BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) 2.1.1
Pengertian World Health Organization (WHO) mendefinisikan bahwa bayi baru lahir
yang berat badannya kurang dari 2500 gram disebut bayi berat lahir rendah. Hal ini merupakan indikator penting dari kesehatan bayi karena berhubungan erat dengan morbiditas dan mortalitas bayi. Menurut Pantiawati (2010) definisi bayi berat lahir rendah (BBLR) sebagai berikut: 1. Preterm infant (prematur) atau bayi kurang bulan yaitu bayi dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu (259) hari. 2. Term infant atau bayi cukup bulan yaitu bayi dengan masa kehamilan mulai 37 minggu sampai 42 minggu (259-293 hari). 3. Post term atau bayi lebih bulan yaitu bayi dengan masa kehamilan mulai 42 minggu atau lebih (294 hari atau lebih). Bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan, bayi berat badan lahir sangat rendah (BBLRS) 1000-1500 gram dan berat badan lahir amat sangat rendah (BBLARS) yaitu dengan berat lahir kurang 1000 gram. Secara umum BBLR ini berhubungan dengan usia kehamilan yang belum cukup bulan (prematur) disamping itu juga disebabkan dismaturitas, artinya bayi lahir cukup bulan (usia
13 Universitas Sumatera Utara
kehamilan 38 minggu), tapi berat badan lahirnya lebih kecil ketimbang masa kehamilannya yaitu tidak mencapai 2500 gram. 2.1.2
Klasifikasi Menurut Proverawati dan Ismawati (2010) ada beberapa cara dalam
mengelompokkan bayi BBLR, yaitu : 1. Menurut Harapan Hidupnya a. Bayi berat lahir rendah (BBLR) berat lahir 1500-2500 gram b.Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) berat lahir 1000-1500 gram c. Bayi berat lahir ekstrim rendah (BBLER) berat lahir kurang dari 1000 gram. 2. Menurut Masa Gestasinya a. Prematuritas murni: masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi berat atau biasa disebut neonates kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan (NKB-SMK). b. Dismaturitas: bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk masa gestasi itu. Berat bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri dan merupakan bayi yang kecil untuk masa kehamilannya (KMK). 2.1.3
Masalah-masalah yang Dapat Terjadi Tingkat kematangan fungsi sistem organ neonatus merupakan syarat untuk
dapat beradaptasi dengan kehidupan diluar rahim. Penyakit yang dapat terjadi pada bayi prematur berhubungan dengan belum matangnya fungsi organ-organ tubuhnya. Hal ini berhubungan dengan umur kehamilan saat bayi dilahirkan. Makin muda umur kehamilan, makin tidak sempurna organ-organnya. Konsekuensi dari anatomi dan
Universitas Sumatera Utara
fisiologis yang belum matang, bayi BBLR cenderung mengalami masalah yang bervariasi. Hal ini harus diantisipasi dan dikelola pada masa neonatal. Adapun masalah-masalah yang sering terjadi adalah sebagai berikut: 2.1.3.1 Masalah Jangka Pendek 1. Hipotermia Dalam kandungan, bayi berada pada suhu lingkungan yang normal dan stabil yaitu 36°C sampai dengan 37°C. Segera setelah lahir bayi dihadapkan pada suhu lingkungan yang umumnya lebih rendah. Perbedaan suhu ini memberikan pengaruh pada kehilangan panas tubuh bayi. Selain itu, hipotermi dapat terjadi karena kemampuan untuk mempertahankan panas dan kesanggupan menambah produksi panas sangat terbatas karena pertumbuhan otot-otot yang belum cukup memadai, lemak subkutan yang sedikit, belum matangnya sistem saraf pengatur suhu tubuh, luas permukaan tubuh relatif lebih besar dibanding dengan berat badan sehingga mudah kehilangan panas. Tanda klinis hipotermia adalah suhu tubuh dibawah normal, kulit dingin dan sianosis. 2. Sindrom Gawat Nafas Kesukaran pernafasan dapat disebabkan belum sempurnanya pembentukan membran hialin surfaktan paru yang merupakan suatu zat yang dapat menurunkan tegangan dinding alveoli paru. Pertumbuhan surfaktan paru mencapai maksimum pada minggu ke-35 kehamilan. Defisiensi surfaktan menyebabkan gangguan kemampuan paru untuk mempertahankan stabilitasnya, alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi sehingga untuk pernafasan berikutnya dibutuhkan
