BAB 2 KERANGKA TEORETIS
Museum kota dapat disebut sebagai jenis museum yang relatif muncul lebih akhir. Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa perkembangan permuseuman, khususnya tentang museum kota tidak seiring dengan perkembangan jenis museum lain di Indonesia. Direktorat Museum sebagai lembaga pemerintah yang mengurus bidang permuseuman misalnya kurang memberi perhatian terhadap perkembangan museum kota di Indonesia. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah tidak adanya sebuah kebijakan khusus tentang pedoman pelaksanaan pengelolaan museum kota sebagaimana telah diterbitkannya sebuah kebijakan tentang pengelolaan museum situs cagar budaya. Sebelum pemahaman tentang konsep tematik pameran museum kota sebagaimana fokus permasalahan pada penelitian ini terlebih dahulu diuraikan tentang konsep museum kota. Uraian tentang konsep museum kota dibagi atas empat, yaitu: sejarah perkembangan museum kota, pengertian dan kerangka kerja museum kota, peran museum kota, dan contoh konsep tematik yang dikembangkan pada museum kota di luar negeri. Diharapkan dari keempat uraian tersebut dapat menghasilkan sebuah kesimpulan tentang unsur tema pameran yang dapat ditampilkan oleh museum kota. Kerangka teoretis ini diakhiri dengan sebuah kesimpulan tentang konsep tematik pameran museum, serta pembahasan tentang konsep penyajian pameran. 2.1 Konsep Museum Kota Dalam perkembangannya museum kota tidak terlepas dari perkembangan jenis museum lain pada umumnya. Konsep museum kota itu sendiri berkembang terus menerus sehingga berperan sangat signifikan bagi kota itu sendiri. Oleh karena itu, perlu pemahaman tentang sejarah perkembangan museum kota, pengertian dan kerangka kerja museum kota, pembahasan tentang peran museum kota, serta contoh konsep tematik pameran yang dikembangkan oleh museum kota
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
22
yang ada di luar negeri. Uraian berikut ini dibagi atas empat pokok pembahasan tersebut.
2.1.1 Sejarah Perkembangan Konsep Museum Kota Pada abad ke-19 hingga abad ke-20, museum-museum baru banyak didirikan di belahan dunia. Pendirian museum-museum baru ini tidak terlepas dari timbulnya kesadaran akan pentingnya pelestarian warisan budaya dan alam serta tingginya tingkat keingintahuan masyarakat terhadap masa lalu. Pada tahun 1808 di British Museum misalnya terjadi peningkatan pembatasan jumlah pengunjung dari sebelumnya hanya 6 orang perhari menjadi 120 orang perhari. Selanjutnya, pada tahun 1810 setiap orang yang berpakaian rapi diperbolehkan mengunjungi museum (Hudson, 1987: 23). Meningkatnya pembatasan pengunjung ini menunjukkan bahwa masyarakat Inggris saat itu telah memperlihatkan animo yang besar untuk mengunjungi museum sehingga menuntut pengelola museum untuk lebih terbuka bagi masyarakat. Alasan pendirian lain adalah guna kepentingan ilmiah, baik itu merupakan objek-objek yang berkenaan dengan sejarah, seni, alam atau ilmu pengetahuan (Noerhadi Magetsari, 2008: 5). Tuntutan masyarakat terhadap pengelola museum sekaligus menjadi tuntutan untuk mendirikan museum di berbagai belahan dunia. Museum-museum baru kemudian banyak didirikan di kota-kota besar di Eropa maupun Amerika. Pendirian museum di kota-kota inilah kemudian menjadi embrio munculnya sebuah jenis museum baru yaitu museum kota. Disebut demikian karena sebuah museum telah diberi nama sesuai dengan kota dimana museum tersebut berada (Jhonson, 1995: 4). Awal abad ke-duapuluh, dianggap sebagai gelombang awal perkembangan museum kota terutama di Eropa dan Amerika Utara. Perkembangan awal yang terjadi di Eropa pada saat itu adalah dengan bermunculannya organisasi kemasyarakatan yang tertarik pada benda-benda arkeologi dan sejarah lokal dan regional. Sementara itu, di Amerika, masyarakat yang tertarik pada sejarah lokal bermunculan di kota-kota kecil dan kota-kota yang berkembang dengan cepat. Ketertarikan masyarakat terhadap sejarah lokal ini dilandasi atas semangat kebanggaan untuk mengetahui keberadaan mereka yang kemudian berusaha
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
23
merekonstruksi sejarah baru di sekitar mereka. Dengan demikian, organisasi kemasyarakatan yang tertarik terhadap sejarah lokal dan upaya merekonstruksi sejarah lokal menjadi langkah awal ke arah terbentuknya jenis museum baru yaitu museum kota. Pada belahan dunia lain, organisasi kemasyarakatan seperti itu terus tumbuh dengan subur bersamaan dengan pendirian museum-museum kota yang lebih baru (Jhonson, 1995: 4). Dalam lingkup internasional, perhatian terhadap pentingnya peran museum kota diawali dengan diselenggarakannya sebuah simposium internasional yang bertemakan “Reflecting Cities” pada tahun 1993 di “The Museum of London”. Max Hebditch (1995), menyebut bahwa simposium ini adalah yang pertama diselenggarakan oleh museum-museum yang memiliki perhatian khusus pada koleksi yang berhubungan dengan sejarah kota. Salah satu wacana yang mendapat perhatian khusus dalam diskusi tersebut, bahwa hal penting pertama harus dilakukan untuk menjadi sebuah museum kota adalah mendefinisikan kota tersebut (Hebditch, 1995: 7). Selanjutnya, pada Konferensi ICOM tahun 2004 yang diselenggarakan di Seoul pada bulan Oktober dibentuk sebuah komite khusus yaitu Comitte for Collections and Activities of Museum of Cities (CAMOC), komite yang terdiri atas museum-museum kota yang berasal dari 40 negara di antaranya Eropa, Asia dan Amerika (ICOM, 2010) Berdasarkan sejarah perkembangannya,
latar belakang pentingnya
pendirian museum kota pada awalnya terbatas pada ketertarikan masyarakat terhadap benda-benda arkeologi dan sejarah lokal di sekitar mereka. Alasan lain adalah pentingnya pelestarian kota sebagai produk peradaban manusia. Perkembangan selanjutnya pada dekade tahun 1990-an, museum kota dirancang untuk mengkaji dan menginterpretasikan sebuah kota. Museum kota kemudian mendapat perhatian khusus mengingat perkembangan kota yang berlangsung sangat cepat baik dari segi demografi, lingkungan alami, bentang alam, bangunan serta keragaman kebudayaan (Hebditch, 1995: 7). Perkembangan tersebut tentunya berdampak terhadap kondisi sosial, budaya maupun fisik kota. Kondisi inilah yang kemudian menjadi titik awal pentingnya peran museum kota.
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
24
2.1.2 Pengertian dan Kerangka Kerja Museum Kota Museum kota sering dianggap sebagai album sebuah kota, cermin sebuah kota, atau miniatur sebuah kota. Hal ini karena museum kota dianggap memuat tentang memori sebuah kota, dapat merefleksikan konteks kekinian budaya kota, dan diharapkan mampu menampilkan keseluruhan aspek yang berkaitan dengan kota. Pemahaman tersebut terkait erat dengan keunikan museum kota karena definisi yang diemban oleh kota itu sendiri. Definisi kota telah banyak dikemukakan oleh para ahli yang mengkaji tentang kota, akan tetapi secara umum kota dapat didefinisikan dari aspek fisik maupun sosialnya. Istilah yang sering digunakan untuk menyebut aspek fisik adalah “kota” (city), dan “urban” yang mengandung pengertian sosial dan budaya (Hariyono, 2007: 16-17). Dengan demikian, kota juga dapat dipandang dari aspek kebudayaan yang diwujudkan dalam tiga hal, yaitu: ide, perilaku, dan hasil karya atau kebudayaan materi. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Hebditch (1995), bahwa terdapat konsensus di antara para ilmuwan yang mengkaji perkotaan. Konsensus tersebut menyatakan bahwa ada dua pendekatan untuk mengidentifikasi “sebuah kota”. Pertama, pendekatan yang menekankan kepada aspek geografis, administratif dan wilayah kota yang dibangun yang membentuk sebuah kota dan membedakannya dengan wilayah pedesaan. Pendekatan kedua menekankan kepada bagaimana cara masyarakat kota mengorganisir diri mereka sendiri dan hal tersebut membedakan masyarakat perkotaan dengan masyarakat pedesaan (Hebditch, 1995: 7). Pada dasarnya, bentuk pendekatan pertama mengandung pengertian aspek fisik kota sedang bentuk pendekatan kedua memberikan pemahaman tentang aspek sosialbudaya. Definisi museum sendiri mengalami perkembangan dengan adanya perbedaan rumusan tentang definisi museum yang ditetapkan oleh International Council of Museum (ICOM). Berdasarkan rumusan ICOM yang dideklarasikan tahun 1974 di Copenhagen, Denmark menyebutkan : A museum is a non-profit-making, permanent institution in the service of society and its development, and open to the public, which acquires,
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
25
conserve, communicates and exhibits, for the purposes of study, education and enjoyment, material evidence of man and its environment.
Sementara itu, rumusan tentang definisi museum sebagaimana ditetapkan oleh ICOM pada konfrensi tahun 2004 di Seoul, Korea Selatan menyebutkan: A museum is a non-profit-making, permanent institution in the service of society and its development, and open to the public, which acquires, conserve, researches, communicates and exhibits, for purposes of study, education and enjoyment, the tangible and intangible evidence and their environment.
