Bab Enam Migran dalam Perspektif Orang Papua Pengantar Papua merupakan suatu daerah atau tempat dengan tingkat kemajemukan masyarakat yang cukup tinggi. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Tujuan dan kedatangan mereka ke Papua pun dengan motif dan latar belakang yang berbeda-beda, seperti perbedaan suku, agama, tradisi, mata pencaharian maupun pengalaman yang dimiliki. Perbedaan-perbedaan ini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Papua, terutama antar orang Papua dan migran. Motif dan tujuan dari berbagai migran ke Papua antara lain untuk perbaikan ekonomi. Dengan tujuan utama tersebut mendorong mereka para migran melakukan sesuatu untuk mendapatkan peluang atau kesempatan dalam memperlancar tujuan utamanya. Untuk memperlancar tujuan utamanya para migran memerlukan orang Papua, karena orang Papua sebagai pribumi yang berhak atas hak ulayat dan ruang potensinya. Relasi pun dilakukan antar migran dan orang Papua, namun relasi yang dibangun migran bersama orang Papua masih terdapat perbedaan yang dirasakan dalam kehidupan bersama. Sehingga pada bagian ini penulis akan menguraikan tentang bagaimana perbedaan yang dirasakan orang Papua dalam berelasi dengan para migran, terutama beberapa migran yang hidup bersama orang Papua, seperti Papua dengan migran Bugis Makassar, Papua dengan migran Jawa, juga Papua dengan NTT. Ketiga migran ini mempunyai status yang berbeda dalam istilah migrasi. Bugis Makassar mayoritas perantau, sedangkan Jawa dan NTT mayoritas berawal dari transmigrasi. Oleh sebab itu dalam tulisan ini peneliti akan membangun 119
argumen mengenai relasi orang Papua dengan Bugis Makassar, Jawa dan NTT. Relasi orang Papua dan NTT lebih memberikan peluang orang Papua berkembang dalam jangka panjang. Perbedaan relasi tersebut dibicarakan pada bagian berikut ini.
Relasi Orang Papua dengan Migran Bugis Makassar Kehidupan sosial antar migran di lingkungan transmigrasi dilalui dengan sebuah relasi yang berbeda antara orang Papua dan migran luar. Orang Papua membangun relasi dengan Migran Bugis Makassar mempunyai intensitas yang berbeda, dan kurang terbuka. Ketidak terbukaan di antara orang Papua dan migran Bugis Makassar dalam kehidupan bermasyarakat bisa dilihat dari orang Papua sebagai pribumi dengan segala tradisinya, dan migran Bugis Makassar dengan berbagai latar belakangnya. Berrelasi dengan migran Bugis Makassar, orang Papua merasa tidak begitu bebas dan penuh pertimbangan. Adanya perasaan ini karena dalam kehidupan bermasyarakat di antara orang Papua dan migran Bugis Makassar masing-masing mempunyai perbedaan-perbedaan, baik secara fisik, tradisi, suku, maupun kepercayaan. Dari berbagai perbedaan ini tentu berpengaruh terhadap relasi yang dijalani. Relasi antar orang Papua dan migran Bugis Makassar merupakan konsekuensi dari migrasi, dan pertemuan itu menyebabkan interaksi sosial. Sya’roni (2008) mengemukakan interaksi sosial tidak secara otomatis berlangsung dengan baik, terutama dalam hal interaksi dengan etnik lain. Pandangan Sya’roni mengingatkan bahwa pada umumnya relasi antar etnik selamanya tidak berjalan dalam situasi yang baik, tetapi akan dilalui dalam prasangka-prasangka, yang menghambatnya sebuah relasi. Sebagaimana Horton dan Hunt (1984) mengatakan bahwa, dalam konteks relasi antar etnik ada prasangka yang disebabkan oleh sikap etnosentrisme yang cenderung menganggap baik orang-orang dalam kelompok sendiri dan menganggap buruk orang-orang di luar kelompoknya. Ditegaskan pula oleh Sujito (2009), melihat relasi antar kelompok 120
etnis pendatang dengan etnis Papua secara komunal tidak kondusif. Sementara Sujito menjelaskan ada dinamika konflik yang semakin berkembang antara penduduk asli Papua dengan pendatang yang dikatakan sebagai konflik budaya yang berbeda. Situasi relasi ini pun terjadi antara orang Papua dan migran Bugis Makassar dalam konteks Papua secara umum maupun di Distrik Nabire Barat secara khusus. Hal itu dibuktikan dengan relasi yang dibangun antara orang Papua dan migran Bugis Makassar di Distrik Nabire hanya dalam jumlah yang sangat minim, atau satu dari sekian orang Papua, dan atau satu dari sekian migran Bugis Makassar yang membuka diri bersama orang Papua dalam kehidupan bersama. Sehingga kasus relasi antar orang Papua dan migran Bugis Makassar ini hampir sama dengan pandangan Varshney (2001) yang membagi hubungan etnisitas dalam civil society menjadi dua bentuk yaitu intraethnic dan interethnic. Pada aspek intraethnic hubungan dengan komunitas (etnik) lain sangat lemah, bahkan tidak ada sehingga sangat rentan (vulnerable) terhadap adanya konflik antara etnik, komunitas lebih bersifat eksklusif dalam kasus ini. Sementara pada aspek interethnic maka hubungan dan kaitan (engagement) dengan komunitas lain akan terjadi. Lebih lanjut Varshey mengatakan relasi antara etnik dalam jaringan masyarakat (civic networks) ini dapat dibagi menjadi 2 yaitu yang lebih formal dinamakan kaitan dalam bentuk asosiasi (associational forms of engagement) dan kaitan dalam bentuk keseharian (everyday forms of engagement). Kedua bentuk perkaitan di atas potensial untuk menciptakan perdamaian, sementara ketiadaannya akan membuka ruang terjadinya kekerasan etnik. Situasi relasi yang terjadi antar orang Papua dan migran Bugis Makassar pada kategori semacam itu kurang memberi manfaat positif bagi orang Papua baik secara individu, maupun kelompok dalam hal menumbuhkan pemahaman, dan minat dagang, usaha, ataupun keterampilan dan pengetahuan lainnya. Idiologi menjadi faktor utama ketidakterbukaan migran Bugis Makassar dalam berelasi dengan orang Papua disebabkan oleh cara pandang yang kental dengan idiologinya. Migran Bugis Makassar lebih
121
mengedepankan ideologi dalam kehidupannya karena ketaatannya dalam beragama. Ketaatan berhubungan dengan kematangan seseorang dalam beragama, sebagaimana dijelaskan Nashori (1997), bahwa orang yang matang dalam beragama akan selalu mencoba patuh terhadap ajaran agamanya. Namun pada sisi yang lain (Agama) juga menjadi pengikat dan memperkuat relasi di antara mereka, sekaligus mempermudah akses di antara mereka dalam memperoleh sumber informasi, modal dan peluang-peluang ekonomi yang lain. Dengan alasan itulah mereka cenderung lebih memilih membangun relasi di antara migran Bugis Makassar daripada orang Papua, dan sekaligus merupakan modal sosial yang dibangun di antara mereka. F. Tonkiss (2000) mengatakan modal sosial barulah bernilai ekonomis kalau dapat membantu individu atau kelompok misalnya untuk mengakses sumbersumber keuangan, mendapatkan informasi, menemukan pekerjaan, merintis usaha, dan meminimalkan biaya transaksi. Kemungkinan dengan modal sosial inilah sebagian besar migran Bugis Makassar terlihat sukses dan menguasai kantong-kantong kegiatan ekonomi di masyarakat, dibandingkan migran lain di Papua. Mereka tetap eksis dalam berusaha atau kegiatan ekonominya dan mempunyai akses terhadap peluang-peluang sumber daya lainnya, karena mereka lebih membangun relasi dengan elit-elit birokrasi atau toko adat dan atau kepala suku. Karena kedua elit ini mempunyai pengaruh terhadap peluang dan sumber daya yang ada, maka relasi yang terjadi bersifat vertikal yang hanya terbuka di atas saja, di sini saya namakan relasi model penutup drum. Relasi penutup drum ini apabila dikatagorikan dalam tataran modal sosial, relasi ini lebih pada relasi modal sosial linking social capital, yaitu ikatan dengan orang-orang yang memiliki otoritas atau status sosial yang lebih tinggi, misalnya ikatan dengan anggota parlemen, polisi, kepala daerah,dsb (Grootaert et al. 2003, Aldridge 2002) Cara pandang ideologi atau keyakinan ini pun menjadi penghalang dalam membangun relasi dengan orang Papua, khususnya yang tidak se akidah. Babi dan anjing merupakan hewan ataupun binatang yang ada, dan dekat dalam kehidupan orang Papua, sementara bagi migran Bugis Makassar merupakan sesuatu yang dilarang atau 122
