BAB I KEHADIRAN DESA DITINJAU DARI KAJIAN EMPIRIK DAN TEORITIK
A. DESKRIPSI Bab ini memaparkan beberapa hal sebagai berikut: kehadiran desa ditinjau dari kajian teoritik dan empirik; arti dan ruang lingkup sosiologi pedesaan yang dikaji meliputi: pengertian desa, unsur-unsur desa, ciri-ciri kehidupan masyarakat desa, karakteristik desa, sosiologi secara umum, serta sosiologi pedesaan dan ruang lingkupnya.
B. KOMPETENSI DASAR Setelah mempelajari pokok bahasan ini, diharapkan mahasiswa dapat memahami kehadiran desa ditinjau dari kejian teoritik dan empirik, pengertian desa, ciri-ciri kehidupan masyarakat desa, karakteristik desa, sosiologi secara umum, serta sosiologi pedesaan dan ruang lingkupnya.
C. TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mempelajari pokok bahasan ini, diharapkan mahasiswa dapat : 1. Menjelaskan pengertian desa; 2. Menjelaskan ciri-ciri kehidupan masyarakat desa; 3. Menjelaskan karakteristik desa; 4. Menjelaskan sosiologi secara umum; 5. Menjelaskan sosiologi pedesaan dan ruang lingkupnya.
D. KEGIATAN BELAJAR
E. URAIAN MATERI
1
1. Kehadiran Desa, ditinjau dari Kajian Empirik Sering kali terdapat persepsi yang salah tentang keberadaan masyarakat desa, dimana masyarakat desa cenderung dipandang rendah. Masyarakat desa mempunyai peranan yang penting dalam sejarah pembentukan dan perkembangan peradaban masyarakat manusia. Sejarah kehidupan manusia secara umum mengalami proses perkembangan yang sangat lamban. Sekitar 1.990.000 tahun mereka menjalani kehidupan yang sangat bersahaja dengan sistem mata pencaharian food gathering economics (berburu, meramu, dan menangkap ikan). Sifat mata pencaharian semacam ini kurang memungkinkan mereka untuk saling berhubungan dan menjalin kerja sama secara teratur dan permanen karena mereka harus selalu berpindah (mobil) mengikuti pola kehidupan binatang buruannya. Pola kehidupan mereka ini lebih menunjukkan pada bentuk pra-masyarakat, artinya belum mencerminkan kehidupan bermasyarakat yang teratur dan permanen. Masyarakat desa dikenal dengan kegiatan bercocok tanam sekitar 10.000 tahun yang lalu telah mengubah keadaan yang ada. Sifat tanaman yang terikat pada tempat (imobil) dan waktu telah memaksa orang untuk menetap. Biasanya mereka menetap pada tempat-tempat tertentu, yaitu di tempat-tempat yang subur seperti di tepi-tepi sungai dan
danau,
sehingga
terjadilah
pengelompokan.
Di
dalam
pengelompokan ini terjadilah hubungan yang teratur di antara warga masyarakat. Selanjutnya dalam kondisi ini terciptalah akumulasi simbol-simbol yang merupakan awal dan landasan bagi perkembangan peradaban manusia. Kegiatan bercocok tanam juga menandai lahirnya fenomena desa sebab desa dalam pengertian pokoknya berarti tempat menetap dan bermukim dari sekelompok orang yang memiliki ketergantungan terhadap suatu tempat.
2
2. Kehadiran Desa ditinjau dari Kajian Teoritis Masyarakat desa sering kali dipahami dalam keterkaitannya dengan kegiatan pertanian. Akan tetapi hal tersebut tidak cukup memadai, sebab kita juga harus mengaitkannya dengan konteks perubahan
dan
perkembangan
dunia
karena
desa
juga
merupakan bagian integral dari kehidupan dunia. Untuk memahami desa dengan segala dinamikanya maka dibutuhkan teori atau perspektif (wawasan) sebagai kerangka berpikir. Dalam hal ini desa setidak-tidaknya dapat dijelaskan teori-teori tentang perubahan dan perkembangan sosial masyarakat. Teori yang menjelaskan fenomena desa adalah teori dari ilmu-ilmu sosial termasuk di dalamnya teori sosiologi. Teori sosiologi yang digunakan adalah yang mengacu pada teori evolusi social dari Herbert Spencer, yang merupakan turunan dari teori evolusi biologi Charles Darwin. Teori evolusi sosial ini berusaha menjelaskan fenomena desa sebagai proses perubahan dan perkembangan masyarakat dari yang masih bersahaja menuju masyarakat yang kompleks. Ternyata teori evolusi sosial yang bersifat umum tersebut tidak cukup memadai untuk dapat
menjelaskan
fenomena
masyarakat
desa
secara
lebih
komprehensif, sehingga diperlukan teori-teori yang sifatnya lebih khusus.
Teori-teori
masyarakat
lewat
ini
mencoba
tahap-tahap
menjelaskan
tertentu.
perkembangan
Teori-teori khusus
ini
merupakan model dikotomi dan trikotomi yang membagi masyarakat menjadi pilah dua maupun pilah tiga. Teori-teori yang disebutkan di atas, termasuk ke dalam teori modernisme. Selain itu, terdapat juga teori lain yang berlawanan dari teori modernisme yaitu teori dependensi. Kalau teori modernisasi berpendapat bahwa semua masyarakat akan berubah dan berkembang menjadi modern, maka teori dependensi menyatakan bahwa kapitalisme modern menyebabkan masyarakat pinggiran menjadi tergantung pada negara-negara maju sehingga mengalami keterbelakangan.
3
Perlu dipahami bahwa pada kenyataannya terdapat dominasi dari sistem kapitalisme modern, penyebarluasan teknologi modern dan komunikasi informasi maka dalam menggunakan kedua kubu teori tersebut sebaiknya pelu memperhatikan pendapat Howard Newby. H. Newby yang menyatakan bahwa studi mengenai masyarakat desa saat ini hendaknya memfokuskan perhatian pada proses penyesuaian masyarakat desa terhadap sistem kapitalisme modern. Dalam kaitan dengan definisi sosiologi pedesaan, banyak sekali ahli mengemukakannya dengan segala kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Ada ahli yang selalu menekankan bahwa desa dianggap sebagai desa pertanian, padahal pada kenyataan ada juga desa yang nonpertanian. Pendapat ahli lain menggambarkan desa desa secara eksplisit berbeda dengan kota. Dengan banyaknya faktor-faktor eksternal yang masuk dan mempengaruhi kehidupan desa maka dapat dikatakan bahwa komunitas desa mulai berkembang ke arah komunitas kota,
dimana
adat-istiadat,
tradisi
atau
pola
kebudayaan
tradisional desa mengalami proses perubahan. Selanjutnya, pengertian sosiologi pedesaan adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan yakni hubungan
antara
manusia
dengan
manusia,
manusia
dengan
kelompok dan kelompok dengan masyarakat, baik secara formal maupun material, baik statis maupun dinamis. Pedesaan berasal dari suku kata desa yang berasal dari bahasa sansekerta yaitu desi yang berarti tempat tinggal. Pengertian desa disini adalah suatu kesatuan masyarakat dalam wilayah, baik menurut suasana yang formal maupun informal, dimana satuan terkecilnya terdiri dari keluarga yang mempunyai wilayah dan otonomi sendiri. Dalam penyelengaraan kehidupan dan keterikatan antara keluarga keluarga dalam kelompok masyarakat terjadi sebagai akibat adanya unsur penguat yang bersifat religius, tradisi dan adat istiadat.
4
Menurut Howard Newby bahwa dalam mempelajari sosiologi pedesaan hendaknya diarahkan pada studi tentang adaptasi masyarakat desa terhadap pengaruh-pengaruh kapitalisme modern yang masuk ke desa. Latar belakang munculnya spesialis sosiologi pedesaan karena permasalahan sosial yang timbul di desa di Amerika Serikat, yaitu datangnya para migran dan mengambil tanah yang tak bertuan serta mulai berkembangnya era industrialisasi di Amerika Serikat.
