BAB 2 LANDASAN TEORI Kehidupan sosial dapat mendorong lahirnya karya sastra. Pengarang dalam proses kreatif menulis dapat menyampaikan ide yang terinspirasi dari lingkungan sekitarnya. Kedua elemen tersebut saling melengkapi dalam pendekatan sosiologi sastra. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa sastra memiliki hubungan timbal balik dengan masyarakatnya. Dapat dikatakan karya sastra tidak terlepas dari konteks sosial, begitu juga sebaliknya. Sastra mempunyai fungsi sosial karena menyiratkan masalah sosial, seperti masalah tradisi, konvensi, norma, simbol, dan mitos (Wellek&Warren, 1989, 109). Berdasarkan hal tersebut, karya sastra dapat dijadikan media komunikasi yang disampaikan secara khas karena menggabungkan daya imajinasi pengarang dengan kenyataan yang ada. Oleh karena itu, terbuka kemungkinan untuk mengaitkan unsur intrinsik yang ada dalam karya sastra dengan keadaan sosial ketika karya diciptakan oleh pengarang. Berdasarkan hal tersebut, pendekatan sosiologi sastra dapat diarahkan pada telaah refleksi sosial sebuah masyarakat. Hal ini berdasarkan isi dari karya sastra yang menyajikan sejumlah peristiwa yang berkaitan dengan keadaan masyarakat saat karya ditulis. Oleh karena itu, sebuah karya sastra dapat membantu pembaca melihat apa yang terjadi di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang. Menurut Laurenson dan Swingewood (1971), terdapat tiga perspektif yang berkaitan dengan pendekatan sosiologi sastra, yaitu pendekatan yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial dan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, pendekatan yang mengungkap sastra sebagai cermin sosial penulisnya, dan pendekatan sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya. Menurut penulis, pendekatan yang cocok dengan penelitian ini adalah pendekatan karya sastra sebagai refleksi situasi sosial sebuah masyarakat. Dalam pandangan penulis, Hamka melalui Didjemput Mamaknja menyampaikan kritik terhadap kekuasaan mamak yang kuat dalam kehidupan kemenakan. Kritik tersebut juga disuarakan oleh kaum muda Minangkabau di Sumatra Thawalib.
12 Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
13
Peristiwa yang sedang terjadi di masyarakat dapat mempengaruhi saat karya sastra ditulis. Refleksi sosial dalam karya sastra dapat diwujudkan dengan berbagai cara, salah satunya dengan memasukkan unsur konflik atau ketegangan yang terjadi di masyarakat saat karya ditulis. Pada tahun 1920—1940, banyak karya sastra yang membahas masalah adat Minangkabau. Kebanyakan tema dari karya sastra beranjak dari gambaran masalah pelaksanaan adat Minangkabau yang tidak sejalan dengan agama Islam saat itu, seperti karya Hamka yang berjudul Didjemput Mamaknja (1930). Karya ini menggambarkan konflik yang terjadi antara mamak dan kemenakan di Minangkabau. Kekuasaan mamak membuat Ramah, kemenakan, tidak dapat berbuat banyak untuk mempertahankan pilihan hidupnya. Selain itu, digambarkan pula kekuasaan mamak melebihi peran suami dalam kehidupan Ramah. Meskipun sempat ada perlawanan dari Ramah, ia tidak berhasil mempertahankan keinginannya. Hal itu menunjukkan bahwa mamak mempunyai kewenangan yang besar dalam hidup kemenakan. Pada masa itu, ditunjukkan ada bagian dari masyarakat Minangkabau yang tidak satu suara dengan adat yang sudah ditetapkan. Melalui karya yang dihasilkannya, Hamka menyampaikan pendapatnya agar didengar dan muncul perubahan dari masyarakatnya. Berdasarkan hal tersebut, pembaca dapat bercermin terhadap apa yang disampaikan dari sebuah karya sastra. Tidak selamanya, kemenangan akan membawa kebahagiaan untuk orang-orang sekelilingnya. Dalam Didjemput Mamaknja, digambarkan mamak sebagai pihak yang menang, sedangkan Ramah dan Musa adalah pihak yang kalah. Keberhasilan mamak membawa kembali Ramah ke kampung mengakibatkan