Berdasarkan
kedua
rumusan
tersebut,
terdapat
penambahan
kata
“researches” dan “the tangible and intangible” pada rumusan ICOM yang terakhir. Meski demikian sebelum penetapan tersebut sesungguhnya dalam praktik pengelolaannya, museum sekaligus telah berfungsi sebagai lembaga penelitian. Demikian halnya kata “the tangible and intangible”, merupakan penekanan tentang aspek yang perlu diperhatikan dalam upaya pelestarian bukti-bukti manusia dan lingkungannya. Mengadaptasi definisi museum yang telah ditetapkan oleh ICOM, Amarezwar Galla (1995), mendefinisikan museum kota, yaitu: A city museum is a non profit-making, dynamic and evolving permanent institution or cultural mechanism in the service of the urban society and its development, and open to the public, which co-ordinates, acquires, conserves, researches, communicates and exhibits, for purposes of study, education, reconciliation of communities and enjoyment, the tangible and intangible, movable and immovable heritage evidence of diverse peoples and their environment (Galla, 1995: 41).
Dalam pengertian tersebut, selain mendefinisikan museum dalam ruang lingkup kota dan warganya sekaligus memposisikan museum kota sebagai sebuah lembaga yang dinamis atau mekanisme kultural dalam melayani warga kota beserta pengembangannya. Mekanisme kultural dalam hal ini, sebagaimana
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
26
disebutkan oleh Homer dan Swarbrooke (1996), bahwa museum harus berperan sebagai sebuah forum, tempat terjadinya perdebatan dan kontroversi mengenai materi dan muatan yang disajikan (Dananjaya Axioma, 2006: 14-15). Penekanan lain pada definisi tersebut adalah museum berperan dalam pemulihan keragaman warga kota. Terkait dengan peran mekanisme kultural bagi museum kota dimaksudkan sebagai pusat aktivitas yang terkoordinasi bagi representasi kebudayaan populasi kota. Oleh karena itu, museum kota harus menyambut dan membuat pengunjung dapat berpartisipasi dengan cara yang lebih mudah diakses, serbaguna dan penuh informasi. Dalam konteks ini, museum kota bekerja sebagai fasilitator dan bekerja sama dengan perorangan, kelompok, pihak pemerintah, swasta maupun komunitas-komunitas budaya. Aspek-aspek yang terkait dengan peran museum sebagai pusat aktivitas, mencakup: a) pergerakan seni kontemporer; b) festival dan acara-acara yang signifikan; c) pemeliharaan yang berkelanjutan terhadap warisan budaya; d) suara-suara, nilai-nilai dan tradisi-tradisi dari komunitas; dan e) lingkungan yang lebih luas dengan mengembangkan sistem kebudayaan yang berkelanjutan (Galla, 1995: 41, 42 dan 43). Dalam konteks inilah mekanisme kultural museum kota diharapkan mampu berperan pada perkembangan kota dalam sistem kebudayaan. Sementara itu, kerangka kerja untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana museum dapat menampilkan kota berikut penduduk, sejarah dan warisan kota, serta apa yang dapat diperbuat museum untuk mengidentifikasi dan menjelaskan
fenomena sosial perkotaan yang semakin kompleks (Hebditch,
1995: 7). Lebih lanjut, disebutkan bahwa jenis-jenis koleksi yang dapat digunakan oleh museum kota untuk mengamati fenomena kota, terdiri atas: a. Artefak, adalah salah satu dari jenis utama yang diciptakan dan/atau dipergunakan oleh sebuah kota. Artefak dalam hal ini memiliki konteks fungsional dan fitur yang memiliki konteks yang lebih spesifik bagi kota, misalnya ruangan-ruangan atau bangunan-bangunan tertentu dengan ciri khas masa tertentu. Jenis-jenis tersebut dapat diasosiasikan untuk membentuk kelompok data – atau semacam kapsul waktu – istilah populernya.
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
27
b. Bukti-bukti lingkungan. Museum dapat menyimpan dan mengkaji bukti-bukti dampak kehadiran manusia dan eksploitasi yang dilakukan terhadap lingkungan alami, baik sekarang maupun di masa lalu. Bukti-bukti yang dapat dikumpulkan tersebut terdiri atas tinggalan-tinggalan flora maupun fauna, serta material-material tulang manusia. Bukti-bukti ini dapat menunjukkan relevansinya dengan isu-isu kajian lingkungan jaman sekarang dalam konteks historis dan dapat ditangani oleh museum kota. c. Catatan tentang tempat dan aktivitas. Penelitian dan pengumpulan data berupa peta-peta historis dan rancangan kota serta bangunan kota, dan catatan-catatan lain dari masa lalu adalah bagian dari penelitian museum dan proses pengumpulan yang dilakukan oleh museum kota. Penelitian dan pengumpulan data adalah cara terbaik untuk mengaitkan artefak “luar museum” dengan artefak dan objek-objek lainnya yang dapat dikoleksi oleh museum. Data seperti itu sangat penting untuk memahami distribusi spasial dalam kota, yang dapat memberikan informasi tentang isu-isu seperti migrasi, perubahan struktur sosial dan penggunaan lahan serta aktivitas ekonomi. d. Testimoni. Ada dua bentuk pada jenis koleksi ini yaitu gambar (lukisan, gambar, cetakan dan foto), dan testimoni dalam bentuk kesaksian lisan. Informasi objektif tentang konteks fisik maupun sosial dari artefak yang dimiliki museum dapat dideduksi dari kedua tipe tersebut, meski demikian sejumlah besar nilai yang dimiliki testimoni tersebut terkandung dalam interpretasi subjektif dari kota oleh pembuat testimoni serta perasaan yang diekspresikan oleh orang yang mencatat tentang pendapat/kesan yang mereka miliki tentang pekerjaan dan kehidupan mereka. Karya-karya penulisan juga dapat berkontribusi terhadap bagian dari testimoni tentang sebuah kota namun tidak selalu dapat dikumpulkan oleh museum (Hebditch, 1995: 8-9).
Keempat jenis koleksi tersebut saling melengkapi dalam memberikan informasi tentang fenomena-fenomena perkotaan kepada pengunjung museum. Hal terpenting adalah profesional museum harus melakukan interpretasi terhadap jenis-jenis koleksi tersebut terlebih dahulu agar pengunjung dapat memperoleh informasi yang utuh tentang pameran yang ditampilkan. Kerangka kerja seperti
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
28
ini, museum kota akan mampu menginterpretasi dan menjelaskan masyarakat kota serta proses perubahan yang berlangsung dalam masyarakat. Dalam hal ini, peran profesional museum adalah merangsang dan mensitesakan hasil pekerjaan dari berbagai disiplin ilmu (Hebditch, 1995: 9). Dengan demikian, interpretasi yang disampaikan pada akhirnya merupakan hasil interpretasi terhadap informasi kontekstual perkotaan. Pendapat yang sama dikemukakan Anne Marie Collins (1995), bahwa museum dapat membuat pengunjung menyadari aspek-aspek yang beragam secara aktif dengan menyampaikan pesan secara orisinal. Oleh karena itu, sumbersumber berupa perekaman suara dan latar dekorasi dapat menciptakan suasana dimana elemen-elemen visual dan tekstual dapat dieksplorasi. Sementara itu, rekaman visual, slide dan peralatan yang interaktif membuat pengunjung dapat menyentuh, merasakan dan melihat, untuk mengenali diri mereka sendiri dan untuk menanyakan sejumlah pertanyaan pada diri mereka ketika berhubungan dengan kenyataan kota yang berbeda (Collins, 1995: 32).
2.1.3 Peran Museum Kota Secara umum fungsi utama museum sebagaimana definisi yang ditetapkan oleh ICOM adalah mengumpulkan,
melestarikan,
melindungi,
meneliti,
mengkomunikasikan dan memamerkan bukti-bukti bendawi manusia dan lingkungannya. Sementara itu, peran museum diarahkan pada upaya pengkajian dan penelitian tentang bukti-bukti manusia dan lingkungannya. Dengan demikian, museum berperan sebagai pusat informasi berdasarkan kajian dan penelitian yang dilakukannya. Dalam kaitannya dengan peran museum kota, UNESCO dalam jurnal “Museum International” yang membahas khusus tentang “City Museum”, menyebutkan bahwa: City museums are part and parcel of this volatile urban landscape and, as the articles in this issue’s dossier reveal, they are striving to come to terms with their new mandate and their new publics. The museum that speaks of the city must now also speak to the city (UNESCO, 1995: 3).
