BAB 4 DESAIN SUMUR RESAPAN BERDASARKAN KUALITAS DAN KUANTITAS AIRTANAH DI DAERAH CENGKARENG
4.1
Karakteristik Wilayah Studi Kecamatan Cengkareng termasuk dalam wilayah Kotamadya Jakarta
Baratyang terdiri dari 6 kelurahan. Kecamatan Cengkareng terletak pada koordinat 106º22’42” BT - 106º58’18” BT dan 5º19’12” LS - 6º23’54” LS.
Gambar 4.1 Peta Wilayah Kecamatan Cengkareng (Sumber : https://www.google.com/maps)
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 171 Tahun 2007, luas wilayah Kecamatan Cengkareng adalah 26,54 km2 dengan luas masing-masing kelurahan adalah sebagai berikut : 1.
Kelurahan Duri Kosambi
: 5,91 km2
2.
Kelurahan Rawa Buaya
: 4,07 km2
3.
Kelurahan Kedaung Kali Angke : 2,81 km2
4.
Kelurahan Kapuk
: 5,63 km2 37
38 5.
Kelurahan Cengkareng Timur
: 4,51 km2
6.
Kelurahan Cengkareng Barat
: 3,61 km2
Gambar 4.2 Peta Kecamatan Cengkareng dan Pembagian Kelurahan (Sumber : https://www.petajakarta.info)
Kecamatan Cengkareng memiliki batas wilayah sebagai berikut : • Utara
: Berbatasan dengan Kecamatan Penjaringan Kota, Jakarta Utara
• Timur
: Berbatasan dengan Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat
• Selatan
: Berbatasan dengan Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat
• Barat
: Berbatasan dengan Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat Kecamatan Cengkareng merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-
rata 7 mdpl. Secara geologis, Kecamatan Cengkareng umumnya merupakan dataran alluvial, yang materi tanahnya adalah endapan dari aliran permukaan dan air sungai. Pengelompokkan akuifer berdasarkan jenis aliran air tanahnya ke dalam 3 sistem, antara lain (Badan Geologi dan Tata Lingkungan, 2010): • Akuifer dengan aliran melalui ruang butir. Penyebaran akuifer ini terutama meliputi daerah dataran pantai, kipas alluvial dan kaki gunung api. • Akuifer dengan aliran melalui celahan dan runag antar butir. Penyebaran terutama pada kaki gunung api, dan batuan sedimen tersier.
39 • Akuifer dengan aliran melalui rekahan, kekar, saluran dan rongga. Penyebaran akuifer ini terutama pada daerah gunung api dan batuan sedimen karbonat. Muka air tanah dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan kelompok akuifer di atas, antara lain : 1. Kelompok muka air tanah Akuifer Tidak Tertekan (0 – 40 m) 2. Kelompok muka air tanah Akuifer Tertekan Atas (40 – 140 m) •
Sub-kelompok muka air tanah Akuifer Tertekan Atas (40 – 95 m)
•
Sub-kelompok muka air tanah Akuifer Tertekan Atas (95 – 140 m)
3. Kelompok muka air tanah Akuifer Tertekan Atas (140 – 250 m) •
Sub-kelompok muka air tanah Akuifer Tertekan Atas (140 – 190 m)
•
Sub-kelompok muka air tanah Akuifer Tertekan Atas (190 – 250 m)
4.2
Kedudukan Muka Air Tanah Kuantitas dan kualitas air tanah mengalami perubahan seiring dengan
terjadinya perubahan kondisi dan lingkungan air tanah pada sistem akuifer tidak tertekan maupun tertekan.Proses pengambilan air tanah yang intensiftelah mengakibatkan penurunan muka air tanah yang mengakibatkan kerusakan lingkungan berupa amblesan tanah akibat turunnya daya dukung tanah, penurunan muka air sungai pada musim kemarau, dan potensi terjadinya intrusi air laut.
4.2.1
Muka Air Tanah pada Sistem Akuifer Tertekan Atas (40 – 140 m) Secara umum, sebaran muka air tanah mempunyai kedudukan berkisar
antara 0 – 45 mdml. Menurut Badan Geologi dan Tata Lingkungan, kedudukan muka air tanah pada sistem akuifer tertekan atas sebelum tahun 1960 umumnya berada di atas muka tanah setempat sehingga air tanah mengalir sendiri tanpa dipompa. Perubahan kedudukan muka air tanah umumnya dipengaruhi oleh jumlah pengambilan dan pemanfaatan air tanah.
40
Gambar 4.3 Peta Muka Air Tanah Akuifer 40 – 140 m (Sumber : Badan Geologi dan Tata Lingkungan, 2012) Titik sumur bor pantau yang ditinjau adalah titik sumur pantau yang terletak di Kantor Kelurahan Kapuk, Cengkareng. Sumur pantau menunjukkan kedudukan muka air tanah yang cukup dalam yaitu -53,35 mbmt dengan jarak saringan 96 – 100 mbmt.
