BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Strategi Pembelajaran
1) Pengertian Strategi Pembelajaran Secara bahasa, strategi bisa diartikan sebagai siasat, kiat, trik atau cara. Secara umum strategi ialah suatu garis besar haluan dalam bertindak untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan (Faturrohman, P. dan Sutikno, S, 2007). Dalam dunia pendidikan strategi diartikan sebagai a plan, method or series of activities designed to achieves a particular educational goal (J. R. David, 1976 dalam Sanjaya, 2007). Menurut Kemp (1995 dalam Sanjaya, 2007), strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Selain itu juga, strategi dapat diartikan sebagai suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa (Dick & Carey dalam Sanjaya, 2007). Sesuai dengan pengertian-pengertian yang telah disebutkan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa strategi merupakan pola umum kegiatan guru murid dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang digariskan.
9
10
Suatu
strategi
pembelajaran
disusun
sesuai
dengan
tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan. Strategi yang juga merupakan a plan of operation of achieving something disusun bergantung pada pendekatan yang digunakan.
Untuk
melaksanakan
strategi
dibutuhkan
suatu
metode
pembelajaran. Sesuai dengan pengertiannya, strategi pembelajaran dapat diterapkan dengan sebuah perencanaan yang matang sebelum pelaksanaan proses belajar-mengajar. Proses belajar-mengajar merupakan perpaduan antara belajar dan mengajar. Proses ini merupakan proses yang direncanakan oleh guru sehingga terjadi interaksi komunikasi aktif antara siswa dengan guru. Proses belajar mengajar merupakan suatu siklus yang dapat dilihat pada Gambar 2.1. Pengalaman belajar
Perencanaan
Observasi
Refleksi
Gambar 2.1 Siklus Proses Belajar Mengajar
Berdasarkan gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu proses belajar-mengajar meliputi empat tahap yang saling berkaitan yaitu tahap perencanaan pembelajaran, tehap pemberian pengalaman belajar dan observasi serta tahap refleksi. Menurut Arifin (2003) rencana pembelajaran merupakan langkah awal dari suatu manajemen pembelajaran yang berisi kebijakan strategik tentang pelaksanaan pembelajaran yang akan dilakukan.
11
2) Jenis-jenis Strategi Pembelajaran Rowntree (1974 dalam Sanjaya, 2007) mengelompokkan strategi kedalam empat macam yaitu strategi exposition learning, strategi discovery learning, strategi groups learning dan strategi individual learning. a. Strategi exposition, dalam strategi ini bahan pelajaran disajikan kepada siswa secara langsung. Artinya siswa menerima bahan pelajaran dalam bentuk jadi dan dituntut untuk menguasai bahan tersebut. Dalam strategi ini, siswa tidak dituntut mengolah bahan pelajaran yang disajikan sehingga proses berpikir siswa kurang dilatih. Guru berfungsi sebagai penyampai informasi. b. Strategi discovery, strategi ini menuntut siswa untuk mencari dan menemukan sendiri konsep yang dipelajari melalui berbagai aktivitas. Oleh karena itu, guru lebih banyak berfungsi sebagai fasilitator dan pembimbing bagi siswanya. c. Strategi groups, strategi ini dilakukan oleh kelompok siswa. Bentuk kelompok bisa dalam kelompok besar (pembelajaran klasikal) atau bisa juga siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil. Strategi kelompok tidak memperhatikan kecepatan belajar individu. Kemampuan individu dianggap sama. Oleh karena itu, belajar dalam kelompok dapat terjadi siswa yang memiliki kemampuan kurang akan merasa tergusur oleh siswa yang memiliki kemampuan tinggi. d. Strategi individual, strategi ini dilakukan oleh siswa secara mandiri. Kecepatan, kelambatan, dan keberhasilan pembelajaran siswa sangat
