BAB 2. KERANGKA DASAR TEORITIK
2.1. Karakteristik Masyarakat Nelayan Karakteristik masyarakat nelayan berbeda dengan karakteristik masyarakat petani karena perbedaan sumberdaya yang dimilki. Masyarakat petani (agraris) menghadapi sumberdaya yang terkontrol yakni lahan untuk memproduksi suatu jenis komoditas dengan hasil yang dapat dipridiksi. Dengan sifat yang demikian memungkinkannya lokasi produksi yang menetap, sehingga mobilitas usaha yang relatif rendah dan faktor resiko relatif kecil (Stefanus ,2005). Tohir (2001), mengemukakan bahwa terdapat fenomena yang menarik mengenai melimpahnya sumberdaya alam laut dengan masih rendahnya minat masyarakat nelayan untuk mengeksplorasi kekayaan laut. Fenomena ini jika dicermati secara mendalam, maka sebenarnya terdapat fakta bahwa masyarakat pesisir yang bermata pencaharian sebagai nelayan maupun melakukan aktivitas hidup di laut jumlahnya relatif kecil dibandingkan dengan yang bekerja sebagai petani di sawah, ladang dan sektor jasa. Hal ini berarti jenis mata pencaharian masyarakat nelayan heterogen dan warga masyarakat yang memilih sebagai nelayan pada dasarnya merupakan kelompok kecil saja. Dilihat dari tingkat kesejahteraan hidup nelayan rata-rata masih belum menggembirakan, karena sebagai nelayan kecil mereka menghadapi berbagai keterbatasan. Dari perspektif antropologis, masyarakat nelayan berbeda dari masyarakat lainnya, seperti petani, buruh di kota atau masyarakat di daratan tinggi. Perspektif antropologis ini didasarkan pada realitas sosial, bahwa masyarakat nelayan memiliki pola kebudayaan yang berbeda dari masyarakat lain sebagai hasil interaksi mereka dengan lingkungan beserta sumberdaya
yang
ada didalamnya.
Pola-pola
13
kebudayaan ini menjadi kerangka berfikir atau referensi perilaku masyarakat nelayan dalam kehidupan sehari-harinya. Secara Teologis masyarakat nelayan memilki kepercayaan cukup kuat, bahwa laut memilki kekuatan magis, sehingga diperlukan perlakuan-perlakuan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan terjamin. Tradisi ini masih tetap dipertahankan, seperti tradisi sowan suhu bagi nelayan yang berasal dari Wonokerto Pekalongan. Tradisi ini dimaksudkan untuk menjaga keselamatan para ABK (anak buah kapal) dan Nakhoda padawaktu melaut dan memperoleh hasil penangkapan ikan yang banyak (Satria, A, 2004). 2.2. Sumberdaya Perikanan Nontji (1987), mengatakan bahwa, untuk perikanan laut, besar potensi seluruhnya adalah 7,2 juta ton/tahun berupa standing stock, sedangkan yang dapat dimanfaatkan secara maksimal (Maksimum Sustainable Yield) berkisar 4,5 juta ton/tahun atau kurang lebih 65% dari standing stock ditambah lagi 2,1 juta ton/tahun yang terdapat diperairan ZEE Indonesia. Perairan laut Jawa Timur meliputi wilayah Teritorial dan wilayah laut Zona Ekonomi Ekslusif mempunyai luas sekitar 208.097 km2, sedangkan potensi yang terkandung
sebesar 618.418 ton/tahun, belum seluruhnya dimanfaatkan oleh
nelayan (Anonymous, 1988)dalam Mimit Primyastanto (2011c). Produksi perikanan daerah tingkat I Jawa Timur tahun 1995 sebesar 238.677,60 ton dimana sekitar 36,41% atau 225.176,60 ton merupakan produksi dari cabang usaha penangkapan di laut. Untuk produksi perikanan daerah tingkat 1 Jawa Timur tahun 2007 sebesar 395.890 ton dimana sekitar 96,72 % atau sebesar 382.877 ton merupakan produksi dari cabang usaha penangkapan di laut.Damanhuri (1980)mengatakan, bahwa nilai fishing ground bervariasi menurut kedalaman perairan, daerah dan musimnya.
14
Untuk mendapat produktivitas yang tinggi, pengembangan suatu alat, baik mengenai kontruksi maupun cara operasi harus disesuaikan dengan sifat biologis ikan yang menjadi tujuan penangkapan. 2.3. Operasional alat tangkap payang Cara pengoperasian alat tangkap payang adalah dengan melingkari kawanan ikan sehingga kawanan ikan tersebut terperangkap dan masuk kedalam kantong. Agar supaya ikan-ikan yang terperangkap tidak terjerat pada mata jaring bagian kantong akibat saling berdesakan, maka ukuran mata jaring pada bagian ini dibuat lebih kecil. Ukuran mata jaring yang lebih besar dapat dipakai pada bagian lain, yaitu bagian yang akan menggiring ikan masuk kekantong. Penentuan ukuran mata jaring bagian kantong alat tangkap payang pada dasarnya sama seperti pada kantong alat tangkap trawl. Oleh karena itu ukuran mata jaring pada bagian kantong alat tangkap payang dapat ditentukan dengan persamaan : M OB =2/3XM OG Dimana: M OB : ukuran mata jaring bagian kantong M OG : ukuran mata jaring gill net yang biasanya untuk menangkap ikan yang berukuran dan spesies sama (Fridman,1988). Alat tangkap payang ini digolongkan oleh Anonymous (1984) kedalam seine net yang mempunyai kantong dan dua buah sayap yang berfungsi sebagai penggiring kawanan ikan. Pengoperasiannya dengan menggunakan perahu atau kapal kecil dengan menebar jaring secara melingkar disuatu areal perairan yang diperkirakan terdapat banyak ikan. Sasaran penangkapan payang ditujukan kepada ikan-ikan permukaan (pelagis) dengan cara mengejar atau melingkari suatu gerombolan ikan yang
15
nampak di permukaan perairan atau dengan cara menggunakan alat bantu pengumpul ikan yang disebut rumpon. Untuk menghadang dan menggiring suatu gerombolan ikan yang terdapat pada areal jangkauan alat tangkap tersebut agar masuk ke kantong, maka alat tangkap dilengkapi dengan dua buah sayap. Fungsi mesh size (ukuran mata jaring) pada sayap hanyalah merupakan dinding penghadang dan bukan sebagai penjerat. Hasil tangkapan payang didukung oleh terbukanya mulut jaring yang dipengaruhi oleh beberapa pelampung dan pemberat. Fungsi pelampung adalah untuk mempertahankan agar mata jaring tetap terapung pada permukaan perairan. Sedangkan pemberat digunakan agar terjadi keseimbangan antara gaya apung dan gaya tenggelam sehingga mulut jaring akan terbuka dengan baik. Disamping itu juga sayapnya dapat berdiri tegak menghadang gerombolan ikan yang berenang ke arah horisontal. Pelampung yang digunakan umumnya terbuat dari alat bantu yang diikatkan pada bagian atas kedua sayap dan bagian tali yang digunakan atau tali ris atas dan bawah dan tali penarik. Ukuran tali ris atas lebih panjang dibanding dengan tali ris bawah karena pada bagian bibir atas jaring lebih menonjol kearah kantong dibandingkan dengan bibir bawah. Bahan pemberat yang digunakan pada alat tangkap payang ini umumnya terbuat dari campuran semen dan pasir yang mempunyai berat rata-rata 4 kg serta pemasangan pemberat disesuaikan dengan letak dari pelampung (Garner, 1977). 2.4. Pengelolaan Sumberdaya Ikan Berkelanjutan Kesulitan-kesulitan praktis dalam melaksanakan rencana pengelolaan di kawasan Indo-Pasifik tidak dapat diremehkan. Jumlah nelayan di Asia Tenggara saja diperkirakan lebih dari 4 juta orang. Daerah geografis dimana peraturan-
16
peraturan harus dilaksanakan luar biasa luasnya dan kebanyakan nelayan kecil tidak mempunyai sumber pendapatan alternatif, andaikata mereka dilarang memasuki sumberdaya di pantai atau periran umum didaratan. Disamping itu kekuasaan politik perusahaan-perusahaan perikanan skala besar dan pengambilan keputusan yang terpusat pada badan-badan perikanan pemerintah mempersulit dibentuknya kekuasaan lokal yang diperlukan untuk program pengelolaan sumberdaya perikanan yang dapat mengatasi pertentangan-pertentangan tersebut diatas secara efektif. Dengan adanya tekanan penduduk di negara-negara di kawasan IndoPasifik , maka perlu dilakukan lebih dari sekedar mengembangkan program pengelolaan perikanan jika tujuannya hendak meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan. Program-program pengelolaan gagal untuk menangani dengan baik para nelayan yang terlantar. Apabila hendak menghindari kemandekan dalam sektorsektor perikanan di pantai dan perairan umum, maka sebagai penyelesaian yang baik jumlah nelayan atau upaya penangkapan ikan harus dikurangi melalui programprogram yang aktif dan telah disetujui bersama serta kegiatan perangsang yang membuka kesempatan untuk mendapatkan peluang pendapatan alternatif bagi sektor penangkapan ikan berukuran kecil yang sekarang hanya sedikit jumlahnya atau hampir tidak ada. Skenario teoritis yang ada adalah model-model abstrak dari kenyataan, dimana biaya penangkapan ikan tidak seragam, lamanya musim penangkapan ikan berbeda-beda dan para nelayan tidak selalu bebas memasuki dan meninggalkan industri
perikanan.
Meskipun
ada
asumsi-asumsi
penyederhanaan
yang
memungkinkan abstraksi sampai tingkat tertentu, namun maksudnya jelas sekali dan melengkapi pengamatan empiris yang lebih maju. Selama sumberdaya perikanan tetap bersifat bebas ikut serta , pemecahan masalah ganda tentang eksploitasi
17
sumberdaya yang melampaui batas serta pendapatan penangkapan ikan yang rendah untuk jangka panjang tidak akan ditemukan dalam sektor penangkapan ikan tetapi malahan di luarnya. Dalam bentuk beberapa sumber pendapatan alternatif atau tambahan bagi nelayan kecil dengan keluarganya atau RTP (Rumah Tangga Perikanan). Sumberdaya ikan harus dikelola dan ditata karena sumberdaya itu sangat sensitif terhadap tindakan atau aksi manusia. Pengelolaan, penataan, atau dalam terminologi yang lebih umum, manajemen sumberdaya perikanan patut dilakukan supaya pembangunan perikanan dapat dilaksanakan dengan baik dan tujuan pembangunan dapat tercapai (Nikijuluw, 2005). Setiap negara menetapkan tujuan dan prioritas manajemen sumberdaya perikanan yang berbeda-beda tergantung pada latar belakang ekonomi, sosial, teknologi, dan politik. Indonesia menempatkan manajemen sumberdaya perikanan pada visi pembangunan perikanan dan kelautannya. Visi pembangunan perikanan Indonesia adalah mewujudkan usaha perikanan produktif dan efisien berdasarkan pengelolaan (manajemen) sumberdaya perikanan secara bertanggung jawab (DKP, 2001 dalam Nikijuluw, 2005). Upaya pengelolaan sumberdaya harus dilaksanakan secara terpadu dan terarah dengan melestarikan sumberdaya itu sendiri beserta lingkungannya. Pengelolaan perikanan bersifat kompleks mencakup aspek biologi, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan politik. Tujuan dikelolanya perikanan antara lain tercapainya optimalisasi ekonomi pemanfaatan sumberdaya ikan sekaligus terjaga kelestariannya. Menurut Cochrane (2002) dalam Mulyana (2007), tujuan (goal) umum dalam pengelolaan perikanan meliputi 4 (empat) aspek yaitu biologi, ekologi, ekonomi, dan sosial. Tujuan sosial meliputi tujuan-tujuan politis dan budaya. Contoh masing-masing tujuan tersebut yaitu:
18
(1) untuk menjaga sumberdaya ikan pada kondisi atau diatas tingkat yang diperlukan bagi keberlanjutan produktivitas(tujuan biologi); (2) untuk meminimalkan dampak penangkapan ikan bagi lingkungan fisik serta sumberdaya non-target (by-catch), serta sumberdaya lainnya yang terkait (tujuan ekologi); (3) untuk memaksimalkan pendapatan nelayan (tujuan ekonomi); (4) untuk memaksimalkan peluang kerja/mata pencaharian nelayan atau masyarakat yang terlibat (tujuan sosial). Definisi dalam upaya mengelola sumberdaya perikanan yang ada pada UU No. 31 tahun 2004 mengacu kepada FAO dalam Fisheries Technical Paper No. 424 yang diedit oleh Cochrane (2002) dalam Mulyana (2007) yaitu : ”The integrated process of information gathering, analysis, planning, consultation, decision-making, allocation of resources and formulation of implementation, with enforcement as necessary, of regulation or rules which govern fisheries activities in order to ensure the continued productivity of the resources and the accomplishment of other fisheries objectives”. Menurut Gulland (1982) dalam Nabunome (2007), tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi: 1. Tujuan yang bersifat fisik-biologik, yaitu dicapainya tingkat pemanfaatan dalam level maksimum yang lestari (MSY= Maksimum Sustainable Yield). 2. Tujuan yang bersifat ekonomik, yaitu tercapainya keuntungan maksimum dari pemanfaatan sumberdaya ikan atau maksimalisasi profit (net income) dari perikanan 3. Tujuan yang bersifat sosial, yaitu tercapainya keuntungan sosial yang maksimal, misalnya maksimalisasi penyediaan pekerjaan, menghilangkan adanya konflik kepentingan diantara nelayan dan anggota masyarakat lainnya.
19
Adapun Dwiponggo (1983) dalam Suharno (2008) tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dicapai dengan beberapa cara, antara lain: 1. Pemeliharaan proses kelangsungan sumberdaya perikanan dengan memelihara ekosistem penunjang bagi kehidupan sumberdaya ikan. 2. Menjamin pemanfaatan berbagai jenis ekosistem secara berkelanjutan. 3. Menjaga keanekaragaman hayati (plasma nutfah) yang mempengaruhi ciri-ciri, sifat dan bentuk kehidupan. 4. Mengembangkan perikanan dan teknologi yang mampu menumbuhkan industri yang mengamankan sumberdaya secara bertanggung jawab. Tujuan-tujuan itu menurut Pinkerton (1988) dalam Nikijuluw (2002), tidak dapat tercapai secara otomatis tetapi dapat dicapai melalui beberapa kegiatan yang intinya merupakan komponen manajemen sumberdaya perikanan. Kegiatankegiatan tersebut adalah sebagai berikut: - Pengumpulan dan analisis data. Data yang dikumpulkan dan dianalisis meliputi seluruh variabel atau komponen yang berkaitan dengan sumberdaya perikanan. Prioritas patut diberikan kepada data biologi, produksi dan penangkapan ikan yang merupakan informasi dasar pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Namun, data sosial ekonomi nelayan dan aspek legal perikanan tidak boleh dilupakan. - Penetapan cara-cara pemanfaatan sumberdaya ikan meliputi perizinan, waktu, serta lokasi penangkapan. - Penetapan alokasi penangkapan ikan (berapa banyak ikan yang boleh ditangkap) antar nelayan dalam satu kelompok dengan kelompok nelayan yang lain atau nelayan yang berbeda alat tangkap dan metode penangkapan ikan.
