mana seorang yang membutuhkan uang menjual barang yang tidak dapat dipindahpindah
(real
estate/property)
dengan
kesepakatan
kapan
ia
dapat
mengembalikan harga barang tersebut maka ia dapat meminta kembali barang itu.71 Atau seorang yang membutuhkan uang menjual real estate/real property (barang yang tidak dapat dipindah-pindahkan seperti; rumah) dengan kesepakatan jika ia dapat melunasi (mengembalikan) harga tersebut maka ia dapat mengambil (memiliki) kembali barang itu. Bai` al-Wafa` adalah Suatu akad jual beli yang mana pembeli berkomitmen setelah sempurna akad bai` untuk mengembalikan barang yang dibelinya kepada penjualnya sebagai ganti pengembalian harga barang tersebut.72
70
Al Jurjani Ali bin Muhammad bin Ali, Kitab At Ta`rifaat, p. 69 Ibnul `Abidin, Raddul Muhtar, vol.iv/p.257, Majallah Al-Ahkam Al-`Adliyah, materi no. 118, 396-403. 72 Sayyid Sabiq, Fiqh Assunnah, Vol.III/ p.166 71
33
2. Jual beli bersyarat (Bai’ Al-Wafa’) dalam Prespektif Hukum Islam Dalam karya besarnya as-Sayrâzi, pendapat mengenahi jual beli bersyarat dijelasankan sebagaimana berikut;
Iُ Pْ 4َ ُ '- ج / (َvْ ُوْ ُم اNُ َو0ِ }ْ - ِء اxِqCُ َ ٍ? آ1َ ,ْ .َ B ْ Wُ ط ٍ ْ0 َ #َ$% َ Iُ Pْ 1َ ْ ا ُ Pْ $ِْ )َ &ْ ُزq ُ :َ *َ َو ;ُ q ُ :َ ْ $َEَ Dُ K َ (َ7 ُر0َ َ Artinya : “Tidak boleh menggantungkan jual beli atas syarat yang akan datang. Seperti datangnya bulan, datangnya bulan haji. Sebab hal itu jual beli menipu kebutuhan, maka tidak boleh”.73
Iِ Pْ 1َ ْ اxِEِ ط ٍ ْ0 َ ?U ع ُآ ُ (َ6.ِ Wْ ُ ا,َ $َ ْ Wُ #َ.َ Nْ (َE ط ٍ ْ0 َ َوIَ Pْ 4َ ْ<% َ # َ }ِ 'ُ Artinya : “Melarang dari jual beli dan syarat, oleh karena kemutlakannya mencegah setiap syarat dalam jual beli”74 Sedangkan argumentasi al-Ghazâly adalah, ketika terkumpul syarat kepada jual beli maka seperti menggantungkan terhadap keadaan setelah transaksi yang bisa menyebabkan perselisihan dan menghilangkan tujuan dari jual beli. Dari pemaparan di atas dapat dipahami bahwa, jual beli bersyarat hanya akan menimbulkan pertikaian antar kedua belah pihak yang melakukan transaksi. Dalam jual beli bersyarat, pihak pembeli mempunyai hak mutlak terhadap harga yang ditetapkan sehingga, penjual hanya bisa pasrah dengan keputusan harga yang ditetapkan oleh pembeli. Seperti contoh di bawah ini : Si A menjual barang kepada Si C dengan harga Rp.1.000.000,- dengan syarat barang itu tidak boleh dijual kepada orang lain kecuali kepada Si A kembali. Si C mau menerima syarat yang diberikan oleh Si A 73
Abu Ishâq, Ibrâhim ibn ‘Ali ibn as-Sayrâzi, Muhadab, juz 1 (Beirut; Dar al-Fikr), 266. Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâly, Al-Wasith, Juz 3 (Kairo; Dâr alSalâm, 1417), 73. 74
34
akan tetapi Si C hanya mau membelinya dengan harga Rp. 750.000,-. Kedua belah pihak menyetujui persyaratan yang telah ditentukan bersama bahwa Si C tidak akan menjual barang yang dibelinya kepada orang lain kecuali dengan Si A dalam tenggang waktu 5 bulan dengan harga Rp. 1.125.000,-. Bila sudah jatuh tempo. Bentuk transaksi tersebut di atas adalah merupakan contoh dari pada penjualan yang memberikan hak mutlak kepada pihak pembeli untuk menentukan harga, sehingga boleh dikatakan bahwa, penjualan bersyarat yang mengandung unsur riba serta mendistorsi kepada pihak lain adalah merupakan sesuatu yang tidak dibenarkan dalam sistem ekonomi Islam. Rasulullah Saw bersabda :
(َ40ِّ َ( َأوِاC}ُ B ُ ُ َأوْ َآ$َ Eَ Dٍ َ Pْ 4َ #ِE < ِ Pْ .َ َ Pْ 4َ ع َ (َ4 ْ<Wَ Artinya : “Barangsiapa berjual beli dengan dua aqad jual beli dalam satu aqad jual beli, maka ia berhak mendapatkan kerugian keduanya atau riba.” [HR. Abu Dawud]75
75
Andiwarman, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, Hal 104
35
BAB III PELAKSANAAN JUAL BELI SEPEDA MOTOR SISTEM BERSYARAT DI DESA JABUNG, KEC. MLARAK, KAB. PONOROGO
A. Gambaran Umum Desa Jabung
Sebelum menguraikan mengenai pelaksanaan jual beli bersyarat di pangkalan jual beli sepeda motor Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo, maka terlebih dahulu penulis akan menguraikan gambaran umum lokasi penelitian, yaitu di Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo. Adapun beberapa hal yang terkait dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Keadaan Geografis Secara geografis Desa Jabung adalah salah satu desa terletak di wilayah Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo dengan perbatasan wilayah sebagai berikut : Sebelah barat
:
Desa Demangan Kecamatan Siman.
Sebelah timur
:
Desa Gandu Kecamatan Mlarak.
Sebelah utara
:
Desa Desa Bajang Kecatamatan Mlarak.
36
Sebelah selatan
:
Desa Tegalsari Kecamatan Jetis76.
Selain Desa Jabung bagian wilayah Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo, desa jabung memiliki wisata culinear yakni dawet jabung yang terkenal di mana-mana. 2. Keadaan Sosial Ekonomi Dan Kependudukan Sebagaimana diketahui diatas bahwa Desa Jabung merupakan bagian wilayah kecamatan mlrak kabupaten ponorogo deangan total jumlah penduduk ± 2.655 orang yang terdiri dari jenis laki-laki sejumlah 1.301 orang dan jenis perempuan sejumlah 1.354 orang, agar lebih jelasnya lihat tabel dibawah ini : Table 2.1 Komposisi Jumlah Penduduk Desa Jabung77
No
76 77
Jenis kelamin
Warga Negara
Jumlah
1.
Laki-laki
WNI
1.301 orang
2.
Prempuan
WNI
1.354 orang
Lihat Peta Desa Jabung Kecamatan Mlarak Labupaten Ponorogo. Formulir Model A-4 Desa Jabung tanggal 30 Oktober 2007
37
Sedangkan untuk mengetahui data komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo, lihat tabel dibawah ini : Tabel 2.2 Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin Di Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo78
No
Perincian
Jenis kelamin
Jumlah
Laki-laki
Perempuan
1.303
1.353
2.656
1.
Penduduk awal bulan ini
2.
Kelahiran bulan ini
1
2
3
3.
Kematian bulan ini
1
-
1
4.
Pendatang bulan ini
2
2
4
5.
Pindahan bulan ini
4
3
7
6.
Penduduk akhir bulan ini
1.301
1.354
2.655
Sedangkan untuk mengetahui komposisi Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo ditinjau dari segi mata pencaharian, maka dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
78
Ibid
38
Table 3.3 Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian Di Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo79
No Nama Pekerjaan
Jumlah
1.