perpecahan dua keluarga dan perceraian Ramah. Berdasarkan hal tersebut, kita sebagai pembaca dapat merasakan adanya gambaran lain dari peristiwa kemenangan tersebut. Penikmat sastra dapat merasakan manfaat keberadaan karya sastra dalam hidupnya. Masyarakat yang membaca karya sastra tersebut dapat melihat dan merasakan situasi yang disampaikan oleh pengarang. Oleh karena itu, sastra mempunyai kedudukan tersendiri dalam masyarakat. Menurut Saini KM (Endraswara, 2008: 83), sastra mempunyai tiga kedudukan dalam kehidupan masyarakat, yaitu pemekatan, penentangan, dan olok-olok. Pertama, karya sastra
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
14
sebagai pemekatan adalah penggambaran kehidupan masyarakat. Penggambaran yang dimaksud bukanlah meniru, melainkan melihat, diambil sarinya, dan diolah sesuai keinginan pengarang. Kedua, karya sastra sebagai penentang adalah perlawanan terhadap keadaan yang ada, seperti pengarang yang tidak setuju dengan kepemimpinan Soeharto pada era Orde Baru menghasilkan sebuah tulisan yang bertema tersebut. Hal itu juga dilakukan oleh Hamka dalam Didjemput Mamaknja. Sebagai pengarang, ia menggunakan tulisan untuk menyampaikan ketidaksetujuan terhadap mamak yang terlalu berkuasa dalam kehidupan kemenakan di Minangkabau. Ketiga, karya sastra sebagai olok-olok, biasanya diwujudkan dengan adanya unsur ironi, paradoks, dan parodi ke dalam karyanya. Hal itu disebabkan pencapaian yang diinginkan oleh pengarang, yaitu menunjukkan kepekaannya terhadap perkembangan zaman. Oleh karena itu, pendekatan sosiologi sastra juga dapat mengaitkan hubungan pengarang dengan kehidupan sosialnya. Pengarang merupakan bagian warga masyarakatnya dalam kehidupan sosial. Tentu saja, ia mempunyai pengalaman ketika bersosialisasi dengan orang lain. Berdasarkan pengalaman tersebut, dapat muncul ide untuk memotretnya melalui karya sastra. Pengarang sebagai pengirim pesan akan menyampaikan situasi melalui cermin dalam teks kepada pembaca sebagai penerima pesan. Salah satu faktor yang berpengaruh dalam pendekatan sosiologi sastra adalah konsep cermin. Dalam konsep tersebut, sastra dianggap sebagai mimesis masyarakat. Dari penciptaan karyanya, pengarang dapat mengambil model nyata di masyarakat sebagai dasar proses kreatif menciptanya. Oleh karena itu, isi dari karya sastra kadang-kadang menggambarkan kebaikan dan keburukan manusia yang ada di masyarakat. Pembaca pun dapat bercermin dengan apa yang sudah dilampauinya dan yang sedang terjadi melalui karya sastra. Konsep cermin juga telah dibicarakan Abrams dalam The Mirror and The Lamp bahwa karya sastra adalah cermin kehidupan masyarakat (Endraswara, 2008: 89). Namun, kita tidak dapat menghilangkan pandangan tentang sastra sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan yang diciptakan oleh
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
15
pengarang. Oleh karena itu, pengarang memiliki kewenangan besar dalam menciptakan karakter si tokoh yang sesuai dengan tema cerita. Hal itulah yang menyebabkan karya sastra tidak dapat dinilai secara utuh sebagai cerminan masyarakat. Di dalamnya terkandung pemikiran pengarang dan apa yang ingin dituangkan dalam tulisannya. Sapardi Djoko Damono juga beranggapan bahwa pendekatan sosiologi sastra dapat menggambarkan sastra sebagai cermin zamannya. Hal itu berdasarkan dari struktur sosial, hubungan kekeluargaan, dan pertentangan kelas yang sering muncul dalam karya sastra. Oleh karena itu, pendekatan sosiologi sastra dapat menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh rekaan dan situasi ciptaan pengarang dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya. Namun, lagi-lagi istilah sastra sebagai cermin zamannya harus digunakan secara tepat karena ada unsur pengarang yang tidak dapat diabaikan. Pengarang tentu