BAB I A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia pada saat ini menempati urutan ke empat terbesar di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Hal ini diperkuat dari data yang dipublikasikan oeh BPS pada bulan Agustus tahun 2010. Jumah penduduk Indonesia berdasarkan sensus sebesar 237.556.363 orang yang terdiri dari 119.507.580 orang laki-laki dan 118.048.783 orang perempuan. Data tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2011 sesuai dengan data yang dikeluarkan oleh BKKBN pusat pada tahun 2011 jumlah penduduk indonesia mencapai 241 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2012 akan mencapai 245 juta jiwa dengan asumsi peningkatan jumlah penduduk rata-rata pertahun sebesar 0,31 %. Dengan jumlah penduduk yang besar tersebut merupakan modal utama dalam melaksanakan pembangunan, hal tersebut akan menjamin adanya ketersediaan sumber daya manusia yang melimpah. Ditambah dengan kondisi geografis Indonesia yang mempunyai sumber daya alam yang kaya maka seharusnya Indonesia bisa menjadi negara yang makmur. Tetapi apabila SDM yang melimpah tersebut tidak dapat terkelola dengan baik maka akan menimbulkan masalah-masalah sosial di masyarakat antara lain masalah kemiskinan, pengangguran, dan lain-lain. Dari pemamaran fakta di atas Indonesia masih belum berhasil dalam mewujudkan Negara yang berkesejahteraan ( welfare state ). Hal ini jauh dari cita-cita luhur Bangsa yang ingin mewujudkan negara yang berkeadilan sosial yang termaktub dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 alinea ke empat yang menyatakan bahwa salah satu tujuan Negara adalah memajukan kesejahteraan umum. Hal ini diperkuat dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat 1 yang berbunyi “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Berdasarkan hal tersebut tugas dari pemerintah adalah melaksanakan berbagai upaya untuk 1
dapat mensejahterakan rakyatnya, seperti tertuang dalam UUD 1945 pasal 34 ayat 2 yang berbunyi “ Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh pemerintah untuk mensyejahterakan rakyatnya adalah persoalan kemiskinan yang sudah mengakar di masyarakat. Untuk itu diharapkan pemerintah dapat menerapkan formula dalam penanggulangan kemiskinan. Pada pemerintahan orde baru dalam penanggulangan kemiskinan mengunakan konsep Trilogi Pembanggunan, di mana pada konsep tersebut dalam menanggulangi kemiskinan pemerintah mengambil langkah yang komprehensif dan terpola yaitu salah satunya menggali akar penyebab terjadinya kemiskinan di masyarakat. Langkah-langkah yang diterapkan oleh pemerintah adalah menciptakan kondisi Negara yang stabil ( Stabilitas Nasional ), dengan asumsi apabila kondisi Negara stabil/aman maka pembangunan dapat dilaksanakan. Langkah kedua adalah menciptakan Pertumbuhan ekonomi sebagai soko guru pembangunan nasional. Contoh dari menciptakan pertumbuhan ekonomi pemerintah orde baru berhasil melaksanakan swasembada pangan dan pemerintah juga menciptakan blok blok pusat perekonomian. Langkah ketiga adalah pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, di sini pemerintah berusaha melakukan pemerataan pembangunan disegala bidang. Contoh dibidang pendidikan adanya program SD Inpres, dibidang kesehatan ada Puskesmas di tiap kecamatan dll. Program tersebut di atas bertujuan untuk mengangkat derajat hidup penduduk dengan cara memperbaiki infrastruktur lingkungan, membuka akses transaksi ekonomi, dan memberikan pelayanan dasar bagi masyarakat. Aspek yang dianggap penting dalam hal tersebut adalah dengan pemberdayaan masyarakat atau pendekatan pembangunan berbasis komunitas ( community-based development approach ). Dengan pelaksanaan tersebut pemerintah orde baru telah berhasil menurunkan angka kemiskinan sebesar 31,7 juta jiwa (
2
antara 1976 s/d 1996 ) dan angka head count index dalam periode waktu yang sama turun dari 40,08% menjadi 11,34%. Pada tahun 1996 perekonomian dunia menjadi lesu akibat resesi global hal tersebut berdampak pada jatuhnya perekonomian di Negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Pada tahun 1998 perekonomian Indonesia dihantam krisis ekonomi hal tersebut mengakibatkan melonjaknya angka kemiskinan di Indonesia menjadi 24% dari total jumlah penduduk di Indonesia kurang lebih hampir mencapai 40 juta jiwa ( Andri Patron dalam Daniel Sulekele, 2012 ). Semenjak krisis terebut maka orientasi terhadap tuntutan dan kebutuhan dalam upaya peningkatan taraf hidup masyarakat lebih diutamakan. Untuk membantu kaum miskin keluar dari lingkaran kemiskinan maka dibutuhkan kepedulian, komitmen kebijakan, organisasi dan program yang tepat. Diperlukan pula sikap yang tidak memperlakukan “orang miskin bukan sebagai obyek tetapi sebagai subyek” ( Mubyarto, 2001 ). Hal ini sesuai dengan UndangUndang nomer 22 dan 25 tahun 1999 di mana pemerintah berupaya untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, pemgembangan prakarsa dan kreativitas peningkatan peran serta masyarakat. Sesuai dengan Undang-Undang tersebut peran pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan hanya sebagai stimulator, fasilitator dan koordinator program. Untuk itu diperlukan peran serta aktif dalam perencanaan, pengambilan keputusan yang menyangkut permasalahan yang mereka hadapi. Berkaca dari masalah diatas maka penanggulangan kemiskinan di Indonesia setelah tahun 1998 mengunakan metode pemberdayaan ( empowerment ) di mana inti dari pemberdayaan lebih mengutamakan usaha sendiri dari orang yang diberdayakan untuk dapat meraih keberdayaannya. Sehingga dapat memutus rantai ketergantungan dari pihak lain ( Eny Qomariah dalam Tjandraningsih, 1996 : 3 ). Dengan demikian maka kewenangan dari masyarakat untuk menentukan kebijakan menjadi besar hal ini sesuai dengan asumsi bahwa
3
mereka lebih tahu akan potensi dan aspirasi yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri ( metode Bottom Up ) . Sedangkan di daerah-daerah perkotaan dalam penanggulangan kemiskinan pada tahun 1999
pemerintah
melalui
Departemen
Pekerjaan
Umum
meluncurkan
Program
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan ( P2KP ). Langkah kerja dari Program ini adalah menyiapkan spra struktur pelaksanaan untuk menyiapkan landasan kemandirian masyarakat. Adapun langkah strategis ini dipetakan menjadi lima bagian yaitu pertama menyiapkan kelembagaan yang mandiri dan mempunyai status hokum serta diakui keberadaannya oleh masyarakat. Kedua menyiapkan pemberdayaan bagi masyarakat oleh pendamping program. Ketiga adanya sinergi antara program dengan pemerintah daerah dalam hal ini kepala desa beserta perangkatnya, tujuan dari sinergi ini adanya satu pandangan dalam mengentaskan kemiskinan di wilayah. Keempat menyiapkan tatakelola dan struktur pelaksanan kegiatan baik ditingkat pusat maupun di masyarakat. Kelima meminimalisir adanya penyimpangan dana atau manipulasi dari penyalur dana. Sejak pelaksanaan P2KP tahap pertama sampai dengan P2KP tahap ke dua ( kurun waktu 1999 s/d 2007 ) pemerintah telah berhasil memberikan manfaat ( penduduk miskin ) kepada 18,9 juta jiwa dan dapat membentuk 243.838 Kelompok Swadaya Masyarakat ( menurut Pedum PNPM-MP 2010 ; i ). Bentuk Program pemberdayaan lain yang diluncurkan pemerintah antara lain dengan adanya Program Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil ( P4NK ) di tahun 2003. Kemudian untuk memajukan dan mensejahterakan masyarakat yang hidup di pesisir pantai maka pemerintah menggalakkan program pemberdayaan yang berlebel PEMP ( Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir ). Dengan diluncurkannya berbagai program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan ( Community Empowerment ) tersebut tidak dipungkiri telah memberikan andil dalam menahan laju kenaikan jumlah penduduk miskin. Menurut data dari Badan Pusat Statistik ( BPS ) angka kemiskinan di Indonesia per maret 2011 mencapai 30,02 juta orang 4