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
29
Demikianlah, museum kota mengemban tugas baru yaitu sebagai bagian dan bidang dari perubahan lansekap perkotaan. Dalam konteks ini, memberi pemahaman bahwa museum kota hadir sebagai sebuah pendekatan baru sebagai “urban advocacy”. Oleh karena itu, museum kota tidak hanya bicara tentang kota akan tetapi saat ini harus bicara untuk kota. Sementara itu, menurut Anne Marie Collins (1995), bahwa tugas utama museum kota adalah untuk menyajikan sejarah dan evolusi kota baik kepada masyarakat kota maupun kepada para pengunjung. Lebih lanjut, bahwa tugas museum kota adalah memperkenalkan publik pada aspek-aspek kota yang berbeda-beda sebagaimana kota itu sebenarnya, menempatkan konteks-konteks urban, ekonomi, arsitektur, sosial dan budaya dari tiap-tiap periode sejarah ke dalam perspektif dengan menggunakan segala jenis kegiatan promosi (Collins, 1995: 30). Oleh karena itu, museum kota merupakan titik awal bagi tur kota yang aktual. Tema-tema yang diwakili dalam pameran tetap menjadi titik awal bagi profesional museum untuk mengajak pengunjung mengenali karakteristik warna dan atmosfer dari periode bersejarah kota dengan bentuk-bentuk yang berbeda. Ditambahkan lagi bahwa tema-tema pameran tetap akan mengajak pengunjung untuk mengeksplorasi tempat-tempat atau wilayah-wilayah tertentu (Collins, 1995: 30) yang memiliki ciri khas bagi kota. Dengan demikian, museum kota mengemban peran dalam penyebarluasan informasi sejarah, mendidik publik untuk menumbuhkan kesadaran baru tentang karakter sejarah lingkungan, bergerak keluar daerah institusinya dan berbaur dengan masyarakat dimana mereka tinggal, bekerja atau mencari hiburan. Terakhir adalah berkolaborasi dengan badan-badan lingkungan lain yang berpartisipasi dalam membawa dan mempromosikan proyek ini untuk meningkatkan warisan budaya masa lalu dan warisan budaya dalam pembuatannya (Collins, 1995: 34). Pada dasarnya, peran museum kota telah tergambar pada pengertian museum kota sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya. Bagian ini dimaksudkan untuk menguraikan lebih jelas tentang peran museum kota. Lebih khusus dapat disebut bahwa bagian ini akan menjelaskan peran museum kota berdasarkan pandangan beberapa ahli. Uraian berikut ini disarikan dari beberapa artikel dari jurnal Museum International yang membahas tentang peran museum
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
30
kota di antaranya: “Museums of Cities and Urban Futures: new approaches to urban planning and the opportunities for museums of cities” oleh Duncan Grewcock; “City Museums: do we have a role in shaping the global community?” oleh Jack Lohman; dan “The City Museum and its Values” oleh Tatiana Gorbacheva. Dijelaskan oleh Duncan Grewcock (2006), bahwa museum kota dapat berperan sebagai pendekatan baru dalam perencanaan kota. Masa depan museum kota tidak dapat dilepaskan dengan masa depan kota itu sendiri. Oleh karena itu, museum kota seharusnya dapat memberikan kontribusi yang dapat bertahan, inklusif serta imajinatif dalam perencanaan dan rancangan pembangunan wilayah perkotaan serta penempatan dan tata ruang kota (Grewcock, 2006: 33). Dalam hal ini, Duncan Grewcock, menekankan tiga hal penting bagi peran museum dalam perencanaan kota, yaitu: pertama, bahwa mempromosikan peran dari museum kota dalam perencanaan pembangunan kota sebenarnya adalah salah satu bentuk menghidupkan kembali serta memperbaharui peran museum itu sendiri dan bukan merupakan bentuk atau peran baru dari museum; kedua, bahwa kultur serta perencanaan pembangunan kota adalah perubahan yang menarik dan relevan dengan tujuan dari museum itu sendiri; serta, ketiga, dalam banyak hal, museum serta perencanaan pembangunan kota adalah bidang yang saling melengkapi (Grewcock, 2006: 33). Grewcock juga menjelaskan bahwa perubahan dalam perencanaan pengembangan kota dapat dilihat dan dipahami secara lebih baik sebagai sebuah re-evaluasi dari sudut sosial dan spasial kota, sifat-sifat sosial dan fisik dari sebuah kota. Perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan pengaruh lingkungan; termasuk pengaruh-pengaruh sosial, partisipasi masyarakat, demokrasi dan kekuasaan, masyarakat sipil, kesetaraan, identitas, masyarakat dan kepemilikannya; spasial maupun akomodasi-akomodasi fisik lainnya dalam kebutuhan sosial. Penjelasan atas perubahan-perubahan tersebut, Grewcock mengambil contoh perubahan yang terjadi di Inggris dan menyebutkan bahwa terdapat tiga contoh perubahan dalam perencanaan pengembangan kota. Pertama adalah perubahan secara teoretis, yang ditarik dari berbagai pemicu sosial, kedua adalah perubahan kebijakan dan ketiga perubahan dalam praktik-praktik yang
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
31
berkaitan dengan pengembangan yang mencoba untuk menciptakan hubungan antara kebutuhan sosial dengan bentuk-bentuk spasial (Grewcock, 2006: 35). Dalam kaitannya dengan contoh perubahan pertama, Grewcock mengutip pendapat Sanderock tentang ringkasan analisisnya dan relevansi pandangan tersebut dengan museum, sebagai berikut: What the above discussion suggests is the need for a diversity of spaces and places in the city: places loaded with visual stimulation, but also places of quiet contemplation, uncontaminated by commerce, where the deafening noise of the city can be kept out so that we can listen to the ‘noise of the stars’ or the wind and water, and the voice(s) within ourselves. An essential ingredient of planning beyond the modernist paradigm is a reinstatement of inquiry about the recognition of the importance of memory, desire, and spirit, as vital dimensions of healthy human settlements, and a sensitivity to cultural differences in the expressions of each (Grewcock, 2006: 36).
Penjelasan atas contoh perubahan kedua, Grewcock mengambil kebijakan pemerintah Inggris yaitu “The Thames Gateway”. Pada kebijakan tersebut, perencanaan kota memiliki premis dasar yaitu keharusan untuk memindahkan mobilitas pengembangan spasial dan ekonomi kota London ke wilayah lebih ke timur, sepanjang sungai Thames. Dasar premis ini sendiri adalah upaya Inggris dalam menghadapi Olimpiade London 2012. Unsur utama kedua adalah perluasan pembangunan di sepanjang wilayah Inggris Selatan. Perluasan pembangunan ini berupaya mengintegrasikan dengan konsep masyarakat mandiri atas pertumbuhan perumahan yang kurang di wilayah tenggara Inggris. Dalam konteks yang lebih luas kebijakan tersebut berdampak besar terhadap konsepsi ruang, masyarakat, identitas serta kepemilikan. Dalam konteks museum, konsep masyarakat mandiri ini mampu memberikan konteks baru dalam memahami dan mengadvokasi konstribusi museum terhadap masyarakat. Perencanaan tersebut juga memberikan kesempatan baru bagi museum untuk secara formal lebih menghubungkan diri dengan pengembangan dan pembangunan dalam konteks perencanaan perkotaan.
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
32
Perubahan ketiga adalah terjadinya transformasi dalam kebudayaan serta praktik perencanaan pengembangan perkotaan di Inggris dalam bentuk perencanaan spasial. Proses transformasi yang terjadi dalam praktik perencanaan berdampak pada dimulainya kebijakan perencanaan regional di wilayah Eropa. Dalam pandangan Grewcock, ada beberapa bahaya yang muncul sebagai akibat, yaitu tanpa visi, koordinasi serta advokasi yang kuat, maka museum akan mengalami marjinalisasi sebagai dampak dari pendekatan ini, atau kontribusi potensial dari museum terhadap masyarakat akan keluar dari perencanaan kultural. Pada dasarnya, penjelasan atas beberapa contoh yang dikemukakan di atas, Grewcock mengusulkan bahwa sesungguhnya bidang-bidang yang terlibat dalam perencanaan perkotaan dapat saling mendukung untuk menggeser batas-batas dan bekerjasama dalam batas-batas tersebut. Dengan perkataan lain, bidang-bidang terkait dapat mengambil perannya masing-masing. Dalam konteks museum, hal ini akan semakin membuka peluang museum kota untuk berkaitan langsung dengan perencanaan tersebut dalam cara yang lebih formal dan lebih kreatif. Tema kebersamaan dan keterkaitan antara pembangunan museum dengan pengembangan perencanaan perkotaan dapat berupa tujuan yang lebih luas atau integrasi, partisipasi dan tindakan bersama, yang berkaitan dengan pengembangan atau pemberdayaan sebuah lokasi atau tempat. Museum-museum kota, dalam bentuk paling idealnya, tidak lain merupakan sebuah museum tempat. Dalam pengertian bahwa sebuah tempat harus dipahami secara holistik, sebagai pembentuk masyarakat, baik pembentuk sosial maupun kultural, memberikan makna yang signifikansinya yang sangat besar terhadap masyarakat, dan oleh karena itu saling memiliki keterkaitan dan ketergantungan dengan masyarakat (Grewcock, 2006: 39). Dalam hal ini, tempat dipandang sebagai sebuah memori kolektif dimana museum dapat mengambil peran untuk menjaga dan melestarikannya sebagai memori kolektif warga kota. Kevin Lynch (1972), dalam karyanya What Time is this Place?, memetakan dengan singkat peran dari museum dalam perencanaan perkotaan, yaitu sarana untuk menampilkan perubahan masa kini yang dapat ditelaah, perubahan masa lalu yang dapat dijelaskan dalam tempat-tempat tertentu, dengan
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
33
