Bab 5 Kehadiran Negara & NGO’s Terhadap Komunitas Makam Gunung Brintik
Kehadiran Negara Kehadiran Negara yang terjadi di berbagai relung pada Komunitas Makam Gunung Brintik dilakukan oleh berbagai instansi lintas sektoral. Satu di antaranya adalah pembagian bantuan beras untuk keluarga miskin (raskin). Pelaksanaan penanggulangan kemiskinan untuk distribusi beras ini melibatkan berbagai unsur organisasi yang langsung berhubungan dengan rakyat, yaitu RT, RW, dan PKK. Sektor kesehatan melalui Posyandu yang berkoordinasi dengan PKK tingkat RT dan RW. Sektor pendidikan bekerjasama dengan yayasan-yayasan yang bekerja di Kampung Wonosari Kelurahan Randusari Kecamatan Semarang Selatan. “Untuk menebus beras itu, saya beri Rp 120.000,- yang juga akan digunakan menyewa angkutan bersama RT lain ke kelurahan”, kata salah seorang mantan RT. Pembagian beras pada saat itu dikoordinir oleh ketua PKK tingkat RT, istri pak RT. Uang itu diserahkan oleh pak RT kepada ketua PKK RT. Satu RT tiap bulan mendapat antara 9 sampai 14 Zak berisi 25 kg. Langsung dibagikan kepada yang berhak menerina, satu zak dibagi dua. Dahulu pernah ibu PKK nimbangi jatah satu persatu. Ternyata timbangannya berkurang/menyusut. Daripada dicurigai, bahkan tombok plastik dan tenaga, kerja sosial ibu PKK itu berhenti. Keluarga ibu PKK termasuk keluarga yang tidak menerima raskin. Tidak terdaftar sebagai keluarga penerima bantuan, karena tidak tergolong sebagai keluarga miskin. 69
SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK
Pada saat terjadinya krisis ekonomi yang kemudian berlanjut menjadi krisis multi dimensional, diluncurkan Program Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE) yang kemudian dilanjutkan dengan Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Secara khusus, porsi pengeluaran untuk membeli beras terhadap garis kemiskinan mencapai 34,9 persen bagi penduduk pedesaan dan 25,9 persen untuk penduduk perkotaan. Padahal, harga beras rata-rata terus meningkat dari Rp 3.502,00 perkilogram pada Agustus 2005 menjadi Rp 5.091,00 per kilogram pada Agustus 2006. Juga dilaksanakan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM), jumlah penduduk miskin akan membengkak menjadi 50,8 juta atau sekitar 22,8 persen dari total penduduk. Program itu diperhitungkan untuk menahan sebagian penduduk tidak jatuh ke garis kemiskinan dari kategori hampir miskin. Program lainnya adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT). RT 10 RW III jumlah KK yang tergolong miskin sejumlah 22 KK dari 30 KK, yang mendapat BLT 11 KK. Kepala keluarga yang mendapat BLT di RW III dari 218 KK yang diajukan, yang disetujui sebanyak 107 KK atau 49,08%. Dengan demikian warga Kampung Wonosari yang mendapat BLT cukup banyak dibandingkan dengan jumlah keseluruhan penerima BLT di Kelurahan Randusari yaitu 418 KK, atau mencapai 25,59%. Warga Kampung Wonosari, 107 KK yang berhak menerima BLT menimbulkan banyak masalah intern warga kampung yang cukup berkepanjangan selama program BLT tahun 2008 dan 2009 yang lalu, yang dilakukan pemerintah karena alur proses pendataan tidak dijalankan dengan benar.Alasan sebagai pembenar bagi pihak kelurahan adalah 1. Data warga miskin di kelurahan sudah ada, berdasarkan data penerimaan beras miskin (raskin) sehingga penerima raskin otomatis warga miskin,
70
Bab 5 Kehadiran Negara & NGO’s Terhadap Komunitas Makam Gunung Brintik
2. Petugas pendata warga miskin adalah warga Kampung Wonosari sendiri yang mengetahui kondisi warga, 3. Keterbatasan waktu yang mendesak agar kelurahan segara menyam paikan data warga miskin ke pihak Pemerinta Kota.
Alur pendataan warga calon penerima BLT yang benar adalah: 1. Pihak kelurahan, melalui petugas mengadakan sosialisasi kepada pengurus RT, selanjutnya pengurus RT mengadakan sosialisasi kepada warga, sekaligus mengadakan pendataan dengan kesepakatan warga RT. 2. Warga yang sudah didata oleh pengurus RT selanjutnya diberi blangko calon penerima BLT, untuk diisi dan dikumpulkan lagi kepada pengurus RT untuk selanjutnya dikumpulkan kepada petugas kelurahan yang ditunjuk. 3. Pihak kelurahan mengumpulkan data dan blangko calon penerima BLT ke pihak kecamatan. 4. Pihak kecamatan sesuai dengan pembagian kerja yang sudah ditentukan oleh Pemkot kerjasama dengan LSM, akan menyerahkan data dan blangko calon penerima BLT kepada pihak LSM. 5. LSM akan memverifikasi data warga calon penerima dengan mengadakan kunjungan langsung ke RTS dengan didampingi pengurus RT. 6. LSM akan melaporkan hasilnya kepada Pemkot, untuk selanjutnya ditetapkan calon penerima BLT. Bantuan langsung tunai yang dierima penduduk ini (Rp 300.000,00 per tiga bulan) jelas tidak menyelesaikan masalah. Kemudian selama enam bulan di tahun 2013 dinaikkan menjadi Rp 150.000,00 per bulan. Akhir tahun 2013, awal tahun 2014, ada informasi Program Bantuan “Keluarga Harapan”. Di RW III Wonosari/Gunung Brintik Semarang terdapat 40 KK yang akan menerima bantuan sebesar Rp 700.00,00 dari Dinsos , dengan syarat keluarga miskin tersebut memiliki bayi dan anak sekolah 71
SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK
Orang miskin di Makam Gunung Brintik dapat digo longkan ke dalam jenis sebagai berikut: Anak Balita Terlantar, Anak Terlantar, Anak Jalanan, Wanita Rawan Sosial Ekonomi, Korban Tindak Kekerasan, Lanjut Usia Terlantar, Keluarga Rentan, Pekerja Migran Terlantar, Korban Bencana Sosial, Korban Bencana Alam, Keluarga Bermasalah Sosial Psikologis, Keluarga Tinggal di Rumah Tak Layak Huni, Penyalahgunaan obat terlarang, Bekas Warga Binaan Lembaga Kemasyarakatan, Gelandangan, Pengemis, dan Tuna Susila. Berhubungan dengan strategi yang dimaksud disini adalah suatu kegiatan yang harus dikerjakan agar tujuan dapat dicapai secara efektif dan efisien. Di dalam strategi terkandung makna perencanaan; artinya, bahwa strategi pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan. Pada awalnya strategi merupakan sebuah kata yang digunakan pada militer ketika sedang berperang, akan tetapi dengan berkembangnya jaman, maka istilah strategi ini sudah masuk ke dalam setiap aspek kehidupan, baik itu ekonomi, pendidikan maupun olahraga. Strategi adalah turunan dari bahasa Yunani yaitu Strat gos yang artinya adalah komandan perang dalam jaman tersebut, adapun pada pengertiannya saat ini strategi adalah rencana jangka panjang dengan diikuti tindakan-tindakan yang ditujukan untuk mencapai tujuan tertentu yang umumnya adalah ”kemenangan”. Saat ini ada sebuah pencampuradukkan kata antara strategi dengan taktik. Dalam hal pengertian, taktik bukanlah sebuah strategi, namun taktik ada di dalam strategi. Taktik ini memiliki ruang lingkup yang lebih kecil dengan waktu yang lebih singkat. Survival Strategy komunitas di wilayah Gunung Brintik merupakan kegiatan yang dikerjakan komunitas Gunung Brintik sebagai masyarakat miskin dan terpinggirkan agar pemenuhan kebutuhan hidup dapat dipenuhi bahkan dapat mengentaskan diri dan keluarganya dari kemiskinan tersebut dapat dicapai secara efektif dan efisien.
72
Bab 5 Kehadiran Negara & NGO’s Terhadap Komunitas Makam Gunung Brintik
Membangun dengan Hati Yang dimaksud “membangun dengan hati” dalam paparan ini adalah kegiatan pembangunan dengan menyertakan dan mengimplementasikan unsur-unsur di dalamnya ada cinta kasih, penanaman nilai-nilai sosial, norma-norma susila dan sopan-santun, rumongso handarbeni, melu hangkrungkebi, mengandung unsur kearifan lokal, ada perwujudan kepekaan terutama kepada suara yang kecil, lemah, dan tersisih, terpinggirkan, sebagai perwujudan dari “preferential option for the poor”, oleh karena itu, memerlukan dukungan model pembangunan yang khas untuk mengintervensi, untuk bisa masuk terlibat dalam pergulatan kaum miskin itu. Upaya peningkatan taraf hidup masyarakat di wilayah Gunung Brintik berbeda dengan langkah-langkah yang ditempuh masyarakat di tempat lain. Pembangunan di tempat ini banyak yang dilakukan secara terbalik atau dari sudut pandang yang berkebalikan dari langkahlangkah membangun di daerah lain. Pembangunan di tempat lain seperti di Banjir Kanal Barat atau di pinggiran jalan dengan cara pedagang diusir dan digusur, di kawasan Gunung Brintik ini pedagang ditata rapi berderet berjualan bunga, tanaman hias, pupuk, pot bunga, dan usaha karangan bunga.
Sumber : Data Primer 2011
Gambar 5.1 Kios Bunga di Kalisari
73
SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK
Dagangan ditata rapi di pinggir trotoar, dan pembeli serta pengguna jalan tidak terganggu. Kios PKL di atas sungai yang ditutup didepan SMP PL Domenico Savio ditata rapi, bersih dan tidak terkesan kumuh.
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Gambar 5.2 Kios PKL didepan SMP PL Domenico Savio.
Bila di tempat lain kuburan adalah tempat orang mati, di Gunung Brintik ini kuburan juga tempat orang hidup. Ada kuburan di dalam rumah, dan ada rumah di dalam kuburan. Subyek penelitian di “ruang tamu “dan rumah di dalam kuburan.