Karyawan
105 orang
2.
Tani
100 orang
3.
Pedagang
37 orang
4.
Buruh tani
342 orang
5.
Pertukangan
24 orang
6.
Pensiunan
16 orang
7.
Lain-lain
1970 orang
Berdasarkan data diatas, mata pencaharian penduduk Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo yang dimaksud lain-lain adalah golongan dibawah usia 17 tahun dan golongan lanjut usia.
79
Formulir model A-7 Desa Jabung pada tanggal 30 Oktober 2007.
39
Serta untuk mengetahui jumlah penduduk pemeluk agama Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo, maka dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Table 3.4 Komposisi Penduduk Menurut Jumlah Pemeluk Agama Di Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo80
No
Agama
Jenis kelamin Laki-laki
Perempuan
1.373 Orang
1.304 Orang
2.677 Orang
1 Orang
2 Orang
3 Orang
1.
Islam
2.
Kriten
3.
Katolik
-
-
-
4.
Hindhu
-
-
-
5.
Budha
-
-
-
Jumlah
80
Jumlah
Ibid
20680 Orang
40
Berdasar keterangan tabel diatas, bahwa ternyata penduduk Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo moyoritas pemeluk Agama Islam.
B. Pelaksanaan Jual Beli Sepeda Motor Sistem Bersyarat di Desa Jabung 1. Gambaran Umum Jual Beli Bersyarat Jual beli sepeda motor bersyarat adalah suatu bentuk traksaksi antara pihak penjual (pemilik) dan pembeli dimana
pemilik menjual sepeda
motor dengan tempo waktu, dengan kesepakatan antara pihak penjual dan pembeli. Hal ini berdasar atas hasil wawancara yang penulis lakukan dengan salah seorang perantara, beliau mengatakan bahwa, jual beli bersyarat adalah suatu transaksi dimana seorang yang membutuhkan uang dengan jalan menjual barang yang tidak dapat dipindah-pindah dengan kesepakatan kapan ia dapat mengembalikan harga barang tersebut maka ia dapat meminta kembali barang itu.81 Contoh jual beli sepeda motor bersyarat di pangkalan Desa Jabung Kecamatan Mlarak. Adapun secara praktek, dalam wawancara selanjutnya narasumber memberi contoh lafal kesepakatan (perjanjian) sebagai berikut : Bahasa transaksi, Pihak I; “(saya butuhkan uang sebesar Rp. 1.000.000,dengan jaminan sepeda motor nilai harganya Rp. 1.500.000,- selama dua bulan)", Pihak II; “(saya tidak bisa memberikan pinjaman, kalau 81
Transkrip Wawancara, kode : 01/W/JB/01/2008
41
membeli sepeda motor saya bersedia, tetapi harus beserta BPKB dan STNKnya dan saya beli dengan harga Rp. 1.000.000.- seandainya setelah jatuh tempo nanti kamu bisa beli kembali sepeda motor milikmu dengan harga Rp. 1.200.000,- tetapi kalau dari batas waktu tidak bisa membeli kembali maka sepeda motormu jadi hak milikku).82
Menurut penulis, pernyataan transaksi di atas menunjukkan bahwa esensi awalnya adalah transaksi gadai sehingga bergeser menjadi transaksi jual beli sepeda motor dengan syarat (jangka waktu) yang telah disepakati antara pihak I (pemilik barang/ penjual sepeda motor) dan pihak II (pemilik uang / pembeli sepeda motor). Dalam tradisi jual beli bersyarat yang terjadi di Pangkalan jual beli sepeda motor Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo, tidak menerima barang selain sepeda motor.83 Dalam pelaksanaan dilapangan ada pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi jual-beli bersyarat ini, diantaranya sebagai berikut : a. Adanya penjual. b. Adanya pembeli. c. Adanya
perantara
penanggung. 2. Motivasi
82 83
Ibid. Ibid.
yang
berfungsi
sebagai
penghubung
dan
42
Pada prinsipnya sebuah kegiatan akan terjadi apabila ada motivasi dari pelaku, dalam hal ini ada beberapa responden (pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi) yang berhasil penulis wawancarai diantaranya : a. Penjual 1) Bapak Bonahar, mengatakan bahwa “saya melakukan jual bersyarat ini karena kemudahan dalam proses administrasi (tidak berbelit-belit)”.84 2) Sauadara Mawardi, mengatakan bahwa “saya sangat tertarik dengan adanya jual beli bersyarat ini karena bisa mengikat antara penjual dan pembeli sesuai dengan kesepakatan atas barang tersebut (supaya barang tersebut tidak berpindah tangan)”.85 3) Saudara Purnomo, mengatakan bahwa “dalam jual beli bersyarat ini selain prosesnya cepat serta saling percaya antara penjual dan pembeli”.86 4) Bapak Pitono, mengatakan bahwa “saya tertarik dalam jual beli bersyarat ini karena apabila membutuhkan uang cepat bisa langsung cair tanpa harus wira-wiri kesana kemari”.87 b. Pembeli
84
Transkrip Wawancara, kode : 02/W/JB/01/2008 Transkrip Wawancara, kode : 03/W/JB/01/2008 86 Transkrip Wawancara, kode : 04/W/JB/01/2008 87 Transkrip Wawancara, kode : 05/W/JB/01/2008 85
43
1) Bapak Margono, mengatakan bahwa “pada awal adanya jual beli bersyarat ini karena lesunya jual beli sepeda motor yang berakibat macetnya modal, untuk menghindari modal macet tersebut maka saya tertarik melakukan jual beli menggunakan syarat karena selain bisa memanfaatkan barang tersebut saya masih bisa mendapatkan keuntungan”.88 2) Bapak Budi, menngatakan bahwa “mulanya saya sering melakukan aktifitas gadai-menggadai, tetapi setelah melihat jual beli bersyarat ini lalu saya mencoba untuk melakukannya, ternyata lebih menguntungkan dari pada gadai”.89 3) Bapak Hari. Mengatakan bahwa “dalam jual beli bersyarat ini saya tidak kuatir terhadap penjual motor walau dengan cara bertempo karena selain saya mendapat sepeda motor saya memegang STNK beserta BPKBnya.90 c. Perantara 1) Bapak Turham Fauzi, mengatakan bahwa “saya sebagai perantara dalam jual beli bersyarat ini selain mendapatkan persenan dari kedua belah pihak kemudian saya juga bisa menolong orang yang sedang butuh uang sewaktu-waktu”.91
88
Transkrip Wawancara, kode : 06/W/JB/01/2008 Transkrip Wawancara, kode : 07/W/JB/01/2008 90 Transkrip Wawancara, kode : 08/W/JB/01/2008 91 Transkrip Wawancara, kode : 09/W/JB/01/2008 89
44
2) Saudara Paijo, beranggapan “menurut saya yang menarik menjadi perantara dalam jual beli bersyarat ini, selain bisa mendapatkan komisi dari kedua belah pihak, dengan mengedepankan rasa saling percaya, selain itu jual beli bersyarat bisa menjadikan harga suatu barang menjadi tinggi dibanding dengan cara gadai dan barang tersebut dapat dimanfaatkan”.92
92
Transkrip Wawancara, kode : 10/W/JB/01/2008
45