Universitas Sumatera Utara
tekanan negatif intratiraks yang lebih besar yang disertai usaha inspirasi yang kuat. Adapun tanda klinis sindrom gawat nafas yaitu pernafasan cepat, sianosis perioral, merintih waktu ekspirasi, retraksi substernal dan interkostal. 3. Hipoglikemia Penyelidikan kadar gula darah pada 12 jam pertama menunjukan bahwa hipoglikemia dapat terjadi sebanyak 50% pada bayi matur. Glukosa merupakan sumber utama energi selama masa janin. Kecepatan glukosa yang diambil janin tergantung dari kadar gula darah ibu karena terputusnya hubungan plasenta dan janin yang menyebabkan terhentinya pemberian glukosa. Bayi aterm dapat mempertahankan kadar gula darah 50-60 mg/dl selama 72 jam pertama, sedangkan bayi berat lahir rendah dalam kadar 40 mg/dl. Hal ini disebabkan cadangan glikogen yang belum mencukupi. Hipoglikemia bila kadar gula darah sama dengan atau kurang dari 20 mg/dl. Tanda klinis hipotermia adalah gemetar atau tremor, sianosis, apatis, kejang, apnea intermiten, tangisan lemah atau melengking, kelumpuhan atau letargi, kesulitan minum, terdapat gerakan putar mata, keringat dingin, hipotermia, gagal jantung dan henti jantung. 4. Perdarahan Intrakranial Pembuluh darah masih sangat rapuh sehingga mudah pecah, perdarahan intracranial dapat terjadi karena trauma lahir, disseminated intravascular coagulopathy atau trombositopenia idiopatik. Matriks germinal epidermal yang kaya pembuluh darah merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap perdarahan selama minggu pertama kehidupan.
Universitas Sumatera Utara
Tanda klinis perdarahan intracranial: a. Kegagalan umum untuk bergerak normal b. Refleks moro menurun atau tidak ada c. Tonus otot menurun d. Letargi e. Pucat dan sianosis f. Apnea g. Kegagalan menetek dengan baik h. Muntah yang kuat i. Tangisan bernada tinggi dan tajam j. Kejang k. Kelumpuhan l. Fontanela mayor mungkin tegang dan cembung m. Pada bagian kecil penderita mungkin tidak ditemukan manifestasi klinik satupun. 5. Rentan terhadap Infeksi Pemindahan substansi kekebalan dari ibu kejanin terjadi pada minggu terakhir masa kehamilan. Bayi mudah menderita infeksi karena imunitas humoral dan seluler masih kurang sehingga bayi mudah menderita infeksi. 6. Hiperbilirubinemia Hal ini dapat terjadi karena belum maturnya fungsi hepar. Kurangnya enzim glukorinil transferase sehingga konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk
Universitas Sumatera Utara
belum sempurna dan kadar albumin darah yang berperan dalam transportasi bilirubin dari jaringan ke hepar kurang. Kadar bilirubin normal 10 mg/dl. Tanda klinis hiperbilirubinemia: a. Sklera, puncak hidung, sekitar mulut, dada, perut dan ekstremitas berwarna kuning. b. Letargi c. Kemampuan mengisap menurun d. Kejang 7. Kerusakan Integritas Kulit Lemak subkutan kurang atau sedikit. Struktural kulit yang belum matang dan rapuh. Sensitivitas yang kurang akan memudahkan terjadinya kerusakan integritas kulit, terutama pada daerah yang sering tertekan dalam waktu lama. Pemakaian plester dapat mengakibatkan kulit bayi lecet atau bahkan lapisan atas ikut terangkat (Pantiawati, 2010). 2.1.3.2 Masalah Jangka Panjang A. Masalah Psikis 1. Gangguan Perkembangan dan Pertumbuhan Pada bayi BBLR pertumbuhan dan perkembangan lebih lambat berkaitan dengan maturitas otak. 2. Gangguan Bicara dan Komunikasi