3. Arti dan Ruang Lingkup Sosiologi Pedesaan a. Pengertian Desa Menurut Sutardjo Kartohadikusumo, bahwa desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Selanjutnya C.S. Kansil, mengatakan bahwa desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan menurut Bintarto Desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang terdapat di situ (suatu daerah) dalam hubungannya dan pengaruhnya secara timbal-balik dengan daerah lain. Lebih lanjut Paul H. Landis mengatakan bahwa desa penduduknya kurang dari 2.500 jiwa. Dengan
5
ciri ciri sebagai berikut: 1) mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa, 2) ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan, ·3) cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam seperti: iklim, keadaan alam, dan kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan
agraris
berkelompok.
adalah
bersifat
Menurut
Landis,
sambilan. Sistem masyarakat
kehidupannya
pedesaan
termasuk
masyarakat homogen dalam hal: matapencaharian, agama, adat-istiadat, homogenitas Sosial, hubungan primer, kontrol sosial yang ketat, gotong-royong, ikatan social, magis religious. Dari beberapa pendapat tentang desa di atas, dapat disimpulkan bahwa desa adalah sebuah wilayah yang ditempati sejumlah penduduk yang daerahnya masih dipenuhi oleh pepohonan dan lahan kosong, dan kekerabatan diantara penduduknya sangat erat dimana penduduknya memiliki sistem pemerintahan sendiri. Pada umumnya pengertian desa sering dikaitkan dengan sektor pertanian, alasannya asal-muasal
desa
karena
pengenalan
cocok tanam. Secara keilmuan, ahli sosiologi menyatakan bahwa desa merupakan lingkungan di mana warga memiliki hubungan akrab dan bersifat informal. Menurut Roucek dan Warren, untuk memahami masyarakat desa dapat dilihat dari karakteristiknya yaitu: 1. Besarnya peranan kelompok primer; 2. Faktor geografis sebagai dasar pembentukan kelompok; 3. Hubungan bersifat akrab dan langgeng; 4. Homogen; 5. Keluarga sebagai unit ekonomi; 6. Populasi anak dalam proporsi lebih besar. Selanjutnya Pitirim A. Sorokin dan Carle C. Zimmerman mengatakan bahwa faktor-faktor yang dapat menentukan karakteristik
6
masyarakat desa dan kota adalah: 1)
mata pencaharian; 2) ukuran
komunitas; 3) tingkat kepadatan penduduk; 4) lingkungan; 5) diferensiasi sosial; 6) stratifikasi sosial; 7) interaksi sosial; 8) solidaritas sosial. Terdapat perbedaan pendapat tentang fenomena keaslian desa di Indonesia. Beberapa pakar di Belanda seperti, van den Berg dan Kern berpendapat bahwa desa-desa di Jawa adalah buatan India. Sedangkan pakar Belanda lainnya, yang diwakili oleh van Vollenhaven, de Louter, Brandes, dan Liefrinck, berpendapat bahwa desa-desa di Indonesia itu bersifat asli, Begitu juga dengan Sutardjo Kartohadikoesoemo, yang mengatakan bahwa desa-desa di Jawa itu asli, bukan buatan India maupun Belanda dan juga bukan buatan Indonesia. Hal ini dikarenakan bahwa sebelum Indonesia merdeka, desa-desa tersebut sudah ada. Desadesa tersebut mempunyai kedudukan sebagai desa yang mandiri. Akan tetapi
setelah
Indonesia
merdeka
maka
dilakukan
beberapa
pembenahan, yang juga menyangkut kedudukan desa sebagai desa yang mandiri tersebut. Melalui beberapa peraturan perundangan, desa mempunyai kedudukan sebagai kesatuan sosial dan hukum (adat) yang masih diberi kebebasan tertentu dan desa sebagai kesatuan administratif yaitu merupakan bagian integral dari Negara Republik Indonesia. Selanjutnya menurut Undang undang Nomor 5 Tahun 1979 pengertian desa dibedakan menjadi “desa” dan “kalurahan”. Undang-undang
Nomor
5
Tahun
1979
yang
berisi
tentang
dimungkinkannya tindakan untuk membentuk, memecah, menyatukan dan menghapus desa dan kelurahan, membawa kemungkinan bagi perubahan pada desa dan kelurahan baik dalam hal volume maupun statusnya. Perubahan yang ada menunjukkan bahwa jumlah desa dari tahun ke tahun memperlihatkan adanya gejala kenaikan. Berbicara tentang ciri khas desa di Indonesia tidaklah mudah, mengingat bahwa desa-desa di Indonesia sangat beragam. Sehubungan dengan hal itu, Koentjaraningrat mengemukakan perlunya berbagai
7
sistem yang dapat dipakai dalam mengklasifikasikan aneka warna bentuk desa di Indonesia. Untuk menandai ciri-ciri desa di Indonesia, maka perlu mengetahui faktor-faktor seperti: 1) tingkat teknologi dan kondisi geografis, 2) keberagaman suku bangsa di Indonesia, 3) perbedaan dalam dasar-dasar peradaban suatu kawasan, dan 4) pengaruh kekuasaan luar desa. Keberagaman desa-desa di Indonesia menyebabkan terjadinya kesulitan dalam usaha untuk menyeragamkan desa-desa tersebut. Salah satu kesulitan adalah dalam mencari padanan desa di Jawa dengan padanan desa yang ada di luar Jawa.
b. Unsur-Unsur Desa Untuk mengetahui dengan jelas unsur-unsur desa, maka dapat diuraikan sebagai berikut: a)
Daerah tanah yang produktif, lokasi, luas dan batas yang merupakan lingkungan geografis,
b) Penduduk, jumlah penduduk, pertambahan penduduk, persebaran penduduk dan mata pencaharian penduduk, c)
Tata Kehidupan, pola tata pergaulan dan ikatan pergaulan warga desa termasuk seluk beluk kehidupan masyarakat desa,
d) Kebudayaan dan unsur-unsur kebudayaannya.
c. Ciri-Ciri Kehidupan Masyarakat Desa Talcot
Parsons
menggambarkan
masyarakat
desa sebagai
masyarakat tradisional (Gemeinschaft) yang mengenal ciri-ciri sebagai berikut: ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolongnya tanpa pamrih. Orientasi kolektif sifat ini merupakan konsekuensi dari Afektifitas, yaitu mereka mementingkan
8
kebersamaan, tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan. Ciri khas desa sebagai suatu komunitas pada masa lalu selalu dikaitkan
dengan
kebersahajaan
(simplicity),
keterbelakangan,
tradisionalisme, subsistensi, dan keterisolasian (Rahardjo, 1999). Roucek dan Warren dalam
Shahab K (2007), secara umum
mengidentifikasi ciri-ciri kehidupan masyarakat pedesaan sebagai berikut : 1) Faktor geografi sangat berpengaruh atas kehidupan yang ada. Misalnya, keterikatan anggota keluarga dengan tanah atau desa kelahirannya, 2) Mempunyai sifat homogen dalam (mata pencaharian, nilai-nilai dalam kebudayaan serta dalam sikap dan tingkah laku), 3) Hubungan sesama anggota masyarakat lebih intim dan awet dari pada kota, 4) Kehidupan desa lebih menekankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi. Artinya; semua anggota keluarga turut bersama-sama memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, 5) Karakteristik Kehidupan Masyarakat Desa, 6) Jumlah anak yang ada dalam keluarga inti lebih besar, dan 7) Hubungan lebih bercorak gemeinschaft dan gesellschaft. Karakteristik masyarakat desa menurut Scott J.C. (1989), menyatakan bahwa petani terutama di pedesaan pada dasarnya menginginkan kedamaian dan hubungan patron-klien paternalistik yang memberi jaminan dan keamanan sosial (social security). Lebih lanjut Ia mengatakan bahwa petani jarang tampil mengambil suatu keputusan yang berisiko, karena petani akan memikirkan keamanan terlebih dahulu (safety first). Kondisi ini tidak dapat dipertahankan dengan masuknya pasar dan komersialisasi yang
9
telah menggantikan hubungan patron-klien menjadi hubungan ekonomis (upah/majikan-buruh). Untuk mengatasi masalah ekonomi, daerah pedesaan telah menemukan sendiri berbagai mekanisme sosial ekonominya yang dikenal dengan nama gotong-royong (social exchange). Gotong royong menjadi etos subsistensi (subsistence ethics) yang melahirkan norma-norma moral, seperti adanya norma resiprokal atau timbal balik dalam menikmati bantuan sosial. 8) Pembatasan Pengertian Sosiologi Sampai saat ini para sosiolog dan ahli terkait dengan sosiologi masih terus melakukan penyelidikan tentang sifat dan hakikat pengertian sosiologi. Belum ada suatu kesepakatan bersama yang formal tentang pengertian sosiologi, Namun demikian ada beberapa pengertian dasar tentang sosiologi yang dapat digunakan sebagai patokan sementara. Berdasarkan akar katanya, Sosiologi berasal dari dua kata Yunani yaitu “socius” yang berarti “kawan atau teman” dan “logos” yang berarti “ilmu atau pengetahuan”. Teman atau kawan dapat dimengerti secara luas sebagai “keberadaan orang-orang lain dalam suatu hubungan”. Dengan demikian berdasarkan asal katanya maka sosiologi berarti “ilmu tentang berkawan” atau “ilmu tentang bagaimana manusia berkawan”. Untuk mengetahui dengan jelas tentang pengertian sosiologi, maka di bawah ini disajikan beberapa pendapat ahli sebagai berikut: a.
Roucek dan Waren menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antar manusia dan kelompokkelompok (Soekanto, 2003).
b.
Ouburn dan Nimkoff berpendapat bahwa sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi sosial (Soekanto, 2003).
10
c.
Giddens (2004) mendefinisikan bahwa “sociology is the study of human social life, groups and socities” (sosiologi merupakan studi/ilmu yang mempelajari tentang kehidupan sosial manusia, kelompok dan masyarakat).
d.
Pitrin Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari (1) hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial, (2) hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dan gejala non-sosial dan (3) ciri-ciri umum semua gejala sosial (Soekanto, 2003).
e.
Soemarjan dan Soemardi menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu masyarakat yang mempelajari struktur sosial dan prosesproses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial (Soekanto, 2003).
f.
Green (1960) dalam Rahardjo (1999) menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia dalam masyarakat, dalam pelbagai aspeknya.
g.