menggunakan kalimat “pada suatu masa”, sebuah tempat dimana kontinuitas dengan masa depan berada, bentuk eksperimen diri, dan “museum masa depan” dapat dikembangkan dari pilihan-pilihan di atas (Grewcock, 2006: 39). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peran museum dalam perencanaan kota adalah museum mampu menampilkan perubahan-perubahan fisik yang terjadi serta faktor yang mempengaruhinya, sehingga publik mampu melihat dan memahami perubahan tersebut dalam sudut pandang yang lebih luas. Dalam hal ini, museum menjadi media yang mampu menjelaskan perubahan kota dengan bantuan berbagai disiplin untuk kemudian dapat dipahami oleh publik. Demikianlah, sebagaimana dijelaskan oleh Grewcock bahwa museologi dapat bekerja sama dengan berbagai disiplin yang mengkaji perubahan kota. Pandangan yang dikemukakan oleh Jack Lohman (2006), menyebutkan bahwa museum kota dapat mengambil peran dalam membentuk masyarakat global. Dalam perspektif ini, Lohman mengemukakan bahwa museum kota tidak lepas dari peran sebagai pencari-jiwa manusia, sebagai cara untuk mencari makna dan peran manusia dalam kehidupan. Lohman mengemukakan pandangan bahwa identitas politik merupakan bentuk kepentingan yang saling bertikai, dan merupakan penyerap dan juga dapat terserap oleh kebudayaan lain yang dominan yang pada akhirnya menjadi bentuk pertikaian antar kekuatan politik (Lohman, 2006: 16). Lohman dalam menjelaskan isu globalisasi mengutip pandangan Parker bahwa tidak seperti apa yang kita yakini bahwa kita hidup dalam periode yang khusus dan belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia. Namun, dalam kenyataannya, dapat dicari ke dalam sejarah apa yang disebut Parker sebagai “patterns and connections… trends and similarities”. Dengan demikian, dapat disebut bahwa kenyataan yang ada saat ini dapat dihubungkan dengan beragam kekayaan masa lalu manusia, cita-cita membentuk peradaban manusia sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh nenek moyang manusia sejak dahulu (Lohman, 2006: 17). Selanjutnya, Lohman mengemukakan bahwa meningkatnya keragaman dan konflik yang terjadi harus dihadapi dengan adanya dialog budaya. Kebudayaan bukan hanya merupakan masalah identifikasi dan penyelamatan serta
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
34
menjaga setiap kebudayaan dalam bentuk isolasi saja, namun sebaliknya bentuk perkembangan yang dimaksud adalah melakukan revitalisasi terhadap seluruh kebudayaan untuk dapat menghindari terjadinya segresi dan mencegah terjadinya konflik antar kebudayaan (Lohman, 2006:17). Hal ini sesuai dengan pernyataan UNESCO dan posisinya dalam keragaman budaya bahwa “This cultural dialogue has taken on a new meaning in the context of globalization and of the current international political climate. Thus it is becoming a vital means of maintaining peace and world unity” (Lohman, 2006: 17). Dalam konteks keragaman, Lohman kembali mengutip pernyataan UNESCO, bahwa “A museum works for the endogenous development of social communities whose testimonies it conserves while lending a voice to their cultural aspirations. Resolutely turned towards its public, community museums are attentive to social and cultural change and help us to present our identity and diversity in an ever changing world” (Lohman, 2006: 18). Lebih lanjut, Lohman berpendapat bahwa terjadi perubahan peran museum berdasarkan definisi museum yang terakhir, bahwa museum harus merubah perannya dari hanya sekedar “stage” menjadi “actors”. Museum adalah bagian dari deretan “actors” yang lebih besar dan menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, museum tidak hanya sekedar “actors”, tetapi adalah “interactors” yang menampilkan interaksi yang beragam dan majemuk antara alam, kebudayaan, sejarah, seni, kerajinan serta apa saja yang membentuk manusia seperti sekarang ini (Lohman 2006: 18). Penjelasan tentang peran museum sebagaimana dikemukakan oleh Jack Lohman adalah menghadapi isu keragaman dan konflik budaya. Dalam hal ini, museum kota harus dipandang sebagai mekanisme kultural untuk mengelola isu tersebut untuk kemudian diarahkan pada isu kebersaman. Perspektif yang berbeda dikemukakan oleh Tatiana Gorbacheva (2006), bahwa museum kota harus mengedepankan pendekatan program dan berbagai aktivitas agar museum kota dapat lebih berperan dalam hubungannya dengan warga kota. Dalam hal ini, aktivitas kontemporer dari “The Moscow City Museum”, diambil sebagai contoh untuk menjelaskan peran museum kota. Gorbacheva kemudian membahas tiga aspek dari aktivitas museum tersebut,
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
35
yaitu: pertama, adalah aspek hubungan antara museum dengan lingkungan perkotaan di sekitarnya, kedua, perubahan yang terjadi pada kota-kota sepanjang waktu, dan ketiga, hubungan antara museum dan masyarakat pada jaman sekarang. Dalam kaitannya dengan aspek pertama, museum kota tidak lagi tetap berada dalam kungkungan aktivitas tradisional yaitu museum hanya ditempatkan pada sebuah gedung atau sebuah kompleks gedung yang terletak di pusat kota dan menjadi basis bagi pameran-pameran artefak museum. Dalam hal ini, museum baru didasarkan pada bekerja dengan ruang lebih luas yang berarti bahwa akan banyak museum kota yang kini memiliki struktur yang kompleks terdiri dari bukan hanya bangunanan-bangunan individual saja, melainkan terdiri dari keseluruhan wilayah kota. Berdasarkan konsep kontemporer ini, “The Moscow City Museum” kemudian membuka tujuh cabang aktivitas, beberapa di antaranya berkembang pada wilayah yang jauh dari pusat kota historis (Gorbacheva, 2006: 51). Dalam hal ini, cabang-cabang aktivitas berada pada wilayah-wilayah berdasarkan pada perkembangan kota, sehingga museum kota mampu mencapai wilayah-wilayah yang berkembang lebih akhir dan menjadi pusat informasi bagi wilayah-wilayah tersebut. Pembentukan “The Museum of Culture at the Kuzminki Country Estate” adalah salah satu contohnya. Sesuai dengan konsep kontemporer dari pengembangan museum, “The Moscow City Museum” kemudian membentuk pusat museum yang mengembangkan seluruh bentuk non-tradisional dari segala kerja museum, berdasarkan pada upaya untuk menghidupkan kembali tradisi kehidupan perumahan elit serta budayanya dan melibatkan museum dalam kehidupan
sosial
kontemporer.
Pameran-pameran
dikhususkan
menampilkan sejarah, etnografi serta kehidupan sehari-hari dapat
untuk
dilihat dalam
pengelolaan Kuzminki. Program lain adalah dengan adanya festival tahunan untuk taman bunga dan festival musik internasional, “Music of Noble Estates” yang mengarah kepada konsep “Park of Historical Entertainment” serta menghidupkan kembali “The Russian School of Riding” di istal-istal pada perumahan tersebut (Gorbacheva, 2006: 51).
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
36
Pada uraian akhir tentang aspek hubungan antara museum dengan lingkungan perkotaan, Gorbacheva memberi kesimpulan bahwa: This museum reveals a specific trend in the development of museums: the structure of museums has become complex and composite, and they are no longer composed of buildings and artefacts, but encompass heritage as a whole. The museum interpretation of space provides new value to the sense of the place and of inhabiting it (Gorbacheva, 2006: 52).
Dengan demikian, konsep ini memberi pemahaman tentang adanya kesamaan antara konsep museum kota dengan konsep museum situs. Dalam hal ini, bangunan museum hanya berfungsi sebagai pusat informasi, koleksi museum adalah kota itu sendiri. Aspek kedua berpandangan bahwa kota berkembang seiring dengan waktu, untuk itu dalam kategori filosofis akan mempengaruhi segala aktivitas dari museum kota. Museum adalah refleksi dari masa lalu, kini dan masa depan perkembangan kota itu sendiri beserta masyarakatnya. Dalam kaitannya dengan refleksi tersebut, lingkungan perkotaan dan kehidupan kota, waktu tidak dibagi menjadi masa lalu, kini, dan masa depan namun disatukan. Saat ini, warisan, kehidupan kontemporer serta titik-titik kehidupan modern diperlihatkan dalam kehidupan kota. Kantor-kantor modern, bank serta pertokoan terletak dan ditempatkan pada kompleks-kompleks bangunan tua dimana secara bersama-sama beroperasi dengan museum kota (Gorbacheva, 2006: 52). Demikian halnya dalam menghadapi isu-isu publik, “The Moscow City Museum”, pada tahun 2001 melaksanakan pameran ilmiah berskala internasional, disebut dengan “The Moscow International Museum Forum” yang dijadwalkan secara periodik. Pada tahun 2005
“The Moscow City Museum” mengadakan
proyek pameran “The World After the War”. Pameran ini tidak merefleksikan kejadian perang tersebut, namun memperlihatkan konsekuensi perang terhadap kota Moskow serta terhadap negara secara keseluruhan, berkaitan dengan perkembangan dari negara-negara di Eropa serta perubahan dalam kebijakan global. Lebih dari duapuluh museum di Moskow, Rusia dan Eropa berpartisipasi dalam forum ini. Sebelas pameran dilakukan dalam waktu satu bulan, bersama-
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
37
sama dengan konferensi ilmiah serta acara-acara publik lainnya (Gorbacheva, 2006: 52). Sementara itu, penekanan pada aspek ketiga adalah bahwa kompleksitas permasalahan perkotaan khususnya aspek sosial menyebabkan fokus museum kota sekaligus memperhitungkan masalah-masalah sosial dan moral dalam perkembangan kota. Oleh karena itu, masalah-masalah seperti kriminalitas, sektarian, dan ketegangan antar etnis atau terorisme harus dijadikan sebagai tema pameran bagi museum kota. Dengan demikian, misi sosial dari museum adalah bagaimana memperluas nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan masyarakat kota. Bentuk-bentuk program yang ditampilkan oleh “The Moscow City Museum”, menghadapi tantangan ini adalah dengan berpartisipasi aktif dalam “City Days” dan di “Moscow’s Historical and Cultural Heritage Days”. Dalam konteks ini, museum kota dapat mewujudkan sebuah misi yaitu membantu masyarakat dalam mengekspresikan diri sendiri serta untuk merawat dan mempertahankan artefakartefak material dan kebudayaan masyarakat dalam bentuk koleksi museum (Gorbacheva, 2006: 52-53).
Berdasarkan uraian ketiga pandangan yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa peran museum kota adalah sebagai mekanisme kultural dalam merubah wajah fisik, sosial, maupun budaya perkotaan. Peran mekanisme kultural ini dapat dilakukan dengan adanya keterlibatan antara museum dan masyarakat sekitarnya. Pandangan Duncan Grewcock misalnya, menekankan pada keterlibatan museum dalam merubah wajah fisik perkotaan. Dalam hal ini, museum kota dapat terlibat dalam perencanaan pengembangan kota yaitu sebagai media yang menampilkan perubahan bentang alam perkotaan. Dalam uraian tentang pandangan tersebut, Duncan Grewcock berkesimpulan bahwa: ….That is, as an open-ended, trusted democratic space, that can be physically experienced as a quarter of the city, but also used as a site for debate, discussion and experimentation on urban issues within the context of a city’s past, present and future. This would see museums of cities as a key element in the narrative of the city and as part of its ongoing story of
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
38
becoming: the museum as a networked, distributed conversation rather than an inward-looking institution (Grewcock, 2006: 40).