20
- Perlindungan terhadap sumberdaya ikan yang mengalami tekanan ekologis akibat penangkapan ataupun kejadian alam. - Penegakan hukum dan perundang-undangan tentang pengelolaan sumberdaya perikanan. - Pengembangan dan perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan dalam jangka panjang yang ditempuh melalui evaluasi terhadap program kerja jangka pendek atau yang saat itu sedang diimplementasikan. -
Pengambilan
keputusan
manajemen
sumberdaya
perikanan
dengan
mempertimbangkan pengertian yang sempit, yaitu sumberdaya ikan itu sendiri maupun pengertian yang luas – sumberdaya ikan beserta seluruh aspek yang berpengaruh atau dipengaruhi pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut. Masyarakat
perikanan
internasional
menganggap
penting
manajemen
sumberdaya perikanan seperti yang dimuat dalam CCRF (Code of Conduct for Responsible Fisheries). Pasal 7 CCRF mengenai Manajemen Perikanan diantaranya menyatakan bahwa negara harus mengadopsi pendekatan manajemen sumberdaya perikanan yang tepat berdasarkan pada bukti dan fakta ilmiah yang ada. Selain itu, pendekatan harus diarahkan untuk mempertahankan atau memulihkan stok perikanan di laut pada tingkat kemampuan maksimum menghasilkan ikan tanpa merusak lingkungan dan mengganggu stabilitas ekonomi (FAO, 1995). Pilihan alternatif manajemen sangat tergantung pada kekhasan, situasi, dan kondisi perikanan yang dikelola serta tujuan pengelolaan atau pembangunan perikanan (Nikijuluw, 2002). Nabunome (2007) merekomendasikan supaya ada pengaturan ukuran mata jaring, kontrol terhadap musim dan daerah penangkapan, pengurangan jumlah upaya tangkap, dan pengaturan waktu penangkapan untuk menghindari konflik antar nelayan sebagai hasil penelitiannya tentang pengelolaan sumberdaya
21
ikan demersal (studi empiris di Kota Tegal), Jawa Tengah. Pomeroy et. al.(2009) melakukan penelitian tentang pengelolaan perikanan berbasis ekosistem dengan metode EBFM (Ecosystem Based Fishery Management) dan pendekatan EAFM (Ecosystem Approach to Fishery Management) pada perikanan laut tropis skala kecil di Philipina yang diatur oleh pemerintah setempat. Hasil penelitian merumuskan skema model pengelolaan sebagai berikut:
Dinas Perikanan Kota Puerto Princess (FARMIC)
Pengelola Perikanan Pada Teluk Honda
Desa 1
Desa 15
Pengelola Perikanan Pada Teluk Puerto Princess
Desa 1
Desa 22
Pengelola Perikanan Pada Teluk West Coast Ulugan dan St. Paul
Desa 1
Desa 11
Gambar 1. Skema Manajemen Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem di Philipina(Pomeroy, et.al. 2009) Skema manajemen pengelolaan perikanan dari penelitian Pomeroy, et.al. (2009) merupakan salah satu contoh bagaimana pemerintah berperan dan mengajak masyarakat setempat untuk berpartisipasi demi kelangsungan dan kelestarian ekosistem pesisir yang menjadi sumber kehidupan. Pemerintah Daerah Philipina masing-masing membentuk perwakilan pengelola perikanan pada tiaptiap sentra perikanan (teluk-teluk) yang juga berperan sebagai koordinator dari sub-sub
22
pengelola yang skalanya lebih kecil (di setiap desa) untuk mempermudah koordinasi antara desa-desa kecil dengan instansi pemerintah daerah terkait. 2.5. Kebijakan dan Peraturan Pemerintah Pada Pengelolaan Sumberdaya Ikan Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar, tetapi potensi tersebut jika tidak dikelola secara baik maka sumberdaya tersebut akan punah. Untuk mengatur tentang pemanfaatan, pemasaran
dan
pengelolaan
sumberdaya
perikanan
maka
Pemerintah
mengeluarkan beberapa kebijaksanaan dan peraturan sejak tahun 1973 sampai tahun 2007. Ada 16 perundang-undangan perikanan nasional yang berlaku di Indonesia. Perundang-undangan ini meliputi semua aspek dari sektor perikanan mulai dari kegiatan penangkapan ikan, pengelolaan sampai dengan pemasarannya. Perundang-undangan ini antara lain : 1) Undang-undang Republik Indonesia No.5 tahun 1983 Keputusan ini menetapkan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia 2) Keputusan Menteri Pertanian No.769 tahun 1988 Keputusan ini menetapkan aturan untuk pengoperasian alat tangkap lempira dasar 3) Undang-undang Republik Indonesia No.5 tahun 1990 Keputusan ini mengatur tentang konversi sumberdaya hayati dan ekosistemnya 4) Keputusan Menteri Pertanian No.392 tahun 1999 yang merupakan amandemen dari Keputusan Menteri Pertanian No.607 tahun 1976 Keputusan ini mengatur tentang jalur tangkap di wilayah Indonesia yang disesuaikan dengan alat tangkap dan ukuran kapal 5) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.10 tahun 2003 Keputusan ini mengatur tentang izin usaha perikanan bagi setiap perusahaan baik perusahaan Indonesia maupun perusahaan Asing yang bergerak di bidang
23
penangkapan ikan di 9WPP yang ada di Indonesia. Setiap perusahaan wajib memiliki Izin Usaha Perikanan (IUP), Surat Penangkapan Ikan (SPI)dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). 6) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.13 tahun 2004 Keputusan ini mengatur tentang nelayan andon, dimana nelayan ini wajib memiliki surat izin penangkapan ikan di daerah dimana mereka melakukan penangkapan ikan. Hal ini dimaksudkan untuk mengendalikan usaha penangkapan ikan agar tertib sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab serta tidak menimbulkan konflik antar sesama nelayan (nelayan andon dan nelayan lokal). 7) Undang-undang Republik Indonesia No.31 tahun 2004 tentang Perikanan mengamandemen Undang-undang Republik Indonesia No.9 tahun 1985 Selanjutnya direvisi dengan UU No.45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Keputusan ini mengatur tentang penetapan aturan dan petunjuk operasional perikanan di Indonesia. Dalam keputusan ini juga sudah diatur mengenai peradilan perikanan di Indonesia. 8) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 6/Men/2008 yang memperbolehkan penggunaan alat tangkap Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur mengamandemen Keputusan Presiden No.39 tahun 1980 Keputusan ini melarang penggunaan alat tangkap pukat trawl di wilayah Perairan Indonesia. 9) Undang-undang Republik Indonesia No.26 tahun 2007, Keputusan ini mengatur tentang perencanaan tata ruang.
24
10) Undang-undang Republik Indonesia No. 27 tahun 2007, Keputusan ini mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Peraturan yang secara langsung berkaitan dengan penelitian ini adalah Undang-undang No.45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Dalam Undang-undang ini juga mengatur pengelolaan perikanan di Indonesia. Sesuai pasal 7 ayat 4 dijelaskan bahwa menteri mengatur jumlah tangkapan yang diperbolehkan, jenis, jumlah, ukuran, daerah, jalur, waktu,
musim
penangkapan
ikan
disesuaikan
dengan
potensi
dengan
mempertimbangkan rekomendasi dari Komisi Nasional yang mengkaji sumberdaya ikan. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian No.392 tahun 1999 yang mengatur jalur-jalur penangkapan ikan. Sesuai Kep Men tersebut bahwa jalur perikanan dibagi menjadi 3 yaitu jalur I, II dan III. Jalur I dibagi menjadi 2 yaitu jalur Ia daerah tangkapan sampai 3 mil, jalur Ib perairan diluar 3 mil sampai 6 mil, jalur II daerah tangkapannya diluar 6 mil sampai 12 mil, jalur III perairan diluar jalur II (12 mil) sampai dengan batas terluar ZEE. Dengan penetapan jalur ini maka Propinsi memiliki kewenangan mengelola kekayaan laut sejauh 12 mil sedangkan Kabupaten/Kota 1/3 dari kewenangan Propinsi (4 mil) sesuai amanat dalam pasal 18 Undang-undang No.32 tahun 2004. 2.6. Kearifan Lokal Pada Pengelolaan Perikanan Berdasarkan Ekosistem Pendekatan ekosistem mencakup seluruh aspek kehidupan nelayan, baik material maupun spiritual (agama) yang menjadi fondasi sosial kehidupan masyarakat pesisir.. Artinya
penguatan
modal alam juga termasuk penguatan
perilaku masyarakat. Oleh karena itu pendekatan ekosistem termasuk penguatan sikap batin masyarakat. Ada 2 hal penting dalam pendekatan ini, yaitu : dalil Naqli (Al-qur’an) dan dalil Aqli (akal).
25
(1) Dalil Naqli (Al Qur’an) Al Qur’an menegaskan bahwa
bumi merupakan lingkungan hidup yang
paling nyaman bagi manusia. Oleh karena itu harus dijaga kenyamanan hidup tersebut.. Mari kita renungkan bersama isyarat kehidupan di bumi berikut ini. Dalil Naqli 1 : Al-Qur’an Surah At-Takwir :ayat 6 6. “Dan apabila lautan dipanaskan (suhu naik)*) Dalil Naqli 2 : Al-Qur’an Surah Ar-Rahman : ayat 6.
6. “Dan semua tumbuhan
dan semua pepohonan
keduanya tunduk
kepadaNya**). Dalil Naqli 3 : Al-Qur’an Surah Yaasin : ayat 80. 80. “Yaitu Tuhan yang menjadikan untuk kamu api dari kayu yang berwarna hijau**), maka seketika itu juga kamu menyalakan (api) dari kayu tersebut. Keterangan : *)
Pemanasan global akibat emisi karbon melebihi batas keseimbangan
alam,
sehingga kenikmatan hidup di dunia akan berkurang, berdampak luas seperti perubahan iklim , termasuk
punahmya kehidupan banyak jenis makhluk,
termasuk manusia.
**) Fungsi pohon-pohonan adalah menjadi
kunci (berbakti kepada Allah SWT.
dengan ikhlas, tanpa pamrih) dalam menjaga keseimbangan alam dan kehidupan sebagai penyerap carbon (CO2) dengan bantuan sinar matahari (fotosinthesis) menghasilkan oksigen (O2), tentu saja
untuk menjaga
kelangsungan kehidupan manusia di bumi. Manusia pantas malu pada perilaku pohon-pohonan ini.
26
Dengan dasar rujukan tersebut, Al Qur’an sebagai acuan hidup memberikan perhatian sangat tinggi terahap pentingnya keseimbangan alam
sikap/ etika untuk selalu
untuk kenyamanan hidup kita dengan sikap hidup
menjaga ramah
terhadap alam/ lingkungan. Dalil Naqli : Al-Qur’an surah Al-baqarah ayat 261 Menanggulangi
kemiskinan
untuk
meraih
mengandung makna mengembangkan kehidupan
kehidupan
yang
nyaman
masyarakat untuk menjadi
sejahtera secara berkelanjutan. Menurut ajaran agama, ukuran sejahtera itu tidak muluk-muluk. Dimana hal itu tertuang dalam rukun Islam yaitu dengan membayar kewajiban zakat bagi yang telah memiliki tingkat kekayaan mencapai batas lebih nishab dalam periode waktu kepemilikan selama satu tahun (haul). Seperti hasil pertanian nishabnya sebesar 300 sha’ (930 liter atau 760 kg kering dan bersih), dengan zakat sebesar 5 % (dengan system irigasi) dan 10 % ( dengan tadah hujan). Pada usaha perdagangan dan jasa, tingkat keuntungan disetarakan dengan nishab 93, 6 gram emas atau nishab perak sebesar 624 gram, zakatnya sebesar 2,5 %. Dan untuk zakat barang temuan (rikaz) besarnya 20 % dari nilai temuan tersebut. Adapun perumpamaan orang yang mengeluarkan zakat adalah seperti orang yang berbisnis mendapat laba 700 kali lipat, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an surah Al-baqarah ayat 261, yaitu : “ Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada setiap bulir, seratus biji. Allah melipat gandakan ganjaran bagi siapa yang Dia kehendaki.Dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui “.
27
(2) Dalil Aqli (akal) Policy dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara maksimal dan sustainable atau berkelanjutan pada tingkat Maksimum Sustainable Yield (MSY) dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan terdiri atas 2 kebijakan, yaitu : jangka pendek dan jangka panjang (Smith , 1987). Kebijakan jangka pendek meliputi kegiatan yang terkait dengan perbaikan teknologi, peningkatan harga ikan dan subsidi input. Sedangkan kebijakan jangka panjang meliputi kegiatan peningkatan kesejahteraan melalui sumber pendapatan alternative berupa AMP (alternative Mata Pencaharian bagi rumahtangga nelayan. Adanya pembatasan quota penangkapan dengan mengurangi jumlah armada penangkapan yang dikenal sebagai kebijakan transformasi ( dari nelayan ke pertanian atau industry, Tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri). Juga diupayakan pendekatan kawasan konservasi laut (KKL). Kawasan Konservasi Laut (KKL) bertujuan adanya peningkatan ukuran tubuh ikan matang gonad yang siap untuk memijah dan melakukan reproduksi. Dimana hal tersebut akan mampu menghasilkan benih ikan yang lebih besar jumlahnya. Kemudian ikan yang sedang berkembang biak di sekitar KKL akan menbentuk food chain system atau rantai makanan sehingga ikan yang ada disekitar KKL akan melimpah sekaligus menjamin ketersediaan ikan untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan secara sustainable (Gell dan Roberts, 2002). Sebagai contoh untuk Kearifan Lokal Pada Pengelolaan Perikanan Berdasarkan Ekosistem adala tentang ekosistem terumbu karang di Indonesia. Dimana bisa dilihat bagimana potensi, aspek biologi, aspek lingkungan, aspek kondisi dan ancaman terhadap terumbu karang sebagai berikut :
28
A. Potensi Terumbu Karang Indonesia Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terluas di dunia dengan sekitar 17.000 pulau, memiliki kekayaan fauna maupun flora yang beragam sehingga di dunia dikenal dengan sebutan megabiodiversity country. Sementara itu, mayoritas penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir. Hal ini dikarenakan ekosistem pesisir dan lautan merupakan sumber matapencaharian bagi mereka. Terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang dominan dari perairan dangkal atau perairan wilayah pesisir di daerah iklim tropis. Ekosistem ini disebut unik karena selain memiliki bentuk yang indah dari beragam spesies karangnya sendiri,juga memiliki beragam spesies biota laut yang berasosiasi dengannya. Ini menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang merupakan salah satu gudang biota dengan keanekaragaman hayati tinggi. Menurut Kantor Kementrian Negara Lingkungan Hidup dan Wetlands International Indonesia (1996), terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di dunia yang sangat produktif, dengan nilai ratarata produktivitas primernya adalah 2.500 gr/
/tahun. Selain sangat penting secara
ekologi, ekosistem yang memiliki sistem ekologi yang stabil ini mempunyai nilai dan arti yang tidak kalah pentingnya dari segi sosial ekonomi dan sosial budaya. Secara sosial ekonomi dan sosial budaya, terumbu karang ini antara lain berfungsi sebagai sumber makanan, bahan obat-obatan, dan bahan bangunan. Disamping itu, keberadaan terumbu karang memiliki arti penting bagi perikanan laut dangkal. Manfaat lain adalah sebagai obyek wisata bahari karena memiliki nilai estetika yang sangat mengagumkan. Akan tetapi dengan segala fungsinya tersebut telah mendorong adanya aktivitas manusia yang tidak terkendali dimana telah mengakibatkan terjadinya kerusakan ekosistem terumbu karang.
29
Kondisi tersebut menunjukkan adanya degradasi lingkungan serta tidak efektifnya pengelolaan sumberdaya dan lingkungan pantai. Tekanan sosial ekonomi yang muncul serta diperburuk dengan proyek-proyek ekspansi ekonomi ke kawasan daratan pesisir atau pantai dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat telah diindikasikan sebagai penyebab utama adanya kerusakan ekosistem pesisir, termasuk didalamnya ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu sumberdaya terumbu karang ini perlu dikelola dan dilestarikan secara bijaksana dan rasional, agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustainable). B. Aspek Biologi Terumbu Karang Karang (koral) merupakan komunitas laut yang sangat unik, dimana sebagian besar karang merupakan binatang-binatang kecil yang disebut polip, hidup berkoloni dan membentuk terumbu (Wesmacott et.al. 2000). Menurut Nybakken (1982), terumbu adalah hasil sedimentasi kalsium karbonat yang dihasilkan oleh karang-karang hermatik, alga koralin, dan organisma lain. Organisme karang termasuk kedalam filum Cnidaria bersama-sama dengan ubur-ubur, hydroid, hydra air tawar, dan anemone laut (Morton, 1990). Koloni karang bereproduksi, baik secara seksual maupun aseksual. Reproduksi seksual melibatkan pembuahan telur karang oleh sperma untuk membentuk larva yang berenang bebas. Larva-larva tersebut dapat beradaptasi dengan baik untuk distribusi serta tergantung dari spesies dan kondisinya , dapat menjadi bibit dimana mereka berasal, didekat terumbu karang yang ratusan kilometer jauhnya (Richmond 1997). Repoduksi aseksual terjadi bila patahanpatahan karang terlepas dari koloni induknya, dan apabila patahan tersebut
30
mendarat pada substrat yang tepat, maka ia dapat menempelkan kembali dirinya sendiri dan berkembang menjadi koloni baru (Wesmacott et.al. 2000). Dilihat dari bentuk pertumbuhan individu atau koloni karang, maka dapat dibedakan menjadi enam macam yaitu tipe bercabang, padat, daun, kerak, jamur dan tipe meja (Morton, 1990). Dan berdasarkan struktur geomorfologinya serta proses pembentukannya, terumbu karang dapat dibedakan atas empat tipe terumbu karang, yaitu terumbu karang tepi, kecil atau takat, penghalang, dan cincin (Morton 1990, Rompas dan Usher 1992). C. Aspek Lingkungan Kualitas air merupakan faktor penting bagi kehidupan karang, menurut Berwick (1983) dan Nontji (1987), untuk hidupnya karang memerlukan persyaratan hidup tertentu. Persyaratan tersebut yang terpenting adalah suhu, salinitas, kecerahan air, sedimentasi, arus, dan cahaya. Suhu optimal bagi pertumbuhan karang menurut randhal dan Myers dalam Darjamuni (1986) berkisar 25 – 30 *C. Sedangkan menurut Berwick (1983), suhu optimum berkisar antara 23 – 25 *C dan pada suhu air tahunan dibawah 18 *C maka karang tidak akan mengalami perkembang biakan. Salinitas optimum untuk pertumbuhan berkisar antara 32 – 35 ppt (Divlev, 1980). Sedangkan pada kondisi saliitas diatas atau dibawah 30 – 35 ppt, perkembangan karang tidak baik (Berwick 1983 dan Nybakken 1982). Adapun kedalaman maksimum karang untuk dapat membentuk terumbu karang adalah 50 70 m, tetapi karang dapat berkembang dengan baik pada kedalaman kurang dari 25 m dengan suhu rata-rata minimum tahunan 20 *C (Nybakken, 1982).