Doorn dan Lammers menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil (Soekanto, 2003).
Pengertian umum menyatakan bahwa sosiologi adalah “ilmu tentang masyarakat”. Hal senada juga disampaikan oleh Priyotamtomo (2001), bahwa sosiologi mempelajari perilaku masyarakat dan perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok yang dibangunnya. Kelompok tersebut mencakup: keluarga, suku, komunitas, pemerintah, organisasi sosial, kelompok ekonomi, kelompok politik, dan lain sebagainya. Sosiologi mempelajari perilaku dan interaksi kelompok, menelusuri asal-susul pertumbuhannya serta menganalisis pengaruh kegiatan kelompok terhadap para anggotanya.
5. Sosiologi Pedesaan dan Ruang Lingkupnya Priyotamtomo (2001) mendeskripsikan bahwa sosiologi pedesaan merupakan suatu studi yang melukiskan hubungan manusia di dalam dan antar kelompok yang ada di lingkungan pedesaan. Pengertian
11
“pedesaan” mencakup wilayah yang disebut “rural” dibedakan dengan “urban”. Secara lengkap pedesaan diartikan sebagai kawasan tempat tinggal dan kerja yang secara jelas dapat dipisahkan dari kawasan yang lain yang disebut “kota”. Masyarakat pedesaan sering disebut sebagai “rural community” sedang masyarakat perkotaan disebut sebagai “urban community”. Pembedaan tersebut didasari oleh perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya. Soekanto dalam Yulianti dan Purnomo (2003) menyatakan bahwa perbedaan masyarakat pedesaan dan perkotaan dapat dilihat antara lain dari kehidupan keagamaan, individualime, pembagian kerja, macam pekerjaan, jalan pikiran, jalan kehidupan, serta perubahan-perubahan sosial lainnya. Sosiologi pedesaan mempelajari tentang struktur dan prosesproses sosial yang terjadi di pedesaan. Bidang kajian ini menekankan pada masyarakat pedesaan dan segala dinamikanya yang antara lain mencakup struktur sosial, proses sosial, mata pencaharian, pola perilaku, serta berbagai transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Sosiologi pedesaan juga mencakup hubungan manusia didalamnya sebagai individu dan antara kelompok-kelompok yang ada di lingkungan pedesaan. Maksud mempelajari sosiologi pedesaan adalah untuk mengumpulkan keterangan mengenai masyarakat pedesaan dan hubungan-hubungannya yang melukiskan tentang tingkah laku, sikap, perasaan, motif, dan kegiatan manusia yang hidup dalam lingkungan pedesaan itu. Hasil dari pengkajian sosiologi pedesaan dapat dipergunakan sebagai penyedia dan pensuplai data dan informasi-informasi yang sangat dibutuhkan dalam upaya-upaya pengembangan masyarakat pedesaan. Misalnya untuk suksesnya kegiatan penyuluhan pertanian. Ruang lingkup bidang kajian sosiologi pedesaan menekankan pada masyarakat pedesaan dan segala dinamikanya yang antara lain mencakup struktur sosial, proses sosial, mata pencaharian, pola perilaku, serta berbagai transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
12
Menurut Ulrich P. (1993) Sosiologi Pedesaan (Rural Sociology) sering disamakan dengan Sosiologi Pertanian (Agricultural Sociology), karena menurut Rahardjo (1999) pertanian memang masih merupakan karakteristik pokok dari umumnya desa-desa di Indonesia. Dilihat dari eksistensinya, desa merupakan fenomena yang muncul dengan mulai dikenalnya cocok tanam. Dengan mengingat pentingnya faktor pertanian bagi keberadaan desa, maka dapat dipahami bahwa kebanyakan ruang lingkup dan objek sosiologi pedesaan masih selalu berkisar pada aspek pertanian, aktivitas serta dinamikanya.
F. RANGKUMAN Sosiologi pedesaan adalah sosiologi tentang struktur dan prosesproses sosial yang terjadi di pedesaan. Bidang kajian ini menekankan pada masyarakat pedesaan dan segala dinamikanya yang antara lain mencakup struktur sosial, proses sosial, mata pencaharian, pola perilaku, serta berbagai transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Sosiologi pedesaan juga mencakup hubungan manusia didalamnya sebagai individu dan antara kelompok-kelompok yang ada di lingkungan pedesaan. Soekanto dalam Yulianti dan Purnomo (2003) menyatakan bahwa perbedaan masyarakat pedesaan dan perkotaan dapat dilihat antara lain dari kehidupan keagamaan, individualime, pembagian kerja, macam pekerjaan, jalan pikiran, jalan kehidupan, serta perubahan-perubahan sosial lainnya. Maksud mempelajari sosiologi pedesaan adalah untuk mengumpulkan keterangan mengenai masyarakat pedesaan dan hubungan-hubungannya yang melukiskan tentang tingkah laku, sikap, perasaan, motif, dan kegiatan manusia yang hidup dalam lingkungan pedesaan itu. Hasil dari pengkajian dari sosiologi pedesaan dapat dipergunakan sebagai penyedia dan pensuplai data dan informasiinformasi yang sangat dibutuhkan dalam upaya-upaya pengembangan masyarakat pedesaan. Misalnya untuk suksesnya kegiatan penyuluhan pertanian. Ruang lingkup bidang kajian sosiologi pedesaan menekankan pada masyarakat pedesaan dan segala dinamikanya yang antara lain mencakup struktur sosial, proses sosial, mata pencaharian, pola perilaku, serta berbagai transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
13
G. SOAL-SOAL LATIHAN Kerjakan soal-soal di bawah ini ! 1. Jelaskan pengertian desa; 2. Jelaskan ciri-ciri kehidupan masyarakat desa; 3. Jelaskan karakteristik desa; 4. Jelaskan sosiologi secara umum; 5. Jelaskan sosiologi pedesaan dan ruang lingkupnya
14
BAB II STRUKTUR MASYARAKAT DESA
A. DESKRIPSI Dalam Bab ini akan dikaji: Konsep Struktur Sosial, Struktur Biososial, Sosial dan Umum Masyarakat Desa; Pola Kehidupan Masyarakat Desa didalamnya dibahas: 1) Tradisi dan Hukum Adat, 2) Kelembagaan Pada Masyarakat Desa didalamnya dibahas: a) Lembaga Sosial dan Lembaga Pemerintah Desa, b) Lembaga-lembaga Sosial Lain, Lama dan Baru; 3) Masyarakat Desa Sebagai Komunitas yang dibahas didalamnya yaitu a) Konsep dan Tipe-tipe Umum Komunitas Desa, b) Komunitas Peasan; 4) Sistem Ekonomi Masyarakat Desa yang dibahas didalamnya yaitu: a) Sistem Ekonomi Pertanian Mayarakat Desa, b) Faktor-faktor Determinan Dalam Sistem Ekonomi Desa, dan c) Sistem Status Dalam Pelapisan Masyarakat.
B. KOMPETENSI DASAR Setelah mempelajari pokok bahasan ini, diharapkan mahasiswa dapat memahami Konsep Struktur Sosial, Struktur Biososial, Sosial Umum dan Masyarakat Desa.
C. TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mempelajari pokok bahasan ini, diharapkan mahasiswa dapat : 1. Menjelaskan konsep struktur sosial ! 2. Mendeskripsikan struktur Biososial ! 3. Menjelaskan pengertian sosial umum ! 4. Menjelaskan pengertian masyarakat desa ! 5. Menceritakan tradisi dan hukum adat di desa ! 6. Menjelaskan kelembagaan pada masyarakat desa ! 7. Menjelaskan masyarakat desa sebagai komunitas ! 8. Menjelaskan sistem ekonomi masyarakat desa !
D. KEGIATAN BELAJAR
E. URAIAN MATERI
15
1. Konsep Struktur Sosial Konsep
struktur
sosial
terkandung
pengertian
adanya
hubungan-hubungan yang jelas dan teratur antara orang yang satu dengan yang lainnya. Untuk dapat membangun pola hubungan yang jelas dan teratur tersebut tentu ada ‘aturan main’ yang diakui dan dianut oleh pihak-pihak yang terlibat. Aturan main tersebut adalah norma atau kaidah. Norma atau kaidah ini menjadi lebih konkret dan bersifat mengikat maka diperlukan lembaga (institusi). Pitirin Sorokin membedakan struktur sosial menjadi dua yaitu struktur sosial vertikal dan struktur sosial horizontal. Lebih lanjut Sorokin mengatakan bahwa struktur sosial vertikal (pelapisan/ stratifikasi sosial) menggambarkan kelompok-kelompok sosial dalam susunan yang bersifat hierarkis, sedangkan struktur sosial horizontal (diferensiasi sosial) menggambarkan variasi/beragamnya dalam pengelompokan-pengelompokan sosial. Selanjutnya Smith dan Zopf mengemukakan pendapat tentang pola pemukiman. Menurut mereka pola pemukiman berkaitan dengan hubungan-hubungan keruangan (spatial) antara pemukiman penduduk desa yang satu dengan pemukiman penduduk yang lain dan dengan lahan pertanian mereka. Paul H. Landis menggambarkan adanya empat tipe pola pemukiman yaitu pola pemukiman yaitu: 1) mengelompok murni, 2) mengelompok tidak murni, 3) menyebar teratur, dan 4) menyebar tidak teratur. Lebih lanjut Landis menjelaskan bahwa tipe pola pemukiman mengelompok murni yang paling dominan di dunia, sedangkan yang paling ideal adalah pola pemukiman tipe menyebar teratur. Di Indonesia, terutama di Jawa cenderung memperlihatkan pola pemukiman tipe mengelompok murni.