Sumber : Data Primer 2010
Gambar 5.3 Wawancara di Kawasan Makam Gunung Brintik
74
Bab 5 Kehadiran Negara & NGO’s Terhadap Komunitas Makam Gunung Brintik
Kuburan di dalam rumah/rumah di dalam kuburan Tempat tinggal ini berada diantara patok kubur yang terawat. Gambar kanan menunjukkan kubur yang diberi atap/cungkup yang di dalamnya disekat dengan kelambu dan dimanfaatkan sebagai tempat tinggal.
Sumber: Data Primer 2009
Gambar 5.4 Kawasan Komunitas Gunung Brintik
Bila di tempat lain besar tuntutan untuk sekolah gratis, disini sekolah-sekolah yang berada di kawasan penghuni kuburan ini menolak sekolah gratis. Program pendidikan gratis dinilai oleh para guru dan kepala sekolah di Gunung Brintik ini justru tidak mendidik siswa untuk berpartisipasi. Seperti yang diceritakan oleh Bapak Paeno (Kepala SD PL Gunung Brintik) untuk membayar pakaian seragam sebesar tiga puluh ribu rupiah (Rp 30.000,00) Siswa dibantu sebesar Rp 20.000,00 dan yang Rp 10.000,00 siswa harus membayar. Ini wujud pendidikan untuk berpartisipasi, yang merupakan unsur penting di dalam modal sosial.Potongan harga untuk sekolah didapat dari Unit Penjahitan, dan donatur yang tidak mengikat seperti para ibu pensiunan pegawai Pertamina ataupun dari Komunitas Tugu Muda. Bila pembangunan umumnya dimulai dengan program yang besar disertai unsur politik yang kuat, maka pembangunan di kawasan Gunung Brintik ini dimulai dari gerakan non-formal melalui pendampingan, dan dilakukan oleh rohaniwan dengan pendampingan
75
SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK
dan pemberian motivasi untuk membangkitkan motivasi intrinsik untuk mampu membangun dengan kekuatan dari diri sendiri. Yayasan PS GARAM satu di antara sejumlah inverntor yang ada di Gunung Brintik ini melakukan pertemuan-pertemuan berkala untuk saling berbagi pengalaman dari setiap kelompok dampingan. Antara lain di Kebon Dalem dan Gunung Brintik. Ada penanaman nilai-nilai rasa kesetiakawanan sosial terhadap masyarakat miskin yang terpinggirkan Sebuah contoh, istri tukang becak yang mengikuti kursus menjahit, dan anaknya mengikuti pendampingan belajar di daerah itu. Pada anak dampingan ada kegiatan menabung setiap pertemuan. Besarannya saat ini sekitar Rp 500,00 sampai Rp 1.000,00. Untuk peserta kursus menjahit tidak ada tabungan. Ada Usaha Bersama Simpan Pinjam (USB Simpan Pinjam dari bapak-bapak becak. Saat ini simpan-pinjam ini dikelola secara professional yang diberi nama “Kopdit Pelita Usaha” sebagai suatu usaha yang berada di Temanggung buka cabang di Semarang. Menurut Sr. Yayuk ketika penulis lakukan wawancara: ”…Pernah ada pengalaman pada pendampingan di daerah ini. Ada seorang anak dampingan yang nunggak bayar sekolah selama 5 bulan. Orang tuanya tidak memiliki uang untuk membayarnya. Uang tabungan bersama itu biasanya digunakan untuk kegiatan akhir tahun misalnya piknik atau Kumpul Bocah di suatu tempat. Tetapi anak-anak waktu itu mengusulkan …untuk membayar tunggakan saja suster…. dari situ sesungguhnya kita justru bisa belajar banyak dari anak-anak…… (diceritakannya sambil berkaca-kaca).
Adanya tindakan yang proaktif peserta kursus menunjukkan salah satu unsur penting dalam Modal Sosial. Tindakan proaktif adalah keinginan yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpatisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan bersama. Ide dasar dari premise ini bahwa seseorang atau kelompok senantiasa kreatif dan aktif. Peserta kursus melibatkan diri dan mencari kesempatan-kesempatan yang dapat memperkaya tidak saja dari sisi material tapi juga kekayaan hubunganhubungan sosial, dan menguntungkan kelompok, tanpa merugikan 76
Bab 5 Kehadiran Negara & NGO’s Terhadap Komunitas Makam Gunung Brintik
orang lain, secara bersama-sama. Mereka cenderung tidak menyukai bantuan-bantuan yang sifatnya dilayani, melainkan lebih memberi pilihan untuk lebih banyak melayani secara proaktif. Perilaku proaktif yang memiliki kandungan Modal Sosial dapat dilihat melalui tindakan-tindakan dari yang paling sederhana sampai yang berdimensi dalam dan luas. Peserta kursus yang terbiasa proaktif untuk memungut sampah yang berserakan di ruangan, membersihkan lingkungan tempat kursus, melakukan insiatif untuk menjaga keamanan bersama, merupakan bentuk tindakan yang di dalamnya terkandung semangat keaktifan dan keperdulian. Begitu pula dengan inisiatif untuk mengunjungi keluarga, teman, mencari informasi yang dapat memperkaya ide, pengetahuan dan beragam bentuk inisiatif individu yang kemudian menjadi inisiatif kelompok, merupakan wujud proaktivitas yang bernuansa Modal Sosial.
Membangun Tanpa Menggusur Suatu strategi survive berupa pembagian peran dan penguatan peran wanita (Sylvia Chant, 1994) sulit untuk dibuktikan dalam pembangunan di wilayah Gunung Brintik ini. Pekerjaan yang ada di wilayah ini tidak memerlukan pembagian peran yang memungkinkan bias gender. Pekerjaan menyapu dan membersihkan makam dapat dilakukan oleh pria maupun wanita. Bentuk Modal Sosial Yang Menjembatani (Bridging Social Capital) ini atau biasa juga disebut bentuk modern dari suatu pengelompokan, grup, asosiasi atau masyarakat. Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan pada prinsip-prinsip universal tentang persamaan, kebebasan, nilai-nilai kemajemukan dan kemanusiaan, terbuka dan mandiri. Pada prinsip persamaan, bahwasanya setiap anggota dalam suatu kelompok memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama. Setiap keputusan kelompok berdasarkan kesepakatan yang egaliter dari setiap anggota kelompok. Pimpinan kelompok hanya menjalankan 77
SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK
kesepakatan-kesepakatan yang telah ditentukan oleh para anggota kelompok. Ini sangat berbeda dengan kelompok-kelompok tradisional yang memiliki pola hubungan antar anggota berbentuk pola vertikal. Mereka yang berada di piramida atau memiliki kewenangan dan hakhak yang lebih besar baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam memperoleh kesempatan dan keuntungan-keuntungan ekonomi. Setiap anggota kelompok bebas berbicara, mengemukakan pendapat dan ide yang dapat mengembangkan kelompok tersebut. Kebebasan (freedom of conscience) merupakan jati diri kelompok dan anggota kelompok. Dengan iklim kebebasan yang tercipta memungkinkan ide-ide kreatif muncul dari dalam (kelompok) yaitu dari beragam pikiran anggotanya yang kelak akan memperkaya ide-ide kolektif yang tumbuh dalam kelompok tersebut. Iklim inilah yang memiliki dan memungkinkan munculnya kontribusi besar terhadap perkembangan organisasi. Nilai-nilai kemanusiaan, penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota dan orang lain merupakan prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan asosiasi, grup, kelompok atau suatu lingkungan masyarakat tertentu. Kehendak kuat untuk membantu orang lain, merasakan penderitaan orang lain, berempati terhadap situasi yang dihadapi oleh orang lain merupakan dasar-dasar ide humanitarian. Pada dimensi kemajemukan terbangun suatu kesadaran kuat bahwa hidup yang berwarna-warni dengan beragam suku, warna kulit dan cara hidup merupakan bagian dari kekayaan manusia. Pada spektrum ini, kebencian terhadap suku, ras, budaya, dan cara berfikir yang berbeda berada pada titik yang minimal. Kelompok ini memiliki sikap dan pandangan yang terbuka dan senantiasa mengikuti perkembangan dunia di luar kelompoknya (outward looking). Prinsip kemandirian biasanya merupakan salah satu sikap dan pandangan kelompok yang tertanam dengan kuat. Kemandirian bukan berarti mengisolasi diri, melainkan merujuk kepada sikap hidup yang tidak menggantungkan diri kepada orang lain. Pola-pola interaksi dan jaringan yang terbentuk
78
Bab 5 Kehadiran Negara & NGO’s Terhadap Komunitas Makam Gunung Brintik
dengan pihak di luar mereka ditegakkan dengan semangat untuk saling menguntungkan bukan yang satu menyandarkan diri kepada yang lain. Dengan sikap kelompok yang outward looking memungkinkan untuk menjalin koneksi dan jaringan kerja yang saling menguntungkan dengan aosiasi atau kelompok di luar kelompoknya. Kemajuan akan lebih mudah dicapai karena lalulintas dan pertukaran ide akan berkembang dan menstimulasi perkembangan kelompok dan tentu saja individu dalam kelompok tersebut. Konsekuensinya, keanggotaan kelompok yang menyandarkan pada bridging social capital biasanya heterogen dari berbagai ragam unsur latar belakang budaya dan suku. Pertukaran ide pun tidak hanya datang dari luar tapi dengan variasi kenaggotaan yang ada, terjadi dengan sendirinya antar sesama anggota kelompok. Setiap anggota kelompok memiliki akses yang sama untuk membuat jaringan atau koneksi keluar kelompoknya dengan prinsip persamaan, kemanusiaan dan kebebasan yang dimiliki. Bridging social capital tidak hanya merefleksikan kamampuan suatu perkumpulan atau asosiasi sosial tertentu melainkan juga suatu kelompok masyarakat secara luas. yang menjalankan prinsip-prinsip bridging social capital membuka jalan untuk lebih cepat berkembang dibandingkan dengan suku lain yang didominasi oleh pandangan kesukuan yang memiliki ciri kohesifitas ke dalam kelompok tinggi, tetapi kehendak dan kemampuan untuk menciptakan networking keluar sangat lemah. Dalam kasus Indonesia, dimensi, baik yang menyangkut bonding social capital maupun bridging social capital hampir belum mendapatkan tempat dalam kajian-kajian serius para ilmuan dan praktisi sosial selama ini. Bagaimana pun juga bonding social capital cenderung memiliki kekuatan dan kebaikan dalam hal menjalin kerjasama antar anggota dalam suatu kelompok tertentu, melakukan interaksi sosial imbal balik antar individu dalam suatu kelompok dan dalam rangka memobilisasi para anggota dalam konteks solidaritas kelompok. Di sisi lain bridging social capital dapat menggerakkan identitas yang lebih luas dan reciprocity yang lebih variatif dan akulturasi ide 79
SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK
yang lebih memungkinkan untuk berkembang sesuai dengan prinsipprinsip pembangunan yang lebih diterima secara universal. Orientasi komunitas Gunung Brintik dengan tipologi bridging social capital dalam gerakannya lebih memberi tekanan pada dimensi fight for (berjuang untuk) yaitu yang mengarah kepada pencarian jawaban bersama untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kelompok (pada situasi tertentu, termasuk problem di dalam kelompok atau problem yang terjadi di luar kelompk tersebut). Ini berbeda dengan yang terjadi pada bonding social capital yang warna perjuangannya terkadang tidak jelas. Dalam keadaan tertentu jiwa gerakan lebih diwarnai oleh semangat fight against yang bersifat memberi perlawanan terhadap ancaman berupa kemungkinan runtuhnya simbol-simbol dan kepercayaan-kepercayaan tradisional yang dianut oleh kelompok. Pada kelompok ini perilaku kelompok yang dominan adalah sekedar sense of solidarity (solidarity making). (Hasbullah, 2006: 25-32). Bentuk Modal Sosial yang menjembatani (bridging social capital) mampu memberikan kontribusi besar bagi perkembangan kemajuan dan kekuatan masyarakat. Dengan tumbuhnya bentuk Modal Sosial tersebut memungkinkan perkembangan di banyak dimensi kehidupan, semakin efisiensinya pekerjaan-pekerjaan, mempercepat keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan, kualitas hidup manusia meningkat lebih kuat tanpa harus menggusur atau memindahkan ke tempat lain, ataupun merelokasinya. Komunitas Makam Gunung Brintik berada pada posisi geografis ekonomis dan sosial yang strategis, di kawasan Tugumuda. Orangorang mudah melakukan kegiatan ekonomi, hubungan individu sekitarnya dengan masyarakat sekitar. Berada di pinggir jalan besar, dekat dengan jalur angkutan, dekat dengan sekolah, mesjid dan gereja, yang pasti juga sangat dekat dengan kuburan.