Universitas Sumatera Utara
Penelitian longitudinal menunjukan perbedaan kecepatan bicara yang menarik antara BBLR dan berat lahir normal. Pada BBLR kemampuan bicaranya akan terlambat dibandingkan berat lahir normal sampai usia 6,5 tahun. 3. Gangguan Neorologi dan Kognisi Luaran jangka panjang BBLRS erat berhubungan dengan usia kehamilan dan kelainan neurologi berbanding terbalik dengan derajat imaturitas bayi (ditinjau dari berat lahir atau masa gestasi). Hal ini juga berlaku untuk kognisi abnormal atau IQ rendah, bayi dengan Berat Badan Lahir Sangat Rendah (BBLSR) yang berhasil melewati masa kritis neonatal tetap beresiko tinggi untuk lambat berkembang dikemudian hari. 4. Gangguan Belajar/ Masalah Pendidikan Sulit menilai untuk negara berkembang karena faktor kemiskinan juga berperan pada kinerja sekolah. Negara maju seperti Eropa menunjukkan bahwa lebih banyak anak BBLR dimasukan kesekolah khusus. 5. Gangguan Atensi dan Hiperaktif Merupakan gangguan neurologi, gangguan ini lebih banyak terjadi pada anak laki-laki dari pada perempuan. Lebih banyak pada anak dengan berat lahir < 2041 gram. Sering disertai dengan gejala ringan dan perubahan perilaku, paling sering disertai gangguan disfungsi integrasi sensori.
Universitas Sumatera Utara
B. Masalah Fisik 1. Penyakit Paru Kronis Keadaan ini dapat disebabkan karena infeksi, kebiasaan ibu merokok selama kehamilan dan radiasi udara di lingkungan. 2. Gangguan Penglihatan Sering kali dikeluhkan gangguan penglihatan meskipun telah diberikan oksigen terapi terkendali. Biasanya retinopathy of prematurity (ROP) ini menyerang bayi BBLR dengan BB<1500 gram dan masa gestasi <30 minggu. Bayi bisa mengalami kebutaan. 3. Kelainan Bawaan (Kelainan Congenital) Kelainan bawaan adalah suatu kelainan pada struktur, fungsi maupun metabolisme tubuh yang ditemukan pada bayi ketika ia dilahirkan. Cacat bawaan lebih sering ditemukan pada bayi BBLR dari pada bayi lahir hidup lainnya. Sekitar 3-4% bayi baru lahir memiliki kelainan bawaan yang berat. Angka kejadian cacat bawaan meninggi pada bayi sesuai masa kehamilan (SMK) dan kecil masa kehamilan (KMK), sedangkan kejadian yang paling tinggi adalah pada bayi dengan pertumbuhan intrauteri yang terlambat. Penyebab terjadinya kasus kelainan bawaan 60% tidak diketahui, sedangkan sisanya disebabkan oleh lingkungan atau genetik atau kombinasi dari kedua faktor tersebut. Secara umum kelainan struktur dan kelainan metabolisme terjadi akibat hilangnya bagian tubuh tertentu, kelainan pembentukan bagian tubuh tertentu, kelainan bawaan pada kimia tubuh.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4
Manifestasi Klinis Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Menurut Proverawati dan Ismawati (2010), secara umum gambaran klinis dari
BBLR adalah sebagai berikut: 1. Berat kurang dari 2500 gram 2. Panjang kurang dari 45 cm 3. Lingkar dada kurang dari 30 cm 4. Lingkar kepala kurang dari 33 cm 5. Umur kehamilan kurang dari 37 minggu 6. Kepala lebih besar 7. Kulit tipis, transparan, rambut lanugo banyak, lemak kurang 8. Otot hipotonik lemah 9. Pernapasan tidak teratur dapat terjadi apnea 10. Ekstremitas: paha abduksi, sendi lutut/ kaki fleksi lurus 11. Kepala tidak mampu tegak 12. Pernapasan 40-50 kali/ menit 13. Nadi 100-140 kali/ menit. 2.1.5
Penatalaksanaan
A. Mempertahankan Suhu Tubuh Bayi Bayi dengan berat badan lahir rendah, dirawat di dalam inkubator. Inkubator yang modern dilengkapi dengan alat pengatur suhu dan kelembaban agar bayi dapat mengatur suhu tubuhnya yang normal, alat oksigen yang dapat diatur, serta kelengkapan lain untuk mengurangi kontaminasi bila inkubator dibersihkan.