16
2. Struktur Biososial dan Masyarakat Desa Struktur biososial adalah struktur sosial (vertikal maupun horizontal) yang berkaitan dengan faktor-faktor biologis seperti jenis kelamin, usia, perkawinan, suku bangsa dan lainnya. Keterkaitan antara faktor biologis dan struktur sosial diperlihatkan melalui sifat mata pencaharian, di mana ketika masyarakat masih pada taraf food gathering economic sampai dengan ketika bercocok tanam, maka pengalaman dan tenaga fisik menjadi faktor yang dominan. Dengan demikian orang yang lebih tua dan orang yang secara fisik lebih kuat (laki-laki dianggap lebih kuat dibandingkan perempuan) menempati kedudukan sosial yang tinggi. Struktur sosial vertikal (stratifikasi/ pelapisan sosial) merupakan gambaran dari kelompok-kelompok sosial dalam susunan hierarkis. Untuk mengenalinya maka digunakan lambang status (status symbols). Sutardjo Kartohadikoesoemo mengklasifikasikan penduduk desa di Jawa menjadi beberapa lapisan sosial berdasarkan faktor pemilikan/penguasaan lahan pertanian, yaitu: 1) warga desa yang memiliki tanah pertanian, rumah dan tanah pekarangan, 2a) warga desa yang mempunyai rumah dan tanah pekarangan, 2b) warga desa yang mempunyai rumah di atas pekarangan orang lain, 3a) warga desa yang kawin dan mondok di rumah orang lain, dan 3b) pemuda yang belum kawin. Berdasarkan kerangka dari Smith dan Zopf, pelapisan sosial masyarakat desa di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan kriteria yaitu: 1) luas/sempitnya pemilikan atau penguasaan tanah, 2) adanya pihak lain di luar sektor pertanian, 3) sistem persewaan atau penguasaan tanah, dan 4) sifat pekerjaan. Sedangkan struktur sosial horizontal merupakan gambaran mengenai keberagaman pengelompokan sosial dalam masyarakat. Secara umum masyarakat desa merupakan komunitas yang kecil sehingga antara orang yang satu dengan yang lainnya terdapat
17
kemungkinan yang besar untuk saling berhubungan secara langsung dan saling mengenal secara “pribadi”. Hubungan semacam ini disebut hubungan primer dan kelompoknya disebut kelompok primer. Kelompok primer yang utama dalam masyarakat adalah keluarga, lalu ketetanggaan dan komunitas. Keluarga merupakan kelompok sosial yang mempunyai peran dan pengaruh yang paling dominan. Smith dan Zopf secara umum membedakan dua pola umum desa yaitu: 1) desa sistem satu kelas, dan 2) desa sistem dua kelas. Desa sistem satu kelas yaitu desa di mana pemilikan lahan pertanian penduduk mempunyai luas yang rata-rata sama. Sedangkan desa sistem dua kelas adalah tipe desa di mana terdapat perbedaan yang mencolok dalam luas pemilikan lahan pertanian. Di dalam desa sistem satu kelas terdapat pelapisan/stratifikasi sosial, sedangkan di dalam desa sistem dua kelas terdapat polarisasi sosial.
3. Pola Kehidupan Masyarakat Desa Untuk
menganalisa
masyarakat
pedesaan
yang
bersifat
bersahaja maka diperlukan konsep kebudayaan yang sederhana pula yaitu kebudayaan dilihat dari aspek kebudayaan dan non-kebudayaan (immaterial culture). Dengan kata lain kebudayaan dilihat sebagai suatu sistem nilai dan norma (adat-istiadat) yang mengatur perilaku dan perikehidupan masyarakat desa. Pola kebudayaan masyarakat desa termasuk pola kebudayaan tradisional, yaitu merupakan produk dari pengaruh alam terhadap masyarakat yang hidupnya tergantung pada alam. Menurut Paul H. Landis besar kecilnya pengaruh alam terhadap pola kebudayaan tradisional ditentukan oleh: 1) sejauh mana ketergantungan terhadap alam, 2) tingkat teknologi yang dimiliki, dan 3) sistem produksi yang diterapkan. Selanjutnya Paul H. Landis juga mengemukakan ciri-ciri kebudayaan tradisional yaitu: 1) adaptasinya pasif, 2) rendahnya tingkat invasi, 3) tebalnya rasa kolektivitas, 4) kebiasaan hidup yang
18
lamban, 5) kepercayaan kepada takhayul, 6) kebutuhan material yang bersahaja, 7) rendahnya kesadaran terhadap waktu, 8) cenderung bersifat praktis, dan 9) standar moral yang kaku. Perlu di ingat bahwa persyaratan bagi eksistensi pola kebudayaan tradisional tidak hanya menyangkut kesembilan ciri-ciri di atas, melainkan juga harus memperhitungkan kekuatan-kekuatan luar desa (supradesa) seperti pengaruh struktur kekuatan tertentu yang mendominasi desa. Pelbagai kerajaan yang tersebar di persada Nusantara memiliki pengaruh yang sangat menentukan bagi pola kebudayaan masyarakat desa. Pengaruh kerajaan juga menyangkut masalah penguasaan kerajaan terhadap tanah pertanian (sistem feodalisme) sehingga masyarakat desa memiliki ketergantungan yang tinggi pada kerajaan. Di daerah-daerah yang tidak terdapat kerajaan maka sistem kekerabatan mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi keberadaan pola kebudayaan tradisional. Dengan kata lain, pola kebudayaan mereka identik dengan sistem kekerabatannya.
1. Tradisi dan Hukum Adat Berbicara mengenai tradisi dapat dibedakan tradisi sinkronik dan tradisi diakronik. Dalam pengertian tradisi diakronik, antara yang tradisional dengan yang modern tidak dapat dipertemukan atau dipersatukan. Sedangkan dalam tradisi sinkronik, tradisi justru bersifat situasional. Pengertian tradisi dan adat istiadat dikonkretkan lagi menjadi hukum adat. Pengertian hukum adat di sini lebih mengacu pada pengertian hukum asli yang ada di pelbagai daerah di Indonesia. Hukum adat yang mengatur kehidupan masyarakat di pelbagai daerah di Indonesia ini tidak terlepas dari pengaruh luar, misalnya pengaruh dari agama Hindu, Islam, dan pemerintahan kolonial. Untuk memperoleh gambaran umum mengenai hukum adat di Indonesia, perlu dibedakan dua tipe desa berdasarkan perbedaan integritas masyarakatnya yaitu desa-desa di luar Jawa dan desa-desa di
19
Jawa. Integritas desa-desa di luar Jawa didasarkan atas hubungan darah (genealogis), sedangkan integritas desa-desa di Jawa lebih didasarkan pada ikatan hubungan daerah (geografis). Pada masyarakat yang integritasnya didasarkan pada ikatan darah maka hukum adatnya kurang memiliki kekuatan pengikat dan pengendali dibandingkan dengan hukum adat pada masyarakat yang integritasnya tidak didasarkan pada ikatan darah. Untuk desa-desa di Jawa umumnya, di daerah pedalaman khususnya, melemahnya tradisi serta hukum adat bukan saja karena sifatnya sebagai tipe desa geografis, melainkan terutama untuk intervensi yang dilancarkan oleh kekuatan-kekuatan luar desa (supradesa). Kekuatan supradesa ini adalah dari kekuatan kerajaan dan pemerintah kolonial.
