BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep penilaian kinerja perawat, teori Watson, action research dan kerangka teori. Adapun penjelasannya masing-masing diuraikan sebagai berikut : 2.1. Penilaian Kinerja Penilaian kinerja perawat merupakan salah satu upaya manajemen rumah sakit yang bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan (Ginting & Setiawan, 2012) dan merupakan suatu ukuran pengawasan yang digunakan oleh manajer perawat untuk mencapai tujuan organisasi (Gilles, 1996). Berikut ini akan dijelaskan konsep yang terkait dengan penilaian kinerja. 2.1.1. Defenisi Penilaian Kinerja Penilaian kinerja adalah suatu proses yang diawali dengan penetapan standar kinerja yang membutuhkan umpan balik dari pegawai (Nasution, 2010), mengontrol sumber daya manusia dan produktifitasnya (Swansburg, 2000), suatu ukuran pengawasan (Gillies, 1996), alat yang menyelidiki kinerja dan kepuasan kerja yang dapat diukur dengan menggunakan tehnik komunikasi yang efektif (Vasset, Marnburg, & Furunes, 2011) yang bertujuan untuk mengetahui apakah pegawai mampu atau tidak mencapai kinerja yang telah ditetapkan sesuai dengan visi, misi dan dari suatu organisasi.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Pengembangan dan Penggunaan Standar untuk Penilaian Kinerja Analisis pekerjaan, deskripsi pekerjaan, dan evaluasi pekerjaan merupakan sumber penting bagi standar-standar untuk evaluasi kinerja. a. Standar Kinerja Menurut Swansburg (2000), standar kinerja diturunkan dari analisa kinerja, deskripsi kinerja, dan evaluasi kinerja serta dokumen-dokumen lainnya yang menjelaskan mengenai aspek-aspek kuantitatif dan kualitatif dari kinerja. Standar-standar tersebut dikukuhkan secara autoritas, yang pada dasarnya menjadi substansi dimana standar tersebut digunakan. Standar-standar ini harus berlandaskan pada ilmu pengetahuan yang terkait serta cukup bernuansa praktis untuk diterapkan.
Seperti Standards for Organized Nursing Service and
Responsibilities of Nurses Administration Across All Settings dari ANA (American Nusre’ Association) dan Standard of Clinical Nursing Practice dari ANA merupakan pedoman yang dapat dikembangkan untuk dijadikan standar kinerja. Standar kinerja bentuknya tertulis tentang suatu pekerjaan. Pegawai yang diukur kinerjanya dapat dilihat dari daftar isian pekerjaan yang diisi oleh manajer. Di dalam keperawatan, standar dikembangkan dilingkungan area kinerja. Contohnya, untuk mendapatkan komponen praktek keperawatan profesional yang bertujuan untuk mengevaluasi dan menilai kinerja pegawai. Alat penilaian kinerja yang dibuat mengikuti lima area praktek keperawatan seperti : 1) Proses keperawatan, 2) Praktek kolaborasi, 3) Kepermimpinan, 4) Manajemen, 5) Pengembangan keprofesionalan dan pendidikan yang berlanjut. Dalam contoh ini,
Universitas Sumatera Utara
ketetapan atas standarisasi penetapan objektivitas untuk penilaian (Behrend et al, 1986 dalam Huber, 1996). Di Indonesia standar praktik keperawatan mengacu pada Standar Praktik Keperawatan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) tahun 2005. Adapun standar praktik keperawatan profesional menurut Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) 2005 adalah : 1. Standar I : Pengkajian Keperawatan 2. Standar II: Diagnosis Keperawatan 3. Standar III: Perencanaan Keperawatan 4. Standar IV: Implentasi Keperawatan 5. Standar V : Evaluasi Keperawatan Standar kompetensi perawat di Indonesia mengacu pada keputusan mentri tenaga kerja dan transmigrasi Republik Indonersia tentang penetapan Standar Komptensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) serta jasa kesehatan bidang ahli keperawatan. Standar kompetensi merupakan rumusan tentang kemampuan yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan suatu tugas atau pekerjaan yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan, keterampilan dan didukung sikap,
serta
penerapannya
sesuai
dengan
kerja
yang
dipersyaratkan.
Pengembangan standar kompetensi keperawatan mengacu pada Regional Model of Competency Standards
(RMCS) dan merujuk pada Kepmenakertrans No.
KEP-277/MEN/2003 dan No. KEP-69/MEN/V/2004 tentang Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia. Melalui kerja sama dan mengikutsertakan seluruh unsur yang meliputi spektrum profesi keperawatan yang mendukung pelayanan jasa kesehatan yang melaksanakan kegiatan jasa pelayanan
Universitas Sumatera Utara
keperawatan (Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonersia, 2007). Format Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang mengacu pada (RMCS) pada setiap unit memuat unsur-unsur sebagai berikut : 1. Kode Unit Kode unit diisi dan ditetapkan dengan mengacu pada format kodifikasi SKKNI. 2. Judul Unit Mendefenisikan
tugas/pekerjaan
suatu
unit
kompetensi
yang
menggambarkan sebagian atau keseluruhan standar kompetensi. 3. Deskripsi unit Menjelaskan judul unit yang mendeskripsikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam mencapai standar kompetensi. 4. Elemen Kompetensi Mengidentifikasi tugas-tugas yang harus dikerjakan untuk mencapai kompetensi
berupa
pernyataan
yang
menunjukkan
komponen-komponen
pendukung unit kompetensi sasaran apa yang harus dicapai. 5. Kriteria Unjuk Kerja Menggambarkan kegiatan yang harus dikerjakan untuk memperagakan kompetensi disetiap elemen, apa yang harus dikerjakan pada waktu menilai dan apakah syarat-syarat dari elemen dipenuhi.
Universitas Sumatera Utara
6. Batasan Variabel Ruang lingkup, situasi dan kondisi dimana kriteria untuk kerja diterapkan. Mendefenisikan situasi dari unit dan memberikan informasi lebih jauh tentang tingkat otonomi perlengkapan dan materi yang mungkin digunakan dan mengacu pada syarat-syarat yang ditetapkan, termasuk peraturan dan produk atau jasa yang dihasilkan. 7. Panduan Penilaian Membantu
menginterprestasikan
dan
menilai
unit
dengan
mengkhususkan petunjuk nyata yang perlu dikumpulkan, untuk memperagakan kompetensi sesuai tingkat keterampilan yang digambarkan dalam kriteria untuk kerja, yang meliputi pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk seseorang dinyatakan kompeten pada tingkatan tertentu, ruang lingkup pengujian menyatakan dimana, bagaimana dan dengan metode apa pengujian seharusnya dilakukan, aspek penting dari pengujian menjelaskan hal-hal pokok dari pengujian dan kunci pokok yang perlu dilihat pada waktu pengujian. 8. Kompetensi Kunci Keterampilan umum yang diperlukan agar kriteria unjuk kerja tercapai pada tingkat kerja yang dipersyaratkan untuk peran/ fungsi pada suatu pekerjaan. Kompetensi kunci meliputi; mengumpulkan, mengorganisasi dan menganalisa informasi. Mengkomunikasikan ide-ide dan informasi. Merencanakan dan mengorganisir aktivitas-aktivitas. Bekerja dengan orang lain dan kelompok. Menggunakan ide-ide dan tehnik matematika. Memecahkan masalah dan menggunakan teknologi.
