Bab 2 Bahan Bakar dan Prestasi Mesin
2.1
Sifat Fisik dan Kimia Bahan Bakar Cair Bahan bakar cair seperti minyak tungku atau furnace oil dan LSHS (low
sulphur heavy stock) secara umum dimanfaatkan dalam penggunaan industri maupun otomotif. Berbagai penjelasan mengenai sifat bahan bakar cair diberikan di bawah ini.
2.1.1
Densitas Densitas didefinisikan sebagai perbandingan massa bahan bakar terhadap
volum bahan bakar pada suhu acuan 15°C. Densitas diukur dengan suatu alat yang disebut hidrometer. Pengetahuan mengenai densitas ini berguna untuk penghitungan dan pengkajian kuantitatif laju pemakaian bahan bakar dan efisiensi termal yang terjadi selama proses pembakaran. Satuan densitas adalah kg/m3.
2.1.2
Specific Gravity Didefinisikan sebagai perbandingan berat dari sejumlah volum minyak
bakar terhadap berat air untuk volum yang sama pada suhu tertentu. Densitas bahan bakar, relatif terhadap air, disebut pemakaian bahan bakar spesifik. Gravitasi spesifik air ditentukan sama dengan 1 (satu). Karena gravitasi spesifik adalah perbandingan, maka tidak memiliki satuan. Pengukuran gravitasi spesifik biasanya dilakukan dengan hidrometer. Gravitasi spesifik digunakan dalam penghitungan yang melibatkan berat dan volum. Gravitasi spesifik untuk berbagai bahan bakar minyak diberikan dalam tabel 2.1. Tabel 2.1 Gravitasi Spesifik Berbagai Bahan Bakar Minyak [1] Bahan Bakar Minyak
Gravitasi Spesifik
L.D.O (minyak diesel ringan)
0,85 – 0,87
Furnace Oil/Minyak Tungku
0,89 – 0,95
L.S.H.S. (Low Sulphur Heavy Stock)
0,88 – 0,98
5
2.1.3
Viskositas Viskositas suatu fluida merupakan ukuran resistansi bahan terhadap aliran.
Viskositas tergantung pada suhu dan berkurang dengan naiknya suhu. Viskositas diukur dalam satuan Stokes/Centistokes. Kadang-kadang viskositas juga diukur dalam Engler, Saybolt atau Redwood. Tiap jenis minyak bakar memiliki hubungan suhu–viskositas tersendiri. Pengukuran viskositas dilakukan dengan suatu alat yang disebut viskometer. Viskositas merupakan sifat yang sangat penting dalam penyimpanan dan penggunaan bahan bakar minyak. Viskositas mempengaruhi derajat pemanasan awal yang diperlukan untuk handling, penyimpanan, dan atomisasi yang memuaskan. Jika minyak terlalu kental, maka akan menyulitkan dalam pemompaan, sulit untuk penyalaan, dan sulit dialirkan. Atomisasi yang kurang sempurna akan mengakibatkan terjadinya pembentukan endapan karbon pada ujung penyala atau pada dinding-dinding. Oleh karena itu pemanasan awal dapat menjadi hal yang penting untuk atomisasi yang tepat.
2.1.4 Titik Nyala Titik nyala suatu bahan bakar adalah suhu terendah dimana bahan bakar dapat dipanaskan sehingga uap mengeluarkan nyala sebentar bila dilewatkan suatu nyala api. Titik nyala untuk minyak tungku ( furnace oil) adalah 66oC.