12
ditentukan oleh kemampuan individu siswa yang bersangkutan. Bahan pelajaran serta bagaimana cara mempelajarinya didesain untuk belajar sendiri. Ditinjau dari cara penyajian dan cara pengolahannya, strategi pembelajaran juga dapat dibedakan menjadi strategi pembelajaran induktif dan strategi pembelajaran deduktif. Strategi pembelajaran induktif adalah strategi pembelajaran yang dilakukan dengan mempelajari konsep-konsep terlebih dahulu untuk kemudian dicari kesimpulan dan ilustrasi-ilustrasi. Strategi ini juga disebut strategi pembelajaran dari khusus ke umum. Sebaliknya, pada strategi pembelajaran deduktif bahan yang dipelajari dimulai dari teori yang dibangun dengan dasar logis dan kemudian diuji berkali-kali melalui eksperimen yang sifatnya ditentukan oleh teori tersebut. Strategi ini kerap dinamakan strategi pembelajaran dari umum ke khusus. Setiap strategi memiliki kekhasan sendiri-sendiri. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh killen (1998, dalam Sanjaya, 2007): ”No teaching strategy is better than others in all circumtances, so you have to be able to use a variety of teaching strategies and make rational decisions about when each of the teaching strategies is likely to most effective”. Dalam pemilihan strategi pembelajaran untuk siswa SMA, diperlukan beberapa pertimbangan. Beberapa pertimbangan yang dapat digunakan yaitu: a. Pertimbangan yang berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai. (1) Apakah tujuan pembelajaran yang ingin dicapai berkenaan dengan aspek kognitif, afektif atau psikomotor?
13
(2) Bagaimana kompleksitas tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, apakah tingkat tinggi atau rendah? (3) Apakah untuk mencapai tujuan itu memerlukan keterampilan akademis? b. Pertimbangan yang berhubungan dengan bahan atau materi pembelajaran. (1) Apakah materi pelajaran itu berupa fakta, konsep, hukum atau teori tertentu? (2) Apakah untuk mempelajari materi pembelajaran itu memerlukan prasyarat tertentu atau tidak? (3) Apakah tersedia buku-buku sumber untuk mempelajari materi itu? c. Pertimbangan dari sudut siswa. (1) Apakah strategi pembelajaran sesuai dengan tingkat kematangan siswa? (2) Apakah strategi pembelajaran itu sesuai dengan minat, bakat, dan kondisi siswa? (3) Apakah strategi pembelajaran itu sesuai dengan gaya belajar siswa? d. Pertimbangan-pertimbangan lainnya. (1) Apakah untuk mendapat tujuan hanya cukup dengan satu strategi saja? (2) Apakah strategi itu memiliki nilai efektivitas dan efisiensi?
14
B. Representasi Kimia Representasi
adalah
perbuatan
mewakili,
keadaan
mewakili,
perwakilan (KBBI, 2002). Para peneliti dan pendidik dalam bidang kimia telah menyepakati tiga level representasi kimia, yakni level makroskopik, mikroskopik dan simbolik (Gabel 1998; Gabel, Samuel dan Hunn, 1987; Johnstone, 1982,1993 dalam Wu, 2002). Level makroskopik merupakan representasi dari fenomena kimia termasuk pengalaman sehari-hari siswa yang dapat diamati. Level mikroskopik merupakan representasi dari partikel sub-mikroskopik nyata yang tidak dapat dilihat secara langsung seperti elektron, molekul dan atom. Sedangkan level simbolik adalah representasi dari fenomena kimia yang menggunakan tanda, gambar, aljabar, dan bentuk perhitungan (Johnstone, 1982 dalam Chittleborough, Treagust, dan Mocerino, 2003). Ketiga level tersebut sangat berkaitan satu sama lain dalam pembelajaran kimia. Seperti yang digambarkan pada Gambar 2.2. (Johnstone, 1982 dalam Chittleborough, Treagust, dan Mocerino, 2003). Makroskopik (sesuatu yang dapat dilihat, dicium, di dengar, dan dirasakan)
