BAB 3 PROSEDUR PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut, yaitu studi pendahuluan, penetapan kriteria penderita, penetapan kriteria obat yang akan dievaluasi, pembuatan kriteria penggunaan obat yang digunakan pada unit perawatan intensif, pengumpulan dan pengorganisasian data, analisis data serta penarikan kesimpulan.
Studi Pendahuluan Studi pendahuluan yang dilakukan pada setiap Unit Perawatan Intensif (GICU, CICU, PICU) pada bulan Oktober-Desember 2006 dimaksudkan untuk mengetahui data jumlah penderita, jenis penyakit dan obat-obatan yang digunakan.
Penetapan Ruang Unit Perawatan Intensif yang akan Diteliti Dari hasil studi pendahuluan, dilakukan pemilihan ruang Unit Perawatan Intensif yang akan diteliti lebih lanjut dengan kriteria jumlah penderita terbanyak dan variasi kasus penyakit yang terjadi.
Penetapan Jenis Data dan Desain Format Profil Pengobatan Penderita (P3) Data yang dikumpulkan terdiri atas data penderita yang meliputi nama, usia, jenis kelamin, nomor rekam medik, lama perawatan (tanggal masuk dan tanggal keluar), diagnosis, keluhan utama, anamnesis, riwayat alergi, status pulang; data obat/data medik yang meliputi nama obat, rute pemberian, nama generik dan non generik, lama penggunaan, dosis, uji laboratorium; data keadaan perkembangan harian yang meliputi kesadaran, tekanan darah, denyut nadi, respirasi dan suhu tubuh. Data tersebut didokumentasikan menggunakan sarana pengambilan data berupa P3 dengan format yang mencakup semua data di atas.
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita terbanyak yang masuk ke unit perawatan intensif umum adalah pria (53,95%). Keadaan awal penderita terbanyak adalah komposmentis
(88,16%),
diikuti
somnolensi (9,21%).
Sedangkan keadaan akhir penderita terbanyak adalah keluar (pindah) sebanyak 92,1% dan penderita yang meninggal adalah 3,95%. Kelompok usia penderita terbanyak yang memasuki unit perawatan intensif umum adalah kelompok usia dewasa (88,16%) diikuti lansia (9,21%). Lama perawatan penderita terbanyak adalah 1-7 hari (76,31%). Diagnosis utama penderita terbanyak adalah paska penyakit lupus (18,18%) diikuti pengangkatan tumor kranial (14,77%), dan peritonitis diffusa (7,95%). Diagnosis tambahan penderita terbanyak adalah sepsis (15,38%) dan tumor (7,69%). Obat yang paling sering digunakan di unit perawatan intensif umum adalah obat antiinfeksi (21,26%), diikuti elektrolit, kalorik, dan penyeimbang cairan sebesar 17,01%, kemudian obat sistem saraf pusat (16,39%) dan obat sistem saluran cerna (14,94%). Pemberian obat non generik sebesar 51,56%. Rute pemberian obat terbanyak adalah intravena (45,12%) diikuti oral (41,80%). Terdapat kasus interaksi farmakodinamik sebesar 0,20%, dan interaksi farmakokinetik sebesar 0,51%. Interaksi obat antara salbutamol dengan deksametason dan metilprednisolon; fenitoin dengan deksametason dan metilprednisolon menunjukkan masih adanya ketidaktepatan penggunaan obat.
5.2 Saran Dari hasil penelitian dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut: a. Data penggunaan obat yang diperoleh dari penelitian dapat dijadikan salah satu acuan penyediaan obat di unit perawatan intensif umum RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
Penetapan Obat yang akan Dievaluasi Dari ruang Unit Perawatan Intensif Umum yang telah ditetapkan untuk diteliti, direkam semua pemberian obat yang dilakukan secara retrospektif, kemudian dievaluasi. Kelompok obat yang dievaluasi adalah obat yang banyak digunakan di rumah sakit; obat yang diketahui/dicurigai menyebabkan reaksi yang merugikan; obat yang apabila digunakan tidak tepat akan mengakibatkan tujuan terapi tidak tercapai; obat yang diketahui/dicurigai mengalami interaksi obat dengan obat lainnya (Hicks,1994).