2.1.5
Titik awan dan Titik tuang Titik awan adalah temperatur pada saat bahan bakar mulai tampak
"berawan" (cloudy). Hal ini timbul karena munculnya kristal-kristal (padatan) di dalam bahan bakar. Meski bahan bakar masih bisa mengalir pada titik ini, keberadaan kristal di dalam bahan bakar bisa mempengaruhi kelancaran aliran bahan bakar di dalam filter, pompa, dan injektor. Sedangkan titik tuang adalah temperatur terendah yang masih memungkinkan terjadinya aliran bahan bakar; di bawah titik tuang bahan bakar tidak lagi bisa mengalir karena terbentuknya kristal atau gel yang menyumbat aliran bahan bakar. Dilihat dari definisinya, titik awan terjadi pada temperatur yang lebih tinggi dibandingkan dengan titik tuang. Pada umumnya permasalahan pada aliran bahan bakar terjadi pada
6
temperatur diantara titik awan dan titik tuang; pada saat keberadaan kristal mulai mengganggu proses filtrasi bahan bakar. Oleh karena itu, digunakan metode pengukuran yang lain untuk mengukur performansi bahan bakar pada temperatur rendah, yakni Cold Filter Plugging Point (CFPP) di negara-negara Eropa (standar EN 116) dan Low-Temperature Flow Test (LTFT) di Amerika Utara (standar ASTM D4539)[2]. Pada umumnya, titik awan dan titik tuang biodiesel lebih tinggi dibandingkan dengan solar. Hal ini bisa menimbulkan masalah pada penggunaan biodiesel, terutama, di negara-negara yang mengalami musim dingin. Untuk mengatasi hal ini, biasanya ditambahkan aditif tertentu pada biodiesel untuk mencegah aglomerasi kristal-kristal yang terbentuk dalam biodiesel pada temperatur rendah. Selain menggunakan aditif, bisa juga dilakukan pencampuran antara biodiesel dan solar. Pencampuran (blending) antara biodiesel dan solar terbukti dapat menurunkan titik awan dan titik tuang bahan bakar[3]. Teknik lain yang bisa digunakan untuk menurunkan cloud dan titik tuang bahan bakar adalah dengan melakukan "winterization"[4]. Pada metode ini, dilakukan pendinginan pada bahan bakar hingga terbentuk kristal-kristal yang selanjutnya disaring dan dipisahkan dari bahan bakar. Proses kristalisasi parsial ini terjadi karena asam lemak tak jenuh memiliki titik beku yang lebih rendah dibandingkan dengan asam lemak jenuh. Maka proses winterization sejatinya merupakan proses pengurangan asam lemak jenuh pada biodiesel. Di sisi lain, asam lemak jenuh berkaitan dengan angka setana. Maka proses winterization bisa menurunkan angka setana bahan bakar.
2.1.6
Panas Jenis Panas jenis adalah jumlah energi dalam kKal yang diperlukan untuk
menaikan suhu 1 kg minyak sebesar 1oC. Satuan panas jenis adalah kkal/kgoC. Besarnya bervariasi mulai dari 0,22 hingga 0,28 tergantung pada gravitasi spesifik minyak. Panas jenis menentukan berapa banyak uap atau energi listrik yang digunakan untuk memanaskan minyak ke suhu yang dikehendaki. Minyak ringan memiliki panas jenis yang rendah, sedangkan minyak yang lebih berat memiliki panas jenis yang lebih tinggi.
7
2.1.7 Nilai Kalor Nilai kalor merupakan ukuran panas atau energi yang dihasilkan., dan diukur sebagai nilai kalor kotor (gross calorific value) atau nilai kalor netto (nett calorific value). Perbedaannya ditentukan oleh panas laten kondensasi dari uap air yang dihasilkan selama proses pembakaran. Nilai gross calorific value (GCV) mengasumsikan seluruh uap yang dihasilkan selama proses pembakaran sepenuhnya terembunkan atau terkondensasikan. Nilai kalor netto (NCV) mengasumsikan air yang keluar dengan produk pengembunan tidak seluruhnya terembunkan. Bahan bakar harus dibandingkan berdasarkan nilai kalor netto. Nilai kalor batubara bervariasi tergantung pada kadar abu, kadar air dan jenis batu baranya sementara nilai kalor bahan bakar minyak lebih konsisten. GCV untuk beberapa jenis bahan bakar cair yang umum digunakan terlihat dibawah ini: Tabel 2.2 Nilai Kalor Kotor (GCV) untuk Beberapa Bahan Bakar Minyak[4] Bahan Bakar Minyak
Gross Caloric Value (kKal/kg)
Minyak tanah
11.100
Minyak diesel
10.800
L.D.O.
10.700
Minyak tungku
10.500
LSHS
10.600
2.1.8
Sulfur Jumlah sulfur dalam bahan bakar minyak sangat tergantung pada sumber
minyak mentah dan pada proses penyulingannya. Kandungan normal sulfur untuk residu bahan bakar minyak (minyak furnace) berada pada 2-4%. Kandungan sulfur untuk berbagai bahan bakar minyak ditunjukkan pada tabel 2.3.
8
Tabel 2.3. Persentase Sulfur untuk Berbagai Bahan Bakar Minyak [1] Bahan Bakar Minyak
Persen Sulfur
Minyak tanah
0,05 -0,2
Minyak diesel
0,05 – 0,25
L.D.O.
0,5 – 1,8
Minyak furnace
2,0 – 4,0
L.S.H.S.
<0,5
Kerugian utama dari adanya sulfur adalah resiko korosi oleh asam sulfat yang terbentuk selama dan sesudah pembakaran, dan pengembunan di cerobong asap, pemanas awal udara, dan economizer. 2.1.9 Kadar Abu Kadar abu erat kaitannya dengan bahan inorganik atau garam dalam bahan bakar minyak. Kadar abu pada distilat bahan bakar diabaikan. Residu bahan bakar memiliki kadar abu yang tinggi. Garam-garam tersebut dapat ditemukan dalam bentuk senyawa sodium, vanadium, kalsium, magnesium, silikon, besi, alumunium, nikel, dan lain sebagainya. Umumnya, kadar abu berada pada kisaran 0,03–0,07%. Abu yang berlebihan dalam bahan bakar cair dapat menyebabkan pengendapan kotoran pada peralatan pembakaran. Abu memiliki pengaruh erosi pada ujung burner, menyebabkan kerusakan pada refraktori pada suhu tinggi dapat meningkatkan korosi suhu tinggi dan penyumbatan peralatan.