Universitas Sumatera Utara
SKKNI sektor jasa kesehatan sub sektor bidang keperawatan dikelompokan menjadi 2 kelompok, yaitu Kelompok Unit Kompetensi Perawat Generik (PG) dan Perawat Vokasi (VK). Setiap masing-masing kelompok memiliki daftar unit kompetensi kelompok. b. Analisis Pekerjaan Analisis pekerjaan dapat mengidentifikasi, mencirikan, mengatur, memperagakan tugas-tugas, pekerjaan dan tanggung jawab secara aktual yang ditampilkan oleh para pelaku dalam tugas yang diberikan. Selain itu analisis pekerjaan dapat menunjukan ketumpang tindihan pekerjaan sehingga pekerjaan dapat dimodifikasi. Edwards dan Sproull ( 1998 dalam Swansburg, 2000) menyatakan bahwa manajemen dan pegawai dapat mengembangkan dimensi-dimensi kinerja objektif yang menjadi suatu hal yang dibutuhkan untuk terlaksananya penilaian kinerja yang efektif. Dimensi-dimensi ini dikembangkan dari analisis pekerjaan. Kriteria kinerja yang diperlukan harus: 1) Dapat diukur melalui pengamatan prilaku pekerjaan, 2) Terdefenisi secara jelas, dan 3) Berhubungan dengan pekerjaan. c. Deskripsi Pekerjaan Deskripsi pekerjaan sebagai sebuah kontrak. Sebuah deskripsi pekerjaan merupakan suatu kontrak yang mencakup fungsi-fungsi pekerjaan serta menyatakan pada seseorang yang bertanggung jawab atas pekerjaan tersebut. Deskripsi pekerjaan merupakan laporan tertulis yang mengandung gambaran tugas, tanggung jawab dan kondisi penunjukan tugas.
Universitas Sumatera Utara
Deskripsi pekerjaan digunakan dengan banyak tujuan yaitu: 1) Untuk membuat landasan-landasan rasional bagi struktur gaji. 2) Untuk mengklarifikasi hubungan antara pekerjaan sehingga dapat menghindari tumpang tindih dan kesenjangan dalam hal tanggung jawab. 3) Membantu karyawan menganalisa tugas-tugasnya sehingga mereka memiliki pengertian yang lebih mendalam mengenai pekerjaan mereka. 4) Membantu mendefenisikan struktur organisasi dan mendukung atau menunjukan bukti untuk revisi. 5) Menugaskan kembali dan memastikan fungsi dan tanggung jawab dalam keseluruhan lembaga. 6) Mengevaluasi kinerja pekerjaan. 7) Mengorientasikan karyawan baru pada pekerjaan. 8) Membantu dalam menyewa dan menempatkan karyawan. 9) Membuat jalur promosi dalam departemen. 10) Mengidentifikasi kebutuhan perlatihan. 11) Meninjau secara jelas tentang adanya praktik keperawatan dalam lembaga. 12) Mempertahankan kesinambungan semua pelaksanaan dalam pergantian lingkungan kerja. 13) Memperbaiki alur kerja. 14) Memberikan data sebagai saluran yang tepat dari komunikasi. 15) Mengembangkan spesifik perkerjaan. 16) Bertindak sebagai dasar untuk perencanaan tingkat pengaturan staf. d. Evaluasi Pekerjaan Evaluasi pekerjaan merupakan suatu proses yang mengukur jumlah pasti dari elemen-elemen dasar yang ditemukan dalam pekerjaan. (Swansburg, 2000).
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Tujuan Penilaian Kinerja Penilaian
kinerja
merupakan
alat
manajemen
yang
mampu
memfasilitasi tingkatan-tingkatan kinerja dalam rangka mencapai tujuan objektif dan misi dari perusahaan. Penilaian kinerja dapat digunakan untuk memastikan keputusan penarikan tenaga kerja. Tujuan dari penilaian kinerja adalah untuk melengkapi rencana tindakan dalam waktu yang telah ditetapkan. Fokus terhadap suatu rencana tindakan merupakan suatu yang penting dimana perawat dapat mengenal kelemahan dan kekuatannya untuk kesiapan karir mereka dimasa depan (Swansburg, 2000). 2.1.4. Manfaat Penilaian Kinerja Penilaian kinerja memiliki hasil yang positif. Dimana hal ini dapat dijadikan dasar dalam membentuk tujuan organisasi. Penilaian kinerja bisa dan seharusnya: 1) Memperbaiki kinerja. 2) Memperbaiki komunikasi. 3) Memperkuat prilaku positif. 4) Menjadi suatu metode untuk mengkoreksi komunikasi negatif atas pegawai atau prilaku yang kurang optimal. 5) menyediakan dasar imbalan yang juga sebagai dasar motivasi. 6) Sebagai dasar pemberhentian kerja jika dibutuhkan. 7) Mengenal kebutuhan belajar dan pengembangan personal (Huber, 1996). Dalam proses penilaian kinerja cara penyelesaian masalah yang pertama sekali dibangun yaitu dengan berfokus pada aspek positif yang telah terjadi dalam waktu penilaian kerja yang dilakukan. Elemen positif dapat ditemukan di sebagian besar prilaku dan kinerja pegawai. Setiap individu sebaiknya terdorong untuk lebih berprilaku positif.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sashkin (1982 dalam Huber, 1996) ada 10 penelitian yang berhubungan dengan prinsip dasar bagi penilaian kinerja yaitu: 1) Manajer membutuhkan
imbalan
untuk
mengembangkan
pegawai.