Penetapan Kriteria/Standar Penggunaan Obat Kriteria/standar penggunaan obat adalah unsur yang ditetapkan terlebih dulu dan digunakan sebagai acuan untuk mengevaluasi penggunaan obat. Kriteria penggunaan obat ini harus obyektif, tegas, tidak samar-samar, didasarkan pustaka yang mutakhir, serta merefleksikan pengalaman staf medik. Pada penelitian ini unsur kriteria penggunaan obat yang disusun meliputi indikasi, kontraindikasi, dosis, efek samping, dan interaksi obat-obat.
Pengumpulan, Pengorganisasian Data, Analisis Data, dan Kesimpulan Data dikumpulkan dari rekaman medik dan hasil wawancara dengan profesional kesehatan yang bertugas di unit perawatan intensif umum (GICU). Setelah dikumpulkan data diorganisasikan dalam tabel, dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif untuk mengambil kesimpulan.
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN BAHASAN
4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Studi Pendahuluan di Unit Perawatan Intensif Jumlah penderita di unit perawatan intensif umum (GICU) lebih banyak dari unit perawatan intensif lain (CICU, PICU) yaitu 132 penderita. Jumlah penderita yang meninggal di unit perawatan intensif umum (GICU) juga lebih banyak yaitu 31 penderita. Data lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran B, Tabel 4.1. Diagnosa terbanyak di unit perawatan intensif umum adalah peritonitis diffusa (8,15%) diikuti paska pengangkatan tumor (7,72%). Diagnosa terbanyak di unit perawatan intensif jantung adalah penyakit jantung koroner dengan ST elevasi miokardiak infark (27,83%) diikuti paska kateter (18,26%). Diagnosa terbanyak di unit perawatan intensif anak adalah bronkopneumonia (18,92%) dan sindrom syok Dengue (17,57%). Data lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran B, Tabel 4.2, 4.3 dan 4.4.
4.1.2
Studi Kuantitatif Penderita di Unit Perawatan Intensif Umum
Data kuantitatif penderita meliputi data demografi penderita berdasarkan jenis kelamin, kelompok usia, keadaan awal, keadaan akhir, lama perawatan, cara pembayaran, data diagnosis utama maupun diagnosis tambahan penderita.
Jumlah penderita pria lebih banyak dari wanita yaitu sebesar 53,95%. Keadaan awal penderita terbanyak adalah komposmentis (88,16%) diikuti somnolensi (9,21%) kemudian sopor (2,63%). Keadaan akhir penderita terbanyak adalah pindah (keluar) sebesar 92,1%, pulang paksa (3,95%) dan meninggal sebesar 3,95%. Kelompok usia penderita terbanyak adalah dewasa (14-64 tahun) sebesar 88,16% dan lansia (9,21%). Lama perawatan terbanyak adalah 1-7 hari sebesar 76,31% diikuti 8-14 hari (18,42%) kemudian 15-28 hari (5,27%). Data lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran C, Tabel 4.5.
Diagnosa utama penderita terbanyak adalah paska lupus sebesar 18,18%, pengangkatan tumor kranial (14,77%), peritonitis diffusa (7,95%), paska pembedahan thoraks dan perdarahan disebabkan varises esofagus (masing-masing sebesar 4,54%). Data lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran C, Tabel 4.6.
Diagnosa utama beserta jumlah diagnosa tambahan yang menyertainya terbanyak adalah penyakit paru obstruksi kronis dan paska kelahiran caesar dengan 3 diagnosa tambahan. Sedangkan jumlah kasus terbanyak diagnosa utama beserta diagnosa tambahan yang menyertai adalah paska lupus. Data lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran C, Tabel 4.7.
Diagnosa tambahan terbanyak penderita adalah sepsis (15,38%), tumor (7,69%) serta gagal pernapasan, suspek perforasi gaster, dan post bypass biliodigestive (masing-masing sebesar 5,77%). Data lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran C, Tabel 4.8.
4.1.3
Studi Kuantitatif Penggunaan Obat di Unit Perawatan Intensif Umum
Data kuantitatif penggunaan obat terdiri atas data penggolongan obat berdasarkan golongan farmakologi dan terapi, data penggunaan obat generik dan non generik, rute pemberian obat.
Berdasarkan golongan farmakologi dan terapi, obat terbanyak yang digunakan adalah antiinfeksi (21,26%), elektrolit (17,01%), obat sistem saraf pusat (16,39%), obat saluran cerna (14,94%), vitamin (7,78 %) serta obat sistem saraf otonom (6,74%). Data lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran D, Tabel 4.9.