diharamkan oleh ideologinya. Pandangan ini membatasi migran Bugis Makassar dalam bersosialisasi dengan orang Papua, demnikian pula sebaliknya, orang Papua merasa sungkan dan tidak akrab bersosialisasi dengan migran Bugis Makassar dalam kehidupan bermasyarakat. Situasi ini merupakan bagian dari masyarakat majemuk, serta keterbatasan manusia dalam membangun jaringan sosial. Menurut Boissevain dan Mitchnell (1972), jaringan sosial terbentuk dalam masyarakat karena manusia pada dasarnya mempunyai keterbatasan dalam berhubungan dengan manusia lainnya. Mereka cenderung lebih memilih berhubungan dengan orang-orang yang mempunyai persamaan kepentingan, agama, suku, bangsa, daerah asal, pendidikan, pekerjaan, dan jenis kelamin. Rabushka dan Shepsle (1972) mengemukakan masyarakat majemuk didefinisikan melalui tiga buah parameter: (1) keragaman kultur, (2) aliansi etnik, dan (3) terorganisasi secara politik. Kuatnya cara pandang ini membuat migran Bugis Makassar lebih memilih membentuk kehidupan berkelompok dengan sesama etnisnya, dari pada dengan orang Papua atau migran lainnya. Mereka cenderung berekspansi lebih luas dalam memonopoli sumber-sumber daya yang ada di sekitarnya. Ekspansi merupakan sebuah kesempatan bagi migran Bugis Makassar untuk melakukan dan mendapatkan sesuatu sekaligus memperbaiki kehidupan ekonomi keluarganya dengan mengerahkan segala kemampuannya. Pola kehidupan ini pun secara tidak sadar akan berpengaruh terhadap relasi antar orang Papua dan migran Bugis Makassar sebagaimana Abdullah (2001) melihat tiga kondisi dasar yang menentukan hubungan antar etnis kurang harmonis. Pertama, faktor keseimbangan hubungan antar etnis memang tidak mungkin dicapai karena posisi ekonomi dan politik satu etnis dengan etnis lain sejak awal sudah berbeda. Masalah muncul ketika perbedaan itu semakin menyolok dan melahirkan ketimpangan secara meluas dalam penguasaan sumberdaya. Ketimpangan penguasaan sumberdaya ini kemudian meluas ke dalam ketimpangan akses politik yang menyebabkan lahirnya dominasi suatu etnis. Dua hal yang berbahaya di sini adalah ketika kelompok etnis dominan mendapatkan
123
privillese dari berbagai agen sosial khususnya pemerintah, dan ketika kesadaran akan batas-batas sosial (social boundaries) mulai muncul. Etnis setempat mulai sadar bahwa wilayah itu merupakan tanah air mereka yang mulai dijajah oleh orang luar. Kedua, pemaksaan politik uniformitas dalam masyarakat plural. Ketiga, melemahnya ikatanikatan tradisional dan kredibilitas tokoh akibat campur tangan pemerintah yang terlalu besar. Kohesi sosial kelompok dalam masyarakat Indonesia telah terganggu akibat berbagai kebijakan yang sentralistis. Tiga alasan ini menjadi penyebab utama ketidakharmonisan antar orang Papua dan migran Bugis Makassar, ataupun migran lainnya dalam perspektif orang Papua. Namun tiga alasan utama ini pun menjadi gejala umum dalam kehidupan antar orang asli (pribumi) dengan pendatang (migran) di Indonesia. Kemampuan migran Bugis Makassar unggul hampir di semua aspek kehidupan, namun yang lebih menonjol dan identik dengan migran Bugis Makassar adalah Swasta atau bisnis. Dengan kemampuan bisnis tersebut menempatkan mereka pada posisi-posisi pusat potensi kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus dikendalikan oleh mereka, (Pasar dan tempat jualan sembako misalnya). Di samping itu dalam mempertahankan identitas keyakinannya, migran Bugis Makassar di mana pun mereka berada, dan dalam jumlah yang banyak mereka akan mendirikan tempat ibadah atau masjid dengan konstruksi yang bagus dan berukuran besar, dibandingkan migran muslim lain. Kondisi ini menjadi bagian dari perkembangan keyakinan bagi setiap penganutnya, sebagaimana Subandi (1995) mengungkapkan, bahwa perkembangan kerberagamaan seseorang merupakan proses yang tidak akan pernah selesai. Tempat ibadah yang didirikan pun secara tidak sadar berimplikasi terhadap kondisi sosial bermasyarakat, dan kemungkinan menimbulkan kecemburuan serta ketidaknyamanan bagi orang Papua yang tinggal di sekitar tempat ibadah tersebut. Dengan demikian relasi yang dijalani bersama antar orang Papua dan migran Bugis Makassar pun dibatasi oleh ruang dan tempat pemukiman masing-masing etnis. Abdullah (2001) menilai bahwa pola hubungan antar etnis itu diten-
124
tukan oleh tiga corak ruang yang menentukan karakter dari hubungan antar etnis itu sendiri. Pertama, berbagai etnis Indonesia tersebar dalam wilayahnya sendiri-sendiri dengan batas-batas fisik (physical boundary) yang jelas menyebabkan pendefinisian diri lebih terikat pada daerah asal dan memiliki klaim terhadap asal usulnya sebagai pewaris tradisi dan wilayah. Kedua, berbagai etnis di Indonesia tersebar di berbagai tempat dengan batas-batas fisik yang semakin tidak jelas dan memiliki sejarah masa lalu yang berbeda dengan etnis-etnis yang terlibat dalam interaksi sosial sehari-hari. Ketiga, munculnya wilayah baru (seperti sub urban) yang dibuka di berbagai tempat yang menyebabkan pertemuan antar etnis dalam suatu wilayah yang telah mengalami redefinisi atas status tanah dan wilayah yang bebas dari pemilikan suatu etnis. Dalam situasi semacam ini setiap etnis ditempatkan dalam posisi yang relatif egaliter. Saat ini orang Papua dengan kesadaran toleransi dan perasaan kasihnya, membiarkan realitas itu ada, dan menjadi bagian dari kehidupan bersama. Tetapi kondisi ini masih dilihat sebagai sebuah relasi yang mampu dipertahankan atau bertahan di antara perkembangan masyarakat yang begitu cepat berubah dan sifat masyarakat yang multicultur. Pada posisi ini dituntut sebuah kesadaran pemahaman yang baik untuk melihat berbagai perbedaan itu dalam porsi positif untuk menghindari terjadinya benturan. Menurut Brian Pay (2002) perlu ada pemahaman bagaimana kita menanggapi situasi-situasi di mana nilai-nilai kita tidak cocok dengan nilai-nilai kebudayaan lain sehingga tidak terjadi benturan budaya. Multicultural menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Papua saat ini yang memposisikan orang Papua sebagai pribumi dengan menempati kelas masyarakat yang disegani dalam tataran pergaulan masyarakat multicultur. Orang Papua menjadi kelas masyarakat yang siap menghadapi tantangan hidup yang semakin kompleks dan penuh persaingan meskipun belum pasti semua orang Papua mampu menjalaninya. Sinansari (1999) dan Salampessy (2001) melihat penduduk lokal merasakan ketidakseimbangan perkembangan segi ekonomi dan politik yang berkaitan dengan perbedaan agama dan budaya. Semen-
125