41
Gambar 4.4 Lokasi Studi Sumur Pantau Akuifer 40 – 140 m (Sumber : https://www.google.com/maps)
Data yang didapat dari Badan Geologi dan Tata Lingkungan adalah data yang ditinjau dari tahun 2009 – 2013 di sumur pantau Kantor Kelurahan Kapuk.Dari data muka air tanah tersebut kemudian didapat perubahan muka air tanah seperti pada Gambar 4.4 memperlihatkan perubahan muka air tanah dari tahun ke tahun.
42
Gambar 4.5 Grafik Tinggi Muka Air Tanah Akuifer 40 – 140 m (Sumber : Hasil Analisis, 2014)
Kedudukan muka air tanah sumur pantau akuifer 40 – 140 m pada sumur pantau Kelurahan Kapuk statis pada tahun 2009 hingga 2012 yaitu sebesar -58,33 m dml. Kemudian pada tahun 2013, muka air tanah mengalami kenaikan sebesar 1,98 m menjadi -56,35 mdml. Kenaikan muka air tanah pada tahun 2013 dapat terjadi dikarenakan semakin banyaknya sumur resapan yang dibuat.Menurut Dinas Perindustrian Dan Energi, pada tahun 2005 jumlah sumur resapan yang ada di Kecamatan Cengkareng sebanyak 18 buah. Kemudian di tahun 2013 berkembang menjadi 46 buah yang telah terbuat untuk di wilayah Kecamatan Cengkareng.
4.2.2
Muka Air Tanah pada Sistem Akuifer Tertekan Bawah (>140 m) Pola muka air tanah pada sistem akuifer tertekan bawah sangat dipengaruhi
oleh jumlah pengambilan dan pemanfatan air tanah. Sebagaimana halnya pada sistem akuifer tertekan atas, kedudukan muka air tanah pada kondisi awal berada di atas permukaan tanah setempat sehingga air tanah mengalir sendiri tanpa dipompa
43
Gambar 4.6 Peta Muka Air Tanah Akuifer > 140 m (Sumber : Badan Geologi dan Tata Lingkungan, 2012)
44 Titik sumur bor pantau yang ditinjau adalah titik sumur yang terletak di PT. ABC Battery, Cengkareng dengan ketinggian 6 m dml dengan jarak saringan 149 – 162 mbmt.
Gambar 4.7 Lokasi Studi Sumur Pantau Akuifer >140 m (Sumber : https://www.google.com/maps)
Data yang didapat dari Badan Geologi dan Tata Lingkungan adalah data yang ditinjau dari tahun 2003 – 2013 pada sumur pantau PT. ABC Battery yang berlokasi di komplek pabrik International Chemical Industrial Co. Ltd. PT. Dari data muka air tanah yang didapat terjadi perubahan muka air tanah seperti pada Gambar 4.6 memperlihatkan perubahan muka air tanah dari tahun ke tahun.
45
Gambar 4.8 Grafik Tinggi Muka Air Tanah Akuifer >140 m (Sumber : Pengolahan Data, 2014)
Kedudukan muka air tanah sumur pantau akuifer >140 m pada sumur pantau PT. ABC Battery, terjadi penurunan di tahun 2005 sebesar 2,35 m dari -25,50 m dml menjadi -27,85 m dml. Kemudian terjadi penurunan lagi yang sangat besar yaitu di tahun 2010 sebesar -17,47 m dari -23,10 m dml menjadi di kedalaman -40,57 m dml, dan tetap pada kedalaman di bawah -40 m dml hingga tahun 2012. Pada tahun 2013 muka air tanah kembali terjadi kenaikan menjadi -31,78 m dml. Pengambilan air tanah dari sumur bor yang terdaftar di Jakarta Barat cenderung mengalami perubahan seiring dengan perubahan jumlah sumur bor untuk kedalaman >140 m yang digunakan oleh sektor industri, jasa, dan perdagangan yang juga semakin bertambah tiap tahun. Menurut sumber (BPLHD DKI Jakarta dan Dinas Perindustrian dan Energi), pada tahun 2005 jumlah sumur bor yang tercatat sebanyak 264 buah. Di tahun 2009, jumlah sumur bor yang tercatat adalah sebanyak 201 buah. Kemudian di tahun 2010 terjadi peningkatan pesat pada jumlah sumur bor yaitu sebanyak 381 buah dan meningkat lagi di tahun 2011 hingga 2012 sebanyak 383 buah. Berdasarkan data dari
46 Dinas Pertambangan dan Dinas Perindustrian dan Energi, jumlah sumur bor yang resmi dan tercatat di Kecamatan Cengkareng pada tahun 2004 hingga 2006 sebanyak 65 buah, kemudian pada tahun 2010 hingga 2012 jumlah sumur bor tercatat sebanyak 72 buah.Untuk tahun 2013 terjadi kenaikan muka air tanah yang dapat diakibatkan oleh semakin maraknya pembangunan sumur resapan guna mengurangi genangan limpasan dan banjir serta untuk menaikkan muka air tanah pada akuifer tertekan. Menurut Dinas Perindustrian Dan Energi, pada tahun 2005 jumlah sumur resapan sedalam 30 m dan 60 m yang dibuat di Kecamatan Cengkareng sebanyak 18 buah. Kemudian di tahun 2013 berkembang menjadi 46 buah yang telah terbuat untuk di wilayah Kecamatan Cengkareng.