Penggunaan obat generik lebih besar dibandingkan obat nongenerik yaitu sebesar 51,56%. Rute pemberian obat terbanyak adalah intravena (45,12%), oral (41,80%), serrta intramuskular (15,14%). Data lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran D, Tabel 4.10.
4.1.4 Studi Kualitatif Penggunaan Obat di Unit Perawatan Intensif Umum Data kualitatif penggunaan obat meliputi kasus interaksi farmakodinamik/ farmakokinetik; kasus duplikasi; kasus kombinasi antagonis; dan ketidaktepatan dosis obat.
Interaksi penggunanan obat yang terjadi adalah interaksi farmakodinamik sebesar 0,20 % dan interaksi farmakokinetik sebesar 0,51%. Interaksi farmakodinamik yaitu antara deksametason dan metilprednisolon dengan fenitoin sedangkan interaksi farmakokinetik yang terjadi adalah antara salbutamol dengan deksametason dan metilprednisolon. Data lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran E, Tabel 4.11.
4.2 Bahasan 4.2.1 Studi Pendahuluan di Unit Perawatan Intensif Jumlah penderita dan jumlah penderita yang meninggal di unit perawatan intensif umum yang lebih banyak dari unit perawatan intensif lainnya menjadi dasar pertimbangan utama dalam pemilihan unit perawatan intensif umum (GICU) sebagai unit perawatan yang akan diteliti lebih lanjut.
4.2.2 Studi Kuantitatif Penderita di Unit Perawatan Intensif Umum Kondisi awal penderita saat memasuki unit perawatan intensif umum terbanyak adalah keadaan komposmentis. Keadaan komposmentis adalah keadaan penderita yang masih dapat berbicara dan mempunyai kesadaran penuh terhadap respon yang diberikan. Keadaan somnolensi adalah keadaan penderita mendekati tidur (seperti efek hipnotik). Keadaan sopor adalah keadaan tubuh penderita yang tidak dapat
digerakkan
maupun
berbicara
normal
karena
adanya
hambatan
pengaktivasian kerja motorik di otak, atau dapat dikatakan keadaan tertidur dengan siklus tidur-bangun (seperti pada kasus pingsan akibat hantaman benda di kepala ataupun adanya cedera pada fungsi kognitif tubuh). Keadaan letargi adalah keadaan tubuh penderita merasa kelelahan. Letargi dibagi menjadi dua yaitu letargi sentral dan letargi perifer. Letargi sentral adalah keadaan penurunan respon
motorik sistem saraf sehingga otot tidak dapat melakukan kerja. Sedangkan letargi perifer adalah keadaan tubuh tidak dapat mencukupi kebutuhan energi yang dibutuhkan sehingga terjadi disfungsi kontraktil dan penurunan kinerja otot. Keadaan koma adalah keadaan tidur yang dalam (keadaan tidak sadar), tidak dapat dibangunkan, tidak berespon pada rasa sakit maupun cahaya (respon otak menurun), tidak mempunyai siklus tidur-bangun seperti somnolensi, serta refleks normal menurun. Keadaan koma biasanya selama rentang waktu beberapa hari sampai beberapa minggu dan jarang sekali lebih dari 2-5 minggu. Setelah waktu ini penderita dapat keluar dari koma atau berada dalam keadaan vegetatif (keadaan hidup tanpa adanya aktivitas otak) bahkan kematian (Harrison,1994).
Kondisi penderita di unit perawatan intensif dipengaruhi oleh jenis penyakit maupun metode penanganan pertama penderita yang telah dilakukan. Kondisi komposmentis dapat disebabkan penderita sendiri merupakan penderita pindahan dari ruang perawatan lain dengan kondisi yang diperkirakan akan memburuk sehingga membutuhkan pemantauan lebih intensif atau penderita segera dibawa ke unit perawatan intensif sehingga kondisi kesadaran masih dapat dipertahankan.
Kelompok usia penderita terbanyak yang memasuki unit perawatan intensif adalah kelompok usia dewasa (14-64 tahun) disusul oleh lansia (di atas 65 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa usia dewasa rentan terkena penyakit kronis ataupun penyakit infeksi parah. Hal ini disebabkan karena pola makanan yang tidak seimbang dan tidak higienis, faktor aktivitas, stres, sanitasi yang buruk, dan pola hidup yang merusak kesehatan seperti merokok dan meminum alkohol.