2.1.10 Residu Karbon Residu karbon memberikan kecenderungan pengendapan residu padat karbon pada permukaan panas, seperti pada pembakaran atau penyemprotan, bila kandungan yang volatil menguap. Residu minyak mengandung residu karbon 1% atau lebih.
2.1.11 Kadar Air Kadar air minyak tungku/furnace pada saat pemasokan umumnya sangat rendah sebab produk disuling dalam kondisi panas. Batas maksimum 1%
9
ditentukan sebagai standar. Air dapat berada dalam bentuk bebas atau emulsi dan dapat menyebabkan kerusakan di bagian dalam permukaan tungku selama pembakaran terutama jika mengandung garam terlarut. Air juga dapat menyebabkan percikan nyala api di ujung burner, yang dapat mematikan nyala api, menurunkan suhu nyala api atau memperlambat penyalaan.
2.1.12 Bilangan Setana Motor diesel menggunakan bahan bakar yang dapat terbakar dengan sendirinya ketika diinjeksikan ke dalam ruang bakar dengan udara yang bertekanan tinggi. Kualitas penyalaan dari bahan bakar motor diesel dinyatakan dengan bilangan cetana (cetane number). Bilangan cetana merupakan suatu indeks yang umum dipergunakan untuk menunjukkan kualitas bahan bakar motor diesel. Cetana normal (C16H34) dan αmethyl-naphtalene (C10H7CH3) digunakan sebagai bahan bakar standar pengukur. C16H34 adalah bahan bakar dengan persiapan pembakaran yang pendek dan memiliki bilangan cetana 100, sedangkan
α-methyl-naphtalene mempunyai
periode persiapan pembakaran yang panjang (bilangan cetana 0) sehingga tidak baik digunakan sebagai bahan bakar motor diesel. Untuk menentukan bilangan cetana dari suatu jenis bahan bakar motor diesel, digunakan mesin CFR (Coordinating Fuel Research Engine). CFR merupakan mesin yang perbandingan kompresinya dapat diubah–ubah. Bahan bakar yang ingin diketahui bilangan cetananya digunakan sebagai bahan bakar CFR. Kemudian perbandingan kompresi dari CFR ini diatur sehingga diperoleh periode persiapan pembakaran sebesar 13o sudut engkol. Setelah itu, dengan kondisi operasi yang sama, bahan bakar diganti dengan bahan bakar campuran dari C16H34 dengan α-methyl-naphtalene. Perbandingan campuran dari bahan bakar ini diatur sehingga diperoleh periode persiapan pembakaran sebesar 13o sudut engkol. Presentase volume C16H34 dalam campuran bahan bakar tersebut menunjukkan besarnya bilangan cetana bahan bakar yang diuji. Bilangan cetana bahan bakar motor diesel putaran tinggi berkisar antara 40 sampai 60.
10
2.1.13 Penyimpanan dan Stabilitas Biodiesel bisa mengalami degradasi apabila disimpan dalam waktu yang lama dalam kondisi tertentu. Degradasi biodiesel pada umumnya disebabkan oleh proses oksidasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi degradasi biodiesel antara lain keberadaan asam lemak tak jenuh, kondisi penyimpanan (tertutup/terbuka, temperatur, dsb.), unsur logam, dan peroksida. Selain itu, diketahui bahwa temperatur tinggi (40oC) yang disertai dengan keberadaan udara terbuka menyebabkan degradasi yang sangat signifikan pada penyimpanan biodiesel hingga 50 minggu[5]. Konsentrasi asam meningkat pada biodiesel yang telah terdegradasi; hal ini disebabkan oleh putusnya rantai asam lemak metil ester menjadi asam-asam lemak. Mereka menemukan bahwa faktor keberadaan air tidak terlalu signifikan mempengaruhi proses degradasi. Namun demikian, keberadaan air (yang terpisah dari biodiesel) bisa membantu pertumbuhan mikroorganisme[3]. Temperatur tinggi (40oC) yang tidak disertai dengan keberadaan udara terbuka; dan sebaliknya udara terbuka tanpa keberadaan temperatur tinggi, tidak menyebabkan degradasi yang signifikan pada biodiesel yang disimpan dalam waktu lama (hingga 50 minggu). Kontak antara biodiesel dengan logam dan elastomer selama proses penyimpanan juga bisa mempengaruhi stabilitas biodiesel[3]. Ditemukan bahwa logam tembaga (copper) memiliki efek katalis oksidasi yang paling kuat untuk biodiesel[4]. Oksidasi pada biodiesel dapat menyebabkan terbentuknya suatu hidroperoksida yang selanjutnya terpolimerisasi dan membentuk gum, dimana hal ini dapat menyebabkan penyumbatan pada filter atau saluran bahan bakar mesin diesel[3]. Standard Eropa, EN 14214, mengatur uji stabilitas biodiesel terhadap oksidasi, yakni dengan cara memanaskan biodiesel pada 110oC selama tak kurang dari 6 jam[2]. Harga viskositas biodiesel juga bisa dijadikan sebagai ukuran terjaditidaknya proses degradasi pada biodiesel. Dalam penelitian sebelumnya ditemukan bahwa biodiesel minyak Castor dapat mengalami degradasi, dicirikan dengan kenaikan viskositas yang sangat tinggi, bila dikenai temperatur yang sangat tinggi (210oC) dalam jangka waktu lebih dari 10 jam. Degradasi ini terjadi diduga karena terjadinya proses oksidasi dan polimerisasi pada biodiesel[6].