Berdasarkan hasil wawancara diatas maka penulis menyimpulkan bahwa: a. Motivasi Penjual 1) Cepat, mudah dan tidak berbelit-belit. 2) Adanya ikatan antara penjual dan pembeli sehingga barang tidak berpindah tangan. 3) Adanya saling percaya antara penjual dan pembeli. b. Motivasi pembeli 1) Menghindari modal macet 2) Mendapatkan sepeda motor lengkap dengan STNK dan BPKB sehingga lebih aman. 3) Lebih menguntungkan c. Motivasi Perantara 1) Mendapat komisi atau persenan 2) Bisa menolong orang yang butuh dana. 3. Mekanisme Jual-Beli Bersyarat Mekanisme adalah tata cara yang sudah biasa dilakukan. Dalam hal ini mekanisme jual beli bersyarat yang biasa dilakukan adalah adanya syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi penjual dan adanya penetapan harga awal atau disebut harga penawaran yang berasal dari pembeli. Adapaun perinciannya adalah sebagai berikut :
46
a. Syarat-Syarat Jual-Beli Bersyarat 1) Ada Perantara sebagai sebagai penanggung jawab. 2) Ada barang berwujud sepeda motor, STNK dan BPKB dengan catatan bahwa sepeda motor tersebut masih berlaku pajaknya. 3) Adanya kesepakatan bersama antara penjual, pembeli dan perantara. b. Penetapan Harga dalam Penawaran 1) Harga ditetapkan oleh pembeli berdasar atas nilai jual sepeda motor, karena dengan cara jual beli bersyarat maka penetapan harganya dibawah harga pasar 2) Dalam jual beli bersyarat, pembeli memberi tambahan harga dengan memberikan keuntungan sebesar 10 % per bulan dari harga pembelian sepeda motor.93 4. Transaksi a. Waktu dan Tempat transaksi Transaksi dilakukan setiap ada penjual yang datang di Pangkalan Jual Beli Sepeda Motor Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo atau bisa dengan cara penjual mendatangi langsung kepada perantara .94
93 94
Transkrip Wawancara, kode : 11/W/JB/01/2008 Transkrip Wawancara, kode : 12/W/JB/01/2008
47
b. Proses Transaksi (kesepakatan/akad) Yaitu dilakukan dengan lafal, penjual menunjukkan barang yang akan dijual kepada pembeli. Pembeli menerima tawaran barang dengan harga yang sudah disepakati oleh penjual, maka penjual segera memberikan
barangnnya
kepada
pihak
pembeli
dengan
mengedepankan rasa saling percaya. Dalam hal ini apabila antara pihak penjual dan pembeli sudah menyepakti tentang harga dan waktu pembelian maka tidak ada tawar menawar lagi baik pihak penjual/pemilik barang. Sistem tawar menawar yang dilakukan tidak berbelit-belit (melalui administrasi yang sulit) dalam artian cepat. Karena pihak pembeli sudah paham akan kebutuhan si penjual, maka tidak perlu adanya tawar menawar karena mereka paham bahwa harga yang ditetapkan oleh pembeli sesuai dengan kapasitas barang.95 5. Pasca Transaksi Penjual (pemilik sepeda motor) dapat membeli kembali barangnya sewaktu-waktu ketika sudah mempunyai uang dengan catatan waktu yang mereka sepakati masih berjalan (tidak jatuh tempo).96 Sedangkan pembeli,
95 96
Ibid. Transkrip Wawancara, kode : 13/W/JB/01/2008
48
disamping bisa menggunakan barang tersebut harus menjaga dan merawat barang tersebut.97
6. Penyelesaian Jika Terjadi Masalah a. Apabila barang tersebut mengalami kerusakan ditangan pembeli secara otomatis pembeli bertanggung jawab atas kerusakan barang tersebut. 98 b. Dalam penyelesaian masalah tetap menggunakan azas kekeluargaan, misalnya: saling mengingatkan akan waktu jatuh tempo.99
C. Manfaat dan Resiko Jual Beli Bersyarat di Desa Jabung Sebuah kegiatan pasti akan mempunyai akibat, baik dilihat dari sisi manfaat atau jika dilihat dari sisi resiko Maka dari itu, penulis mencoba mengeksplorasi data wawancara yang berhubungan dengan akibat dari praktek atau pelaksanaan jual beli bersyarat dari beberapa responden sebagaimana telah dipaparkan diatas. Dari eksplorasi data yang telah penulis lakukan, maka penulis menyimpulkan ada beberapa hal terkait manfaat dan resiko jual beli bersayarat, diantaranya sebagai berikut : 1. Manfaat Jual beli barsyarat a. Terhadap Penjual 97
Transkrip Wawancara, kode : 14/W/JB/01/2008 Transkrip Wawancara, kode : 13/W/JB/01/2008 99 Transkrip Wawancara, kode : 14/W/JB/01/2008 98
49
1) Bisa dapat uang sewaktu-waktu 2) Administrasinya mudah 3) Tidak perlu wira-wiri
50
b. Terhadap Pembeli 1) Dapat memanfaatkan sepeda motor 2) Mendapatkan keuntungan 7,5 % perbulan selama waktu yang telah disepakati. 3) Keamanan modalnya terjamin karena penjual tidak mungkin melanggar kesepakatan. 4) Apabila penjual dalam tempo waktu tidak dapat membeli kembali barang tersebut maka secara otomatis barang barang menjadi hak milik sepenuhnya pembeli. c. Terhadap perantara 1) Mendapatkan komisi dari kedua belah pihak, khususnya 2,5% dari penjual. 2) Bisa menolong orang yang membutuhkan. 2. Resiko Jual Beli bersyarat a. Terhadap penjual 1) Menanggung keuntungan pembeli dan perantara sebesar 10 % senilai harga barang. 2) Jika waktu jatuh tempo penjual tidak dapat membeli kembali barangnya maka barang tersebut menjadi hak milik sepenuhnya pembeli. 3) Harga yang disepakati dibawah harga pasar. 4) Terikat waktu.
51
5) Tidak ada toleransi. b. Terhadap Pembeli Menanggung biaya perawatan apabila terjadi kerusakan. c. Terhadap Perantara Perantara harus mengingatkan kepada penjual setiap bulan selama waktu yang disepakati.
52
BAB IV ANALISA HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI BERSYARAT SEPEDA MOTOR DI PANGKALAN DESA JABUNG KECAMATAN MLARAK KABUPATEN PONOROGO A. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Jual Beli Bersyarat Di Pangkalan Jual Beli Sepeda Motor Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo. Akad adalah perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan shara’ yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum yang dilakukan oleh kedua belah pihak sebelum meninggalkan lokasi.100 Hal ini sebagaimana sabda Rasululloh Saw;
Jض )روا ٍ َا0)َ ْ<% َ *- َ(ن ِإ6!ْ < ِإ - Nَ 0ِ .َ v ْ :َ *َ َ( َلN ص مx / 1ِ 6- < ا /% َ x َy ِ َة َر0َ :ْ 0َ ُهxِ4<ْ َأ% َ ({يW0.& داوود وا4ا Artinya : “Dari abi Hurairah r.a. dari Nabi Saw bersabda; janganlah dua orang yang jual beli berpisah, sebelum saling meridoi” (Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi)101 Sedangkan Jual beli dalam literatur Fiqh Islam adalah merupakan “suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara suka rela di antara kedua belah pihak sesuai dengan ketentuan yang dibenarkan oleh shara’ dan disepakati”102. Atau dalam definisi lain “jual beli
100
Ahmad Azhar Basjir, Asas-asas Hukum Mu’amalat (Yogyakarta: Perpus. Fakultas Hukum,
1982), 42.
101 102
Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 70. Hendi, Fiqh Mu’amalah, 68-69.