80
Bab 5 Kehadiran Negara & NGO’s Terhadap Komunitas Makam Gunung Brintik
Peran Negara Terpinggirkan
terhadap
Masyarakat
Miskin
Yang
Untuk kelancaran pelaksanaan program pemberian bantuan langsung tunai kepada rumah tangga miskin dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), Presiden RI mengeluarkan instruksi. yaitu Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai Kepada Rumah Tangga Miskin. Indikator kemiskinan pada satu Rumah Tangga Miskin memiliki ciri-ciri sebagai berkut: Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang; Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/ bambu/kayu murahan; Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/ kayu berkualitas rendah/tembok tanpa plester; Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain; Sumber Penerangan Rumah Tangga tidak menggunakan listrik; Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindungi/sungai/air hujan; Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah; Hanya mengkomsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu; Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun; Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari; Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas/ poliklinik; Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0.5 ha, buruh tani, nelayan, buruh perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000 (enam ratus ribu rupiah) per bulan; Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD; Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp.500.000.- (lima ratus ribu rupiah), seperti: Sepeda motor (kredit/ non kredit), emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya.
81
SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK
Ke-14 indikator tersebut adalah ciri-ciri kemisikinan pada satu rumah tangga yang berhak menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT), yang memenuhi 9 indikator berhak untuk menerimanya.1 Ada pengemis yang sesungguhnya dan pengemis yang purapura menjadi pengamen. Antara pengemis dan orang terhormat tak ada perbedaan mendasar. Kalau diperhatikan dengan seksama tidak ada perbedaan mendasar antara kehidupan seorang pengemis dengan orang-orang lain. Para pengemis dikatakan tidak bekerja; tapi apakah pekerjaan itu. Dalam praktiknya, orang tidak peduli apakah suatu pekerjaan itu berguna atau tidak, produktif atau bersifat parasit; satusatunya hal yang penting adalah bahwa pekerjaan itu harus menghasilkan. Ketika pembersihan terhadap pengamen dan gepeng (gelandangan dan pengemis) dilakukan terungkap ada di antara pengemis itu adalah pekerjaan kantoran yang tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Setelah lima hari bekerja, mereka menggunakan sisa waktu untuk mengemis. Hingga saat ini pengemis/pengamen dan gelandangan masih menjadi masalah serius. Berbagai cara dilakukan untuk mengatasi persoalan ini. Razia, misalnya, terus-menerus dilakukan. Pernah ada isu, pemerintah "mengancam" memidanakan pengemis yang membawa bayi sewaan Hal itu terkategorikan sebagai mengeksplortasi anak. Melanggar UU Perlindungan Anak. Ternyata hal itu tidak mempan. Pemerintah terkesan kian kesulitan. Buktinya, jumlah pengemis dan gelandangan terus bertambah. Yang menarik justru disampaikan Kapolrestabes Semarang Kombes Elan Subilan pada sebuah acara akhir 2012 lalu. Dikatakan, provinsi ini memiliki jumlah gelandangan dan pengemis (gepeng) paling banyak dibanding provinsi lain di Indonesia. Tak hanya beroperasi di wilayah sendiri, mereka juga membanjiri Jakarta, Bandung dan sejumlah kota lain. Kalau benar apa yang dia katakan, ini menjadi ironis dengan berbagai prestasi pembangunan yang disandang provinsi ini. 1
Sidabutar, Alberth Kepala Bagian Humas Pemerintahan Kabupaten Toba Samosir dalam pernyataannya tertanggal 03 Juni 2008.)
82
Bab 5 Kehadiran Negara & NGO’s Terhadap Komunitas Makam Gunung Brintik
Melihat kenyataan itu jangan-jangan benar kata para sosiolog, bahwa keberadaan pengemis tak lepas dari persoalan kemiskinan itu sendiri. Mereka adalah korban dari sebuah proses pembangunan yang melahirkan kesenjangan sosial. Jika begitu, maka jelas butuh waktu lama untuk mengatasi persoalan ini. Sebelum kesenjangan sosial dan jurang antara miskin kaya teratasi, permasalahan gelandangan dan pengemis akan terus menghiasi jalan-jalan di kota-kota di negeri ini. Upaya harus terus dilakukan. Pola yang tepat harus diciptakan. Jangan sampai apa yang dikatakan Goerge Orwell di atas menjadi kenyataan. (HasanFikri, dalam Laporan Utama SUARA MERDEKA MINGGU 20 Januari 2013).
Pada masa pemerintahan Kolonel H. Soetrisno Suharto (19 Januari 1990–19 Januari 2000) ini Ketertiban, dan Keindahan kota gencar dilaksanakan, bahkan Walikota ada yang menjulukinya “Sugiman” (Suharto Gila Taman). Di sekitar Gereja Blenduk, kota lama Semarang, taman yang biasanya untuk menjemur pakaian para tuna wisma, dibersih-kan. Para gelandangan dan pengemis yang tinggal disekitar kota lama itu ditertibkan. Diantara mereka ada yang “lari” masuk di Gunung Brintik. H. Sukawi Sutarip SH. (19 Januari 2000–2010), perhatian terhadap komunitas Gunung Brintik sangat banyak. Pembinaan sampai dengan wilayah RT dan RW. Bantuan yang monumental adalah pembangunan gedung sekolah Yayasan Pangudi Luhur Gunung Brintik. Bangunan sekolah yang baru ini seakan menjembatani antara wilayah makam Gunung Brintik dengan komplek sekolah YPL Dominico Savio dengan bangunan melintang di atas, dan jalan menuju makam di bawahnya. Drs.H.Soemarmo HS, MSi/Hendrar Prihadi, SE, MM. (2010– sekarang). Pada masa ini belum terlihat perhatiannya terhadap kawasan Gunung Brintik, sehubungan masalah Hukum yang menimpanya.