31
Selain itu lokasi yang baik untuk pertumbuhan karang adalah adanya sumber cahaya untuk berfotosintesis, sedimentasi hanya terbatas pada kolom air serta tidak ada makroalga. Ini disebabkan adanya makroalga dapat merupakan pesaing untuk medapatkan cahaya matahari dan membatasi penempelan larva (Richmond, 1997). D. Aspek Kondisi dan Ancaman Terhadap Karang Kondisi karang di Indonesia, berdasarkan data yang tercatat pada buku Status of Coral Reefs of The World 2000 adalah 40 % terumbu karang termasuk dalam kategori jelek, dan hanya 29 % dipertimbangkan termasuk dalam kategori baik sampai sangat baik. Keaneka ragaman spesies karangnya berjumlah 450 spesies. Kondisi terumbu karang di Indonesia bagian Timur lebih baik kondisinya dibandingkan bagian barat. Ancaman terhadap terumbu karang adalah terjadinya pemutihan karang, baik akibat perubahan iklim yang mengakibatkan penaikan suhu muka air laut, juga aktivitas manusia. Aktivitas manusia yang mengakibatkan kerusakan terumbu karang adalah reklamasi lahan pesisir, pembuangan limbah, kegiatan wisata, kegiatan perikanan yang merusak ( pemakaian bom, racun, dan alat tangkap yang tidak selektif), serta eksploitasi terumbu karang secara langsung (Wesmacott, 2000). Kerusakan ekosistem terumbu karang yang terjadi di Indonesia menurut Herman Cesar dalam COREMAP (Coral Reefs Rehabilitation and Management Program) (1988), dapat mengakibatkan Indonesia kehilangan 45 juta dolar Amerika dalam waktu empat tahun. Hal ini dapat terjadi apabila penggunaan bahan peledak dengan tujuan utama mengambil ikan karang tidak dihentikan.
32
E. Aspek Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat adalah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum
nilai-nilai
sosial.
Konsep
ini
mencerminkan
paradigma
baru
pembangunan, yaitu bersifat people-centered, participatory, empowering, and sustainable (Chamber dalam kartasasmita, 1996).Salah satu upaya penting dalam strategi pemberdayaan, adalah pendidikan, dan melalui pendidikan pengembangan serta penyerapan ilmu pengetahuan. Upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari tiga hal, yaitu : a. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah bahwa setiap manusia, masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. b. Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan
masyarakat
harus
dicegah
yang
lemah
menjadi
bertambah lemah, karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. c. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering).
F. Aspek Kearifan Lokal Pada Terumbu Karang Di Indonesia, terumbu karang atau ekosistem terumbu karang telah mengalami tekanan yang besar terutama akibat pengaruh manusia. Selama ini ada beberapa kendala yang dihadapi dalam upaya pengelolaan terumbu karang,
33
diantaranya adalah kurang data dan informasi yang lengkap. Disamping itu, pengelolaan yang ada masih banyak belum berpihak pada kearifan lokal, masyarakat lokal yang sesungguhnya berhak memperoleh manfaat dari keberadaan ekosistem terumbu karang tersebut. Tapi hal yang paling mendasar adalah masih kurangnya kesadaran masyarkat (Community awareness) yang hidup disekitarnya, yang tergantung, membutuhkan, dan atau mempengaruhi ekosistem terumbu karang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini, pengelolaan ekosistem terumbu karang yang dikemukakan adalah pengelolaan dengan konsep kearifan lokal dalam rangka pemberdayaan masyarakat untuk mengelola lingkungan sendiri. Hal ini dilakukan dengan harapan masyarakat tersebut merasa bertanggung jawab untuk melaksanakannya. Dimana kegiatan ini tidak semata-mata ditinjau dari sisi potensi daerah sekitarnya saja, tetapi juga seberapa besar masyarakat tersebut menimbulkan kerusakan. Ini disebabkan potensi kerusakan sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor obyektif ada masyarakat setempat, yang menyangkut persoalan sosial ekonomi dan sosial budaya. Sebagai gambaran dari uraian sebelumnya. Maka berikut ini akan diuraikan sedikit tentang kearifan lokal serta pentingnya peran serta masyarakat dalam pelestarian lingkungan serta manfaat yang diperolehnya. Gambaran ini merupakan suatu studi kasus di perairan pantai Jemluk, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Kawasan pesisir Jemluk dihuni oleh sekitar 87 kepala keluarga (KK) yang bermata pencaharian utama sebagai nelayan. Bidang perikanan di kawasan ini masih bersifat tradisional, dimana nelayan menangkap ikan menggunakan perahu jukung dan alat tangkap utama adalah pancing tonda dengan spesies sasarannya adalah ikan tongkol dan cakalang. Selain menangkap ikan, nelayan umumnya
34
memilki usaha lain seperti beternak, berladang, dan melayani antar jemput turis untuk memancing, snorkeling , atau menyelam. Pada kawasan pesisir pantai Jemluk potensial untuk dibuat termbu karang buatan yang merupakan salah satu solusi teknis kearifan lokal dalam meningkatkan produktivitas alami pada area yang telah mengalami degradasi habitat. Penempatan terumbu karang buatan ini dimulai pada tahun 1991 oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan terkait dengan Proyek Pelestarian Lingkungan Hidup Perikanan. Pelaksanannya secara penuh melibatkan dukungan masyarakat lokal serta instansi pemerintah di tingkat daerah seperti : Dinas Perikanan, Dinas Pariwisata, dan Pemerintah Daerah. Dengan adanya terumbu karang buatan ini, masyarakat lokal dapat mengambil manfaatnya, antara lain : 1. Pemanfaatan waktu luang, dimana keberadaan terumbu karang buatan telah menambah kegiatan masyarakat lokal yang bisa dilakukan pada waktu mereka tidak ada aktivitas usaha seperti pelayanan pariwisata, dan memancing ikan-ikan dasar, serta ikan-ikan karang. 2. Pelayanan pariwisata,
para instruktur selam biasanya memanfaatkan
keberadaan terumbu karang buatan sebagai salah satu promosi wisatawan. 3. Kegiatan memancing ikan-ikan dasar dan ikan-ikan karang,
dimana
sebelumnya hanya dilakukan selama enam bulan dalam setahun (Juni – November). Namun setelah adanya terumbu karang buatan ini maka meningkat produktivitas nelayan lokal, dengan mengisi kegiatan tersebut di lokasi penempatan terumbu karang buatan, pada saat tidak pergi melaut.
35
Berdasarkan alasan tersebut, nelayan sebagai masyarakat lokal menilai bahwa pengembangan terumbu karang buatan juga telah meningkatkan pendapatan atau secara ekonomi menguntungkan dengan adanya solusi teknis kearifan lokal tersebut. Keberhasilan tersebut disebabkan sejak awal masyarakat lokal telah diberdayakan. Dalam hal ini, mereka telah dilibatkan dan dilakukan penyuluhan yang berkaitan dengan rencana pengembangan terumbu karang buatan. Sesuai dengan pengamatan, secara berkelanjutan telah ada perubahan positif pada masyarakat lokal. Dan beberapa hal yang berkaitan dengan perubahan masyarakat sehingga telah menjadi suatu kearifan lokal di desa Jemluk, Bali sebagai brikut: a. Masyarakat
lokal
merasa
malu
untuk
menggunakan
cara
penangkapan ikan yang bisa menyebabkan kerusakan lingkungan, seperti penggunaan potas dan bom. b. Masyarakat lokal akan melarang atau melaporkan kepada pihak berwajib tentang aktivitas yang mereka nilai merusak lingkungan dan bagi yang melakukan akan dikucilkan dari masyarakat. c. Setiap bulan diadakan kerja bakti sosial bersih lingkungan. d. Pembuangan sampah ke kawasan lingkungan pantai telah banyak berkurang. e. Penangkapan ikan karang di lokasi wisata dibatasi hanya pada musim tidak menangkap ikan tongkol di laut. Selain gambaran mengenai kasus masyarakat lokal di pesisir Jemluk, ada sebagian masyarakat pesisir yang telah menjaga kelestarian terumbu karang sehingga kelestarian fungsi dan pemanfaatannya dapat berkelanjutan (sustainable). Hal ini dapat berlangsung dikarenakan adanya adat atau tradisi masyarakat yang
36
turun temurun atau dikenal dengan kearifan lokal. Tata cara tersebut dewasa ini telah dikenal. Dimana menurut Grenier (1998), hal tersebut merupakan sesuatu yang unik, tradisional, dipunyai oleh suatu kelompok atau komunitas masyarakat tertentu didalam berbagai aspek lingkungannya dan kehidupan sehari-harinya pada suatu wilayah tertentu pula. Pengetahuan sistem kearifan lokal mencakup seluruh aspek dalam kehidupan, termasuk pengelolaan alam lingkungan. Salah satunya yang dapat dijadikan contoh adalah tradisi Mane’e, yang merupakan tradisi pelestarian pemanfaatan
keanekaragaman
dan
sumberdaya
pantai
melalui
pergiliran
pemanfaatan kawasan terumbu karang. Tradisi Mane’e mengakar kuat di desa Kakorotan, Kecamatan Nannusa, Kabupaten Sangihe Talaud. Desa Kakorotan terdiri dari beberapa pulau, yaitu pulau Intana, Kakorotan dan Malo yang dikaruniai oleh Tuhan dengan keanekaragaman (Biodivercity) sumberdaya alam yang sangat tinggi. Dan hampir di seluruh perairan pesisirnya memiliki terumbu karang, yang disebut Napo oleh penduduk setempat. Keragaman spesies yang ada sangat tinggi, diantaranya spesies udang, tripang, biota laut yang dilindungi misalnya ikan Napoleon, penyu, kima dan siput. Masyarakat Kakorotan selama ini mengambil hasil laut dengan cara yang cukup bijak, berkat adanya kearifan lokal, yaitu kepercayaan kepada Mane’e. Tradisi ini konon dimulai sejak abad ke-16, yang dijalankan sekali dalam setahun, biasanya sekitar bulan Mei bertepatan dengan pasang tertinggi, surut terendah yang terjadi pada akhir bulan purnama dan awal bulan gelap. Dimana kegiatan Mane’e diawali dengan melakukan pelarangan hasil laut (eha) pada lokasi yang sebelumnya telah ditentukan. Upacara Mane’e selanjutnya dilakukan melalui sembilan tahapan.
37
Tradisi Mane’e adalah sebuah upacara adat dalam menangkap ikan yang merupakan suatu tradisi yang dapat mewakili kearifan lokal masyarakat pesisir Kakorotan dalam mengelola alam. Hal ini disebabkan dalam tradisi ini terdapat pemilihan lokasi dan aturan main yang diterapkan pasca perayaannya. Kegiatan ini tidak dilaksanakan di semua tempat melainkan di lokasi tertentu yang telah ditetapkan adat sejak dahulu, yang meliputi daerah terumbu karang sampai ke pinggiran pantai. Adapun aturan main yang harus dipatuhi oleh masyarakat lokal adalah eha , atau larangan menangkap ikan dan hasil laut lainnya bagi masyarakat lokal dan orang luar di daerah yang akan menjadi tempat pelaksanaan tradisi tersebut. Lokasi eha ditentukan berdasarkan musyawarah adat. Dimana lokasinya setiap tahun berpindah tempat dan diberlakukan enam bulan sebelum tradisi tersebut. Masyarakat yang melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi adat atau moral dan membayar sejumlah uang denda kepada lembaga adat desa setempat. Kearifan lokal yang lain juga ada dan masih berlaku di Maluku, yaitu sistem Sasi dimana berupa larangan memanen atau mengambil sesuatu dari alam untuk waktu tertentu. Sasi ikan lompa di Pulau Haruku dan Ambon sangat terkenal sebagai salah satu acara tahunan yang unik bagi masyarakat lokal. Hal ini menunjukkan salah satu bentuk kearifan lokal dalam menjaga kelestarian lingkungan. Dengan ditetapkannya Sasi atas spesies tertentu dan di wilayah tertentu oleh Kewang, yaitu semacam polisi adat di Maluku Tengah, maka siapapun tidak berhak untuk mengambil spesies tersebut. Ketentuan ini sebenarnya memberi kesempatan kepada ikan lompa untuk berkembang biak dan tumbuh, yang kemudian dapat dipanen ketika Sasi dibuka kembali.
38
Berbagai hukum adat yang berada pada setiap daerah khususnya terkait dengan masalah sumberdaya perikanan, sebaiknya disosialisasikan secara berkesinambungan. Hal ini dikarenakan banyak sistem kearifan lokal yang sebetulnya sesuai dengan pengelolaan sumberdaya perikanan secara lestari. Disamping telah diberlakukan penangkapan spesies tertentu pada wilayah tertentu (Closing area) dan dalam waktu tertentu (Closing time), juga selalu ditegaskan bahwa untuk menangkap spesies ikan tidak diperkenankan menggunakan bahan atau alat yang dapat merusak ekosistem lingkungan. Dari deskripsi diatas menjadi sangat jelas, bahwa ada kearifan lokal dalam bidang perikanan yang sudah menerapkan cara-cara penangkapan yang ramah lingkungan (Enviromental friendly), sehingga pemanfaatan sumberdaya perikanan terumbu karang yang berkelanjutan. Jelas kearifan lokal tersebut menjadi penting untuk disosialisasikan dan dipelajari sehingga dapat diadopsi untuk kelestarian sumberdaya perikanan lain di wilayah lain, di Indonesia khususnya dan seluruh dunia pada umumnya. Maka tindakan yang bisa dilakukan adalah : 1. Pengelolaan ekosistem terumbu karang bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga para tokoh agama lokal untuk dapat memberikan penyuluhan tentang pentingnya menumbuhkan sifat kearifan lokal dalam kitab suci al-Qur’an terutama pembahasan tentang Q.S. ARRuum :41 dalam khutbah Jum’at. 2. Pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan kearifan lokal bertujuan mengikutsertakan masyarakat lokal, bukan hanya sebagai obyek tetapi sebagai pengelola dengan memandang kepentingan baik secara ekologis, ekonomis, dan sosbud, seperti dicontohkan oleh masyarakat pesisir Jemluk, Bali.
39
3. Upaya konservasi dan pengelolaan yang dilakukan berdasarkan kearifan lokal, seperti tradisi Mane’e dan Sasi merupakan sistem kearifan lokal yang perlu dipertahankan dan dilestarikan, agar manfaat ekonomi menjadi berkelanjutan tanpa harus merusak terumbu karang sebagai salah satu sumberdaya perikanan. Hendaknya ada kerjasama antara pemerintah dan masyarakat lokal, terutama tokoh agama dalam menjalankan policy agar pembangunan berkelanjutan yang mengutamakan kelestarian sumberdaya alam. Kearifan lokal seperti tradisi Mane’e dan Sasi tersebut sebaiknya dilegitimasi sehingga keberadaannya dapat terus dipertahankan dan dilestarikan, bagi kepentingan masyarakat lokal, juga bagi kepentingan ilmu pengetahuan serta bagi pengelolaan sumberdaya perikanan yang lestari dan berkelanjutan (Sustainable).