4.3
Kualitas Kadar Kimia Air Tanah Komposisi kimia yang terkandung pada air tanah adalah hasil dari
kombinasi air yang meresap menjadi air tanah dan bereaksi dengan komponen – komponen mineral yang terkandung di dalam tanah. Komposisi kimia air tanah dapat juga dipengaruhi oleh lingkungan setempat, misalnya aktivitas penduduk yang menyebabkan terjadinya pencemaran. Komposisi kimia yang terkandung pada air tanah berbeda sehingga dapat menunjukkan asal – usul dan bagaimana proses pembentukan air tanah tersebut.. Komposisi ion air tanah antara lain dipengaruhi oleh batuan pembentuk akuifer, lingkungan pengendapan batuan pembentuk akuifer, panjang lintasan yang dilalui air tanah, proses yang dialami oleh air tanah selama mengalir dari tempat resapan, kedalaman akuifer, dan adanya pencemaran. Sehingga dengan mempelajari komposisi ion air tanah maka dapat diketahui proses yang sedang atau telah terjadi pada air tanah tersebut. Hampir semua airtanah berasal dari hujan yang meresap kedalam tanah menuju sistem aliran yang dilapisi bahan-bahan geologi. Zona tanah mempunyai kemampuan kuat dan unik untuk mengubah kimia air, sebagai resapan yang terjadi melalui zona biologi aktif yang tipis. Pada daerah tangkapan (recharge) zona tanah mengalami kehilangan bahan-bahan mineral yang larut dalam aliran air. Ketika air tanah bergerak dalam jalur aliran dari daerah tangkapan menuju daerah lepasan (discharge), kondisi kimianya diubah oleh berbagai proses geokimia (Freeze dan Cherry, 1979).
47 Sampel yang diuji kandungan kimianya terdiri dari 5 sampel yang diambil dari 5 sumur tanah yang berbeda yang terletak di Cengkareng yang masing-masing diambil sebanyak ±2 liter. Lokasi dari sampel-sampel yang diambil disajikan pada Gambar 4.9, Gambar 4.10, Gambar 4.11, Gambar 4.12, dan Gambar 4.13 berikut ini.
1. Sampel 1 diambil dari sumur tanah di Jl. Rawa Buaya RT.05 RW. 01.
Gambar 4.9 Lokasi Pengambilan Sampel 1 (Sumber : https://www.google.com/maps) 2. Sampel 2 diambil dari sumur tanah di Jl. Rawa Buaya RT.03 RW. 01.
Gambar 4.10 Lokasi Pengambilan Sampel 2 (Sumber : https://www.google.com/maps)
48 3.
Sampel 3 diambil dari sumur tanah di Jl. Bojong Indah RT. 04 RW. 11
Gambar 4.11 Lokasi Pengambilan Sampel 3 (Sumber : https://www.google.com/maps)
4.
Sampel 4 diambil dari sumur tanah di Jl. Bojong Indah RT. 07 RW. 11
Gambar 4.12 Lokasi Pengambilan Sampel 4 (Sumber : https://www.google.com/maps)
49 5.
Sampel 5 diambil dari sumur tanah di Gang Pahat RT.02 RW. 04, Cengkareng Timur.
Gambar 4.13 Lokasi Pengambilan Sampel 5 (Sumber : https://www.google.com/maps) Hasil dari pengolahan sampel – sampel tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.8 di bawah ini.
Tabel 4.1 Kandungan Unsur Kimia pada Sampel Air Tanah Sampel
pH
1 2 3 4 5
7,52 7,39 7,32 8,38 6,84
Na (mg/L) 24,06 11,92 35,35 35,01 396,51
NH4 (mg/L) 3,42 2,30 6,69 5,09 19,02
K (mg/L) 16,65 8,12 10,80 10,60 1,21
Ca (mg/L) 27,28 28,00 87,29 85,35 6,65
Tabel 4.2 Kandungan TDS dan DHL Pada Sampel Sampel 1 2 3 4 5
TDS (mg/L) 140,62 76,63 254 194,95 572,76
DHL (mmhos/cm) 216,338 117,892 390,769 299,923 881,169
Mg (mg/L) 6,24 6,23 20,22 20,31 4,32
Cl (mg/L) 15,74 14,23 48,49 31,01 80,04
NO3 (mg/L) 35,18 2,67 31,35 2,80 34,55
SO4 (mg/L) 12,05 3,16 13,81 4,78 30,46
50 Dari data sampel yang telah didapat kemudian dibandingkan dengan kadar maksimum menurut PERMENKESNo. 492/Menkes/Per/IV/2010 untuk mengetahui kadar kandungan kimia pada sampel telah melewati baku mutu atau tidak.