11
2.1.14 Bilangan Iodine Bilangan iodine pada biodiesel menunjukkan tingkat ketidakjenuhan senyawa penyusun biodiesel. Di satu sisi, keberadaan senyawa lemak tak jenuh meningkatkan performansi biodiesel pada temperatur rendah, karena senyawa ini memiliki titik leleh (melting point) yang lebih rendah[2] sehingga berkorelasi pada cloud dan titik tuang yang juga rendah. Namun di sisi lain, banyaknya senyawa lemak tak jenuh di dalam biodiesel memudahkan senyawa tersebut bereaksi dengan oksigen di atmosfer dan bisa terpolimerisasi membentuk material serupa plastik. Oleh karena itu, terdapat batasan maksimal harga angka iodine yang diperbolehkan untuk biodiesel, yakni 115 berdasarkan standar Eropa (EN 14214). Di samping itu, konsentrasi asam linolenic dan asam yang memiliki 4 ikatan ganda masing-masing tidak boleh melebihi 12% dan 1%[4]. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Mercedez-Benz menunjukkan bahwa biodiesel dengan angka iodine lebih dari 115 tidak bisa digunakan pada kendaraan diesel karena menyebabkan deposit karbon yang berlebihan[3]. Meski demikian, terdapat studi lain yang menghasilkan kesimpulan bahwa angka iodine tidak berkorelasi secara signifikan terhadap kebersihan dan pembentukan deposit di dalam ruang bakar [3].
2.1.15 Efek Kelumasan Sifat kelumasan yang inheren pada solar menjadi berkurang manakala dilakukan desulfurisasi (pengurangan kandungan solar) akibat tuntutan standard solar di berbagai negara. Berkurangnya sifat kelumasan bahan bakar bisa menimbulkan permasalahan pada sistem penyaluran bahan bakar, seperti pompa bahan bakar dan injektor. Meski berkurangnya sifat kelumasan tersebut muncul akibat proses desulfurisasi, terdapat hasil penelitian yang menunjukkan bahwa berkurangnya sifat kelumasan tersebut bukan akibat berkurangnya konsentrasi sulfur itu sendiri, namun karena berkurangnya komponen-komponen non-polar yang terikut dalam proses desulfurisasi[2]. Dari analisis efek senyawa penyusun biodiesel terhadap sifat kelumasan bahan bakar, disimpulkan bahwa ester metil dan monodigliserida adalah dua komponen yang paling berpengaruh terhadap sifat kelumasan biodiesel secara
12
signifikan[7]. Karena memiliki sifat kelumasan yang baik, biodiesel dapat digunakan sebagai aditif untuk meningkatkan sifat kelumasan solar berkadar sulfur rendah (low-sulfur petrodiesel fuel). Penambahan 1-2% biodiesel bisa mengembalikan sifat kelumasan solar berkadar sulfur rendah ke tingkat semula (yakni setara dengan solar berkadar sulfur normal)[2]. Penggunaan biodiesel sebagai aditif kelumasan pada solar berkadar sulfur rendah memiliki keuntungan dibandingkan dengan aditif lain, karena biodiesel sekaligus merupakan bahan bakar mesin diesel.