Dalam konteks ini, peran museum kota disejajarkan dengan institusi yang berperan dalam perencanaan dan pengembangan fisik perkotaan. Oleh karena itu, titik awal untuk mengarahkan peran tersebut adalah menampilkan perubahan tata ruang kota serta faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut. Dengan demikian, titik awal ini memberi peluang bagi museum kota untuk membuka ruang demokratis bagi warga kota dalam bentuk penyusunan program yang bertujuan sebagai forum perdebatan ilmiah atau diskusi yang membahas perubahan-perubahan tata ruang perkotaan. Hasil pembahasan tersebut dapat dijadikan rekomendasi untuk diajukan kepada stakeholder lain dalam kaitan perencanaan pengembangan tata ruang kota. Pandangan Jack Lohman lebih mengarahkan peran sosial museum kota, peran tersebut dalam rangka menghadapi isu keragaman warga kota. Dalam hal ini, museum kota dianggap mampu memberi pencerahan terhadap isu-isu yang mengarah pada konflik budaya. Dalam uraian tentang pandangan tersebut, Jack Lohman berkesimpulan bahwa: …The challenge to museums to engage in issues such as the building of national identity out of the fragments of diverse groups, to be agents for change and peacebuilding, and help to address the challenge of poverty reduction are all part of a brief which some would consider beyond our ambit and capability (Lohman, 2006: 19).
Dalam konteks ini, peran museum kota diarahkan pada sebuah institusi yang mampu memediasi dan memberi advokasi terhadap isu-isu konflik keragaman warga kota. Oleh karena itu, titik awal untuk mengarahkan peran tersebut adalah menampilkan dampak negatif dari konflik atau peristiwa masa lalu. Dampak negatif dari peristiwa tersebut harus dimaknai sebagai pengalaman sekaligus menjadi pelajaran dalam menghadapi isu-isu yang sama di masa yang akan datang. Dengan demikian, titik awal ini memberi peluang bagi museum kota untuk menyusun program kegiatan yang berkaitan dengan upaya mediasi dan
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
39
advokasi terhadap konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana disebut sebagai ruang dialog. Peran seperti ini sekaligus memberi ruang bagi museum kota dalam menghadapi isu-isu kekinian khususnya pada isu-isu sosial perkotaan. Pandangan Tatiana Gorbacheva lebih mengarahkan peran museum kota dalam bentuk program kegiatan sebagai langkah konkret atau wujud aksi nyata museum dalam menampilkan perannya kepada masyarakat. Titik perhatian pada pandangan yang dikemukakan tersebut adalah peran museum kota dalam melestarikan warisan budaya baik wujud artefak maupun tradisi-tradisi yang tumbuh dan berkembang yang mengiringi perkembangan kota. Dalam uraian tentang pandangan tersebut, Tatiana Gorbacheva mengemukan kesimpulan bahwa: …the city museum is currently developing into a complex structure, including different objects and urban spaces. The dialogue of the museum with the city community, and conducting large-scale social programmes and projects has become the main task of museum activities, which are based on humanitarian values and resist ideas of destruction and violence. Museums change traditional methods of work, transforming into public museums centres of social life and culture. And this evolution of our museum practice is caused by the very dynamism of city life (Gorbacheva, 2006: 54).
Pandangan ini sekaligus menjadi kesimpulan dari ketiga pandangan yang telah dikemukakan bahwa museum kota harus mengubah metode kerja tradisional dan bertransformasi menjadi museum publik serta menjadi pusat dari kehidupan dan kebudayaan kota. Peran tersebut, setidaknya dapat diwujudkan oleh museum kota melalui pameran yang ditampilkan, sehingga membuka peluang bagi museum untuk mengarahkan program kegiatannya pada peran mekanisme kultural. Dengan demikian, konsep museum kota yang dimaksudkan pada penelitian ini diperoleh dari beberapa pendapat yang dikemukakan sebelumnya, sehingga diperoleh pemahaman khusus tentang konsep pameran pada jenis
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
40
museum kota. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, konsep museum kota yang terdiri atas pengertian dan kerangka kerja memberi pemahaman tentang aspek yang menjadi fokus sebuah museum kota. Berdasarkan pada pengertiannya, sebagaimana dikemukakan oleh Amareswar Galla (1995), bahwa museum kota hadir untuk merepresentasikan bukti-bukti tinggalan manusia dan lingkungan dalam ruang lingkup kota tertentu. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa museum kota hadir untuk melayani masyarakat perkotaan dan pengembangannya. Aspek penting lain dalam hal pameran museum kota, adalah aspek yang berkaitan dengan pendekatan yang dilakukan oleh disiplin ilmu yang mengkaji sebuah kota yaitu aspek fisik dan sosial. Dalam hal ini, aspek fisik dapat dilihat pada pandangan yang dikemukakan oleh Duncan Grewcock bahwa museum dapat berperan sebagai pendekatan baru dalam perencanaan kota. Arah peran museum pada aspek tersebut, dapat diwujudkan melalui pameran sehingga masyarakat memperoleh pemahaman tentang perubahan fisik kota. Sementara itu, aspek sosial dapat dilihat pada pandangan yang dikemukakan oleh Jack Lohman bahwa museum dapat berperan sebagai mediator dalam menghadapi konflik keragaman warga kota. Arah peran museum pada aspek ini, dapat diwujudkan melalui pameran sehingga masyarakat memperoleh pemahaman tentang keragaman warga kota. Dengan demikian, titik perhatian museum kota dalam menjelaskan perubahan kota adalah pada aspek perubahan fisik dan perubahan sosial. Pandangan lain dikemukakan oleh Tatiana Gorbacheva, bahwa museum kota harus aktif dalam upaya mendekatkan diri pada komunitas yaitu warga kota berupa bentuk-bentuk program untuk melestarikan warisan budaya baik wujud artefak maupun tradisi-tradisi. Demikian halnya dikemukakan oleh Max Hebditch tentang kerangka kerja museum kota memberi pemahaman bahwa museum kota dapat menjelaskan perubahan kota melalui objek yang ditampilkan, yaitu artefak, bukti-bukti lingkungan, catatan tentang tempat, dan testimoni. Melalui objekobjek
tersebut,
museum
kota
dapat
melakukan
interpretasi
kemudian
menampilkan kepada masyarakat. Pemahaman inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan konsep untuk menghasilkan sebuah konsep ideal tentang pameran museum kota.
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
41
Selanjutnya untuk melengkapi landasan konsep sebagaimana dikemukakan di atas, diperlukan sebuah perbandingan tentang konsep pameran yang telah dikembangkan oleh museum kota. Dalam hal ini, konsep pameran dimaksud adalah konsep pameran pada “The Museum of London”, salah satu museum kota yang ada di Inggris.
2.1.4 Konsep Pameran “The Museum of London” Pembahasan ini dimaksudkan untuk memberikan uraian tentang konsep pameran yang diterapkan oleh salah satu museum kota yaitu “The Museum of London” (The Museum of London, 2010). Pilihan terhadap konsep pameran “The Museum of London”, karena beberapa pertimbangan, yaitu; museum ini dianggap berhasil dalam mengembangkan konsep pameran sebuah museum kota khususnya tentang aspek masa lalu dan kontemporer perkembangan kota; beberapa pandangan para ahli yang telah dikemukakan sebelumnya adalah para profesional yang bekerja di museum ini sehingga dapat dikatakan bahwa museum ini adalah pelopor bagi konsep ideal museum kota; dan museum ini memberi perhatian terhadap perkembangan permuseuman khususnya museum kota, salah satu yang dapat dikemukakan adalah merintis dan menyelenggarakan sebuah simposium bertaraf international untuk pertama kalinya dengan tema “Reflecting the City”. Konsep pameran “The Museum of London” terbagi atas dua yaitu pameran fisik dan pameran virtual. Pameran fisik terbagi atas; Pameran Tetap (Permanent Exhibition), Pameran Khusus (Special Exhibition), dan Community Exhibition and Project. Sementara pameran virtual dikhususkan untuk menampilkan pameran berbasis web. Konsep lain yang ditampilkan museum ini adalah sebuah pameran yang menghadirkan keterlibatan masyarakat pada pameran yang disebut “Community Exhibition and Project”. Konsep pameran museum ini berdasarkan pada misi, yaitu: menginspirasi sebuah semangat bagi London melalui: a. Menghubungkan sejarah London, arkeologi, dan budaya kontemporer dengan dunia yang lebih luas; b. Mengambil bagian dalam diskusi tentang London; dan c. Memfasilitasi dan memberi konstribusi pada budaya luar dan jaringan pendidikan London (The Museum of London, 2010).
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
42
Pada pameran tetap “The Museum of London”, di antaranya menampilkan tema yang memuat tentang: a.
London before London, tema ini mengeksplorasi kehidupan Lembah Thames dan sepanjang sungai Thames hingga terbentuknya London pada 50 M. Informasi yang ditampilkan adalah hubungan antara masyarakat dan lingkungannya, terdapat lebih dari 300 koleksi yang ditampilkan dan terbuat dari perunggu dan besi. Salah satu koleksi yang ditampilkan adalah kerangka yang berumur 5.640 dan 5.100 tahun serta sebuah rekonstruksi wajah berdasarkan kerangka tersebut.
b.
London Romawi, tema ini menampilkan kisah tentang terbentuknya kota London pada jaman Romawi, di antaranya pembangunan jembatan sungai Thames serta jaringan jalan yang menghubungkan dengan wilayah sekitarnya. Tema ini menampilkan sejarah kota London sekitar 50 M hingga 410 M, pada periode inilah awal munculnya kerajaan Britannia yang dipimpin oleh Ratu Elizabeth I. Koleksi yang ditampilkan di antaranya ratusan alat kerajinan, gerabah dan kapal kaca. Pada tema ini ditampilkan sebuah kamar yang direkonstruksi dan menggambarkan kehidupan warga London. Koleksi yang ditampilkan pada tema ini adalah sebuah patung marmer dari Kuil Mithras, salah satu karya seni terbaik yang ditemukan pada masa Britania.
c.