Tabel 4.3 Kadar Maksimum menurut PERMENKES No. 492/Menkes/Per/IV/2010 Parameter Kimia pH TDS DHL Na NH4 K Ca Mg Cl NO3 SO4
Batas Maksimum 6,5 – 8,5 500 mg/L 750 mmhos/cm 200 mg/L 1,5 mg/L 85 mg/L 75 mg/L 30 mg/L 250 mg/L 50 mg/L 250 mg/L
Kadar pH yang terkandung dari kelima sampel masih diantara kadar yang dianjurkan yaitu diantara 6,5 – 8,5 sehingga masih dapat dibilang cukup netral, tidak terlalu basa maupun asam. Kadar natrium (Na) pada sampel lima melebihi batas maksimum baku mutu yaitu sebesar 396,51 mg/L. Kadar natrium yang tinggi dapat terjadi dikarenakan telah terjadi intrusi air laut dilihat dari lokasi sumur kelima berjarak ±6 km ke Pantai Indah Utara. Untuk kadar natrium pada sampel lainnya masih dibawah baku mutu. Kadar ammonia (NH4) pada kelima sampel semuanya melebihi kadar maksimum yang dianjurkan. Amonia dapat berasal dari air limbah, pupuk organik, urin dan tinja, juga dari oksidasi zat organik secara mikrobiologis yang berasal dari alam atau buangan (domestik dan non domestik). Dapat dikatakan bahwa air tanah dari kelima sampel telah tercemar. Untuk kadar kimia lainnya seperti kalium (K), Ca (Calsium), Mg (Magnesium), Cl (Klorida), NO3 (Nitrat), SO4 (Sulfat) pada kelima sampel masih dibawah baku matu sehingga masih dalam batas aman. Tinggi nilai TDS (Total Padatan Terlarut) yang melebihi dari standar baku mutu 500 mg/L adalah pada sampel lima yaitu sebesar 572,76 mg/L, sehingga untuk
51 air permukaan dan air tanah yang nilai TDS melebihi 500 mg/L dapat dikatakan tercemar. Nilai DHL (Daya Hantar Listrik) yang melebihi dari standar baku mutu 750 µmhos/cm adalah pada sampel lima yaitu sebesar 881,169 µmhos/cm. Tinggi nilai DHL dapat dipengaruhi oleh ion-ion garam terlarut pada sampel 5 yang tinggi pula. Karena zat-zat terlarut tersebut merupakan unsur penghantar listrik, maka besar pula daya hantar listriknya.
4.4
Desain Dimensi Sumur Resapan Sebelum melakukan perhitungan dimensi sumur resapan, sebelumnya
diperlukan analisa curah hujan untuk mendapatkan debit rencana (Q). Data curah hujan yang digunakan data curah hujan maksimum.Hal ini bertujuan agar analisa dapat mendekati kondisi yang sebenarnya yang ada di lapangan. Data curah hujan tersebut didapat dari stasiun-stasiun penakar hujan maupun stasiun-stasiun pos hujan yang terdapat di sekitar daerah aliran, yang dapat mewakili frekuensi curah hujan yang jatuh dalam daerah tangkapan hujan (catchment area). Data curah hujan yang didapat adalah berasal dari Cengkareng Drain.
4.4.1
Analisa Curah Hujan Rata-Rata Dilihat dari jumlah stasiun yang hanya 1 buah dengan luas Das Kali
Ciliwung adalah 382,6 km2(< 500 km2) maka distribusi curah hujan yang digunakan adalah distribusi rata-rata aljabar. Untuk menghitung curah hujan rencana maksimum dengan periode ulang tertentu dapat ditentukan dengan menganalisa data curah hujan harian maksimum. Perhitungan curah hujan dengan metode rata-rata aljabar seperti pada Tabel 4.1 berikut ini.
52 Tabel 4.4 Curah Hujan Maksimum Rata-rata No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
4.4.2
Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Curah Hujan Maksimum Rata-rata (mm) 126 87 114 60 131 54 139 75 83 54 91
Analisa Frekuensi Curah Hujan Analisa frekuensi curah hujan dihitung untuk menentukan jenis sebaran
(distribusi) yang digunakan. Analisa frekuensi curah hujan dapat dilihat pada Tabel 4.2 seperti di bawah.
Tabel 4.5 Analisa Frekuensi Curah Hujan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Jumlah Rata-rata
Xi 139 131 126 114 91 87 83 75 60 54 54 1014 92.182
X 92.182 92.182 92.182 92.182 92.182 92.182 92.182 92.182 92.182 92.182 92.182
Xi-X 46.818 38.818 33.818 21.818 -1.182 -5.182 -9.182 -17.182 -32.182 -38.182 -38.182 Jumlah
(Xi-X)2 (Xi-X)3 (Xi-X)4 2191.942 102622.746 4804610.384 1506.851 58493.225 2270600.658 1143.669 38676.820 1307979.746 476.033 10386.176 226607.472 1.397 -1.651 1.951 26.851 -139.138 720.989 84.306 -774.080 7107.465 295.215 -5072.328 87151.823 1035.669 -33329.725 1072611.151 1457.851 -55663.411 2125330.237 1457.851 -55663.411 2125330.237 9677.636 59535.223 14028052.113
Dari perhitungan di atas dapat ditentukan jenis sebaran yang sesuai untuk digunakan melalui langkah-langkah berikut ini.