Keadaan akhir penderita terbanyak di unit perawatan intensif umum adalah keluar (pindah). Penderita yang keluar/pindah menunjukkan bahwa penderita sudah menunjukkan
tanda-tanda
penyembuhan/perbaikan
sehingga
tidak
lagi
memerlukan penanganan yang intensif dan dapat dipindahkan ke ruang perawatan biasa (rawat inap) berdasarkan kriteria penderita yang boleh keluar dari unit perawatan intensif. Kasus pulang paksa biasanya disebabkan kesulitan ekonomi,
maupun keinginan keluarga penderita untuk beralih ke metode pengobatan alternatif. Akan tetapi hal ini masih tidak jelas karena tidak lengkapnya status pekerjaan maupun pendidikan terakhir penderita pada catatan rekam medik. Sedangkan pada kasus penderita yang meninggal di unit perawatan intensif umum bisa saja karena adanya komplikasi penyakit atau penanganan awal yang terlambat sehingga tidak dapat diselamatkan lagi oleh unit perawatan intensif.
Lama perawatan penderita terbanyak adalah 1-7 hari, hal ini bisa dipahami karena unit perawatan intensif adalah unit yang memberikan pelayanan maksimum dengan pemantauan secara intensif terhadap penderita yang mengalami kegagalan akut dan tidak stabil maupun kegagalan multi sistem vital yang mengancam kehidupan. Hal ini sesuai dengan pustaka yang menyebutkan perawatan di unit perawatan intensif membutuhkan minimal sekitar 1-4 hari sampai tanda-tanda vital penderita (denyut nadi, detak jantung, respirasi, tekanan darah) maupun keadaan fisiologis lain memenuhi persyaratan kriteria penderita yang keluar dari unit perawatan intensif untuk dipindahkan ke ruang perawatan biasa (McLeod, 1981).
Diagnosis penderita terbanyak di unit perawatan intensif umum adalah paska penyakit lupus (LE). Penyakit ini adalah penyakit autoimun yang dikarakterisasi dengan auto antibodi yang berperan dalam mediasi kerusakan jaringan, sendi, kulit dan ginjal, sistem saraf pusat, dan organ lain. Penyakit ini lebih banyak menyerang wanita karena pada hormon pria lebih banyak mempunyai efek protektif. Gejala pada umumnya berupa atralgia/artritis, kelelahan, demam, penurunan berat badan, anemia, nefritis, gejala pulmonari, trombosis, perdarahan, leukopenia, trombositopenia, pneumonitis, takikardia, titik-titik pada wajah biasanya berwarna merah dan berbentuk kupu-kupu. Pada kasus tertentu penyakit ini dihubungkan dengan penyakit pada organ dalam tubuh seperti peritonitis diffusa dan penyakit infeksi sekunder lainnya. Keluhan utama penderita adalah rasa nyeri di perut, tidak bisa buang air besar (BAB), urin berwarna seperti teh. Penanganan biasanya dilakukan dengan istirahat cukup, menghindari stimulan
yang memprovokasi penyakit ini seperti sinar ultraviolet, infeksi, stres, menangani lebih lanjut penyakit yang menyertainya, perlu diwaspadai pemberian obat yang mempunyai efek imunostimulan ataupun penggunaan kombinasi obat yang berakibat pada stimulasi sistem imun secara berlebih. Pemberian terapi obat dalam penyakit paska lupus ini adalah NSAID (hidrokuinolon) untuk gejala pada otot dan sendi, kortikosteroid dosis tinggi (prednison/prednisolon 1 µg/kg/hari) untuk adanya demam tinggi, trombositopenia, koma. Sedangkan penyakit lupus ringan ditangani dengan kortikosteroid dosis rendah. Dosis kortikosteroid harus tetap diperhatikan mengingat efek samping yang ditimbulkan, yakni retensi cairan, kehilangan ion K+, alkalosis hipokalemik, gagal jantung kongestif, esofagitis ulseratif, pankreatitis, gangguan saluran cerna, distensi abdomen dan lainnya. Dosis kortikosteroid juga harus diturunkan secara bertahap apabila diberikan dalam jangka panjang (Harrison, 1994; Martindale, 2005).
