BAB 3 PEMBAHASAN
3.1
Pemilahan Data
Pemilahan data dilakukan untuk menentukan data mana saja yang akan diolah. Dalam penelitian ini, data yang diikutsertakan dalam pengolahan ditentukan berdasarkan teori mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tanah seperti yang telah dijelaskan pada Subbab 2.6 serta beberapa penelitian terdahulu, antara lain: 1) Penelitian tentang nilai tanah yang dilakukan oleh Pusat Litbang Pertanahan Depdagri dan Jurusan Teknik Geodesi FTSP-ITB (1987) yang menyimpulkan bahwa nilai tanah di daerah perkotaan sangat dipengaruhi oleh variabelvariabel prasarana jalan, jenis peruntukkan dan jarak dari pusat kota. 2) Penelitian sejenis juga pernah dilakukan oleh Alperovich dan Deutsch (1994) yang menyimpulkan bahwa semakin dekat jarak ke CBD maka tingkat kepadatan penduduk akan semakin tinggi. Hal ini mencerminkan bahwa adanya keinginan yang sangat besar dari masyarakat akan tanah di dekat CBD sehingga akan berdampak pada naiknya permintaan tanah yang akan mengakibatkan naiknya harga tanah. 3) Penelitian lainnya tentang nilai tanah dilakukan oleh Boesro (2004) yang menyimpulkan bahwa lebar jalan, kondisi jalan, dan jarak ke pusat perbelanjaan terdekat berpengaruh secara signifikan terhadap kenaikan harga tanah.
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tanah serta penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dipilihlah beberapa variabel yang dianggap mempengaruhi tinggi rendahnya nilai tanah.
Data yang telah dipilih dan akan digunakan dalam pengolahan data selanjutnya disebut sebagai variabel. Variabel ini terdiri dari variabel tak bebas dan variabel bebas. Dalam penelitian ini, yang bertindak sebagai variabel tak bebas adalah 26
variabel harga tanah (HT) dalam satuan Rupiah per meter persegi. Sedangkan, variabel bebasnya akan dijelaskan melalui tabel berikut.
Tabel 3.1 Variabel Bebas yang Digunakan dalam Pengolahan Data Variabel bebas
Notasi
Keterangan
Satuan
Luas tanah
LT
Luas bidang tanah
Meter persegi
Lebar depan
LD
Lebar depan bidang tanah
Meter
Lebar jalan depan objek
LJ
Lebar jalan depan bidang tanah
Meter
Jarak ke arteri terdekat
JAT
Jarak dari bidang tanah ke jalan arteri terdekat
Meter
Jarak ke kolektor terdekat
JKT
Jarak dari bidang tanah ke jalan kolektor terdekat
Meter
JLP
Jarak dari bidang tanah ke SD/SMP/SMA/Kampus terdekat
Meter
JAB
Jarak dari bidang tanah ke pusat kota (Alun-Alun Bandung)
Meter
ZPK
Dikelompokkan dalam kelaskelas berdasarkan lokasi bidang tanah terhadap pusat kota (Alun-Alun Bandung)
Variabel dummy
AK
Dikelompokkan dalam kelaskelas berdasarkan kemudahan dalam menemukan fasilitas umum
Variabel dummy
DR
Dikelompokkan dalam kelaskelas berdasarkan kualitas drainase di lokasi bidang tanah
Variabel dummy
Jarak ke lembaga pendidikan terdekat Jarak ke CBD terdekat
Zonasi pusat kota
Aksesibilitas
Drainase
27
3.2
Pengolahan Data
Setelah data siap seperti pada Lampiran A, tahap selanjutnya adalah pengolahan data. Langkah-langkah pengolahan data secara detil akan dibahas pada subbab berikut.
3.2.1 Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya adalah dengan melihat nilai toleransi dan VIF (Variance Inflation Factor) yang dinyatakan dalam rumus sebagai berikut. 1
TOLi = VIF = 1 − rij2 i
(3.1)
Dimana: TOLi : nilai toleransi dari variabel i VIFi
: nilai VIF dari variabel i
rij
: koefisien korelasi antara variabel i dan j
Adanya pelanggaran asumsi klasik (terjadi multikolinearitas) ditandai dengan nilai toleransi yang kurang dari 0,1 atau nilai VIF yang melebihi 10 (Wijaya, 2009).
Selain dengan melihat nilai toleransi dan VIF, uji multikolinearitas juga dapat dilakukan dengan menggunakan nilai koefisien korelasi sederhana antara sesama variabel bebas. Jika ada nilai korelasi antarvariabel yang melebihi 0,8 maka dapat diduga terjadi multikolinearitas.
3.2.2 Penanggulangan Masalah Multikolinearitas Jika terbukti bahwa ada pelanggaran asumsi klasik (terjadi multikolinearitas) maka perlu dilakukan penanggulangan untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam tugas akhir ini, penanggulangan masalah multikolinearitas dilakukan dengan menjalankan prosedur Principal Component Analysis (PCA). Prosedur ini terdiri dari beberapa pengujian dan perhitungan, antara lain:
28
1)
Uji KMO dan Bartlett
Uji KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) digunakan untuk mengukur kecukupan sampel dengan cara membandingkan besarnya koefisien korelasi yang diamati dengan koefisien korelasi parsialnya secara keseluruhan. Dengan fungsinya tersebut, uji KMO dapat menentukan layak atau tidaknya analisis faktor (dalam hal ini teknik PCA) dilakukan terhadap suatu data.