tara itu Koetjaraningrat (1986) mengemukakan bahwa faktor politik ideologi dapat menjadi sumber konflik antar penguasa dengan rakyat. Konflik bersumber pada pertentangan ideologi atau agama dan dapat berlangsung keras dengan implikasi yang luas karena mereka yang terlibat masing-masing merasa sebagai pembela kebenaran untuk kepentingan orang banyak. Orang Papua Pantai mempunyai peluang dan lebih cepat membangun relasi dengan migran Bugis Makassar daripada Papua Gunung. Adanya peluang tersebut karena sebagian besar migran Bugis Makassar hidup dan tinggal di daerah pantai, bertetangga dan sekaligus saling membutuhkan antara Papua pantai dengan migran Bugis Makassar. Selain itu migran Bugis Makassar lebih banyak menggantungkan hidupnya di laut, dan menjadikan laut sebagai salah satu sumber kehidupannya. Pola mata pencaharian ini pun sama dengan mayoritas orang Papua yang mendiami wilayah pantai. Dua faktor inilah yang menjadi peluang dan sekaligus juga menjadi ancaman dalam relasi di antara dua komunitas masyarakat ini. Relasi yang dibangun pun didasari atas kepentingan-kepentingan tertentu, untuk dapat melakukan kegiatan dalam mempertahankan dan memperbaiki hidup. Namun demikian kegiatannya berjalan dalam kelompok dan posisi masing-masing sehingga ada pandangan klasik yang dikemukakan oleh Furnival (1948) bahwa ada bagian-bagian yang berlainan dalam komunitas hidup yang sebelah menyebelah, tetapi berada di dalam unit politik yang sama. Tiap-tiap kumpulan berpegang kepada agamanya, kebudayaan, dan bahasanya sendiri, bahkan dalam bidang ekonomi pun terdapat pembagian kerja mengikuti garis ras. Migran Bugis Makassar yang berstatus sebagai perantau memulai hidup baru dan tinggal bersama teman, saudara, dan bahkan kontrak. Namun lama kelamaan akan bergeser pada kepemilikan tanah secara permanen, lewat proses pembelian pada penduduk asli yang dijadikan tempat tinggal atau usaha, dan suasana inilah yang terjadi dalam kehidupan antar orang Papua dan migran luar pada umumnya, dan Papua pantai serta migran Bugis Makassar pada khususnya. Menurut Abdullah (2001), pola hubungan antar etnis itu ditentukan oleh tiga
126
corak ruang yang menentukan karakter dari hubungan antar etnis itu sendiri. Pertama, berbagai etnis Indonesia tersebar dalam wilayahnya sendiri-sendiri dengan batas-batas fisik (physical boundary) yang jelas sehingga menyebabkan pendefinisian diri lebih terikat pada daerah asal dan memiliki klaim terhadap asal usulnya sebagai pewaris tradisi dan wilayah. Kedua, berbagai etnis di Indonesia tersebar di berbagai tempat dengan batas-batas fisik yang semakin tidak jelas dan memiliki sejarah masa lalu yang berbeda dengan etnis-etnis yang terlibat dalam interaksi sosial sehari-hari. Ketiga, munculnya wilayah baru (seperti sub urban) yang dibuka di berbagai tempat yang menyebabkan pertemuan antar etnis dalam suatu wilayah yang telah mengalami redefinisi atas status tanah dan wilayah yang bebas dari pemilikan suatu etnis. Dalam situasi semacam ini setiap etnis ditempatkan dalam posisi yang relatif egalite. Sementara relasi antar Papua Gunung dan migran Bugis Makassar hampir tidak terjadi, karena terjadinya relasi yang dekat biasanya didukung oleh beberapa pertimbangan, terutama tempat tinggal yang saling berdekatan. Pada bagian utama ini hampir tidak terlihat, karena mayoritas Papua Gunung tentu memilih mendiami tempat yang jauh dari pantai. Hal ini dilakukan karena pada umumnya bermata pencaharian bercocok tanam dan menjadikan lahan dan hutan menjadi sumber utama kehidupannya. Pola pemukiman dan matapencaharian ini tentu tidak cocok dan kurang diminati sebagian besar migran Bugis Makassar sebagai peluang yang mendukung kehidupan ke depan. Kalaupun ada, hanya lebih terfokus pada posisi-posisi tertentu yang sebagian besar di pusat-pusat kegiatan ekonomi masyarakat yang lebih pada relasi etnis tertutup, dengan berorientasi pada kekuatan ekonomi dan memanfaatkan peluang serta jaringan sumber daya yang ada di sekitarnya. Relasi antar Papua gunung dan migran Bugis Makassar tidak begitu kuat karena disebabkan cara pandang yang berbeda dalam konteks sosial ekonomi. Hal ini pun dijelaskan oleh Boeke (1983), bahwa dalam situasi dualistik terdapat dua karekateristik yang berbeda dalam konteks sosial ekonomi. Satu sisi merupakan golongan masyarakat yang memiliki ikatan sosial asli dan organis, sistem kesukuan
127
tradisional, kebutuhan yang sifatnya terbatas dan bersahaja, serta prinsip produksi pertanian yang sifatnya subsisten. Sedangkan sisi lainnya adalah masyarakat yang berorientasi keuntungan, bersaing usaha yang teroganisasi, profesional, bertumpu pada kapitalisasi dan industri mekanis, serta memandang rendah dorongan atau motif ekonomi yang dikaitkan dengan motif sosial, etika, adat, tradisi,suku, dan agama. Dua perbedaan orientasi inilah yang sangat memperlemah relasi antar orang Papua dan migran Bugis Makassar sekaligus menjadi ruang yang kompleks dalam suasana sosial yang sangat kaku dan sensitif. Ini juga menjadi bagian dari interaksi sosial masyarakat multietnik dan multikultur yang tentunya karena sebuah relasi dibangun atas dasar kepentingan atau kebutuhan. Taneko (1984) mengemukakan bahwa interaksi sosial dipengaruhi oleh kebutuhan, harapan, kesempatan, transportasi, kondisi geografis, status sosial, bahasa, etnis, agama, tingkat pendidikan, jarak fisik dan jarak sosial. Dengan berbagai perbedaan itulah kemudian pandangan klasik Furnival (dalam Usman Pelly 2005) mengatakan bahwa masyarakat dalam unit-unit ekonomi ini hidup menyendiri pada lokasi-lokasi pemukiman tertentu dengan sistem sosialnya masing-masing. Pola aktivitas ekonomi dengan orientasi dan cara pandang yang berbeda antara orang Papua dan migran Bugis Makassar memposisikan mereka pada wilayah yang mendukung kegiatan ekonominya masing-masing. Padangan kapitalisme akan lebih memilih di kota dengan kegiatan ekonomi bervariasi, yang lebih pada target keuntungan, sedangkan pandangan prakapitalisme lebih banyak di desa, dan tergantung pada alam dan lingkungan serta kegiatan ekonomi yang monoton pada pemenuhan kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Migran Bugis Makassar dengan mental perantaunya tentu mempunyai motif yang lebih mengarah pada perbaikan ekonomi, dan terdorong dengan prinsip harus berhasil. Dengan pandangan hidup inilah memacu mereka untuk selalu bekerja keras mencapai kesuksesan. Namun di balik kesuksesan yang mereka peroleh secara tidak sadar menimbulkan keresahan bagi orang Papua, karena kemungkinan
128
mereka yang bertetangga dengan migran Bugis Makassar merasakan suasana yang berbeda dan individualisme yang mengarah pada persaingan hidup. Suasana ini tentu membuat orang Papua tidak nyaman karena tidak mampu menyesuaikan dengan suasana tersebut, sehingga relasi yang dijalaninya pun tidak seperti yang diharapkan. Pada akhirnya orang Papua menjual tanahnya dan pindah ke tempat lain yang belum pasti berpeluang mendukung perbaikan hidupnya. Menurut Coleman dan Watson 2005, bahwa sebagai makhluk hidup kita merasa aman jika hidup di suatu lingkungan yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari. Kita dikelilingi oleh objek, manusia dan bangunan yang akrab dengan kita, dan yang kita pikir dapat kita pahami. Sikap ini sesungguhnya berat bagi orang Papua, baik secara individu maupun kelompok untuk melepaskan tempat tinggal (tanahnya) pada orang lain atau orang luar. Hal ini dilakukan oleh sebagian orang Papua karena mereka diperhadapkan pada berbagai kondisi. Pertama, kemungkinan hidup bertetangga dengan migran Bugis Makassar terasa tingkat persaingan hidupnya semakin tinggi, sementara dalam berrelasi pun masih dibatasi oleh tradisi, sehingga mereka merasa tersisih dalam hidup bermasyarakat, dan pada akhirnya mereka melepas tanahnya pada migran Bugis Makassar ataupun orang lain, sebagaimana sudah disinggung sebelumnya oleh peneliti. Kedua, kemungkinan karena desakan kebutuhan atau mempunyai keperluan lain yang membutuhkan uang dalam jumlah yang banyak, terpaksa tanah menjadi harapan terakhir untuk menjawab persoalan itu. Kondisi rumah tangga yang belum stabil sering menjadikan tanah sebagai alternatif terakhir untuk dijual. Kebanyakan hasil penjualan tanah dipergunakan untuk menambah biaya studi anak-anak mereka, terutama pada awal studi dan akhir studi, karena dua limit waktu studi yang berbeda ini memerlukan biaya tidak sedikit. Kemungkinan yang terakhir adanya sebagian orang Papua yang mempunyai kebanggaan yang lahir dari pemahaman kolektif tentang lingkungan dan lahan (tanah) yang menjadi sumber tidak terbatas dalam kehidupannya. Hal ini membuat mereka tidak sadar bahwa lingkungan dan tanah yang bernilai ekonomi dan sosial, semakin hari, semakin berkurang dari hak ulayat mereka, yang pada akhirnya memposisikan mereka di pingiran129