Pengangkatan tumor kranial adalah proses pengangkatan tumor (jaringan tubuh yang terdiri dari pertumbuhan sel-sel abnormal) yang terdapat di dalam otak. Terapi pengangkatan tumor kranial adalah pemberian elektrolit untuk mensuplai kebutuhan nutrisi paska operasi sehingga homeostasis tubuh tetap terjaga, dan analgesik untuk menghilangkan rasa nyeri di daerah bekas operasi. Antibakteri terkadang diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi bakteri akibat kontaminasi saat pembedahan. Pemberian terapi ini sama untuk diagnosis paska pembedahan toraks (Lange, 2005; Martindale, 2005).
Peritonitis adalah infeksi intraabdomen yang diperparah oleh abses intraperitoneal dan abses hati dan pankreas. Peritonitis dibagi menjadi peritonitis primer dan peritonitis sekunder. Peritonitis primer adalah infeksi yang disebabkan bakteri E. coli, Enterobacteriaceae, dan Streptococci. Gejala pada umumnya adalah nyeri abdominal, demam, asites dan sakit pada perut sebelah kanan atas yang menunjukkan terjadinya pembesaran hati. Terapi pemberian obat untuk keadaan ini adalah ampisilin, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga. Terapi alternatifnya adalah penisilin, karbapenem atau kombinasi antara penisilin dan β-
laktamase inhibitor. Penggunaan metronidazol dapat dilakukan apabila ada infeksi bakteri
anaerob.
Untuk
profilaksis
bisa
diberikan
florokuinolon
dan
kotrimoksazol. Peritonitis sekunder adalah perforasi saluran cerna akibat apendisitis, diverkulitis dan kontaminasi pembedahan. Bakteri yang menginfeksi umumnya adalah E. coli, Enterobacteriaceae, bakteri anaerob, Pseudomonas, dan Enterococci. Gejala peritonitis sekunder adalah gejala lokal pada daerah yang terinfeksi seperti nyeri epigastrik pada ulser gastrik akut. Terapi obat untuk keadaan ini adalah pemberian aminoglikosida secara intravena, sefalosporin dan metronidazol/klindamisin. Terapi alternatifnya adalah pemberian karbapenem, sefepim, florokuinolon/aminoglikosida. Untuk kasus komplikasi peritonitis (CAPD) bisa diberikan sefalosporin secara intraperitoneal dengan terapi alternatif yaitu pemberian seftazolin/sefalotin ditambah aminoglikosida selama 14 sampai 21 hari (Harrison, 1994; Martindale, 2005).
Perdarahan varises esofagus adalah perdarahan yang disebabkan pembesaran pembuluh darah di oesofagus mukosa akibat manifestasi hipertensi portal yang mempengaruhi hati dan sistem sirkulasi tubuh. Gejala pada umumnya adalah hematemesis dengan/tanpa melena, takikardi ringan sampai syok berdasarkan hasil derajat hipovolemia dan jumlah darah yang hilang. Terapi pengobatan dilakukan dengan pemberian vasopresin untuk mengontrol tekanan vena, pemberian analog terlisperin (gliseril trinitrat) untuk mengurangi efek samping vasopresin (iskemik miokardial dan mesenterik), serta pemberian somatostatin dan oktreotida. Sedangkan terapi pengobatan jangka panjang dilakukan dengan pemberian propanolol (β-bloker) untuk mengurangi perdarahan yang terjadi dan kombinasi nadolol dengan isosorbid dinitrat untuk mencegah terjadinya perdarahan ulang, serta pemberian vitamin K maupun asam traneksamat sebagai terapi penunjang (Harrison,1994; Martindale, 2005; Singer, 1997).
Diagnosa utama dengan satu atau lebih diagnosa tambahan menunjukkan bahwa penderita membutuhkan terapi yang berbeda antar penyakitnya sehingga
penggunaan obat harus diwaspadai agar tidak terjadi kesalahan/ketidaktepatan penggunaan obat kepada penderita.