dibandingkan pada tahun 2010 bulan maret berjumlah 31,02 juta orang. Hal ini berarti mengalami penurunan kurang lebih 1 juta orang atau 3,2%. Disamping cerita manis tentang usaha-usaha pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah, guna menanggulangi kemiskinan terdapat beberapa catatan buram yang harus dibenahi dan dijadikan sebagai acuan perbaikan program-program pemberdayaan berikutnya. Ada beberapa kasus yang terjadi di berbagai daerah tentang ketidakberhasilan program pemberdayaan secara mikro di masyarakat, antara lain : adanya dugaan penyelewengan dana bantuan dari program PPK oleh aparatur pemerintah Desa Lapa Daja Kecamatan Dengkek Kabupaten Sumenep Madura. Hal ini disebabkan karena kurang dilibatkannya institusi lokal/kelompok nelayan daerah tersebut dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring program. Di mana program PPK di kecamatan tersebut berupa program satu perahu untuk satu kelompok nelayan di situ, tetapi setelah diadakan penelusuran oleh pihak terkaid kelompok nelayan di desa tersebut tidak mendapatkan bantuan berupa perahu ( IRE, 2006 : 198 ). Program bantuan dari pemerintah yang dianggap gagal dalam pengentasan kemiskinan adalah program BLT ( Bantuan Langsung Tunai ) pada tahun 2008 karena mengakibatkan adanya kecenderungan ketergantungan dari warga miskin terhadap bantuan pemerintah. Program BLT diperuntukkan untuk penanggulangan krisis akibat kenaikan harga BBM berdasarkan Inpres no. 3 tahun 2008, karena program tersebut berupa Charity ( hibah ) maka program tersebut tidak berkelanjutan ( sustainable ). Hal ini menyebabkan masyarakat tidak mandiri dan meracuni pemikiran masyarakat bahwa setiap bantuan berupa hibah. Disamping kasus penyelewengan terhadap bantuan-bantuan program di atas, ada juga program yang tidak tepat guna seperti kasus yang terjadi di Dusun Ngampiran Desa Melikan Kecamatan Rongkop Gunung Kidul, di mana desa itu merupakan sentra industri bambu di daerah Gunung Kidul. Pada tahun 2004 desa tersebut mendapatkan bantuan alokasi dana APBD berupa mesin bor dan pengirat bambu, ternyata mesin tersebut tidak sesuai dengan 5
kebutuhan yang diperlukan oleh pengrajin sebagai sasaran program. Hal tersebut terjadi karena kurang adanya koordinasi antara pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan masyarakat sebagai penerima program ( IRE, 2011 :130 ). Setelah mengevaluasi tentang kelemahan-kelemahan produk dari pemberdayaan dengan pendekatan CDD seperti program PPK di atas, maka oleh Bank Dunia program tersebut diadakan penyempurnaan dalam hal implementasinya. Penyempurnaan program tersebut di Indonesia dikenal dengan program PNPM. Di mana program tersebut menitikberatkan pada kesiapan masyarakat dalam mengelola dan mengambil keputusan untuk menentukan nasibnya sendiri. Secara konseptual implementasi pendekatan CDD dalam pelaksanaan program PNPMMP terlihat dalam mekanisme masyarakat untuk mengambil keputusan tentang kebutuhan dan kepentingan dalam pengelolaan pembangunan dan sumber daya pembangunan itu sendiri. Di dalam pendekatan CDD masyarakat miskin dipandang sebagai asset dan partner dalam proses pembangunan dan didasarkan atas kelembagaan dan sumberdaya yang dimilikinya. Sasaran dari program PNPM-MP adalah untuk menanggulangi kemiskinan masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan dan pinggiran kota. Program ini merupakan kelanjutan dari program pemerintah yaitu P2KP ( Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan ). PNPM-MP dimulai pada tahun 2007 hal ini dimaksudkan untuk membangun kemandirian masyarakat khususnya penanggulangan kemiskinan di lingkungan sekitar. Langkah strategis yang diambil adalah menyiapkan landasan kemandirian berupa “ lembaga kepemimpinan kolektif di masyarakat ” yang bersifat representatif, mengakar dan kondusif sebagai modal sosial ( social capital ). Hal ini bertujuan menyiapkan masyarakat agar mampu dalam merencanakan dan melaksanakan setiap tahapan program yang sudah disepakati bersama. Pelaksanaannya menggandeng aparatur pemerintahan Desa dan kelompok peduli lainnya. Dalam perkembanggannya antara tahun 2007 sampai tahun 2010 program PNPM-MP telah tersebar di 267 kota/kab dan mencakup 1.145 kecamatan serta 11.014 Desa di seluruh 6
wilayah Indonesia,
termasuk salah satunya kabupaten Klaten. Di mana pemerintah Kab.
Klaten yang mempunyai 28 Kecamatan yang mendapatkan program PNPM-MP sebanyak 15 Kecamatan yang tersebar di 212 Desa. Jumlah ini merupakan terbesar kedua sasaran program PNPM-MP di Indonesia setelah Sidoarjo. Dengan cakupan wilayah yang luas perlu kita cermati tentang implementasi/pelaksanaan program PNPM-MP di lapangan. Dilihat dari data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik ( BPS ) angka kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan angka kemiskinan per maret 2011 mencapai 30,02 juta orang dibandingkan pada tahun 2010 bulan maret berjumlah 31,02 juta orang. Hal ini berarti mengalami penurunan kurang lebih 1 juta orang atau 3,2%. Hal tersebut salah satunya merupakan andil dari implementasi PNPM-MP. Tetapi dalam perjalanan program PNPM-MP yang sudah tujuh tahun terjadi bias dalam pelaksanaan di masyarakat baik itu secara program dan secara aturan pelaksanaannya. Untuk mengetahui realita pelaksanaan program maka perlu adanya evaluasi terhadap program yang sudah dilaksanakan agar pelaksanaan program menjadi terarah dan baik sesuai dengan tujuan program PNPM-MP. Untuk mendapatkan hasil penelitihan yang maksimal terkait dengan evaluasi implementasi PNPM-MP di lapangan maka peneliti lebih memfokuskan di wilayah Kabupaten Klaten Kecamatan Ngawen tepatnya di Desa Kwaren. Sepintas tentang kondisi geografis Desa Kwaren mempunyai luas 97,3455 Ha, dengan luas lahan pertanian 40,25 Ha dengan luas lahan pertanian tersebut maka mata pencaharian penduduknya didominasi oleh petani. Wilayah Kwaren secara administrasi terbagi dalam 7 RW dan 19 RT dengan jumlah penduduk sebesar 3.900 jiwa terdiri dari laki-laki 1.368 jiwa dan 1.407 jiwa perempuan. Angka penduduk produktif