2. Kelembagaan Pada Masyarakat Desa a. Lembaga Sosial dan Lembaga Pemerintah Desa Lembaga bisa diciptakan dengan sengaja (enacted institutions) untuk memenuhi tugas-tugas tertentu maupun secara tidak sengaja. Lembaga sosial mempunyai sifat dinamis, yaitu berubah seiring dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini mengakibatkan munculnya lembaga-lembaga baru dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat. Di dalam suatu masyarakat meskipun terdapat lebih dari satu lembaga biasanya terdapat satu lembaga yang berada dalam kedudukan teratas dan mendominasi lembaga-lembaga lainnya. Bagi masyarakat desa, lembaga-lembaga dominan ini bisa diwakili oleh lembaga adat maupun lembaga pemerintahan. Besarnya peranan lembaga pemerintahan itu berbeda pada semua desa Pada desa dengan ikatan genealogis peranan lembaga pemerintahan ini tidak terlalu besar karena sistem kekerabatan dengan aturan adatistiadatnya sangat mendominasi dalam kehidupan masyarakat desa. 20
Sedangkan pada desa dengan ikatan kedaerahan peranan lembaga pemerintahan cukup besar. Ketika negara Indonesia belum lahir peranan lembaga pemerintahan desa secara umum sangat besar karena pada umumnya desa-desa tersebut hidup mandiri. Akan tetapi ketika negara Republik Indonesia lahir, lembaga pemerintahan desa yang terbentuk berdasarkan hukum adat atau tradisi mulai kehilangan tempat berpijak digantikan oleh lembaga pemerintahan baru yang bersifat nasional berlandaskan peraturan-peraturan formal (Undang-Undang No. 5 Tahun 1979). b. Lembaga-lembaga Sosial Lain, Lama dan Baru Keberadaan lembaga merupakan respons terhadap kebutuhan masyarakat sehingga ketika ada kebutuhan baru maka terdapat pula tuntutan atas munculnya lembaga baru. Dengan demikian lembagalembaga lama mengalami pergeseran dan perubahan. Sebagai contoh adalah lembaga gotong-royong. Gotong-royong yang disebut sambatan yang lebih mengandalkan barter tenaga telah bergeser ke sistem upah. Sistem bagi hasil semakin tergeser oleh sistem persewaan.Gotong-royong yang dilandasi oleh partisipasi berubah menjadi kerja bakti yang lebih dilandasi oleh mobilisasi. Lembaga pemerintahan desa lama keberadaannya semakin terdesak dan tergantikan oleh lembaga pemerintahan baru. Keberadaan beberapa lembaga baru ini memang sesuai dengan tuntutan perkembangan, namun untuk lembaga-lembaga baru lainnya belum tentu sesuai. Lembaga-lembaga baru di desa-desa saat ini sebenarnya tidak seluruhnya telah dapat disebut lembaga dalam arti yang sebenarnya, melainkan merupakan badan-badan. Yang dimaksudkan dengan badan-badan disini yaitu organisasiorganisasi, atau kegiatan-kegiatan yang bersifat sementara yang keberadaannya berkaitan dengan pelaksanaan suatu program pembangunan tertentu.
21
3. Masyarakat Desa Sebagai Komunitas a. Konsep dan Tipe-tipe Umum Komunitas Desa Ada beberapa definisi yang mencoba menjelaskan tentang perbedaan pengertian society dan community. Akan tetapi pada dasarnya komunitas itu mempunyai dua karakteristik yaitu adanya 1) ikatan kedaerahan, dan 2) ikatan emosional di antara warganya. Pada pembahasan ini komunitas desa diartikan sebagai komunitas kecil yang relatif masih bersahaja, yang masih jelas memiliki ketergantungan terhadap tempat tinggal (lingkungan) mereka entah sebagai petani, nelayan atau yang lainnya. Corak dan sifat komunitas desa didasarkan pada sistem mata pencaharian pokok mereka yaitu sistem pertaniannya. Sistem pertanian lahan kering akan menciptakan tipe komunitas yang berbeda dengan sistem pertanian lahan basah. Di samping itu jenisjenis tanaman juga akan menyebabkan perbedaan tipe komunitas. D. Whittlesey mengemukakan tentang sembilan corak sistem pertanian yaitu: 1) bercocok tanam di ladang berpindah, 2) bercocok tanam tanpa irigasi menetap, 3) bercocok tanam menetap dan intensif dengan irigasi sederhana dan tanaman pokok padi, 4) bercocok tanam menetap dan intensif dengan irigasi sederhana tanpa padi, 5) bercocok tanam sekitar Lautan Tengah, 6) pertanian buah-buahan,
7)
pertanian
komersial
dengan
mekanisasi
berdasarkan tanaman gandum, 8) pertanian komersial dengan mekanisasi, dan 9) pertanian perkebunan dengan mekanisasi. Perlu diingatkan bahwa selain komunitas desa pertanian terdapat pula komunitas desa nelayan. Faktor penentu struktur komunitas desa nelayan adalah pemilikan sarana menangkap ikan (perahu, jaring-jaring, harpun, dan lainnya). Secara umum terdapat dua strata pokok dalam struktur masyarakat desa nelayan yaitu juragan dan buruh nelayan. Selain itu terdapat pula strata komando kapal yang posisinya ada di tengah-tengah kedua strata tersebut. 22
Kondisi komunitas desa nelayan ini ternyata lebih miskin dibanding komunitas desa pertanian.
b. Komunitas Peasan Pada sistem kehidupan peasan yang bersifat subsisten, artinya masyarakat dengan tingkat hidup yang minimal atau hanya sekedar untuk hidup. Sistem kehidupan subsisten ini bisa dikarenakan faktor kultural, yaitu sudah menjadi way of life yang diyakini dan membudaya di antara kelompok masyarakat, bisa pula karena faktor struktural yaitu karena faktor kepemilikan tanah. Sehubungan dengan pola kebudayaan subsisten peasan, Everett M. Rogers mengemukakan tentang karakteristik dari subkultur
peasan
yaitu
saling
tidak
mempercayai
dalam
berhubungan antara satu dengan yang lainnya, pemahaman tentang keterbatasan segala sesuatu di dunia, sikap tergantung sekaligus bermusuhan terhadap kekuasaan, familisme yang tebal, tingkat inovasi yang rendah, fatalisme, tingkat aspirasi yang rendah, kurangnya sikap penangguhan kepuasan, pandangan yang sempit mengenai dunia, dan derajat empati yang rendah. Karakteristik sebagaimana dikemukakan oleh Everett M. Rogers tersebut di atas tidak semua cocok dengan karakteristik peasan di Indonesia. Peasan di Indonesia lebih cenderung saling mempercayai antara satu dengan yang lainnya sehingga menimbulkan kebersamaan/ kolektivitas yang tinggi.
4. Sistem Ekonomi Masyarakat Desa a. Sistem Ekonomi Pertanian Mayarakat Desa Sistem ekonomi masyarakat desa terkait erat dengan sistem pertaniannya. Akan tetapi sistem pertanian masyarakat desa tidak hanya
mencerminkan
sistem
ekonominya
melainkan
juga
mencerminkan sistem nilai, norma-norma sosial atau tradisi, adat
23
istiadat serta aspek-aspek kebudayaan lainnya. Pengertian di atas menunjukkan
bahwa
masyarakat
desa
menyikapi
sistem
pertaniannya sebagai way of life. Sistem pertanian yang ada di Indonesia berdasarkan pembagian dari D. Whitlesey meliputi: tipe bercocok tanam di ladang, bercocok tanam tanpa irigasi yang menetap, bercocok tanam yang menetap dan intensif dengan irigasi sederhana berdasarkan tanaman pokok padi, dan pertanian buah-buahan. Sedangkan berdasarkan pembagian dari Frithjof di Indonesia terdapat dua tipe sistem pertanian yaitu perladangan berpindah, pertanian keluarga, dan pertanian kapitalistik. Sedangkan Dr. Murbyarto membedakan dua sistem pertanian yaitu pertanian rakyat dan perusahaan pertanian. Dalam kaitan dengan sistem ekonomi maka sistem pertanian meliputi tiga era, yaitu: 1) era bercocok tanam yang bersahaja, 2) era pertanian prakapitalistik, dan 3) era pertanian kapitalistik. Pada awal ditemukannya cocok tanam, kegiatan pertanian nenek moyang kita hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri, belum melembaga sebagai pertukaran. Sedangkan pada era prakapitalistik, bercocok tanam tidak lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan pangan melainkan juga mencakup kebutuhan-kebutuhan lain di luar kebutuhan pangan. Pada era inilah sistem pertanian mulai identik dengan sistem ekonomi. Pada era kapitalistik, sistem pertanian tidak hanya dikelola untuk sekedar memenuhi kebutuhan keluarga melainkan dengan sengaja dan sadar diarahkan untuk meraih keuntungan (profit oriented). Keterkaitan
sistem
ekonomi
dengan
sistem
sosial
berhubungan dengan tingkat penggunaan teknologinya. Pada masyarakat petani yang belum menggunakan teknologi modern dan belum komersial, maka hubungan-hubungan sosial yang ada menunjukkan keakraban, serba informal, serta permisif. Di lain
24
pihak pertanian yang dikelola dengan menggunakan teknologi modern, hubungan sosialnya cenderung tidak lagi akrab, tidak informal dan tidak permisif. b. Faktor-faktor Determinan Dalam Sistem Ekonomi Desa Dalam sistem ekonomi desa terdapat tiga faktor determinan yaitu: 1) keluarga, 2) lahan pertanian, dan 3) pasar. Menurut J.H. Boeke keluarga pada masyarakat desa itu merupakan unit untuk swasembada, artinya keluarga mewujudkan suatu unit yang mandiri yang dapat menghidupi keluarga itu sendiri lewat kegiatan pertaniannya. Di lain pihak A.V. Chaianov berpendapat bahwa ekonomi petani pra-kapitalistik (peasan) merupakan ekonomi keluarga, sehingga pengertian laba pada sistem ekonomi ini sangat berbeda dengan pengertian laba pada perekonomian kapitalistik. Sedangkan faktor determinan lahan pertanian terkait dengan pemilikan dan penggunaan lahan. Sehubungan dengan hal ini maka kondisi fisik dan jenis tanaman juga sangat berpengaruh terhadap sistem ekonomi/pertanian. Di lain pihak faktor determinan pasar menunjukkan adanya hubungan antara masyarakat desa dengan pihak-pihak lainnya. Hubungan ini tidak hanya bersifat ekonomi saja, melainkan juga bersifat sosial dan budaya.