2)
Manajer
membutuhkan keterampilan dan latihan untuk menggunakan alat penilaian kinerja yang efektif. 3) Deskripsi kerja perlu dikaitan dengan mekanisme penilaian. 4) Pemilik yang terlibat dalam proses penilaian diharapkan tetap bekerja dengan baik dan lebih memuaskan. 5) Hubungan yang saling menguntungkan sangat dibutuhkan dalam meningkatkan kinerja pegawai. 6) Fokus penyelesaian masalah untuk menetralkan pertahanan pencegahan prilaku. 7) Konsultasi tersendiri atau pengembangan penilaian dari penilaian administrasi mengizinkan diskusi yang lebih dan penyelesaian masalah. Marquis dan Huston (2010) menyatakan kosultasi harus sering dilakukan. Manajer harus konsultasi ketika ada keraguan tentang bias personal dan pada situasi lainnya. Manajer yang berpengalaman perlu kosultasi dengan orang lain ketika pegawainya mengalami kesulitan besar dalam memenuhi pekerjaan mereka. 8) Kertas kerja atau dukungan administrasi sebagai bukti dalam proses penilaian kinerja perlu disesuaikan dengan tujuan organisasi. 9) Proses penilaian kinerja harus sesuai dengan harapan yang spesifik dari kerja. 10) Sistem penilaian kinerja perlu membangkitkan nilai kegunaan dan sebagai jalan informasi bagi keputusan administrasi. 2.1.5. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Penilaian Kinerja Menurut Marquis dan Huston (2010), hal penting yang perlu dipertimbangkan jika ingin mendapatkan hasil akhir penilaian yang positif adalah bagaimana pegawai melihat penilaian tersebut. Pegawai harus percaya bahwa
Universitas Sumatera Utara
penilaian tersebut berdasarkan pada deskripsi pekerjaan mereka, bukan pada persetujuan manajer atas pekerjaan mereka, pegawai akan cendrung melihat penilaian sebagai hal yang relevan. Penelitian Morodiya, Kothari dan Banshiwal (2012) yang menunjukan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penilaian kinerja dan membuat penilaian kinerja lebih efektif sehingga dapat meningkatkan motivasi dan produktivitas adalah : 1) Perawat harus percaya bahwa penilaian didasari pada standar sama pada semua pegawai. Standar ini harus dikomunikasikan dengan jelas pada pegawai ketika mereka dipekerjakan. 2) Perawat harus dapat memberikan beberapa masukan dalam mengembangkan standar atau tujuan penialaian kinerja mereka. 3) Perawat harus mengetahui apa yang terjadi jika standar kinerja yang diharapkan tidak terpenuhi. Perawat harus mengetahui standar yang ditetapkan demi tercapainya kemajuan. 4) Perawat harus mengetahui bagaimana informasi yang didapat untuk menentukan kinerja. Perawat harus diberitahukan sumber mana yang akan digunakan dan bagaimana informasi seperti itu akan dinilai. Sumber meliputi rekan, teman, rencana asuhan keperawatan, pasien dan observasi individu. 5) Penilai haruslah atasan perawat langsung. Sebagaian besar instansi melibatkan kepala perawat dan supervisior. Namun, perawat juga harus yakin bahwa orang yang melakukan sebagian besar tinjauan telah benar-benar mengamati pekerjaan mereka. 6) Penilaian kinerja akan lebih cendrung memberikan hasil yang positif jika penilai dipandang sebagai orang yang dapat dipercaya dan hormati secara profesional dan bertanggung jawab.
Universitas Sumatera Utara
2.1.6. Proses Penilaian Kinerja Proses penilaian kinerja terdiri atas kegiatan informal dan formal. Proses informal termasuk didalamnya supervisi hari ke hari atau pertemuan sekedarnya. Penilaian merupakan suatu pendekatan yang dikembangkan untuk orang-orang yang berada dalam suatu organisasi, yang digambarkan sebagai sebuah tempat antara persepsi dan monitoring (Haas, 1992 dalam Huber, 1996). Penilaian merupakan suatu alat manajemen yang harus tetap berjalan, kolaborasi dengan bertatap muka langsung dan berpengaruh kepada perbaikan keterampilan dan kinerja. Sedangkan penilaian kinerja formal seharusnya memiliki bukti tulisan dokumentasi dan dokumentasi wawancara formal penilaian kinerja sebaiknya terus dipantau. Menurut Marquis dan Huston (2010) opini dan keputusan manejer digunakan untuk pengambilan keputusan yang sangat penting dan berdampak luas pada kehidupan kerja pegawai, keputusan itu harus ditentukan dengan cara yang objektif, sistematis dan formal. Penggunan sistem formal peninjauan kinerja juga dapat mengurangi subjektivitas penilaian. Memunculkan
rasa
inisitaif
terhadap
metode
manajemen
yang
demokratis dapat dan seharusnya diadopsi untuk memecahkan masalah dalam penilaian kinerja, selain itu kekakuan pada struktur pelaksanaan penilaian kinerja dapat lebih difleksibelkan dengan cara merangsang orang lain untuk terlibat dalam proses bekerja. Hal ini merupakan cara yang baik untuk meningkatkan kinerja perawat (Goncalves, Lima, Crisitano, dan Hashimoto, 2007). Kegiatan lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan diskusi membangun atas penilaian
Universitas Sumatera Utara
kinerja. Diskusi yang bersifat membangun ini merupakan hal yang dianjurkan untuk semua pelayanan kesehatan karena melalui diskusi maka akan tercipta komunikasi yang baik dan kemampuan untuk dapat saling mendengar (Vasset, Marnburg dan Furuness, 2010). Pendidikan dan pengalaman merupakan hal yang sangat penting bagi kemajuan individu perawat, karena perawat yang memiliki pengetahuan dan pengalaman terhadap penilaian kinerja akan memiliki motivasi kerja yang tinggi (Vanetzian dan Higgins, 1990). Motivasi kerja perawat juga berasal dari adanya umpan balik yang tepat, tujuan yang jelas, dan pelatihan yang sesuai bagi perawat (Vasset, Marnburg dan Furunes, 2011). 2.1.7. Sumber Penilaian Kinerja Semua proses penilaian kinerja terbangun dari adanya asumsi bahwa semua pegawai memerlukan umpan balik terhadap kinerja yang mereka lakukan. Umpan balik dapat membantu pegawai mengetahui apa yang harus mereka lakukan dan bagaimana mereka dapat mencapai tujuan mereka. Secara keseluruhan umpan balik penilaian dapat membantu memperbaiki kinerja dan sikap pegawai. Adapun sumber umpan balik dari penilaian kinerja dikenal dengan umpan balik 360 derajat, yaitu proses mengumpulkan data berdasarkan skill, sikap, prilaku dari berbagai sumber yaitu manajer, teman sejawat, bawahan, pelanggan, dan diri sendiri. Penilaian ini dilakukan untuk menguji di daerah mana masalah yang muncul dari penilaian setiap orang, lalu hasilnya dibandingkan dari waktu ke waktu untuk melihat perbaikan yang telah dilakukan (Marquis & Huston, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Sumber penilaian kinerja berdasarkan penilaian diri sendiri yaitu penilaian yang dilakukan dari pegawai sendiri dengan harapan pegawai tersebut dapat mengenal kelebihan dan kekurangannya dirinya sendiri, sehingga dapat merancang perbaikan terhadap aspek-aspek kinerja yang perlu diperbaiki (Rivai & Basri, 2005). Penilaian rekan sejawat merupakan penilaian kinerja yang dilakukan oleh rekan sejawat. Penilaian manajer belum sempurna, kecuali ada beberapa data tinjauan rekan sejawat yang dikumpulkan, jika diimplementasikan secara tepat, dapat memberikan umpan balik yang berharga bagi perawat (Marquis & Huston, 2003). 