53
merupakan memindahkan hak milik dengan ganti yang dibenarkan, yaitu berupa alat tukar yang diakui sah dalam lalu-lintas perdagangan”.103 Dalam realita di lapangan bahwa model transaksi jual beli bersyarat sepeda motor di pangkalan desa jabung merupakan suatu bentuk traksaksi antara pihak penjual (pemilik) dan pembeli di mana
pemilik menjual
sepeda motor dengan tempo waktu, dengan kesepakatan antara pihak penjual dan pembeli. Hal ini sama halnya dengan istilah Bai` Wafa` dalam literatur fiqih. Dalam hal ini, Istilah Bai` Wafa` sendiri adalah Suatu transaksi (akad) jual-beli di mana penjual mengatakan kepada pembeli, saya jual barang ini dengan hutang darimu yang kau berikan padaku dengan kesepakatan jika saya telah melunasi hutang tersebut maka barang itu kembali jadi milikku lagi.104 Adapun dalam secara praktek, dari hasil wawancara menunjukkan bahwa bentuk lafal kesepakatan (perjanjian) sebagai berikut : Bahasa transaksi, Pihak I; “(saya butuhkan uang sebesar Rp. 1.000.000,dengan jaminan sepeda motor nilai harganya Rp. 1.500.000,- selama dua bulan)", Pihak II; “(saya tidak bisa memberikan pinjaman, kalau membeli sepeda motor saya bersedia, tetapi harus beserta BPKB dan STNKnya dan saya beli dengan harga Rp. 1.000.000.- seandainya setelah jatuh tempo nanti kamu bisa beli kembali sepeda motor milikmu dengan harga Rp. 1.200.000,tetapi kalau dari batas waktu tidak bisa membeli kembali maka sepeda motormu jadi hak milikku).105
103
Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam (Jakarta; Sinar Grafika 2004), 33. 104 Al Jurjani Ali bin Muhammad bin Ali, Kitab At Ta`rifaat, p. 69 105 Transkrip Wawancara, kode : 02/W/JB/01/2008
54
Menurut penulis, pernyataan transaksi di atas menunjukkan bahwa esensi awal adalah sebuah gadai sepeda motor akan tetapi bergeser menjadi transaksi jual beli sepeda motor dengan syarat (jangka waktu) yang telah disepakati antara pihak I (pemilik barang/ penjual sepeda motor) dan pihak II (pemilik uang/ pembeli sepeda motor) dengan memberikan kompensasi keuntungan sebesar 10% ( transaksi Rp. 1.000.000,- menjadi Rp. 1.100.000,per bulan). Dalam karya besarnya as-Sayrâzi, memberikan pendapat tentang jual beli yang menggantungkan atas sayarat di jelasankan sebagaimana berikut;
£ُ ْ Lَ ُ S ج / (َvْ َو ُ
ُ'وْ ُم اVِ Tْ S +ِ ِء ا *ُ َآE ٍ 9َ Wْ :َ A ْ Cُ ط ٍ ْV¢ َ ?َ َ £ُ ْ 9َ +ْ ا¤ ُ ْ ِْ Oَ ْ ُز8 ُ Kَ َ َو ¦ُ ُ Kَ ْMَ>َ ُ F َ )َ ُرVَ § َ Artinya : “Tidak boleh menggantungkan jual beli atas syarat yang akan datang. Seperti datangnya bulan, datangnya bulan haji. Sebab hal itu jual beli menipu kebutuhan, maka tidak boleh”.106
Iِ Pْ 1َ ْ اxِEِ ط ٍ ْ0 َ ?U ع ُآ ُ (َ6.ِ Wْ ُ ا,َ $َ ْ Wُ #َ.َ Nْ (َE ط ٍ ْ0 َ َوIَ Pْ 4َ ْ<% َ # َ }ِ 'ُ Artinya : “Melarang dari jual beli dan syarat, oleh karena kemutlakannya mencegah setiap syarat dalam jual beli”107 Sedangkan argumentasi al-Ghazâly adalah, “ketika terkumpul syarat kepada jual beli maka seperti menggantungkan terhadap keadaan setelah
106
Abu Ishâq, Ibrâhim ibn ‘Ali ibn as-Sayrâzi, Muhadab, juz 1, (Beirut; Dar al-Fikr), 266. Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâly, Al-Wasith, Juz 3 (Kairo; Dâr alSalâm, 1417), 73. 107
55
transaksi yang bisa menyebabkan perselisihan dan menghilangkan tujuan transaksi”.108 Dua akad dalam satu akad (‘Aqdâin Fi ‘Aqâd), atau “Safqâtain Bi Sâfqah” adalah dua akad yang terkumpul menjadi satu dalam sebuah muamalah. Rasulullah saw telah melarang kaum muslim melakukan dua akad dalam sebuah transaksi. Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadith dari ‘Abdullah bin Mas’ud ra, bahwasanya ia berkata:
َ' ٍة ِ ٍ وَاWَ ْ ¨ َ ِ> J ِ ْ :َ Wَ ْ ¨ َ ْJ َ Mَ S© َ َ ِْ َو َ ُ S+? اS¨ َ ِ S+ل ا ُ 8ُ©َ? َرTَ Artinya : “Rasulullah Saw melarang dua akad dalam sebuah akad jual beli.” [HR. Imam Ahmad]. Di dalam riwayat lain dituturkan, bahwasanya Abu Hurairah berkata:
ٍ َ ْ Lَ ِ> J ِ ْ :َ َ ْ Lَ ْJ َ Mَ S© َ َ ْ ِ َو َ ُ S+? اS¨ َ ِ S+ل ا ُ 8ُ©َ? َرTَ Artinya : “Rasulullah Saw telah melarang dua akad jual beli dalam satu akad jual beli.” [HR. at-Turmidzi]. Imam Nasa’i juga mengetengahkan sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata:
ٍَْ Lَ ِ> J ِ ْ :َ َ ْ Lَ ْJ َ Mَ S© َ َ ْ ِ َو َ ُ S+? اS¨ َ ِ S+ل ا ُ 8ُ©َ? َرTَ Artinya : “Rasulullah Saw telah melarang dua akad jual beli dalam satu akad jual beli.” [HR. Imam Nasa’i].
108
Ibid.
56
Dalam riwayat Abu Dawud dituturkan, bahwasanya Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw bersabda:
)َLV +*َ) َأوْ اTُ A ُ ْ َ ٍ َ>َ ُ َأوْ َآLَ ِ> J ِ ْ :َ َ ْ Lَ ع َ )َL ْJCَ Artinya : “Barangsiapa berjual beli dengan dua akad jual beli dalam satu akad jual beli, maka ia berhak mendapatkan kerugian keduanya atau riba.” [HR. Abu Dawud]. Para fuqaha menafsirkan dua akad dalam sebuah akad jual beli, atau dua harga dalam sebuah akad jual beli sebagai berikut: Pertama, jika seseorang mengatakan orang lain, “Aku jual baju ini kepadamu seharga sepuluh dirham jika kontan, dan dua puluh dirham jika kredit.” Kemudian kedua orang tersebut berpisah dan belum ada menyepakati salah satu model jual beli tersebut. Para ‘ulama menyatakan bahwa jual beli semacam ini adalah fasid. Sebab, keduanya tidak mengetahui (belum jelas benar) harganya. Imam ashShaukani menyatakan, “Adapun ‘illat diharamkannya dua akad dalam satu akad jual beli adalah tidak disepakatinya salah satu (akad) harga dari dua (akad) harga tersebut.” (Imam ash-Shaukani, Nailul Authar, bab al-Bai’). Akan tetapi, jika kedua orang tersebut menyepakati salah satu akad (harga) dari dua akad (harga) jual beli tersebut; misalnya pembeli menerima harga baju tersebut 20 dirham secara kredit; sebelum keduanya berpisah, maka sahlah jual beli tersebut. Sebab, harga baju itu telah ditetapkan, dan kedua belah pihak mengetahui dengan jelas (tidak majhul) harga dari baju tersebut, serta bentuk transaksinya.