2.7. Kearifan Lokal Pada Pengelolaan Perikanan Berdasarkan Sosial Dalam kitab suci Al-Qur’an Allah telah menginformasikan bahwa manusia sebagai subyek utama terjadinya kerusakan di dunia, yaitu : ” Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia , supaya ALLAH merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka (kembali ke jalan yang benar). (Q.S. AR RUUM : 41),sehingga perlu pencerahan bagi manusia untuk bisa bertindak arif dan bijaksana dalam mengelola alam, dimana pada ujungnya akan memberikan suatu adat kebiasaan sebagai kearifan lokal (Primyastanto. M, et al, 2010). Permasalahan environtment atau lingkungan hidup menjadi keniscayaan dunia sejak abad ke XX . Hal ini sebagai wujud kesadaran manusia akan arti pentingnya pemasalahan environtment atau lingkungan hidup sebagaimana telah
40
dideklarasikan oleh Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) yang dihadiri 131 negara pada tahun 1972 di Stocholm Swedia. Dimana pada intinya menyatakan bahwa perlindungan dan perbaikan environtment merupakan permasalahan global untuk menyelamatkan umat manusia sehingga setiap Negara dan pemerintah wajib memperhatikannya.
2.8. Kearifan Lokal Pada Pengelolaan Perikanan Berdasarkan Hukum Konsep system kearifan lokal berakar dari system pengetahuan dan pengelolaan masyarakat adat.Hal ini dikarenakan kedekatan hubungan mereka dengan lingkungan dan sumberdaya alam. Melalui proses interaksi dan adaptasi dengan lingkungan dan sumberdaya alam yang panjang, masyarakat adat mampu mengembangkan cara untuk mempertahankan hidup dengan menciptakan system nilai, pola hidup, system kelembagaan dan hukum yang selaras dengan kondisi serta ketersediaan sumberdaya alam disekitar daerah yang ditinggalinya (Syafa’at, 2005). Menurut Mitchell, et.al., (2000) bahwa pada awalnya, masyarakat adat tidak selalu hidup harmoni dengan alam. Mereka juga menyebabkan kerusakan lingkungan. Pada saat yang sama, karena kehidupan mereka tergantung pada dipertahankannya integritas ekosistem tempat mereka mendapatkan makanan dan rumah, kesalahan besarnya biasanya tidak akan terulang. Pemahaman mereka tentang system alam yang terakumulasi biasanya diwariskan secara lisan, serta tidak dapat dijelaskan melalui istilah-istilah ilmiah. Keberadaan dan peranan masyarakat adat dalam system pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan belum mendapat perhatian dan tempat
41
dalam system perencanaan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam Nasionanl.Percepatan
pembangunan
ternyata
telah
menyebabkan
banyak
kelompok-kelompok masyarakat adat kehilangan akses atas sumberdaya alam berupa hutan, pesisir dan lautan serta tanah yang pada gilirannya juga menghancurkan kelembagaan dan hukum masyarakat adat setempat. Hal ini dapat terjadi karena dalam proses perencanaan dan peruntukan tanah, hutan, pesisir dan lautan oleh pemerintah, masyarakat adat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan ( Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, 1999, Koentjaraningrat dkk.,1993; dan Kusumaatmadja,1993). Masyarakat adat dimaksudkan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu serta memiliki system nialai, idiologi, politik, ekonomi, budaya, sosial, dan wilayah sendiri. Pengertian ini sesuai dengan Konvensi Internasional Labour Organization (ILO) Nomor 169 Tahun 1969 Pasal I ( 1.b) yang isinya sebagai berikut, “ Tribal Peoples adalah mereka yang berdiam di Negara-negara merdeka dimana kondisi-kondisi social, budaya dan ekonominya membedakan mereka dari masyarakat lainnya di Negara tersebut. ( Syafa’at, 2005). Berbagai pengetahuan dan kearifan lokal milik masyarakat adat telah banyak hilang.Pengetahuan, pemahaman dan penguasaan masyarakat adat atas system konservasi ekologi serta kekayaan alamnya telah dihancurkan oleh kebijakankebijakan yang memaksakan keseragaman kehidupan social budaya. Pengetahuan dan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dimilki oleh masyarakat adat, seperti : system hera pada masyarakat Dani di lembah Baliem, system sasi pada masyarakat Adat Negeri Haruku, system perladangan berotasi pada masyarakat adat Dayak Benuaq tidak diakui eksistensinya dalam system
42
budaya yang disebut modern dan mengedapankan pasar. Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang mampu membentuk hukum yang baik, yang menghargai dan mengakui serta mengakomodasikan akses, kepentingan dan hakhak serta kearifan lokal yang ada di masyarkat adat, maka harus dianut idiologi pluralism hukum ( legal Pluralism) dalam pembangunan politik hokum otonomi daerah, dengan memberikan ruang bagi prinsip keadilan, demokrasi, partisipasi, transparansi, penghargaan dan pengakuan atas kearifan local ( Nurjaya, 2004). Pengakuan kearifan lokal juga mengimplementasikan hukum-hukum yang ada didalam Agama, sebagaimana yang dilakukan di negeri China sebagai berikut :In-depth analyses show that people’s conciousnessof ecological conservation was derived from the edification of kinds of ancient eco-ethical wisdom, such as totemism, nature worship, Zhou Yi, Taoism, Buddhism, Confucianism, Mohism, etc. (Maolin Li, et.al, 2010).
2.9. Kearifan Lokal yang Berlaku di Beberapa Daerah di Indonesia Berdasarkan beberapa kajian studi pada masyarakat adat yang ada di Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat tradisional mampu memelihara dan menjaga kearifan lokal dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam agar lestari, yaitu : tradisi lebak lebung (Sumatera Selatan), tradisi adat laot (Nangroe Aceh Darussalam), tradisi sasi (Maluku), tradisi pamali mamanci ikang (Maluku Utara), tradisi ponggawa sawi (Sulawesi Selatan), dan tradisi awig-awig (Nusatenggara Barat). Tradisi masyarakat adat tersebut telah diwarisi secara turun temurun, faktannya menunjukkan bahwa nilai tradisi kearifan lokal tersebut telah menjadi
43
hukum bagi masyarakat dan berdampak efektif dalam pengelolaan sumberdaya perikanan sekaligus menjaga pelestarian ekosistem yang ada .
2.10. Kearifan Lokal Yang Berlaku di Masyarakat Nelayan Selat Madura Kegiatan nelayan adalah kegiatan yang beresiko tinggi. Ini tidak hanya menyangkut besarnya modal yang dipertaruhkan dan pencarian keuntungan yang spekulatif, tetapi juga berkaitan dengan keselamatan jiwa. Gangguan alam yang datang setiap sa’at, seperti ombak dan angin yang besar, adalah hal-hal yang dapat mengancam keselamatan nelayan. Ada dua hal yang selalu menjadi pusat perhatian nelayan ketika perahu sedang beroperasi yaitu masalah keselamatan jiwa dan perolehan
rezeki
atau
keberutungan.
Mereka
berharap
keselamatan
dan
keberutungan dapat berpihak kepada dirinya sekaligus ( Kusnadi, 2005). Menurut masyarakat nelayan penguasa laut di Selat Madura adalah Nabi Khidir a.s. Upacara Petik Laut yang dilaksanakan nelayan pesisir setiap tahun menjelang musim ikan adalah untuk menghormati Nabi Khidir a.s. Dengan melakukan kegiatan ritual ini, nelayan meminta keselamatan selama melaut dan agar diberi rezeki hasil tangkapan yang berlimpah. Nabi Khidir a.s. diyakini dapat menampakkan diri ditengah laut dengan busana dan surban serba putih. Kendatipun demikian, tidak mudah bagi nelayan untuk dapat menyaksikan peristiwa demikian karena hal ini merupakan petunjuk keberuntungan. Persepsi bahwa Nabi Khidir a.s. adalah penguasa laut, juga ditemukan di masyarakat nelayan Pantai Utara Pulau Madura (Kusnadi, 1992). Masyarakat nelayan pesisir juga ada kebiasaan tradisi nyabis kepada kyai , yaitu mendatangi kyai untuk meminta barokahnya . Nelayan atau pedagang ikan yang memiliki kemampuan ekonomi akan bersilaturrahmi kepada kyai menurut
44
seorang informan , jika orenga atau jhuragan mendatangi seorang kyai, berarti dia, awak perahu, dan perahunya telah memperoleh jaminan kepastian keselamatan kerja, sedangkan masalah penghasilan dianggap sepenuhnya sebagai urusan Tuhan Yang Maha Esa. Nelayan pesisir juga membedakan pengertian kyai dalam tiga versi : 1. Kyai besar (Kyae raje), yakni kyai atau ulama besar pemilik pondok pesantren yang berpengaruh (kharismatik). 2. Kyai kecil (Kyae kene’), yakni kyai atau ulama pemilik pondok pesantren yang kurang berpengaruh. 3. Kyai kampung (Kyae kampong) atau kyai langgar, yakni guru mengaji Al-Qur’an di langgar-langgar atau mushollah kampung (Niehoef, 1988 : 133 dalam Kusnadi, 2005). Kearifan lokal yang terkait dengan pembuatan perahu, yaitu adanya upacara ritual. Menurut Horridge (1986), rangkaian upacara pembuatan perahu di Madura, Sulawesi dan Bali dimaksudkan agar perahu memilki”spirit hidup” dan kekuatan magis sehingga terhindar dari segala bahaya ketika sedang melaut. Pada umumnya upacara ritual atau selamatan perahu tradisional Madura meliputi tiga tahap, yaitu upacara makabin lengghi,upacara serah terima perahu, dan upacara peluncuran perahu yang pertama kali ke tengah laut (Irawan, 1982). Menurut nelayan kegiatan upacara ritual tersebut tidak hanya dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan, tetapi juga agar perahu dapat memperoleh hasil tangkap yang baik setiap kali melaut sehingga penghasilan nelayan juga ikut membaik. Kearifan lokal yang terkait dengan sistem bagi hasil, dimana hal itu adalah sistem yang mengatur pembagian hasil tangkapan antara pemilik dan pekerja atau orenga dan pandhiga atas dasar norma-norma yang berlaku. Dengan persepsi
45
bahwa perahu sebagai satu unit produksi, sistem bagi hasil yang berlaku berbedabeda karena tingkat kebutuhan akan jumlah pandhiga yang diperlukan, spesialisasi pekerjaan, dan biaya operasi atau pemeliharaannya. Sistem bagi hasil pada perahu sleret relatif lebih kompleks. Pada umumnya sistem bagi hasil pada perahu sleret adalah sistem bagi tiga (telon) dengan perincian satu bagian untuk orenga dan dua bagian untuk pandhiga. Dan ada juga yang menggunakan sistem bagi hasil dua (maron), yaitu : satu bagian untuk masing-masing . Kearifan lokal lain yang berkaitan dengan penangkapan bila sedang tidak musim ikan ( sobung lak-kalakan se sae ) nelayan akan melakukan andun (migrasi musiman) ke berbagai daerah yang sekiranya dapat memberikan penghasilan. Daerah tujuan andun paling timur adalah pantai Pondok Mimbo (Situbondo Timur), paling Barat adalah perairan Pantai Lekok (Pasuruan) dan paling Utara adalah perairan pantai Selatan Pulau Madura. Ketika andun kedaerah-daerah tersebut, mereka membawa perahu masing-masing. Jika andun dilakukan secara individu tanpa membawa perahu, secara umum mereka menuju Muncar, Banyuwangi untuk bekerja pada unit-unit penangkapan yang ada di daerah tersebut seperti yang juga terjadi di Bantigue, Filipina (Illo dan Pollo, 1990). Sebaliknya apabila di Pesisir sedang musim ikan atau ada penghasilan yang baik (badha lak-kalakan se sae) daerah ini akan menjadi tujuan andun nelayan dari Tuban, Madura, Lekok, Pulau Gili Ketapang dan daerah sekitarnya ( Kusnadi, 1997a). Pangamba’ sebagai salah satu bentuk kearifan lokal yang ada pada msyarakat
nelayan.
Menurut
Firth
(1946)
dalam
Kusnadi
(2005).,
selain
menyediakan pinjaman modal usaha kepada para nelayan, tugas utama pedagang perantara (pangamba’) adalah menyelenggarakan kegiatan pasar secara terus menerus agar ikan tetap tersedia untuk konsumen dan menyelamatkan harga ikan
46
ketika hasil tangkapan nelayan sedikit atau berlimpah. Pedagang Perantara yang menjualkan hasil tangkapan ikan dikalangan nelayan Madura disebut pangamba’ (Jordan dan Niehof, 1982). Pada umumnya , baik pemilik perahu ataupun pandhiga, memiliki pinjaman ikatan dengan pangamba’. Besarnya pinjaman ikatan yang diberikan kepada nelayan antara orenga dan pandhiga berbeda-beda, sekalipun yang diharapkan dari mereka itu sama, yaitu hasil tangkapan ikan. Perkiraan besar kecilnya pinjaman ikatan antara orenga dan pandhiga itu muncul karena pangamba’ memperhitungkan potensi sumberdaya ekonomi yang dimiliki oleh kedua belah pihak. 1. Orenga adalah pemilik alat-alat produksi untuk menangkap ikan. Dengan demikian, sumber daya ekonomis yang dimilkinya juga besar. Berkaitan dengan hal itu, sistem bagian hasil yang berlaku di Pesisir memberikan bagian (sara’an) yang lebih besar kepada orenga daripada pandhiga secara perorangan. Jika bagian hasil yang diterima orenga cukup besar, berarti keuntungan yang diterima oleh pangamba’ juga cukup besar. 2. Pandhiga adalah nelayan buruh yang hanya memiliki sumberdaya jasa tenaga, dan dimanfaatkan untuk bekerja sebagai buruh pada pemilik perahu. Dalam sistem pembagian yang berlaku, misalnya sistem telon atau maron, maka pandhiga secara keseluruhan memperoleh jumlah hasil yang banyak. Akan tetapi, jika bagian itu dibagi lagi per orang, hasil yang didapat tidak begitu besar. Kearifan lokal dalam hal untuk memudahkan kegiatan penangkapan di tengah laut, sebagian nelayan memasang sarang ikan atau onjhem didalam laut untuk daerah lain sering disebut dengan rumpon. Menurut Kusnadi (2005). Sarang ikan atau onjhem dibuat dari daun pohon kelapa yang masih utuh, batangan
47
bambu, dan batu pemberat yang disusun sedemikian rupa, sarang ikan ini akan menjadi tempat berkumpul dan bertelur ikan sehingga dapat membantu nelayan untuk menjaringnya. Kontrak kerja dalam merekrut pandhiga termasuk juga satu kearifan lokal pada masyarakat nelayan, biasanya disebut dengan pemberian pinjaman ikatan oleh pemilik perahu (orenga). Tujuannya adalah memotivasi pandhiga untuk terus bekerja di tempat itu atau terikat kerja pada pemilik perahu. Maksud lainnya, agar nelayan memiliki disiplin dan aktif bekerja, sehingga tidak mudah untuk berpindah kerja antar perahu.
2.11. MODEL EKONOMI RUMAHTANGGA Konsep inti teori Chayanov dalam menganalisis ekonomi keluarga adalah keseimbangan antara konsumen dan buruh dalam keluarga, yaitu ditunjukkan rasio antara jumlah yang mengkonsumsi(C) dan
yang bekerja mendapat gaji ( W )
dalam keluarga tersebut ( C/ W ). Jika jumlah tanggungan meningkat, maka rasio C/W akan meningkat pula. Untuk menurunkan rasio tersebut, berarti harus menambah jumlah jam atau hari kerja keluarga yang bekerja, selain itu juga dapat menambah jumlah anggota keluarga yang ikut bekerja.Dalam penelitian ini mengajukan perempuan tani dalam keluarga tani tersebut ikut bekerja, supaya rasio C / W menurun. Berarti akan meningkatkan pendapatan dalam rumah tangga petani untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka. Teori Chayanov tentang perilaku rumah tangga petani, dapat digambarkan dalam ilustrasi berikut (Gambar 2)
48
Y (output/Pendapatan) I1 Ye
I2
Keterangan : TVP
A
Y = pendapatan kotor( uang ) X = waktu(jam kerja buruh) 0 L = jumlah jam kerja L 0 = waktu kegiatan lain
Ymin 0
Le
Lmax
L(buruh) TVP = Total Variabel Produksi
Gambar 2..Perilaku Rumah Tangga Petani TVP dapat dikatakan sebagai pendapatan keluarga, yang menggambarkan fungsi produksi , yaitu : Y = Py. F ( L ) . Sedangkan fungsi konsumsi digambarkan dalam bentuk kurva indiffernce( I1 dan I2 ) dengan fungsi utility , yaitu : U=f(Y,H), berarti terjadi pilihan antara bekerja(Y) dan bersenang-senang(H). Sehingga rumah tangga petani harus pada posisi Ymin, artinya tingkat pendapatan untuk bertahan hidup. Kemudian untuk mencapai Y max , petani akan mencurahkan waktu bekerja maximum (Lmax), berarti akan mengorbankan waktu bersenang-senang. Untuk dapat mencapai posisi keseimbangan pada Ye dan Le di titik A, berarti selain waktunya digunakan untuk bekerja juga untuk bersenang-senang. Dengan demikian titik A menunjukkan MVPL ( Marginal Product of Labor) merupakan persamaan (dY/dH), selanjutnya dapat dibuat kesimpulan bahwa : MUH MUY = dY/dH = MVPL , Teori mikroekonomi perilaku rumah tangga petani dalam model Chayanov adalah memaximumkan utility dengan tiga constraints yaitu meliputi: fungsi produksi, tingkat pendapatan minimum dan jumlah hari kerja maksimum yang tersedia. Di Sri Lanka, karakteristik ekonomi keluarga petani sesuai dengan model Chayanov, contohnya keluarga yang berdasarkan buruh, keseimbangan konsumen buruh, pola siklus keluarga petani, aktifitas ekonomi dan tingkat optimum pekerja.