2.2
Pengaruh Sifat Bahan Bakar terhadap Kelambatan Penyalaan Kelambatan penyalaan pada mesin diesel dinyatakan sebagai selang waktu
(atau derajat poros engkol) antara mulainya penyemprotan bahan bakar dan mulai terjadinya pembakaran. Kelambatan penyalaan bergantung pada beberapa proses fisis dan kimiawi. Proses fisis yang mampu mempengaruhi panjang pendeknya kelambatan penyalaan meliputi atomisasi bahan bakar cair, penguapan droplet bahan bakar, dan pencampuran uap bahan bakar dengan udara. Sementara proses kimiawinya lebih dikarenakan karakter bahan bakar, dalam hal ini yang paling dominan adalah kualitas penyalaan bahan bakar yang ditentukan oleh bilangan cetana bahan bakar tersebut. Bahan bakar dengan bilangan cetana lebih rendah akan memiliki ignition delay yang lebih panjang. Akibatnya apabila gnition delay terlalu panjang dapat menimbulkan gejala knocking. Hal ini terjadi karena terlalu banyak bahan bakar yang ada dalam silinder sebelum penyalaan terjadi, sehingga saat terjadi penyalaan, bahan bakar akan terbakar secara simultan, menghasilkan kecepatan pembakaran yang tinggi dengan kenaikan tekanan yang tinggi pula. Untuk kasus dimana nilai bilangan cetana yang terlalu rendah, penyalaan dapat terjadi sangat terlambat, yaitu pada langkah ekspansi, sehingga proses pembakaran akan terquench, menghasilkan pembakaran yang tidak sempurna, menurunkan daya keluaran dan efisiensi konversi energi bahan bakar. Untuk bahan bakar dengan bilangan cetana yang tinggi, dengan ignition delay yang lebih pendek, penyalaan terjadi sebelum seluruh bahan bakar disemprotkan. Kenaikan tekanan ditentukan oleh laju penyemprotan bahan bakar
13
dan pencampuran udara-bahan bakar, yang menghasilkan operasi mesin lebih halus. Namun bila bilangan cetana terlalu tinggi, dapat menyebabkan penyalaan terjadi sebelum pencampuran udara dan bahan bakar memadai, sehingga emisi akan meningkat. Aditif dapat ditambahkan untuk meningkatkan kualitas penyalaan. Aditif untuk mempercepat penyalaan, atau dengan kata lain, menaikkan bilangan cetane antara lain adalah peroksida organik, nitrat, nitrit, dan berbagai macam senyawa sulfur. Yang paling popular secara komersial adalah alkyl nitrat (isopropil nitrat dan amil nitrat primer). Biasanya penambahan aditif tersebut sebanyak 5% volume akan meningkatkan bilangan cetana sampai 10 angka, meski keefektifannya juga bergantung terhadap bahan bakar dasarnya. Pada mesin yang telah benar–benar berada pada kondisi kerja, karakter fisis bahan bakar, seperti viskositas dan volatilitas, tidak akan berperan secara signifikan. Demikian juga untuk mesin yang sudah berada pada temperatur kerjanya, variasi atomisasi dan spray penetration juga tidak memberikan perubahan kelambatan penyalaan secara signifikan.
2.3
Parameter Prestasi[8] Pengukuran prestasi mesin mengindikasikan daya maksimum yang mampu
dihasilkan suatu produk dalam batas–batas operasi yang ditetapkan oleh pabrikan, dimana batas tersebut ditentukan dalam rangka menjamin tingkat reliabilitas, durabilitas, dan satisfactory economy keseluruhan kinerja sistem. Torsi dan kecepatan maksimum yang dapat dicapai biasanya juga diberikan dalam brosur spesifikasi teknis. Namun, karena kedua hal tersebut—torsi dan kecepatan maksimum—bergantung pada kapasitas volume mesin, maka pemilihan parameter yang dinormalisasi perlu untuk dapat menjadi parameter pembanding yang komparatif. Pemilihan parameter prestasi yang diukur juga didasarkan pada kerakteristik operasional sehingga didapatkan perbandingan yang paling signifikan. Untuk pengoperasian mesin pada hampir seluruh titik operasi yang umum digunakan sesuai fungsional mesin tersebut dirancang dan periode operasional yang cukup lama, parameter–parameter prestasi yang tepat untuk dilakukan
14
pengukuran meliputi specific fuel consumption atau fuel conversion efficiency dan specific emissions, selain tentu saja beberapa parameter lain seperti pencapaian torsi dan daya terhadap putaran mesin, serta pengukuran air fuel ratio.