57
Kedua, Imam Shafi’i, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, menafsirkan dua akad dalam sebuah akad jual beli sebagai berikut; jika seseorang berkata kepada orang lain, “Saya jual rumahku kepadamu dengan harga sekian, akan tetapi engkau harus menjual anak laki-lakimu kepadaku. Jika kamu menjual anak laki-lakimu, maka aku serahkan rumah ini kepadamu.” Muamalat semacam ini berbeda dengan jual beli dengan harga yang tidak diketahui. Namun demikian, muamalat semacam ini adalah batil. Sebab, ia termasuk dalam jual beli bersyarat. Sedangkan jual beli bersyarat bisa menyebabkan majhulnya harga (tidak diketahuinya harga secara pasti). Adapun, ‘Îllat pengharaman transaksi seperti ini (jual beli bersyarat), menurut Imam ash-Shaukani, adalah dikaitkannya jual beli dengan syarat untuk masa depan. Ketiga, penafsiran ketiga mengenai “Safqâtain Bi Sâfqah” adalah jika seseorang melakukan salaf (pemesanan barang [inden]) setakaran gandum dalam jangka waktu satu bulan, dengan harga 1 dinar. Ketika batas waktu telah tiba, dan pemesan meminta gandum yang dipesannya, orang yang dipesani barang berkata, “Juallah gandum yang seharusnya saya berikan kepada anda, dengan dua takar gandum, tapi jangkanya ditambah dua bulan.” Jual beli semacam ini adalah fasid, sebab akad yang kedua telah masuk pada akad yang pertama.(Imam Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadziy, bab al-Bai’ain fi al-Bai’ah). Inilah beberapa tafsir mengenai al-Bai’ain fi al-Bai’ah (dua akad jual beli dalam satu akad jual beli); atau yang dikenal dengan ‘Aqdâin Fi ‘Aqâd, atau Safqâtain Bi Sâfqah.
58
Salah satu penafsiran mengenai Safqâtain Bi Sâfqah adalah dikaitkannya jual beli dengan syarat-syarat tertentu yang bisa membatalkan sebuah transaksi jual beli. Oleh karena itu, bila sebuah transaksi jual beli dikaitkan dengan syarat-syarat fasid, maka transaksi tersebut terkategori dalam “dua akad dalam sebuah akad”. Transaksi semacam ini terkategori transaksi yang diharamkan. Namun, jika suatu transaksi dikaitkan dengan syarat-syarat yang lazim, maka pensyaratan atas transaksi tersebut bukanlah perkara yang haram. Dengan kata lain, transaksi tersebut tidak terkategori Safqâtain Bi Sâfqah. Untuk itu, kita harus memahami terlebih dahulu syarat-syarat yang lazim dan syarat-syarat yang tidak lazim (syarat fasid), agar kita bisa membedakan, apakah persyaratan tersebut terkategori persyaratan yang bisa membatalkan jual beli atau tidak. Syarat yang menjadi tuntutan jual beli. Syarat ini wajib dipenuhi, dan menjadi syarat sahnya sebuah transaksi. Misalnya, sahnya pertukaran adalah adanya pertukaran barang dengan barang; syarat sahnya jual beli adalah adanya pertukaran barang dan pelunasan pembayaran. Suci dari hadats dan najis merupakan syarat sahnya sholat, dan lain sebagainya. Syarat yang berhubungan dengan kemashlahatan akad. Misalnya, syarat penangguhan pembayaran atas transaksi tertentu. Jika seseorang mensyaratkan transaksi bisa berlangsung jika pembayaran dilakukan secara kredit, maka syarat semacam ini diperbolehkan. Contoh yang lain adalah, pensyaratan atas kriteria barang yang hendak ditransaksikan. Contohnya,
59
seseorang mensyaratkan agar sapi yang hendak dibelinya adalah sapi jenis Benggala, dan berwarna putih. Syarat semacam ini diperbolehkan, karena termasuk syarat yang berhubungan dengan kepentingan akad. Jika syaratsyarat tersebut dipenuhi, maka transkasi harus dilaksanakan. Namun, jika syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka pembeli berhak membatalkan akad, dengan alasan tidak memenuhi syarat. Syarat yang manfaatnya diketahui oleh penjual dan pembeli. Misalnya, jika transaksi jual beli rumah terjadi, maka penjual rumah boleh menempati rumah tersebut selama 1 atau 2 bulan sebelum diserahkan kepada pembeli. Syarat semacam ini tidaklah membatalkan transaksi jual beli tersebut, dan tidak terkategori dua akad dalam satu akad. Contoh yang lain, seorang mensyaratkan kepada penjual, agar barangnya dibawa atau ditempatkan di tempat tertentu, jika transaksi jual beli telah deal (disetujui).109 Disisi lain, penulis mencermati dalam praktek jual beli bersyarat tersebut ada sebuah perjanjian ganda dalam satu transaksi, yang pertama, adanya perjanjian jual beli. Dan kedua, adanya perjanjian yang memberikan batasan waktu dan kompensasi tiap bulan. Dari beberapa beberapa permasalahan akad tersebut, penulis berpendapat bahwa akad transaksi jual beli berasyarat sepeda motor yang
109
Abdullah al Muslih & Shalah Ash Shawi, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, Terj. Abu Umar Basyir (Jakarta : Darul Haq, 2004), 104-107.
60
ada di pangkalan Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo merupakan akad transaksi jual beli yang dilarang dalam hukum Islam.
B. Tinjauan Hukum Islam terhadap Mekanisme Penetapan Harga dalam jual beli bersyarat di Pangkalan jual beli sepeda motor Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo. Ekonomi Islam seperti dikemukakan SM. Hasanuzzaman adalah “Pengetahuan dan aplikasi ajaran-ajaran dan aturan-aturan syari’ah yang mencegah ketidakadilan dalam pencarian dan pengeluaran sumber-sumber daya guna memberikan kepuasan bagi manusia dan memungkinkan mereka melaksanakan
kewajiban-kewajiban
mereka
terhadap
Allah
dan
masyarakat”.110 Karena itulah keadilan ekonomi memiliki korelasi yang signifikan dengan keadilan dalam produksi. Dalam produksi, keadilan tersebut mencakup harga yang adil (as-Samân – al-‘adl) dan laba yang adil (al – ajr al-‘adl).111 “Dalam fiqh Islam dikenal dua istilah berbeda mengenai harga suatu barang, yaitu as-Samân dan as-Si’r. As-Samân adalah patokan harga satuan barang, sedangkan As-Si’r adalah harga yang berlaku secara aktual di pasar”.112 “Ulama Fiqh membagi as-Si’r itu kepada dua macam, yaitu : 110
Rustam Effendi, Produksi dalam Islam (Yogyakarta: Magistra Insani Press, 2003), 3. Ibid., 3. 112 Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual (Jakarta: Gema Insani, 2003), 90. 111
61
c. Harga yang berlaku secara alami, tanpa campur tangan pemerintah113 dan ulah para pedagang, Dalam harga yang berlaku secara alami ini, pemerintah tidak boleh ikut campur tangan, karena campur tangan pemerintah akan membatasi hak para pedagang. 114 d. Harga
suatu
komoditas
yang
ditetapkan
pemerintah
setelah
mempertimbangkan modal dan keuntungan wajar bagi pedagang ataupun produsen serta melihat keadaan ekonomi riil dan daya beli masyarakat. Mekanisme ini lazim disebut at-Tas’ir al-Jabari”.115 Penerapan konsep tas’ir dalam kehidupan ekonomi
tentang
penetapan harga ini sesuai dengan nilai yang terkandung dalam komoditas yang dijadikan obyek transaksi, serta dapat dijangkau oleh masyarakat. Dengan adanya tas’ir, maka akan menghilangkan beban ekonomi yang mungkin tidak dapat dijangkau oleh masyarakat, menghilangkan praktik penipuan, serta memungkinkan ekonomi dapat berjalan dengan mudah dan penuh dengan kerelaan hati.116 Imam an-Nawâwi memperjelas definisi jual beli Imam ibn Qâsim dalam beberapa aspek sebagaimana berikut :
113
Ibid, 90. Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, tt ), 139. 115 Setiawan, Fiqh Aktual, 90. 116 Abdul Sami’ al-Mishri, Pilar-Pilar Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),95. 114
62