pingiran sudut kota yang jauh dari pusat ekonomi.. Selain itu kebijakan konversi lahan potensi alam oleh pemegang kebijakan untuk kepentingan pembangunan daerah dan swasta, juga turut mempercepat jalan ke arah itu. Jayadinata (1999), melihat lahan dari tiga kategori. Pertama dari nilai keuntungan yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi yang dapat dicapai dengan jual beli tanah di pasaran bebas; kedua, dari nilai keuntungan umum, yang dihubungkan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan yang lebih pada pemukiman terhadap akses; dan ketiga nilai sosial, yang merupakan hal dasar bagi kehidupan dan dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan dan aspek lainnya. Dari beberapa kemungkinan alasan ini menjadi penyebab utama orang Papua menjadi terasing di negerinya sendiri. Saat ini ataupun akan datang sebagian besar orang Papua menjadi kelompok masyarakat yang kurang beruntung dan sekaligus memposisikan mereka sebagai masyarakat paling rentan terhadap perubahan dan kemajuan. Jejakjejak itu kini telah dimulai dan terus berjalan dalam kehidupan orang Papua, namun sebagian besar orang Papua belum sadar akan kondisi ini dan ancaman yang akan ditimbulkan. Lambatnya kesadaran terhadap kondisi itu kemungkinan disebabkan oleh kondisi kehidupan saat ini yang masih memberikan peluang pada mereka, atau kuatnya tradisi dan kebiasaan hidup yang tidak sejalan dengan tuntutan karakter hidup saat ini. Beberapa pertimbangan yang menjadi alasan dalam membedakan migran perantau dan transmigran dalam kehidupan orang Papua. Perbedaan antara migran perantau dan transmigran dalam kehidupan bermasyarakat lebih menonjolkan motif yang berbeda-beda, sehingga juga mempunyai dampak berbeda-beda yang berakibat positif maupun negatif bagi orang Papua. Alasan pertama migran perantau lebih berorientasi pada ekonomi, sehingga memilih berada pada posisi-posisi yang berpeluang ekonomis, terutama di pusat kegiatan ekonomi masyarakat, pasar dan ruang ekonomi lainnya, sebagaimana dikemuka130
kan oleh Tirtosoedarmo (1994), mengenai fenomena daerah perkotaan di Irian Jaya (Papua) bahkan Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada umumnya. Kedua, migran perantau tidak terikat oleh lokasi atau tempat tinggal sehingga mereka bebas untuk berakses terhadap sumber-sumber ekonomi lainnya. Ketiga, migran perantau tidak fokus pada satu kegiatan ekonomi, tetapi lebih bervariasi, karena disesuaikan dengan perkembangan, dan peluang pasar yang kreatif. Keempat, migran perantau lebih memilih membangun jaringan di antara mereka, baik sesama etnis atau seprofesi, karena lebih mudah memperoleh sumber infromasi dan modal usaha, sehingga sebagian besar dari migran perantau sukses dalam kegiatan ekonominya. Sementara pada sisi yang lain migran perantau pada umumnya memiliki karakter bisnis atau swasta yang lebih mengedepankan manajemen keuntungan daripada lingkungan sosial, sedangkan transmigran lebih berorientasi pada perbaikan hidup, sehingga mereka lebih mengedepankan kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, dan memanfaatkan sumber ekonomi yang ada, dan lebih banyak tergantung pada alam atau lahan. Kedua, transmigran lebih terikat pada satu posisi atau tempat, sehingga tidak memungkinan mereka lebih leluasa atau bebas dalam mengakses sumber sumber dan peluang ekonomi lain, serta kurung didukung dengan lingkungan yang ada. Ketiga, transmigran lebih fokus pada satu kegiatan ekonomi, karena pertanian dan peternakan menjadi profesi utama transmigran yang aktivitasnya memerlukan keterlibatan pemerintah. Keempat jaringan yang dibangun di antara transmigran lebih pada jaringan gotong royong, kerja sama dalam mengatasi persoalan bersama dari pada bersaing. Kelima transmigran lebih memilih hidup terbuka antar sesama maupun dengan orang lain, karena pembauran menjadi bagian dari pola pemukimannya. Yang terakhir, pada umumnya transmigran berlatar belakang pertaniaan, perternakan dengan profesi tersebut memberikan peluang adanya perjumpaan di antara mereka. Thapa dan Weber (1988) mengatakan, bila kesempatan di luar pertanian tersedia baik karena lokasi atau kemampuan yang dimiliki individu itu sendiri, maka secara sosial ekonomi para pemukim kebanyakan berhasil.
131
Perbedaan motif antara migran perantau dan transmigran bagi orang Papua adalah: migran perantau kurang memberikan peluang terjadi transfer keterampilan atau pengetahuan bagi orang Papua, karena lebih mengedepankan ekonomi, dan aspek-aspek yang lain dalam kehidupan etnisnya, serta memilih berrelasi tertutup yang saling menguntungkan, sehingga orang-orang yang tidak memiliki kriteria itu bukan bagian dari relasi utama mereka. Transmigran sangat berpeluang terjadi transfer keterampilan, maupun pengetahuan bagi orang Papua, karena memilih hidup bersama, dan cenderung berrelasi terbuka, serta berpola aktivitas pertanian yang sama dengan orang Papua.
Relasi Orang Papua dengan Migran Jawa Relasi antara orang Papua dan migran Jawa dalam kehidupan bermasyarakat berpeluang adanya saling terbuka dan menerima dengan membangun relasi yang saling memahami. Keterbukaan antara migran Jawa dan orang Papua dalam kehidupan bersama, disebabkan migran Jawa tidak bergitu ketat dalam melihat perbedaan di antara orang Papua dan dirinya, terutama yang berhubungan dengan keyakinan. Hal ini menjadi peluang adanya hidup bersama, dan melakukan kerja sama, bahkan adanya kawin campur antar orang Papua dengan migran Jawa. Sebagaimana dikemukakan Damami (2002) bahwa bagi masyarakat Jawa, agama dipahami sebagai ”ageming aji” yaitu bahwa agama merupakan pedoman hidup yang pokok, artinya bahwa agama apa saja mengajarkan atau mengandung ajaran yang serba baik untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup masyarakat di dunia ini. Agama apa pun yang dipeluk sama saja karena semua agama mengajarkan keselamatan. Di samping itu masyarakat Jawa jarang memperbincangkan dan mempertanyakannya agama kecuali untuk memperoleh atau membuat KTP, SIM dan sebaginya (Woodward,1988; 1989; Hefner, 1987). Ini dikarenakan dianggap kurang sopan. Dalam masyarakat Jawa, agama juga tidak terlalu dipermasalahkan karena masyarakat Jawa memiliki pemahaman dan pemaknaan sendiri terhadap agama. ”Agama ageming aji” apa pun agama yang dipeluk sama saja karena semua agama mengajarkan keselamatan. 132
Pemaknaan yang kedua adalah dari kata ”aji” yaitu dengan pengertian ”ratu” bahwa agama yang dipeluk oleh Raja atau Ratu itulah yang dipeluk masyarakatnya. Dengan demikian suasana relasi yang dibangun migran Jawa lebih memberikan kenyamanan pada orang Papua dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tidak merasa terancam kehidupannya apabila bertetangga dengan migran Jawa, karena migran Jawa masih mengedepankan kebersamaan dan toleransi dalam hidup bersama dengan orang lain, sekalipun bukan etnisnya. Roibin (2008) mengemukakan bahwa praktik toleransi dalam masalah kepercayaan pada masyarakat Jawa merupakan salah satu hal yang menjadi kebanggaan kultural masyarakat Jawa. Perkawinan antara migran Jawa dan orang Papua bisa dilihat sebagai sebuah strategi dalam kehidupan bersama atau adanya peluang perbaikan kehidupan pribadi dan keluarga. Perkawinan sebagai sebuah strategi karena migran Jawa yang kawin dengan orang Papua, biasanya adalah orang-orang Papua yang mempunyai status yang cukup disegani di masyarakat, dan mempunyai pengaruh, baik di pemerintahan ataupun masyarakat sekitar, yang biasa disebut elit lokal atau sering dipangil kepala suku. Kepala suku dalam tataran orang Papua identik dengan pemegang kebijakan tertinggi terhadap pengelolaan sumber daya alam (hak ulayat) lingkungan dan masyarakatnya. Dari beberapa hak yang melekat pada kepala suku menjadi sebuah peluang kerja sama, kenyamanan bersama dan saling melindungi dalam kehidupan bersama di lingkungan bermasyarakat. Dharmawan (2007) menegaskan bahwa strategi bertahan hidup di pedesaan adalah strategi penghidupan dan nafkah yang dibangun dan menunjuk pada peran sektor pertanian. Pada sisi lain, relasi tersebut menjadi sebuah modal sosial sebagaimana dikatakan oleh Putnam (1996), bahwa modal sosial adalah bagian dari kehidupan sosial, jaringan, norma, dan kepercayaan yang mendorong partisipasi bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Selain itu mayoritas migran Jawa bermata pencaharian bercocok tanam, dan beberapa kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan pengolahan hutan tentu memerlukan kerja sama dengan kepala suku,