2.775 jiwa, pertumbuhan penduduk pada tahun 2011 3,2% ( Monografi Desa
Kwaren Tahun 2012 ). Dengan laju pertumbuhan penduduk yang masih relatif tinggi akan menambah beban masyarakat di Kwaren, karena dari data yang diperoleh melalui monografi desa jumlah KK 7
miskin sebesar 429 KK dengan warga miskin sebesar 1.581 jiwa. Masalah yang dihadapi warga miskin di Kwaren sangat kompleks antara lain jumlah Balita kurang gizi 34 anak, sedangkan untuk penyakit menahun ada 20 orang dan jumlah warga yang mengalami kesulitan biaya pendidikan sebanyak 191 orang ( Sumber Monografi Desa Kwaren Tahun 2012 ). Pelaksanaan program di desa Kwaren termasuk dalam program rintisan PNPM-MP karena itu perlu adanya evaluasi program agar bisa dijadikan acuan untuk perbaikan program di daerah lain untuk masa yang akan datang, selain itu desa Kwaren dijadikan
salah satu wilayah pilot project
implementasi PNPM-MP di Kab. Klaten. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam penelitian ini dapat menjawab berbagai pemasalahan sekitar : 1. Bagaimana implementasi PNPM-MP di Desa Kwaren, Kecamatan Ngawen, Kab. Klaten ? 2. Apakah Outcame yang diperoleh di masyarakat dari implementasi PNPM-MP di Desa Kwaren, Kecamatan Ngawen, Kab. Klaten ? 3. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Dapat
mengetahui bagaimana implementasikan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat ( PNPM-MP ) di Desa Kwaren, Kecamatan Ngawen, Kab. Klaten ? 2. Dapat mengevaluasi pelaksanaan program PNPM-MP di Desa Kwaren, Kecamatan Ngawen, Kab. Klaten ? 3. Manfaat Penelitian 1. Bagi aspek keilmuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan sumbangan
pemikiran
berdasarkan
pengalaman
di
lapangan
terkait
dengan
digulirkannya PNPM-MP di masyarakat dan diharapkan dapat menambah wawasan
8
keilmuan dan cakrawala berfikir mengenai realitas program penanggulangan kemiskinan di masyarakat. 2. Bagi institusi PNPM-MP, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa kontribusi pemikiran di bidang implementasi PNPM-MP di lapangan sehingga dapat memberikan solusi berupa gagasan alternatif untuk perbaikan implementasi PNPM-MP ke depannya. 3. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan masyarakat lebih memahami terkait program-program PNPM-MP secara benar sehingga bisa bermanfaat bagi masyarakat miskin di lingkungannya dan merangsang partisipasi aktif
masyarakat dalam
mensukseskan program tersebut. 4. Keaslian Penelitian Semenjak program PNPM-MP diluncurkan oleh pemerintah pusat melalui Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 2007 telah banyak menarik para akademisi, para ahli dan LSM untuk melakukan kajian dan riset tentang perjalanan program PNPM-MP tersebut. Hal ini juga menarik perhatian peneliti untuk mencoba mengungkapkan realitas sosial yang ada dibalik pelaksanaan program tersebut. Dengan judul kajian “Evaluasi Program PNPM-MP di Desa Kwaren, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten” maka
peneliti berusaha untuk
mengungkapkan dampak dari implementasi program tersebut. Sejauh ini belum ada seorang peneliti yang mengangkat tema tentang dampak implementasi program PNPM-MP dari segi sosial. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya, banyak penelitian lain yang hanya menggungkapkan PNPM dari segi
implementasi programnya saja. Hal
tersebut seperti yang dilakukan oleh Fahrizal ( 2010 ) mengangkat tema tentang Implementasi PNPM-MP di Desa Semaki dan Sorosutan, Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta. Di dalam
9
penelitian tersebut peneliti mencoba menggambarkan secara deskriptif tentang keberhasilan dan kegagalan implementasi program di kedua wilayah tersebut. Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Katiman ( 2011 ) yang mengangkat tema Implementasi PNPM Mandiri Dalam Upaya Penanggulangan Kemiskinan. Dalam penelitian tersebut Katiman menggangkat kasus tentang Implementasi PNPM Mandiri Perdesaan dan Perkotaan di Kecamatan Lohbener dan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Inti dalam penelitian tersebut Katiman mencoba untuk membandingkan pelaksanaan program antara PNPM-Mandiri Perdesaan dengan PNPM-Mandiri Perkotaan di mana Katiman mencoba mendeskripsikan tentang hasil pelaksanaan PNPM-Mandiri Perdesaan dan Perkotaan di kedua wilayah tersebut. Adapula penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Sosial Masyarakat ( LSM ) yang corncent dalam bidang pembangunan masyarakat. Seperti penelitian yang dilakukan oleh INFID ( 2010 ) yang mengangkat isu tentang kegagalan PNPM-Mandiri Perdesaan di beberapa daerah Sumatra Utara, NTB dan NTT. Dalam Penelitian yang dilakukan oleh INFIT tersebut hanya mengungkapkan sisi-sisi kegagalan dari PNPM-Mandiri Perdesaan terutama dari sisi pemberdayaan. Berbeda dari ketiga uraian di atas maka keaslian penelitian yang
dilakukan oleh
peneliti bisa dilihat dari beberapa hal antara lain : 1. Akar penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti terfokus pada dampak yang ditimbulkan dari adanya implementasi program PNPM-MP terhadap masyarakat miskin penerima sasaran program. 2. Berbeda dengan penelitian sebelumnya penelitian yang akan dilalukan oleh peneliti berusaha untuk mengevaluasi tentang realita yang terjadi di lapangan terkait dengan fakta-fakta yang ada di lapangan. 10
3. Untuk mendapatkan data yang valid dan mendalam maka peneliti hanya meneliti di satu wilayah desa saja yaitu Desa Kwaren, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten. Karena wilayah tersebut merupakan pilot project pelaksanaan program PNPM-MP di Kabupaten Klaten, selain itu wilayah tersebut belum pernah diteliti oleh peneliti lain sebelumnya. Ketiga hal tersebut yang menjadi dasar keaslian penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Di dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengevaluasi realita sosial yang ada, berupa dampak sosial yang dialami oleh masyarakat akibat dari implementasi program PNPM-MP tersebut. Berkaitan dengan tema yang diangkat peneliti tersebut sesuai dengan kajian studi S2 PSdK yang sedang ditempuh oleh peneliti, salah satunya berkaitan dengan mata kuliah Teori Perubahan Sosial dan Kesejahteraan. Karena dalam kajian yang dipaparkan oleh peneliti berisi tentang adanya perubahan sikap masyarakat terhadap salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah ( PNPM-MP ). B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Community Driven Development ( CDD ), Energi Sosial dan Modal Sosial dalam Pembangunan Konsep Community Driven Development/CDD merupakan penyempurnaan dari program Community Based Development yang sudah dilaksanakan sebelumnya, kesamaan dari konsep ini adalah keduanya sama-sama berbasis komunitas dan mengandung unsur pemberdayaan. Meskipun demikian pada konsep Community Driven Development/CDD lebih merujuk pada kemampuan komunitas untuk memutuskan sendiri pilihan sumber daya yang ada di masyarakat demi tujuan dan kegunaannya sendiri ( Wrihatnolo dan Dwidjowijoto dalam Soetomo, 2010 : 266 ).