D:0&رة ا(ه$ 06(4 Kو0E PE P$C)* 'E ((40 اx%0 ذن4)و Artinya : ”(Dan kecuali dengan izin shar’I adalah riba) sebab hal itu pemindahan hak milik tidak ada di dalamnya, pengecualiannya dengan mempertimbangkan pada contoh yang nyata”. 117 Transaksi jual beli mengecualikan transaksi yang mengandung unsur riba, sebab hakikatnya tidak ada perpindahan milik didalamnya. Dalam pandangan Islam transaksi harus dilakukan secara sukarela (antaradim minkum) dan memberikan keuntungan yang propesional bagi para pelakunya.118 Prinsip suka sama suka yaitu tidak mengandung pemaksaan yang menghilangkan hak pilih seseorang dalam aktivitas mu’amalah. Kemudian tentang harga sebagaimana berikut :
J* L ف8
8*+ 'وام+) ? ا9C NC P$C) >
>ن8+(اJ*}L جV) و A+)T)( وN* ?*AO )T> )رةF)) اK أJ*}L جV وLVW+ اF ? وEL .'L:+? ا Artinya : ”(Dan kecuali dengan lafadz tsaman) waqaf, maka sungguh di dalamnya adalah pemidahan manfaat yang diperbolehkan untuk selamanya kepada mauqûf ‘alaih dengan tanpa harga, melainkan atas dasar kebajikan, dan kecuali dengan lafadz thaman adalah (ijârah, maka itu tidak dinamakan thaman).”119 Dalam masalah harga, Imam an-Nawâwi mengecualikan dua contoh transaksi, wakaf dan upah. Alasanya untuk wakaf adalah pemindahan
117
Muhammad Nawawi ibn Umar al-Jawi, Taushih ‘ala ibn Qâsim (Semarang: Karya Toha Putra), 130. 118 Hendrianto, Pengantar Ekonomi Mikro Islam (Yogyakarta: Ekonisa, 2003), 285. 119 Muhammad Nawawi ibn Umar al-Jawi, Taushih ‘ala ibn Qâsim 130.
63
manfaat barang untuk selamanya atas dasar ibadah, sementara untuk upah adalah tidak berlaku tetap/ditetapkan.
64
Pengecualian Imam an-Nawâwi terhadap dua transaksi di atas, penulis pahami bahwa harga adalah nominal yang berangkat dari motif mencari untung bukan ibadah kepada Tuhan. Juga nominal dapat ditetapkan secara umum kepada pihak yang melakukan aktifitas yang sama. Harga merupakan hasil perhitungan faktor-faktor seperti biayabiaya produksi biaya investasi, promosi, pajak ditambah laba yang wajar.120 Mengenai
harga,
Aquinas
mengatakan
adalah
sangat
berdosa
mempraktekkan penipuan terhadap tujuan penjualan sesuatu melebihi harga-harga yang adil, karena itu sama dengan mencurangi tetangganya agar menderita kerugian.121 Harga bisa disebut adil jika telah disetujui oleh kedua belah pihak yang melakukan transaksi, akan tetapi dalam realitasnya tidak bisa dikatakan bahwa pasar merupakan satu-satunya prinsip untuk menentukan harga yang adil.122 Dalam hal ini al-Qur’an menjelaskan :
س ِ (-6&َا ِل اWْ <ْ َأWِّ (ً,:ْ 0ِ Eَ &ْا$ُ ُآ5ْ .َ ِ ( ِم-=v ُ ْ (}َ( ِإَى4ِ ِ? َو ُ)ُْ&ْاT ِ (َ1ْ (ِ4 ْ =ُ 6َ Pْ َ4 ْ =ُ َ &َاWْ ُ&اَأ$ ُآ5ْ )َ *َ َو .ن َ ْ&Cُ $َ ْ )َ ْ .ُ 'ْ (ْ ِ" ْ! ِ َوَأ4ِ Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
120
Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan dalam Ekonomi Islam (Yogayakarta; BPEF Yogyakarta, 2004), 271. 121 Lihat Catatan Kaki, Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan dalam Ekonomi Islam,(Yogayakarta; BPEF Yogyakarta, 2004), 272. 122 Muhammad dan Alimin, Etika, 272.
65
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Q.S Al-Baqarah: 188).123 Pesan yang terkandung dalam ayat di atas, bahwasannya dalam jual beli kita dilarang memberikan atau menetapkan harga yang bisa menjadikan permusuhan diantara kedua belah pihak. Ekonomi Islam tidak mengenal bunga, karena bunga sesungguhnya telah jatuh ke dalam kategori riba. Pelarangan riba sudah berkali-kali ditulis di halaman ini dari berbagai sisi peninjauan.Islam juga tidak mengenal konsep time value of money. Di mata Islam yang bernilai adalah waktu itu sendiri, economic value of time. Penghargaan Islam atas waktu tercermin dari banyaknya sumpah Allah yang terdapat dalam Alquran, yang menggunakan terminologi waktu. Misalnya demi masa, demi waktu dhuha, demi waktu fajar, demi waktu ashar, demi waktu malam dan masih banyak lagi. Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah juga pernah bersabda, “Waktu itu seperti pedang, jika kita tidak bisa menggunakannya dengan baik, ia akan memotong kita. ” Sedangkan Sayyid Qutb juga mengatakan, waktu adalah hidup.Namun penghargaan Islam terhadap waktu ini tidak diwujudkan dalam rupiah tertentu atau persentase bunga tetap. Karena hasil yang nyata dari pemanfaatan waktu ini bersifat variabel, tergantung pada jenis usaha, sektor industri, keadaan pasar stabilitas politik dan masih
123
Depag RI, AL-Qur’an, 46
66
banyak lagi. Islam mewujudkan penghargaan pada waktu dalam bentuk kemitraan usaha dengan konsep bagi hasil.
67
Memang, Islam juga memperbolehkan penetapan harga tangguhbayar (deferred payment) lebih tinggi dari pada harga tunai. Zaid bin Ali Zainal bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, cicit Rasulullah Saw, adalah orang yang menjelaskan pertama kali dibolehkannya penetapan harga tangguhbayar lebih tinggi dari pada harga tunai. Namun dasarnya bukanlah time value of money, melainkan semata-mata karena ditahannya hak si penjual barang. Satu contoh misalnya, bila barang dijual tunai dengan untung Rp 10.000, maka si penjual dapat membeli lagi dan menjualnya dengan untung yang sama, sehingga dalam satu hari penjual akan mendapat laba sebesar Rp 20.000. Tetapi kalau dijual dengan tangguh-bayar, hak penjual untuk mendapatkan untung lagi tertahan sehingga dia tidak dapat membeli lagi dan menjual lagi. Akibat lebih jauh dari itu, hak keluarga dan anak si penjual untuk makan malam pada hari itu tertahan oleh pembeli. Untuk alasan inilah, yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi kewajibannya (menyerahkan barang), Islam memperbolehkan penetapan harga tangguh-bayar lebih tinggi dari pada harga tunai.124 Dalam realita di lapangan, Mekanisme jual beli bersyarat yang biasa dilakukan adalah adanya syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi penjual dan adanya penetapan harga awal atau disebut harga penawaran yang 124
Antonio Syafi’I, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek (Jakarta : Gema Insani Press)
68
berasal dari pembeli. Adapun penetapan harga sebelum proses transaksi (harga penawaran) adalah pertama, Harga ditetapkan pembeli berdasar atas nilai jual sepeda motor, karena dengan cara jual beli bersyarat maka penetapan harganya dibawah harga pasar. Kedua, dalam jual beli bersyarat, pembeli memberi tambahan harga dengan memberikan keuntungan sebesar 10 % per bulan dari harga pembelian sepeda motor.125 Dari uraian di atas, penulis memahami bahwa harga ditetapkan secara sepihak oleh pembeli sepeda motor
dan dalam penetapan harga tersebut juga terdapat uang
tambahan yaitu 10% perbulan dari harga pembelian sepeda motor sehingga ketika waktu yang disepakati telah habis maka si pemilik motor (penjual motor) harus membeli motornya kembali dengan harga semula ditambah biaya (uang) tambahan tersebut. Dalam permasalahan tersebut, penulis berpendapat dalam penetapan harga dan tambahan biaya yang dibebankan pada salah satu pihak pada suatu transaksi jual beli adalah bentuk riba karena pada prinsipnya pemberlakuan larangan riba adalah untuk menghapus kecurangan, ketidak pastian atau spekulasi dan monopoli. Tarnsaksi tersebut menuntut pengetahuan yang adil mengenai harga-harga yang berlaku pada kedua pihak penjual dan pembeli.126
125 126
Transkrip Wawancara, kode : 14/W/JB/01/2008 Chapra, Sistem Moneter Islam, 25.