53 Standar Devisiasi (S) 1.
2.
Koefisien Kemencengan (Cs)
3.
Koefisien Kurtosis (Ck)
4.
Koefisien Variasi (Cv)
4.4.3
Pemilihan Jenis Distribusi Terdapat beberapa jenis sebaran (distribusi) dalam analisa statistik yang
sering digunakan dalam hidrologi, antara lain : 1.
Distribusi Gumbel
2.
Distribusi Log Normal
3.
Distribusi Log-Person Tipe III
4.
Distribusi Normal Untuk menentukan distribusi yang sesuai perlu dilihat syarat-syarat dan
hasil perhitungan frekuensi curah hujan.
54 Tabel 4.6 Hasil Perhitungan Penentuan Distribusi No 1
2
3
Jenis Distribusi Gumbel
Syarat Cs ≤ 1,1396
Hasil Perhitungan 0,241694 ≤ 1,1396 2,517132 ≤ 5,4002
Log Normal
Ck ≤ 5,4002 Cs = 3 Cv + Cv2 Cs = 0,8325 Cs ≈ 0
0,241694 <0,8325 0,241694 > 0
Cs = 0
0,241694 ≠ 0
Log-Person Tipe III Normal
4
Berdasarkan perbandingan hasil perhitungan dan syarat di atas, maka dapat dipilih jenis distribusi yang memenuhi syarat, yaitu Distribusi Gumbel.
4.4.4
Pengujian Kecocokan Jenis Sebaran Pengujian kecocokan sebaran berfungsi untuk menguji apakah sebaran yang
dipilih dalam pembuatan duration curve cocok dengan sebaran empirisnya. Dalam hal ini menggunakan metode Chi-Kuadrat. Uji Chi-Kuadrat (uji kecocokan) diperlukan untuk mengetahui apakah data curah hujan yang ada sudah sesuai dengan jenis sebaran (distribusi) yang dipilih. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan parameter X2 yang dihitung dengan rumus :
Dimana : X2
= harga chi-kuadrat
G
= jumlah sub kelompok
Of
= frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama
Ef
= frekuensi yang diharapkan sesuai pembagian kelasnya
Prosedur perhitungan chi-kuadrat adalah sebagai berikut : 1.
Urutkan data pengamatan dari data yang besar ke data yang kecil atau sebaliknya.
2.
Hitung jumlah kelas yang ada (k) = 1 + 3,322 log n. Dalam pembagian kelas disarankan agar masing-masing kelas terdapat empat buah data pengamatan.
3.
Hitung nilai Ef = jumlah data (n)/jumlah kelas (k).
55 4.
Tentukan nilai Of untuk masing-masing kelas.
5.
Hitung nilai X2 untuk masing-masing kelas kemudian hitung nilai total X2.
6.
Nilai X2dari perhitungan harus lebih kecil dari nilai X2 dari tabel untuk derajat nyata tertentu yang sering diambil sebesar 5 % dengan parameter derajat kebebasan.
Rumus Derajat Kebebasan : dk = k - R -1 dimana : dk
= derajat kebebasan
k
= jumlah kelas
R
=banyaknya keterikatan
(nilai R = 2 untuk distribusi normal dan binomial, nilai R = 1 untuk distribusi poisson dan gumbel). Perhitungan Chi-kuadrat : 1.
Jumlah kelas (k) = 1 + 3,322 log n = 1 + 3,322 log 11 = 4,459 ≈ diambil nilai 4 kelas
2.
Derajat kebebasan (dk) = k - R - 1 =4-1-1 =2 Untuk dk = 2, signifikan (α) = 5 %, maka dari tabel uji chi-kuadrat didapat harga X2= 5,991. Tabel uji Chi-Kuadrat dapat dilihat pada lampiran laporan ini.
3.
Ef = n / k = 11 / 4 = 2,75
4.
Dx = (Xmax – Xmin) / (k-1) = (139 – 60) / (4 – 1) = 26,333
5.