2.3.1
Momen Putar dan Daya Torsi yang dihasilkan poros mesin biasanya diukur dengan mengunakan
sebuah dinamometer. Mesin didudukkan pada test bed dan poros mesin dihubungkan dengan rotor dari dinamometer. Rotor tersebut terhubung dengan stator secara elektromagnet, hidraulik, atau dengan memanfaatkan gesekan mekanik. Gaya atau momen putar yang terjadi pada rotor akan ikut tersalurkan ke stator, dimana stator itu sendiri terhubungkan dengan load cell. Pembacaan sensor ini akan menunjukkan besarnya torsi yang dihasilkan dari putaran poros tersebut. Dengan mengetahui kecepatan putar dan torsi poros, maka dapat dihitung besarnya daya yang dihasilkan oleh mesin tersebut. Tentunya di dalam perhitungan juga melibatkan faktor koreksi dan toleransi dari masing–masing bagian dalam sistem pengukuran tersebut. Berdasarkan skema di atas, dapat dihitung torsi yang dihasilkan, yaitu : T = Fb Sementara daya dapat dihitung dengan mengalikan putaran mesin : P = 2π n T
2.3.2
Pemakaian Bahan Bakar Spesifik dan Efisiensi Dalam pengujian, konsumsi bahan bakar diukur sebagai laju aliran bahan
bakar per satuan waktu (mf). Parameter tersebut lebih umum dan bermanfaat jika dibandingkan terhadap output daya yang dihasilkan, dimana besarnya laju pemakaian bahan bakar diukur untuk setiap satuan daya yang dihasilkan atau disebut pemakaian bahan bakar spesifik (SFC). Parameter ini menggambarkan jumlah pasokan bahan bakar yang diperlukan mesin untuk menghasilkan kerja dan memberikan indikasi seberapa efisien suatu mesin beroperasi. SFC =
15
mf P
Pemakaian bahan bakar spesifik merupakan parameter berdimensi, dan parameter serupa yang juga menggambarkan perbandingan kebutuhan input energi dengan output kerja yang dihasilkan namun merupakan parameter tak berdimensi adalah parameter efisiensi. Efisiensi menunjukkan rasio kerja per siklus terhadap besarnya energi yang disuplai ke ruang bakar dengan asumsi seluruh kandungan energi dalam bahan bakar dapat termanfaatkan. Dari pemahaman tersebut, diperoleh:
ηf =
mf
p LHV
LHV adalah nilai kandungan kalor bahan bakar yang dipasok ke ruang bakar. Dengan mensubstitusi persamaan SFC, maka dapat diperoleh persamaan efisiensi yang lebih sederhana:
ηf =
2.3.3
1 SFC
LHV
Perbandingan Udara-Bahan Bakar Pada saat pengujian performa mesin, data aliran bahan bakar mf dan aliran
udara masuk ma umumnya ikut diukur. Rasio dari kedua data tersebut dapat digunakan untuk mendefinisikan kondisi operasi kerja mesin. Perbandingan Udara-Bahan Bakar (AFR) =
ma mf
Pada operasi normal, umumnya AFR pada mesin diesel berkisar antara 18 sampai 70[9].
2.3.4
Emisi Spesifik dan Indeks Emisi Tingkat emisi dari oksida nitrogen (nitric oxide dan nitrogen dioxide, atau
biasa dikelompokkan menjadi satu dan disebut NOx), karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), hidrokarbon yang tidak terbakar (HC), dan partikulat merupakan parameter yang mampu memberikan gambaran karakteristik operasi mesin.
16
Konsentrasi dari emisi gas buang ini biasanya diukur dari aliran exhaust gas dalam satuan part per million (ppm) atau persen volume. Selain pengamatan dalam satuan konsentrasi volume gas, seperti sNOx = ppm sCO2 = %volum udara sCO = % volum udara sHC = ppm sPart. = Bosch Smoke Unit Alternatif lain dalam melakukan analisis adalah dengan menormalisasi laju emisi terhadap laju pemakaian bahan bakar, yang kemudian disebut emission index (EI).
2.4
Emisi Gas Buang Mesin bensin dan mesin diesel merupakan sumber utama polusi udara di
perkotaan. Gas buang mesin bensin mengandung oksidan nitrogen (nitrat oksida, NO, dan sebagian nitrogen dioksida, yang kemudian disebut NOx), karbon monoksida (CO) dan sisa bahan bakar yang tidak terbakar sempurna (hidrokarbon). Pada gas buang mesin diesel, konsentrasi NOx dapat dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh mesin bensin, sementara emisi hidrokarbon yang dihasilkan pada mesin diesel 5 kali lebih rendah daripada konsentrasi hidrokarbon pada gas buang mesin bensin. Hidrokarbon pada gas buang mesin diesel dapat membentuk asap putih pada saat starting dan warming up mesin. Kandungan hidrokarbon inilah yang menimbulkan bau yang khas pada gas buang mesin diesel. Mesin diesel merupakan sumber utama dari emisi partikulat yang mengandung soot dimana di dalamnya terdapat kandungan hidrokarbon yang terabsorbsi. Mesin diesel tidak menghasilkan karbon monoksida secara signifikan. Pada mesin diesel, bahan bakar diinjeksikan ke dalam silinder tepat sebelum proses pembakaran dimulai. Hal ini mengakibatkan ketidakseragaman distribusi bahan bakar di dalam silinder pada saat proses pembakaran. Pembentukan polutan sangat bergantung pada distribusi bahan bakar dan bagaimana distribusi tersebut berubah terhadap variabel waktu pencampuran. Di bawah ini adalah ilustrasi yang menunjukkan efek terbentuknya masing-masing
17
polutan pada kepala piston, terkait pada bentuk semprotan pada mesin diesel penyemprotan langsung.
