BAB 6 PEMBAHASAN
6.1. Hasil Penelitian Aspek penting dari kualitas kerja adalah rasa percaya diri terhadap kontinuitas dan progresivitas dari pekerjaan yang sedang dilakukan. Bagi kebanyakan karyawan yang digaji untuk bekerja, pekerjaan bukan hanya semata komoditas yang bisa dijualbelikan atau kontrak kerja semata, namun lebih pada adanya hubungan timbal balik berdasar variabel dan jangka waktu yang telah ditentukan. Oleh karena sifatnya ini, pekerjaan yang berjangka pendek (kontrak) akan mengakibatkan ketidakpastian. Ketidakpastian lain yang menyertai suatu pekerjaan diantaranya adalah rasa takut terhadap konsekuensi pekerjaan, ketidakpastian penempatan atau ketidakpastian masalah gaji serta kesempatan mendapatkan promosi atau pelatihan. Menurut Standing dalam Green (2003: hal 7) semua masalah ketidakpastian ini dapat mengurangi welfare (rasa aman/sejahtera) karyawan. Kondisi penuh ketidakpastian ini yang nampaknya terjadi di PT Indo C. Dari 130 karyawan yang menjadi responden, sebanyak 56.15% merasa bahwa pekerjaan yang mereka lakukan sekarang penuh dengan keserba-tidakpastian. Sebagian besar karyawan yang merasa terancam tersebut, 40.77% memiliki intensi keluar dari pekerjaan sekarang. Perusahaan yang memiliki angka turnover tinggi mengindikasikan bahwa karyawan tidak betah bekerja di perusahaan tersebut. Ditinjau dari segi ekonomi tentu perusahaan akan mengeluarkan cost yang cukup besar karena perusahaan sering
78
melakukan rekrutmen yang biayanya sangat tinggi, pelatihan dan menguras tenaga serta biaya dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi suasana kerja menjadi kurang menyenangkan. Aspek negatif lain dari turnover adalah
menggangu proses
komunikasi, produktivitas serta menurunkan kepuasan kerja bagi karyawan yang masih bertahan . Hasil penelitian yang dilakukan di PT Indo C menemukan kenyataan bahwa sebagian besar responden, yakni 61.54% dari total responden memiliki niat untuk keluar dari pekerjaannya sekarang. Data yang diperoleh juga menunjukkan bahwa komposisi antara karyawan pria dan wanita yang memiliki intensi keluar, tidak jauh berbeda . Jika merujuk pada pendapat Eagly & Chaiken (1993) dalam Mueller (2003: hal 2) faktor yang penting dalam permasalahan mengenai turnover adalah adanya alternatif pekerjaan lain yang tersedia di luar organisasi, alternatif-alternatif organisasi dan bagaimana individu tersebut menerima nilai atau menghargai perubahan pekerjaan (perceived costs of job change). Konteks tersedianya alternatif pekerjaan di luar, nampaknya mempengaruhi keputusan individu untuk melakukan turnover atau tetap bertahan. Hal ini dikarenakan situasi ekonomi yang tidak kondusif, dimana mencari pekerjaan bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan . Dengan menyadari bahwa alternatif yang tersedia di luar adalah sangat kecil, maka keputusan untuk melakukan turnover hanya berhenti pada niatan semata. Pilihan akan tersedianya alternatif lain di dalam organisasi juga bukan hal yang mudah untuk ditemukan, karena status karyawan yang masih kontrak. Data yang diperoleh dari hasil penelitian juga didapatkan kenyataan antara lain responden yang memiliki intensi keluar adalah karyawan dengan rata-rata usia 25-30
79
tahun. Faktor usia mungkin berkaitan dengan tingkat komitmen yang dimiliki oleh karyawan , yang cenderung dalam taraf sedang. Data dari hasil penelitian yang dilakukan , diketahui bahwa responden yang memiliki keinginan besar untuk keluar dari pekerjaannya adalah karyawan yang memiliki komitmen pada tingkat sedang, yakni sebesar 43.08%. Jika ditinjau dari penelitian yang dilakukan oleh Mowday, Porter dan Steers , dalam Mueller (2003:hal 5), usia dan
masa kerja karyawan
dan masa kerja
berkorelasi positif dengan komitmen . Semakin muda usia karyawan, kecenderungan komitmen yang dimiliki juga tidak terlalu tinggi, hal ini juga mengakibatkan keterikatan dengan organisasi sebagimana yang diungkapkan oleh Mueller juga rendah. Keterikatan terhadap organisasi yang tidak tinggi memudahkan terjadinya turnover. Masa kerja karyawan juga berpenagruh pada tingkat komitmen organisasi yang dimiliki karyawan. Data responden menunjukkan bahwa hampir sebagian besar responden, yakni 70% dari total responden memiliki masa kerja kurang dari 1 tahun. Jika ditinjau dari penelitian yang dilakukan oleh Angle dan Perry (1981) bahwa salah satu prediktor terhadap komitmen adalah masa kerja (tenure) seseorang pada organisasi tertentu. Masa kerja yang relatif belum terlalu lama membuat peluang untuk menerima tugas yang menantang serta aspek lain dari pekerjaan, seperti misalnya promosi ,yang dimiliki karyawan belum terlalu besar. Masa kerja yang belum berlangsung lama menyebabkan peluang investasi pribadi yang dikeluarkan oleh karyawan tidaklah besar, sehingga keputusan untuk meninggalkan organisasi tidak sulit untuk dilakukan. Menurut Angle dan Perry, masa kerja yang pendek menyebabkan keterlibatan sosial yang dibangun juga masih rapuh, sehingga
80