2.1.8. Alat Ukur Penilaian Kinerja Ada berbagai macam alat ukur yang digunakan sebagai pedoman untuk menilai kinerja perawat. Menurut Henderson (1984 dalam Gilles, 1996) pada umumnya alat ukur yang digunakan untuk menilai kinerja perawat ada lima macam, yaitu : 1) Laporan bebas. 2) Pengurutan yang sederhana. 3) Checklist. 4) Pelaksanaan kinerja. 5) Penilaian grafik dan perbandingan yang dibuat-buat. Keefektifan suatu sistem penilaian kinerja tergantung pada baik tidaknya alat tersebut digunakan untuk membuat pengkajian terhadap kinerja (Marquis & Huston, 2013). Agar efektif, sebaiknya alat tersebut dirancang untuk mengurangi bias, meningkatkan objektivitas serta menjamin keabsahan dan ketahanan (Nursalam, 2012). Selain itu Deaker dan Strader (1998 dalam Marquis & Huston, 2013) menambahkan bahwa alat pengkajian kompetensi yang efektif harus memungkinkan manejer untuk fokus terhadap tindakan prioritas yang hal ini merupakan 20% masalah yang sebenarnya dan perhatian manejer terhadap
Universitas Sumatera Utara
kompetensi yang fokusnya mengacu kepada konsumen dan kesadaran terhadap biaya sehingga lebih mudah untuk melakukan pelatihan dan pemberian umpan balik. Marquis dan Huston (2003) menyebutkan beberapa alat penilaian yang biasa digunakan dalam organsasi layanan kesehatan yaitu: 1) Ciri skala peringkat, merupakan metode mengurutkan peringkat seseorang berdasarkan standar yang telah disusun, yang mungkin terdiri atas diskripsi pekerjaan, prilaku yang diinginkan, atau sifat personal. Skala peringkat mungkin merupakan metode penilaian yang paling banyak digunakan pada berbagai metode penilaian yang tersedia. 2) Skala dimensi pekerjaan, tehnik ini mengharuskan skala peringkat disusun untuk setiap klasifikasi pekerjaan. Faktor peringkat diambil dari konteks deskripsi pekerjaan tertulis. Meskipun memiliki beberapa kelemahan yang sama seperti skala sifat, skala dimensi kerja berfokus pada syarat kerja daripada istilah ambigu seperti “kuantitas kerja”. 3) Skala peringkat berdasarkan prilaku Behaviorally Anchored Rating Scale (BARS) yaitu suatu tehnik yang mensyaratkan bentuk tehnik terpisah dibentuk untuk setiap klasifikasi kerja. 4) Daftar tilik. Instrumen penilaian kinerja seharusnya objektif agar penilaian kinerja perawat dapat diukur dengan akurat dan berdasarkan tugas kerja yang ada (Heroabadi & Marbhagi, 2006 dalam Nikpeyma, Saeedi, Azargashb, dan Majd, 2013). Instrument penilaian kinerja juga harus efisien dan menyediakan umpan balik yang berarti bagi perawat (Kalb et al, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.1.9. Dokumentasi Penilaian Kinerja Penyimpanan catatan yang akurat juga merupakan bagian yang sangat penting untuk memastikan keakuratan dan keadilan suatu penilaian kinerja. Informasi mengenai kinerja bawahan (baik negatif maupun positif) harus ditulis dan tidak hanya disimpan dalam ingatan saja. Manajer harus memiliki kebiasaan menyimpan catatan tentang observasi, komentar orang lain, dan peninjauan ulang grafik serta rencana asuhan keperawatan secara periodik (MacMurray, 1993 dalam Marquis & Huston, 2010). Catatan dan informasi tentang kinerja perawat merupakan data yang dimiliki oleh seorang manajer keperawatan. Data-data ini harus dikumpulkan dengan tepat, sistematis dan teratur. Tidak hanya harus menggunakan berbagai sumber dalam mengumpulkan data tentang kinerja perawat, tetapi data yang diperlukan juga perlu mencerminkan keseluruhan periode waktu penilaian. Wawancara merupakan salah satu dari rangkaian penilaian kinerja yang mana data yang didapatkan setelah wawancara perlu untuk didokumentasikan. Setelah wawancara manajer dan pegawai perlu menandatangani formulir penilaian untuk mendokumentasikan bahwa pertemuan telah diadakan dan pegawai telah mendapatkan informasi tentang penilaian terhadapnya. Dokumentasi harus mencakup tanggal target pencapaian, dukungan yang dibutuhkan, dan kapan tujuan ditinjau. Dokumentasi ini sering menjadi bagian formulir penilaian (Marquis & Huston, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.1.10. Masalah pada sistem penilaian kinerja Sistem penilaian kinerja terbagi atas input (pelaku penilaian, alat penilaian), proses penilaian, dan output (dokumentasi hasil penilaian). Pada penerapannya, ada berbagai masalah yang muncul baik dari segi input, proses dan output. Menurut Nikpeyma, N., et al, 2013 menyatakan bahwa masalah pada sistem penilaian kinerja perawat adalah masalah pada konteks penilaian kinerja, masalah pada struktur penilaian kinerja, masalah pada proses penilaian kinerja dan masalah pada hasil penilaian kinerja. Masalah pada sistem penilaian kinerja perawat yaitu : 1. Masalah pada konteks penilaian kinerja Masalah pada konteks penilaian kinerja
terjadi dikarenakan adanya
ketidaksesuaian antara standar kinerja perawat dengan tugas perawat, kurangnya motivasi diantara perawat dan kontek organisasi yang kurang. 2. Masalah pada struktur penilaian kinerja Masalah yang terjadi pada struktur penilaian kinerja dikarenakan oleh penilaian yang subjektif, kurang tegasnya organisasi dalam penekanan atas hukum dan aturan yang berlaku dan adanya kesenjangan antara teori dan praktek yang dilakukan. 3. Masalah pada proses penilaian Masalah yang muncul pada proses penilaian kinerja dikarenakan oleh kurangnya supervisi yang dilakukan oleh manejer, ketidakadilan dalam menilai dan penilaian yang tidak berkelanjutan.
Universitas Sumatera Utara
4. Masalah pada hasil penilaian Masalah yang muncul pada hasil dari penilaian kinerja adalah kurangnya pemberian insentif atas kinerja dan ketidakakuratan dalam melakukan umpan balik. (Nikpeyma, N., et al, 2013) 2.1.11. Hambatan dalam Penilaian Kinerja Penilaian kinerja merupakan kegiatan yang syarat dengan sosial emosional, yaitu evaluasi terhadap kontribusi seseorang terhadap perusahaan karena sinyal-sinyal yang diterima seseorang mengenai hasil penilaian kinerja ini dapat mempengaruhi harga diri (self-esteem) dan bentuk kinerja untuk masa yang akan datang. Dari hasil evaluasi kinerja, setiap orang memiliki keinginan memberikan dan memperoleh umpan balik. Dalam banyak hal hasil penilaian kinerja ini sangat tidak memuaskan. Hasil penilaian kinerja yang tidak baik ini disebabkan oleh banyak faktor dimana keseluruhan faktor tersebut dapat dikatakan sebagai hambatan. Hambatan dalam penilaian kinerja menurut Rivai dan Basri (2006) yaitu : a. Hambatan Hukum Penilaian kinerja harus bebas dari diskriminasi tidak sah atau tidak legal. Adapun format penilaian kinerja yang digunakan oleh departemen SDM, format tersebut harus sah dan dapat dipercaya. Jika hal tersebut tidak dipenuhi keputusan penempatan mungkin ditentang karena melanggar hukum ketenagakerjaan atau hukum lainnya.