c. Sistem Status Dalam Pelapisan Masyarakat Sekitar
tahun
1900,
Belanda
berhasil
memperluas
kekuasaannya di seluruh kepuluan Indonesia. Pelapisan masyarakat kolonial menurut garis Ras, yang lazim terdapat di Jawa, mulai meluas ke pulau-pulau seberang. Tetapi dalam pada itu di abad ke20 terjadi perkembangan dinamis yang menerobos pola yang kaku ini dan meningkatkan mobilitas sosial. Di pulau-pulau seberang, uanglah terutama yang melakukan pendobrak sistem lama. Para pedagang kota di Indonesialah yang pada pokoknya melakukan pemborontakan menentang tradisi dan kekuasaan suku. Penanaman 25
tanam-tanaman yang hasilnya untuk di jual di daerah-daerah yang luas. Kota juga telah menimbulkan bentuk faham individualisme ekonomi tertentu yang memberontak terhadap ikatan-ikatan tradisional dan terhadap kekuasaan ketua-ketua adat. Kemakmuran kebendaan yang dicapai oleh banyak petani dan pedagng telah menyebabkan mereka itu berjuang untuk memperoleh suatu prestise sosial yang sama dengan yang dimiliki ketua-ketua adat dan menuntut agar mereka mempunyai hak kawin dengan kelas ketua-ketua adat. Pendidikan juga mempunyai pengaruh dinamis di luar pulaupulau jawa, walaupun tidak sehebat di Jawa. Untuk para cendekiawan tidak ada atau sedikit sekali pekerjaan di ladang atau di daerah karet, lebih kecil dibandingkan dengan di Jawa karena itu kebanyakkan orang-orang yang mendapatkan pendidikan dengan cara Barat berkumpul di Jawa ketika bersekolah dan setelah selesai sekolah. Pada tahun 1900, di Jawa bertambah lulusan sekolah meningkatnya perbedaan profesi. Bertambah meluasnya ekonomi uang
dan
meningkatnya
hubungan
dengan
Barat
telah
menyebabkan timbulnya lapangan kerja baru, seperti: sopir, montir, masinis dan mandor. Lalu timbullah suatu kelompok baru yang naik sampai ke suatu tingkat di atas masyarakat pada umumnya karena kemampuan tekhnis mereka. Orang Indonesia semakin banyak bekerja di bidang perdagangan di banding dengan sebelumnya. Terlepas dari bentuk pendidikan yang diberikan dan sebagaimana lumrahnya pendidikan itu bertentangan sekali dengan konsep-konsep
Bumiputera
tradisional,
kenyataan
adanya
pendidikan itu saja telah mendobrak struktur masyarakat pertanian. Walaupun sekolah-sekolah mencoba sekuat mungkin untuk menyesuaikan
pendidikannya
dengan
keadaan
masyarakat
pertanian, orang-orang yang umumnya mendapat pendidikan
26
pertanian atau pendidikan tekhnis sekalipun amat cenderung untuk mencari pekerjaan di kota-kota, di mana mereka dapat mencapai prestise yang lebih tinggi. Hal itu terjadi sampai dengan saat ini, dimana banyak generasi muda datang sekolah di kota dan tidak mau kembali lagi ke dasa asalanya untuk membangun desa tersebut.
F. RANGKUMAN Struktur sosial dibedakan menjadi dua yaitu struktur sosial vertikal dan struktur sosial horizontal. Lebih lanjut Sorokin mengatakan bahwa struktur sosial vertikal (pelapisan/ stratifikasi sosial) menggambarkan kelompok-kelompok sosial dalam susunan yang bersifat hierarkis, sedangkan struktur sosial horizontal (diferensiasi sosial) menggambarkan variasi/beragamnya dalam pengelompokan-pengelompokan sosial. Pola kebudayaan masyarakat desa termasuk pola kebudayaan tradisional, yaitu merupakan produk dari pengaruh alam terhadap masyarakat yang hidupnya tergantung pada alam. Menurut Paul H. Landis besar kecilnya pengaruh alam terhadap pola kebudayaan tradisional ditentukan oleh: 1) sejauh mana ketergantungan terhadap alam, 2) tingkat teknologi yang dimiliki, dan 3) sistem produksi yang diterapkan. Tradisi dapat dibedakan tradisi sinkronik dan tradisi diakronik. Dalam pengertian tradisi diakronik, antara yang tradisional dengan yang modern tidak dapat dipertemukan atau dipersatukan. Sedangkan dalam tradisi sinkronik, tradisi justru bersifat situasional. Pada dasarnya komunitas itu mempunyai dua karakteristik yaitu adanya 1) ikatan kedaerahan, dan 2) ikatan emosional di antara warganya. Pada pembahasan ini komunitas desa diartikan sebagai komunitas kecil yang relatif masih bersahaja, yang masih jelas memiliki ketergantungan terhadap tempat tinggal (lingkungan) mereka entah sebagai petani, nelayan atau yang lainnya. tiga faktor determinan yaitu: 1) keluarga, 2) lahan pertanian, dan 3) pasar. Menurut J.H. Boeke keluarga pada masyarakat desa itu merupakan unit untuk swasembada, artinya keluarga mewujudkan suatu unit yang mandiri yang dapat menghidupi keluarga itu sendiri lewat kegiatan pertaniannya.
27
G. SOAL-SOAL LATIHAN Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! Lambang status adalah semua hal atau benda yang menjadi pertanda dari suatu lapisan sosial seperti kekayaan, gaya hidup, pendidikan, keturunan, dan sebagainya. Lambang status ini dianggap mempunyai ‘nilai’ di dalam masyarakat. Jelaskan !
28
BAB III TIPOLOGI DESA DAN PERUBAHAN MASYARAKAT DESA
A. DESKRIPSI Dalam Bab ini dikaji: Tipologi Desa Berdasarkan Sistem Ikatan Kekerabatan; Tipologi Desa Berdasarkan Hamparan Tempat Tinggal; Tipologi Desa Berdasarkan Pola Pemukiman; Tipologi Desa Berdasarkan mata pencaharian; Tipologi Desa Berdasarkan Kegiatannya; Tipologi Desa Berdasarkan Perkembangannya; Perubahan Sosial Dalam Masyarakat dan Bentuk Serta Dampaknya; dan Dampak dari Perubahan sosial B. KOMPETENSI DASAR Setelah mempelajari pokok bahasan ini, diharapkan mahasiswa dapat memahami tipologi desa berdasarkan sistem ikatan kekerabatan; tipologi desa berdasarkan hamparan tempat tinggal; tipologi desa berdasarkan pola pemukiman; tipologi desa berdasarkan mata pencaharian; tipologi desa berdasarkan kegiatannya; tipologi desa berdasarkan perkembangannya; perubahan sosial dalam masyarakat dan bentuk serta dampaknya; dan dampak dari perubahan sosial C. TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mempelajari pokok bahasan ini, diharapkan mahasiswa dapat : 1. Menjelaskan tipologi desa berdasarkan sistem ikatan kekerabatan; 2. Menjelaskan tipologi desa berdasarkan tempat tinggal; 3. Menjelaskan tipologi desa berdasarkan pola pemukiman; 4. Menjelaskan tipologi desa berdasarkan mata pencaharian; 5. Menjelaskan tipologi desa berdasarkan kegiatannya; 6. Menjelaskan tipologi desa berdasarkan perkembangannya; 7. Menjelaskan perubahan sosial dalam masyarakat dan bentuk serta dampaknya; 8. Menjelaskan dampak dari perubahan sosial. D. KEGIATAN BELAJAR
E. URAIAN MATERI
29
1. Tipologi Desa Berdasarkan Sistem Ikatan Kekerabatan Berdasarkan ciri-ciri fisik desa dalam sistem kehidupan masyarakat, maka terbentuklah ikatan-ikatan kekerabatan di dalam wilayah pemukiman penduduk. Setidaknya ada tiga sistem ikatan kekerabatan yang membentuk tipe-tipe desa di Indonesia, yakni: a. Tipe Desa Geneologis, Suatu desa yang ditempati oleh sejumlah penduduk dimana masyarakatnya mempunyai ikatan secara keturunan atau masih mempunyai hubungan pertalian darah. Desa yang terbentuk secara
geneologis
dapat
dibedakan
atas tipe
patrilineal,
matrilineal, dan campuran. b. Tipe Desa Teritorial, Suatu desa yang ditempati sejumlah penduduk atas dasar suka rela. Desa
teritorial
terbentuk
menjadi
tempat
pemukiman
penduduk berdasarkan kepentingan bersama, dengan demikian mereka tinggal di suatu desa yang menjadi suatu masyarakat hukum dimana ikatan warganya didasarkan atas ikatan daerah, tempat atau wilayah tertentu. c. Tipe Desa Campuran, Suatu desa dimana penduduknya mempunyai ikatan keturunan dan wilayah. Dalam bentuk ini, ikatan darah dan ikatan wilayah sama kuatnya.