11
Pada dasarnya tujuan dari pemberdayaan adalah keadilan sosial dengan memberikan ketentraman kepada masyarakat yang lebih besar serta persamaan politik dan sosial melalui upaya saling membantu dan belajar melalui pengembangan langkah kecil guna mencapai tujuan yang lebih besar ( Payne dalam Alfitri, 2012 : 23 ). Hal tersebut bisa diterjemahkan dalam konsep CDD adalah suatu konsep yang membuka peluang bagi seluruh lapisan masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan, dengan memperhatikan kemampuan masyarakat untuk memberikan kekuasaan penuh pada dirinya ( Soetomo, 2011 : 14 ). Konsep ini dikenalkan pertamakali oleh Bank Dunia dengan tujuan untuk memperbaiki program pemberdayaan sebelumnya, di mana pendekatan community based development belum dapat menciptakan suatu mekanisme yang benar-benar tumbuh dari masyarakat itu sendiri sehingga masyarakat miskin belum mampu melepaskan diri dari dominasi elite ( ketergantungan ). Dengan model CDD walaupun pada awalnya distimulan dari lembaga donor tetapi dalam proses berikutnya dapat diciptakan dinamika pembangunan yang didorong oleh energi internal. Menurut Bank Dunia yang menjadi sponsor PNPM yang diharapkan sebagai dampak program adalah suatu proses dan mekanisme pembangunan masyarakat yang bukan sebagai donor driven melainkan sebagai community driven. Dari konsepsi CDD tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pelaksanaan PNPM-MP menekankan pada tiga hal. Pertama memperkuat kelembagaan desa ( CBO ) yang dalam program PNPM –MP dikenal dengan BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat). Secara garis besar organisasi ini sebagai mobilisator kesejahteraan masyarakat di daerah. Konsep dari pemberdayaan menempatkan tidak hanya secara individual akan tetapi juga secara kolektif dan semua itu harus menjadi bagian dari aktualisasi dan coaktualisasi eksistensi manusia dan kemanusiaan. Maka konsep CDD pada dasarnya adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradap menjadi semakin efektif secara 12
struktural, baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat di lingkungan dalam bidang politik, ekonomi dan sosial ( Priyono S Onny, 1996 : 56 ). Sehingga nilai kemanusiaan akan mendorong institusi mempunyai eksistensi yang kuat baik dalam pola kepemimpinannya maupun dalam pemberdayaan masyarakat, karena dalam pembentukannya melibatkan mayoritas warga dalam pembentukannya. Tugas internal BKM adalah untuk memfasilitasi tindakan bersama ( kolektif ) dalam pengambilan keputusan dan membuat perencanaan, memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya modal sosial yang mampu mendorong berbagai aktivitas dari, oleh dan untuk masyarakat. Di samping itu ada tugas eksternal dari BKM sebagai representasi komunitas dalam menjalin hubungan dengan service provider maupun dalam membangun jaringan dengan berbagai sthekholder sebagai demand responsive organization. Kedua, pengembangan komunitas, dalam kajian masalah sosial tentang implementasi program PNPM-MP yang dimaksud dengan komunitas ( community ) disini adalah berupa kumpulan sekelompok orang. Maka apabila dikaitkan dengan kata pengembangan bisa diartikan sebagai pengembangan pada aspek manusia ( Soetomo, 2010 : 311 ). Pengertian senada juga dikemukakan oleh Trijoko Solehoedin yang dimaksud dengan pengembangan komunitas adalah suatu pembangunan yang menekankan pada kekuatan sumber daya setempat ( local wisdom ). Sedangkan cakupan dari komunitas tersebut meliputi seluruh warga desa, warga dusun/RW, warga RT terkena sasaran. Ketiga diharapkan adanya sinergi antar tiga komponen pokok yaitu pemerintah sebagai institusi penyelenggara program PNPM berfungsi sebagai service provider, masyarakat lokal yang direpresentasikan dalam Community Based Organization yang dalam PNPM diwujudkan dalam institusi BKM, dan berbagai stakeholder yang diharapkan dapat terlibat dalam program yang berfungsi sebagai Deman Responsive Organization ( Soetomo, 2011 : 173 ).
13
Dari adanya konsepsi tentang pengembangan komunitas tersebut dapat diadopsi untuk mengevaluasi terhadap program PNPM-MP untuk memberdayakan masyarakat sasaran program. Di mana pengembangan komunitas dilakukan dengan membentuk kelompokkelompok sesuai dengan potensi yang dimilikinya ( KSM/ Kelompok Swadaya Masyarakat ). Di sini KSM berfungsi sebagai pelaksana kegiatan tingkat basis yang mengelola kucuran dana stimulan dari program. 1.1 Energi Sosial sebagai Pendorong Setelah masyarakat mengetahui kapasitas dirinya maka akan menimbulkan dorongan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Dorongan energi inilah yang disebut energi sosial ( Soetomo, 2012 : 137 ). Dengan adanya energi sosial yang ada di masyarakat tersebut akan memungkinkan masyarakat untuk bertahan ( survive ) dan mengembangkan diri untuk mencapai kemajuan. Pengertian di atas diperkuat oleh Uphoff dalam Soetomo ( 2009 : 269 ) memberi penjelasan bahwa energi sosial pada masyarakat itu bersumber pada tiga unsur. Pertama adalah sebuah gagasan ( ideas ) yaitu suatu buah pemikiran yang progresif dari masyarakat yang timbul karena adanya permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakatnya dan berlangsung lama. Kedua, idaman ( ideals ) adalah suatu bentuk harapan yang lebih baik untuk kepentingan bersama yaitu berupa kesejahteraan bersama sebagai buah dari realisasi atau terlaksanaanya gagasan sebelumnya. Di sini untuk merealisasikan gagasan tersebut berlaku nilai-nilai positif yang dapat menumbuhkan motivasi intrinsik yang kuat, motivasi ini akan mendorong terwujudnya harapan ( ideals ) yang telah terbentuk dalam masyarakat. Ketiga adalah potensi solidaritas ( friendship ) yaitu wujud solidaritas dalam suatu satuan sosial sebagai daya utama dalam proses mencapai idaman yang dikukuhkan. Energi sosial ini terwujud dalam kelembagaan lokal masyarakat.
14
Dengan adanya energi sosial akan memberikan kretifitas masyarakat untuk mengatasi permasalahan-permasalahan di masyarakat itu sendiri ( dorongan internal ). Karena energi sosial akan menggerakkan keingginan kolektif dari warga yang diekspresikan dalam bentuk tindakan sosial, dengan tindakan sosial tersebut maka akan memberikan perubahan yang lebih baik. Hal tersebut dicerminkan dalam evaluasi dan monitoring program PNPMMP di masyarakat. Program PNPM-MP berusaha dan mengajak masyarakat untuk berfikir lebih kritis dalam menggali permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. Selanjutnya permasalahan tersebut diinfentaris dalam suatu Refleksi Kemiskinan dan Pemetaan Swadaya ( RK dan PS ). Setelah RK dan PS terinfentaris maka tugas dari BKM sebagai lembaga kolektif warga menuangkan gagasan itu kedalam Perencanaan Jangka Menengah ( PJM ) dalam program PNPM-MP. Dengan tersusunnya PJM masyarakat mempunyai harapan agar masalah-masalah yang dihadapi bisa ditanggulangi dari terlaksananya program tersebut ( ideals ). Suatu perencanaan tersebut bisa terlaksana dengan baik berkat dukungan dari masyarakat ( solidaritas ) untuk melaksanakan kegiatan yang sudah direncanakan. 1.2 Pemanfaatan Modal Sosial Dalam upaya penangganan masalah sosial terutama kemiskinan membutuhkan adanya kapasitas dari masyarakat yang kuat untuk memutuskannya. Kapasitas sosial tersebut dapat terwujud dengan adanya interaksi dan relasi sosial untuk melaukan perubahan. Pada masyarakat kapasitas sosial tersebut tersimpan adanya modal sosial yang digunakan sebagai energi penggerak dalam menanggani masalah sosial ( Soetomo, 2010 : 267 ).