133
sehingga mempermudah akses terhadap sumber-sumber daya yang ada. Sekalipun ada peluang akses terhadap sumber-sumber daya tersebut tidak membuat mereka (migran Jawa) lebih berpotensi terhadap penguasaan sumber daya yang ada di sekelilingnya, karena sebagian besar dari migran Jawa terpusat di daerah transmigrasi dan bertani sederhana. Kemungkinan inilah yang menjadi alasan sementara, kenapa migran Jawa tidak terlalu berpotensi ancaman bagi orang Papua. Namun perkembangan migran Jawa dari generasi ke generasi terus terjadi, yang tentu berpeluang menciptakan suasana baru dengan pola pikir yang terus maju menuju perbaikan hidup dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitarnya. Pada akhirnya hal ini akan menimbulkan persoalan baru bagi kehidupan orang Papua. Migran Jawa pada kantung-kantung transmigrasi lebih berpeluang terjadi relasi dengan orang Papua. Terjadinya peluang tersebut antara lain adanya pola pemukiman berbaur antara orang Papua dengan migran Jawa, baik Papua Pantai maupun Papua Gunung. Mereka sama-sama hidup dalam satu lingkungan, dan lebih banyak bertani padi daripada kegiatan ekonomi lainnya. Sekalipun orang Papua sebagian besar masih mempertahankan cara bertaninya (bertani lokal) namun rutinitas tersebut mendukung terciptanya relasi yang saling menghargai di antara sesama. Relasi yang tercipta saat ini terus terjaga, karena didasari oleh kehidupan bersama yang sudah tercipta dalam jangka waktu lama, dan dilalui secara bersama-sama dalam rutinitas keseharian masing-masing sehingga terjadi interaksi di antara mereka. Interaksi terjadi bersaman dengan rutinitas yang dijalani bersama migran Jawa, namun dalam rutinitas tersebut migran Jawa lebih banyak terlibat bersama orang Papua Gunung dibandingkan Papua Pantai, karena Papua Gunung lebih banyak berada di daerah transmigrasi. Relasi yang terjadi antara orang Papua dengan migran Jawa pada umumnya masih terdapat kelonggaran terutama adanya peluang kerja sama, sehingga relasi yang terbangun antara orang Papua dan migran Jawa peneliti namakan relasi kolaborasi, artinya dia (orang Papua) hidup, saya (Jawa) juga hidup. Kuat dan eksisnya relasi kolaborasi ini
134
karena didukung dengan relasi model gorong-gorong (atas bawah atau vertikal-elit dan horizontal-masyarakat), Relasi antar orang Papua dengan migran Jawa lebih pada modal sosial brigjing social capital yaitu ikatan dengan orang-orang yang tidak memiliki karakter yang sama, misalnya kenalan, teman kerja dari etnis lain, teman dari teman. Ikatan ini sering disebut sebagai ‘pelumas sosial (Grootaert et al. 2003, Aldridge 2002). Keterlibatan Papua Gunung bersama migran Jawa dalam berbagai kegiatan ekonomi yang dilakukan secara bersama, terutama pada kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan pengelolaan tanah, dan hutan, karena dua bidang kegiatan ini sudah menjadi bagian dari kehidupan orang Papua. Bagi sebagian besar migran Jawa menjadikan tanah dan hutan sebagai sumber utama kehidupannya, sementara sebagian besar sumber daya tersebut dikuasai oleh Papua Gunung, sehingga relasi ketergantungan ini pun tetap terjaga. Lewat kegiatan pertanian tersebut terjadilah jaringan sosial yang memberikan manfaat bagi orang Papua sebagaimana dikemukakan oleh La Pona (1999) bahwa trans lokal yang memiliki jaringan sosial aspek pertanian dengan transmigran asal ternyata mengadopsi banyak inovasi budidaya pertanian, demikian sebaliknya. Migran Jawa dengan program transmigrasinya mempunyai cerita tersendiri bagi orang Papua. Kehadiran migran Jawa bersama program transmigrasinya di Papua sudah dimulai sejak kolonialisasi, dan menjadikan migran Jawa sebagai pembawa perubahan di daerah tujuan. Tujuan yang nyata dirasakan bersama dengan kehadiran migran Jawa, hampir terlihat pada semua aspek kehidupan masyarakat, yang meliputi aspek ekonomi, sosial, budaya dan birokrasi. Dari berbagai perubahan ini pun menjadi bagian dari cerita perkembangan masyarakat dan pembangunan di Papua. Dengan perkembangan tersebut tentu menimbulkan persoalan baru bagi orang Papua, juga pada aspek ekonomi, sosial budaya, maupun lingkungan. Soetrisno (1986) mengemukakan bahwa hubungan sosial penduduk asli dan transmigrasi yang belum serasi di Irian Jaya (Papua) sering berkembang menjadi isyu politik di daerah, dan sering dikatakan sebagai usaha “kolonialisasi”
135
“menjawakan” dan meng-islam-kan daerah. Kekhawatiran itu menimbulkan pandangan yang berbeda dalam masyarakat Papua. Ada kelompok yang melihat transmigrasi dari sisi negatif, ada yang berpandangan moderat, juga yang positif (mendukung). Dari beberapa pandangan ini mempunyai alasan masing-masing, sehingga jalan tengah pun diambil oleh elit-elit otonomi daerah dengan mengeluarkan sebuah keputusan yang disebut Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang menjelaskan bahwa kebijakan transmigrasi di Provinsi Papua akan dilaksanakan setelah orang asli Papua mencapai jumlah 20 juta jiwa. Selanjutnya kebijakan sebagaimana dimaksud akan dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Pernyataan Perdasi ini mengandung konsekuensi yang berbeda terhadap kepastian keberlanjutan program transmigrasi di Papua. Untuk mencapai 20 juta jiwa, orang asli Papua (OAP) tentu membutuhkan waktu yang cukup lama. Dengan merujuk pada perhitungan BPS Papua saat ini, maka untuk mendapatkan target sesuai perdasi, paling tidak membutuhkan waktu sekitar setengah atau satu abad lagi, itu pun belum bisa dipastikan karena masih ada faktor-faktor lain yang turut memperlambat pertumbuhan orang asli Papua, seperti pelanggaran HAM yang sering terjadi, gizi buruk, dan pelayanan kesehatan yang kurang memadai. Banyak orang Papua yang masih jauh dari kehidupan yang layak, ditambah dengan MIRAS dan HIV/AIDS, juga turut melengkapi faktor tersebut. Beberapa faktor ini terjadi dalam kehidupan orang asli Papua dan sangat berpotensi menghambat proses pertumbuhan penduduk asli Papua. Dari beberapa faktor ini kalau dikategorikan faktor mana yang sangat menghambat, maka di antaranya adalah masalah HAM, MIRAS dan HIV/AIDS. Ketiga faktor ini terjadi secara terus-menerus dan dalam waktu yang lama di kehidupan orang Papua. Perdasi tentu bertujuan memberikan proteksi terhadap orang asli Papua dengan segala sumberdaya dan latar belakangnya dari perkembangan migran di Papua. Perdasi hanya menutup pintu transmigrasi, tetapi pada sisi lain tidak mengontrol pintu migran perantau, yang
136
setiap saat melewati dermaga-dermaga, dan bandara-bandara di seluruh tanah Papua dalam jumlah yang tidak diketahui besarnya. Pada bagian ini pun apa yang menjadi harapan dan tuntutan dari sebuah keputusan tidak berjalan secara maksimal, sehingga pada akhirnya menambah persoalan bagi orang Papua terutama kepentingan pusat dan daerah yang berdampak pada masyarakat Papua itu sendiri.