Universitas Sumatera Utara
b. Hambatan Norma Sosial Hasil evaluasi kinerja yang diperoleh dengan cara-cara yang baik adalah yang memenuhi syarat-syarat evaluasi, karena hal ini akan memberikan kekuatan yang sah bagi unsur-unsur SDM yang terlibat didalamnya sehingga hasil tersebut bisa menjadi ukuran untuk kelanjutan karir seseorang dalam hal memperoleh penghargaan, promosi, memperoleh jabatan baru atau bahkan sampai pemecatan. Namun untuk mendapatkan hasil evaluasi yang baik bukanlah hal yang mudah karena adanya norma sosial yaitu berupa anggapan yang menyatakan bahwa masih banyak orang yang lebih tua enggan dinilai oleh orang yang lebih muda, orang yang mempunyai jabatan yang lebih tinggi tidak suka kalau bawahannya memberikan evaluasi, dan lain-lain. Hambatan norma sosial dapat diubah sesuai dengan kebutuhan, misalnya melalui perubahan budaya. Dimana kita harus mampu meletakkan posisi SDM, dalam evaluasi kinerja. Menyesuaikan diri pada keadaan yang menuntut dan meminta adanya perubahan serta memposisikan perusahaan yang berorientasi kemasa depan. c. Hambatan Pribadi Penilaian kinerja merupakan serangkaian kegiatan yang sarat melibatkan masalah emosi. Akibatnya penilaian kinerja sering sekali banyak dilakukan dengan cara menitikberatkan kepada perasaan individu atau evaluator. Secara pribadi, antara penilai dan yang dinilai sering membuat kesepakatan jalan yang paling aman dan menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Universitas Sumatera Utara
d. Bias Penilaian Setiap masalah yang didasarkan pada ukuran subjektif merupakan peluang terjadinya bias. Bentuk-bentuk bias yang umumnya terjadi adalah: 1) Hallo Effect (Kesan Pertama) yaitu bias yang terjadi karena penilai (evaluator) memberikan penilaian berdasarkan pada kesan pertama ketika penilai mengenal atau mengetahui objek Sumber Daya Manusia (SDM) yang akan dievaluasi. Patokan penilai lebih dikenakan pada kesan pertama yang bisa disebabkan karena secara psikologis setiap orang dalam penampilan pertamanya akan berusaha tampil mengungguli yang lain dalam segala hal. Oleh karena itu, bila penilaian kinerja ini dilakukan hanya atas kesan pertama pasti hasilnya bias. Padahal seharusnya evaluasi kinerja adalah hasil dari penilaian yang kumulatif berdasarkan waktu dan jangan sekali-sekali hanya didasari pada penampilan yang sesaat saja. 2) Error of Central Tendency (Kesalahan Akibat Kecendrungan Menilai di Tengah) yaitu penilaian yang dilakukan dengan asumsi berdasarkan pada rata-rata kinerja. Setiap pegawai dianggap memiliki nilai yang sama dalam kinerjanya. Untuk menghindari bias ini, penilai sebetulnya dapat melakukan proses penilaian dengan cara memperbanyak kriteria yang dimasukkan untuk penilaian. Kriteria ini bisa saja dimunculkan pada job description dengan penugasan pada job spesification yang jelas untuk individu yang berkesesuaian. 3) Leniency dan Strictness Bias (Bias Terlalu Longgar dan Terlalu Ketat) yaitu bias yang terjadi akibat dari adanya keinginan penilai untuk tidak mempersulit atau memberikan kemudahan kepada individu yang akan dievaluasi. Bias ini dapat dilihat dari kinerja standar penilaian relatif rendah, seolah-olah kriteria evaluasi
Universitas Sumatera Utara
dapat dengan mudah terpenuhi oleh semua individu untuk semua tingkatan manajemen suatu perusahaan. 4) Friendly (Kedekatan Hubungan) yaitu bias yang terjadi ketika pegawai dalam bekerja dihadapkan pada masalah sulit yang memerlukan pemecahan secara keilmuan, pegawai tersebut ada kecendrungan lebih mempercayai teman almamater yang sama untuk memecahkan masalah tersebut meskipun saja ada pegawai lain dalam perusahaan ini lebih kompeten. 5) Cross Cultural Bias (Bias Penyimpangan antara Budaya) yaitu bias yang terjadi ketika atasan memberikan penilaian atas dasar ukuran budayanya, sementara bawahan memberikan respon kinerjanya dengan budaya yang berbeda. Akibatnya umpan balik yang diterima juga boleh jadi sebagai bentuk yang bertolak belakang atau dianggap sebagai pembangkangan. 6) Personal Prejudice yaitu bias yang terjadi ketika penilai selalu menggunakan prasangka pribadi yang buruk terhadap orang lain dalam mengevaluasi kinerjanya. Disini penilai selalu ingin melihat orang lain bisa menjadi sosok dirinya. Dia tidak bisa melihat dengan sungguhsungguh bahwa individu berbeda satu sama lain juga dengan dirinya. Untuk menghindari bias ini hal yang dapat dilakukan adalah dengan cara ketaatan menilai kinerja berdasarkan pada job description dan job spesification yang terlebih dahulu ditentukan. 7) Pengaruh-pengaruh organisasi yaitu penilai cenderung memperhitungkan kegunaan akhir dari penilaian pada saat mereka menilai bawahan mereka, sehingga mengabaikan keunggulan ataupun kelemahan seseorang pada beberapa waktu yang lalu. Tentu disini yang dirugikan adalah pegawai yang baik. 8) Standar-standar Penilaian yaitu masalah yang muncul karena adanya perbedaan-perbedaan konseptual dalam makna kata-kata yang
Universitas Sumatera Utara
digunakan dalam mengevaluasi pegawai-pegawai. Di sini perlu adanya kesatuan persepsi dan pandangan terhadap makna butir-butir penilaian yang terdapat dalam formulir penilaian. Disini dituntut untuk membuat standar yang jelas sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. 9) Recency Effect yaitu bias yang terjadi karena penilai berdasarkan pada kesan yang sesaat, yakni kesan yang sekarang. Kesan sekarang akan digunakan sebagai standar penilaian yang sama untuk waktu yang telah lalu maupun waktu yang akan datang. 2.1.12. Dampak Penilaian Kinerja Sistem penilaian kinerja memiliki dampak bagi penilai, personel yang dinilai dan organisasi. Hal ini terjadi karena tidak ada sistem penilaian kinerja yang dapat dilakukan dengan sempurna. Dampak penilaian kinerja perawat terdiri atas dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif dari penilaian kinerja yaitu meningkatnya motivasi kerja perawat. Hal ini disebabkan adanya komunikasi efektif, umpan balik positif, pengaturan tujuan, dan pelatihan memiliki efek yang signifikan atas motivasi kerja perawat (Vasset, Marnburg dan Furunes, 2011; Nikpeyma, Saeedi, Azargashb, dan Majd, 2013). Penilaian kinerja dapat meningkatkan kompetensi perawat (Kalb et al, 2006), meningkatkan disiplin, bertanggung jawab, kemampuan bekerja sama (Goncalves, Lima, Crisitano, dan Hashimoto, 2007), pengembangan organisasi (Redshaw, 2008), dan meningkatkan rasa percaya diri (Murie, Wilson, dan Cerinus, 2009). Dampak negatif pada penilaian kinerja perawat dapat dilihat dari beberapa persoalan yang muncul disebabkan oleh ketidakadilan yang dirasakan
Universitas Sumatera Utara
oleh perawat. Pada umumnya ketidakadilan yang dialami oleh perawat kebanyakan berasal dari prosedur dalam pelaksanaan penilaian kinerja, penetapan atas intensif, pelatihan dan pendidikan bagi perawat yang kinerjanya baik (Clarck, Harcourt dan Flynn, 2013). Ada tiga komponen yang berhubungan dengan rasa ketidakadilan dalam penilaian kerja yang dialami perawat, pertama ketidakadilan secara prosedur seperti pemberitahuan yang tidak adekuat, tidak mendengarkan dengan jelas, frekuensi penilaian yang tidak teratur, personel yang merasa diadili. Kedua, ketidakadilan dalam berinteraksi meliputi adanya penghinaan, kecurangan, pelanggaran privasi dan tidak ada rasa hormat. Ketiga adalah ketidakadilan dalam pendistribusian hasil dari penilaian kinerja (Vasset, Marnburg dan Furunes, 2011). 2.2. Helping-Trust Realtionship Teori Caring Jean Watson Membina helping-trust realtionship merupakan pengembangan dari salah satu faktor carative. Karena helping-trust realtionship dekat hubungannya kepada pernyataan penerimaan atas perasaan positif dan negatif seseorang. Kualitas hubungan seseorang dengan orang lain merupakan suatu elemen yang sangat berarti dalam menentukan keefektifan pertolongan. Keperawatan sebagai ilmu caring harus mempertimbangakan secara serius bukti-bukti empiris yang berhubungan dengan pengembangan hubungan saling percaya dan membantu. Potensi untuk memajukan dan mengembangkan pertumbuhan psikososial dan memfasilitasi prilaku sehat terletak pada hubungan percaya dan membantu (helping-trust realtionship) itu sendiri jika hal tersebut lebih dikenal, dikembangkan dan digunakan untuk perawat.