2. Tipologi Desa Berdasarkan Hamparan Tempat Tinggal Berdasarkan
hamparan
tempat
tinggal,
maka
desa
dapat
diklasifikasikan atas: a. Desa Pedalaman Desa-desa yang tersebar di berbagai pelosok yang jauh dari kehidupan kota. Suasana ideal desa pedalaman pada umumnya lebih diwarnai dengan nuansa kedamaian, yaitu kehidupan sederhana, sunyi, sepi dalam lingkungan alam yang bersahabat.
30
b.Desa Pegunungan Desa terdapat didaerah pegunungan, pemusatan tersebut di dorong kegotong-royongan penduduknya. Pertambahan penduduk memekarkan desa pegunungan itu ke segala arah, tanpa rencana. Pusat-pusat kegiatan penduduk bergeser mengikuti pemekaran desa. c. Desa Dataran Tinggi Desa yang berada di daerah pegunungan. Permukiman penduduk di sini umumnya memanjang sejajar dengan jalan raya yang menembus desa tsb. Jika desa mekar secara alami, tanah pertanian di luar desa sepanjang jalan raya menjadi permukiman baru. Ada kalanya pemekaran ke arah dalam (di belakang permukiman lama). Lalu dibuat
jalan raya
mengelilingi desa (ring road)
agar
permukiman baru tak terpencil. d. Desa Dataran Rendah Desa yang letaknya berada di dataran rendah dan mata pencaharian dari desa dataran rendah biasanya bergantung pada sektor pertanian. e. Desa Pesisir/Pantai Desa yang berada di daerah pantai, dapat tumbuh permukiman yang bermatapencarian di bidang perikanan, perkebunan kelapa dan perdagangan. Perluasan desa pantai itu dengan cara menyambung sepanjang pesisir, sampai bertemu dengan desa pantai lainnya. Pusat-pusat kegiatan industri kecil (perikanan, pertanian) tetap dipertahankan di dekat tempat tinggal semula.
3. Tipologi Desa Berdasarkan Pola Pemukiman Menurut Paul Landis (1948) pada dasarnya terdapat empat tipe desa pertanian: a. Farm Village Type,
31
Suatu desa dimana orang bermukim secara besama-sama dalam suatu tempat dengan sawah ladang yang berada di sekitar tempat mereka. Tipe desa seperti ini banyak dijumpai di Asia Tenggara termasuk Indonesia. b. Nebulous Farm Village Type, Suatu desa dimana penduduknya bermukim bersama di suatu tempat, dan sebagian lainnya menyebar di luar pemukiman tersebut bersama sawah ladangnya. c. Arranged Isolated Farm Type, Suatu desa dimana penduduknya bermukim di sekitar jalan-jalan yang menghubungkan dengan pusat perdagangan (trade center) dan selebihnya adalah sawah ladang mereka. d. Pure isolated farm type, Suatu desa di mana penduduknya bermukim secara tersebar bersama sawah ladang mereka masing-masing. Soekandar Wiriaatmadja (1972) membagi pola pemukiman di pedesaan ke dalam empat pola, yakni: a. Pola Pemukiman Menyebar Rumah-rumah para petani tersebar berjauhan satu sama lain. Pola ini terjadi karena belum adanya jalan-jalan besar, sedangkan orangorang harus mengerjakan tanahnya secara terus menerus. Dengan demikian, orang-orang tersebut terpaksa harus bertempat tinggal di dalam lahan mereka. b. Pola Permukiman Memanjang Bentuk pemukiman yang terlentak di sepanjang jalan raya atau di sepanjang sungai, sedangkan tanah pertaniannya berada di belakang rumahnya masing-masing. c. Pola Permukiman Berkumpul Bentuk pemukiman di mana rumah-rumah penduduk berkumpul dalam sebuah kampung, sedangkan tanah pertaniannya berada di luar kampung.
32
d. Pola Permukiman Melingkar Bentuk pemukiman di mana rumah-rumah penduduk melingkar mengikuti tepi jalan, sedangkan tanah pertaniannya berada di belakangnya.
4. Tipologi Desa Berdasarkan mata pencaharian Tipe masyarakat desa berdasarkan mata pencaharian pokok dapat diklasifikasikan dalam desa pertanian dan desa industri. a. Desa Pertanian terdiri atas: 1) desa pertanian dalam artian sempit yang meliputi: desa pertanian lahan basah dan lahan kering. 2) desa dalam artian luas yang meliputi: desa perkebunan milik rakyat, desa perkebunan milik swasta, desa nelayan tambak, desa nelayan laut, dan desa peternakan. b. Desa Industri yang memproduksi alat pertanian secara tradisional maupun modern.
5. Tipologi Desa Berdasarkan Kegiatannya Tipe desa berdasarkan kegiatannya dapat dikelompokan menjadi: a. Desa Agrobisnis adalah desa yang berorentasi pada sektor pertanian terutama pada sektor perdagangan produk hasil pertanian tersebut. b. Desa Agroindustri adalah desa yang berorientasi pada sektor pertanian terutama dalam bidang industri pertanian tersebut, baik dari segi teknologi pertanian maupun yang lainnya c. Desa Parawisata adalah desa yang berada di suatu daerah pariwisata dan mata pencaharian serta keseharian dari masyarakat desa tersebut sangat bergantung dari usaha yang mengandalkan sektor pariwisata dari desa tersebut. d. Desa non Pertanian adalah desa yang di dalam lingkungan desa tersebut tidak ada lagi terlaksana kegiatan pertanian, melainkan
33
usaha usaha yang dilakukan oleh masyarakat penduduk yang tinggal di desa tersebut yaitu berusaha bekerja di luar sektor pertanian. Contohnya dengan berdagang.
6.
Tipologi Desa Berdasarkan Perkembangannya Berdasarkan perkembangannya, tipe desa di Indonesia terbagi atas empat tipe, yakni: a. Pra desa (Desa Tradisional) Tipe desa semacam ini pada umumnya dijumpai dalam kehidupan masyarakat
adat
masyarakatnya
terpencil,
dimana
seluruh
kehidupan
termasuk teknologi bercocok tanam,
cara m
emelihara kesehatan, cara makan dan sebagainya masih sangat tergantung pada alam sekeliling mereka. Tipe desa seperti ini cenderung bersifat sporadis dan sementara.
b. Desa Swadaya (Desa terbelakang) Suatu
wilayah
desa
dimana
memenuhi kebutuhannya dengan Desa ini umumnya terpencil
masyarakat cara dan
sebagian
besar
mengadakan
sendiri.
masyarakatnya
jarang b
erhubungan dengan masyarakat luar, sehingga proses kemajuannya sangat lamban karena kurang berinteraksi dengan wilayah lain atau bahkan tidak sama sekali. Ciri-ciri desa swadaya yaitu: 1) daerahnya terisolir dengan daerah lainnya, 2) penduduknya jarang, 3) mata pencaharian homogen yang bersifat agraris, 4) bersifat tertutup, 5) masyarakat memegang teguh adat, 6) teknologi masih rendah, 7) sarana dan prasarana sangat kurang, 8) ,ubungan antarmanusia sangat erat, dan 9) pengawasan sosial dilakukan oleh keluarga.
34
c. Desa Swakarya (Desa sedang berkembang) Keadaannya sudah
lebih maju dibandingkan desa swadaya,
dimana masyarakatnya sudah mampu menjual kelebihan hasil produksi ke daerah lain disamping untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Interaksi sudah mulai nampak, walaupun intensitasnya belum terlalu sering. Ciri-ciri desa swakarya yaitu: 1) adanya pengaruh dari luar sehingga mengakibatkan perubahan pola piker, 2) masyarakat sudah mulai terlepas dari adat, 3) produktivitas mulai meningkat, 4) sarana prasarana mulai meningkat, 5) adanya pengaruh dari luar yang mengakibatkan perubahan cara berpikir.
d. Desa Swasembada (Desa maju) Desa swasembada (desa maju) adalah
desa
yang
sudah
mampu mengembangkan semua potensi yang dimiliki secara optimal. Hal ini ditandai dengan kemampuan masyarakatnya untuk mengadakan interaksi dengan masyarakat luar, melakukan tukar-menukar barang dengan wilayah lain (fungsi perdagangan) dan kemampuan untuk saling pengaruh- mempengaruhi dengan penduduk di wilayah lain. Hasil interaksi tersebut, masyarakat dapat menyerap teknologi baru untuk memanfaatkan sumber dayanya sehingga proses pembangunan berjalan dengan baik. Ciri-ciri desa swasembada yaitu: 1) hubungan antarmanusia bersifat rasional, 2) mata pencaharian homogen, 3) teknologi dan pendidikan tinggi, 4) produktifitas tinggi, 5) terlepas dari adat, dan 6) sarana dan prasarana lengkap dan modern.
7.