83
SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK
Tugas negara yang seharusnya adalah memuluskan masa-masa di mana seorang warga negara mengalami risiko manusiawi dari hidup. Apakah urusan memuluskan hidup warga negara yang menopang ekonomi ini dilakukan secara satu persatu? Tentu tidak. Dalam praktik ekonomi di seluruh dunia, negara selalu punya cara untuk mengelola rasa aman dari individu warga negara. Makin besar risiko yang ditimbulkan oleh ekonomi, makin besar pula kemungkinan ada mekanisme sistematis untuk mengurangi kerentanan bersama akibat risiko yang ditimbulkan oleh aktifitas ekonomi tersebut. Dalam sejarah terbaru, berbagai gerakan hak tahun 1960sampai 1970-an merupakan embrio bagi promosi demokrasi partisipatif. Keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan yang dibuat pada waktu tersebut dalam kerangka demokrasi representatif (tetapi faktanya dibuat oleh kalangan elite yang mengucilkan kelompokkelompok yang sudah marjinal) menjadi fokus tentangan dan resistensi. Penduduk RT 10 Gunung Brintik memiliki perbedaan dengan Warga RT I sampai dengan RT 9 yang relatif sudah berhasil, tertata, dan sudah mapan. Pada saat pemberian bantuan oleh pemerintah seperti BLT, banyak penduduk di RT 10 ini tidak mendapat, karena belum terdaftar, dan mereka tidak memiliki KTP. Dalam sudut pandang survival strategy seolah hal ini terdapat alphanya peran Negara. Hal ini mencerminkan peluang momentum pelaksanaan pendekatan demokrasi partisipatif. Mekanisme pengurangan kerentanan bersama ini akan bervariasi dari satu RT ke RT lainnya, bergantung pada politik yang berjalan saat itu. Seperti layaknya politik di mana pun, sebaran pihak yang menengguk keuntungan akan sangat ditentukan oleh arus aliran dana yang ada, seperti pada saat pemilu atau pemilukada. Partisipasi adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakah seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, 84
Bab 5 Kehadiran Negara & NGO’s Terhadap Komunitas Makam Gunung Brintik
mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya. Partisipasi politik adalah kegiatankegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum. Partisipasi politik adalah kegiaitan pribadi warga Negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat Negara dan/atau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka. Menurut Suwartiningsih (2010), absennya Negara terhadap pemulung, membuat pemulung merasa tidak perlu ikut ambil bagian dalam proses kebijakan-kebijakan pemerintah. Bagi mereka yang terpenting adalah memikirkan kelangsungan hidup mereka. Secara jasmani mereka membutuhkan makan, jadi hidup ini adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dari pemikiran seperti itulah, maka para pemulung menjadi warga Negara yang tidak berperan aktif dan tidak berpatisipasi tinggi dalam kancah politik di negeri ini. Dalam hal peran Negara inilah yang membedakan ada tidaknya intervensi terhadap sebuah komunitas miskin. Hal ini yang membedakan dengan temuantemuan di lokasi yang berbeda yaitu di dalam Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang. Ada bantuan langsung tunai, ada bantuan fisik sarana dan prasarana pendidikan, ada bantuan kebijakan, dan ada partisipasi warga dalam menanggapi berbagai intervensi yang dilakukan oleh negara.
Deskripsi tentang Kehadiran NGO’s di Gunung Brintik Ada beberapa lembaga non pemerintah yang bekerja di kawasan Gunung Brintik. Pada kawasan tersebut ada beberapa kepedulian masyarakat sekitar, antara lain yayasan Pelayanan Sosial Garam dan Ragi Masyarakat, Yayasan Penyelenggara Illahi, Yayasan Pangudi Luhur, Yayasan Setara dan Yayasan Sosial Sugiyopranoto. Hasil nyata yang dapat dilihat antara lain adalah perubahan pola tingkah laku anggota komunitas. Pada jaman dulu ada peminta-minta 85
SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK
yang kadang-kadang agak kasar, memberut kendaraan dan lain-lain. Sekarang hal itu tidak ada lagi. Ada intervensi yang dilakukan oleh NGO’s. Satu di antara sejumlah NGO’s atau LSM itu adalah PS GARAM Semarang. Program pembangunan yang dilakukan oleh LSM ini antara lain adalah Pendampingan belajar siswa dan Pemberdayaan Ekonomi Keluarga. Jenis kegiatannya adalah pengembangan dan penguatan kelompok usaha (home industry, pertanian, peternakan), simpan pinjam, koperasi. Kelompok Sarasannya adalah orang tua siswa dampingan. Ada juga YKKS. Dari sisi program, Yayasan KKS juga dapat dikatakan belum berhasil, karena rumah yang dibangunnya, untuk para pemulung di Delik Sari dan Kalialang pada saat penelitian ini dilakukan di Kalialang tinggal satu rumah yang dihuni oleh penghuni asli pertamanya. Semua telah pindah tangan, dijual, namun Y.K.K.S telah berhasil memanusiakan manusia. Para pemulung yang dahulu memulung mengguna-kan bagor saat ini mereka memulung dengan menggunakan sepeda motor. Mereka telah menghuni rumah sesuai dengan keinginan dan kemampuannya, tidak lagi tidur di sembarang tempat. Dengan selesainya program yang dilakukan oleh YKKS, kelompok atau komunitas seperti di Delik Sari dan Kalialang ini ditinggalkan. Kegiatan itu diambil-alih atau dilanjutkan oleh Yayasan PS GARAM. Semarang.2 Secara struktural memang tidak ada garis komando atau garis koordinatif, ataupun afiliasi Yayasan PS GARAM dengan KKS-YSS, namun di Semarang mereka berada di bawah bingkai landasan iman dan kepercayaan dalam lembaga yang sama, yaitu Keuskupan Agung Semarang. Mendampingi, menggembala, mengasuh, adalah istilahistilah paedagogis untuk mendidik tetapi tidak menggurui. Dalam upayanya mengentaskan kemiskinan, cara pendampingan dipilih untuk
2
Yayasan ini bernama PELAYANAN SOSIAL ”GARAM”, sebagai buah dari kesepakatan Bandungan (28-29 November 1992). Kemudian nama itu disahkan dengan Akte Notaris no. 69 pada tanggal 27 Januari 1993.GARAM kependekan dari Garam dan Ragi Masyarakat.PS GARAM menjadi subyek dalam disertasi ini.
86
Bab 5 Kehadiran Negara & NGO’s Terhadap Komunitas Makam Gunung Brintik
merangsang motivasi intrinsik seseorang yang terbukti dari paparan di atas berdampak positif pada lahirnya needs for achievement. Seseorang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, mengentaskan sendiri dirinya dari kemiskinan yang dideritanya. Orang-orang miskin itu memiliki sejumlah keterbatasan. Orang miskin memiliki keterbatasan modal, keterbatasan pendapatan, dan keterbatasan ketrampilan. Mereka ini berada pada semacam sebuah lingkaran setan. Tidak berpendidikan, produktivitas rendah, akibatnya pendapatan rendah, miskin, kekuatan atau kemampuan daya beli kecil, kurang gizi, tempat tinggal di bawah standar kesehatan, lalu tidak sehat, akibatnya tidak sekolah dan tidak berpendidikan. Strategi yang ditempuh, mereka mulai mendampingi kelompok belajar. Dalam pergumulan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat ditemukan empat kelompok situasi pendidikan anak dalam hubungannya dengan kemampuan orang tua mereka di bidang ekonomi. Kelompok 1: orang tua mampu, anak pandai; kelompok 2: orang tua mampu, anak bodoh; kelompok 3: orang tua tak mampu anaknya pandai; dan kelompok 4: orang tua tak mampu, anaknya bodoh. Kelompok terakhir inilah yang oleh interventor dalam pelayanannya. Merekalah yang dirasa sangat membutuhkan pendampingan. Dari pengamatan dijumpai kenyataan, bahwa mereka sesungguhnya tidak bodoh. Mereka dibuat bodoh oleh karena suatu sistem yang menempatkan mereka pada posisi sulit untuk memperoleh fasilitas hidup, sehingga mereka menjadi anak-anak yang miskin dan terlantar. Miskin dan terpinggirkan. Ada juga yang mengelola anak-anak jalanan. Ada kerjasama yayasan Sosial Sugiyopranoto dengan LSM dari Jerman kemudian mendirikan rumah singgah. Ada juga yayasan Pelita Harapan. Mereka ngontrak rumah lima tahun. Dari situlah anak-anak dari kawasan Gunung Brintik mendapat pembekalan termasuk etika-etika. Para pengemis memang sampai sekarang masih ada khususnya pada harihari tertentu tetapi kalau perilaku yang bisa dikatakan merugikan dalam pengertian merusak barang dalam hal ini sudah tidak ada. Selain pengimis ada anak jalanan tetapi kalau sudah didampingi relatif sedikit 87
SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK
dan nampaknya tidak ada perilaku-perilaku yang bersifat merusak. Kemudian kepedulian-kepedulian yang lain itu dari pihak warga yang telah maju selain dari pihak gereja dan ada juga pihak yayasan Islam. Ada beberapa TPQ yang memang membina anak-anak supaya tumbuh menjadi anak-anak yang lebih berguna. TPQ mengajarkan normanorma nilai-nilai. Ada di sana TPQ Nurul Hidayah, TPQ Al Huda, kemudian ada SD Istiqomah selain SD Gunung Brintik yang memang didirikan oleh Yayasan Sugiyopranoto, atau oleh Pangudi Luhur atau Yayasan Pendidikan Pangudi Luhur, menjadi satu Yayasan dengan yayasan pengelola SMP Dominico Savio. Perkembangan yang positif terjadi karena adanya kepedulian social, penanaman nilai-nilai sopan santun dan seterusnya, seperti contohnya Pak Rom yang relatif berhasil dan dari kawasan situ yang sedikit banyaknya memberikan supporting, kelihatannya memang benar ada pengaruh dari nilai-nilai sopan santun, tata krama keikutsertaan handarbeni di kawasan itu sehingga banyak orang-orang yang singgah di puncak tadi itu (maksudnya Puncak Gunung Brintik) yang gelandangan, pengemis sekarang ada perubahan kearah yang lebih positif, menjadi lebih baik. Sanggar Serabi, layaknya sebuah rumah yang di cat berbagai warna yang mencolok dengan membentuk berbagai ornamen unik. Sebuah sanggar yang berdiri di kawasan Gunung Brintik RT 06, berada di daerah perkampungan di atas bukit. Sanggar ini berdiri pada bulan April 2004. Diambilnya nama Serabi ini sendiri mempunyai arti Sekolah Rakyat Brintik. Di mana para siswa-siswi umumnya adalah anak-anak jalanan dan sebagian besar dari mereka adalah anak rakyat Brintik. Di sanggar ini, mereka diajari berbagai macam bentuk kegiatan, seperti ilmu pelajaran sekolah, band atau musik lainnya, dan visualisasi atau pementasan seni drama. Beragam cerita menarik mengenai Sanggar Serabi ini. Salah satu sharing kami dapatkan dari seorang pemuda berusia 22 tahun, sebut saja dia Ari. Mas Ari ini merupakan salah satu pemuda yang berperan dalam terbentuknya Sanggar Serabi. Ketika kami meminta informasi seputar sanggar dan isinya, Mas Ari sungguh antusias dengan 88