Universitas Sumatera Utara
Elemen
dasar
dari
pelayanan
yang
berkualitas
tinggi
adalah
pengembangan dari kualitas hubungan yang saling percaya dan membantu. Untuk mengembangkan suatu hubungan, pertama harus mengetahui orang lain, hal ini termasuk mengetahui diri mereka, cara pandang mereka terhadap dunia dan ruang kehidupan mereka. Pengembangan
atas hubungan saling percaya
dan membantu bisa
tumbuh secara berangsur-asur apabila hubungan saling percaya tersebut merupakan suatu proses sikap yang pasti dimiliki oleh perawat. Untuk mengembangkan helping-trust relationship pada diri perawat, maka beberapa hal yang harus dilakukan perawat adalah Congruence, Empathy, Non possessive warmth, Effective Communication (Watson,1979). a. Congruence Congruence merujuk kepada keberadaan perawat berdasarkan atas apa yang mereka lihat seperti keiklasan, profesional, berkarakter kuat. Congruence berhubungan dengan bagaimana menanamkan sikap sensitif kepada diri sendiri dan orang lain (Watson,1979). Congurence melibatkan keterbukaan akan perasaan dan sikap yang memberikan kesan yang baik. Congruence bisa disamakan dengan keiklasan yaitu suatu sikap yang apa adanya, jujur, iklas dan otentik. Jika perawat yang mencoba untuk menyembunyikan diri dan perasaannya sendiri, maka hal ini bisa menghancurkan hubungan perawat dengan orang lain. Congruence dan keiklasan merupakan suatu hal yang dasar untuk membina helping-trust relationship. Perawat yang memiliki sikap yang congruence akan memiliki
Universitas Sumatera Utara
produktivitas kerja yang baik karena mereka memiliki kemampuan untuk pindah dari harapan terhadap kekakuan peran (Alligood & Tomey, 2006). b. Emphaty Empati merujuk kepada bagaimana perawat merasakan pengalaman yang dirasakan oleh orang lain dan mengomunikasikan kepada orang lain bahwa hal itu penting untuk dimengerti. Kemampuan perawat untuk merespon perasaaan orang lain merupakan pondasi dari sikap empati. Jika perawat mampu untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain maka hubungan emosi antara perawat dan pasien terbina dengan baik. Perawat yang mampu merasakan hal yang sama dengan orang lain namun tidak berarti membuat mereka bisa mengadili dan merasa terintimidasi atas sikap mereka tersebut. c. Nonpossessive Warmth Nonpossessive Warmth adalah kondisi interpersonal dalam suatu helpingtrust relationship yang sama dengan congruennce dan empathy, yang gunanya untuk menumbuhkan diri orang lain. Perawat yang merawat secara efektif mampu membuat
ketidakadaannya rasa terancam, aman, kepercayaan, suasana aman
melalui penerimaan, penghargaan yang positif, nilai kasih sayang atau nonpossessive warmth. Nonpossessive warmth merupakan suatu penghormatan positif
yang tidak dikondisikan dimana perawat menilai orang lain secara
keseluruhan tidak dikondisikan dan tidak menghakimi, serta menilai perasaan orang lain. Terciptanya perubahan dan pertumbuhan yang membangun seperti adanya kehangatan dan penerimaan yang tidak mengadili.
Universitas Sumatera Utara
Walaupun suatu hubungan kehangatan tidak merupakan suatu yang efektif dalam helping relationship, kehangatan melihat suatu dorongan pengembangan dari kondisi lainnya atas rasa empati dan keiklasan. Kehangatan dapat dilakukan dengan berkomunikasi secara luas dan beragam seperti gesture, postur tubuh, nada suara, sentuhan dan ekspresi wajah. Kehangatan merupakan pesan non verbal yang penting dan sikap yang memberikan dampak positif. Beberapa atribut yang penting dari kehangatan non verbal adalah menjaga kontak mata selama berinteraksi, menggunakan volume yang sedang ketika berbicara, santai, menghadap keorang yang berbicara, memiliki postur yang lebih terbuka daripada tertutup kepada orang lain (Alligood & Tomey, 2006). d. Komunikasi yang efektif Perawat yang ingin berkomunikasi dengan efektif dalam membangun helping-trust relationship harus bener-benar berespon ke semua model prilaku orang lain sehingga dapat mempengaruhi orang lain. Komunikasi yang efektif terdiri atas banyaknya respon kognitif verbal, juga termasuk prilaku non verbal dan respon afektif. Orang menerima dan memberi pesan melalui 3 proses yaitu kognitif, affektif dan prilaku. Melalui tiga proses ini orang bisa berhubungan dengan prilaku diri mereka sendiri. Ada tiga dasar komunikasi yang bisa memahami orang lain yaitu : 1. Level somatik yaitu meliputi nafas, tekanan nadi, dan keseluruhan fisik dan mencakup biospsikologika. 2. Level tindakan yaitu meliputi semua prilaku non verbal, seperti pergerakan badan, postur, dan posisi.