69
As-Syafi’i memaparkan landasan jual beli, sekaligus dua ayat yang muatan pesannya saling bersambung. Ayat tersebut sebagaimana berikut;
*َ
127
#َ(َ)َ ك َو َ َ( َر1)َ 8 َ( َل اN َ( َلN 8 ُ اCَ 7 ِ َرxِEِ (-'َ( ا0َ 1َ H ْ َ( َل َأN Iُ Pْ 4ِ 0- 'َ( ا0َ 1َ H ْ َأ
(٩٢:ـ(ءB6 ُ= ْ )ا6ْ Wِ ض ٍ َا0)َ ْ<% َ َ( َر ًةq)ِ ن َ ْ&=ُ )َ ْ ِ? إِ* َأنT ِ (َ1ْ(4ِ ْ =ُ 6َ Pْ 4َ ْ =ُ َ &َاWْ &ْا َأ$ُ ُآ5ْ )َ Artinya : “Janganlah kamu makan harta yang ada diantara kamu denganjalan batil melainkan dengan jalan jual beli suka sama suka”128
(٢٧ : ة0,1َ&ا )ا40ِّ َم ا0- 7 َ َوIَ Pْ 1َ ْ ا8? ا- 7 َ َوَأ.... Artinya : “….Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Q.S Al-Baqarah: 275)129 Dalam khazanah keilmuan Hukum Islam dalil tersebut sudah maklum, akan tetapi terdapat beberapa aspek dalam jual beli ini mengingat dalil di atas. Pertama (MzNC اضVO J), yang berarti saling merelakan antara pihak yang bertransaksi bukan keputusan sepihak. Kedua ( مV و£9+ ا¯ اEوأ ا8LّVِ +)ا, penulis pahami antara jual beli dan riba terdapat beda tipis sehingga penuturan keduannya sangat jelas. Yang maksud jual beli dengan ‘inah, yaitu engkau menjual sesuatu barang kepada seseorang dengan pembayaran tempo (bayar di belakang), kemudian engkau membeli barang itu lagi (dari pembeli tadi) dengan harga yang lebih murah, tetapi dengan pembayaran kontan yang engkau serahkan
1393), 3.
127
Abu Abdillah, Muhammad ibn Idris as-Syafi’I, Al Umm, Juz 3 (Beirut; Dar al-Ma’rifat
128
Ibid, 122. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung : Gema Risalah Press, 1989), 69.
129
70
kepada pembeli. Ketika sudah sampai tempo pembayaran, engkau minta dia membayar penuh (sesuai dengan harga yang kita berikan saat dia membeli barang pada kita) hal ini disebut jula beli ‘inah (benda), karena benda yang dijual kembali lagi kepada si pedagang semula. Ini adalah haram. Karena bertujuan untuk menyiasati riba. Seakan engkau menjual dirham sekarang dengan beberapa dirham di masa yang akan datang, lalu engkau jadikan barang tadi sebagai alat untuk menyiasati riba. jika engkau memberikan hutang kepada seseorang dengan menyerahkan barang dagangan dengan pembayaran tempo, seharusnya engkau membiarkan orang tadi menjual barang tersebut kepada orang selain engkau, atau membiarkan dia berbuat apa saja atas barang tersebut, disimpan atau di jual kepada orang lain jika dia memang membutuhkan uang. Rasulullah saw. bersabda; “Jika kalian melakukan jual beli dengan cara ‘inah, dan kalian telah memegang ekor sapi, dan kalian rela dengan bercocok tanam, Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian. Allah tidak akan mengangkatnya sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud dan memiliki beberapa penguat) Di antara jual beli yang terlarang, yaitu najasy (menawar harga tinggi untuk menipu pengunjung lainnya) Misalnya, dalam suatu transaksi atau pelelangan, ada penawaran atas suatu barang dengan herga tertentu, kemudian ada sesorang yang menaikkan harga tawarnya, padahal ia tidak
71
berniat untuk membelinya.. Dia hanya ingin menaikkan harganya untuk memancing pengunjung lainnya dan untuk menipu para pembeli, baik orang ini bekerjasama dengan penjual ataupun tidak. Orang yang menaikkan harga, padahal tidak berniat untuk membelinya telah melanggar larangan Rasulullah Saw. Beliau bersabda: “Janganlah kalian melakukan ual beli najasy” Orang yang tidak berniat membeli dan tidak tertarik pada suatu barang, hendaknya tidak ikut campur dan tidak menaikkan harga. Biarkan para pengunjung (pembeli) yang berminat untuk saling tawar-menawar sesuai harga yang dinginkan. Mungkin ada sebagian orang yang kasihan kepada si penjual, kemudian ia bermaksud membantu agar si penjual kian bertambah keuntungannya, sehingga ia menambahkan harga. Menurutnya, yang ia lakukan akan menguntungkan penjual. Atau ada kesepakatan antara si penjual dengan beberapa kawannya untuk menaikkan harga barang. Harapannya, agar pembeli yang datang menawar degan harga yg lebih tinggi. Ini juga termasuk najasy dan juga haram, mengandung unsur penipuan dan mengambil harta dengan cara batil. Termasuk jual beli najasy-sebagaimana dsebutkan oleh ulama ahli fikih- yaitu perkataan seorang penjual “aku telah membeli barang ini dengan harga sekian”, padahal ia berbohong. Tujuannya untuk menipu para
72
pembeli agar membelinya dengan harga tinggi. Atau perkataan penjual “aku berikan barang ini dengan harga sekian”, atau perkataan “barang ini harganya sekian”, padahal ia berbohong. Dia hendak menipu para pengunjung agar menawar dengan harga lebih tinggi dari harga palsu yang dilontarkannya. Ini juga termasuk najasy yang dilarang Rasulullah Saw.. Termasuk perbuatan khianat, menipu dan perbuatan bohong yang akan dihisab di hadapan Allah. Para pedagang wajib menjelaskan harga sebenarnya jika ditanya oleh pembeli “anda membelinya dengan harga berapa?” Beritahukan harga yang sebenarnya. Jangan dijawab “barang ini di jual kepada saya dengan harga sekian”, padahal ia berbohong. Termasuk dalam masalah ini, yaitu jika seorang pedagang di pasar atau pemilk toko sepakat tidak akan menaikkan harga tawar, jika ada penjual yang datang menawarkan barang, agar penjual terpaksa menjualnya dengan harga murah. Dalam hal ini, mereka melakukan kerjasama. Ini juga termasuk najasy dan mengambil harta manusia dengan cara haram. Di antara jula beli yang dilarang adalah, seorang muslim melakukan akad jual beli di atas akad saudaranya. Rasulullah Saw. bersabda; “Janganlah sebagian di antara kalian berjualan di atas jualan sebagian.” Misalnya, seseorang mencari barang, dan ia membelinya dari seorang pedagang. Lalu pedagang ini memberikan hak pilih (jadi atau tidak) kepada
73