Universitas Sumatera Utara
Kemampuan bayi BBLR dan bayi sakit untuk hidup lebih besar bila mereka dirawat pada suhu lingkungan yang netral. Suhu ini ditetapkan dengan mengatur suhu permukaan yang terpapar radiasi, kelembaban relatif, dan aliran udara sehingga produksi panas sesedikit mungkin dan suhu tubuh bayi dapat dipertahankan dalam batas normal (Proverawati dan Ismawati, 2010). Menurut Hidayat (2008), cara perawatan bayi dalam inkubator adalah sebagai berikut : a. Inkubator Tertutup 1. Inkubator harus selalu tertutup dan hanya dibuka apabila dalam keadaan tertentu seperti apnea, dan apabila membuka inkubator usahakan suhu bayi tetap hangat dan oksigen harus selalu disediakan. 2. Tindakan perawatan dan pengobatan diberikan melalui hidung. 3. Bayi harus dalam keadaan telanjang (tidak memakai pakaian) untuk memudahkan observasi. 4. Pengaturan panas disesuaikan dengan berat badan dan kondisi tubuh. 5. Pengaturan oksigen selalu diobservasi. 6. Inkubator harus ditempatkan pada ruangan yang hangat kira-kira dengan suhu 27°C. b. Inkubator Terbuka 1. Pemberian inkubator dilakukan dalam keadaan terbuka saat pemberian perawatan pada bayi.
Universitas Sumatera Utara
2. Menggunakan lampu pemanas untuk memberikan keseimbangan suhu normal dan kehangatan. 3. Membungkus dengan selimut hangat. 4. Dinding keranjang ditutup dengan kain atau yang lain untuk mencegah aliran udara. 5. Kepala bayi harus ditutup karena banyak panas yang hilang melalui kepala. B. Pengaturan dan Pengawasan Intake Nutrisi Pengaturan dan pengawasan intake nutrisi dalam hal ini adalah menentukan pilihan susu, cara pemberian dan jadwal pemberian yang sesuai dengan kebutuhan bayi BBLR. Air susu ibu (ASI) adalah pilihan pertama jika bayi mampu mengisap. ASI juga dapat dikeluarkan dan diberikan pada bayi yang tidak cukup mengisap. Bila faktor mengisapnya kurang maka ASI dapat diperas dan diminumkan dengan sendok perlahan-lahan atau dengan memasang sonde kelambung. Permulaan cairan yang diberikan sekitar 200 cc/kgBB/hari. Jika ASI tidak ada atau tidak mencukupi khususnya pada bayi BBLR dapat digunakan susu formula yang komposisinya mirip ASI atau susu formula khusus bayi BBLR. Cara pemberian makanan bayi BBLR harus diikuti tindakan pencegahan khusus untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan masuknya udara dalam usus. Pada bayi dalam inkubator dengan kontak yang minimal, tempat tidur atau kasur inkubator harus diangkat dan bayi dibalik pada sisi kanannya. Sedangkan pada bayi lebih besar dapat diberikan makan dalam posisi dipangku.