Menurut Sunyoto Usman tahun 2011 mengemukakan modal sosial dapat
memperkuat kapasitas masyarakat, suatu masyarakat dapat bertahan dan berkembang karena ada tiga hal pendukung yaitu Trust atau kepercayaan, Networking atau jaringan dan Resprocity atau hubungan timbal balik yang menguntungkan. 15
Dalam
penangganan
masalah
kemiskinan
modal
sosial
digunakan
untuk
mengidentifikasi masalah dan dimanfaatkan sebagai motor penggerak solidaritas sosial. Seperti dikemukakan oleh Uphoff dalam Soetomo ( 2010 : 268 ) modal sosial dibagi dua yaitu modal sosial berupa fenomena kognitif dan struktural. Dalam fenomena kognitif modal sosial diwujudkan dalam nilai atau norma. Nilai atau norma tersebut dijelaskan sebagai energi sosial, yang berupa ideas ( gagasan ) kemudian direspon dalam pola tindakan operasional sehingga muncul harapan yang lebih baik ( ideals ). Sehingga mendorong suatu tindakan bersama masyarakat yang mencerminkan adanya rasa kepedulian sosial ( solidarity ). Masih menurut Uphoff modal sosial yang lain berupa dimensi struktural. Dimensi ini menjelasan modal sosial yang menyangkut tentang organisasi sosial yang dapat membentuk jaringan untuk mendorong adanya kerjasama ( memfasiitasi terwujudnya ideas dan ideals untuk mewujudkan tindakan masyarakat ). Dimensi ini akan membuat jaringan sosial yang berasas pada saling percaya dalam melakukan usaha produktif penanggulangan kemiskinan. Kaitan dengan hal tersebut pada program PNPM-MP membentuk BKM sebagai institusi lokal yang berfungsi pemprakarsa tidakan masyarakat. Dalam melakukan pengeloaan aktivitas pengentasan kemiskinan di masyarakat BKM mendorong pengembangan komunitas dengan membentuk wadah yang diberi nama KSM ( Kelompok Swadaya Masyarakat ). Tugas dari KSM adalah untuk pembahasan dan penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat miskin/mendorong proses perubahan sosial di masyarakat ( Pedum PNPM-MP, 2010 : 18 ). Berbagai bentuk kasus implementasi progam PNPM-MP di masyarakat sering kita jumpai adanya modal sosial juga berfungsi sebagai energi sosial sebagai pendorang tindakan bersama dalam upaya peningkatan kepedulian sosial. Salah satunya adalah jiwa gotong royong, hal ini digunakan untuk membangun solidaritas warga. Sebagai contoh 16
dalam pembangunan betonisasi jalan yang sudah direncanakan, dalam pembangunannya selain mengunakan dana BLM juga menggunakan swadaya masyarakat. Karena dalam aturan di PNPM-MP dana BLM hanya diberikan maksimal sebesar 70% dari total kegiatan yang sudah direncanakan, maka untuk menutup biaya operasional dibutuhkan swadaya dari masyarakat. Swadaya masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk tenaga, uang dan barang. Dengan adanya program PNPM-MP seharusnya bisa memperkuat modal sosial masyarakat sehingga pembangunan bisa terlaksana tanpa harus adanya ketergantungan pihak lain. Akan tetapi fungsi dari BLM di masyarakat terlihat bias dengan demikian penumbuhkembangan institusi lokal belum bisa berjalan seperti yang diharapkan. Menurut konsep CDD seharusnya institusi lokal/BKM bisa berlanjut setelah selesai akan tetapi masih ditemui ketergantungan terhadap kucuran BLM. Hal ini kucuran BLM yang diharapkan menjadi stimuli untuk tumbuh dan berkembangnya modal sosial justru berpotensi mereduksi modal sosial di masyarakat. 2. Implementasi Program PNPM-MP Keberhasilan suatu program yang akan dilaksanakan, bisa dilihat dari pemaparan tentang program yang akan dilaksanakan ( diimplementasikan ). Hal ini karena dalam sebab pemaparan akan diketahui secara detail tentang tahapan-tahapan pelaksanaan program. Hal-hal yang berkaitan dengan tahapan pelaksanaan program tersebut akan memberi penjelasan bahwa implementasi program pada prinsipnya adalah suatu cara agar sebuah kebijakan program dapat tercapai tujuannya ( Nugroho dalam Erny Qomariyah, 2011 : 60 ). Dari penjelasan tersebut akan diketahui fungsi dari sebuah implementasi program yang akan dilaksanakan sebagai tindakan/adanya cara-cara, saran-saran tertentu yang telah dirancang secara sistematis untuk mencapai sasaran dan tujuan yang dikehendaki. Jadi fungsi dari rencana program tersebut memberikan alur dalam pelaksanaan implementasi program agar terarah. 17
Pendapat tersebut di atas diperkuat oleh Manurung dalam Erni Qomariyah ( 2011 : 61 ) menyatakan bahwa implementasi program merupakan kebijakan untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan dengan menggunakan strategi yang tepat. Pendapat ini didasari dari sebuah asumsi bahwa pelaksanaan program yang akan dilaksanakan bersifat langsung di masyarakat. Dalam pendapat Manurung implementasi program tersebut mempunyai arah yang jelas yaitu untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka dibuat adanya kerangka-kerangka kerja, perencanaan kegiatan ( planing ) yang sudah ditetapkan. Untuk itu maka dalam mengimplementasikan program diperlukan adanya managemen program/proyek. Menurut Imam Soeharto ( 1995 : xv ) yang dimaksud dengan managemen program/proyek adalah salah satu cara/suatu metode pengelolaan yang dikembangkan untuk menghadapi, menyelesaikan kegiatan khusus yang berbentuk proyek. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: 2.1 Paradigma Pembangunan Masyarakat Pembangunan di Indonesia banyak mengalami perubahan dari masa ke masa. Hal tersebut mengikuti pola hidup bangsa Indonesia itu sendiri ( mencakup kehidupan politik, sosial, budaya ). Perubahan ini bersifat dinamis/maju yang merupakan jawaban dari masalah-masalah yang berkembang di masyarakat, yang secara tidak langsung membentuk jalinan premis-premis yang memberi batasan kepada premis epistemologis, ontomologis dan metodelogis yang ada atau yang sering disebut dengan paradigma ( Agus Salim, 2006 : 57 ). Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembangunan di Indonesia mengalami perubahan sesuai dengan kondisi dan karakteristik politik yang ada. Hal ini mengakibatkan perbedaan strategi dalam melaksanakan pembangunan dari masa Orde Lama, Orde Baru sampai Orde Reformasi. Sedangkan pembangunan masyarakat itu sendiri dapat diinterprestasikan sebagai pembangunan pada masyarakatnya ( Soetomo, 2010 : 4 ).
18
Jadi dapat disimpulkan bahwa pembangunan masyarakat itu dititik beratkan pada pembangunan manusianya. Di masa Orde Baru paradigma pembangunan bersifat Top Down ( Dari atas ke bawah ) dan sentralistis, disini masyarakat cenderung sebagai penerima program saja. Dampak dari paradigma ini aspirasi masyarakat lokal kurang tertampung sehingga mengakibatkan program-program yang diluncurkan oleh pemerintah kurang relevan dengan kebutuhan, permasalahan dan potensi masyarakat penerima program. Seiring dengan perkembangan jaman pada masa Orde Reformasi pola pembangunan bergeser menjadi Bottom Up ( dari bawah ke atas ). Pola ini akan memberikan kewenangan pada masyarakat untuk menentukan usulan kegiatan yang dibutuhkan karena mereka lebih tahu akan potensi, permasalahan dan solusi yang dihadapinya. Berdasarkan pemikiran tersebut maka dalam rangka menangani masalah sosial dikenal dengan strategi Community Development. Sebagaimana diketahui strategi ini mendorong prose perubahan menuju kehidupan yang lebih baik, yang bersandar pada prakarsa dan partisipasi masyarakat, akan tetapi tidak menutup pintu bagi pemanfaatan sumber daya eksternal ( Soetomo, 2010 : 265 ). Dari strategi Community Development tersebut berkembang menjadi strategi pengelolaan sumber daya berbasis komunitas ( Community Based Resorses Management ). Pemikiran ini selanjutnya menjadi arus utama dalam pembangunan masyarakat, strategi tersebut memberikan kewenangan kepada komunitas khususnya masyarakat lokal untuk mengelola pembangunannya termasuk pengelolaan sumberdaya ( Soetomo, 2010 : 266 ). Dalam perkembangannya konsep tersebut berkembang menjadi pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat (Community-Driven Development ) yaitu lebih merujuk pada kemampuan komunitas dalam memutuskan sendiri pilihan sumber daya yang ada demi tujuan dan kegunaannya sendiri ( Wrihatnolo dan Dwidjowijoto dalam Soetomo, 2010 : 266 ). 19