Relasi Orang Papua dan NTT Orang Papua lebih mudah dan cepat membangun relasi dan bersosialisasi dengan migran NTT. Begitu pula migran NTT lebih mudah dan cepat berrelasi dengan orang Papua daripada dengan migran lain. Kemudahan itu ada dan terjadi karena antara orang Papua, dan migran NTT mempunyai beberapa kesamaan yang sangat memberi peluang terjadinya proses saling menerima dengan cepat. Beberapa aspek yang menjadi faktor pendukung proses tersebut bisa berjalan dengan mudah dan cepat dalam kehidupan bersama antara orang Papua dengan migran NTT, antara lain persamaan ideologi, karakter, tradisi, dan pola mata pencaharian. Dari beberapa persamaan dan kemiripan inilah yang mempermudah hidup bersama antara orang Papua dengan migran NTT. Persamaan Ideologi menjadi faktor utama dan sangat berpengaruh dalam relasi antara orang Papua dengan migran NTT, sehingga melahirkan rasa kebersamaan yang semakin kuat dalam hidup bersama di masyarakat. Kesadaran kebersamaan ini pun selalu terjaga karena dilalui secara bersama-sama yang didukung dengan saling menghargai, memahami dan penuh pengertian antara orang Papua dan migran NTT. Beberapa kemiripan yang turut mempercepat sosialisasi di antara orang Papua dan migran NTT dalam kehidupan bermasyarakat adalah karakter, kebiasaan, dan pola mata pencaharian. Karakter tegas (keras) menjadi bagian dari perilaku sebagian besar penduduk bagian timur baik NTT, Papua maupun Maluku, sehingga mempermudah untuk saling menerima dan memahami. Namun ketegasan yang menjadi perilaku migran NTT dalam kehidupan bersama orang Papua adalah berhubungan dengan penyadaran tentang perilaku-perilaku yang dapat 137
merugikan diri sendiri dan orang lain. Kehadiran migran NTT dalam kehidupan orang Papua bukan hanya sekedar membangun relasi tetapi mempunyai peranan lebih dalam melakukan pendekatan-pendekatan bersama orang Papua yang mengarah kepada perubahan yang positif, terutama perilaku kesadaran pendidikan. Menurut Coleman (1994), kedekatan menjadi hubungan yang memberikan manfaat timbal balik antar aktor dan institusi berbeda sebagai sesuatu yang esensial dalam memberikan tidak hanya dipenuhinya kewajiban, namun juga bagi dijalankannya sangsi. Selain itu aktivitas mata pencaharian yang sama antara orang Papua dan NTT juga memberikan ruang relasi yang sangat kuat adanya kerja sama saling melengkapi kekurangan dalam kehidupan bersama. Relasi antara orang Papua dan migran NTT merupakan relasi yang sangat dekat dan kuat yang peneliti namakan sebagai relasi sepiring bersama, artinya sama-sama mati sama-sama hidup, dari sama-sama hidup dan mati ini terbangun dalam modal sosial yang lebih pada bonding social capital yaitu ikatan dengan orang-orang yang memiliki karakter demografis yang sama (tingkat sosial-ekonomi, etnis), seperti anggota keluarga, tetangga, teman dekat, dll. Ikatan ini sering disebut sebagai ‘perekat sosial (Grootaert et al. 2003, Aldridge, 2000). Perbedaan ideologi sebagian besar orang Papua bukan menjadi penghalang bagi migran NTT untuk membangun relasi, tetapi merupakan sebuah peluang. Dalam kehidupan sebagian besar orang Papua mengenal dua ideologi. Sebagian besar Papua Pantai berkeyakinan Kristen Protestan, dan Papua Gunung sebagian besar berkeyakinan Kristen Katolik. Perbedaan ideologi antara orang Papua bukan menjadi penghambat dalam membangun dan menjalani relasi secara bersama dalam kehidupan bermasyarakat. Kesadaran kebersamaan ini ada dan tumbuh, karena rasa yang diikat oleh satu identitas sebagai orang Papua. Namun di antara Papua Pantai maupun Pegunungan mempunyai kekuasaan dan hak terhadap sumber daya masing-masing. Papua pantai lebih menguasai sumber daya di bagian pantai dan sekitarnya, sedangkan papua gunung lebih menguasai sumber daya di bagian gunung dan sekitarnya. Namun tidak menutup kemungkinan adanya
138
kerja sama dalam memanfaatkan sumber daya alam yang ada, baik antara Papua Gunung maupun Papua Pantai atau sebaliknya. Pada posisi ini pun migran NTT terbagi dalam dua kelompok keyakinan, ada yang Kristen Katolik, ada juga yang Kristen Protestan. Perbedaan dan persamaan idiologi antara orang Papua dan migran NTT menjadi peluang dan mempermudah migran NTT mempunyai akses terhadap sumber-sumber daya di pantai dan di gunung. Secara keyakinan, migran NTT yang Kristen Protestan lebih dekat relasinya dengan orang Papua Pantai daripada Papua Gunung, sedangkan migran NTT yang Kristen Katolik lebih dekat relasinya dengan Papua Gunung daripada Papua Pantai. Namun sesungguhnya relasi di kalangan migran NTT tidak dibatasi oleh perbedaan keyakinannya, karena diikat oleh rasa kebersamaan di rantauan yang semakin kuat, sekaligus mempermudah akses terhadap informasi dan peluang-peluang di antara migran NTT dan orang Papua. Dari beberapa faktor persamaan antara orang Papua dan migran NTT juga disinggung oleh Yosep Yapi Taum T. (1996) bahwa masyarakat Kemak di Timor Timur mempunyai adat istiadat yang mirip dengan orang Papua, yaitu: membangun rumah adat, upacara adat (belis), menggarap ladang (berkebun), dan melakukan upacara kematian, juga agama. Beberapa kemiripan adat tersebut mempunyai intensitas yang berbeda dan dirasakan cukup memberikan pengaruh yang sangat kuat dan cepat pada relasi antara orang Papua dan migran NTT dalam hidup bermasyarakat. Dari beberapa kecocokan dan kemiripan itulah terjadi relasi yang sangat terbuka dan saling menerima dalam membentuk suatu ikatan relasi yang dekat dan kuat lewat proses perkawinan campur. Dalam kehidupan bertetangga pun di antara kedua etnis ini selalu hidup bersama dalam lingkungan yang sama. Fenomena ini merupakan pandangan umum yang terjadi dalam pergaulan dan kehidupan migran NTT dan orang Papua, baik di kota maupun di pedesaan atau pedalaman. Menurut Landecker dalam Kundharu Kartodirjo (2006), bahwa integrasi sosial dalam masyarakat yang berbeda pada hakikatnya ditentukan oleh beberapa hal: (1) Pengetahuan dan sikap kelompok etnik satu terhadap etnik yang lain;
139
(2) Berpeluang terjadinya interaksi di antara kelompok etnik yang ada. Dengan demikian, hakikat integrasi terdiri dari hubungan yang mempertemukan mereka dalam usaha bersama sebagaimana aktivitas beragama, pencaharian nafkah, perkawinan, toleransi hidup berkeluarga, pendidikan, serta membangun hubungan hidup bermasyarakat. Interaksi dalam kehidupan bersama antara dua etnis ini bertambah kuat karena didukung oleh lingkungan desa yang cenderung terisolasi. Lingkungan desa yang masyarakatnya lebih mudah bertemu memberikan peluang terjadinya interaksi yang begitu intensif, namun kurang berinteraksi dengan masyarakat luar, bahkan sangat terbatas. Intensitas interaksi antara kelompok masyarakat ini cenderung terjaga dalam kehidupan bersama yang penuh kesederhanaan. Boelaar (1984) mengatakan bahwa masyarakat desa yang relatif terisolasi, intensitas interaksi dengan masyarakat lain cenderung kurang, bahkan sangat terbatas. Yang termasuk dalam tipe ini adalah masyarakat pemburu, peramu, dan masyarakat pedesaan. Mereka juga disebut sebagai masyarakat sederhana dan tradisional, kehidupannya cenderung homogen. Ini merupakan keadaan kehidupan masyarakat pedesaan atau tradisional yang menggunakan alam sebagai dasar penghidupannya, sehingga mereka sangat tergantung pada alam sekitar tempat hidupnya. Dengan keterbatasan lingkungan dan pola hidup pada masyarakat pedesaan membuat hubungan di antara mereka semakin kuat dan selalu menjaga lingkungan alamnya, karena sebagian besar masyarakat pedesaan sumber kehidupannya tergantung pada alam sekitarnya. Ketergantungan itulah yang sebagian besar masyarakat pedesaan pada daerah-daerah tertentu cenderung tidak meninggalkan desanya. Daerah-daerah dengan potensi alamnya yang masih banyak tentu masyarakatnya terutama masyarakat di pedesaan dan pinggiran kota merasa tidak kesulitan dalam hal memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sekalipun kebutuhan yang mereka miliki sangat sederhana, namun dengan kesederhanaan itu membuat mereka tetap menjaga keseluruhan dari apa yang mereka miliki dan menjadi bagian dari kehidupan mereka. Gotong royong dan kebersamaan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat di pedesaan. Dengan kebersamaan dan gotong