Diagnosis tambahan terbanyak di unit perawatan intensif adalah infeksi bakteri (septikemia). Gejala pada umumnya adalah demam, menggigil, takikardia, takipnea, hipotensi, mual, muntah, nausea, diare. Terapi pengobatan dilakukan dengan pemberian penisilin, aminoglikosida serta metronidazol apabila terjadi infeksi bakteri anaerob. Terapi alternatif adalah dengan penisilin, aminoglikosida, sefalosporin
generasi
ketiga/keempat
(sefotaksim,
seftasidim)
dan/atau
meropenem (Harrison, 1994; Martindale, 2005).
Gagal pernapasan adalah keadaan tekanan arterial plasma dari O2 dan CO2 tidak berada pada batas fisiologis normal. Penyakit ini disebabkan berbagai macam hal seperti penggunaan obat agonis opiat, kecelakaan serebrovaskular, trauma, tetanus, sindrom Guillain Barre, miastenia gravis, obstruksi saluran napas atas, pneumonia, udem pulmonari, pneumothoraks, effusi pleura, gagal jantung, asma, anafilaksis dan lainnya. Gagal pernapasan diklasifikasikan menjadi dua yakni hipoksemia dan hiperkapnea. Hipoksemia adalah keadaan gagal pernapasan karena tekanan parsial oksigen yang rendah. Sedangkan hiperkapnea adalah keadaan gagal pernapasan karena tekanan parsial CO2 yang tinggi. Penanganan dilakukan dengan pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi sekitar 40-60% sampai saturasi O2 dalam rentang menuju normal (>80%) untuk meningkatkan tekanan parsial O2 dan menurunkan tekanan parsial CO2 serta mengurangi resiko respirasi asidosis. Terapi penunjang yang diberikan adalah bronkodilator, antikolinergik, obat stimulan pernapasan (doksapram), antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder dan antagonis opiat (Harrison, 1994; Singer, 1997).
Perforasi gaster adalah luka/lubang pada saluran cerna yang diakibatkan penyakit ulser parah maupun akibat paska-pembedahan. Gejala pada umumnya adalah nyeri epigastrik yang makin parah, nausea, muntah, konstipasi, demam, nyeri pada abdomen, peritonitis, agitasi, peningkatan metabolik asidosis, tanda-tanda
hipovolemia/sepsis. Terapi pengobatan dilakukan dengan pemberian elektrolit apabila terdapat abnormalitas cairan tubuh, penghentian penggunaan antikoagulan maupun analgesik jika ada perdarahan, pemberian injeksi lokal adrenalin untuk menghentikan pendarahan lebih lanjut, pemberian antiinfeksi (sefalosporin generasi kedua/ketiga, kuinolon/karbapenem, dan metronidazol dengan/tanpa aminoglikosida), pemberian antiulser secara intravena atau antasid untuk mengatasi ulser dan inflamasi yang mungkin terjadi (Lange, 2005; Singer, 1997).
Biliodigestive bypass adalah pengalihan aliran makanan dari saluran cerna yang mengalami lesi aterosklerotik oklusif dan mengakibatkan iskemik saluran cerna. Penyebabnya adalah penyakit peptik ulser, refluks gastroesofageal, pankreatitis, iritasi saluran cerna dan malignansi. Gejala pada umumnya adalah nyeri epigastrik, sitofobia, penurunan berat badan, jumlah leukosit tinggi, hipotensi, distensi abdominal, asidosis laktat. Terapi yang dilakukan adalah dengan pemberian elektrolit secara intravena (Lange, 2005; Singer, 1997).