Medieval London, tema ini menampilkan kehidupan abad pertengahan kota London, sekitar 410 hingga 1558 M. Tema ini sekaligus menampilkan kisah penyerangan orang-orang Viking dan Penaklukan Norma pada 1066 M. Koleksi yang ditampilkan di antaranya barang-barang kerajinan abad pertengahan dan barang hasil perdagangan luar negeri, di antaranya bros, ikat pinggang, lencana dan sepatu kulit. Koleksi-koleksi tersebut menjadikan tema ini sebagai galeri untuk mempelajari kostum dan gaya populer abad pertengahan.
d.
Expanding City: 1660-1850s, tema ini mengeksplorasi kisah pembangunan kembali kota London setelah peristiwa kebakaran. Tema ini sekaligus menampilkan informasi tentang masa kejayaan Britania dengan pengaruh global. Koleksi-koleksi yang ditampilkan di antaranya barang-barang dari Kashmir (India) dan China. Periode ini juga merupakan periode kedatangan
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
43
para imigran dengan keterampilan baru yang mendukung perkembangan bisnis dan budaya kota. e.
People’s City: 1850s-1940s, tema ini menampilkan kehidupan kota London dimana pertumbuhan penduduk menciptakan pemisahan antara penduduk yang miskin dan kaya. Periode ini menciptakan kota London yang kaya, dan di sisi lain mengorbankan penduduknya sehingga menciptakan kesenjangan sosial. Tema ini menggambarkan kehidupan kontras penduduk kota London, sebuah peta yang mem-visualisasi-kan peta kemiskinan yang dibuat oleh Charles
Booth
ditampilkan
pada
tema
ini.
Tema
ini
sekaligus
menggambarkan kisah saat konflik sosial terjadi di kota London, dimana para pekerja bersatu untuk memperjuangkan hak-hak mereka. f.
World City: 1950s-today, tema ini menampilkan periode peremajaan kota London menuju kota modern. Periode ini menggambarkan pencapaian teknologi di kota London di antaranya bidang kelistrikan, telekomunikasi, dan otomotif. Tema ini sekaligus menampilkan perubahan bentuk-bentuk rumah dan jalan-jalan kota. Periode ini juga menggambarkan heterogenitas kota, dimana pada akhir abad ke-20 kota London merupakan kota yang multikultural dan disatukan oleh identitas London. Tema ini diakhiri sebuah gambar besar yang memberikan bayangan tentang London di masa depan.
g.
The City Galery, Tema ini berada pada ruang khusus yang menyediakan sebuah jendela besar yang memungkinkan pengunjung melihat ke arah luar yaitu panorama kota London. Galeri ini juga menampilkan display yang menggambarkan karakter unik kontemporer. Kehidupan masyarakat kota dan kegiatan yang terkait dengan bagian dapat dilihat pada beberapa koleksi yang ditampilkan di antaranya seragam polisi, lencana sherif dan topi sekolah yang dikenakan di asrama Freemen’s School 1945-1952. Galeri ini sekaligus digunakan untuk menampilkan pameran khusus yang ditampilkan “The Museum of London”.
h.
The Sackler Hall, adalah sebuah aula besar sebagai tempat istirahat yang menampilkan beberapa koleksi lukisan dan karya seni. Sebuah layar besar dipasang pada ruangan ini untuk memutar film-film tentang kehidupan kota London. Karya seni elektronik ini berupa layar berbentuk bulat panjang,
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
44
sehingga membentuk patung instalasi yang mengesankan dan menjadi ruang media yang dinamis dalam museum, media elektronik ini sekaligus dihubungkan dengan jaringan internet. Ruangan ini sekaligus merupakan media untuk menampilkan pameran khusus yang berubah sepanjang tahun. i.
War, Plague and Fire, tema menampilkan kisah tentang dampak Perang Sipil Inggris dan dampak bencana serta wabah besar pada tahun 1665 serta kebakaran besar pada tahun 1666 (The Museum of London, 2010). Pameran khusus (Special Exhibition) “The Museum of London”,
menampilkan beragam tema yang berubah secara teratur setiap tahun. Tema berikut adalah uraian tema yang ditampilkan “The Museum of London” saat ini. Tema-tema yang ditampilkan di antaranya; a.
Thomson and Craighead, adalah sebuah instalasi interaktif karya seniman digital Thomson & Craighead yang ditempatkan di London Wall yang memuat kolase kata-kata dan gambar tentang kota London. Instalasi interaktif ini terinspirasi oleh jaringan global sebuah media baru untuk membuat seni berbassi web seperti internet yang mampu mengubah cara pandang terhadap dunia.
b.
LDN24 by The Light Surgeons, tema ini ditampilkan di The Sackler Hall, yaitu pemutaran film yang menggambarkan kehidupan kota London. Filmfilm yang diputar adalah pemenang dari kompetisi film yang diselenggarakan oleh museum untuk memberi kesempatan seniman multimedia paling inovatif.
c.
The Singh Twins, tema ini menampilkan karya seniman kembar keturunan India (Amrit dan Rabindra Singh). Karya yang ditampilkan adalah sebuah lukisan dengan campuran sejarah dan kontemporer yang mengembangkan citra dan tokoh-tokoh terkenal yang menyentuh diaspora India di daratan Inggris.
d.
Copper and Silk: Prints by Keith Coventry, tema ini menampilkan karya Keith Coventry seorang seniman di pusat seni rupa kontemporer di London. Karya seniman ini fokus pada hasil cetakan pada bahan tembaga sutra. Salah satu karya yang ditampilkan adalah sebuah sketsa abstrak yang berasal
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
45
sebuah peta yang ditemukan di perkebunan di kota London (The Museum of London, 2010).
Bentuk lain dari pameran “The Museum of London” adalah proyek pameran yang melibatkan warga kota. Salah satu tema yang ditampilkan adalah “Brixton Riots”, yang menggambarkan sebuah peristiwa kerusuhan yang terjadi di kota London pada April 1981. Pameran dirancang untuk menampilkan kesaksiankesaksian dalam bentuk audio-visual yang mengisahkan dan menggambarkan peristiwa tersebut. Pada proyek pameran ini, penduduk kota London diberi kesempatan untuk memberi kesaksian tentang peristiwa tersebut yang kemudian direkam, hasil dari rekaman tersebut sekaligus ditampilkan sebagai koleksi museum (The Museum of London, 2010). Berdasarkan uraian tentang konsep pameran “The Museum of London” tampak bahwa pameran yang ditampilkan pada pameran tetap dikhususkan pada tema sejarah pertumbuhan kota baik aspek sosial, budaya maupun fisik. Sementara pada pameran khusus, tema yang ditampilkan lebih kepada fungsi fasilitator museum terhadap seni-seni kontemporer. Konsep lain adalah dengan ditampilkannya sebuah pameran yang melibatkan warga kota khususnya pada isuisu yang akrab bagi warga kota. Dengan demikian, konsep pameran sebagaimana yang dilakukan oleh “The Museum of London”, dapat dijadikan acuan konsep karena berbagai hal, di antaranya: a. Khusus pada konsep pameran tetap, museum menampilkan sejarah pertumbuhan kota secara diakronik sehingga dapat menjelaskan proses pertumbuhan kota berdasarkan aspek fisik dan sosial; b. Melalui pameran khusus, museum mampu menampilkan konteks kontemporer sebuah kota khususnya pada bidang seni; c. Melalui proyek pameran komunitas, museum melakukan kerja sama dengan melibatkan masyarakat. d. Konsep pameran tersebut menjadikan museum sebagai mekanisme kultural bagi pengembangan masyarakat.
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
46
2.2 Konsep Tematik Pameran Museum Kota Berikut ini adalah uraian tentang konsep tematik pameran museum kota, uraian ini didasarkan pada pembahasan sebelumnya tentang konsep museum kota. Pembahasan tentang pameran menjadi penting karena pameran adalah salah satu produk museum dalam memberikan beragam pengalaman yang dapat memenuhi suatu kebutuhan manusia akan pengetahuan dan rekreasi. Wujud produk museum yang lain adalah seminar, tur, maupun program-program kegiatan lainnya. Melalui produk inilah museum berupaya untuk mencapai tujuan pendiriannya, sementara itu, tujuan pendirian sangat tergantung pada jenis serta visi dan misi museum. Dengan demikian, dapat disebutkan bahwa pameran adalah salah satu instrumen penting bagi museum, dan tema pameran yang ditampilkan merupakan titik awal pengembangan produk-produk lainnya. Dalam kaitannya dengan pameran, terdapat perbedaan pendekatan antara new museum konsep yang berorientasi kepada educational exhibition dengan konsep museum tradisional yang lebih berorientasi kepada objek dan unsur estetika (Wanny Rahardjo dan Irmawati Johan, 2009: 106). Konsep museum baru lebih terpusat pada pendekatan tematik yang akan dimunculkan dalam bentuk “ingatan kolektif” masyarakat bagi keperluan
kontemporer (Hauenschild,
1988: 13). Hal inilah yang kemudian dijadikan sebagai pemahaman awal bagi profesional yang bekerja di museum untuk menentukan apa yang pantas untuk ditampilkan di museum. Oleh karena itu, pada tataran bagaimana pameran dapat memengaruhi pengalaman pengunjung, dilakukan kajian museologi tentang tematema apa yang seharusnya ditampilkan oleh museum. Dengan demikian, makna museum menurut pandangan museologi diukur dari manfaat intelektual dan psikologis yang mampu disampaikan kepada masyarakat (Noerhadi Magetsari, 2009: 3). Konsep museum baru pada akhirnya menjadi pedoman dalam pengelolaan museum, dan konsep ini diterapkan dengan memerhatikan jenis dan bentuk museum itu sendiri. Jika konsep museum baru hendak dibawa ke dalam konteks museum kota, maka fungsi museum bagi warga kota masih harus terus dikembangkan. Harapan masyarakat terhadap museum kota mampu menjadi ruang yang mempertemukan sejarah dan identitas kota dengan kesadaran
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
47
warganya, tidak hanya tentang masa lalu tetapi juga identitas kekinian. Dalam konteks ini, museum hendaknya menyimpan berbagai jejak masa lalu ihwal sejarah perjalanan kota, bersama warga kota di dalamnya (Pikiran Rakyat, 2009). Demikian, berdasarkan uraian sebelumnya tentang konsep museum kota serta pentingnya pendekatan tematik bagi pameran museum, maka perlu dirumuskan tentang unsur tema pameran museum kota. Unsur tema dimaksud di antaranya terkait dengan; awal pertumbuhan kota, identitas masyarakat dan kota, aspek budaya dan sosial perkotaan, dan struktur tata ruang kota.