Mikroskopik (partikel materi seperti elektron, molekul dan atom)
Simbolik (seperti gambar, model, persamaan, rumus, gambar komputer)
Gambar 2.2 Tiga Level Representasi Dalam Kimia
15
Russel, et al. (1997) dan Bowen (1998) menyatakan bahwa untuk dapat memahami ilmu kimia secara konseptual, dibutuhkan kemampuan untuk merepresentasikan dan menerjemahkan masalah dan fenomena kimia tersebut ke dalam bentuk representasi makroskopik, mikroskopik dan simbolik secara simultan. Gejala yang termasuk ke dalam level makroskopis seperti air mendidih merupakan pengalaman sehari-hari siswa. Hal yang dapat diamati dalam peristiwa air mendidih diantaranya ialah munculnya gelembunggelembung dan uap di atas permukaan air. Konsep yang dapat menjelaskan peristiwa terbentuknya uap dan gelembung dapat dijelaskan pada level mikroskopik. Level mikroskopik pada peristiwa ini yakni lepasnya molekul dari fasa cair menjadi fasa gas. Kemudian level simbolik yang merepresentasikan bentuk materi kimia dalam bentuk formula ataupun persamaan reaksi, misalnya proses perubahan fasa dalam peristiwa air mendidih dapat disimbolkan seperti pada Persamaan (2.1). H2O(l)
H2O(g)
(2.1)
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa level mikroskopik dapat diperoleh dari level makroskopik dan bergantung pada pemahaman dan interpretasi siswa terhadap data dan informasi tentang kimia (Chittleborough, Treagust dan Mocerino, 2003). Pernyataan ini didukung oleh Hoffman dan Laazlo (1991) dalam
Wu (2000) yang menyatakan bahwa representasi
mikroskopik kimia dikembangkan dari analogi fenomena dari pengalaman sensori pada level makroskopik.
16
C. Intertekstualitas Kimia Istilah intertekstual mengandung makna pertautan antar teks. Menurut Halliday dan Hassan (1985, dalam Wu, 2002), teks didefinisikan sebagai bahasa fungsional yang dapat berupa ucapan atau tulisan, atau media lain untuk mengekspresikan apa yang kita pikirkan. Berdasarkan perspektif tersebut, Santa Barbara Classroom Discourse Group (1992 dalam Wu, 2002) mengambil kesimpulan bahwa representasi kimia pada level yang berbeda (makroskopik, mikroskopik dan simbolik) dan pengalaman sehari-hari siswa dapat dianggap sebagai sebuah teks. Oleh karena itu hubungan antara representasi kimia dan pengalaman sehari-hari dapat dianggap sebagai hubungan intertekstual (Bloome & Egan-Robertson, 1993 dalam Wu, 2002). Dengan kata lain, intertekstual bukanlah sebuah model, metode maupun pendekatan dalam pembelajaran, melainkan merupakan sebuah strategi agar siswa dapat membangun makna dari berbagai representasi baru (Wu, 2002). Makna sebuah teks dibangun dengan menghubungkan satu teks dengan teks lainnya yang masih relevan. Proses sentral membangun makna dari sebuah teks adalah dengan membuat hubungan silang dengan teks lain yang berbeda (Short, 1992 dalam Wu, 2002). Berdasarkan uraian tersebut, Wu (2002) menyatakan bahwa dalam pengertian ini, representasi kimia harus menjadi lebih mudah dipahami siswa ketika dihubungkan dengan dengan teks lain yang masih relevan yang telah diketahui siswa, termasuk representasi yang telah mereka pelajari lebih dahulu dan pengalaman yang dimiliki (Wu, 2002). Menurut Bloom dan Egan-Robertson (1993 dalam Wu, 2002),
17
konstruksi sosial dari intertekstual terjadi di dalam budaya ideologi yang mempengaruhi teks yang mungkin berdekatan dan bagaimana teks-teks tersebut dapat didekatkan oleh siapapun, dimanapun, dan kapanpun. Orangorang dari komunitas yang berbeda cenderung mempunyai cara yang berbeda untuk membuat hubungan intertekstual diantara beberapa teks.
