BAB III PROSEDUR PENELITIAN
BAB III PROSEDUR PENELITIAN III.1 Umum Penelitian yang dilakukan adalah penelitian berskala laboratorium untuk mengetahui pengaruh variasi komposisi aditif (additive) yang efektif dalam pembuatan keramik struktural alumina yang di-sinter pada temperatur rendah untuk aplikasi armor facing. Untuk mencapai maksud tersebut, dilakukan pencampuran bahan utama yaitu alumina dan memvariasikan komposisi aditif penyusun keramik struktural. Secara garis besar, penelitian meliputi kegiatan : 1. Sintesis keramik struktural alumina yang di-sinter pada temperatur rendah dengan berbagai variasi komposisi aditif (additive). 2. Melakukan pengujian dan analisis sifat mekanik dan fisik setiap variasi komposisi yaitu pengujian kekerasan, pengujian untuk menentukan fracture toughness, pengujian untuk menentukan modulus elastisitas dan massa jenis. 3. Melakukan karakterisasi struktur mikro pada beberapa komposisi yang mewakili pengaruh dari aditif menggunakan SEM, EDS dan XRD. III.2 Bahan Bahan utama yang dipergunakan dalam penelitian ini serbuk α-alumina (αAl2O3) dengan ukuran partikel 1-5 µm dengan kemurnian 99%. Sedangkan aditif (additive) yang digunakan, yaitu : 1. Serbuk niobia (Nb2O5). 2. Serbuk silika (SiO2). 3. Serbuk magnesia (MgO). 4. Serbuk zirkonia (ZrO2).
19
BAB III PROSEDUR PENELITIAN
III.3 Diagram Alir Penelitian
Gambar III.1. Skema dari diagram alir penelitian
20
BAB III PROSEDUR PENELITIAN
III.4 Proses Sintesis III.4.1 Milling Proses milling dilakukan menggunakan mesin milling jenis planetary ball mill (PBM) dan high energy milling (HEM). Mesin milling jenis PBM digunakan untuk menghaluskan ukuran partikel serbuk Al2O3, Nb2O5, SiO2, dan MgO. Sedangkan mesin milling jenis HEM digunakan untuk menghaluskan partikel ZrO2. Proses milling ditujukan untuk mendapatkan serbuk yang lebih halus sehingga gradasi ukuran partikel tinggi dan diperoleh packing density yang baik dari green body sampel yang dibuat. Sebelum proses milling dilakukan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu: 1. Bola-bola penghancur dan jar harus memiliki kekerasan minimal sama dengan serbuk yang akan di-milling. 2. Penentuan rasio bola besar dan bola kecil harus optimum sehingga proses milling dapat berlangsung dengan baik. 3. Penentuan rasio volum bola dan volum serbuk yang akan di-milling dibandingkan dengan volum jar (wadah serbuk dan bola) harus optimum agar proses milling dapat berlangsung dengan baik. Tabel III.1. Penyiapan penyiapan bola-bola penghancur dan serbuk yang akan di-milling menggunakan PBM No Jar
Σ Bola Besar (Bola alumina)
Σ Bola Kecil (Bola alumina)
Berat Bola (gram)
Berat serbuk (gram)
1 (500 ml, Al2O3) media etanol 250 ml
26 buah
416 buah
499,2
100
3 (200 ml, Nb2O5) media etanol 100 ml
10 buah
160 buah
192
19
3 (200 ml, SiO2) media etanol 100 ml
10 buah
160 buah
192
19
2 (500 ml, MgO) media etanol 250 ml
26 buah
416 buah
499,2
49
Proses milling yang dilakukan menggunakan metode wet milling dengan media etanol. Hal ini bertujuan agar serbuk yang di-milling tidak menggumpal sehinggal proses penghancuran partikel dapat berlangsung secara kontinyu.
21
BAB III PROSEDUR PENELITIAN
Berikut tabel penyiapan bola-bola penghancur dan serbuk yang akan di-milling menggunakan PBM : Proses milling serbuk zirkonia menggunakan metode wet milling dengan bola-bola penghancur zirkonia. Proses milling menggunakan rasio volum bola berbanding volum serbuk 3: 1. Setelah proses milling selesai, serbuk dikeluarkan dari jar dan dikeringkan untuk menghilangkan media etanol. Untuk mengetahui perubahan distribusi ukuran partikel hasil milling menggunakan PBM, maka dilakukan sampling pada 40 jam, 80 jam, dan 120 jam untuk serbuk alumina lalu dikarakterisasi menggunakan scanning electron microscope (SEM). III.4.2 Penimbangan Penimbangan dilakukan menggunakan timbangan digital yang memiliki ketelitian hingga 4 digit dibelakang koma agar diperoleh persentase komposisi yang tepat dikarenakan beberapa aditif (additive) yang ditambahkan memiliki persentase yang cukup kecil. Berikut komposisi dari masing-masing sampel : Tabel III.2. Komposisi sampel dan proses sintering yang dilakukan Al2O3
Nb2O5
SiO2
MgO
ZrO2
Sintering
(%-berat)
(%-berat)
(%-berat)
(%-berat)
(%-berat)
(°C/h)
AL10016
100
0
0
0
0
1600/1
2
AL10014
100
0
0
0
0
1400/3
3
AL96
96
4
0
0
0
1400/3
4
AL95
95.2
4
0.8
0
0
1400/3
5
AZ101
85.7
4
0
0.3
10
1400/3
6
AZ102
84.9
4
0.8
0.3
10
1400/3
7
AZ151
80.5
4
0
0.5
15
1400/3
8
AZ152
79.7
4
0.8
0.5
15
1400/3
9
AZ201
75.4
4