Bab 5 Kehadiran Negara & NGO’s Terhadap Komunitas Makam Gunung Brintik
kedatangan kami, dan dengan sukacita menceritakan sekilas tentang sanggar mungil ini.Sebelum sanggar ini berdiri sekitar tahun 1996 ada paguyuban yang namanya PAJS (Paguyuban Anak Jalanan Semarang). PAJS inilah yang menjadi tempat berkumpulnya anak-anak jalanan di Semarang. Ternyata keberadaan PAJS tidak disenangi oleh beberapa pihak, seperti preman-preman di daerah tersebut termasuk juga pemerintah. Sampai suatu saat basecamp PAJS diserang oleh premanpreman yang katanya merupakan suruhan dari pemerintah kota Semarang untuk membubarkan aksi PAJS ini yang rasionalnya di duga telah mengganggu kenyamanan dalam kota. Banyak anak jalanan (PAJS) ini dikejar-kejar. Menurut penuturan seorang pengamen, saat aksi penyerangan besar, sekitar tahun 2000, anak-anak jalanan yang ketakutan ini akhirnya pergi menyebar, ada yang berlindung ke Yogyakarta atau daerah-daerah lain yang lebih aman dan bergabung dengan anak-anak jalanan di kota tersebut. Ketika keadaan dimungkinkan sudah mulai membaik, pada tahun 2004 anak-anak jalanan ini pun kembali ke Semarang dan mempunyai basecamp di sanggar serabi ini. Ada seorang yang dapat dikatakan sebagai orang yang melopori berdirinya sanggar Serabi. Beliau adalah ibu Prapto. Seorang pedagang keliling, yang mempunyai tiga orang anak. Anak beliau dulunya juga pernah menjadi anak jalanan. Mulai tahun 1996 beliau sering menampung anak-anak jalanan di daerah semarang khususnya di daerah Tugu Muda. Di sebuah rumah sederhana bu Prapto menampung anak jalanan yang sedang sakit atau membutuhkan makanan. Jika dilihat keluarga ini juga tidak begitu kaya bahkan bisa dikatakan pas-pasan. Di rumahnya yang sederhana pernah di tempati sekitar puluhan anak jalanan yang membutuhkan tempat tidur. Saat ditanyai kenapa beliau tertarik menampung anak jalanan beliau menjawab kalau dia merasa kasihan akan kehidupan anak ini, disamping itu juga kebersamaan dan kekerabatan anak ini juga sangat kuat. Dengan keterbukaan hati dia 89
SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK
menerima anak jalanan yang datang kerumahnya yang kadang minta dikeroki ada juga yang datang minta makan, selain itu juga banyak anak jalanan yang datang ke rumah beliau hanya ingin curhat dengan beliau. Saat kami datangi kediamannya beliau banyak bercerita mengenai kehidupannya beserta anak jalanan. Jadi bagi anak jalanan yang mengenal bu Prapto mereka menganggap ibu ini sebagai orang tua mereka. Hal mulia ini justru menjadi gunjingan penduduk Brintik, para tetangga Ibu Prapto justru malah membenci dan memusuhi Ibu Prapto karena dianggap telah mencemarkan perkampungan dengan menampung anak-anak jalanan liar yang dianggap sampah pemerintah. Walaupun demikian, Ibu Prapto, dibantu mas Ari dengan keluarganya tidak mundur dari apa yang telah diputuskannya dalam membantu anak-anak jalanan tersebut. Ibu Prapto juga menceritakan ulang aksi penyerangan besar oleh preman-preman kota, sekitar tahun 2000 lalu, anak-anak jalanan yang ketakutan waktu itu akhirnya pergi menyebar, dibantu oleh Ibu Prapto, Mas Ari dan anak-anak jalanan ada yang berlindung ke Jogjakarta dan daerah-daerah lain dan bergabung dengan anak-anak jalanan di kota tersebut. Selama mengungsi ternyata Ibu Prapto dan keluarga selalu datang seminggu sekali ke Jogjakarta untuk mengirimkan beras, atau pakaian seadanya, atau bahan pokok lainnya untuk bertahan hidup anak-anak jalanan tersebut. Ketika keadaan dimungkinkan sudah mulai membaik, pada tahun 2004 anak-anak jalanan ini pun kembali ke Semarang dan mempunyai bascamp di sanggar serabi ini. Dari sinilah lahir sanggar Sarabi ini dengan bantuan Yayasan Setara peduli akan anak-anak jalanan. Setara inilah yang mengontrakan rumah yang berada di samping rumah Bu Prapto yang kemudian dijadikan sebagai sanggar untuk anak” jalanan ini yang di kelola oleh anak ibu Prapto. Ketika ditanyai apakah ada bantuan yang mereka dapat untuk perkembangan sanggar ini. Beliau mengatakan untuk masalah bantuan, dari pemerintah sendiri belum pernah membantu mereka, bahkan pemerintah tidak mau menanggapi aksi mereka. 90
Bab 5 Kehadiran Negara & NGO’s Terhadap Komunitas Makam Gunung Brintik
Biasanya yang membantu mereka adalah yayasan Setara, selain itu sebuah gereja juga memberi bantuan bagi mereka khususnya dalam bidang kesehatan, bila ada anak yang harus dirujuk ke rumah sakit, gereja inilah atas permintaan Ibu Prapto yang telah membiayai mereka berobat. Selain itu dalam kegiatan di lapangan, seperti mengamen, pernah ada sejarah yaitu Biara di Gedangan yang dipelopori Sr. Louis plus suster-suster yang lainnya juga ikut membimbing anak-anak jalanan ini, sekaligus mengawasi mereka dalam melakukan kegiatan di jalanan. Pendampingan ini hanya berlangsung beberapa saat, karena Sr. Louis meninggal dunia dalam usia yang sangat muda, yaitu 31 tahun karena sakit. Sedangkan suster yang lainnya juga ditugaskan ke luar kota dan tidak ada yang meneruskan pelayanan ini untuk anak-anak jalanan. Hal ini membuat Ibu Prapto sedih, tapi hal itu secepatnya dikubur dalam-dalam, karena Ibu Prapto masih ingin membantu mereka sebisa mungkin, sedangkan anak-anak jalanan sendiri sudah menganggap Ibu Prapto sebagai Ibu yang mereka butuhkan setiap waktu. Hal ini semakin menyemangatkan jiwa Ibu Prapto dalam membantu anak-anak jalanan itu dengan ikhlas hingga saat ini. (Wawancara 5 Desember 2008)
Riwayat Singkat Kelahiran Pelayanan Sosial di Gunung Brintik Pada waktu itu (sekitar tahun 1990) mereka (para penghuni Wisma Sanjaya) mulai dengan menabur ide sederhana untuk menjadikan hidup beriman mereka memasyarakat. Pertemuan dengan banyak teman yang se-ide memungkinkan mewujudkan ide itu dalam kegiatan-kegiatan yang sederhana pula. Pada mulanya adalah minat dan peduli yang sama di dalam hati. Minat dan peduli yang sama telah mempersatukan untuk melibatkan diri pada usaha mengurangi kesenjangan sosial yang muncul dewasa ini. Maka jadilah suatu kelompok kerja. Sesuai dengan kemampuan yang ada pada mereka meskipun tidak banyak, minat dan peduli terarah pada mereka yang kecil, lemah, miskin dan tersisih, terutama pada anak-anak. 91
SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK
Sejak kelahirannya “PS GARAM” ini bertempat di “Wisma Sanjaya” (satu diantara sejumlah tempat para frater/calon Imam/ Pastor Katolik dididik) di Kota Semarang. Para frater perlu mewujudkan kemampuannya mengintegrasikan beraneka dimensi dalam hidupnya. Kedewasaan iman seseorang frater menjadi lengkap dalam perwujudan kepekaannya terutama kepada suara yang kecil, lemah, miskin dan tersisih, sebagai suatu perwujudan dari “preferential option for the poor”, oleh karena itu, pendidikan rohani di Wisma Sanjaya pun memerlukan pintu keluar bagi para frater, untuk bisa masuk terlibat dalam pergulatan kaum miskin itu. Tahun 1991 dalam kerangka APP (Aksi Puasa Pembangunan) para frater Wisma Sanjaya mulai mengadakan live in di pemukiman baru di Kalialang, yang diusahakan oleh YSS/KKS. Selanjutnya tahun 1992, minat dan peduli, yang hidup terus itu, dalam kerjasama dengan kelompok-kelompok lain menemukan perwujudannya yang nyata. Dengan suster-suster PI Kebon Dalem para frater ikut terlibat pula mendampingi anak-anak sekitar Gang Pinggir. Kerjasama dengan beberapa awam dan suster-suster OSF minat dan peduli mereka terarah pada pemukiman nelayan di Tanggul Sari Mangkang. Kegiatan Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP) mulai sesuai dengan kebutuhan mereka, kaum nelayan yang kerap terjerat hutang pada rentenir yang meminjamkan uang dengan bunga yang sangat tinggi. UBSP ini bisa berkembang, sampai mereka bersepakat untuk memberi nama UBSP “Subur Makmur”. Pengenalan dengan penduduk setempat mengembangkan pelayanan mereka di bidang-bidang lain: pendampingan kelompok belajar anak-anak, dan ibu-ibu yang buta huruf. Bagi para ibu dan remaja putri yang berminat diadakan kursus menjahit. Sayang, kemudian muncul keberatan dari berbagai pihak Sehubungan dengan perkembangan situasi dan kondisi wilayah kelurahan Mangun Harjo Kec. Tugu” pada waktu itu. maka kegiatan mereka di Tanggul Sari tidak bisa dilanjutkan (9 Februari 1993). Minat dan peduli PS GARAM hidup terus, dan mencari serta menemukan perwujudannya sesuai dengan situasi dan kondisi yang 92
Bab 5 Kehadiran Negara & NGO’s Terhadap Komunitas Makam Gunung Brintik
ada. Sementara itu kegiatan PS GARAM dalam kerjasama dengan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata (KKS) untuk mendampingi kelompok belajar di Mukti Harjo jalan terus, dan berkembang ke wilayah binaan KKS di Delik Sari dan Kalialang sampai sekarang. Sejak tahun, 1994 teman-teman dari UNIKA Soegijapranata memulai pelayanan pendampingan anak-anak pemulung, yang bermukim di Tandangsari, kerjasama dengan Mudika Lingkungan Gunung Brintik serta kelompok Kerja Bantuan Hukum (KKBH) para frater dan suster PMY mendampingi anak-anak belajar di tempat itu. PS GARAM merumuskan beberapa gagasan pokok tentang kelompok kerja itu, yang kemudian disebut dengan pelayanan Sosial Garam (PS. GARAM). Kelompok kerja ini bernama kelompok kerja PELAYANAN SOSIAL ”GARAM”, (Garam dan Ragi Masyarakat) sebagai buah dari kesepakatan Bandungan (28-29 November 1992). Nama itu disahkan dengan Akte Notaris No. 69 pada tanggal 27 Januari 1993. Diberi nama demikian untuk menghidupkan kesadaran akan panggilan dan perutusan sebagai warga gereja yang berperan menjadi garam dan ragi dalam masyarakat dewasa ini. Selanjutnya bukan live in yang terutama dipilih, karena hidup sebagai orang miskin bisa dilaksanakan di rumah sendiri. Diperlukan keterlibatan yang bertahan sepanjang tahun, karena pergulatan kaum miskin bukanlah pergulatan yang sementara sifatnya, melainkan pergulatan sepanjang kehidupan. Seperti halnya Organisasi lain, PS GARAM Semarang juga mempunyai visi dan misi sendiri yang dijelaskan oleh Romo Joko pada saat peneliti melakukan wawancara di Ruang Tamu Wisma Sanjaya. Adapun Visi PS GARAM Semarang adalah: ” ...Pewartaan kabar gembira yang ditujukan kepada kaum miskin dan siapa saja yang menderita berdasar pada penghayatan iman Kristiani. Pewartaan kabar gembira yang selalu dilaksanakan oleh murid-murid Kristus sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat dewasa ini. (Keterangan tertulis dari Buku Pegangan PS GARAM oleh Rm. M Djoko Setya Prakosa, Pr. dalam wawancara tanggal 28-11-2008