Universitas Sumatera Utara
Pada bayi BBLR yang lebih kecil, kurang giat mengisap dan sianosis ketika minum melalui botol atau menetek pada ibunya, makanan diberikan melalui Naso Gastric Tube (NGT). Jadwal pemberian makanan disesuaikan dengan kebutuhan dan berat badan bayi BBLR. Pemberian makanan interval tiap jam dilakukan pada bayi dengan berat badan lebih rendah. C. Pencegahan Infeksi Infeksi adalah masuknya bibit penyakit atau kuman kedalam tubuh, khususnya mikroba. Infeksi terutama disebabkan oleh infeksi nosokomial. Rentan terhadap infeksi ini disebabkan oleh kadar immunoglobulin serum pada bayi BBLR masih rendah, aktivitas bakterisidal neotrofi, efek sitotoksik limfosit juga masih rendah dan fungsi imun belum berpengalaman. Infeksi lokal bayi cepat menjalar menjadi infeksi umum. Tetapi diagnosis dini dapat ditegakkan jika cukup waspada terhadap perubahan kelainan tingkah laku bayi. Perubahan tersebut antara lain: malas menetek, gelisah, letargi, suhu tubuh meningkat, frekuensi pernafasan meningkat, muntah, diare, dan berat badan mendadak turun. Bayi BBLR tidak boleh kontak dengan penderita infeksi dalam bentuk apapun. Digunakan masker dan baju khusus dalam penanganan bayi, perawatan luka tali pusat, perawatan mata, hidung, kulit, tindakan aseptis dan antiseptic alat-alat yang digunakan, isolasi pasien, jumlah pasien dibatasi, rasio perawat pasien ideal, mengatur kunjungan, menghindari perawatan yang terlalu lama, mencegah timbulnya asfiksia dan pemberian antibiotik yang tepat.
Universitas Sumatera Utara
D. Penimbangan Berat Badan Perubahan berat badan mencerminkan kondisi gizi atau nutrisi bayi dan erat kaitannya dengan daya tahan tubuh, oleh sebab itu penimbangan berat badan harus dilakukan dengan ketat. E. Pemberian Oksigen Ekspansi paru yang buruk merupakan masalah yang serius bagi bayi BBLR, akibat tidak adanya alveoli dan surfaktan. Konsentrasi oksigen yang diberikan sekitar 30-35% dengan menggunakan head box, konsentrasi oksigen yang tinggi dalam masa yang panjang akan menyebabkan kerusakan pada jaringan retina bayi yang dapat menimbulkan kebutaan. F. Pengawasan Jalan Nafas Bayi BBLR berisiko mengalami serangan apneu dan defisiensi surfaktan, sehingga tidak dapat memperoleh oksigen yang cukup yang sebelumnya diperoleh melalui plasenta. Dalam kondisi seperti ini diperlukan pembersihan jalan nafas segera setelah lahir, dibaringkan pada posisi miring, merangsang pernafasan dengan menepuk atau menjentik tumit. Bila tindakan ini gagal, dilakukan ventilasi, intubasi endotrakheal, pijatan jantung dan pemberian oksigen dan selama pemberian intake dicegah terjadinya aspirasi. Dengan tindakan ini dapat dicegah sekaligus mengatasi asfiksia sehingga memperkecil kematian BBLR.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi BBLR 2.2.1 Faktor Gizi 1. Penambahan Berat Badan Selama Hamil Dalam masa kehamilan, kebutuhan zat-zat gizi meningkat. Hal ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tumbuh kembang janin, pemeliharaan kesehatan ibu, dan persediaan laktasi baik untuk ibu maupun janin. Kenaikan berat badan selama hamil adalah sekitar 10-12 kg, dengan asumsi kenaikan trimester I kurang dari 1 kg, trimester II sekitar 3 kg, dan trimester III sekitar 6 kg (Proverawati, 2011). Menurut penelitian Usman (2013) di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan dan Rumah Sakit Sundari Medan menunjukkan bahwa kenaikan berat badan ibu pada trimester I rata-rata sekitar 1 kg pada kelompok umur 20-35 tahun. Pada trimester II kenaikan berat badan ibu berdasarkan kelompok umur relatif sama yaitu sekitar 5 kg. Pada trimester III kenaikan berat badan ibu paling tinggi pada kelompok umur 20-35 tahun yaitu rata-rata 5,75 kg. Menurut penelitian Yuliva, et. al (2009) di Rumah Sakit Umum Pusat DR. M. Djamil Padang, pada variabel kenaikan berat badan ibu menunjukkan hubungan yang kurang kuat dengan berat lahir bayi (r=0,326) dan berpola positif artinya semakin besar kenaikan berat badan ibu maka semakin berat bayi yang akan dilahirkan. Hasil uji statistik didapatkan hubungan yang signifikan antara kenaikan berat badan ibu dengan berat lahir bayi (p=0,000).