2.2.1 Awal Pertumbuhan Kota Tema yang terkait dengan sejarah terbentuknya kota adalah unsur penting yang harus ditampilkan museum kota. Unsur ini dimaksudkan untuk memberi pemahaman tentang bagaimana sebuah kota terbentuk serta informasi tentang sejarah yang melatarinya. Setiap kota tentunya memiliki sejarah tersendiri yang berbeda dengan sejarah kota yang lain. Unsur tema ini sekaligus menjadi sebuah pengantar bagi pengunjung museum untuk memahami awal terbentuknya sebuah kota. Pemahaman tentang sejarah terbentuknya kota mampu membentuk kesadaran sehingga persoalan kota dapat dipahami sebagai sebuah proses. Kesadaran bahwa kota mempunyai semacam ciri khas akan semakin jelas ketika memperoleh pemahaman tentang komparasi berbagai tipe kota serta persoalan peradaban sebuah kota (Paulus Haryono, 2007: 41). Dalam konteks museum, informasi tersebut dapat ditampilkan kepada pengunjung untuk kemudian memperoleh pemahaman sejarah pertumbuhan dan perkembangan sebuah kota. Pemahaman lain yang diharapkan dengan menampilkan unsur tema sejarah terbentuknya kota dapat memberi kesadaran kepada masyarakat pentingnya pelestarian warisan budaya dari sebuah kota.
2.2.2 Identitas Masyarakat Kota Pemahamana tentang pengertian identitas dikemukakan oleh Alo Liliweri (2007), dengan mengutip Webster New World Dictionary menyebutkan bahwa kata identitas berasal dari kata Identity, yang berarti (1) kondisi atau kenyataan
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
48
tentang sesuatu yang sama, suatu keadaan yang mirip satu sama lain; (2) kondisi atau fakta tentang sesuatu yang sama di antara dua orang atau dua benda; (3) kondisi atau fakta yang menggambarkan sesuatu yang sama di antara dua orang atau dua kelompok atau benda; (4) pada tataran teknis. Dengan demikian, pengertian ini hanya sekedar menunjukkan tentang suatu kebiasaan untuk memahami identitas dengan kata “identik” (Liliweri, 2002: 69). Selanjutnya, disebutkan bahwa pengertian identitas pada tataran hubungan antarmanusia akan memberikan pemahaman tentang sesuatu yang lebih konseptual. Oleh karena itu, pada tataran ini, identitas harus dipahami sebagai cara mengidentifikasi, atau merinci sesuatu yang dilihat, didengar, diketahui, atau yang digambarkan, termasuk mengidentifikasi sebuah spesimen biologis, bahkan mengidentifikasi pikiran seseorang dengan madzhab yang mempengaruhi, merinci aspek-aspek psikologis (Liliweri, 2002: 70). Demikianlah, uraian di atas memberikan pemahaman bahwa konsep identitas berada pada dua tataran yaitu pada tataran teknis yang sering dipahami sebagai sesuatu yang mirip dengan menggunakan kata identik. Sementara itu, tataran
yang
lebih
konseptual
bahwa
identitas
adalah
upaya
untuk
mengidentifikasi sesuatu. Dengan demikian, kaitan dengan identitas kota, konsep identitas memberikan dua pemahaman yaitu; pertama, apa yang harus diidentikkan dengan kota, dan kedua, bagaimana mengidentifikasi kota. Selanjutnya, dapat dijelaskan bahwa identitas kota pada pemahaman pertama dapat berupa wujud fisik dan sesuatu yang abstrak pada pemahaman yang kedua. Manneke Budiman (2009), menjelaskan bahwa bangunan, desain dan infrastruktur dapat dikaitkan dengan konstruksi identitas dan memori kolektif (Abidin Kusno, 2009: xx). Dengan demikian, wujud fisik identitas kota dapat dilihat pada bangunan, desain dan infrastruktur, sementara itu, hal yang abstrak adalah makna dari wujud fisik tersebut. Demikianlah, identitas kota yang dimaksud dalam hal ini adalah apa dan bagaimana kota dapat diidentifikasi oleh pihak luar. Kaitannya dengan museum kota, ruang lingkup selanjutnya adalah warga kota itu sendiri, dengan demikian, identitas warga kota harus ikut ditampilkan. Pemahaman ini berlandaskan pada masyarakat kota yang heterogen, multietnis
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
49
dan multikultur. Dalam hal ini, identitas warga kota yang dimaksud adalah identitas berdasarkan etnis, agama, dan budaya. Berdasarkan uraian di atas, aspek penting yang menjadi perhatian terhadap unsur tema ini adalah: a. Kaitan dengan identitas pada tataran teknis
bahwa
kota sering “di-
identik-kan” dengan ruang (bangunan maupun landmark). Sementara itu, pada tataran kontekstual identitas kota dapat dilihat pada wujud bangunan karena dibalik wujud fisiknya terdapat sebuah konsep atau makna simbolis yang melatari pendirian bangunan tersebut. b. Aspek lain adalah identitas masyarakat kota. Aspek ini menjadi penting ketika peran museum kota dihadapkan pada kenyataan masyarakat kota yang heterogen. Oleh karena itu, identitas yang terkait dengan budaya, etnis, maupun keagamaan adalah unsur tema yang penting untuk ditampilkan oleh museum kota.
2.2.3 Aspek Budaya dan Sosial Perkotaan Konsep kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1990), berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya. Sementara itu, kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”, sehingga kebudayaan diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”. Dalam bahasa Inggris kebudayaan berasal dari kata Latin Colere, yang berarti “mengolah, mengerjakan”, sehingga berkembang arti culture, sebagai segala daya dan usaha manusia merubah alam. Lebih lanjut, disebutkan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud, yaitu: pertama, sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; kedua, sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan ketiga, sebagai benda-benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1990: 9 dan 5). Dengan demikian, dapat disebut bahwa kebudayaan adalah sistem dimana wujud ide berpengaruh pada wujud sosial, dan kedua wujud tersebut berpengaruh pada wujud fisik. Kaitan dengan budaya kota maka dapat disimpulkan bahwa budaya kota adalah keseluruhan sistem dimana
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
50
wujud ide berpengaruh pada aktivitas sosial warga kota dan kemudian memengaruhi wujud fisik kota. Demikian halnya wujud fisik dapat memengaruhi wujud perilaku warga kota. Demikian, maka kota menyerupai suatu sistem, saling berkaitan dan berpengaruh. Misalnya, masyarakat kota cenderung memiliki lebih banyak kebutuhan sehingga di kota akan lebih banyak (jenis) pekerjaan sehingga terdapat ragam profesi, pusat perbelanjaan, dan fasilitas kota untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (Paulus Hariyono, 2007: 16). Sistem inilah kemudian yang membentuk budaya kota. Budaya kota seringpula dikaitkan dengan peradaban dimana pembangunan fisik diikuti dengan pembangunan mental warga kota. Peradaban itu sendiri menjadi ciri kota dengan adanya perkembangan sosio-kultural, teknologi dan modernisasi. Dalam pengertian yang berbeda, budaya kota dikaitkan dengan istilah urbanisasi yang memiliki pengertian pokok adalah apakah warganya mampu memiliki ciri-ciri sebagai warga kota, menyesuaikan dengan kebudayaan kota dengan pola-pola tertentu dalam memanfaatkan suatu ruang, sarana dan prasarana kota (Paulus Hariyono, 2007: 89-93). Dalam hal ini, museum kota diharapkan mampu membaca budaya kota sebagai teks yang dapat di-narasi-kan dan kemudian ditampilkan. Kajian cultural studies dalam hal ini menyebutkan bahwa: konsep teks bukan hanya mengacu pada kata tertulis, meski ini adalah salah satu dari kata itu, melainkan semua praktik yang mengacu pada makna (to signify). Termasuk pembentukan makna melalui berbagai citra, bunyi, objek, dan aktivitas. Karena citra, bunyi, objek dan praktik merupakan sistem tanda, yang mengacu pada suatu makna dengan mekanisme yang sama dengan bahasa, maka semua itu dapat disebut dengan teks kultural (Barker, 2008: 12).
Penjelasan lebih lanjut bahwa hal yang sangat penting adalah makna diproduksi dalam interaksi antara teks dan pembacanya sehingga momen konsumsi juga merupakan momen produksi yang penuh makna (Barker,
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
51
2008: 12). Dalam konteks museologi dapat dijelaskan sebagai proses interpretasi atas interpretasi yang disampaikan museum. Aspek lain pada unsur tema ini adalah sosial perkotaan. Istilah sosial perkotaan dikaitkan dengan permasalahan sosial yang timbul akibat hubungan sosial antar warga kota. Oleh karena itu, muncul pula istilah isu-isu sosial perkotaan yang dikaitkan dengan kemiskinan, kriminalitas dan kekerasan. Aspek ini menjadi penting ketika museum kota dihadapkan pada peran sosial bahwa museum kota diharapkan mampu melakukan advokasi dan memediasi konflik sosial maupun konflik budaya.