Gambar 2.1 Formasi deposit pada kepala piston saat premixed combustion[9]
Gambar 2.2 Formasi deposit pada kepala piston saat mixing-controlled combustion[9] Nitrit oksida terbentuk pada daerah bertemperatur tinggi khususnya pada daerah yang distribusi temperatur dan ratio bahan bakar/udara-nya mendekati kondisi stokiometrik. Sementara soot terbentuk pada daerah kaya dimana banyak bahan bakar yang tidak ikut terbakar pada proses berlangsung. Hidrokarbon karbon dan aldehid berasal dari daerah dimana terdapat banyak dilusi udara yang mencegah terjadinya proses persenyawaan di daerah tersebut. Bahan bakar yang menguap pada ujung nozzle juga berkontribusi pada pembentukan hidrokarbon.
18
2.4.1. Nitrogen Oksida (NOx) Pada dasarnya NOx berasal dari oksidasi nitrogen pada udara atmosfir serta dimungkinkan juga berasal dari bahan bakar, terutama solar. Periode kritis pembentukan NOx terjadi saat temperatur gas pembakaran pada keadaan maksimum, contohnya pada periode antara mulainya pembakaran sampai sesaat setelah tekanan puncak pada silinder tercapai. Kondisi seperti ini dapat meningkatkan laju pembentukan NOx. Sehingga dapat dikatakan bahwa jika temperatur pembakaran yang tercapai makin tinggi, maka laju pembentukan NOx pun akan ikut meningkat. Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.3.
Gambar 2.3 Grafik pembentukan konsentrasi soot, NO, dan produk pembakaran lain terhadap sudut engkol dan temperatur ruang bakar mesin diesel penyemprotan langsung[9] Selain itu, dari gambar 2.4 dapat dilihat juga bahwa produksi NOx juga bergantung pada banyaknya bahan bakar yang diinjeksikan ke dalam silinder (dengan catatan bahwa temperatur maksimum ruang bakar dipertahankan pada titik yang sama).
19
Gambar 2.4 Grafik produksi gas buang NO dan NOx sebagai fungsi dari equivalence ratio pada putaran mesin dan saat penyemprotan yang sama [9]
2.4.2. Karbon Monoksida (CO) Emisi CO pada mesin pembakaran dalam sangat bergantung pada air fuel ratio (AFR). Di bawah ini adalah grafik yang menunjukkan keterkaitan antara besarnya emisi karbon monoksida terhadap AFR pada mesin bensin.
Gambar 2.5 Emisi CO dengan berbagai rasio H/C bahan bakar yang bervariasi[9]
20
2.4.3 Emisi Gas Hidrokarbon (HC) Emisi HC terjadi karena penguraian dan oksidasi bahan bakar yang tidak sempurna pada proses pembakaran. Hal ini dapat terdeteksi dari kandungan gas metana, etena, propana, maupun butana. Pada banyak kasus, emisi HC dihitung sebagai total ratai karbon yang ada pada gas buang, dan bukan bedasar struktur ikatan kimianya. Emisi HC dapat terjadi dikarenakan terlalu miskinnya pembakaran sehingga bahan bakar tidak dapat teroksidasi, atau dapat pula akibat sifat kimia bahan bakar yang menyulitkan proses pemutusan rantai karbon dan oksidasi. Sifat fisis dari bentuk injeksi pada awal pembakaran juga dapat mempengaruhi jumlah kandungan HC pada gas buang. Hal ini terjadi akibat kualitas spray pattern yang buruk dapat memperlambat proses reaksi pembakaran. Gambar berikut ini menunjukkan dasar sistematika terjadinya pembakaran yang tidak sempurna:
Gambar 2.6 Skema mekanisme pembentukan HC pada mesin diesel: (a) diinjeksikannya bahan bakar saat delay period; (b) diinjeksikannya bahan bakar saat terjadi proses pembakaran[9]
21
2.4.4
Emisi Partikulat Emisi partikulat yang dihasilkan oleh mesin diesel mengandung material
karbon hasil dari proses pembakaran (soot) yang juga dimungkinkan terdapat komponen organik lain yang juga terserap.Sebagian besar partikulat berawal dari proses pembakaran yang tidak sempurna, dan sebagian kecil juga dapat diakibatkan oleh minyak pelumas. Rata-rata emisi partikulat pada mesin diesel direct injection berkisar dari 0.2–0.6 g/km untuk mobil dan sekitar 0.5–1.5 g/kWh untuk mesin stasioner yang berkapasitas besar. Teknik pengukuran emisi partikulat dilakukan dengan menggunakan smoke meter yang memiliki skala opacity untuk melihat besarnya dilusi yang terjadi sepanjang jalur gas buang. Pada smokemeter, dapat dilihat dan dibandingkan tingkat emisi partikulat yang terjadi dari satu sampel terhadap sampel lain. Hal ini pula yang dijadikan dasar dalam penentuan tingkat emisi partikulat. Jadi, smokemeter tidak menimbang atau mengukur secara langsung massa partikulat yang dihasilkan, melainkan hanya dilihat dari kepekatan sampel emisi pada kertas filter.