93
SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK
Visi tersebut dapat dinyatakan dengan kalimat sekarang (2012): Terlaksananya Pewartaan kabar gembira yang selalu dilaksanakan oleh murid-murid Kristus sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat Semarang pada tahun 2020. Angka tahun itu diperoleh dari berbagai program dan waktu yang ditetapkan oleh Yayasan-Yayasan yang berkaitan baik langsung maupun tidak langsung, berafiliasi, bekerjasama dengan YSS (Yayasan Sosial Soegijapranata Semarang). PS GARAM Semarang mencita-citakan terwujudnya masyarakat yang berdaya dan mandiri dengan semangat cinta kasih Allah terutama masyarakat kecil, miskin dan tersingkir pada tahun 2020. Sebagian warga Gereja menyadari bahwa: Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang yang diperstukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam perziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang, maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya. Misinya adalah: Kesadaran baru akan panggilan dan perutusan murid-murid Kristus untuk terlibat membangun dunia baru menurut Konsili Vatikan II diwujudnyatakan dalam keprihatinan bersama dengan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita (Keterangan tertulis dari Buku Pegangan PS GARAM oleh Rm. M. Djoko Setya Prakosa, Pr. dalam wawancara tanggal 28-11-2008). Misi tersebut dapat dirinci menjadi: 1) Menangani karya secara transparan, tertib, jujur, adil dan profesional. 2) Menegakkan hak asasi manusia (HAM) tanpa kekerasan 3) Menguatkan lembaga dengan pelatihan, training, kursus dan pembinaan/pendampingan. 4) Melakukan penguatan masyarakat secara terus menerus 5) Mengembangkan dan menguatkan jaringan dengan mitra kerja (LSM, pemerintah, donatur) 6) Menumbuh kembangkan dan menguatkan 94
Bab 5 Kehadiran Negara & NGO’s Terhadap Komunitas Makam Gunung Brintik
solidaritas antar karyawan. Visi dan misi bersama itulah yang menjadi dasar kehidupan PS. GARAM, sesuai dengan amanat Kristus, ”Kamu adalah garam dunia” (Mat 5:13). PS GARAM Semarang bertujuan untuk berpartisipasi dalam meningkatkan mutu kehidupan orangorang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, dalam segala aspek kehidupannya. Sarana untuk mencapai tujuan ditentukan dalam kesepakatan bersama sesuai dengan kebutuhan pihak yang dilayani, dengan mengutamakan asas musyawarah untuk kepentingan mereka yang miskin dan menderita.
Strategi dan Taktik Intervensi di Gunung Brintik Pada awalnya strategi merupakan sebuah kata yang digunakan pada militer ketika sedang berperang, akan tetapi dengan berkembangnya jaman, maka istilah strategi ini sudah masuk ke dalam setiap aspek kehidupan, baik itu ekonomi, pendidikan maupun olahraga. Strategi adalah turunan dari bahasa Yunani yaitu Strat gos yang artinya adalah komandan perang dalam jaman tersebut, adapun pada pengertiannya saat ini strategi adalah rencana jangka panjang dengan diikuti tindakan-tindakan yang ditujukan untuk mencapai tujuan tertentu yang umumnya adalah ”kemenangan”. Saat ini ada sebuah pencampuradukkan kata antara strategi dengan taktik. Dalam hal pengertian, taktik bukanlah sebuah strategi, namun taktik ada di dalam strategi. Taktik ini memiliki ruang lingkup yang lebih kecil dengan waktu yang lebih singkat. Dalam sebuah organisasi seperti PS GARAM, memiliki strategi merupakan keharusan dalam mencapai visi yang telah disepakati bersama. Perencanaan dalam menjalankan sebuah organisasi adalah hal yang harus dilakukan agar tidak adanya ketimpangan atau distorsi ketika dalam perjalanan mencapai visi yang dibangun tersebut. Apabila kita menggunakan rumus POAC (Planning, Organizing, Actuating, Controlling) maka strategi merupakan unsur dalam Planning (Perencanaan) yang ada di dalam tahap pertama, sehingga apabila
95
SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK
unsur ini tidak dipenuhi, maka tidak akan terpenuhi pula unsur-unsur dalam tahapan selanjutnya. Ada empat tingkatan strategi, keseluruhannya sering disebut master strategy yaitu: a. Enterprise Strategy, strategi ini berkaitan dengan bagaimana respon masyarakat terhadap organisasi (PS GARAM) ini. Organisasi berusaha sungguh–sungguh untuk melayani dan memenuhi kebutuhan serta tuntutan masyarakat. b. Corporate Strategy, yaitu sebuah strategi untuk menjalankan misi yang telah disiapkan dalam organisasi tersebut sesuai dengan bidang yang telah menjadi bagiannya. Strategi ini biasa disebut dengan Grand Strategy karena akan berakibat sangat fatal ketika kita salah dalam menjawab misi dari sebuah organisasi baik dari kata-kata maupun kebijakan yang diterapkan dalam organisasi. c. Business Strategy, adalah bagaimana organisasi dapat merebut pasaran di tengah masyarakat seperti, sponsor, yayasan lain, organisasi lain, relawan dan pendamping, sehingga dapat menguntungkan dalam mengembangkan PS GARAM ke tingkat yang lebih baik. d. Functional Strategy, yaitu strategi untuk menunjang strategi yang lain, adapun dalam fungsional strategi ini terdapat tiga strategi di dalamnya yaitu: strategi fungsional ekonomi, stategi fungsional manajemen dan strategi isu. ”Kenali kekurangan diri sendiri agar tidak sombong dan ketahui kelebihan diri sendiri agar tidak rendah diri.”(Kata Jimmy de Rosal, teman yang mendampingi dalam wawancara tanggal 28-11-2008 itu)
Pada umumnya dikenal tiga landasan strategi yang dapat membantu organisasi memiliki keunggulan kompetitif, yaitu keunggulan biaya, diferensiasi, dan fokus. Adapun yang biasa digunakan untuk membuat strategi adalah dengan menggunakan 96
Bab 5 Kehadiran Negara & NGO’s Terhadap Komunitas Makam Gunung Brintik
Analisis SWOT (Strengh, Weakness, Opportunity, Threat). Strengh (kekuatan), Weakness, (kelemahan), merupakan faktor internal dari organisasi kita, sedangkan Opportunity (peluang) dan Threat (ancaman) adalah faktor eksternal yang ada di lingkungan. Ketika kita sudah mengetahui apa yang kita miliki dan kelemahan, maka kita dapat menentukan alternatif strategi yang melihat dari peluang serta ancaman dari lingkungan sekitar, adapun dalam penentuannya akan menemukan beberapa alternatif-alternatif strategi yang disesuaikan dengan visi dan misi organisasi. Strategi yang ditempuh adalah (yang penting bagi PS GARAM) minat dan peduli mereka menjadi nyata. Lewat bakti Insani Sustersuster PI Bongsari mereka mulai mendampingi kelompok belajar di Krobokan. Orang tua tak mampu, anaknya bodoh, kelompok inilah yang PS GARAM utamakan dalam pelayanannya. Merekalah yang dirasa sangat membutuhkan pendampingan. Dari pengalaman PS GARAM menjumpai kenyataan, bahwa mereka sesungguhnya tidak bodoh. Mereka dibuat bodoh oleh karena suatu sistem yang menempatkan mereka pada posisi sulit untuk memperoleh fasilitas hidup, sehingga mereka menjadi anak-anak yang miskin dan terlantar. Prinsip kerjasama dalam PS GARAM ini tidak didasarkan pada suku, agama dan ras (atau kelompok primordial lain), akan tetapi pada kehendak baik dan hati nurani yang tergerak ”untuk mengusahakan pengudusan dunia dari dalam laksana ragi”, digalang pula kerjasama dengan: 1) Di antara para awam dan rokhaniawan-rokhaniawati, yang kerjasamanya mencerminkan kehidupan kekeluargaan. 2) Di antara para relawan-relawati sebagai pribadi maupun kelompok menurut kemampuan dan caranya masing-masing. 3) Di antara para pelayan dan yang dilayani, terutama yang miskin dan menderita. Mereka ini bukanlah objek, tetapi subjek, yang menjadi sumber daya bagi perkembangan diri. Kerjasama Internal (sesama dalam naungan Keuskupan Agung Semarang) dengan Yayasan yang berafiliasi dengan YSS/Yayasan Sosial 97
SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK
Soegijapranata) dan biarawan (bruder/Yayasan Pangudi Luhur), biarawati (suster/Yayasan Marsudi Rini dan Yayasan Penyelenggara Illahi), individu/ perusahaan yang melaksanakan CSR, dan kelompok seperti misalnya Komunitas Tugu Muda, yang peduli terhadap program dan kegiatan PS GARAM Semarang. Terdapat 3 bidang pelayanan PS GARAM Semarang, ketiga bidang tersebut adalah: 1. Bidang pendidikan: Kursus Menjahit, Pendampingan Belajar, dan Pengembangan Bakat/Minat. Bidang Pendidikan dipilih karena bidang pendidikan menjadi titik awal (starting point) untuk dapat menguasai ilmu, dan mengembangkan ketrampilan serta memenuhi persyaratan yang dituntut oleh penyedia kerja. Kursus disediakan karena pendidikan dengan menguasai ketrampilan akan dapat membantu meningkatkan kualitas kerja sendiri ataupun diabdikan untuk pekerjaan yang disediakan atau dibutuhkan orang lain yang pada gilirannya akan dapat bekerja dengan penghasilan yang layak. Pengembangan bakat/minat penting untuk dapat mengarahkan tumbuh kembang terlayani sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. 2. Bidang ekonomi: Pendidikan Koperasi, dan Pelatihan Wira Usaha. Bidang ekonomi utamanya koperasi dan wirausaha merupakan bidang yang bermanfaat bagi orang miskin dan terpinggirkan untuk tidak hanya dikaji dan dilatih, melainkan untuk dapat mereka memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Koperasi merupakan usaha bersama untuk dapat menggabungkan kekuatan kecil dan lemah menjadi berdaya guna dan berhasil guna bagi kaum miskin dan terpinggirkan. Wira usaha sangat penting artinya bagi kaum lemah untuk bangkit dengan kekuatan yang bertumpu pada kekuatan diri sendiri.