komitmen organisasi yang dimiliki oleh karyawan dengan masa kerja yang pendek cenderung rendah. Data dari hasil penelitian menunjukkan karyawan yang berpendidikan SMU / STM di PT Indo C khususnya pada bagian produksi 96 orang atau 73.85% dari keseluruhan responden. Jumlah karyawan yang memiliki intensi keluar pada jenjang pendidikan SMU adalah yang terbesar dari berbagai jenjang pendidikan yang ada, yakni mencapai 56 karyawan atau 43.08% dari total responden . Mayoritas karyawan yang bekerja di bagian produksi adalah masih berstatus lajang, yakni 104 karyawan atau 80% dari 130 orang karyawan yang menjadi responden. Dari jumlah tersebut nampaknya 66 orang atau hampir separuh lebih menginginkan atau memiliki intensi untuk keluar dari pekerjaannya, yakni mencapai 50.77%. Jika sebagian besar dari karyawan adalah berstatus lajang, maka adalah wajar jika karyawan yang memiliki intensi keluar adalah karyawan yang belum memiliki anak, atau jumlah anak tidak lebih dari 2 orang. Dari seluruh responden , hanya 17 orang yang memiliki anak lebih dari 2 orang, namun perbedaan antara mereka yang memiliki intensi keluar ataupun yang memiliki intensi bertahan ternyata tidak berbeda jauh. Keseluruhan data tersebut mengindikasikan bahwa intensi turnover di PT Indo C tidak banyak dipengaruhi oleh status pernikahan dan jenjang pendidikan. Hal ini kemungkinan dikarenakan mayoritas responden mempunyai ciri yang sama. Kondisi perusahaan yang serba tidak pasti, nampaknya menyebabkan intensi untuk keluar dari pekerjaan cukup tinggi. Karyawan yang mempunyai intensi keluar berasal 40,77% atau 53 orang adalah dari karyawan dengan job insecurity tidak aman (terancam) , dan hanya 20,77% merasa aman. Besarnya jumlah responden yang
81
tidak aman mengindikasikan bahwa job insecurity di perusahaan tersebut rendah, dimana tidak adanya jaminan kelangsungan masa kerja karyawan. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Smithson & Lewis (2000: hal 3) yang menyatakan makin banyaknya jenis pekerjaan dengan durasi waktu yang sementara atau tidak permanen, menyebabkan semakin banyaknya karyawan yang mengalami job insecurity . Sebelumnya diketahui 61,54% responden mempunyai intensi keluar dari pekerjaan, dan sisanya yakni 38,46% mempunyai intensi bertahan. Hal ini berarti dapat dikatakan sebagian besar karyawan berkeinginan besar untuk keluar dari perusahaan tersebut. Artinya, pengaruh terbesar seorang karyawan memutuskan untuk berniat keluar lebih banyak dipengaruhi oleh komitmen organisasinya yang rendah dan baru kemudian karena perasaan ketidakaman atas status dirinya. Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa variabel komitmen organisasi dan job insecurity (untuk level tidak aman) berpengaruh terhadap variabel intensi turnover. Besarnya intensi turnover dari karyawan dipengaruhi oleh komitmen organisasinya dan job insecuritynya pada level tidak aman. Nilai koefisien komitmen organisasi yang positif (1,68) mengindikasikan adanya pengaruh yang searah antara komitmen organisasi dan intensi turnover. Artinya
kenaikan nilai komitmen organisasi akan menaikkan
level intensi
turnovernya, dari level intensi keluar dari pekerjaan ke level intensi untuk tetap bertahan di organisasi,dengan syarat nilai job insecurity-nya konstan. Besarnya kenaikan tersebut dapat dilihat pada nilai odds rationya (5,36). Nilai Odds ratio 5,36 mengindikasikan bahwa karyawan yang komitmen organisasinya meningkat tersebut
82
memiliki kecenderungan
untuk tetap bertahan di organisasi
sebesar 5,36 kali
dibanding intensi untuk keluar dari pekerjaanya. Nilai koefisien pada variabel job insecurity dengan level tidak aman menunjukkan nilai positif (1,10), mengindikasikan adanya pengaruh yang searah antara job insecurity dan intensi turnover. Artinya kenaikan nilai job insecurity akan menaikkan level intensi turnovernya . Semakin tinggi job insecurity, maka akan semakin tinggi intensi untuk keluar dari pekerjaan, dengan syarat nilai komitmen organisasi konstan. Besarnya kenaikan tersebut dapat dilihat pada nilai odds rationya (3,02), dimana apabila nilai job insecurity pada level tidak aman naik 3,02 kali, maka kecenderungan karyawan untuk keluar dari pekerjaanya akan naik 3,02 kali juga. Ini berarti bahwa pengaruh terbesar seorang karyawan memutuskan untuk berniat keluar lebih banyak dipengaruhi oleh komitmen organisasinya yang rendah dan baru kemudian karena perasaan ketidakaman atas status dirinya. Hasil penelitian yang dilakukan di PT Indo C menunjukkan bahwa intensi turnover yang terjadi di perusahaan adalah tinggi. Berbagai
hasil
studi
telah
menunjukkan bahwa keinginan berpindah merupakan variabel yang paling berhubungan dan lebih banyak menerangkan varians perilaku turnover. Menurut Muchinsky (1993: hal 84), tingkat turnover adalah kriteria yang cukup baik untuk mengukur stabilitas yang terjadi di organisasi tersebut, dan juga bisa mencerminkan kinerja dari organisasi. Jika merujuk pendapat dari Muchinsky tersebut maka kondisi yang terjadi di PT Indo C mengindikasikan bahwa stabilitas dan kinerja yang ada di perusahaan tersebut belum optimal.
83