2.5
Proses Produksi Biodiesel Minyak Sawit[10] Bahan bakar diesel, selain berasal dari petrokimia juga dapat disintesis dari
ester asam lemak yang berasal dari minyak nabati. Bahan bakar dari minyak nabati (biodiesel) dikenal sebagai produk yang ramah lingkungan, tidak mencemari udara, mudah terbiodegradasi, dan berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui. Pada umumnya biodiesel disintesis dari ester asam lemak dengan rantai karbon antara C6-C22. Minyak sawit merupakan salah satu jenis minyak nabati yang mengandung asam lemak dengan rantai karbon C14-C20, sehingga mempunyai peluang untuk dikembangkan sebagai bahan baku biodiesel. Keseluruhan proses pembuatan biodiesel dari minyak kelapa sawit dapat dilihat dari skema pada gambar 2.7, dimana minyak kelapa sawit atau yang biasa disebut crude palm oil (CPO), dijadikan sebagai bahan dasar biodiesel. Pada proses tersebut, minyak kelapa sawit yang sudah disiapkan akan dilanjutkan dengan esterifikasi dalam tahap pengolahannya.
22
Gambar 2.7 Skema produksi biodiesel minyak sawit[11] Pada umumnya biodiesel dibuat melalui proses transesterifikasi dua tahap, dilanjutkan dengan pencucian, pengeringan dan terakhir filtrasi. Akan tetapi jika bahan bakunya dari CPO, maka sebelumnya perlu dilakukan esterifikasi sebelum diolah dalam proses transesterifikasi.
Gambar 2.8 Proses Esterifikasi[11]
2.5.1
Proses Transesterifikasi Proses transesterifikasi meliputi dua tahap. Transesterifikasi I yaitu
pencampuran antara kalium hidroksida (KOH) dan metanol (CH30H) dengan minyak sawit. Reaksi ini berlangsung sekitar 2 jam pada suhu 58-65°C. Bahan
23
yang pertama dimasukkan ke dalam reaktor adalah asam lemak yang selanjutnya dipanaskan hingga suhu yang telah ditentukan. Reaktor transesterifikasi dilengkapi dengan pemanas dan pengaduk. Selama proses pemanasan, pengaduk dijalankan. Tepat pada suhu reactor 63°C, campuran metanol dan KOH dimasukkan ke dalam reaktor dan waktu reaksi mulai dihitung pada saat itu. Pada akhir reaksi akan terbentuk metil ester dengan konversi sekitar 94%. Selanjutnya produk ini diendapkan selama waktu tertentu untuk memisahkan gliserol dan metil ester. Gliserol yang terbentuk berada di lapisan bawah karena berat jenisnya lebih besar daripada metil ester. Gliserol kemudian dikeluarkan dari reaktor agar tidak mengganggu proses transesterifikasi II. Selanjutnya dilakukan transesterifikasi II pada metil ester. Setelah proses transesterifikasi II selesai, dilakukan pengendapan selama waktu tertentu agar gliserol terpisah dari metil ester. Pengendapan II memerlukan waktu lebih pendek daripada pengendapan I karena gliserol yang terbentuk relatif sedikit dan akan larut melalui proses pencucian.
Gambar 2.9 Proses Transesterifikasi[11]
2.5.2
Pencucian Pencucian hasil pengendapan pada transesterifikasi II bertujuan untuk
menghilangkan senyawa yang tidak diperlukan seperti sisa gliserol dan metanol.
24
Pencucian dilakukan pada suhu sekitar 55°C, dan dilakukan tiga kali sampai pH campuran menjadi normal (6,8-7,2).
2.5.3 Pengeringan Pengeringan bertujuan untuk menghilangkan air yang tercampur dalam metil ester. Pengeringan dilakukan sekitar 10 menit pada suhu 130°C. Pengeringan dilakukan dengan cara memberikan panas pada produk dengan suhu sekitar 95°C secara sirkulasi. Ujung pipa sirkulasi ditempatkan di tengah permukaan cairan pada alat pengering.
2.5.4
Filtrasi Tahap akhir dari proses pembuatan biodiesel adalah filtrasi. Filtrasi
bertujuan untuk menghilangkan partikel-partikel pengotor biodiesel yang terbentuk selama proses berlangsung, seperti karat (kerak besi) yang berasal dari dinding reaktor atau dinding pipa atau kotoran dari bahan baku. Filter yang dianjurkan berukuran lebih kecil dari atau sama dengan 10 mikron.
25