Hipotesis dari uji KMO adalah: H0
: Jumlah data cukup untuk difaktorkan
H1
: Jumlah data tidak cukup untuk difaktorkan
Statistik uji: KMO =
p i =1
p p 2 i=1 j=1 r ij p p p r 2 + i=1 j=1 a 2ij j=1 ij
(3.2)
Dimana: p
: banyaknya variabel
rij
: koefisien korelasi antara variabel i dan j
aij
: koefisien korelasi parsial antara variabel i dan j
Kaiser (1974) merumuskan koefisien korelasi parsial sebagai berikut.
aij =
−r ij r ij ∙r ij
(3.3)
Menurut Imam (2010), apabila nilai KMO lebih besar dari 0,5 maka H0 tidak ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah data telah cukup untuk difaktorkan. Demikian pula menurut Wibisono (2003), apabila nilai KMO berkisar antara 0,5 sampai 1 maka analisis faktor layak dilakukan. Namun, jika nilai KMO dibawah 0,5 maka analisis faktor tidak layak dilakukan.
29
Uji Bartlett digunakan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi yang signifikan antarvariabel yang diamati. Hipotesis dari uji Bartlett adalah: H0
: Matriks korelasi = Matriks identitas
H1
: Matriks korelasi ≠ Matriks identitas
Penolakan terhadap H0 dilakukan dengan dua cara, yaitu: Nilai Bartlett’s test > Chi-Square tabel Nilai signifikansi < 0,05
Uji Bartlett dirumuskan oleh Norusis (1986) sebagai berikut.
Bartlett ′ s test = −ln R n − 1 −
2p+5 6
(3.4)
Dimana: R
: nilai determinan
n
: jumlah data
p
: jumlah variabel
Nilai df (degree of freedom) dihitung dengan menggunakan rumus:
df =
p(p−1) 2
(3.5)
Menurut Imam (2010), jika H0 ditolak maka analisis faktor layak untuk digunakan. Demikian pula menurut Soemartini (2008), jika signifikansi kurang dari 0,05 maka tolak H0 atau dengan kata lain bisa dilakukan analisis lebih lanjut terhadap variabel-variabel yang diamati.
2)
Uji Measures of Sampling Adequacy (MSA)
Uji MSA merupakan indeks perbandingan antara koefisien korelasi dengan koefisien parsialnya untuk setiap variabel yang diamati. Uji MSA dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.
30
MSAi =
p 2 i=1 r ij p p r 2 + i=1 a 2ij i=1 ij
(3.6)
Dimana: p
: banyaknya variabel
rij
: koefisien korelasi antara variabel i dan j
aij
: koefisien korelasi parsial antara variabel i dan j
Menurut Santoso (2002), angka MSA berkisar antara 0,5 sampai dengan 1 dengan kriteria sebagai berikut.
Jika MSA = 1 maka variabel tersebut dapat diprediksi tanpa kesalahan oleh variabel lainnya.
Jika MSA > 0,5 maka variabel tersebut masih bisa diprediksi dan dianalisis lebih lanjut.
Jika MSA < 0,5 maka variabel tersebut tidak bisa diprediksi dan dianalisis lebih lanjut atau dikeluarkan dari variabel lainnya.
3)
Menghitung Nilai Communalities
Setelah diperoleh kesimpulan bahwa analisis faktor dapat dilanjutkan, langkah berikutnya adalah menghitung nilai communalities. Menurut Santoso (2002), communalities adalah besarnya variansi yang dapat dijelaskan oleh faktor yang terbentuk. Semakin besar nilai communalities, semakin erat pula hubungan variabel yang bersangkutan dengan faktor yang terbentuk.
4)
Menghitung Jumlah Faktor yang Terbentuk
Jika ada 10 variabel yang diamati maka akan ada 10 faktor (disebut juga component) yang diusulkan dalam analisis faktor. Kemampuan setiap faktor yang mewakili variabel ditunjukkan oleh besarnya variansi yang dijelaskan, yang disebut dengan eigenvalue. Susunan eigenvalue selalu diurutkan dari yang terbesar hingga yang terkecil dengan kriteria bahwa eigenvalue dibawah 1 tidak digunakan untuk menghitung jumlah faktor yang terbentuk.
31
Adapun rumus untuk menghitung eigenvalue adalah sebagai berikut. λI − p = 0
(3.7)
Dimana: p
: matriks korelasi
I
: matriks identitas
λ
: eigenvalue yang akan dihitung
5)
Menghitung Nilai Korelasi (Factor Loading)
Besarnya nilai korelasi (factor loading) menunjukkan seberapa erat hubungan antara variabel yang diamati dengan faktor yang terbentuk. Factor loading variabel ke-i untuk faktor ke-j dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
ℓij =
λ ∙ eij
(3.8)
Dimana: ℓij
: factor loading
eij
: matriks eigen faktor
p
: jumlah variabel; i = 1, 2, 3, ..., p
m
: jumlah faktor; j = 1, 2, 3, ..., m
Adapun rumus untuk menghitung matriks eigen faktor adalah:
eij =
x x∙x
; dimana x diperoleh dari p ∙ x = λ ∙ x
(3.9)
Dengan membandingkan nilai korelasi antara seluruh variabel yang diamati dengan seluruh faktor yang terbentuk, dapat diketahui variabel mana saja yang tereduksi kedalam faktor-faktor yang terbentuk.
32
6)
Menghitung Skor dari Faktor yang Terbentuk
Skor (atau biasa disebut koefisien) dari faktor yang terbentuk ini kemudian digunakan untuk menyusun persamaan dari masing-masing faktor yang terbentuk.
3.2.3 Pemodelan Nilai Tanah Setelah diperoleh variabel bebas baru, yaitu faktor-faktor yang terbentuk yang bebas multikolinearitas, tahap selanjutnya adalah meregresikan variabel bebas baru tersebut terhadap variabel tak bebas (HT) sehingga diperoleh model harga tanah yang baru.
33