Xawal
= Xmin – (0,5 x Dx) = 60 – (0,5 x 26,333) = 46,834
56 Tabel 4.7 Tabel perhitungan X2 2
No
Nilai Batasan
Of
Ef
(Of-- Ef)
1 2 3 4
46,834 ≤ X ≥ 73,167 73,167 ≤ X ≥ 99,5 99,5 ≤ X ≥ 125,833 125,8333 ≤ X ≥ 152,166 Jumlah
3 4 1 3
2,75 2,75 2,75 2,75
0,0625 1,5625 3,0625 0,0625
(Of-- Ef)2 / Ef 0,0227 0,5682 1,1136 0,0227 1,7
Dari hasil perhitungan di atas didapat nilai X2 sebesar 4,4 yang kurang dari nilai X2 pada tabel uji Chi-Kuadrat yang besarnya adalah 5,991. Maka dari pengujian kecocokan penyebaran Distribusi Gumbel dapat diterima. Sebelum melakukan perhitungan debit rencana, terlebih dahulu dicari kemungkinan curah hujan maksimum. Metode yang digunakan dalam oerhitungan curah hujan maksimum adalah Metode Gumbel. Rumus :
Dimana : Xt
= curah hujan rencana dengan periode ulang t tahun (mm) = curah hujan rata-rata (mm)
S
= standar deviasi (deviation standard)
Sn
= deviation standard of reduced variate
Yt
= reduced variate
Yn
= mean of reduced variate Nilai Yn dan Sn didapat dari tabel hubungan Mean of Reduced Variate (Yn)
dan Standard Deviation of The Reduce Variate (Sn) sesuai dengan jumlah tahun pengamatan (n). Sedangkan nilai Yt didapat dari tabel hubungan periode ulang (T) dengan Reduced Variate (Yt). Kedua tabel akan disertakan dalam lampiran laporan ini. Berikut ini adalah salah satu perhitungan curah hujan harian maksimum dengan menggunakan metode Gumbel pada periode ulang 2 tahun. Data : = 92,182 mm S
= 31,109
57 Yt
= 0,3665
Yn
= 0,4592
Sn
= 0,9676
Curah hujan maksimum :
Untuk hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.7 berikut ini :
Tabel 4.8 Perhitungan Hujan Maksimum Periode Ulang
ϒT
K
Xr
Sx
2 5 10 25 50 100
0.3665 1.4999 2.2504 3.1985 3.9019 4.6001
-0.1375 1.0338 1.8094 2.7893 3.5163 4.2379
92.182 92.182 92.182 92.182 92.182 92.182
31.109 31.109 31.109 31.109 31.109 31.109
4.4.5
Xt (mm) 87.903 124.344 148.470 178.955 201.570 224.017
Kurva IDF Setelah didapat hasil perhitungan curah hujan harian maksimum pada
periode ulang tertentu, selanjutnya dapat dibuat kurva IDF (Intensity Duration Frequency) seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.1. Hasil yang diperoleh semakin besar periode ulang menghasilkan intensitas hujan rancangan yang semakin besar, sehingga jika pembuatan sumur resapan menggunakan periode ulang yang besar maka menghasilkan sumur resapan yang lebih dalam. Kondisi ini berbanding terbalik dengan durasi hujan, semakin lama durasi hujan menghasilkan intensitas hujan rendah, sedangkan semakin pendek durasi hujan maka nilai intensitas hujan akan semakin tinggi, karena biasanya hujan deras berlangsung pada waktu singkat sehingga konsentrasi hujan yang tinggi terdapat pada awal terjadinya hujan, kemudian intensitas hujan akan melemah hingga kadang berhenti.
58
Gambar4.14 Kurva IDF Hubungan Antara Intensitas Hujan (mm/jam) dengan Durasi (menit)
59 4.4.6
Luas Atap Karena desain sumur resapan yang dihitung adalah untuk umum, maka
untuk luas atap yang digunakan adalah luas atap pemukiman pada umumnya berkisar dari 21-100 m2.
4.4.7
Permeabilitas Tanah
Data permeabilitas tanah yang didapat menunjukkan nilai permeabilitas (K) sedang yaitu 7,14x10-6 m/s dengan kecenderungan tanah lanau.
4.4.8
Debit Rencana Debit rencana menggunakan intensitas hujan selama 1 jam, karena
diperkirkan lama hujan yang paling dominan di daerah penelitian memiliki durasi hujan 1 jam. Untuk nilai koefisien limpasan yang dipakai (Mc Gueen, 1989 dalam Indramaya, 2013) untuk atap bangunan koefisien aliran digunakan sebesar 0,70 – 0,95, sedangkan dalam perhitungan debit rencan koefisien yang digunakan adalah sebesar 0,8. Untuk perhitungan debit rencana selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.5 di bawah ini.
Tabel 4.9 Hasil Perhitungan Debit Rencana Q pada Periode Ulang (m3/s)
Luas Atap (m2)
2
5
10
25
50
100
21
0.000395 0.000559 0.000668 0.000805 0.000907 0.0010075
36
0.000678 0.000959 0.001145 0.001380 0.001554 0.0017272
45
0.000847 0.001198 0.001431 0.001725 0.001943 0.0021590
60
0.001130 0.001598 0.001908 0.002300 0.002590 0.0028787
70
0.001318 0.001864 0.002226 0.002683 0.003022 0.0033584
80
0.001506 0.002130 0.002544 0.003066 0.003454 0.0038382
100
0.001883 0.002663 0.003180 0.003833 0.004317 0.0047978
Dari perhitungan debit rencana yang dilakukan menunjukan bahwa semakin besar luas atap menghasilkan debit rencana yang semakin besar. Dan dengan periode ulang yang ditentukan semakin besar menghasilkan debit rencana yang semakin besar pula. Sehingga dapaat ditarik kesimpulan bahwa periode ulang mempengaruhi
60 debit masukan pada luas atap yang besarnya sama, yang disebabkan oleh semakin besarnya intensitas hujan yang dipengaruhi oleh besarnya periode ulang yang ditentukan.