Universitas Sumatera Utara
2. Tablet Zat Besi Selama kehamilan terjadi pembentukan sel-sel yang luar biasa banyaknya, disertai penambahan volume darah. Semua zat gizi berperan dalam proses ini, namun kebutuhan akan asam folat (vitamin B11), kobalamin (vitamin B12), besi, dan seng memerlukan perhatian secara khusus karena memiliki peran yang sangat penting dalam sintesis DNA, RNA, dan sel-sel baru. Sumber besi adalah makanan hewani seperti hati, daging, ayam, ikan, dan telur. Makanan nabati seperti serealia, kacangkacangan dan hasil olahnya serta sayuran hijau (Almatsier, et.al, 2011). Zat besi merupakan mikro elemen yang esensial bagi tubuh yang diperlukan untuk hemopoesis, juga untuk metabolisme protein, pertumbuhan tulang, daya tahan tubuh dan mencegah kelelahan. Selama hamil kebutuhan akan zat besi bertambah. Zat besi bagi wanita hamil yang tidak anemia adalah 30 mg ferosus mulai 12 minggu kehamilan. Pada wanita hamil dengan anemia defisiensi zat besi diberikan 60-120 mg/hari. Ibu hamil yang mendapatkan asupan zat gizi cukup pada masa kehamilannya, akan memberkan cadangan zat besi pada bayinya untuk kurun waktu 3 bulan setelah kelahiran (Indrayani, 2011). 2.2.2
Merokok, Minum Kopi, Minum Teh
1. Merokok Ibu yang merokok selama kehamilan sering mengandung bayi lebih kecil dari pada yang tidak merokok. Ibu yang merokok mempunyai angka lebih besar terhadap ketidakberhasilan kehamilan karena meningkatnya kematian perinatal. Efek tembakau dapat menyebabkan berat plasenta yang rendah, abortus spontan, malforasi
Universitas Sumatera Utara
Kongenital, masalah pernafasan pada bayi baru lahir dan bayi. Ibu hamil merokok sering melahirkan janin yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan. Hal ini berkaitan dengan pengaruh penyebaran karbonmonoksida (CO), nikotin, dan ikatanikatan lain yang terdapat dalam rokok serta transpor oksigen didalam janin. Selain itu ada kemungkinan penggunaan energi makanan yang tidak efisien pada ibu hamil yang merokok. Ibu hamil merokok kurang dari enam batang sehari akan melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR) 41% lebih tinggi dari pada ibu hamil yang tidak merokok (Almatsier, et.al, 2011). Menurut Wibowo (1992) yang mengutip pendapat Atriyanto (2006) merokok saat hamil berhubungan dengan turunnya berat badan bayi saat lahir, dan penurunannya proporsional dengan jumlah rokok yang dihisap. Penelitian di Montreal dan Puerto Rico mendapatkan bahwa ibu dengan kebiasaan merokok < 10 batang per hari berisiko melahirkan bayi BBLR 1,64 kali lebih besar dibandingkan ibu yang tidak merokok, dan pada ibu yang merokok 10-19 batang per hari risiko melahirkan bayi BBLR meningkat menjadi 2,39 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak merokok saat kehamilannya. 2. Minum Kopi Kopi dapat menyebabkan detak jantung dan metabolisme pada tubuh ibu, yang dapat menimbulkan stress yang nantinya mengganggu perkembangan janin. Kopi juga dapat menyebabkan insomnia, mudah gugup, sakit kepala, merasa tegang dan lekas marah. Kafein berdampak pada janin karena dapat masuk kedalam peredaran darah janin melalui plasenta, dampaknya yaitu keguguran, berat lahir
Universitas Sumatera Utara