49
Akan tetapi meskipun karakteristik dasarnya sesuai dengan model Chayanov, karakteristik tersebut membawa beban yang lebih ringan untuk alasan-alasan selanjutnya. (1) Di Sri Lanka, buruh bayaran pedesaan memerankan peran penting, (2) Model keseimbangan konsumen buruh Chayanov tidak bisa diterapkan pada penduduk keluarga petani Sri Lanka karena rumah tangga petani tersebut tidak hanya memiliki kebutuhan dasar tapi juga tingkat kebutuhan kompleks yang luas. Dengan begitu mereka tidak berada dalam posisi untuk menyeimbangkan buruh dan konsumen dengan menggunakan kesenangan. Sebagai gantinya, mereka akan mencari kerja baik didalam maupun diluar pertanian. (3) Seperti yang Chayanov sebutkan, pola siklus keluarga petani tidaklah umum karena kebanyakan penduduk sekarang ini mencari pekerjaan sektor industri karena masalah yang terus-menerus dalam sektor pertanian. (3) Alokasi dari tingkat optimum buruh tidak bisa diterapkan terhadap penduduk Sri Lanka karena kelebihan buruh pada pasar buruh pedesaan dan inovasi teknis( Thilakarathne & Yanagita,1996). Definisi petani menurut Chayanov memiliki kesamaan dengan definisi petani pemegang hak ,berdasarkan deklarasi Hak Asasi Petani Perempuan dan Laki-laki, pasal 1 menyatakan : Seorang petani ialah laki-laki atau perempuan yang memiliki hubungan langsung dan khusus dengan tanah dan alam melalui produksi pangan dan/atau hasil pertanian lainnya. Para petani penggarap tanah sendiri terutama mengandalkan tenaga kerja dari keluarga dan pengorganisasian tenaga kerja berskala kecil lainnya.Petani secara tradisional melekat erat di dalam komunitas lokal mereka dan mereka merawat bentangan lokal dan dengan sistem agroekologi.Istilah petani dapat diterapkan kepada siapapun yang berhubungan dengan pertanian, peternakan, penggembalaan, kerajinan tangan atau pekerjaanpekerjaan terkait di wilayah pedesaan, termasuk juga masyarakat adat yang
50
mengolah lahan.Istilah petani juga dapat diterapkan kepada masyarakat tak bertanah. Menurut FAO (1984) definisi (1) kategori orang-orang berikut ini dipertimbangkan sebagai
tak
bertanah dan memilki kecenderungan untuk
menghadapi kesulitan dalam penghidupan mereka : 1. Rumah tangga pekerja pertanian/buruh tani dengan sedikit lahan atau tanpa lahan sama sekali; 2. Rumah tangga non-pertanian di wilayah pedesaan, dengan kepemilikan kecil lahan atau tanpa lahan sama sekali yang para anggota kelurganya terlibat dalam berbagai kegiatan seperti menangkap ikan, membuat kerajinan tangan untuk pasar local, atau menyediakan jasa; 3. Rumah tangga pedesaan lainnya seperti rumah tangga penggembala, masyarakat nomaden/berpindah, petani yang berpindah setiap panen, pemburu dan peramu, dan orang-orang dengan penghidupan yang serupa.
“.......Sebagian besar permasahan perikanan (tangkap dan kelautan) adalah sangat komplek, yaitu mencakup dimensi sosial-politok-ekonomi dan biologi. Juga
kita
saksikan sering terjadi kompleksitas pada skala yang terbatas. Akibatnya, rencana pengelolaan yang hanya didasarkan pada informasi bio-ekologis saja bisa gagal, jika tekanan penangkapan tidak terkendali karena kendala politik dan ekonomi. Demikian juga kebijakan ekonomi bisa saja gagal, jika
tidak bersamaan kita
memperhatikan komponen bio-ekologis. Singkatnya, bahwa perikanan (tangkap dan kelautan) merupakan sistem dinamik dengan banyak komponen yang saling berinteraksi. (Walter, 1980 dari Charles, 2001) dalam Muhammad, S. (2011).
51
Dalam proses analisis kebijakan, untuk memecahkan permasalahan pembangunan kelautan dan perikanan langkah yang
ditempuh menggunakan
pendekatan sistem.
A. Sistem Lingkungan Kelautan Dan Perikanan Jika kita kaitkan dengan “Tujuan Pembangunan Perikanan Berkelanjutan” maka keduanya, yaitu “bio-ekologi” perikanan adalah sangat terkait dengan aspek “ekonomi-politik” pada
“Pengelolaan
Berkelanjutan”. Tulisan ini mengacu pada
premis bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan (dan ada kaitan dengan ketahanan cadangan
sumberdaya ikan) mencakup keterkaitan berbagai
aspek dalam dimensi yang sangat luas sebagai suatu “sistem” yang berinteraksi dan terkait antar komponen ekologi, biologi, ekonomi, sosial dan budaya. Dengan dasar premis tersebut maka muncullah satu pendekatan baru dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang kita kenal dengan pendekatan “Bio-Ekonomi”. Pendekatan misalnya pertanyaan
ini mungkin
mengundang sejumlah pertanyaan, seperti
apa yang dimasud dengan
keberlanjutan cadangan
sumberdaya perikanan dan kenapa penting ?. Juga pertanyaan lain seperti apa makna sumberdaya ikan yang memiliki daya tahan secara berkelanjutan tersebut bagi kesejahteraan manusia ?. Secara lebih mendalam, dapat juga diajukan pertanyaan tentang apa “sistem perikanan tangkap’ yang dimaksud dan bagaimana perspektif
sistem tersebut kaitannya dengan keberlanjutan dan kelestarian
cadangan ikan ?. Dan banyak pertanyaan lain yang dapat kita ajukan, seperti bagaimana bentuk keterkaitan antar komponen, dinamika sistem keterkaitan dan lain sebagainya. Berikut ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut
52
dan menguraikannya
agak singkat dalam
tahapan pengantar untuk memacu
pendekatan sistem dalam setiap analisisi kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan. Berikut penjelasan singkat untuk membangkitkan diskusi lebih lanjut.. Pertama
:
persoalan
berkelanjutan,
kenapa
penting
?.
Masalah
keberlanjutan baik pada perikanan budidaya maupun perikanan tangkap
pada
beberapa dekade ini telah menjadi bahasan utama bahkan telah mendominasi semua sektor aktifitas ekonomi dunia yang semakin memberikan tekanan pembangunan berkelanjutan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia saat ini dan juga untuk waktu yang akan datang. Konsep tersebut juga telah pembahasan
pengelolaan
sumberdaya
alam,
seperti
perikanan,
memasuki kelautan,
kehutanan dan lain sebagainya, bahwa pemanfaatan sumberdaya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui tidak hanya untuk tujuan pemenuhan kebutuhan
jangka pendek, tapi juga untuk memenuhi kebutuhan
manusia pada tingkat output
yang dapat dipertahankan dalam jangka panjang.
Disamping itu, pendekatan pembangunan berkelanjutan saat ini telah bergeser yang pada awalnya menekankan pada “output berkelanjutan” kemudian meningkat ke tingkat pemikiran yang lebih terpadu dalam banyak tingkatan pengelolaan, yaitu semakin menekankan juga pada “proses” yang berkelanjutan. Pembahasan tentang keberlanjutan sumberdaya ikan saat ini masih hangat dibicarakan dan menunjukkan catatan
kenyataan yang diluar dugaan, bahwa beberapa
penting berkenaan dengan keberlanjutan sumberdaya ikan dunia, juga
dalam lingkup luas berkenaan dengan pembangunan berkelanjutan, banyak cadangan ikan maupun budidaya ikan di berbagai kawasan dunia memang telah menunjukkan penurunan cadangan ikan dan peningkatan ancaman pada budidaya
53
ikan berkelanjutan yang memerlukan perhatian sangat mendesak. Banyak lembaga dunia dan peneliti (OECD, 1997; Granger and Garcia, 1996) menaruh perhatian serius terhadap krisis cadangan ikan di laut
dan
menawarkan strategi untuk
menyebar-luaskan pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan tersebut. Sebagai contoh, ada permasalahan mendasar berkenaan dengan kondisi sumberdaya alam dunia, seperti yang dinyatakan oleh FAO sebagai berikut (Charles, 2001) : “...sekitar 35,10 % dari 200 pusat cadangan ikan dunia telah menunjukkan penurunan hasil tangkapan, sekitar 24,90 % pada tereksploitasi penuh (“mature”)
tahapan
dan sekitar 31,25 % berada pada tahapan
perkembangan, hanya 8,75 % yang berada pada tahapan
“mulai” dieksploitasi
(underdeveloped level). Ini menunjukkan hampir 60% cadangan ikan dunia telah berada pada tahap terkuras penuh dan berlebih. Kesimpulan Granger dan Garcia (1996) adalah sekitar
43,85 %
yang dibuat oleh
“over-exploited”, 16,15 %
terekploitasi penuh, 5,90 % deplesi dan 3,15 % mulai pulih. Ini berarti sekitar 69,05 % memerlukan pengelolaan sangat mendesak”. Kedua, perlu mendapat perhatian, bahwa keberlanjutan sumberdaya ikan dunia ternyata tidak hanya berkenaan dengan masalah cadangan ikan (biomassa), tapi ternyata, juga terkait dengan keberlanjutan keseluruhan aspek, mulai dari aspek ekosistem, sosial dan struktur ekonomi, juga aspek komunitas perikanan dan kelembagaannya, termasuk hasil kerja para penelitinya. Ini berarti persoalan keberlanjutan cadangan ikan memerlukan perhatian bukan hanya persoalan hasil tangkapan ataupun budidayanya, tapi keberlanjutan sumberdaya perikanan juga menyangkut persoalan yang kita lihat dari sudut pandang komprehensif terkait satu sama lain untuk mempertahankan empat komponen keberlanjutan (sustainabilitas) sebagai berikut :
54
(1)
Keberlanjutan ekologis (ecological sustainability), yaitu berkenaan dengan keberlanjutan panen, ikan, mempertahankan cadangan sumberdaya ikan dan yang terkait, juga
mempertahankan ketahanan
ikan sebagai sasaran
budidaya dan tangkapan termasuk ekosistem secara keseluruhan. (2) Keberlanjutan sosial-ekonomi (socioeconomic sustainability) , yaitu berkenaan dengan keberlanjutan untuk mempertahankan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat secara makro termasuk keberlanjutan keuntungan, pemerataan dan distribusi kesejahteraan, termasuk mempertahankan keseluruhan sistem ekonomi yang terkait. (3)
Keberlanjutan komunitas/ masyarakat perikanan (community sustainability), yaitu menekankan pada penguatan komunitas (kelompok) masyarakat dalam meningkatkan
dan mempertahankan kondisi ekonomi dan sosial-budaya
masyarakat yang kohesif secara keseluruhan, dan dalam
jangka panjang
mampu menjaga keutuhan sistem sosial-budaya secara sehat. (4)
Keberlanjutan kelembagaan (institutional sustainability), yaitu menekankan pada penguatan lembaga finansial yang susuai, kemampuan organisasi dan pengelolaan dalam jangka panjang,
dalam arti kelembagaan untuk
pengelolaan sumberdaya perikanan dalam jangka panjang terjamin. Keberadaan kelembagaan dimaksudkan berbagai bentuk organisasi dimana masyarakat saling berinteraksi dan melakukan pengelolaan seperti Departemen Perikanan dan Kelautan, organisasi / koperasi nelayan
yang memiliki sejumlah
aturan yang menghasilkan berbagai “norma” untuk mengatur perilaku masyarakat perikanan. Contoh
bentuk kelembagaan yang dimaksud seperti
pasar-Tempat
Pelelangan Ikan (TPI), sistem peraturan/ Undang-Undang, dan lainnya. Organisasi tersebut dimanifestasikan dalam bentuk kelembagaan yang melakukan kegiatan
55
agar aturan dan norma diterima oleh masyarakat nelayan
dalam
mengatur
pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Sementara keberlanjutan sumberdaya ikan teramat penting, dan lebih penting lagi adalah “ketahanan” (resiliency) species dan cadangan ikan itu sendiri dalam menghadapi tekanan lingkungan maupun tindakan manusia sekitarnya. Pengalaman punahnya cadangan ikan dan ancaman penyakit ikan budidaya pada skala luas ternyata berkaitan dengan ketahanan spesien ikan tertentu dan cadangan ikan tersebut. Ketahanan
adalah diperlukan untuk semua aspek
perikanan tangkap maupun budidaya. Ketahanan dibutuhkan
dalam aspek
kehidupan ikan, nelayan, infrastruktur pengelolaan dan ekosistem sumberdaya ikan. Dalam hal ini, pengelolaan dan peran kebijakan menjadi pusat perhatian dalam mengembangkan keberlanjutan dan ketahanan spesies ikan dan cadangan sumberdaya ikan. Dalam kaitan ini, pembangunan perikanan tidak hanya melindungi cadangan ikan, tapi lebih luas, yaitu mencakup semua aspek yang berkaitan dengan sistem perikanan dan kelautan. Kita pasti tidak akan berhasil menduga aspek ekologi, jika kita tidak melihat aspek sosial diluar batas cadangan ikan tersebut, dan kita juga gagal melihat keberlanjutan komunitas jika kita hanya melihat komunitas nelayan hanya sebagai penangkap atau pembudidaya ikan saja. Ini berarti bahwa perhatian peneliti dalam kajian ilmu perikanan dan kelautan ini dalam menyoroti pengembangan perikanan tangkap maupun budidaya adalah menggunakan
“pendekatan
sistem” secara komprehensif
melihat perikanan
tangkap maupun budidaya sebagai suatu “sistem perikanan secara utuh”. Kajian ini melihat ada saling keterkaitan pada “sistem perikanan tangkap” yang merupakan interaksi antara komponen ekologis, bio-fisik, komponenen ekononomi, sosial dan budaya masyarakat nelayan. Artinya kita tidak bisa melihat “cadangan ikan” terpisah
56
dari nelayan, terpisah dari pengolah ikan dan selanjutnya. Dengan perspektif “sistem” harus dipadukan dengan kepentingan pengelolaan dan kebijakan dan implimentasinya
keseluruh sistem. Pendekatan sistem tersebut menjadi kata kunci
untuk meraih keberhasilan pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan. Pendekatan “reduksionist” yang dilakukan oleh berbgai disiplin ilmu memang berguna, tapi tidak mencukupi. Dengan dasar rasional tersebut, maka fokus perhatian kajian ilmu perikanan dan kelautan ini dalam
membangun perikanan adalah melihat pengelolaan
sumberdaya perikanan secara terpadu, misalnya kita melihat struktur, nature dan dinamika sumberdaya ikan dari seluruh komponen sistem perikanan tangkap maupun budidaya. Gagasan pendekatan ini melihat perikanan dalam “satu pundipundi”, dan bagaimana mereka menyatu bersama-sama membentuk “sistem perikanan” dengan pengorganisasian “Obyek Kesatuan Sistem” sebagai berikut : 1. Sistem Sumberdaya Perikanan (a) Sumberdaya Ikan (b) Ekosistem (c) Lingkungan bio-fisik. 2. Sistem Sosial (a) Nelayan/ Pembudidaya Ikan (b) Sektor pasca-panen dan konsumen (c) Rumahtangga Nelayan/ Pembudidaya Ikan dan komunitas (d) Lingkungan sosial/ekonomi dan budaya. 3. Sistem Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Budidaya Ikan (a) Perencanaan dan kebijakan perikanan tangkap dan budidaya ikan (b) Pengelolaan perikanan
57
(c) Pembangunan perikanan (d) Penelitian perikanan tangkap dan budidaya ikan. Pendekatan sistem seperti : ikan di laut dan
menolak
pendekatan penyederhanaan perikanan,
masyarakat nelayan di atas kapal”. Dan pandangan
sebaliknya yang melihat :”begitu banyak jenis ikan, begitu banyak tipe nelayan, dan begitu banyak konflik” Memang benar sistem perikanan adalah kompleks Pendekatan sistem dimaksudkan untuk melihat “gambaran besar dan unik” tentang sumberdaya
perikanan dan budidayanya untuk dipahami lebih baik dimana
sekelompok nelayan bekerja untuk membantu agar pengelolaan dan kebijakan dapat bekerja “lebih baik”. Tekanan tulisan ini untuk menyediakan cara pandang
pengelolaan dan
penelitian sumberdaya perikanan maupun budidaya ikan secara terpadu sebagai refleksi implementasi Agenda 21, sebuah dokumen yang dicanangkan pada United Nation Conference on Environment and Development yang lebih dikenal sebagai “Rio-Conference” (Borgese, 1995 dari Charles, 2001). Isi Agenda 21 disajikan pada Box 1. Box 1 Agenda 21. Pasal 17 Perlindungan lautan dan kawasan pesisir dan sumberdaya kehidupan didalamnya A. Pengelolaan terpadu dan pembangunan berkelanjutan kawasan pesisir, termasuk lautan Zone Ekonomi Eksklusive (ZEE). B. Perlindungan lingkungan laut. C. Konservasi dan penggunaan sumberdaya laut dalam secara berkelanjutan. D. Konservasi
dan penggunaan sumberdaya
lautan
dibawah jurisdiksi nasional
secara berkelanjutan. E. Mengusahakan diri untuk mengelola lingkungan lautan, ketidakpastian perubahan iklim.. F. Memperkokoh kerjasama dan koordinasi internasional. G. Pembangunan berkelanjutan pulau=pulau kecil.
dan
58
B. Gambaran Sistem Perikanan Tangkap Sistem perikanan tangkap itu dapat disajikan secara grafis dan berbagai komponen dan beberapa interaksi diantara komponen tersebut dalam gambar 3.