4.4.9
Kedalaman Sumur Resapan Nilai kedalaman sumur resapan dapat dihitung dengan menggunakan rumus
Sunjoto (1991), yaitu :
Faktor geometrik (F) yang digunakan dalam penelitian adalah 2πR dengan jari-jari yang ditentukan adalah 1 m karena sumur resapan yang digunakan berbentuk persegi. Contoh perhitungan dengan rumus di atas dapat dilihat seperti berikut :
Untuk hasil perhittungan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.6 dibawah ini.
Tabel 4.10 Hasil Perhitungan Kedalaman Sumur Resapan Luas Atap (m2)
Kedalaman (m) dalam berbagai periode ulang (tahun) 2
5
10
25
50
100
21
0,44
0,62
0,75
0,90
1,01
1,13
36
0,76
1,07
1,28
1,54
1,74
1,93
45
0,95
1,34
1,60
1,93
2,17
2,41
60
1,26
1,79
2,13
2,57
2,89
3,22
70
1,47
2,08
2,49
3,00
3,38
3,75
80
1,68
2,38
2,84
3,43
3,86
4,29
100
2,10
2,98
3,55
4,28
4,82
5,36
Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.6, dapat dilihat bahwa semakin besar luas atap bangunan maka kedalaman sumur resapan yang dibutuhkan juga akan mengalami peningkatan. Sehingga dapat dikatakan bahwa antara luas atap bangunan dengan kedalaman sumur resapan memiliki hubungan yang linier.
61 Semakin besar luas atap bangunan dan intensitas hujan, akan mempengaruhi debit rencana (Q). Selain itu, setiap semakin besar nilai periode ulang terjadi peningkatan nilai kedalaman sumur resapan.Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh antara periode ulang yang digunakan dengan kedalaman sumur resapan.
4.4.10 Volume Sumur Resapan Perhitungan volume sumur resapan mementukan kapasitas maksimum air yang dapat ditampung.Hasil perhitungan volume sumur resapan adalah sebagai berikut.
Tabel 4.11 Hasil Perhitungan Volume Air Pada Sumur Resapan Volume (lt) pada berbagai periode ulang (tahun) Luas Atap Jari-jari (m2)
sumur (m)
2
5
10
25
50
100
21
1
1387
1962
2343
2824
3181
3535
36
1
2378
3364
4017
4842
5454
6061
45
1
2973
4205
5021
6052
6817
7576
60
1
3964
5607
6695
8069
9089
10101
70
1
4624
6541
7810
9414
10604
11785
80
1
5285
7476
8926
10759
12119
13469
100
1
6606
9345
11158
13449
15149
16836
Semakin besar luas atap bangunan maka volume sumur resapan yang semakin besar, sehingga kapasitas air yang dapat ditampung pun semakin besar. Volume air hujan yang terbesar yang dapat ditampung terdapat pada luas atap 100 m2 dengan kedalaman sumur resapan yang paling dalam.
62 PIPA SALURAN DARI ATAP D=110 MM PLAT BETON T=10 CM
3000
DINDING PASANGAN BATA TANPA PLESTER TEBAL 1/2 BATA
IJUK LAPISAN BATU PECAH UKURAN 20 CM 150
1000
150
SATUAN DALAM MM
POTONGAN SUMUR RESAPAN SKALA 1 : 10
Gambar 4.15 Contoh Desain Sumur Resapan pada Luas Atap 70 m2 dengan Periode Ulang 25 Tahun (Sumber : Hasil Analisis, 2014)
Konstruksi sumur resapan dibuat sesuai dengan petunjuk teknis SNI Nomor 03-2453-2002, antara lain : 1.
Ukuran pipa masuk diameter 110 mm
2.
Dinding menggunakan susunan pasangan batu bata dari campuran spesi 1 semen : 4 pasir tanpa plester, tebal ½ bata.
3.
Dasar sumur diisi dengan ijuk dan batu pecah setebal 20 cm seragam
4.
Penutup sumur resapan dari plat beton tebal 10 cm dengan campuran 1 semen : 2 pasir : 3 kerikil. Penggunaan batu bata pada dinding sumur resapan dapat dibuat kedap air
untuk meneruskan air hujan hujan yang masuk ke dasar tanah saja, atau dapat diberi lubang-lubang kecil pada pada dinding untuk meresapkan air hujan ke samping (luar dinding).Lubang sumur resapan dikosongkan dengan maksud agar air hujan yang masuk dapat ditampung dengan optimal.Untuk dasar sumur resapan diberi batu pecah 20 cm seragam sebagai media pemecah energi saat air masuk ke dalam sumur. Untuk desain sumur resapan yang kedalamannya lebih dari 3 m seperti pada luas atap 80 m2 – 100 m2 (pada periode ulang 25 tahun) perlu dibuat sumur resapan paralel karena sumur resapan yang paling efektif adalah memiliki kedalaman maksimal 3 m.