140
royong tersebut menciptakan interaksi yang semakin baik dan harmonis di antara warga desa, dan pola itu pun tetap terpelihara dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini terlihat serta terlaksana dalam setiap kegiatan yang bersifat umum dan khusus yang berhubungan dengan kegiatan adat dan kepentingan bersama. Dua kepentingan tersebut tertanam kuat dalam suasana kehidupan masyarakat pedesaan. Dengan dua kepentingan itulah membuat mereka tetap hidup dan bertahan dalan jangka panjang, kemudian dua kepentingan tersebut juga mempunyai kekuatan dan pengaruh masingmasing terhadap aktivitas yang dilakukan oleh warga pedesaan. Secara khusus kekuatan tradisi menjadi bagian terpenting dan sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat pedesaan. Tradisi yang lahir dan dibentuk oleh mereka sebagai acuan untuk menata dan mengontrol setiap orang sebagai warga desa dalam kehidupan bermasyarakat, selalu bersikap atau berperilaku sesuai dengan aturan yang sudah ada agar kepentingan-kepentingan yang menjadi modal utama mereka selalu terjaga dan terpelihara dari generasi ke generasi. Dengan komitmen itulah pada sebagian besar masyarakat pedesaan kurang berpeluang menerima kondisi baru yang dianggap bertentangan dengan pola kehidupan mereka. Namun pada sisi lain perilaku positif yang terjadi dan dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan generasi mereka ke depan secara mudah dan cepat tersosialisai dalam kehidupan bermasyarakat, dan merupakan tanggungjawab bersama sebagai sebuah kewajiban yang harus ditaati dan diperhatikan secara bersama pula.
Orang Papua ke depan Presentasi Penduduk Papua dan non Papua pada Tabel 6 menunjukkan angka relatif, yang memungkin adanya perubahan namun cenderung lambat dan sedikit. Kondisi ini menandakan pola ekspansi jalan, bahwa penduduk asli Papua makin kurang dan sedikit dibandingkan migran. Proses ekspansi pun bukan hanya nampak pada komposisi penduduk antar lokal dan migran saja, tetapi ekspansi juga terjadi terhadap ruang-ruang potensi hak hidup orang Papua. Ruangruang peluang dan kesempatan yang menyangkut hak hidup pun dari 141
hari ke hari sedikit demi sedikit mulai bergeser dan berpindah ke tangan migran. Proses itu kini telah terjadi secara cepat dalam kehidupan orang Papua. Pergeseran itu hampir terjadi di semua aspek kehidupan orang Papua, baik secara ekonomi, maupun ruang publik yang merupakan sebuah kesempatan dan kewenangan lebih untuk menata serta memberdayakan orang Papua agar etnis yang sebagian besar masih berada pada pusaran keterbelakangan dan kemiskinan bisa mampu dan berpeluang untuk memperbaiki diri secara pribadi baik mental maupun fisik, dalam tataran kehidupan secara manusia yang bermanfaat untuk menolong dirinya sendiri untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan sejahtera. Jalan ke arah itu pun ada, namun cenderung agak lambat dan sulit, karena perubahan orang Papua menuju perbaikan kebanyakan diperhadapkan pada dua kekuatan lingkungan yang berbeda. Lingkungan yang pertama adalah lingkung-an dimana pertemuan secara terbuka antara migran dan orang Papua dalam posisi bersaing menguasai, mempertahankan dan beradaptasi terhadap sumber daya dan ruang-ruang kegiatan ekonomi yang menjadi sumber kehidupan. Lingkungan pertama ini berjalan secara natural, dan terencana secara tidak sadar mengantarkan kebanyakan orang Papua pada sebuah garis batas yang memungkinkan orang Papua tidak mampu survive dalam jangka panjang. Lingkungan yang kedua, adalah lingkungan dimana terjadi pertemuan negosiasi antara kepentingan pusat dan daerah yang lebih memposisikan elit daerah yang notabene adalah anak adat yang seharusnya berpikir dan bertindak lebih dalam menempatkan orang asli Papua pada porsi yang membawa perubahan pada orang Papua. Namun harapan itu pun tidak bisa terlaksana dengan sungguh-sungguh karena sebagian besar elit Papua ini terjebak dengan pola pikir dan gaya hidup sebagai elit luar Papua yang cenderung menempatkan kepentingan pribadi dan golongan dari kepentingan masyarakatnya. Kondisi pada lingkungan ini berjalan secara terrencana dan terprogram secara sadar dengan melibatkan orang Papua yang berpikir dan berpolitik untuk mempertahankan peluang dan kekuasaan. Mereka
142
kurang peka terhadap kekurangan dan persoalan yang terjadi dalam kehidupan orang Papua kebanyakan, saat ini dan akan datang. Kondisi ini secara sengaja ataupun tidak telah turut menambah garis panjang bagi orang Papua jauh dari sebuah tatanan kehidupan yang lebih baik dan mandiri, yang pada gilirannya memposisikan orang Papua berjalan mundur dalam proses pembangunan menuju perkembangan dan perubahan untuk menjadi masyarakat yang bermartabat. Akhirnya tahap ini pun membuat sebagian besar orang Papua tetap pada kondisi yang tidak menguntungkan dan diperparah lagi sebagian besar aktornya adalah orang Papua, yang terjadi Papua tipu Papua. Dengan orientasi politik itulah para elit Papua banyak menghabiskan energi pada tataran memperkuat posisi strukturalnya, sehingga berbagai fenomena yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat yang berkaitan dengan orang Papua tidak terpikirkan secara baik dan berpihak. Tabel 7 dan 8 menegaskan dan mengingatkan bahwa komposisi etnis Papua semakin minoritas di atas tanah dan identitasnya bila dibandingkan dengan migran. Kondisi itu pun secara jelas terlihat pada posisi jumlah tempat ibadah Masjid, Surau, Gereja, Pura dan Vihara. Jumlah Masjid dan Surau, serta Pura dan Vihara mayoritas menggambarkan migran, karena jumlah orang Papua yang beragama Islam mungkin sedikit dan sangat kurang apalagi Hindu dan Budha, sementara Gereja menjadi tempat ibadah mayoritas orang Papua. Dengan jumlah Gereja bukan menandakan orang Papua semakin bertambah, tetapi bersamaan dengan bertambahnya Gereja menggambarkan jumlah migran juga ikut bertambah dan lebih banyak. Bagi migran tertentu menggunakan pendekatan Gereja sebagai pintu masuk untuk menguasai sumber-sumber daya orang Papua terutama pada ruang-ruang birokrasi. Peningkatan secara ekonomi antar migran dan orang Papua di daerah transmigrasi berbeda. Tabel 2 menjadi gambaran persoalan perbedaan tersebut. Perbedaan pendapatan secara ekonomi ini disebabkan oleh jumlah jiwa dalam satu keluarga Papua lebih dari 4 jiwa sementara yang aktif untuk mencari dan bekerja hanya satu atau dua 143
orang. Mereka biasa memanfaatkan waktu untuk bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga, namun pada sebagian besar orang Papua masih kuat dengan sistem keluarga besar, yang juga turut membebankan tanggungjawab secara ekonomi. Sementara kegiatan yang dilakukan hanya terfokus pada satu kegiatan yang menjadi sumber pendapatan, sehingga tidak seimbang dengan pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari, apalagi sebagian besar keluarga Papua masih tergantung pada kegiatan pertanian lokal yang kurang berpeluang secara harga di pasar. Kondisi ini secara tidak langsung menjadi bagian yang memperlambat pertumbuhan ekonomi keluarga orang Papua. Namun pada sebagian keluarga orang Papua mulai sadar terhadap kondisi itu dan mencoba beradaptasi secara bertahap dengan merubah pola pikir dan berperilaku dalam mengatasi kondisi tersebut dengan jalan bekerja keras dan mampu memilah di antara kebutuhan prioritas dan bukan prioritas, sehingga nampak dalan kehidupan bermasyarakat pada sebagian keluarga Papua tersebut secara fisik berbeda dan sedikit maju secara ekonomi. Pada keluarga migran secara umum peningkatan dan perubahan dari sisi ekonomi lebih cepat. Kondisi ini ditunjang dengan jumlah jiwa yang hanya berkisar antara 3 sampai 4 orang dalam satu keluarga, dan sebagian besar keluarga migran lebih kuat dengan sistem keluarga inti. Di samping itu sebagian besarnya aktif secara positif dalam bekerja, tidak terkonsentrasi pada satu kegiatan ekonomi, dan kreatif dalam memilih dan beradaptasi terhadap peluang-peluang kegiatan ekonomi yang terus berubah dalam kehidupan masyarakat saat ini. Dengan demikian kegiatan ekonomi yang menjadi sumber pendapatan lebih seimbang dan kuat dalam penggunaan kebutuhan sehari-hari keluarga. Keseimbangan pada pendapatan keluarga migran lebih teratur dan terarah terhadap pemanfaatannya.