Ekosistem Natural
Sistem Managemen
Komunitas
Rencana & Kebijakan
Managemen SDI
Jenis Ikan Habitat
Pembangun an Perikanan
Riset Perikanan
Lingkungan Aquatik Kekuatan Eksternal : msalnya pemerintah Kekuatan Ekternal : misalnya perubahan iklim
Sistem Sosial Juragan Klp. Nelayan (1)
Komunitas
Klp. Teknologi (2)
P D
(3) R.T Nelayan
C M Pasca-Panen R (4) W
Lingkungan Sosial-Ekonomi
Kekuatan eksternal : kebijakan makro ekonomi Gambar 3. Struktur Sistem Perikanan (tiga sub-sistem)
59
Keterangan : (1) Konflik pengguna SDI. (2) Konflik alat tangkap ikan (3) Interaksi sosial-ekonomi komunitas (4) Jalur Pemasaran : (P = pengolah; D = distributor; M = pasar; W = pedagang besar;). (R = pengecer; dan C = konsumen) Gambar 3. Menunjukkan bahwa ada tiga kekuatan eksternal berpengaruh dalam pengelolaan sistem perikanan berkelanjutan, yaitu
: perubahan iklim,
kebijakan pemerintah dan makro ekonomi, selanjutnya dapat digambarkan secara bagan alir (flow chart) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4. Sistem perikanan secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut : (1) Ikan di laut dan (2) Armada penangkapan untuk menangkap ikan tersebut, yaitu berupa kapal penangkap ikan (3) Hasil tangkap (panen ikan) diangkut ke darat dan dijual di (4) pasar, sebagai suatu bentuk aktifitas ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat nelayan yang berlangsung turun temurun sebagai wujud usaha untuk mencari karunia Tuhan sebagai pencipta, pemelihara dan pengatur rizki manusia dalam kehidupan didunia ini. Ikan sebagai sumber protein bagi kebutuhan manusia merupakan salah satu karunia Tuhan sebagaimana tertera dalam al-Qur’an surah An-nahl ayat 14 : “ Dan Dialah (ALLAH) yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai, dan kamu melihat bahtera (kapal) berlayar padanya, dan supaya kamu mencari keuntungan dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur ”.
60
IKAN (1)
ARMADA TANGKAP (2)
PANEN (HASIL TANGKAPAN) (3)
PASAR (4)
Gambar 4. Sistem Perikanan Tangkap (penyederhanaan)
Pada gambar 4. menampilkan sebuah penyederhanaan Sistem Perikanan Tangkap yang menggambarkan tentang input (ikan dan armada penangkapan ikan) dan output (panen). Selanjutnya mari kita bayangkan bahwa masing-masing input , yaitu cadangan ikan dan armada tangkap secara dinamis berubah sepanjang waktu tergantung pada lingkungan internal masing-masing. Cadangan ikan dikendalikan oleh proses reproduksi (recruitment) dan mortalitas. Armada tangkap dikendalikan oleh dinamika permodalan sebagai investasi yang dilakukan oleh nelayan juragan berupa modal fisik kapal dan alat tangkap ikan, dan selanjutnya terjadi penyusutan sepanjang waktu. Keduanya, yaitu dinamika populasi ikan dan dinamika modal
61
terkait dengan besarnya hasil tangkapan. Pada gambar 5 ditunjukkan suatu Sistem Perikanan Tangkap lebih lengkap, sebagai berikut ini :
ARMADA TANGKAP
IKAN
Dinamika Modal -Investasi -Penyusutan
Dinamika Populasi - Recruitment - Mortalitas PANEN (HASIL TANGKAPAN)
Kondisi Pasar
PASAR
Keuntungan
Gambar 5. Sistem Perikanan Tangkap (lebih lengkap) Pasar
dan
armada
tangkap
berubah
secara
dinamik,
kemudian
mempengaruhi cadangan ikan dan keuntungan juragan (pengusaha). Sangat jelas, bahwa hasil tangkap akan menurunkan cadangan ikan, sebaliknya, hasil panen di jual di pasar memperoleh keuntungan yang dapat dipakai oleh nelayan melakukan
62
investasi baru sejalan dengan
variasi keuntungannya. Sementara variasi
keuntungan terkait dengan kondisi hasil tangkapan dan pasar. ..
LINGK. BIOFISIK
LINGK/SOSEK RT. &KOMMUNITAS
Dinamika Modal -Investasi -Penyusutan
EKOSISTEM
ARMADA TANGKAP
IKAN
NELAYAN
Dinamika Populasi - Recruitment - Mortalitas
Sistem Ketenagakerjaan
PANEN (HASIL TANGKAPAN) Pasca-panen
PASAR
-
Kondisi Pasar
Keuntungan Sosial -Ekonomi -Budaya -Biodiversity
Gambar 6. Gambaran Sistem Perikanan Tangkap lebih kompleks Masih ada lagi komponenen lain yang terkait dengan sistem perikanan tangkap, yaitu
sistem sosial perikanan. Untuk diketahui bahwa diatas armada
63
terdapat ABK maupun para juragan yang berperan penting dalam sistem perikanan tangkap. Sisi sosial ini sangat penting untuk lebih lengkap menggambarkan sistem perikanan tangkap. Sistem perikanan tangkap
tidak hanya kita lihat pada inti
persoalan “ikan di laut”, dan armada tangkap saja, tapi juga “orang-orang yang bekerja” di kapal dan atau orang-orang yang bekerja yang terkait dengan hasil tangkapan ikan tersebut , sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6. Tinjauan lebih luas seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6, sistem perikanan tangkap dimana kita melihat ikan sebagai makhluk hidup yang terkait dengan ekosistem, yang berada dalam lingkungan bio-fisik perairan, dan nelayan sebagai makhluk hidup dalam suatu rumahtangga suatu komunitas yang berada dalam suatu lingkungan sosial-ekonomi yang lebih luas. Selanjutnya, panen ikan memasuki legiatan pasca-panen yang mendistribusikan produk ke pasar, sehingga akan dapat diperoleh tingkat keuntungan
produk ikan tersebut. Gambar 6
merupakan gambaran Sistem Perikanan Tangkap secara keseluruhan.. Gambar 3 - 6 menggambarkan Sistem Perikanan Tangkap dalam bentuk bagan alir. Cara lain, gambaran tentang Sistem Perikanan Tangkap disajikan dalam bentuk Perencanaan Strategis yang menyajikan Sistem Perikanan Tangkap dalam bentuk sistem dengan cara menunjukkan komponen kunci Sistem Perikanan Tangkap, unsur utama komponen struktur, aspek lingkungan ekologis, sosial dan ekonomi terkait, tindakan atau pengaruh yang relevan sebagaimana ditunjukkan dibawah ini , dimana menurut Charles (2012) Sistem Perikanan Tangkap disusun dalam tujuh kategorisasi yang ditunjukkan pada kolom pertama, yaitu :
64
(1) Kategorisasi Pertama
:Ikan dan ekosistem---Pantai---Lepas pantai---Beruaya Dan laut dalam---Habitat dan kualitas lingkungan-----Interaksi ekologis
(2) Kategorisasi Kedua
:Pengguna----Perikanan subsisten---Nelayan artisenal -----Armada industri-----Joint-ventura---Armada asing
(3) Kategorisasi Ketiga
:Pasca-panen dan konsumen----Pengolah tradisional----Pengolah industri----Marketing dan distribusi------Konsumen domestik----Pasar ekspor
(4) Kategorisasi Keempat
:Lingkungan sosial-ekonomi dan komunitas-------Organisasi dan lembaga--------Komunitas dan RT Perikanan----Peran wanita-----Aspek historis, kultur Dan legal-----Aktivitas terkait dengan perikanan
(5) Kategorisasi Kelima
:Pengelolaan perikanan---Tujuan dan kebijakan—-Pengelolaan dan penegakan aturan----Pembangunan Perikanan---- Penelitian pendugaan stok ikan-------Kebijakan Internasional
(6) Kategorisasi Keenam
: Kebutuhan pengelolaan dan pembangunan--------Penguatan Lembaga-------Pembangunan SDM-------SIM dan IPTEK------Struktur Kelola yang cocok----— Diversifikasi Usaha Ekonomi
(7) Kategorisasi Ketujuh
:Pengaruh luar yang utama-------Marinekultur--------Agrikultur----Turisme----Industri---Transportasi
Dari ketujuh kategori diatas, maka keenam kategori pertama (1 - 5) dalam kerangka Sistem Perikanan Tangkap menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
65
(1) Kategori pertama : berkenaan dengan komponen sistem sumberdaya ikan (SDI), yaitu persoalan ikan dan ekosistemnya. (2) Kategori kedua, ketiga dan keempat : berkenaan dengan persoalan sistem sosial-ekonomi. (3) Kategori kelima dan keenam : berkenaan dengan persoalan sistem pengelolaan SDI. (4) Adapun kategori ketujuh : berkenaan dengan daftar lingkungan eksternal yang berpengaruh yang merupakan lingkungan diluar sistem perikanan tangkap. Setiap kategori berisi sejumlah unsur yang tersusun secara garis besar lebih bersifat lokal atau internal dalam perikanan tangkap tersebut (pada sisi kirinya) dan bersifat spasial lebih luas dan berorientasi eksternal (pada sisi kanannya). Sebagai contoh,
kategori ikan dan ekosistem mencakup tiga lingkungan utama, dari
lingkungan pantai (pesisir) ke lepas pantai (laut dalam), selanjutnya ke situasi ikanikan beruaya di laut dalam, juga kualitas habitat dan lingkungan dan interaksi ekologis. Sejalan dengan
unsur sistem tersebut, kategori pengguna dimulai dari
perikanan subsisten dan skala kecil ke skala industri, kemudian joint-ventura dan kapal asing. Skema perencanaan strategis tersebut tentu saja merupakan pendekatan penyederhanaan sistem
dari suatu sistem yang kompleks yang dapat dipakai
sebagai alat analisis yang akan dibahas nanti. Sebagai contoh, untuk melalkukan penilaian sustu program atau projek tertentu dalam suatu perikanan tangkap skema tersebut dapat membantu memberikan indikasi secara visual suatu unsur sistem perikanan tangkap secara langsung maupun tidak langsung dan
memberikan
gambaran garis besar tentang interaksi yang dapat dimonitor sebagai bagian yang tercakup dan tidak terpisahkan dalam sistem perikanan tangkap.
66
Beberapa
alat lain yang dapat digunakan untuk menggambarkan sistem
perikanan tangkap adalah : (1) Sistem Perikanan Tangkap digambarkan dalam bentuk gambar yang diperuntukkan bagi pengelolaan sumberdaya ikan berbasis komunitas, atau untuk kepentingan pendidikan atau tujuan publikasi. (2) Sistem Perikanan Tangkap digambarkan secara grafis dalam bentuk peta, secara khusus disajikan zona-zona untuk kepentingan pengelolaan, jalur migrasi ikan, atau lokasi armada tangkap. Peta tersebut menyajikan secara garis besar menggambarkan ciri spasial. Gambar tersebut mungkin belum mampu menjelaskan aspek dinamik sistem perikanan tangkap. (3) Sistem perikanan tangkap digambarkan dengan fokus ekosistem yang ada, lebih khusus menggambarkan persoalan rantai makanan. (4) Sistem perikanan tangkap digambarkan dengan menggunakan model matematk. Dalam pendekatan ini sistem perikanan tangkap disajikan dalam bahasa matematik (5) Tinjauan kultural juga bisa digunakan untuk menggambarkan Sistem Perikanan Tangkap seperti yang dilakukan oleh Borgese (1998 (Charles, 2001) untuk menggambarkan apa yang dibayangkan oleh Mahatma Gandhi tentang kehidupan masa depan negeri India.
C. Karakteristik Sistem Perikanan Tangkap Pada sistem perikanan tangkap terdapat diversitas didalam sistem maupun diantara
sistem
tersebut.
Pertanyaannya
mengklasifikasikan dan mendeferensiasikan
adalah
bagaimana
kita
dapat
diantara berbagai tipe sistem
67
perikanan tangkap tersebut ?. Untuk menjawab pertanyaan ini, perhatian khusus perlu dilakukan pada persoalan skala yang timbul dari segala aspek terkait dengan keberhasilan pengelolaan sumberdaya ikan tersebut.
1. Skala Ruang Skala ruang pada sistem perikanan tangkap terkait dengan ukuran luasan, baik secara geografis maupun administratif. Persoalan skala ruang muncul dalam praktek perencanaan dan pengelolaan SDI, seperti batas yang cocok dari sebuah sistem perikanan tangkap dan pembuatan desain sistem pengelolaan yang sesuai, dan dalam pertimbangan yang lebih konseptual memerlukan differensiasi sesuai dengan kebutuhan pengkelompokan lokasi sistem perikanan tangkap.Sebagai contoh, seseorang dapat
mempertimbangkan sistem perikanan tangkap yang
memiliki variasi skala ruang sebagai berikut : (1) Kommunitas pesisir termasuk
jenis-jenis sumberdaya
perikanan yang
bermigrasi secara lokal (misalnya : ikan-ikan yang hidup di lingkungan terumbu karang, atau lobster yang hidup di karang- karang di sepanjang pantai Selatan Jawa ) dan sumberdaya perikanan yang terkait dengan sistem pengelolaan perikanan tangkap skala kecil. (2) Sistem Perikanan Tangkap pada skala
provinsi sampai tingkat nasional,
khususnya yang dibuat atas dasar batasan jurisdiksi formal. (3) Organisasi perikanan tangkap regional maupun internasional, seperti : (a) Badan Pengelola Perikanan Tangkap Regional dari FAO, General Fisheries Commision for the Mediterrianian/GFCM dan Western Central Atlantic Fishery Commision/
68
WECAFC, dan (b) organisasi pengelolaan perikanan tangkap skala Uni Eropa termasuk persoalan Kebijakan Perikanan Tangkap di Uni – Eropa.. Pada situasi tertentu,
skala ruang mana yang akan
dipilih ?. Jika fokus
perikanan skala kecil dan persoalannya adalah kapan kita melihat sebagai suatu sistem yang lebih luas ?. Persoalan ini penting untuk dicatat, mengingat dalam sistem perikanan tangkap selalu terjadi interaksi antara komponen sistem tersebut. Lebih jauh, bahwa sistem perikanan tangkap tertentu mencakup cadangan ikan dan komponenen sumberdaya alam lainnya, dan komponen sistem sosial dan berbagai komponen pengelolaan (mencakup IPTEK, penegakan aturan, kebijakan dan lainlainnya) , bahwa skala yang sesuai akan berbeda tergantung pada
komponen
sistem dan keadaan khusus lainnya. Lebih jauh, mungkin saja terdapat perbedaan antara sumberdaya alam yang satu dengan lainnya atau batasan ekologis dari suatu sistem perikanan tangkap, mungkin sesuai dari sudut pandang sistem sosial (termasuk aspek ekonomi dan budaya) dan batas yang sesuai dilihat dari segi pengelolaan (seperti aspek legal, kelembagaan dan politik). Persoalannya adalah seberapa jauh cakupan yang didapat dari aspek “natural”, seperti kondisi perairan atau batas wilayah pesisir serta batas sistem ditinjau dari sudut pandang sistem sosial yang ada ?. Pertanyaanpertanyaan tersebut memerlukan jawaban, sementara jawaban yang kita peroleh jelas tidak mudah. Kondisi tidak sinkron (mismatch) antara cakupan sumberdaya,
aktifitas
panen dan kegiatan pengelolaan, memerlukan kriteria pengaturan kelembagaan untuk keperluan pengelolaan agar berhasil. Tentu saja diperlukan bersifat
alasan yang
persuasif untuk menyelesaikan persoalan yang tidak sinkron tersebut
dengan cara mendesentralisasikan penanganan beberapa bagian sistem disamping
69
diperlukan pandangan yang lebih luas untuk menangani bagian komponen sistem lainnya. Sistem dan lingkungannya sebagaimana diuraikan diatas disajikan pada Gambar 7.