rendah, sindrom kematian bayi mendadak (SIDS), detak jantung meningkat. Dianjurkan agar ibu hamil membatasi minuman yang mengandung kafein seperti kopi, teh, cola dan minuman ringan lainnya. Sebuah penelitian menunjukan bahwa sedikitnya dua cangkir dapat berisiko keguguran dua kali lipat. Ibu yang mengkonsumsi 71-140 mg melahirkan bayi dengan berat seperempat lebih kecil, jika mengkonsumsi lebih dari 4 cangkir kopi setiap hari dapat menyebabkan Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) (Indrayani, 2011). 3. Minum Teh Teh dikenal sebagai tanaman yang dikenal memiliki banyak manfaat, mulai dari minuman yang segar dan untuk pengobatan. Teh adalah minuman yang mengandung kafein, sebuah infusi yang dibuat dengan cara menyeduh daun, pucuk daun, atau tangkai daun yang dikeringkan dari tanaman camellia sinensis dengan air panas. Teh merupakan sumber alami kafein. Selain zat tanin teh juga mengandung kafein sekitar 3 % dari berat kering atau 40 mg per cangkir. Kafein tidak hanya terdapat dalam kopi melainkan juga terdapat pada teh, cokelat, minuman bersoda, dan minuman berenergi yang banyak disukai karena menimbulkan rasa segar dan menghilangkan rasa mengantuk (Manganti, 2011). Teh berbahaya bagi ibu hamil karena beberapa zat yang terkandung dalam teh menyerap zat yang dibutuhkan oleh ibu hamil untuk janinnya dan memberikan efek negatif terhadap kondisi bayi. Seorang ibu hamil membutuhkan suplai gizi yang tinggi baik untuk metabolisme diri sendiri dan untuk asupan gizi janin. Terlalu banyak mengkonsumsi teh dapat menyebabkan kelainan zat tanin. Terlalu banyak zat
Universitas Sumatera Utara
tanin akan bersenyawa dengan zat besi dan membentuk sebuah komponen yang tidak dapat diserap oleh tubuh. Dikhawatirkan ibu yang mengkonsumsi banyak teh ketika hamil akan menderita anemia baik ibu maupun bayinya. Selain itu, teh juga memiliki zat yang mampu memblokir protein, sedangkan protein sangat dibutuhkan oleh ibu hamil dan janinnya (Indrayani, 2011). 2.2.3
Faktor Antenatal Care (ANC)
1. Kunjungan Antenatal Pertama Waktu terbaik untuk melakukan kunjungan awal pada kehamilan adalah saat wanita tersebut merasakan bahwa dirinya kemungkinan hamil. Biasanya terjadi pada sepuluh minggu kehamilan. Adapun tujuannya adalah untuk mempersiapkan ibu hamil dan keluarganya terhadap kehamilannya, persalinan dan nifas termasuk laktasi, perawatan bayi baik dari segi fisik, psikologi, spiritual dan sosial sebagai suatu hal yang dipandang secara holistik (Indrayani, 2011). 2. Kuantitas Kunjungan Kunjungan antenatal sebaiknya dilakukan paling sedikit 4 kali selama dua kali pada triwulan ketiga. 3. Kualitas Pelayanan Menurut penelitian Wibowo (1992) bahwa kualitas pelayanan antenatal yang paling baik baru mencapai 34,5% dan yang paling buruk mencapai 18 %. Dalam hal ini hanya 34,5 % ibu hamil yang mendapatkan pelayanan yang kuantitas dan kualitasnya sesuai dengan harapan minimal dalam pedoman pelayanan antenatal
Universitas Sumatera Utara