Dalam implementasi program PNPM-MP merujuk pada paradigma CommunityDriven Development yang dikeluarkan oleh World Bank. Hal ini mempunyai asumsi bahwa PNPM-MP memberi keleluasaan kepada individu masyarakat untuk menganalisis pilihan, yang dianggap menguntungkan seluruh warga masyarakat dan mengeksekusi atau memutuskan sendiri tentang kegiatan pembangunannya. 2.2 Tata Kelola Program PNPM-MP Dalam membangun masyarakat dibutuhkan suatu perencanaan yang sistematis untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditetapkan. Semua kegiatan yang berkaitan dengan suatu rencana untuk merealisasikan kegiatan tersebut dinamakan program ( Chafid Fandeli, 1992 : 31 ). Pada pelaksanaan program PNPM-MP di masyarakat menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Pada dasarnya pokok pemberdayaan masyarakat memberikan kewenangan pada masyarakat yang di implementasikan dalam memberikan kesempatan, wewenang yang lebih besar kepada masyarakat terutama masyarakat lokal untuk menggelola proses pembangunan yang meliputi identifikasi kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan serta evaluasi dan pemanfaatan dari hasil pembangunan ( Soetomo, 2011 : 69 ). Dengan memperhatikan prinsip pemberdayaan di atas maka agar pelaksanaan program PNPM-MP menyasar ke masyarakat miskin pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2009 tentang Koordinasi Penanganan Penanggulangan Kemiskinan. Agar pelaksanaan Pepres tersebut berjalan secara sistematis maka dijabarkan ke dalam buku pedoman yang terdiri dari : a. Buku Pedoman Pelaksanaan PNPM-MP yang bersifat sebagai Pedoman Operasional Umum ( POU ). Buku pedoman ini merupakan jabaran dan intergrasi antara pedoman nasional PNPM-MP dan Project Management Guideline yang 20
diterbitkan oleh Departemen Pekerjaan Umum, yang berisi tentang aturan baku tentang pelaksanaan teknis dan proses kegiatan di lapangan. b. Buku Pedoman Pelaksanaan Operasional Teknis ( POT ), maksud buku pedoman ini adalah sebagai peganggan pendamping program dalam pelaksanaan persiapan dan perencanaan teknis khususnya tentang penyusunan proposal usulan dari KSM. c. Buku Pedoman Teknis Prosedur Operasi Baku ( POB ), isi dari buku pedoman ini adalah langkah-langkah operasi baku di lapangan dalam melaksanakan kegiatan program. 2.3 Managemen Program PNPM-MP Pengelolaan program PNPM-MP diatur dalam Pedoman Umum PNPM-MP yang diterbitkan oleh tim pengendali PNPM-MP yaitu Lembaga Penyelenggara ( executing agency ) dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum. Dalam menggelola program dibutuhkan suatu sistem yang sistematis, teratur dan terarah, untuk itu perlu adanya manajemen program/proyek yang baku. Manajemen program/proyek adalah merencanakan, mengorganisir, memimpin, dan mengendalikan sumber daya perusahaan untuk mencapai sasaran jangka pendek yang telah ditentukan. Lebih jauh manajemen program/proyek menggunakan pendekatan sistem dan hierarki ( arus kegiatan ) vertikal dan horisontal ( Imam soeharto, 1999 : 28 ). Dengan pendekatan manajemen ini pola yang digunakan dalam PNPM-MP adalah sistem hierarki yang horisontal, di mana ada urutan sistematis dari tingkat pusat sampai dengan tingkat basis ( kelurahan/desa ) yang bersifat mandiri. Sifat mandiri di sini adalah adanya keleluasaan untuk merencanakan, mengorganisir, memimpin, dan mengendalikan sumber daya yang ada. Dalam manajemen program PNPM-MP mempunyai struktur organisasi pelaksanaan dari tingkat pusat sampai dengan basis yaitu :
21
a. Di tingkat Pusat pemegang otoritas yaitu Dirjen Cipta Karya yang bertugas melaksanakan tugas pokok pelaksanaan koordinasi, penggendalian, monitoring dan pembinaan teknis kepada satuan kerja di bawahnya ( SNVT tingkat provinsi ). b. Di tingkat Provinsi, alur koordinasinya dari gubernur melalui Bapeda Provinsi menunjuk tim koordinasi pelaksana PNPM-MP yang terdiri dari Dinas Pekerjaan Umum / bidang ke-cipta karya-an di bawah kendali satker SNVT. Tugas dari Satker SNVT provinsi adalah: melaksanakan kegiatan teknik admnistrasi sesuai kebijakan PMU
Pusat,
mengelola
tata
laporan
pelaksanaan
PNPM-MP
dan
mempertanggungjawabkan seluruh kegiatan. c. Tingkat Kota/Kabupaten, pengkoordinasi langsung di bawah Walikota/Bupati melalui Bapeda Kab/Kota. Bapeda Kota menunjuk instansi terkaid di bawah Tim Koordinasi Kabupaten Pelaksana ( TKPP ) untuk secara langsung bekerja sama dengan Korkot Kabupaten melaksanakan tugas ( sosialisasi, konsolidasi pelaksanaan, melakukan pemantauan pelaksanaan dan monitoring secara berkala di wilayah kerjanya ). d. Tingkat Kecamatan, Camat sebagai kepala wilayah mendelegasikan pelaksana kepada Penanggung Jawab Operasional Kegiatan ( PJOK ). Selanjutnya berkoordinasi dengan Tim Pendampng Program tingkat kecamatan untuk melaksanakan kegiatan, pelaporan, pertanggungjawaban dan melakukan pemeriksaan terhadap dana yang telah disalukan kepada masyarakat. e. Tingkat Kelurahan/Desa, pada tingkat ini merupakan ujung tombak pelaksanaan PNPM-MP. Ada empat unsur pelaksana : a) Kepala Desa/Lurah dan perangkatnya, bertugas memberi dukungan, memfasilitasi agar pelaksanaan PNPM-MP di wilayah kerjanya berjalan dengan baik. b) Relawan, adalah pelopr penggerak masyarakat untuk menggerakkan seluruh elemen masyarakat untuk melaksanakan tahapan program seperti Refleksi
22
Kemiskinan, Pemetaan Swadaya, pengkoordinasian KSM dan pembentukan BKM. c) Badan Keswadayaan Masyarakat ( BKM ) sebagai pimpinan kolektif organisasi masyarakat, yang bertugas merumuskan PJM Pronangkis, melaksanakan kegiatan PNPM-MP di wilayah meliputi kegiatan Tridaya dan mengawasi pemanfaatan BLM yang dilakukan oleh Unit Pengelola. d) Kelompok Swadaya Masyarakat ( KSM ) bertugas melaksanakan kegiatan yang didanai oleh BLM, serta mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang ada di masyarakat kepada BKM. Gambar 1. Struktur Organisasi BKM
Sumber : PJM Pronangkis BKM Tunas Harapan Tahun 2010
2.3.1
Siklus Program PNPM
Suatu kegiatan bisa terlaksana dengan baik karenanya adanya suatu siklus sistem yang lengkap, dengan demikian pelaksanaan kegiatan baik itu berupa perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi harus mengikuti metode sistem tersebut. Untuk mewujudkan gagasan menjadi implementasi maka dipakai manajemen sistem ( Imam Soeharto, 1999 : 30 ). 23
Dalam setiap program memiliki pola siklus sistem yang berbeda, pada program PNPM-MP Siklus Masyarakat. Pada dasarnya Siklus Masyarakat menitik beratkan pada pelaksanaan yang dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat di Desa/Kelurahan setempat dengan wadah pelaksananya BKM ( Pedum PNPM-MP, 2010 : 27 ). Agar proses tersebut bisa berjalan baik pendamping ( Fasilitator, Korkot, Pemda dll ) berkewajiban melakukan proses pembelajaran masyarakat agar mereka mampu melakukan tahapan kegiatan PNPM-MP di wilayahnya tersebut atas dasar kesadaran kritis terhadap subtansi akan pentingnya manfaat tahapan program tersebut. Siklus PNPM-MP berlaku pada masa kerja tahunan dari Januari s/d Desember. Adapun tahapan pelaksanaan siklus dalam 1 tahun dibagi menjadi tujuh agenda antara lain : a) Melakukan Sosialisasi Awal, tahapan ini dilakukan antara bulan Januari sampai dengan Februari. Tujuan dari sosialissi adalah menyebarkan informasi tentang akan adanya program PNPM-MP di kelurahan/desa tersebut dan pemilihan relawan tingkat basis. b) Rembug Kesiapan Masyarakat ( RKM ), tahapan ini dilakukan bulan Maret. Kegiatan ini bertujuan untuk membangun komitmen masyarakat yang intinya menerima atau menolak program. Disamping itu juga menetapkan relawan yang menyiapkan program PNPM-MP. c) Refleksi Kemiskinan ( RK ), kegiatan ini dilakukan sekitar bulan April sampai dengan Mei. Adapun tujuan kegiatan untuk menganalisis masalah-masalah kemiskinan yang ada diwilayah dan menetapkan kriteria kemiskinan menurut masyarakat itu sendiri.