0
0.6
20
1400/3
10
AZ202
74.6
4
0.8
0.6
20
1400/3
Sampel
Kode
1
III.4.3 Pencampuran Pencampuran komposisi setiap sampel dilakukan dengan menggunakan tubular ball mill selama 2 jam agar diperoleh campuran yang homogen. Hal ini
22
BAB III PROSEDUR PENELITIAN
sangat penting karena kehomogenan campuran akan mempengaruhi penyusutan green body yang disinter dan sifat mekanik yang dihasilkan. III.4.4 Kompaksi Proses kompaksi dilakukan untuk mendapatkan green strength yang baik agar sampel yang akan disinter tidak rapuh. Proses pembentukkan green body menggunakan metode dry pressing dengan tekanan 80 MPa pada spesimen. III.4.5 Sintering Metode sintering yang digunakan adalah metode sintering fasa padat (solid state sintering). Sintering dilakukan dengan trayek pembakaran sebagai berikut :
(a)
(b)
Gambar III.2. (a) Trayek sintering untuk sampel 1; (b) Trayek sintering untuk sampel yang lain Proses pendinginan didalam tungku (normalizing) hingga temperatur dibawah 150°C untuk menghindari thermal shock yang dapat mengakibatkan material retak. III.5 Pengujian Mekanik dan Fisik III.5.1 Pengujian Kekerasan Pengujian keras yang dilakukan mengikuti prosedur ASTM C1327 (Standard Test Method for Vickers Indentation Hardness of Advanced Ceramics). Beban yang digunakan ialah 10 kg. Nilai kekerasan dihitung menggunakan persamaan berikut:
23
BAB III PROSEDUR PENELITIAN
dimana : HV = Nilai kekerasan (N/mm2) P = Beban yang digunakan (10 Kg) d = Rata-rata panjang diagonal jejak indentasi (mm)
Gambar III.3. Mesin uji keras yang digunakan pada pengujian kekerasan III.5.2 Pengujian Untuk Menentukan Fracture Toughness (KIC) [9][16] Pengujian dilakukan dengan menggunakan mesin uji keras. Proses pengujian dilakukan dengan cara mengindentasi sampel menggunakan indentor Vickers pada beban 10 kg. Ketika sampel telah selesai diindentasi, maka akan terbentuk crack pada bagian sudut diagonal jejak indentasi. Berikut gambar retakan (crack) hasil indentasi :
Gambar III.4. Skema dari panjang retakan (crack) yang diukur[16]
24
BAB III PROSEDUR PENELITIAN
dimana 2c adalah dua kali panjang retakan (crack). Kemudian, nilai fracture toughness dihitung menggunakan persamaan berikut :
dimana : P = Beban yang digunakan (newton) c = Panjang crack (meter) E = Modulus elastisitas (GPa) HV = Kekerasan (GPa) III.5.3 Pengujian Untuk Menentukan Modulus Elastisitas [6][8] Pengujian dilakukan dengan menggunakan mesin uji keras dengan indentor Knoop. Prinsip pengujian ini ialah mengukur besar elastic recovery dari sampel. Beban yang digunakan ialah 500 gram dengan dwell time 15 detik. Berikut skema elastic recovery yang diukur :
Gambar III.5. Skema dari elastic recovery pada jejak hasil indentasi Knoop dimana a’ dan b’ adalah panjang diagonal setelah sampel mengalami elastic recovery. Kemudian, besar modulus elastisitas diukur menggunakan persamaan sebagai berikut :
25
BAB III PROSEDUR PENELITIAN
dimana : a = Panjang diagonal terpanjang (mm) b = Panjang diagonal terpendek (mm) α = Konstanta dengan nilai 0,45 HV = Kekerasan Vickers (GPa) E = Modulus elastisitas (GPa) III.5.4 Pengukuran Massa Jenis [9] Pengujian dilakukan dengan menggunakan ASTM B311 (Density Determination for Powder Metallurgy (P/M) Materials Containing Less Than Two Percent Porosity). Prinsip dari pengukuran massa jenis menggunakan hukum Archimedes dimana pengukuran dilakukan untuk menentukan selisih volum air yang dipindahkan oleh massa sampel kering dan massa sampel dicelup pada air. Berikut persamaan yang digunakan dalam mengukur massa jenis :
dimana : mdry = massa sampel kering mwet = massa sampel dicelup di air ρH2O = massa jenis air fungsi dari temperatur III.6 Karakterisasi Struktur Mikro III.6.1 XRD Karakterisasi XRD digunakan untuk mengetahui senyawa-senyawa yang terbentuk dan untuk mengetahui kemungkinan terbentuknya fasa kedua (secondary phase). III.6.2 SEM/EDS Karakterisasi menggunakan SEM/EDS digunakan untuk mengetahui morfologi struktur mikro dan distribusi dari aditif (additive) yang digunakan. Teknik yang digunakan untuk melihat struktur mikro dari keramik disebut ceramography. Tahapan yang dilakukan pada teknik ini mirip dengan metallography. Proses etsa yang digunakan ialah thermal etching, yaitu
26
BAB III PROSEDUR PENELITIAN
memanaskan sampel secara langsung pada temperatur 1175°C selama 20-40 menit. Sebelumnya, sampel digrinda menggunakan grinda intan hingga permukaan rata, diamplas menggunakan amplas SiC 2000 selama 30 menit, dan dipoles menggunakan intan 3µm selama 1 jam.
27