care. Pemanfaatan pelayanan antenatal yang berkualitas secara bermakna mampu membantu menurunkan kejadian BBLR sebanyak 2,05 kali. Pelayanan antenatal yang berkualitas meliputi: pelayanan kepada ibu hamil minimal 4 kali, 1 kali pada trimester I, 1 kali pada trimester II, dan 2 kali pada trimester III untuk memantau keadaan ibu dan janin dengan seksama, sehingga dapat mendeteksi secara dini dan dapat memberikan intervensi secara cepat dan tepat, melakukan penimbangan berat badan ibu hamil dan pengukuran lingkar lengan atas secara teratur mempunyai arti klinis penting karena ada hubungan yang erat antara pertambahan berat badan selama kehamilan dan berat badan lahir anak, melakukan pengukuran tekanan darah harus dilakukan secara rutin dengan tujuan deteksi dini terjadinya komplikasi, pengukuran tinggi fundus uteri dengan tujuan mendeteksi secara dini terhadap berat badan janin, molahidatidosa, janin ganda dan hidramnion, melakukan palpasi abdominal setiap kali kunjungan, pemberian imunisasi tetanus toxoid, pemeriksaan HB pada kunjungan pertama dan pada trimester III, memberikan tablet zat besi sebanyak 90 tablet, pemeriksaan urin jika ada indikasi, memberikan penyuluhan tentang perawatan diri, membicarakan tentang persalinan kepada ibu hamil, suami/ keluarga pada trimester III, tersedianya alat-alat pelayanan kehamilan dalam keadaan baik dan dapat digunakan, obat-obatan yang diperlukan, dan mencatat semua temuan dalam KMS (Mufdlilah, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Landasan Teori Menurut Kramer (1987) yang dikutip dari Bulletin of the World Health Organization, ada 43 determinan bayi berat lahir rendah yaitu : 1.
Faktor genetik meliputi : jenis kelamin, ras/etnis asal, tinggi badan ibu, berat badan ibu sebelum hamil, tekanan darah ibu, tinggi badan dan berat badan ayah, faktor genetik yang lain.
2.
Faktor demografi dan psikososial meliputi: umur ibu, status sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan dan pendapatan), faktor psikologi ibu.
3.
Faktor obstetrik meliputi: paritas, jarak kelahiran, aktivitas seksual pada trimester III, Intra Uteri Growth Retardation (IUGR), riwayat abortus sebelumnya, abortus yang disengaja, riwayat kehamilan sebelumnya, penggunaan obat dietylbestrol (obat hipertensi).
4.
Faktor gizi meliputi: penambahan berat badan selama hamil, intake kalori, aktifitas fisik, intake protein, zat besi, folid acid dan vitamin B12, zink, kalsium, pospor dan vitamin D, vitamin lainnya.
5.
Keadaan kesehatan ibu selama hamil meliputi: keadaan kesehatan umum, malaria, infeksi saluran kemih, infeksi alat genetalia.
6.
Terpapar zat meliputi: merokok, konsumsi alkohol, konsumsi kafein dan kopi, penggunaan ganja, jenis narkotik lainnya, penggunaan obat-obatan lainnya.
7.
Antenatal Care (ANC) meliputi: kunjungan antenatal pertama, kuantitas kunjungan, kualitas pelayanan.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Kerangka Konsep Variabel Independen - Faktor Gizi 1. Penambahan berat badan selama hamil 2. Tablet zat besi
Variabel Dependen
1. Merokok 2. Minum kopi 3. Minum teh
Kejadian BBLR
- Antenatal care 1. Kunjungan antenatal pertama 2. Kuantitas kunjungan 3. Kualitas pelayanan
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan kerangka konsep di atas bahwa dalam penelitian ini variabel dependen yang diteliti adalah kejadian BBLR dan variabel independen yang diteliti adalah faktor gizi (penambahan berat badan selama hamil, tablet zat besi), merokok, minum kopi, minum teh) dan faktor antenatal care (kunjungan antenatal pertama, kuantitas kunjungan, kualitas pelayanan), sedangkan variabel lain tidak ditemukan adanya masalah di tempat penelitian.
Universitas Sumatera Utara