Universitas Sumatera Utara
3. Level bahasa yang merujuk pada kata-kata dan pengertian mereka. Ada 2 macam bahasa komunikasi yaitu : 1. Komunikasi denotatif yaitu berkata yang tegas yang sesuai dengan maksud. 2. Komunikasi konotatif yaitu berbicara secara lengkap, mengasosiasikan ide, perasaan, mensimbolkan respon yang disampaikan Komunikasi efektif dalam suatu hubungan, perawat harus mengenal dan menilai fakta bahwa komunikasi non verbal adalah ekspresi yang akurat untuk mewakili perasaan dari komunikasi verbal. Hal tersebut merupakan suatu yang mungkin terjadi karena seseorang memiliki kontrol lebih pada pesan non verbalnya yang dibagikan secara tak sadar dan sering dengan menggunakan gaya tubuh dan pergerakan tubuh lainnya. Prinsip komunikasi penting lainnya yaitu perawat harus berusaha untuk memahami maksud orang lain atas prilaku dan perasaan orang lain. Pesan yang diberi dan diterima secara akurat menunjukan komunikasi berjalan dengan baik. Seleksi instrumen untuk caring yang digunakan dalam penelitian merupakan suatu tugas yang kompleks.
Banyak faktor yang membutuhkan
pertimbangan dalam proses pembuatan keputusan, seperti konsep instrumen dari defenisi caring, reability dan validity, lama waktu administrasi, kemampuan membaca dan pondasi konsep (Beck, 1999). Kebanyakan instrumen untuk menilai caring dirancang menilai prilaku caring perawat dalam situasi klinik baik dari perawat ataupun dari pasien sendiri. Duffy (1993) dalam Watson, (2002), mengembangkan alat penilaian caring yang bertujuan untuk mengukur aktivitas
Universitas Sumatera Utara
caring perawat. Alat ini dirancang untuk merefleksikan persepsi staf perawat atas manejer mereka dalam meneliti administrasi keperawatan. 2.3. Action Research 2.3.1 Kosep Action Research Action research adalah sebuah nama yang menjelaskan adanya bentuk patisipasi dari suatu tindakan. Peneliti dan partisipan berkolaborasi dalam mendefenisikan suatu masalah, menseleksi metode riset, menganalisa data dan memutuskan untuk menggunakan penemuan yang ditentukan. Tujuan dari action research adalah tidak hanya menghasilkan pengetahuan tetapi tindakan atas kesadaran yang muncul dengan baik. Peneliti berusaha untuk memberdayakan orang melalui proses kontruksi dan penggunaan pengetahuan. Action rearch dimulai dari adanya perhatian terhadap ketidakberdayaan suatu kelompok yang diamati dan tujuan kuncinya adalah menghasilkan suatu dorongan yang secara langsung berguna untuk membuat perbaikan melalui tindakan pendidikan dan sosial politik. Dalam action research, metode penelitian mengambil kedua tempat memunculkan proses kolaborasi dan dialog yang dapat memotivasi, meningkatkan harga diri dan membangkitkan solidaritas dalam komunitas. Strategi data yang dikumpulkan tidak hanya melalui metode tradisional wawancara dan observasi (mencakup keduanya yaitu kuantitatif dan kualitatif) tetapi juga melalui cerita, drama sosial, gambar dan lukisan, dan aktivitas lainnya yang bertujuan untuk mendorong individu menemukan
Universitas Sumatera Utara
kreatifitas mereka dalam menyelidiki hidup mereka, mengatakan cerita mereka, dan mengenal kekuatan mereka (Polit & Beck, 2012). Action research telah digunakan dalam keperawatan dalam berbagai cara, bertindak sebagai fasilitator perubahan di rumah sakit jiwa, memberikan nasehat, dan dukungan emosional. Peneliti meletakan fakta-fakta yang menekan pada kebutuhan akan sumber dukungan bagi perawat dan mencoba untuk mengenalkan perubahan di lingkungan kerja mereka serta melihat action research sebagai suatu yang berarti bagi perawat agar bisa mengambil kembali wewenang untuk mengklarifikasi peran mereka dan menetapkan kondisi yang membutuhkan kinerja tugas yang efektif oleh mereka sendiri dan orang lain (Towell & Harries, 1979 dalam Webb, 1989). 2.3.2 Ciri-ciri Action Research a. Action research merupakan sebuah proses sosial yaitu suatu proses yang ditempuh dalam penelitian yang disetting ketika manusia baik secara individu dan kolektif berusaha memahami bagaimana diri mereka dibentuk dan dibentuk ulang kembali sebagai individu-individu yang saling berhubungan satu sama lain. b. Action research berciri participatoris dalam pengertian bahwa manusia hanya dapat melakukan penelitian tindakan terhadap dirinya sendiri secara individu maupun kolektif. c. Action research berciri praktis dan collaborative yaitu mengajak manusia untuk mengkaji praktik-praktik sosial yang menghubungkan diri mereka terhadap orang lain dalam interaksi sosial.
Universitas Sumatera Utara
d. Action research berciri emansipatoris yaitu bertujuan untuk membantu manusia agar pulih dan melepaskan diri mereka dari tekanan-tekanan struktur sosial yang irasional, tidak produktif, tidak adil dan tidak memuaskan yang membatasi perkembangan diri dan kemandirian diri. e. Action research berciri kritis yaitu bertujuan untuk membantu manusia agar pulih dan melepaskan diri sendiri dari hambatan-hambatan yang melekat dengan media sosial yang menjadi wahana interaksi mereka. f. Action research berciri recursif (refleksif dan dialektis) yaitu bertujuan untuk membantu manusia dalam mengkaji realita agar mampu merubahnya. g. Action research bertujuan untuk mengubah teori dan praktik. Action research tidak mementingkan salah satu dalam hubungan antara teori dengan praktik, karena tujuannya adalah untuk mengartikulasikan dan mengembangkan keduanya dalam hubungan satu sama lain di penalaran kritis tentang teori dan praktik berserta konsekuensi keduanya (Lincoln & Denzin, 2009). 2.3.3 Proses action research terdiri atas beberapa tahap, yaitu : Secara umum action research dipandang sebagai sebuah spiral siklus reflective diri yang berusaha untuk merencanakan sebuah perubahan, mempelajari dan mengamati proses dan konsekuesnsi dari perubahan tersebut, mengkaji proses dan konsekuensi tersebut, kemudian merencanakan ulang, mempelajari, mengamati dan mengkaji kembali serta seterusnya. Action research memberikan kesempatan untuk menciptakan suatu forum tempat orang-orang berkumpul dan menggabungkan diri satu sama lain sebagai co-partisipant dalam perjuangan untuk menciptakan kembali bentuk-bentuk praktik dari tempat mereka
Universitas Sumatera Utara
berinteraksi sehingga menjadi wadah untuk mewujudkan rasionalitas dan demokrasi. Action research merupakan suatu proses pembelajaran yang hasilnya berupa perubahan nyata dalam bentuk tindakan manusia, cara mereka berinteraksi dengan orang lain, memiliki tujuan dan nilai serta wacana yang menjadi tempat mereka untuk dapat saling memahami dan menafsirkan (Lincoln & Denzin, 2009). Adapun proses action research adalah : a. Reconnaissance Dasar dalam merencanakan langkah awal sebelum melakukan tindakan pertama sekali adalah pemeriksaan atau peninjuan (Reconnaissance). Tahap ini berguna karena peneliti harus memiliki dasar dalam merencanakan tindakan yang akan dijadikan sebagai pandangan awal atas bagaimana situasi yang dihadapi dan syarat-syarat
yang
perlu
diperhatikan
dan
dipenuhi.