si pembeli dalam tempo selama dua atau tiga hari atau lebih. Pada masamasa ini, tidak boleh ada pedagang lain yang masuk dan mengatakan kepada si pembeli tadi “tinggalkan barang ini, dan saya akan memberikan barang sejenis dengan kualitas yang lebih baik dan harga lebih murah.” Penawaran seperti ini merupakan perbuatan haram, karena berjualan di atas akad beli saudaranya. Selama penjual memberikan hak pilih kepada calon pembeli, maka biarkanlah calon pembeli berpikir, jangan ikut campur. Jika calon pembeli mau, ia bisa melanjutkan akad jula beli atau membatalkan akad. Jika akadnya sudah rusak dengan sendirinya, maka engkau boleh menawarkan barang kepadanya. Begitu juga membeli diatas pembelian saudaranya, hukumnya haram. Misalnya, jika ada seseorang mendatangi pedagang hendak membeli suatu barang dengan harga tertentu, lalu ia memberikan hak pilih kepada pedagang (jadi atauu tidak) selama beberapa waktu. Maka selama masa pemilihan itu, tidak boleh ada orang lain ikut campur, pergi ke pedagang seraya mengatakan “saya akan membeli barang ini darimu dengan harga yang lebih tinggi dari tawaran si fulan”. Demikian ini merupakan perbuatan haram. Karena dalam perbutan ini tersimpan banyak madharat bagi kaum muslimin, pelanggaran hak-hak kaum muslimin, menyakitkan hati mereka. Karena jika orang ini mengetahui bahwa engkau ikut campur dan merusak
74
akad antara dia dengan pembeli atau penjual, dia akan merasa marah, dongkol dan benci. Bahkan mungkin dia mendoakan keburukan bagimu, karena engkau telah mendaliminya. Di antara jula beli yang dilarang ialah, menjual dengan cara menipu. Engkau menipu saudaramu dengan cara menjual barang yang engkau ketahui cacat tanpa menjelaskan cacat kepadanya, Jual beli seperti ini tidak boleh, karena mengandung unsur penipuan dan pemalsuan. Para penjual seharusnya memberitahukan kepada pembeli, jika barang yang hendak di jual tersebut dalam keadaan cacat. Kalau tidak menjelaskan, berarti ia terkena ancaman Rasulullah Saw. dalam sabdanya; “Penjual dan pembeli memiliki hak pilih selama belum berpisah. Jika keduanya jujr, niscaya keduanya akan diberikan berkah pada jula beli mereka. Jika keduanya berbohong dan menyembunyikan (cacat barang) , niscaya berkah jula beli mereka dihapus.” Suatu ketika Rasulullah Saw. melewati seorang pedagang dipasar. Di samping
pedagang
tersebut
terdapat
seonggok
makanan.
Beliau
memasukkan tangannya yang mulia ke dalam makanan itu, dan Beliau merasakan ada sesuatu yang basah di bagian bawah makanan. Rasulullah Saw. bertanya kepada pedagang: “Apa ini, wahai pedagang?” Orang itu menjawab:”Makanan itu terkena air hujan, wahai Rasulullah Saw.!” kemudian Rasulullah Saw. bersabda: “Mengapa enggkau tidak menaruhnya
75
diatas, agar bisa diketahui oleh pembeli? Barang siapa yang menipu kami, maka dia tidak termasuk golongan kami”.
76
BAB V PENUTUP C. KESIMPULAN Dari hasil pemparan penelitian baik dari obyek dan subyeknya yang kami sajikan melalui tinjauan hukum islam terhadap jual beli bersyarat di pangkalan jual beli sepeda motor di desa jabung kecamatan mlarak kabupaten ponorogo, maka penulis dapat menyimpul beberapa point sebagaimana berikut : a. Tradisi jual beli berasyarat sepeda motor yang dilakukan di pangkalan jual beli sepeda motor Desa Jabung Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo merupakan peralihan akad yang semula gadai menjadi akad jual beli bersyarat atau disebut dengan bai’ al-wafa’. Tampak dari dalam jual beli bersyarat ini terdapat muatan al-Bai’ain fi al-Bai’ah (dua akad jual beli dalam satu akad jual beli) yang syarat adanya keuntungan ganda; pada akad pertama pada serah terima penjual terkena potongan administrasi, akad kedua keharusan memberikan keuntungan sepuluh persen perbulan. Hal ini termasuk larangan dalam Hukum Islam b. Penetapan harga yang dibebankan pada salah satu pihak antara penjual dan pembeli pada suatu transaksi jual beli adalah bentuk penyamaran riba, karena pada prinsipnya pemberlakuan larangan riba adalah untuk
77
menghapus kecurangan, ketidak pastian (spekulasi) dan menimbulkan bentuk monopoli dalam suatu transaksi jual beli pada salah satu pihak antara penjual dan pembeli. Hal ini tidak di perbolehkan dalam Hukum Islam. D. SARAN-SARAN a. Akad adalah sesuatu yang urgen dalam sebuah transakasi jual beli maka sebuah ungkapan ridho bi ridho dan saling adanya kejujuran merupakan salah satu hal yang harus ditegakkan. b. Keadilan merupakan salah satu dampak dari sebuah penetapan harga, jadi menurut penulis. Para pelaku jual beli bersyarat harus mempertimbangkan keuntungan sepihak.
rasa
keadilan
dari
pada
mementingkan
78
DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA
Abu al-Walîd, Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rosyd al-Qurtûby, Bidâya al-Mujtahid, Juz 2, (Beirut; Dâr al-Fikr). Abu Abdillah, Muhammad ibn Idris as-Syafi’I, Al Umm, Juz 3, (Beirut; Dar alMa’rifat 1393) Abu Ishâq, Ibrâhim ibn ‘Ali ibn as-Sayrâzi, Muhadab, Juz 1, (Beirut; Dar alFikr) Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâly, Al-Wasith, Juz 3, (Kairo; Dâr al-Salâm, 1417). Agus Salim, Teori Dan Paradigma Penelitian Sosial, (Yogyakarta; PT. Tiara Wacana Yogya, 2001). Burhan Bungin, Metodologi penelitian Kwalitatif, (Jakarta; PT. Raja Grafindo, 2004), Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung; Gema Risalah Press, 1989). Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Lapangan, (Yogyakarta; Gajah Mada University Pers, 1996). H. Abuddin Nata M.A, Metodologi Study Islam, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2003). James P. Spardly, Metode Etnografi, (Yogyakarta; PT. Tiara Wacana Yogya, 1997). J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi, (Jakarta; Prenada Media, 2004). M.Nasir, Metode Penelitian, (Ghalia Indonesia, 1998).
79
Muhajir Noeng, Metodologi penelitian Kualitatif, (Yogyakarta, Bayu Indra). Muslim ibn al-Hujjaj Abu al-Husain al-Qusyairy al-Naysâbûry, Shahîh Muslim Juz 3, (Beirut; Dâr Ihyâ al-Tirâth al-‘araby). Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta; PT. Rineka Cipta, 2002). Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta; Rineka Cipta, 2001). Zain al-Dîn ibn Abdu al-Azîz al-Malyabâry, Fath al-Mu’în, Juz3, (Beirut; dâr al-Fikr)Grafika, 998),