98
Bab 5 Kehadiran Negara & NGO’s Terhadap Komunitas Makam Gunung Brintik
3. Bidang Kesehatan: Kesehatan.
Kesehatan
Lingkungan,
dan
Pendidikan
Alasan mengapa bidang kesehatan tersebut dipilih karena kesehatan merupakan pangkal awal untuk dapat beraktivitas. Bila tidak berbadan sehat, maka tidak akan dapat bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan selain ekonomi seperti misalnya kebutuhan akan udara yang segar, air bersih, dan sarana lingkungan yang me-nunjang kehidupan sehari hari penting untuk diberdayakan. Dalam rangka membangun manusia dalam komunitasnya diperlukan modal komunitas yang terhubung erat dengan aspek sumber daya manusianya itu sendiri seperti pendidikan, kesehatan, dan keahlian, sumber daya ekonomi seperti asset, dan finansial, sumberdaya sosial seperti kepercayaan, resiprositas, partisipasi, dan norma/ nilai-nilai, serta sumber daya alam seperti air, udara, sinar matahari, flora dan fauna. Ada temuan bahwa orang miskin di Gunung Brintik mengalami hambatan fungsi sosial (disfungsi sosial), seperti: a. Hambatan fisik (misal : kecacatan fisik, kecacatan mental), b. Hambatan ilmu pengetahuan (misal kebodohan, kekurangtahuan informasi), c. Hambatan keterampilan (misal tidak mempunyai keahlian yang sesuai dengan permintaan lapangan kerja modern), d. Hambatan mental/sosial psikologis (misal kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi/stres), e. Hambatan budaya (misal mempertahankan tradisi yang kurang mendukung kemajuan sosial/ modernisasi), f. Hambatan geografis (misal keterpencilan terhadap fasilitas pelayanan sosial dasar) Selain faktor-faktor internal yang menunjukkan hambatan fungsi sosial, berkembangnya orang miskin juga disebabkan oleh faktor-faktor eksternal yang bersifat struktural seperti kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin, dampak sosial negatif 99
SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK
dari pembangunan ekonomi dan ketidakadilan sosial. Eksistensi pelayanan kesejahteraan sosial semakin relevan karena dalam kehidupan masyarakat, baik perorangan, kelompok, keluarga maupun komunitas tertentu, namun seringkali terjadi ketidak pastian yang mengganggu atau menghambat pelaksanaan fungsi sosialnya.
Partisipasi Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang Bentuk dari upaya linking antar lembaga ini dapat berupa Partisipasi Secara sederhana, mungkin kata “partisipasi” ini dapat dimaknai “peran aktif” seorang individu anggota masyarakat setempat, atau sekelompok anggota komunitas Makam Gunung Brintik Semarang dalam suatu kegiatan. Partisipasi dapat berupa aktivitas komunitas Gunung Brintik memberikan kontribusi sesuai kemampuan terhadap aktivitas yang diselenggarakan seseorang atau lembaga. Dari sudut pandang negara ”Partisipasi” (politik) dapat memiliki arti ”keikutsertaan”, dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran deliberative democracy atau demokrasi musyawarah. Pemikiran demokrasi musyawarah muncul antara lain terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di Barat yang terlihat dengan rendahnya tingkat pemilih (hanya berkisar 50 - 60 %). Besarnya kelompok yang tidak puas atau tidak merasa perlu terlibat dalam proses politik perwakilan menghawatirkan banyak pemikir Barat yang lalu datang dengan konsep deliberative democracy. 100
Bab 5 Kehadiran Negara & NGO’s Terhadap Komunitas Makam Gunung Brintik
Saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan. Misalnya ungkapan pemimpin "Saya mengharapkan partisipasi masyarakat untuk menghemat BBM dengan membatasi penggunaan listrik di rumah masihng-masing". Sebaliknya jarang kita mendengar ungkapan yang menempatkan warga sebagai aktor utama pembuatan keputusan. Dengan meilhat derajat partisipasi politik warga dalam proses politik rezim atau pemerintahan bisa dilihat dalam spektrum: a. Rezim otoriter - warga tidak tahu-menahu tentang segala kebijakan dan keputusan politik b. Rezim patrimonial - warga diberitahu tentang keputusan politik yang telah dibuat oleh para pemimpin, tanpa bisa memengaruhinya. c. Rezim partisipatif - warga bisa memengaruhi keputus-an yang dibuat oleh para pemimpinnya. d. Rezim demokratis - warga merupakan aktor utama pembuatan keputusan politik.
Wisnu (2012) dalam bukunya yang berjudul Politik Sistem Jaminan Sosial menulis: “Subsidi konsumsi adalah salah dan merusak… karena betapapun kayanya suatu negeri, ia tidak akan sanggup menanggung tunjangan kesehatan, pengangguran, dan pensiun tanpa pajak yang besar dan membebani sistem, tanpa mengurangi insentif untuk bekerja dan untuk menabung sambil merawat keluarga. Ketika semua dapat berharap pada negara untuk kesejahteraannya... maka kesejahteraan sosial dan kesehatan seperti layaknya opium atau heroin. Orang ketagihan dan bila bantuan kesejahteraan itu ditarik akan sangat menyakitkan."
Partisipasi adalah satu kata kunci dalam pembangunan komunitas Makam Gunung Brintik Semarang. Berasal dari gabungan 101
SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK
dua kata Latin: pars ”bagian” dan capere “’mengambil”. Komunitas mengambil bagian dalam pembangunan. Kata ”partisipasi” juga berfungsi sebagai ukuran dan interaksi antardua kelompok berbeda. Seberapa banyak Anda mengambil bagian? Anda boleh mengambil bagian dalam proyek penghijauan di kelurahan, tapi peran Anda sebatas penanam pohon. Jenis pohon apa yang ditanam diputuskan tanpa melibatkan suara Anda dan warga lainnya. Sebaliknya, Anda dan warga terlibat dalam penghijauan lingkungan mulai dari pengambilan keputusan hingga ke proses penanaman dan pemeliharaannya. Dalam Sejarah Indonesia Tanam Paksa pada masa penjajahan Belanda juga melibatkan ”partisipasi” rakyat. Namun, pengertian partisipasi di sini lebih merupakan ”partisisapi” dalam arti ”partisi sapi”. Tanam Paksa menjadi ruang partisi antara penjajah dengan rakyat terjajah yang diperlakukan sebagai ”sapi perah”. Dalam kasus ini ”partisipasi” malah menjadi eksploitasi. Perbedaan-perbedaan penafsiran tersebut membuat ”partisipasi” sebagai kata benda dianggap tak cukup untuk menggambarkan ukuran dari tindakan mengambil bagian. Istilahistilah ”partisipasi aktif”, ”partisipasi penuh”, ”partisipasi seutuhnya”, dan ”partisipasi sejati” dipakai untuk menghindari pengertian ”partisisapi” ini. Tesaurus Bahasa Indonesia Eko Endarmoko memadankan partisipasi terutama sebagai kesertaan, keikutsertaan, keterlibatan, peran serta, dan kontribusi. KBBI Pusat Bahasa Edisi IV juga sama: perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan; keikutsertaan; peran serta. Keduanya mengabaikan padanan part-isipasi sebagai ”mengambil bagian”. Apabila disimak, pemakaian padananpadanan kata tersebut dalam berbagai wacana. Ternyata ia dipakai sebatas kata benda atau kata kerja saja. Dengan mudah ditemukan frasa-frasa seperti ”peran serta dalam pembangunan”, ”terlibat dalam pengam-bilan keputusan”, atau ”ikut serta dalam perdamaian”. Namun, bagaimana untuk kata sifat? Sejauh pengamatan saya, padanan-padanan kata itu tak pernah dipakai untuk kata sifat. Tak tersua ”pembangunan yang berperan serta”, ”politik yang ikut serta”, atau ”komunikasi yang terlibat”. Kata ”terlibat” dalam wacana sastra tahun 1970-an tidak berarti ”sastra partisipatoris”, melainkan sastra yang peka terhadap 102
Bab 5 Kehadiran Negara & NGO’s Terhadap Komunitas Makam Gunung Brintik
konteks masyarakatnya. Kata ”terlibat” juga bisa berkonotasi buruk, misalnya ”terlibat korupsi”, sedangkan partisipasi bermakna baik. Pembangunan yang melibatkan masyarakat kerap disebut ”pembangunan yang partisipatif”, ”politik yang partisipatif”, atau ”komunikasi partisipatif”. Kata ”partisipatif” sudah jamak digunakan sebagai kata sifat ”partisipasi”. Dalam bahasa Inggris, participatory adalah kata sifat untuk participation dan diindonesiakan menjadi ”partisipatoris.” Karena itu, yang benar bukan ”partisipatif”, melainkan ”partisipatoris”, misalnya ”komunikasi partisipatoris” atau ”metode partisi-patoris”. Selain karena alasan praktis, padanan-padanan kata itu kurang mencerminkan tindakan mengambil bagian. Keikutsertaan, kesertaan dan peran serta cenderung menempatkan subyek sebagai ”peserta” atau ”penyerta”, yakni yang disertakan dan bukan yang mengambil bagian atau partisipan. Secara sederhana, “partisipasi” ini dapat dimaknai “peran aktif” seseorang/lembaga dalam suatu kegiatan. Atau, memberikan kontribusi sesuai kemampuan terhadap aktivitas yang diselenggarakan oleh Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang. Hal ini terlepas dari konotasi positif atau negatif, dapat mewakili keduanya, bebas konteks. Partisipasi yang berasal dari bahasa Inggris “participation” adalah pengambilan bagian atau pengikut-sertaan. Partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi seseorang kepada pencapaian tujuan dan ikut bertanggung jawab di dalamnya. Dalam definisi tersebut kunci pemikirannya adalah “keterlibatan mental dan emosi”. Sebenarnya partisipasi adalah suatu gejala demokrasi dimana Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang yang seharusnya diikutsertakan dalam suatu perencanaan serta dalam pelaksanaan dan juga ikut memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat kewajibannya. Partisipasi itu menjadi baik dalam bidangbidang fisik maupun bidang mental serta penentuan kebijaksanaan. Jadi dari beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi serta fisik peserta dalam memberikan respon terhadap kegiatan 103
SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK
yang melaksanakan dalam proses belajar mengajar serta mendukung pencapaian tujuan dan bertanggung jawab atas keterlibatannya.