2.2.4 Struktur Tata Ruang Kota Sebagaimana telah disebutkan bahwa kajian terhadap kota membahas dua aspek penting yaitu; aspek sosial-budaya dan aspek fisik. Istilah struktur tata ruang kota sendiri mengandung aspek sosial (mis: dengan adanya istilah ruang sosial) dan aspek fisik (yang nampak pada wujud fisik kota, mis: bangunan, jaringan jalan, taman, dll). Pemahaman lain terhadap struktur tata ruang kota adalah pemanfaatan ruang yang terbentuk akibat perubahan fisik yang terjadi pada perkembangan kota. Dalam hal ini, unsur tema struktur tata ruang kota lebih dimaksudkan pada aspek fisik perkembangan kota. Wujud fisik kota pada dasarnya terbentuk dari hasil interaksi manusia terhadap lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Demikian halnya, bahwa pembangunan fisik kota dimaksudkan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan warganya. Aspek lain bahwa perubahan-perubahan fisik kota memberikan dampak signifikan terhadap perkembangan kota. Konteks ini memberikan pemahaman bahwa kota adalah “artefak peradaban terbesar”, hal ini memberi kesempatan kepada museum kota bahkan tanggung jawab untuk terlibat dan membantu masyarakat memahami serta secara aktif merubah bentuk lingkungan perkotaan (Grewcock, 2006: 32-33). Dengan demikian, unsur tema tentang struktur tata ruang kota penting ditampilkan ketika museum kota dihadapkan pada perannya dalam perencanaan dan pengembangan kota.
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
52
2.3
Konsep Penyajian Pameran Museologi sebagai payung teori dalam pekerjaan permuseuman,
membawa konsekuensi terhadap pelaksanaan pekerjaan permuseuman, di antaranya; terhadap ahli museologi, terhadap bentuk museum, dan terhadap pameran (Noerhadi Magetsari, 2009: 7). Oleh karena fokus penelitian mengkaji tentang pameran museum maka uraian berikut ini hanya membahas tentang konsekuensi penerapan museologi terhadap pameran. Pameran menurut Gary Edson dan David Dean (1996), dapat disusun berdasarkan tujuan dan maksudnya, sekaligus merupakan wujud penafsiran dengan presentasi yang lengkap, tidak hanya objek tetapi juga konteks, maksud/arti, sejarah-sejarah, arti penting dan lain-lain (Edson dan Dean, 1996: 149). Dalam wacana cultural studies representasi dan makna kultural memiliki materialitas tertentu yang diproduksi, ditampilkan, digunakan dan dipahami dalam konteks sosial tertentu pula (Barker, 2008: 9). Dengan demikian, pameran tidak sekadar menampilkan benda mati yang tanpa makna, akan tetapi harus menampilkan koleksi yang sebelumnya telah dilakukan proses pemaknaan koleksi yang disebut dengan proses musealisasi. Dalam konteks ini, Umberto Eco dalam Travels in Hyperreality menyebut bahwa pameran selain sebagai acara pengumpulan barang dan koleksi objek-objek simbolis, juga merupakan instrumen pendidikan, termasuk memperjelas hal-hal yang ilmiah (Mikke Susanto, 2004:8). Terdapat dua tipe atau gaya pendekatan utama berdasarkan karya dari suatu pameran, yaitu: a. Tipe/gaya dengan pendekatan yang estetik merupakan pameran yang berkonsentrasi pada pandangan bahwa objek memiliki nilai yang intrinsik yang dengan sendirinya berbicara untuk dirinya sendiri. b. Tipe/gaya dengan pendekatan rekonstruktif, adalah suatu pendekatan yang menghadirkan objek sebagai suatu yang memiliki arti secara etnografi dan berusaha untuk menginformasikan budaya latarnya (Mikke Susanto, 2004: 45-46).
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
53
Sementara itu, pameran didefinisikan oleh Verhaar dan Meeter, sebagaimana yang disebutkan dalam bukunya Project Model Exhibition, mengatakan bahwa: Sebuah pameran adalah alat komunikasi yang mengarah kepada kelompok publik yang lebih besar, dengan metode yang khusus bersifat visual dan dipajang dalam ruangan, dapat menyampaikan berbagai informasi, gagasan, dan perasaan yang berhubungan dengan kesaksian materi yang terdapat pada manusia dan lingkungannya (Verhaar dan Meeter, 1989: 32).
Dijelaskan lebih lanjut oleh Verhaar dan Meeter, bahwa kata komunikasi diartikan sebagai pengiriman informasi dan gagasan dengan tekad sadar untuk menyebabkan terjadinya perubahan tertentu sesuai dengan keinginan si pengirim, dalam diri si penerima, khususnya dalam pengetahuannya, pendapatnya, sikap dan/atau tingkah lakunya (Verhaar dan Meeter, 1982: 32). Lebih lanjut, dikemukakan bahwa tipe pameran dapat digambarkan dalam bentuk skala perbandingan objek dan informasi, sebagaimana tampak pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Skala Perbandingan Objek dan Informasi Sumber: Verhaar dan Meeter, 1989.
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
54
Berdasarkan skala perbandingan ini hubungan antara objek dan informasi dapat dibedakan dalam dua hal, yaitu: a. Pameran yang terarah pada objek, yang menjadi pusat ialah objeknya. Jenis ini khususnya didapatkan dalam museum benda seni dan di beberapa museum yang lebih tradisional di bidang sejarah dan pengetahuan. b. Pameran yang terarah pada konsep, yang menjadi pusat ialah “ceritanya”, yaitu penyampaian informasi. Untuk penyampaian “cerita” itu lewat objek, dapat menggunakan sarana bantu seperti teks, media audio-visual, teori teknis mengenai komposisi, dan sebagainya (Verhaar dan Meeter, 1989: 34). Lebih lanjut, Verhaar dan Meeter, menjelaskan pada skala tersebut bahwa perbedaan di antara keduanya tidak besar, yang terpenting adalah bahwa pilihan ditentukan secara sadar, tergantung dari apa yang ingin dicapai pada masyarakat (Verhaar dan Meeter, 1989: 34-35). Meski demikian, dalam perkembangan yang lebih akhir sebagaimana konsep museum baru, bentuk penyajian informasi lebih dikedepankan sebagai upaya peningkatan pelayanan yaitu memberi pengetahuan kepada publik. Selain tipe dan jenis pameran sebagaimana dijelaskan di atas, Noerhadi Magetsari (2009), mengemukakan bahwa terdapat tiga pilihan sudut pandang dalam penerapan museologi dalam penyajian pameran, yaitu: a. Positivistik. Sudut pandang ini memberi alternatif kepada ahli museologi untuk menyajikan message-nya dengan metode dedaktik. Dalam hal ini, pengunjung diatur untuk bergerak mengikuti alur “cerita”. Alur ini disajikan secara urut sehingga memungkinkan pengunjung untuk memperoleh sebuah pengetahuan yang menyeluruh tentang sajian tersebut. Sudut pandang ini memberikan pengetahuan kepada pengunjung melalui berbagai sajian yang disampaikan secara sistematis. b. Interpretatif. Sudut pandang ini mengundang kepada pengunjung untuk melakukan sendiri interaksi dengan berbagai sajian yang ditampilkan. Metode interpretasi, di luar masalah label, merangsang pengunjung untuk berpikir tentang makna, simbolisme, dan informasi faktual tentang apa yang dipamerkan.
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
55
c. Emansipatoris. Menurut sudut pandang ini pengunjung dibentuk persepsinya melalui sajian yang ditampilkan, khususnya yang berkaitan dengan fenomena sosial yang berkenaan dengan ketidakadilan atau ketidaksetaraan. Ditinjau dari kerangka berpikir ini, maka yang disajikan bukan lagi objek, melainkan maknanya yang ditampilkan secara logis sehingga makna itu pada gilirannya dapat ditangkap dan dimengerti pengunjung. Dengan demikian, maka pameran museum di satu pihak menantang dan merangsang pengunjung dengan cara yang menggairahkan tetapi juga menyenangkan, sedangkan di lain pihak juga sekaligus membantu membentuk kesadaran pengunjung (Noerhadi Magetsari, 2009: 12-13). Demikian, akhir dari pembahasan pada bab ini memberi pemahaman baru tentang konsep museum kota, yaitu: sejarah perkembangan konsep museum kota, pengertian dan kerangka kerja museum kota, serta pandangan tentang peran museum kota. Berdasarkan pada uraian tentang konsep museum kota, maka diperoleh sebuah landasan konsep tentang pameran museum kota. Landasan konsep tersebut, di antaranya: pameran museum kota hadir untuk menampilkan bukti-bukti manusia dan lingkungan dalam ruang lingkup kota; pameran museum kota menampilkan perubahan kota berikut manusia yang ada di dalamnya; titik perhatian pameran museum kota adalah perubahan aspek fisik dan sosial perkotaan; agar dapat menjelaskan proses perubahan kota, museum kota harus melakukan interpretasi terhadap berbagai objek yang dapat dipamerkan yaitu artefak, bukti-bukti lingkungan, catatan tentang tempat dan aktivitas, serta testimoni. Selanjutnya, berdasarkan konsep pameran pada salah satu museum kota yaitu “Museum of London”, diperoleh pemahaman bahwa pameran museum kota harus menjelaskan perubahan kota secara diakronik, museum kota menampilkan konteks kontemporer melalui pameran khusus, serta museum bekerja sama dengan masyarakat melalui pameran komunitas. Berdasarkan landasan konsep tersebut, selanjutnya diperoleh pemahaman lain tentang unsur-unsur tema yang dapat ditampilkan oleh museum kota, yaitu: awal pertumbuhan kota, identitas masyarakat kota, aspek budaya dan sosial perkotaan, serta struktur tata ruang kota. Pemahaman lain, bahwa konsep pameran berorientasi pada educational exhibition, yaitu pameran yang informatif sehingga diperoleh manfaat intelektual
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.
56
dan psikologis. Pemahaman terhadap konsep pameran informatif, membawa konsekuensi pada penyajian pameran yaitu pameran adalah wujud penafsiran dengan presentasi kontekstual yaitu maksud, sejarah, arti penting dan lain-lain. Oleh karena itu, berkaitan dengan penelitian ini maka diperlukan sebuah evaluasi terhadap Museum Kota Makassar sebagai studi kasus pada penelitian ini.
Universitas Indonesia Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.