(2) Cuaca
Pelanggan
INPUT
Pemerintah
Pesaing
PROSES Prosedur Program Peralatan Kebijakan
Bahan Baku Biaya Sumberdaya
OUTPUT Performansi Barang jadi Layanan Konsekuensi
Umpan Balik PENGAMBIL KEPUTUSAN
(1)
Penjual/ Pedagang
Pemilik Modal
Lembaga Keuangan
Gambar 7. Gambaran Sistem dan Lingkungannya (Charter, et al, 2001) Keterangan : (1) Batas Sistem (2) Lingkungan Sistem
70
2. Pendekatan Sistem Pada Analisis Kebijakan
Pembangunan
Kelautan dan Perikanan Untuk menjelaskan hubungan antara peubah dapat disusun hubungan antar perubah dalam bentuk persamaan regresi. Persamaan regresi ini secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi dua model, yaitu : (1) Model persamaan tunggal dalam bentuk regresi linier atau ganda secara partsial. (2) Model Sistem Persamaan, yaitu model hubungan antar peubah eksogen dan endogen yang tersusun dalam “kesatuan hubungan/ keterkaitan” terdiri dari sejumlah (lebih dari satu) persamaan. Berikut disajikan contoh hubungan
Sistem Persamaan
yang menggambarkan
kegiatan produksi, curangan kerja, penerimaan dan pengeluaran
rumahtangga juragan dan pendega secara komprehensif dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.. Model Ekoromi Rumahtangga merupakan
salah
satu
pendekatan
sistem
dalam
perumusan
kebijakan
pembangunan kelautan dan perikanan dengan kerangka kerja sebagai berikut : 1.
Kajian model ekonomi rumahtangga nelayan yang mengintegrasikan status
ketersediaan sumberdaya perikanan (tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan) dan perilaku ekonomi rumahtangga nelayan Juragan dan Pendega dalam merespon setiap kebijakan. 2. Analisis dampak berbagai perubahan kebijakan
dan non-kebijakan dalam
peningkatan modernisasi perikanan terhadap keragaan ekonomi dan kesejahteraan rumahtangga nelayan dalam usaha meningkatkan pendapatan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.
71
3.
Pilihan kebijakan untuk mengembangkan bisnis dan industri perikanan yang
bertumpu pada peningkatan pendapatan rumahtangga nelayan, perluasan usaha dan kesempatan kerja, meningkatkan investasi dan tabungan
dalam pemanfaatan
sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Kegiatan produksi dan konsumsi dalam suatu rumahtangga nelayan berkaitan sangat erat. Kegiatan produksi penangkapan ikan terdiri dari proses penangkapan ikan di laut, dimana rumahtangga nelayan berperan sebagai pemasok tenaga kerja. Kegiatan produksi di laut akan menghasilkan ikan yang selanjutnya dapat dijual dalam bentuk ikan segar yang menghasilkan pendapatan yang dapat digunakan
oleh
rumahtangga
nelayan
untuk
kebutuhan
konsumsinya.
Rumahtangga nelayan juga dapat berperan sebagai pengolah ikan, melakukan proses produksi pengolahan ikan, yang menghasilkan ikan olahan yang dijual untuk menghasilkan nelayan
tambahan pendapatan yang dapat digunakan oleh rumahtangga
dalam
memenuhi
kebutuhan
konsumsi
dan
meningkatkan
kesejahteraannya. Ekonomi rumahtangga nelayan biasanya masih bersifat semi-komersial, yang dicirikan :
(1) kegiatan antara produksi ikan dan rumahtangga pengolah ikan
tidak terpisah, (2) penggunaan tenaga kerja keluarga lebih diutamakan, (3) nelayan dan rumahtangga pengolah ikan masih lebih banyak berperilaku sebagai penerima harga, dan (4) mengutamakan aman. Namun, ketika skala usaha penangkapan ikan semakin membesar, pada umumnya diikuti oleh pergeseran penggunaan tenaga kerja luar keluarga yang
proporsinya semakin
besar, disamping jangkauan
pemanfaatan sumberdaya perikanan semakin meluas.
72
Pembangunan
perikanan
tidak
bisa
terlepas
dari
keberadaan
sumberdaya(resource-based development). Tanpa ada sumberdaya, pembangunan perikanan tidak akan ada. Oleh karena itu, semua kebijakan yang dilakukan dalam hubungannya dengan peningkatan pembangunan perikanan untuk kesejahteraan nelayan, perlu mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya perikanan yang tersedia. Oleh karena itu, setiap pemanfaatan sumberdaya perikanan secara implisit berarti menyusun langkah-langkah
pemanfaatan sumberdaya untuk mencapai
tujuan pembangunan perikanan tersebut. Pada bagian Ketentuan Umum Undang – Undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, dikatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah semua upaya, termasuk kebijakan dan non-kebijakan, yang bertujuan agar sumberdaya itu dapat dimafaatkan secara optimal dan berlangsung terus menerus. Mengingat setiap bentuk kebijakan akan berdampak terhadap para pelaku, yaitu rumahtangga nelayan, maka upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan harus dilakukan secara terpadu dan terarah dengan
melestarikan sumberdaya ikan itu sendiri
beserta lingkungannya (Nikijuluw, 2002). Mengingat terdapat kaitan erat antara ketersediaan sumberdaya perikanan dengan perilaku ekonomi rumahtangga nelayan, maka pilihan berbagai kebijakan pemanfaatan bergantung pada kekhasan, situasi, dan kondisi perikanan yang dikelola serta tujuan pemanfaatan atau pembangunan perikanan. Menurut Nikijuluw (2002), meski demikian, setiap pilihan pemanfaatan beserta kebijakan yang akan dilakukan sebaiknya berdasarkan kriteria sebagai berikut : (1) diterima nelayan, (2) diimplimentasi secara gradual, (3) fleksibel, (4) implementasinya didorong oleh efisiensi dan inovasi, (5) pengetahuan yang sempurna tentang peraturan dan biaya
73
yang dikeluarkan sebagai akibat untuk mengikuti peraturan dan atau kebijakan tersebut, dan (6) ada implikasi terhadap tenaga kerja, pengangguran dan keadilan. Pengendalian secara ekonomi adalah penggunaan peubah ekonomi sebagai instrumen pengendalian upaya penangkapan ikan. Peubah ekonomi tersebut adalah terdiri dari : (1) harga ikan, (2) harga BBM, (3) pajak dan biaya izin penangkapan ikan, (Nikijuluw, 2002), (4) pengembangan alternatif lapangan kerja nelayan (Smith, 1983), (5) pemberian kredit, (6) pengembangan prasarana pelabuhan perikanan dan tempat pendaratan ikan, (7) peningkatan mutu (keterampilan) nelayan, dan (8) pengembangan agribisnis perikanan (Saragih, 1998), serta (9) pengaturan sistem bagi hasil perikanan untuk meningkatkan pemerataan pendapatan nelayan (Lembaran Negara RI Tahun 1964 No. 97, 1964). Sedangkan pengendalian secara biologi terdiri dari : (1) pembatasan teknologi alat tangkap, (2) pembatasan jumlah effort (jumlah dan ukuran kapal yang diijinkan) agar sumberdaya dimanfaatkan pada tingkat MSY , dan (3) pengendalian daerah penangkapan ikan (Rettig, 1992).
2.12. Review Hasil Penelitian Terdahulu. 2.12.1. Sumberdaya Perikanan Dalam suatu jurnal Review, bahwa untuk perikanan laut, besar potensi seluruhnya adalah 7,2 juta ton/tahun berupa standing stock, sedangkan yang dapat dimanfaatkan secara maksimal (Maximum Sustainable Yield) berkisar 4,5 juta ton/tahun atau kurang lebih 65 % dari standing stock ditambah lagi 2,1 juta ton/tahun yang terdapat diperairan ZEE Indonesia (Primyastanto. M, 2011e). Beberapa sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan telah mengalami over eksploitasi. Sumberdaya perikanan laut baru dimanfaatkan sekitar 63,49 % dari
74
total potensi lestari maksimum, namun beberapa kawasan perairan, stok sumberdaya ikan telah mengalami over fishing. Jenis stok sumberdaya ikan yang telah mengalami over fishing adalah udang dan ikan karang konsumsi, ikan pelagis kecil dan ikan pelagis besar (Primyastanto. M, 2011c). Perairan laut Jawa Timur meliputi wilayah Teritorial dan wilayah laut Zona Ekonomi Ekslusif mempunyai luas sekitar 208.097 km2, sedangkan potensi yang terkandung
sebesar 618.418 ton/tahun, belum seluruhnya dimanfaatkan oleh
nelayan. Produksi perikanan daerah tingkat I Jawa Timur tahun 1995 sebesar 238.677,60 ton dimana sekitar 36,41% atau 225.176,60 ton merupakan produksi dari cabang usaha penangkapan di laut. Untuk produksi perikanan daerah tingkat 1 Jawa Timur tahun 2007 sebesar 395.890 ton dimana sekitar 96,72 % atau sebesar 382.877 ton merupakan produksi dari cabang usaha penangkapan di laut.Nilai fishing ground bervariasi menurut kedalaman perairan, daerah dan musimnya. Untuk mendapat produktivitas yang tinggi, pengembangan suatu alat, baik mengenai kontruksi maupun cara operasi harus disesuaikan dengan sifat biologis ikan yang menjadi tujuan penangkapan (Primyastanto. M, 2011b).
2.12.2. Deskripsi alat tangkap payang Payang merupakan salah satu jenis alat tangkap yang cukup produktif digunakan untuk penangkapan ikan dan banyak tersebar diseluruh perairan Indonesia. Alat tangkap ini banyak digunakan oleh usaha kecil menengah, karena memerlukan biaya yang relatif kecil sehingga terjangkau oleh nelayan kecil dan dioperasikan cukup dengan satu perahu dan 5 orang ABK (anak buah kapal). Cara pengoperasian alat tangkap payang adalah dengan melingkari kawanan ikan sehingga kawanan ikan tersebut terperangkap dan masuk kedalam
75
kantong. Agar supaya ikan-ikan yang terperangkap tidak terjerat pada mata jaring bagian kantong akibat saling berdesakan, maka ukuran mata jaring pada bagian ini dibuat lebih kecil. Ukuran mata jaring yang lebih besar dapat dipakai pada bagian lain, yaitu bagian yang akan menggiring ikan masuk kekantong. Penentuan ukuran mata jaring bagian kantong alat tangkap payang pada dasarnya sama seperti pada kantong alat tangkap trawl. Sasaran penangkapan payang ditujukan kepada ikan-ikan permukaan (pelagis) dengan cara mengejar atau melingkari suatu gerombolan ikan yang nampak di permukaan perairan atau dengan cara menggunakan alat bantu pengumpul ikan yang disebut rumpon. Untuk menghadang dan menggiring suatu gerombolan ikan yang terdapat pada areal jangkauan alat tangkap tersebut agar masuk ke kantong, maka alat tangkap dilengkapi dengan dua buah sayap. Fungsi mesh size (ukuran mata jaring) pada sayap hanyalah merupakan dinding penghadang dan bukan sebagai penjerat. Hasil tangkapan payang didukung oleh terbukanya mulut jaring yang dipengaruhi oleh beberapa pelampung dan pemberat. Fungsi pelampung adalah untuk mempertahankan agar mata jaring tetap terapung pada permukaan perairan. Sedangkan pemberat digunakan agar terjadi keseimbangan antara gaya apung dan gaya tenggelam sehingga mulut jaring akan terbuka dengan baik. Disamping itu juga sayapnya dapat berdiri tegak menghadang gerombolan ikan yang berenang ke arah horisontal. Pelampung yang digunakan umumnya terbuat dari alat bantu yang diikatkan pada bagian atas kedua sayap dan bagian tali yang digunakan atau tali ris atas dan bawah dan tali penarik. Ukuran tali ris atas lebih panjang dibanding dengan tali ris bawah karena pada bagian bibir atas jaring lebih menonjol kearah
76
kantong dibandingkan dengan bibir bawah. Bahan pemberat yang digunakan pada alat tangkap payang ini umumnya terbuat dari campuran semen dan pasir yang mempunyai berat rata-rata 4 kg serta pemasangan pemberat disesuaikan dengan letak dari pelampung (Garner, 1977), 2.12.3. Modal Sosial Modal sosial dalam ilmu sosiologi adalah manfaat kolektif atau manfaat ekonomi yang diharapkan berasal dari perlakuan istimewa dan kerjasama di antara individu dan kelompok. Meskipun ilmu-ilmu sosial memberikan penekanan yang berbeda pada “modal sosial”, mereka cenderung untuk berbagi gagasan inti "bahwa jaringan sosial memiliki nilai". Seperti halnya modal fisik , modal budaya , dan modal manusia, “Modal Sosial” juga dapat meningkatkan produktivitas (baik individual maupun kolektif), begitu juga “Kontak sosial” juga dapat mempengaruhi produktivitas individu dan kelompok Teori Modal Sosial menjadi semakin penting melalui integrasi teori sosiologi klasik dengan deskripsi bentuk-bentuk modal yang intangible. Dengan cara ini definisi klasik “modal” telah dapat diatasi sehingga memungkinkan para peneliti untuk mengatasi masalah dengan cara baru (Ferragina , 2010) . Dengan menggunakan konsep modal sosial, para peneliti telah mengusulkan sebuah sintesis antara
nilai-nilai
yang
terkandung
dalam
pendekatan
komunitarian
dan
individualisme yang dianut oleh “Teori pilihan rasional”. Modal sosial hanya dapat dihasilkan secara kolektif berkat kehadiran komunitas dan jaringan sosial , tetapi individu dan kelompok dapat menggunakannya pada waktu yang sama . Individu dapat mengeksploitasi modal sosial dari jaringan-kerjanya untuk mencapai tujuan pribadi dan kelompok, dan dapat menggunakannya untuk memperkuat seperangkat norma atau perilaku tertentu. Dalam hal ini , modal sosial yang dihasilkan secara
77
kolektif tetapi juga dapat digunakan secara individual , menjembatani pendekatan dichotomi ' komunitarianisme ' vs ' individualisme ' ( Ferragina , 2010). Istilah "modal" digunakan secara analogi dengan bentuk-bentuk modal ekonomi, modal sosial dipandang mempunyai manfaat-manfaat yang serupa (meskipun kurang terukur). Namun demikian , analogi dengan makna “modal” dapat menyesatkan, karena tidak seperti bentuk-bentuk modal-tradisional, “modal-sosial” tidak habis kalau ia dimanfaatkan; akan tetapi sebenarnya modal-sosial dapat habis kalau tidak dimanfaatkan. Dalam hal ini, sebenarnya sama dengan konsep ekonomi modern tentang “modal manusia”. Modal sosial juga dibedakan dari teori ekonomi tentang “Kapitalisme Sosial”. Kapitalisme Sosial sebagai teori menantang gagasan bahwa Sosialisme dan Kapitalisme adalah saling mutual-eksklusif. Kapitalisme sosial berpendapat bahwa dukungan jaringan sosial yang kuat bagi masyarakat miskin dapat meningkatkan output modal. Dengan mengurangi kemiskinan, partisipasi pasar modal dapat ditingkatkan. Beberapa definisi “Modal Sosial”:
Modal sosial (social capital) adalah
kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama, demi mencapai tujuan-tujuan bersama, di dalam berbagai kelompok dan organisasi (Coleman, 1999).
Modal
sosial adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi(berhubungan) satu sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain (Burt, 1992). Modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka (Fukuyama, 1995).