Perubahan
Sosial
Dalam
Masyarakat
dan
Bentuk
Serta
Dampaknya a. Proses Perubahan Sosial di Desa Proses
perubahan
sosial
merupakan
serangkaian
jalannya
perubahan yang dilalui dalam perkembangan masyarakat. Di
35
dalamnya
ada
penyesuaian-penyesuaian
yang
merupakan
serangkaian perubahan yang dilalui masyarakat. Ada dua bentuk proses perubahan yaitu: 1) individual proses dan 2) kolektif proses. Menurut Alvin B. Bertrand proses perubahan sosial terbagi tiga yaitu: a) proses Perubahan sosial diawali komunikasi sosial, b) dari komunikasi sosial akan melahirkan difungsi yang merupakan proses penyebaran unsur sosial budaya, c) masuknya unsur-unsur baru dalam masyarakat dapat melalui perembesan unsur sosial budaya secara damai. Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan budaya ; 1. Faktor
Internal
yaitu
Teknologi,
Inovasi,
Konflik
dan
Pertumbuhan Penduduk 2. Faktor Eksternal yaitu perubahan sosial karena faktor alam sekitar dan perubahan sosial karena faktor masyarakat lain ada juga faktor pendorong dan penghambat perubahan sosial. Faktor pendorong perubahan sosial yaitu pendidikan yang bermutu, komposisi penduduk yang beragam, Sistem sosial yang terbuka dan Sikap progresif. Sedangkan faktor penghambat peruabahan sosial yaitu: konservatisme elite, sistem sosial tertutup, pendidikan yang buruk dan komposisi penduduk homogen.
b. Bentuk dan Dampak Perubahan Sosial Desa Bentuk dari perubahan sosial antara lain : a) Perubahan Lambat (evolusi) dan Perubahan Cepat (revolusi) Perubahan lambat disebut juga evolusi. Perubahan tersebut terjadi karena usaha-usaha masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan dan kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Contoh perubahan evolusi adalah perubahan pada struktur masyarakat. Suatu masyarakat pada masa tertentu bentuknya sangat sederhana, namun karena
36
masyarakat mengalami perkembangan, maka bentuk yang sederhana tersebut akan berubah menjadi kompleks. Perubahan cepat disebut juga dengan revolusi, yaitu perubahan sosial mengenai
unsur-unsur
kehidupan
atau
lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang berlangsung relatif cepat. Seringkali perubahan revolusi diawali oleh munculnya konflik atau ketegangan dalam masyarakat, ketegangan-ketegangan tersebut sulit dihindari bahkan semakin berkembang dan tidak dapat dikendalikan. Terjadinya proses revolusi memerlukan persyaratan tertentu. Berikut ini beberapa persyaratan yang mendukung terciptanya revolusi : 1. Ada keinginan umum untuk mengadakan suatu perubahan. 2. Adanya seorang pemimpin atau sekelompok orang yang mampu memimpin masyarakat tersebut. 3. Harus bisa memanfaatkan momentum untuk melaksanakan revolusi. 4. Harus ada tujuan gerakan yang jelas dan dapat ditunjukkan kepada rakyat. 5. Kemampuan pemimpin dalam menampung, merumuskan, serta menegaskan rasa tidak puas masyarakat dan keinginankeinginan yang diharapkan untuk dijadikan program dan arah gerakan revolusi. b) Perubahan Kecil (Mikro) dan Perubahan Besar (Makro) Perubahan kecil adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau pengaruh yang berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan kecil adalah perubahan model rambut atau perubahan mode pakaian. Sebaliknya, perubahan besar adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang membawa pengaruh langsung atau pengaruh berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan besar
37
adalah dampak ledakan penduduk dan dampak industrialisasi bagi pola kehidupan masyarakat.
c) Perubahan yang Dikehendaki atau Direncanakan (Planed Change) dan Perubahan yang Tidak Dikehendaki atau Tidak Direncanakan (Unplaned Change) Perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan merupakan perubahan yang telah diperkirakan atau direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak melakukan perubahan di masyarakat. Pihak-pihak tersebut dinamakan agent of change, yaitu
seseorang
atau sekelompok orang
yang
mendapat
kepercayaan masyarakat untuk memimpin satu atau lebih lembaga-lembaga
kemasyarakatan
mengubah
sistem
suatu
sosial.
yang Contoh
bertujuan perubahan
untuk yang
dikehendaki adalah pelaksanaan pembangunan atau perubahan tatanan pemerintahan, misalnya perubahan tata pemerintahan Orde Baru menjadi tata pemerintahan Orde Reformasi. Perubahan yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan merupakan perubahan yang terjadi di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan.
8. Dampak dari Perubahan sosial Perubahan sosial budaya akan mengubah adat, kebiasaan, cara pandang, bahkan ideologi suatu masyarakat. Telah dijelaskan di depan bahwa perubahan sosial budaya dapat mengarah pada hal-hal positif (kemajuan) dan hal-hal negatif (kemunduran). Hal ini tentu saja memengaruhi pola dan perilaku masyarakatnya. Berikut ini hal-hal positif atau bentuk kemajuan akibat adanya perubahan sosial budaya.
38
a.
Terciptanya penemuan-penemuan baru yang dapat membantu aktivitas manusia.
b.
Munculnya tatanan kehidupan masyarakat baru yang lebih modern dan ideal.
c.
Memunculkan
ide-ide
budaya
baru
yang
sesuai
dengan
perkembangan zaman. d.
Membentuk pola pikir masyarakat yang lebih ilmiah dan rasional. Berikut ini hal-hal negatif atau bentuk kemunduran akibat adanya perubahan sosial budaya : a) Munculnya bentuk-bentuk penyimpangan sosial baru yang makin kompleks. b) Lunturnya kaidah-kaidah atau norma budaya lama, misalnya lunturnya kesadaran bergotong-royong di dalam kehidupan masyarakat. c) Tergesernya bentuk-bentuk budaya nasional oleh budaya asing yang terkadang tidak sesuai dengan kaidah budaya-budaya nasional. d) Adanya beberapa kelompok masyarakat yang mengalami ketertinggalan kemajuan budaya dan kemajuan zaman, baik dari sisi pola pikir ataupun dari sisi pola kehidupannya (cultural lag atau kesenjangan budaya).
F. RANGKUMAN Ada tiga sistem ikatan kekerabatan yang membentuk tipe-tipe desa di Indonesia, yakni: Tipe Desa Geneologis, Tipe Desa Teritorial, dan Tipe Desa Campuran, Berdasarkan hamparan tempat tinggal, maka desa dapat diklasifikasikan atas: a) desa pedalaman, b) desa dataran tinggi; c) desa dataran rendah, dan d) desa pesisir pantai. Menurut Paul Landis (1948) pada dasarnya terdapat empat tipe desa pertanian: a) Farm Village Type, b) Nebulous Farm Village Type, c) Arranged Isolated Farm Type, d) Pure isolated farm type. Tipe masyarakat desa berdasarkan mata pencaharian pokok dapat diklasifikasikan dalam desa pertanian dan desa industri.
39
a. Desa Pertanian terdiri atas: 1) desa pertanian dalam artian sempit yang meliputi: desa pertanian lahan basah dan lahan kering, 2) desa dalam artian luas yang meliputi: desa perkebunan milik rakyat, desa perkebunan milik swasta, desa nelayan tambak, desa nelayan laut, dan desa peternakan. b. Desa Industri yang memproduksi alat pertanian secara tradisional maupun modern. Tipe desa berdasarkan kegiatannya dapat dikelompokan menjadi: a) Desa Agrobisnis adalah desa yang berorentasi pada sektor pertanian terutama pada sektor perdagangan produk hasil pertanian tersebut, b) Desa Agroindustri adalah desa yang berorientasi pada sektor pertanian terutama dalam bidang industri pertanian tersebut, baik dari segi teknologi pertanian maupun yang lainnya, dan c) Desa Parawisata adalah desa yang berada di suatu daerah pariwisata dan mata pencaharian serta keseharian dari masyarakat desa tersebut sangat bergantung dari usaha yang mengandalkan sektor pariwisata dari desa tersebut, d) Desa non Pertanian adalah desa yang di dalam lingkungan desa tersebut tidak ada lagi terlaksana kegiatan pertanian, melainkan usaha usaha yang dilakukan oleh masyarakat penduduk yang tinggal di desa tersebut yaitu berusaha bekerja di luar sektor pertanian. Berdasarkan perkembangannya, tipe desa di Indonesia terbagi atas empat tipe, yakni: a) Pra desa (Desa Tradisional), b) desa Swadaya (Desa terbelakang), c) Desa Swakarya (Desa sedang berkembang), d) Desa Swasembada (Desa maju). Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan budaya ; 1. Faktor Internal yaitu Teknologi, Inovasi, Konflik dan Pertumbuhan Penduduk 2. Faktor Eksternal yaitu perubahan sosial karena faktor alam sekitar dan perubahan sosial karena faktor masyarakat lain ada juga faktor pendorong dan penghambat perubahan sosial;
G. SOAL-SOAL LATIHAN Kerjakan soal-soal di bawah ini dengan teliti ! 1. Jelaskan tipologi desa berdasarkan sistem ikatan kekerabatan ! 2. Jelaskan tipologi desa berdasarkan tempat tinggal ! 3. Jelaskan tipologi desa berdasarkan pola pemukiman ! 4. Jelaskan tipologi desa berdasarkan mata pencaharian ! 5. Jelaskan tipologi desa berdasarkan kegiatannya ! 6. Jelaskan tipologi desa berdasarkan perkembangannya ! 7. Jelaskan perubahan sosial dalam masyarakat dan bentuk serta dampaknya; 8. Jelaskan dampak dari perubahan sosial !
40