24
d) Pemetaan Swadaya ( PS ), kegiatan ini dilakukan bulan Juni s/d Juli. Tujuan kegiatan ini menindaklanjuti RK dengan mengali potensi yang ada di masyarakat untuk acuan kegiatan program. e) Pembentukan BKM, kegiatan ini dilakukan pada bulan Agustus s/d September. Tujuan dari kegiatan ini membentuk lembaga BKM secara demokratis sehingga menghasilakan relawan yang mampu memfasiitasi program PNPM-MP. f)
Penyusunan PJM/Renta Pronangkis, kegiatan ini dilakukan pada bulan Oktober s/d Nopember. Tujan dari kegiatan ini untuk menyusun program penanggulangan kemiskinan di masyarakat dengan dasar kegiatan RK dan PS yang telah dilakukan.
g) Penggorganisasian KSM, kegiatan ini dilakukan sekitar bulan Desember s/d Januari. Tujuan dibentuknya KSM untuk melaksanakan kegiatan di tingkat basis ( memobilisasi masyarakat, memfasilitasi, merencanakan dan mengarahkan ). 2.3.2
Pemanfaatan BLM
Ukuran keberhasilan suatu program dapat dilihat dari pelaksanaan penyelesaian program yang telah dilaksanakan. Maka logis ketika alat utama yang dipakai untuk melihat kemajuan program adalah pelaksanaan program di masyarakat ( Nancy Mingus, 2004 : 279 ). Dalam pelaksanaan program PNPM-MP alat untuk melihat kemauan program adalah pelaksanaan pemanfaatan BLM di masyarakat. Pemanfaatan tersebut mencakup bidang-bidang Tridaya ( Ekonomi, Sosial dan Lingkungan ). Dalam pelaksanaan pemanfaatan BLM BKM berpedoman kepada PJM Pronangkis yang telah disepakati dan dari aspek kemanfaatan terhadap warga miskin. Secara singkat dapat diuraikan penggunaan BLM sesuai Tridaya adalah sbb: a) Komponen
Lingkungan,
manfaat
dari
kegiatan
lingkungan
adanya
peningkatan akses lingkungan yang sehat, tertib dan teratur serta diutamakan
25
dapat merangsang pertumbuhan ekonomi wilayah seperti irigasi, pasar lokal pembenahan rumah kumuh, perbaikan ases jalan. b) Komponen Ekonomi, manfaat dari kegiatan ekonomi diarahkan untuk meningkatan pendapatan bagi individu keluarga miskin dengan peminjaman modal untuk usaha ekonomi produktif. Contoh dari kegiatan ini adalah pinjaman bergulir kolektif, pembinaan usaha kecil. c) Komponen Sosial, manfaat dari kegiatan sosial adalah untuk pengembangan kapasitas melalui penguatan organisasi yang langsung berkaitan dengan warga miskin. Contoh kegiatan yaitu pelatihan ketrampilan untuk karang taruna, program peningkatan gizi balita melalui kelompok posyandu, beasiswa untuk pendidikan. 2.3.3
Monitoring dan Evaluasi ( Monev ) program PNPM-MP
Dalam pelaksanaan suatu program diperlukan adanya suatu monitoring dan evaluasi program. Tujuan dari monitoring dan evaluasi tersebut adalah untuk mengevaluasi berjalannya program yang berkaitan dengan proses dan pelaksanaan pemanfaatan BLM oleh pelaksana program dalam hal ini BKM. Hal ini bias dijadikan sebagai indikator keberhasilan pelaksanaan program di lapangan. Ada beberapa tingkatan dalam monitoring program PNPM-MP dalam bahasan ini difokuskan pada tingkat pelaksanaan di masyarakat. Adapun kegiatan monitoring dan evaluasi pada program PNPM-MP dilakukan setelah setiap tahapan siklus dilakukan. Hal ini dikarenakan program PNPM-MP merupakan satu kesatuan utuh antara perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Kegiatan-kegiatan monev sebagai berikut: a) Pada tahap persiapan program yang meliputi penyerapan aspirasi dalam Refleksi Kemiskinan dan Pemetaan Swadaya, kegiatan monev difokuskan pada
26
partisipasi masyarakat dalam program PNPM-MP. Kegiatan ini dilakukan oleh pendamping pogram dan PJOK. b) Tahap perencanaan program yang meliputi pembuatan PJM Pronangkis dan Renta Tahunan, kegiatan monev pada tahap ini difokskan pada kesiapan dokumendokumen yang berkaitan dengan rencana kegiatan, pendanaan dan persiapan pelaksanaan di lapangan. Kegiatan ini dilakukan oleh pihak Korkot Kabupaten. c) Tahap pelaksanaan kegiatan, tahap ini dilakukan pada saat pelaksanaan dan setelah pelaksanaan program dilakukan. Tujuan kegiatan pada saat pelaksanaan program untuk mengawasi apakah kegiatan yang dilakukan telah sesua dengan Juklak dan Juknis yang ada, sedangkan kegiatan monev setelah pelaksanaan difokuskan pada Laporan Pertanggungjawaban kegiatan yang telah dilakukan. Tim pelaksana monev pada tahapan ini adalah tim dari Korkot Kabupaten dan tim konsultan audit independen. Kegiatan ini dilakukan satu tahun sekali. 3. Pengertian Evaluasi Kebijakan Evaluasi kebijakan merupakan kegiatan untuk memperoleh umpan balik dari keseluruhan proses perencanaan, pelaksanaan dan pencapaian dampak dari suatu program/proyek. Informasi dari hasil kegiatan evaluasi akan dimanfaatkan untuk perbaikan kualitas perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengendalian program dimasa mendatang. Melalui kegiatan evaluasi akan dapat memberikan informasi apakah suatu program dapat dinilai berhasil ataukah gagal dalam mewujudkan tujuan, serta bagaimana dampaknya terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat.
Evaluasi dalam kegiatan kemasyarakatan adalah sebuah
pertimbangan terhadap nilai yang ditentukan dalam bentuk manfaat, keefektifan atau ketepatgunaan seseorang/kelompok untuk membuat sebuah pertimbangan nilai dan, sama seperti kebutuhan, sebuah pertimbangan untuk merefleksikan sebuah nilai tertentu ( Jim Ife, 2012 : 617 ).