Kegunaan
fase
reconnaissance adalah untuk membantu mengorientasikan diri dalam bertindak dan mengenal sesuatu yang memungkinkan untuk merencanakan tindakan (Kemmis & McTaggart, 1988). b. Planning (Perencanaan) Planning merupakan langkah dalam membangun atau merencanakan suatu tindakan yang bakal menjadi tindakan. Pada tahap planning peneliti harus mengenal semua tindakan sosial diberbagai situasi baik yang tidak bisa diprediksikan dan resiko yang mungkin muncul. Secara umum, rencana harus cukup fleksibel untuk beradaptasi terhadap dampak dari luar perkiraan dan batasan yang tidak dikenal sebelumnya. Langkah ini memperhitungkan resiko
Universitas Sumatera Utara
yang terlibat sehingga dapat mempersiapkan tindakan yang berguna untuk evaluasi. c. Acting dan Observation (tindakan dan pengamatan) Pelaksanaan dari action harus sesuai dengan yang direncanakan di tahap perencanaan. Tindakan yang dipandu oleh perencanaan menggambarkan bahwa tindakan yang dilakukan telah memiliki dasar pemikiran sebelumnya. Tetapi tindakan tidak sepenuhnya dikendalikan oleh rencana, karena hambatan dan kendala dapat muncul tiba-tiba dan tidak terduga sebagai konsekuensi dari perubahan dalam tindakan. Peneliti membutuhkan observasi atas semua proses tindakan yang dilakukan, dampak dari tindakan, keterbatasan dalam tindakan, rencana tindakan dan akibatnya atau isue lain yang muncul. Tahap observasi memiliki fungsi sebagai pendokumentasian yang berdampak secara kritis atas informasi dari tindakan yang diperoleh. Observasi perlu dilakukan dengan hati-hati karena tindakan akan selalu dibatasi oleh realitas dan semua itu tidak pernah jelas pada awalnya. Observasi harus direncanakan, karena pendokumentasian sesudah refleksi akan ada. Rencana observasi harus fleksibel dan terbuka untuk merekam semua hal yang tidak diharapkan. Observasi akan selalu menjadi panduan yang bermaksud untuk menyediakan dasar bagi refleksi kritik diri. Dengan cara ini, kontribusi dapat memperbaiki tindakan melalui pemahaman yang hebat dan menginformasikan strategi tindakan yang lebih kritis.
Universitas Sumatera Utara
d. Reflection Reflection mengulang kembali tindakan yang sudah direkam dalam observasi. Hal yang dicari pada tahap refleksi adalah pengertian akan proses, masalah, isu dan batasan untuk membuat manifestasi atas strategi tindakan yang muncul. Tahap refleksi ini memungkinkan berbagai macam perspektif dalam situasi sosial, isu yang menyeluruh serta batasan yang mereka munculkan. tahap refleksi biasanya dibantu dengan diskusi antar partisipan. Melalui ceramah, refleksi grup memimpin pembangunan pengertian atas situasi sosial dan menyediakan dasar untuk meninjau kembali rencana. Refleksi memilki aspek penilaian yaitu membuat peneliti untuk mengembangkan pengalaman mereka dan menentukan apakah akibat yang tidak diinginkan dan saran bagi laporan kerja. Semiawan (1998) menjelaskan bahwa walaupun dalam setiap siklus action research tersusun secara teratur namun pada pelaksanaannya proses tersebut dapat terjadi tidak secara teratur. Antara siklus yang satu dengan siklus yang lain terjadi tumpah tindih atau maju mundur dari jadwal yang telah direncanakan. Berbagai situasai social jauh lebih kompleks dari gambaran siklus murni, sehingga sering bermunculan siklus jamak (multiple spiral) berwujud topik dan subtopik , bahkan sering sekali berbagai kajian action research tampak chaostic bagi yang kurang memahami prosesnya. Walaupun tujuan dari penelitian telah dirumuskan secara tearatur dan logis, namun masalah sosial sering menemukan hal-hal yang berbeda tetapi hal itu merupakan segi yang relevan dan efektif dalam perjalanan proses tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual penelitian ini disusun berdasarkan landasan teori keperawatan Watson’s Theory of Transpersonal yaitu Carative Factor yang dikaitkan dengan penilaian kinerja perawat di rumah sakit serta penelitian yang berhubungan dengan penilaian kinerja. Dalam penyusunan sistem penilaian kinerja perawat peneliti mengacu kepada kegiatan yang dilakukan oleh perawat dengan menggunakan teori caring helping-trust relationship yaitu melihat bagaimana hubungan antara kepala ruangan dengan perawat pelaksana, teman sejawat, supervisor. Selain menggunakan teori Watson, peneliti menggunakan konsep penyusunan sistem penilaian kinerja yang terdiri atas deskripsi kerja perawat, standar asuhan keperawatan, dan standar kompetensi keperawatan. Peneliti juga menggunakan hasil penelitian yang berhubungan dengan masalah-masalah yang muncul dalam penelitian penilaian kinerja. Sistem penilaian kinerja perawat dikembangkan dengan menggunakan metode penelitian action research dan hasil penelitian ini diharapkan akan meningkatkan pengetahuan perawat akan penilaian kinerja, meningkatkan kepuasan perawat dan kepuasan pasien dan meningkatkan kemampuan kepala ruangan untuk melakukan penilaian. Adapun kesimpulan dari teori yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dari gambar 2.4.1
Universitas Sumatera Utara
Pengembangan dan penggunaan standar untuk penilaian kinerja
INPUT
Teori Caring “Helping-trust Relationship” 1. 2. 3. 4.
Congruence Emphaty Nonpossesive warmth Effective communication
(Jean Watson, 1979)
1. Standar Kinerja a. Standar Asuhan Keperawatan menurut PPNI 2005 b. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI, 2007) 2. Analisis Kerja 3. Deskripsi Kerja Perawat 4. Evaluasi kerja (Swansburg, 2000)
Masalah penilaian kinerja pada perawat klinis; 1. Masalah pada konteks penilaian kinerja. 2. Masalah pada struktur penilaian kinerja. 3. Proses penilaian 4. Hasil penilaian (Nikpeyma, N., et al, 2013)
PROSES
R
SISTEM PENILAIAN KINERJA PERAWAT TENTATIF
Proses Action Research
O
A
OUTPUT SISTEM PENILAIAN KINERJA PERAWAT Terdiri atas tim, alur, instrumen yang sesuai dengan SKKNI, PPNI dan Deskripsi kerja dan SOP penilaian kinerja
OUT COME
1. Pengetahuan perawat terhadap penilaian kinerja. 2. Tingkat kepuasan Perawat. 3. Tingkat Kepuasan Pasien. 4. Kemampuan Karu dalam melakukan penilaian kinerja.
Gambar 2.4.1. Kerangka Konsep Pengembangan Sistem Penilaian Kinerja Perawat
Universitas Sumatera Utara
P