Modal sosial
adalah
suatu rangkian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-
78
norma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama (Cox, 1995). Modal sosial sebagai hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama (Partha dan Ismail, 1999). Modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma yang diwujudkan dalam perilaku yang dapat mendorong kemampuan dan kapabilitas untuk bekerjasama dan berkoordinasi untuk menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas (Solow, 1999). Modal sosial adalah sebagai setiap hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), kesaling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif (Cohen dan Prusak, 2001). Modal sosial adalah segala sesuatu hal yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsur-unsur utamanya sepetri trust (rasa saling mempercayai), keimbal-balikan, aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya (Hasbullah, 2006). 2.12.4. Model Ekonomi Rumahtangga (Household Economic) Penelitian tentang model ekonomi rumahtangga petani dilakukan oleh Chayanov, untuk menganalisis ekonomi keluarga petani dengan menggunakan rasio antara jumlah konsumsi dan gaji atau upah dalam keluarga petani. Selanjutnya digunakan oleh Becker (1965) yang diaplikasikan di pedesaan negara sedang berkembang. Sedangkan Bagi dan Singh (1974) memformulasikan model ekonomi
79
mikro dalam pengambilan keputusan rumahtangga, yang dibagi dalam enam kategori keputusan, yaitu : produksi, konsumsi, marketed surplus, investasi, finansial dan penggunaan tenaga kerja. Model
ekonomi
rumahtangga
pedesaan
untuk
mengukur
kepuasan
rumahtangga pedesaan dalam mengkonsumsi barang dan waktu luang yang dikembangkan oleh Barnum dan Squire (1979). Kemudian digunakan model ekonometri oleh mereka untuk mengaitkan perilaku produksi rumahtangga petani, konsumsi dan suplai tenaga kerja untuk menelaah pertanian semi komersial pada kondisi pasar yang sedang bersaing. Adapun estimasi fungsi konsumsi waktu luang, konsumsi padi milik sendiri, serta konsumsi komoditi non pertanian digunakan variabel tingkat upah, tenaga kerja keluarga,
umur kepala keluarga, tingkat
pendidikan dan jumlah tanggungan anak pada keluarga tersebut. Penelitian yang dilakukan Ahn et al (1981), memberikan aplikasi yang lebih luas pada model ekonomi rumahtangga pertanian dalam hal menelaah faktor yang berpengaruh terhadap alokasi sumberdaya dalam ekonomi antar komoditas di Korea melalui integrasi model ekonometrika dan model Linear programming dalam kegiatan produksi. Sedangkan Singh et al (1986) menggunakan formulasi model tersebut untuk membandingkan hasil telaah faktor yang berpengaruh terhadap alokasi sumberdaya antar komoditas pada dua negara, yaitu di Korea dan Nigeria. Analisa perilaku meminjam petani dalam konteks model rumahtangga pertanian di India, menunjukkan bahwa tingkat suku bunga berpengaruh terhadap besarnya jumlah pinjaman . Dimana dari hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa suku bunga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap besarnya jumlah pinjaman, hal ini disebabkan adanya kesalahan spesifikasi dalam hal penentuan dan
80
hubungan berbagai variabel pinjaman sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Iqbal dalam Singh et al (1986). Menurut penelitian Nelson (1988) tentang
model ekonomi rumahtangga
yang mengkaji perilaku individu dalam memaksimalkan kepuasan individu dengan keputusan rumahtangga degan mengikuti fungsi maksimize kesejahteraan sosial dalam
rumahtangga.
Dimana
asumsinya
adalah
bahwa
seluruh
anggota
rumahtangga memiliki selera yang sama dan sepadan dalam pembuatan keputusan rumahtangga. Hal ini menyatakan adanya spesifikasi sederhana dari skala ekonomi akan menunjukkan secara langsung formulasi dari fungsi demand (permintaan). Model yang digunakan untuk ekonomi rumahtangga nelayan diturunkan dari teori ekonomi rumahtangga atas dasar model dari Bagi dan Singh dengan memasukkan variabel yang relevan dengan kondisi ekonomi rumahtangga nelayan di pedesaan pantai sebagaimana yang dilakukan oleh Aryani (1994), Reniati (1998), Muhammad. S (2002) dan Sutoyo (2005). Dimana dalam menggunakan model ekonomi rumahtangga terdiri dari 4 blok, yaitu : produksi, curahan kerja, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga nelayan. Aryani (1994) dan Reniati (1998), dari hasil penelitiannya menghasilkan model ekonomi rumahtangga nelayan yang mendisagregasi rumahtangga nelayan menjadi nelayan juragan dan nelayan pendega (buruh) secara terpisah. Sementara besarnya penerimaan sebagai pendapatan nelayan pendega dari kegiatan melaut adalah terkait dengan penerimaan juragan dan pendega berdasarkan pada sistem bagi hasil (bagen). Penelitian Muhammad. S (2002) mengintegrasikan aspek bio-ekonomi dan keterkaitan perilaku rumahtangga juragan dan pendega dengan simulasi peubah kebijakan (policy) dan non policy. Sedangkan penelitian Sutoyo (2005) mengarah
81
pada evaluasi sejauhmana program pemberdayaan pengelolaan sumberdaya berbasis komunitas (PSBK) dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga nelayan kecil melalui kajian ekonomi rumahtangga. Menurut Pangemanan, dkk,(2002) rumahtangga
nelayan
pada
umumnya
memiliki
persoalan
lebih
kompleks
dibandingkan dengan rumahtangga petani, seperti operasional melaut pada daerah atau wilayah pesisir dan lautan yang menjadi milik bersama (common property) dan terbuka bagi semua (open acces) sebagai faktor produksi. Sementara pekerjaan sebagai nelayan penuh dengan resiko ketidak pastian (uncertainty), maka hanya dilakukan oleh pria dari anggota rumahtangga nelayan yang ada. Dari hasil penelitian tentang model ekonomi rumahtangga nelayan di Kecamatan Puger, Kabupaten Jember, Jawa Timur, bahwa sebesar 90,7 persen nelayan mengandalkan pendapatan rumahtangganya dari upah kerja sebagai nelayan, dan sisanya 9,3 persen memperoleh pendapatan dari bekerja di sektor non perikanan.
Adapun
dilihat
dari
kontribusinya,
sebesar
91,9
persen
dari
pendapatannya sebagai nelayan dan sisanya sebesar 9,1 persen hasil dari sumbangan bekerja sebagai pekerja diluar nelayan. Kemudian sebesar 7 persen dari pendapatan berasal dari istri nelayan yang bekerja dalam rangka membantu memenuhi kebutuhan rumahtangga (Purwono, 1991). Hasil penelitian Hermanto (1986), menunjukkan bahwa setiap nelayan Muncar memiliki jam kerja sekitar 14-20 jam setiap hari, dimana per bulan bekerja selama 15-25 hari kerja. Selama tidak bekerja melaut, digunakan untuk kegiatan memperbaiki alat tangkap (jaring), mesin kapal, maupun kapalnya. Untuk nelayan Jember bekerja selama 4,9 hari per minggu dengan rata-rata per harinya selama 9,5 jam. Selebihnya dari waktu tersebut nelayan menganggur dan itu sebesar 93 persen nelayan mengatakan hal tersebut. Sedangkan dari analisa regresi diketahui bahwa
82
pengalaman kerja nelayan berpengaruh positif terhadap produktivitas nelayan dan penggunaan jam kerja. Penelitian Purwanti, P. (1994) di kabupaten Pasuruan menemukan bahwa curahan waktu kerja nelayan payang dan jaring lebih tinggi dibandingkan dengan nelayan pancing. Sehingga berdampak pada pendapatan yang diperoleh, dimana pendapatan nelayan payang dan jaring lebih tinggi daripada nelayan pancing. Frekuensi melaut nelayan di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan memiliki pola operasi melaut yang tidak berbeda antara musim paceklik dan musim panen. Karena
usaha
penangkapan
ikan
merupakan
satu-satunya
sumber
mata
pencaharian pokok. Sehingga pergi melaut merupakan tumpuan harapan untuk mendapatkan penghasilan meskipun resikonya tidak mendapatkan ikan sebagai penghasilan pokoknya pada musim paceklik akan lebih besar. Menurut penelitian Manurung (1983), menghasilkan bahwa waktu untuk bekerja dalam satu kali trip melaut untuk operasional penangkapan ikan berbeda antara waktu berlayar pulang pergi melaut dan kegiatan melabuh. Untuk penggunaan waktu jam kerja yang lebih efektif, maka jam kerja untuk berlayar pulang pergi ke daerah penangkapan (fishing gound) diupayakan agar lebih singkat. Hal tersebut dapat dilakukan apabila digunakan teknologi yang lebih modern (motorisasi). Teknologi motorisasi ini dibutuhkan untuk dapat menggerakkan perahu agar dapat mempercepat waktu pencapaian daerah penangkapan ikan yang dituju, selain itu teknologi motorisasi perahu berpengaruh juga terhadap besarnya jumlah ikan yang ditangkap. Kontribusi kerja wanita nelayan dalam rumahtangga nelayan cukup besar, khususnya pada kegiatan pengolahan hasil perikanan dan perdagangan ikan (Purwanti, P. 1997, Uption dan Susilowati, 1992; Antunes, 1998). Curahan kerja wanita nelayan adalah dalam kegiatan pengolahan ikan dan perdagangan ikan,
83
sehingga masih berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Sedangkan partisipasi wanita nelayan dalam menambah pendapatan rumahtangga nelayan dipengaruhi oleh pekerjaan dan posisi suaminya, peranan istri (wanita) nelayan dalam proses pengambilan keputusan dalam rumahtangga nelayan, dan juga dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga (Susilowati, 1998). Peluang suami maupun istri nelayan bekerja di luar sektor perikanan dipengaruhi oleh tingkat pendapatan di luar sektor perikanan, pengalaman kerja, pendidikan, umur, angkatan kerja keluarga, jumlah pemilikan aset dan kondisi ekonomi lokal (Reniati, 1998). Selanjutnya menurut hasil penelitian Muhammad, S. (2002), bahwa peningkatan mutu SDM ikut berpengaruh terhadap perbaikan pola konsumsi dan mutu pangan nelayan juragan dan pendega. Sedangkan penelitian Primyastanto, M, et al (2013c) menunjukkan bahwa pendapatan nelayan ditentukan oleh aset kapal, BBM, curahan kerja, dan tingkat pendidikan (SDM) nelayan. 2.12.5. Kearifan Lokal Penelitian di Sungai Khong Thailand menunjukkan pola kearifan lokal yang diterapkan untuk kepentingan konservasi bagi masyarakat dibagi menjadi 6 aspek yaitu : pertama adalah budidaya dengan cara alami dari tumbuhan, kedua pengelompokan ramuan obat atau herbal yang diklasifikasikan pada bagian batang, umbi, rerumputan dan sayuran, ketiga pemanenan berdasarkan musim panas, hujan dan dingin, arah mata angin dan hari dalam seminggu, keempat penyimpanan ramuan obat herbal dengan wadah yang higienis dan pelabelan, kelima ritual tradisional untuk memberi efek medis yang kuat, meningkatkan iman, keenam penulisan hasil ramuan herbal di daun palem kitab suci kuno untuk digunakan dimasa mendatang (Mingkamol, H, 2011)
84
Dalam kitab suci Al-Qur’an Allah telah menginformasikan bahwa manusia sebagai subyek utama terjadinya kerusakan di dunia, yaitu : ” Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia , supaya ALLAH merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka (kembali ke jalan yang benar). (Q.S. AR RUUM : 41),sehingga perlu pencerahan bagi manusia untuk bisa bertindak arif dan bijaksana dalam mengelola alam, dimana pada ujungnya akan memberikan suatu adat kebiasaan sebagai kearifan lokal , terutama menjaga kelestarian sumberdaya perikanan, khususnya terumbu karang (Primyastanto, M. et al. 2010) Terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang dominan dari perairan dangkal atau perairan wilayah pesisir di daerah iklim tropis. Ekosistem ini disebut unik karena selain memiliki bentuk yang indah dari beragam spesies karangnya sendiri,juga memiliki beragam spesies biota laut yang berasosiasi dengannya. Ini menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang merupakan salah satu gudang biota dengan keanekaragaman hayati tinggi. Menurut Kantor Kementrian Negara Lingkungan Hidup dan Wetlands International Indonesia (1996), terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di dunia yang sangat produktif, dengan nilai ratarata produktivitas primernya adalah 2.500gr/
/tahun. Selain sangat penting secara
ekologi, ekosistem yang memiliki sistem ekologi yang stabil ini mempunyai nilai dan arti yang tidak kalah pentingnya dari segi sosial ekonomi dan sosial budaya. Secara sosial ekonomi dan sosial budaya, terumbu karang ini antara lain berfungsi sebagai sumber makanan, bahan obat-obatan, dan bahan bangunan. Disamping itu, keberadaan terumbu karang memiliki arti penting bagi perikanan laut dangkal. Manfaat lain adalah sebagai obyek wisata bahari karena memiliki nilai
85
estetika yang sangat mengagumkan. Akan tetapi dengan segala fungsinya tersebut telah mendorong adanya aktivitas manusia yang tidak terkendali dimana telah mengakibatkan terjadinya kerusakan ekosistem terumbu karang. Kondisi tersebut menunjukkan adanya degradasi lingkungan serta tidak efektifnya pengelolaan sumberdaya dan lingkungan pantai. Tekanan sosial ekonomi yang muncul serta diperburuk dengan proyek-proyek ekspansi ekonomi ke kawasan daratan pesisir atau pantai dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat telah diindikasikan sebagai penyebab utama adanya kerusakan ekosistem pesisir, termasuk didalamnya ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu sumberdaya terumbu karang ini perlu dikelola dan dilestarikan secara bijaksana dan rasional, agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustainable). Pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan kearifan lokal bertujuan mengikutsertakan masyarakat lokal, bukan hanya sebagai obyek tetapi sebagai pengelola dengan memandang kepentingan baik secara ekologis, ekonomis, dan sosbud, seperti dicontohkan oleh masyarakat pesisir Jemluk, Bali. Upaya konservasi dan pengelolaan yang dilakukan berdasarkan kearifan lokal , seperti tradisi Mane’e dan Sasi merupakan sistem kearifan lokal yang perlu dipertahankan dan dilestarikan, agar menfaat ekonomi menjadi berkelanjutan
tanpa harus merusak
terumbu karang sebagai salah satu sumberdaya perikanan (Primyastanto, M. 2011d). Penelitian yang mengkaji kondisi sosial budaya pada peran kearifan lokal masyarakat kelautan, baik dipesisir atau laut, maupun perairan pedalaman, telah Menghasilkan
indikator
awal
kondisi
sosial
budaya
dalam
kerangka
pemberdayaan masyarakat nelayan (Nasution et al, 2004). Indikator awal dari kondisisosial budaya yang dimaksud dapat memperlihatkan kecenderungan
86
bahwa perbedaan tipologi masyarakat menunjukkan pengaruh berupa adanya perbedaan peranan dimensi kearifan lokal sosial budaya masyarakat nelayan. Pada
masyarakat nelayan di wilayah
pesisir
atau laut, dari
dimensi yang
dijadikan ukuran kodisi sosial budaya masyarakat, yaitu dimensi pengetahuan lokal akan lebih berperan. Dalam hal
ini dideskripsikan tentang kearifan lokal
pengelolaan terumbu karang dengan mengikut sertakan masyarakat setempat sebagai ujung tombak yang sangat berperan dalam melestarikan terumbu karang. Selain itu, untuk menjawab kondisi pada saat ini dengan pengembangan terumbu karang buatan yang bermanfaat bagi masyarakat setempat, baik dalam aspek sosial, ekonomi maupun budayanya. Dari beberapa hasil penelitian yang ada , bahwa kearifan lokal yang berlaku di Indonesia dan terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, dimana memberikan peluang untuk senantiasa digali dan ditumbuhkembangkan dimasa mendatang, diantaranya adalah : kearifan lokal celako kumali di Serawai, Bengkulu, kearifan lokal tana’ ulen di Kalimantan Timur, kearifan lokal
te aro
neweak lako di Papua, kearifan lokal awig-awig di Lombok. Sedangkan kearifan lokal
yang
ada
pada
masyarakat
nelayan
Selat
madura
yang
dapat
ditumbuhkembangkan pada masa mendatang dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara sustainable, meliputi : kearifan lokal andun, petik laut, nyabis, pangambak, telasan,onjhem (Primyastanto, M et al. 2013a) Sedangkan dari hasil penelitian Primyastanto, M, et al (2014a) tentang pemberdayaan masyarakat nelayan berbasis kearifan lokal menunjukkan bahwa kearifan lokal yang ada mampu untuk memberikan arah positif terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan di Selat Madura secara lestari dan sustainable, terutama kearifan lokal andun dan onjhem (rumpon).