Bentuk partisipasi yang nyata pada Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang: 1. Partisipasi buah pikiran lebih merupakan partisipasi berupa sumbangan ide, pendapat atau buah pikiran konstruktif, baik untuk menyusun program maupun untuk memperlancar pelaksanaan program dan juga untuk mewujudkannya dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna mengembangkan kegiatan yang diikutinya. 2. Partisipasi tenaga adalah partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan suatu program. 3. Partisipasi harta benda adalah partisipasi dalam bentuk menyumbang harta benda, biasanya berupa alat-alat kerja atau perkakas. 4. Partisipasi keterampilan, yaitu memberikan dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya kepada anggota Komunitas Gunung Brintik Semarang yang membutuhkannya 5. Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan Komunitas Gunung Brintik Semarang yang yang memerlukan bantuan Partisipasi Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang tersebut terdapat unsur-unsur sebagai berikut: a. Keterlibatan peserta didik/peserta dampingan dalam segala kegiatan yang dilaksanakan dalam proses belajar mengajar. b. Kemauan peserta didik / peserta dampingan untuk merespon dan berkreasi dalam kegiatan yang dilaksanakan dalam proses belajar mengajar.
104
Bab 5 Kehadiran Negara & NGO’s Terhadap Komunitas Makam Gunung Brintik
“Partisipasi siswa” dalam pembelajaran sangat penting untuk menciptakan pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan. Dengan demikian tujuan pembelajaran yang sudah direncakan bisa dicapai semaksimal mungkin. Tabel 5.1 Tabel Lokasi, Waktu dan Jumlah Siswa Pendampingan
Dari tabel Lokasi, Waktu dan Jumlah siswa Pendampingan tersebut di atas terlihat bahwa partisipasi siswa di Komunitas Gunung Brintik relatif paling dinamis dari segi jumlah untuk setiap tahun, terutama meningkat menjadi dua kelompok dampingan pada tahun 1998, dan kembali menjadi satu kelompok dampingan pada tahun 2002. Dapat dimungkinkan peristiwa tersebut berhubungan dengan krisis dalam tahun 1998 dan membaiknya kondisi sosial ekonomi tahun 2002. 105
SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK
Tidak ada proses belajar tanpa partisipasi dan keaktifan anak didik yang belajar. Setiap anak didik pasti aktif dalam belajar, hanya yang membedakannya adalah kadar/bobot keaktifan anak didik dalam belajar. Ada keaktifan itu dengan kategori rendah, sedang dan tinggi. Disini perlu kreatifitas guru dalam mengajar agar siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Penggunaan strategi dan metode yang tepat akan menentukan keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Metode belajar mengajar yang bersifat partisipatoris yang dilakukan guru akan mampu membawa siswa dalam situasi yang lebih kondusif karena siswa lebih berperan serta lebih terbuka dan sensitif dalam kegiatan belajar mengajar. Bila kita mengacu pada dua bentuk partisipasi, yaitu partisipasi vertikal dan partisipasi horizontal. maka yang ada di Komunitas Makam Gunung Brintik tersebut adalah: a. Partisipasi vertikal yaitu suatu bentuk kondisi dalam Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang mengambil bagian dalam suatu program pihak lain, dalam hubungan itu masyarakat berada sebagai posisi bawahan. b. Partisipasi horizontal adalah dimana Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang tidak mustahil untuk mempunyai prakarsa dimana setiap anggota komunitas berpartisipasi secara horizontal antara satu dengan yang lainnya, baik dalam melakukan usaha bersama, maupun dalam rangka melakukan kegiatan dengan pihak lain.Tentu saja partisipasi seperti ini merupakan tanda permulaan tumbuhnya Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang yang mampu berkembang secara mandiri.
Sebagaimana tertuang dalam Panduan Pelaksanaan Pendekatan Partisipati yang disusun oleh Department for International Development (DFID) adalah: Cakupan: Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena dampak dari hasil-hasil suatu keputusan atau proses proyek pembangunan. 106
Bab 5 Kehadiran Negara & NGO’s Terhadap Komunitas Makam Gunung Brintik
Kesetaraan dan kemitraan (Equal Partnership): Pada dasarnya setiap orang mempunyai keterampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur masing-masing pihak. Transparansi: Semua pihak harus dapat menumbuh kembang kan komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog. Kesetaraan kewenangan (Sharing Power/Equal Powership): Berbagai pihak yang terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi. Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility): Berbagai pihak mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan langkahlangkah selanjutnya. Pemberdayaan (empowerment): Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain. Kerjasama : Diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia. Ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program, sifat faktor-faktor tersebut dapat mendukung suatu keberhasilan program namun ada juga yang sifatnya dapat menghambat keberhasilan program. Misalnya saja faktor usia, terbatasnya harta benda, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Partisipasi yang tumbuh dalam masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam berpartisipasi, yaitu: Usia, Faktor usia merupakan faktor yang 107
SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK
memengaruhi sikap seseorang terhadap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang ada. Mereka dari kelompok usia menengah ke atas dengan keterikatan moral kepada nilai dan norma masyarakat yang lebih mantap, cenderung lebih banyak yang berpartisipasi daripada mereka yang dari kelompok usia lainnya; Jenis kelamin, Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan bahwa pada dasarnya tempat perempuan adalah “di dapur” yang berarti bahwa dalam banyak masyarakat peranan perempuan yang terutama adalah mengurus rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran perempuan tersebut telah bergeser dengan adanya gerakan emansipasi dan pendidikan perempuan yang semakin baik; Pendidikan, Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi. Pendidikan dianggap dapat memengaruhi sikap hidup seseorang terhadap lingkungannya, suatu sikap yang diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat; Pekerjaan dan penghasilan, Hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena pekerjaan seseorang akan menentukan berapa penghasilan yang akan diperolehnya. Pekerjaan dan penghasilan yang baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatankegiatan masyarakat. Pengertiannya bahwa untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan, harus didukung oleh suasana yang mapan perekonomian; Lamanya tinggal, Lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu dan pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan tersebut akan berpengaruh pada partisipasi seseorang. Semakin lama ia tinggal dalam lingkungan tertentu, maka rasa memiliki terhadap lingkungan cenderung lebih terlihat dalam partisipasinya yang besar dalam setiap kegiatan lingkungan tersebut. Sejak tahun 1950-an, bukan hanya perubahan yang behubungan dengan perilaku, namun begitu banyak perhatian kepada sebuah konsep lintas-disiplin (a cross-disciplinary concept), atau dalam Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia kita kenal adanya Multy-Dimentional Approach–seperti juga di dalam Sejarah Perekonomian yang menawarkan sampai saat ini tema-tema tentang perubahan dan perdebatan. Tulisan ini memaparkan uraian tentang munculnya komunitas (masyarakat setempat) dan evolusi lembaga-lembaga 108
Bab 5 Kehadiran Negara & NGO’s Terhadap Komunitas Makam Gunung Brintik
perekonomian yang telah mengilhami dengan dasar perubahan yang luas bukan hanya di dalam ekonomi/perekonomian, melainkan di dalam Studi Pembangunan (development study). Pembangunan Masyarakat Setempat (community development) Di dalam Sosiologi, para penganut kelembagaan baru (neoinstitutionalist) terutama John Meyer, Richard Scott, Paul DiMaggio dan Walter Powell, telah mengarahkan kembali studi organisasinya mengarah pada analisis bagaimana lingkungan kelembagaan dan kebudayaan dipercaya mengubah perilaku mereka. Di dalam sebuah pergeseran yang sejajar pada perhatian analisis ekonomis-sosiologis. Neil Fleigstein, Richard Swedberg dan Victor Nee menyampaikan argumentasi berupa sebuah fokus baru untuk menjelaskan bagaimana interaksi kelembagaan dengan jaringan kerja sosial dan norma-norma membentuk dan mengarahkan kegiatan perekonomian. Awal mula ancangan ini adalah penegasan bahwa kejadian-kejadian kelembagaan dan pemahaman terhadap lembagalembaga serta perubahan kelembagaan. (Victor Nee, 2003)
109