27
Menurut Dunn dalam Wibawa, dkk ( 1994:10-11) ada 4 fungsi evaluasi yaitu : 1. Eksplanasi, melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. 2. Kepatuhan, melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lain, sesuai dengan standar prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan. 3. Auditing, melalui evaluasi dapat diketahui apakah output benar-benar sampai ketangan kelompok sasaran maupun penerima lain yang dimaksudkan oleh pembuat kebijakan. 4. Akunting, dengan evaluasi dapat diketahui apakah akibat sosial-ekonomi dari kebijakan tersebut. 4. Alur Pikir Penelitian Kemiskinan yang ada di Indonesia sebagian besar dijumpai di wilayah perkotaan ataupun di pinggiran kota ( kaum urban ). Masalah kemiskinan di perkotaan ini berakar pada dua permasalahan mendasar yaitu ketiadaan “akses” dan adanya budaya kemiskinan yang melekat pada masyarakat miskin itu sendiri. Dengan adanya masalah tersebut membuat mereka mengalami kerentanan dalam keterbatasan mengakses kesempatan dan ketidakberdayaan. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah selaku pemegang kebijakan telah melakukan upaya-upaya konkrit untuk menanggulangi kemiskinan. Salah satu cara yang ditempuh pemerintah dengan meluncurkan program PNPM-MP pada tahun 2007, sifat dari program ini adalah memberdayakan masyarakat miskin agar bisa mandiri dan berdaya. Setelah lima tahun program ini diluncurkan telah banyak mendapatkan apresiasi dari berbagai kalangan, terkait dengan keberhasilan program tersebut. Terlepas dari keberhasilan program tersebut 28
implementasi dari program dari PNPM-MP telah membawa dampak bagi kehidupan di masyarakat baik itu dampak positif maupun negatif. Untuk mengetahui realitas yang sesungguhnya tentang manfaat keefektifan dan ketapatgunaan tentang pelaksanaan program PNPM-MP di wilayah Kwaren maka perlu adanya evaluasi secara menyeluruh. Untuk melakukan evaluasi kebijakan program PNPM-MP menurut Gogin ( 1990 ) kinerja kebijakan diketahui melalui dua indikator yaitu output dan outcame. Output kebijakan diketahui dengan mengacu pada sejauh mana tujuan program telah tercapai, sedangkan outcame diukur dari perubahan yang dirasakan masyarakat secara luas yang merupakan cakupan penanganan dari kebijakan yang diterapkan. Evaluasi pada tataran output baru dapat dinilai efisiensi dari kebijakan, yaitu dengan membandingkan antara input terhadap output dalam sistem implementasi. Sedangkan pada tataran outcame, dapat diukur efektifitas kebijakan, dengan menilai kesesuaian antara dampak kebijakan dengan tujuan kebijakan. Secara sistematis evaluasi terhadap program muncul karena adanya suatu timbal balik/apresiasi warga masyarakat penerima program ( Programe Out Come ). Untuk melakukan evalusi program peneliti mengunakan teknik Impack evaluation yaitu evaluasi tentang dampak sistematik dari program baik itu positif maupun negatif yang disebabkan oleh adanya pelaksanaan program. Parameter yang digunakan dalam evaluasi tersebut antara lain berupa institusi lokal, modal sosial dan adanya hubungan eksternal. Beberapa indikator positif untuk keberlanjutan program PNPM-MP yang dipilih dalam studi ini dapat diuraikan di bawah ini : 1. Institusi lokal ( Badan Keswadayaan Masyarakat/BKM ) yang terdiri dari : a. Pembentukan BKM melalui pemilu ( ditingkat basis ataupun kelurahan ); b. Kepengurusan BKM terwakili oleh minimal 30 % perempuan dan 30 % masyarakat miskin; c. Kepengurusan ( BKM dan UP-UP ) memahami tugas dan tanggungjawabnya; 29
d. Kegiatan yang dilakukan oleh UPK, UPS, UPL selalu berkoordinasi dengan BKM; e. Rapat Koordinasi Anggota bersifat rutin dan terjadwal; f. Anggota dapat berpartisipasi aktif; g. Pengambilan keputusan ditingkat BKM minimal disetujui oleh 50% + 1 anggota; h. Kegiatan yang dilakukan oleh UP-UP dapat menopang aktifitas BKM; i. BKM dapat mengakses sumber dana dari luar selain BLM PNPM-MP; j. BKM telah mampu melaksanakan tahapan siklus PNPM-MP sesuai dengan aturan yang berlaku. 2. Indikator modal sosial yang ada di masyarakat antara lain: a. Masyarakat memahami pentingnya program PNPM-MP bagi warga miskin di daerahnya; b. Masyarakat pro aktif terhadap program yang ditawarkan oleh BKM; c. Adanya alur aspirasi secara kontinyu dari masyarakat melalui wakil-wakil utusannya ke BKM; d. Perencanaan program ditingkat basis selalu melibatkan warga miskin dan keterwakilan perempuan; e. Hasil keputusan rapat koordinasi BKM selalu disosialisasi ke masyarakat; f. Masyarakat miskin selalu dilibatkan dalam pelaksanaan program; g. Penyaluran BLM tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat; h. Adanya rasa pengabdian anggota BKM untuk kemajuan lingkungannya; 3. Indikator hubungan eksternal antara lain: a. BKM telah mampu untuk bekerjasama dengan institusi lokal desa ( PKK, BPD, Karang Taruna ); b. BKM telah mampu untuk bekerjasama dengan pemerintahan desa/kelurahan; c. BKM telah mampu untuk bekerjasama dngan pemerintahan Kecamatan; 30
d. BKM mampu membentuk forum kecamatan dan kabupaten; e. BKM mampu mengakses dana dari pihak luar; f. Program yang dirumuskan oleh BKM dapat bersinergi dengan program desa dan kabupaten. Berjalannya program tidak dipungkiri ada beberapa indikator yang mengarah pada dampak negatif , hal ini memungkinkan bahwa institusi BKM tidak bisa bertahan apabila program PNPM-MP telah selesai. Beberapa indikator tersebut antara lain : 1. Institusi lokal ( Badan Keswadayaan Masyarakat/BKM ) antara lain: a. Pembentukan BKM melalui penunjukan bukan melalui pemilu ditingkat basis ataupun kelurahan; b. Kepengurusan BKM didominasi oleh orang-orang dekat aparatur desa; c. Kepengurusan
(
BKM
dan
UP-UP
)
kurang
memahami
tugas
tanggungjawabnya; d. BKM dan UP-UP tidak bersinergi berjalan sendiri-sendiri; e. Rapat Koordinasi Anggota bersifat insidental dan tidak terjadwal; f. Partisipasi anggota BKM rendah; g. Sumber pendanaan hanya dari PNPM-MP ( BLM ); h. Tahapan siklus PNPM-MP tidak beralan sebagaimana mestinya; i. Kegiatan BKM hanya monoton; 2. Indikator negative dari sisi modal sosial antara lain: a. Paradigma masyarakat tentang program PNPM-MP hanya bersifat hibah; b. Partisipasi masyarakat rendah terhadap program; c. Masyarakat kurang memahami program PNPM; d. Perencanaan program ditingkat basis hanya didominasi oleh elit basis; e. Kurangnya sosialisasi program dari BKM ke masyarakat; 31
dan
f. Masyarakat miskin kurang dilibatkan dalam pelaksanaan program; g. Penyaluran BLM kurang tepat sasaranBantuan program kurang tepat dengan kebutuhan masyarakat penerima program. 3. Indikator negative dilihat dari hubungan eksternal antara lain: a. BKM kurang inovatif dalam mengembangkan usahanya; b. Kurang adanya kerjasama antara institusi lokal desa ( PKK, BPD, Karang Taruna ) dengan BKM; c. Kurang adanya kerjasama antara pemerintahan desa/kelurahan dengan BKM; d. Kurang adanya kerjasama antara pemerintahan Kecamatan dengan BKM; e. Kurang adanya kerjasama antara pemerintahan Kabupaten dengan BKM; f. BKM kurang mampu untuk mengakses program bantuan dari pihak lain; Setelah diuraikan tentang indikator-indikator dalam pelaksanaan program PNPM-MP di atas maka selanjutnya dapat dijabarkan melalui skema alur pikir berikut ini . Dalam penelitian yang
dilakukan ini, peneliti mengunakan tahapan penelitian
kualitatif. Di mana data penelitian bersifat holistik dan berkembang sesuai di lapangan yang diperoleh melalui informan penelitian. Menurut Nasution dalam Sugiyono ( 2011:223 ) menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif manusia dijadikan instrumen utama penelitian. Alasannya bahwa segala sesuatu belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, hasil penelitian belum dapat ditentukan secara pasti. Segala sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang penelitian.
32