4.2.3 Studi Kuantitatif Penggunaan Obat di Unit Perawatan Intensif Umum Obat terbanyak yang digunakan di unit perawatan intensif umum adalah antiinfeksi. Antiinfeksi diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi baik pada penderita paska operasi/nonoperasi. Hal ini berhubungan dengan diagnosis utama dan tambahan penderita terbanyak adalah paska lupus dan sepsis yang menggunakan antiinfeksi sebagai terapi pengobatannya. Elektrolit, alkali dan sediaan pengganti berfungsi menjaga homeostasis penderita yang dapat berubah paska operasi. Kondisi penderita yang tidak sadar, dalam pengaruh obat bius dan kondisi yang lemah perlu diseimbangkan dengan pemberian elektrolit. Analgesik digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri pada daerah bekas operasi. Obat saluran cerna, terutama golongan antiulser dan supresan asam diberikan kepada penderita paska operasi yang mengalami hipersekresi patologi, tukak lambung, tukak duodenum, dan penggunaan terapi obat lain yang menyebabkan ulser seperti aspirin. Sedangkan obat sistem saraf otonom, seperti obat simpatomimetik
digunakan untuk terapi penyakit jantung koroner, paska kelahiran serta paska operasi untuk menormalkan tekanan darah penderita. RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung adalah rumah sakit umum pemerintah yang mempunyai kewajiban menggunakan obat generik sesuai peraturan Menteri Kesehatan RI no 085/MenKes/Per/I/1985. Pemerintah juga menghimbau penggunaan obat generik kepada penderita asuransi kesehatan miskin (Askeskin). Penggunaan obat non generik yang cukup besar di unit perawatan intensif disebabkan keadaan penderita yang kritis sehingga dokter cenderung memilih produk orisinil (original poduct) obat yang mempunyai bioavailibilitas dan efek terapetik yang lebih bagus. Disamping itu faktor penyebab lain adalah adanya kerjasama antara industri farmasi dengan dokter untuk menggunakan obat nongenerik atau belum adanya bentuk generik obat. Penggunaan obat generik di rumah sakit dimaksudkan agar dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada golongan penderita tidak mampu.
Rute pemberian obat terbanyak di unit perawatan intensif adalah rute intravena karena penderita unit perawatan intensif berada dalam kondisi kritis yang mengancam kehidupan sehingga terapi obat yang diberikan harus dapat memunculkan efek segera dan hal ini dapat dicapai dengan pemberian obat secara intravena (Urden, 1996). Pemberian obat secara oral (dengan/tanpa sonde) menunjukkan jumlah yang cukup besar karena sebagian besar penderita masih berada dalam kondisi sadar penuh (komposmentis).
4.2.4 Studi Kualitatif Penggunaan Obat di Unit Perawatan Intensif Umum Hasil penelitian menunjukkan adanya interaksi farmakokinetik pada penggunaan deksametason dan fenitoin; fenitoin dan metilprednisolon. Fenitoin (derivat hidantoin, antikonvulsan) dapat menurunkan efek terapetik deksametason. Fenitoin
sebagai
agen
induksi
enzim
hati
meningkatkan
metabolisme
kortikosteroid sehingga kortikosteroid dimetabolisme lebih cepat dari tubuh, yang berakibat pada penurunan efek terapetik kortikosteroid. Hal sama berlaku antara
metilprednisolon dengan fenitoin karena metilprednisolon adalah golongan kortikosteroid (Stockley, 1999).
Interaksi antara salbutamol (simpatomimetik/β-1 agonis adrenergik) sebagai antiasma dan terapi Penyakit Paru Obstruksi Kronis dengan deksametason (kortikosteroid) adalah meningkatnya resiko hipokalemia pada penderita karena salbutamol mempunyai efek hipokalemia. Dengan pemberian kortikosteroid yang merupakan obat deplesi K+ maka efek hipokalemia makin nyata. Efek ini akan menyebabkan jantung tidak dapat bekerja dengan normal. Interaksi obat ini juga berbahaya bagi penderita asma karena meningkatkan resiko aritmia jantung. Hal sama berlaku pada pemberian salbutamol dan metilprednisolon karena metil prednisolon merupakan golongan kortikosteroid (Stockley, 1999).
Interaksi obat dapat meningkatkan efek samping masing-masing obat dan meningkatkan efek obat sehingga menyebabkan toksisitas. Selain itu kasus interaksi obat dapat menghambat atau menurunkan kerja salah satu obat (Urden, 1996).
b. Sosialisasi hasil penelitian ini kepada Panitia Farmasi Terapi (PFT) dan staf profesional medik perlu dilakukan agar disertai tindak lanjut dan ketidaktepatan penggunaan obat dapat dihindari/dikurangi. c. Evaluasi penggunaan obat beserta tindak lanjutnya di unit perawatan intensif umum harus terus dilakukan sehingga kasus ketidaktepatan penggunaan obat dapat dihindari. d. Perlu dilakukan penelitian di unit perawatan intensif lain seperti unit perawatan intensif jantung (CICU), unit perawatan intensif bayi (NICU) dan unit perawatan intensif anak (PICU). e. Apoteker harus berperan aktif dalam pelaksanaan pelayanan farmasi klinik sehingga kasus ketidaktepatan obat dapat dihindari.