D. Deskripsi Materi Kenaikan Titik Didih Larutan Sifat koligatif merupakan sifat fisika larutan. Sifat koligatif hanya bergantung pada jumlah zat terlarut relatif terhadap jumlah total zat dan tidak bergantung pada jenis zat terlarut. Sifat koligatif larutan meliputi penurunan tekanan uap, kenaikan titik didih, penurunan titik beku dan tekanan osmotik. Yang menjadi fokus materi dalam penelitian ini adalah kenaikan titik didih larutan. Titik didih adalah suhu saat tekanan uap cairan sama dengan tekanan atmosfer. Adanya zat terlarut sulit menguap (nonvolatil) dapat menyebabkan titik didih larutan lebih tinggi daripada titik didih pelarut murninya. Lebih tingginya titik didih larutan mengindikasikan terjadinya kenaikan titik didih dari pelarut murninya. Kenaikan titik didih larutan dapat dihitung dengan mengurangkan titik didih pelarut murninya dari titik didih larutan. Pernyataan tersebut dapat diungkapkan melalui Persamaan (2.2). ∆Tb = Tb - Tb* keterangan: - ∆Tb = kenaikan titik didih larutan
(2.2)
18
- Tb = titik didih larutan - Tb* = titik didih pelarut murni Keberadaan zat terlarut nonvolatil menurunkan tekanan uap larutan sebab adanya molekul-molekul zat terlarut pada permukaan larutan menurunkan jumlah relatif molekul pelarut yang dapat meninggalkan larutan membentuk fasa uap (menguap). Hal ini mengakibatkan rendahnya tekanan uap larutan pada suhu saat pelarut mendidih. Rendahnya tekanan uap larutan mengakibatkan larutan sukar mendidih, sehingga larutan membutuhkan suhu lebih tinggi agar tekanan uapnya menjadi sama dengan tekanan atmosfer. Untuk larutan nonelektrolit encer, besarnya kenaikan titik didih sebanding dengan konsentrasi larutan (molalitas) sesuai dengan Persamaan (2.3). ∆Tb = m Kb dengan
(2.3) (2.4)
keterangan : - m
= molalitas larutan (mol/kg)
- Kb
= tetapan kenaikan titik didih molal (K kg mol-1)
- ni
= jumlah mol i zat terlarut (mol)
- wA
= massa pelarut (kg) Untuk larutan elektrolit encer ideal, besarnya kenaikan titik didih
sebanding dengan konsentrasi larutan dan faktor van’t Hoff seperti pada Persamaan (2.5). ∆Tb= m Kb i
(2.5)
19
dengan
i
atau
(2.6) i = 1 + (n-1) α
(2.7)
keterangan: - i = Faktor van’t Hoff - n = jumlah ion yang dapat dihasilkan oleh satu satuan rumus senyawa elektrolit - α = derajat ionisasi elektrolit Hubungan tekanan dengan titik didih larutan dalam pelarut air dapat dilihat dari diagram fasa larutan relatif terhadap pelarut.
Gambar 2.3 Diagram Fasa Larutan Relatif Terhadap Pelarut Air
keterangan: - Kurva dengan garis putus-putus (---) untuk larutan - kurva dengan garis penuh (
) untuk pelarut air murni.
20
Diagram fasa larutan relatif terhadap pelarut air menggambarkan kenaikan titik didih dan penurunan titik beku larutan yang menggunakan air sebagai pelarutnya. Dari kedua kurva dapat terlihat titik didih larutan lebih besar daripada titik didih air pada berbagai tekanan dan titik beku larutan lebih rendah daripada titik beku pelarutnya.