mempunyai alasan menciptakan tokoh dan situasi tertentu dalam karyanya. Dalam karya tersebut, pasti tersimpan apa yang ingin disampaikan oleh pengarang, tidak hanya menggambarkan situasi saat karya dihasilkan. Oleh karena itu, kedudukan pengarang dalam suatu karya dalam pendekatan ini menjadi salah satu faktor penting dalam penciptaan suatu karya sastra. Berdasarkan uraian di atas, dapat terlihat adanya keterkaitan isi dari karya sastra dengan situasi sosial saat karya tersebut dihasilkan. Namun, tetap tidak melupakan campur tangan pengarang dalam penciptaan karya sastra tersebut. Selain itu, penciptaan suatu karya sastra juga dapat dipengaruhi faktor lain, seperti pemerintah yang berkuasa, otoritas penerbit, dan keinginan pasar. Berbagai elemen tersebut sangat membantu dalam pendekatan sosiologi sastra karena melihat dari berbagai aspek penciptaan karya sastra. Akan tetapi, dalam penelitian ini, penulis menitikberatkan pada karya sastra itu sendiri. Hal itu berdasarkan potret hubungan mamak dan kemenakan yang cukup kuat dalam Didjemput Mamaknja. Situasi dan konflik yang diciptakan Hamka juga menegaskan bahwa ada reaksi lain mengenai hubungan mamak dan kemenakan di Minangkabau saat itu. Persoalan-persoalan itu yang akan dibahas dalam penelitian ini.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
16
Oleh karena itu, penulis meminjam pemikiran Sapardi Djoko Damono dalam penelitian ini. Menurut Damono (2002), sosiologi sastra berasal dari dua ilmu yang berbeda, yaitu sosiologi dan sastra. Sosiologi adalah telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial. Seperti halnya sosiologi, sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat; usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat. Perbedaan yang ada antara keduanya adalah sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan sastra menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya (Damono, 2002: 9—10). Hamka sebagai bagian masyarakat Minangkabau berusaha mengubah pandangan tentang hubungan mamak dan kemenakan yang berlangsung pada masa itu. Ia menginginkan peran mamak terhadap kehidupan kemenakan dapat berjalan sesuai falsafah adat Minangkabau yang sebenarnya. Menurut penulis, dalam novelnya tersebut, Hamka berangkat dari peristiwa nyata karena ia dibesarkan di Sumatera Barat. Selain itu, ia turut serta saat terjadi pertentangan mengenai adat Minangkabau yang dianggap tidak sejalan dengan agama Islam di Sumatra Thawalib. Oleh karena itu, pengarang dalam karyanya dapat mengangkat benturan atau konflik yang pernah dialaminya sendiri. Sebagai pengarang, Hamka mempunyai tujuan tertentu membahas masalah tersebut dalam Didjemput Mamaknja. Tidak dapat disimpulkan bahwa tujuannya hanya untuk menggambarkan situasi hubungan mamak dan kemenakan saat itu. Penulis melihat Didjemput Mamaknja sebagai media Hamka mengubah pandangan tentang kekuasaan mamak yang terlalu kuat kepada kemenakannya. Pandangannya tersebut diperkuat dari pengalaman hidup dan latar belakang pendidikannya. Hal itu berkaitan dengan pemikiran Damono mengenai adanya hubungan tokoh-tokoh khayalan yang diciptakan pengarang dengan keadaan masyarakat yang menjadi akarnya. Penulis ingin menunjukkan bahwa ada seorang bagian masyarakat Minangkabau yang tidak setuju dengan kekuasaan mamak dalam mengatur rumah tangga kemenakan. Selain itu, ditunjukkan perubahan yang
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
17
diinginkan Hamka dalam memandang peran suami dan mamak pada suatu rumah tangga. Ternyata, pandangan yang disampaikan Hamka dalam Didjemput Mamaknja sudah menunjukkan kesamaan dengan kehidupan masyarakat Minangkabau pada masa kini. Saat ini, masyarakat Minangkabau sudah menempatkan suami sebagai kepala keluarga, bukan mamak lagi.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009