Kesimpulan Migrasi menjadi bagian dari kehidupan sosial orang Papua. Dalam bersosialisasi masing-masing kelompok migran menggunakan
144
pendekatan yang berbeda dalam membangun relasi bersama orang Papua. Perbedaan pendekatan yang digunakan sesuai dengan latar belakang migran baik pola matapencaharian, tradisi, suku, kepercayaan, maupun keterampilan yang dimiliki. Dalam perbedaan tersebut ada kemiripan, persamaan, sehingga tidak mempertajam perbedaan itu dalam kehidupan bersama orang Papua. Persamaan dan kemiripan menjadi peluang adanya relasi yang kuat, dan saling menguntungkan antara orang Papua dan migran, sedangkan perbedaan akan memperlemah relasi bersama orang Papua. Masing-masing migran dengan pendekatan yang berbeda tersebut, tentu mempunyai pertimbanganpertimbangan yang berbeda pula. Migran Bugis Makassar lebih mengedepankan pendekatan eksklusif dalam membangun relasi bersama orang Papua, karena pertimbangan pola mata pencaharian yang berbeda. Migran Bugis Makassar lebih banyak bergerak di sektor kegiatan ekonomi atau bisnis (swasta), sedangkan orang Papua mayoritas pada pertanian dan nelayan sederhana. Di samping itu ketaatan migran Bugis Makassar pada keyakinannya yang sangat kuat dan ikatan etnis menjadi modal sosial di antara mereka dan sebaliknya, sehingga kurang adanya ruang relasi antara orang Papua dan migran Bugis Makassar. Dengan demikian, relasi dengan pendekatan ini akan membuka ruang-ruang gesekan yang berpotensi konflik. Namun sesungguhnya perbedaan ini bukan menjadi penghalang dalam membangun relasi yang baik dan terbuka, tetapi dijadikan sebagai modal untuk menjembatani perbedaan tersebut dalam membangun relasi yang saling menguntungkan dalam tataran saling memahami, menghargai, dan menghormati untuk mencapai kehidupan bersama. Migran Jawa membangun relasi dengan orang Papua mengedepankan pendekatan mitra, dengan pertimbangan pola mata pencaharian yang mirip yaitu bercocok tanam, atau bertani. Sementara orang Papua juga moyaritas tergantung pada pengolahan tanah atau petani, serta sebagian bertani padi. Migran Jawa tidak begitu ketat dalam melihat perbedaan keyakinan, serta didukung dengan pola pemukiman yang berbaur antara orang Papua dan migran Jawa dalam satu lingkungan. Hal ini menjadi peluang terjadinya relasi yang kuat antara orang Papua dan migran Jawa dalam hidup bersama, dan kerja sama 145
yang menguntungkan antara kedua belah pihak yang dilandasi dengan saling toleransi, memahami, menghargai, dan menghormati untuk mempertahankan hidup bersama yang lebih mengarah pada pemberdayaan bersama untuk mencapai perubahan bersama, menuju keseimbangan dalam hidup bermasyarakat secara bersama-sama. Pada akhirnya keharmonisan dan kedamaian yang menjadi bagian dari kehidupan sosial yang didambakan pun akan tercapai. Migran NTT lebih mengedepankan pendekatan inklusif dalam membangun relasi dengan orang Papua. Hal ini karena adanya persamaan keyakinan, pola mata pencaharian, tinggal berbaur dengan orang Papua atau sebaliknya. Dengan adanya kawin campur di antara keduanya, maka posisi migran NTT dalam kehidupan orang Papua adalah saudara dan ipar. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut menjadikan relasi yang sangat kuat dan akrab antara orang Papua dan migran NTT dalam hidup bersama. Hal ini terlihat dalam kerja sama yang penuh kekeluargaan dan saling mengingatkan dalam pemberdayaan untuk mencapai perubahan dan perbaikan taraf kehidupan. Kerbersamaan dilalui dengan saling memahami, mengerti, menghargai, dan menghormati untuk mencapai kekompakan dalam kerja sama yang semakin baik dan kuat, yang dibaringi dengan rasa kasih mengasihi yang merupakan bagian dari sisi kemanusian dalam kehidupan bersama. Pada akhirnya kebersamaan menjadi sebuah kesadaran bersama dalam kebebasan kehidupan antara orang Papua dan migran NTT maupun di lingkungan masyarakat secara umum.
Implikasi Relasi bersama Migran Migran Bugis Makassar umumnya lebih pada menumbuhkan minat usaha atau dagang maupun keterampilan lainnya pada orang Papua. Namun kenyataannya hanya beberapa dari sekian orang Papua yang merasakan manfaat dari relasi tersebut. Migran Jawa pada keterampilan, pola peternakan, dan lebih pada perubahan pola pertanian, dari pertanian lokal ke pertanian padi dengan segala konsekuensinya, baik dari sisi positif maupun negatif
146
bagi orang Papua. Sisi positifnya adalah dengan pertanian padi telah membantu orang Papua mengetahui cara bertani padi yang baik. Hal ini berimplikasi pada perubahan dan peningkatan ekonomi keluarga sekaligus menyiapkan orang Papua mampu beradaptasi dalam menyikapi tuntutan dan perkembangan masyarakat yang semakin cepat berubah dan kompleks, sehingga pada akhirnya mampu bersaing dan bertahan hidup di lingkungan migran yang semakin hari semakin maju. Sisi negatifnya adalah terjadi pergeseran pola pertanian dan konsumsi dari pangan lokal ke beras yang pada gilirannya akan membuat orang Papua meninggalkan pertanian dan pangan lokalnya, sementara tidak semua orang Papua bisa bertani padi serta sebagian besar lahan di Papua tidak berpotensi untuk menanam padi. Pada sisi lain beras sudah menjadi makanan pokok orang Papua, bersamaan dengan itu harga beras terus naik membuat sebagian orang Papua tidak mampu untuk membelinya, sehingga pada akhirnya kelompok ini diperhadapkan pada berbagai persoalan yang mengancam hak hidup mereka sebagai manusia dan masyarakat. Persoalan yang mereka hadapi pun bermacam-macam seperti: kurang gizi, mudah terserang berbagai penyakit yang mengancam keselamatan mereka, terutama pada kelompok orang miskin. Migran NTT lebih pada pemahaman dan motivasi pendidikan dalam kehidupan orang Papua, sehingga sebagian besar orang Papua memposisikan pendidikan anak-anak mereka sebagai prioritas utama dalam pilihan kebutuhan keluarga. Selain itu pengawasan dan perhatian yang lebih pada proses belajar dan pendidikan anak-anak mereka baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Adapun kesadaran terhadap kebiasaan keterlibatan anak dalam membantu orang tua di kebun atau pada pekerjaan lain pada saat hari dan jam sekolah sudah mulai dihilangkan. Hal ini menjadi sesuatu yang sangat positif bagi orang Papua, sehingga pada akhirnya relasi yang dijalani bersama migran membawa manfaat bagi orang Papua.
147