63
Luas Atap 70 m2
Sumur Air Bersih
3m
1m
5m
Sumur Resapan
Septic Tank
Gambar 4.16 Contoh Desain Sumur Resapan pada Luas Atap 70 m2 dengan Periode Ulang 25 Tahun dengan Jarak Minimum Terhadap Bangunan Lain (Sumber : Hasil Analisis, 2014)
Dalam Gambar 4.16 dijelaskan letak sumur resapan yang diatur sesuai dengan SNI Nomor 03-2453-2002 tentang Tata Cara Perencanaan Sumur Resapan Air Hujan untuk Lahan Pekarangan. Pada standar tersebut menetapkan jarak minimum antar sumur resapan dengan bangunan lainnya, antara lain terhadap sumur air bersih minimum berjarak 3 m, terhadap sumur resapan tangki septik minimum 5 m dan terhadap pondasi bangunan atau pagar rumah berjarak minimum 1 m.
4.4.11 Perbandingan
Rancangan
Dimensi
Sumur
Resapan
Penelitian
Sebelumnya dengan Penelitian Ini Pada subbab ini akan ditunjukkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Werdiningsih yang berjudul Rancangan Dimensi Sumur Resapan Untuk Konservasi Airtanah Di Kompleks Tambakbayan, Sleman DIY didapatkan
64 dimensi sumur resapan dengan nilai permeabilitas tanah sebesar 8,4x10-5 m/s adalah seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.11 berikut ini.
Tabel 4.12 Kedalaman Sumur Resapan Di Kompleks Tambakbayan, Sleman (Sumber:Werdiningsih, 2012) Kedalaman (m) dalam berbagai Luas Atap periode ulang (tahun) (m2) 5 10 20 50 21 - 36 1,3 1,4 1,5 1,7 37 - 40 1,4 1,6 1,7 1,9 41 - 45 1,6 1,8 1,9 2,1 46 - 54 1,9 2,1 2,3 2,5 55 - 60 2,1 2,3 2,6 2,8 61 - 70 2,4 2,7 3,0 3,3 71 - 80 2,8 3,1 3,4 3,8 Adapun hasil dari penelitian pada laporan didapatkan dimensi sumur resapan dengan nilai permeabilitas tanah sebesar 7,14x10-6 m/s adalah seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.12 berikut ini.
Tabel 4.13 Hasil Analisis Sumur Resapan Luas Atap
Kedalaman (m) dalam berbagai periode ulang (tahun)
(m2) 21 36 45 60 70 80 100
2 0,44 0,76 0,95 1,26 1,47 1,68 2,10
5 0,62 1,07 1,34 1,79 2,08 2,38 2,98
10 0,75 1,28 1,60 2,13 2,49 2,84 3,55
25 0,90 1,54 1,93 2,57 3,00 3,43 4,28
50 1,01 1,74 2,17 2,89 3,38 3,86 4,82
100 1,13 1,93 2,41 3,22 3,75 4,29 5,36
Sehingga dapat disimpulkan perbedaan hasil yang disajikan pada Tabel 4.13 seperti berikut ini.
Tabel 4.14 Perbandingan Hasil Analisis Kedalaman Sumur Resapan Penelitian Sebelumnya dan Penelitian Ini Periode Ulang No. (tahun) 1 2 3 4 5 6 7
2 5 10 20 25 50 100
21-36 1,3 1,4 1,5 1,7 -
37 - 40 1,4 1,6 1,7 1,9 -
Werdiningsih, 2012 Kelas Atap (m2) 41 - 45 46 - 54 55 - 60 1,6 1,9 2,1 1,8 2,1 2,3 1,9 2,3 2,6 2,1 2,5 2,8 -
61 - 70 2,4 2,7 3 3,3 -
71 - 80 2,8 2,8 3,4 3,8 -
21 0,44 0,62 0,75 0,9 1,01 1,13
36 0,76 1,07 1,28 1,54 1,74 1,93
Intan, 2014 Kelas Atap (m2) 45 60 70 0,95 1,26 1,47 1,34 1,79 2,08 1,6 2,13 2,49 1,93 2,57 3 2,17 2,89 3,38 2,41 3,22 3,75
80 1,68 2,38 2,84 3,43 3,86 4,29
100 2,1 2,98 3,55 4,28 4,82 5,36
65
66 Dari Tabel 4.13, dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian sebelumnya yang berlokasi di Tambakbayan dengan nilai permeabilitas tanah sebesar 8,4x10-5 m/s membutuhkan dimensi sumur resapan yang lebih dalam untuk kelas atap dan periode ulang yang sama. Hasil penelitian ini yang berlokasi di Cengkareng menunjukkan bahwa dengan nilai permeabilitas tanah sebesar 7,14x10-6 m/s didapatkan dimensi kedalaman sumur resapan yang lebih rendah untuk kelas atap dan periode ulang yang sama. Sehingga, dari hasil tersebut diperoleh bahwa semakin tinggi permeabilitas tanah (K), semakin dalam pula sumur resapan yang dibutuhkan.