BAB 1 Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah Laporan keuangan pada sebuah perusahaan disusun untuk tujuan tertentu. Menurut FASB, tujuan pelaporan keuangan adalah untuk membantu membuat keputusan, menilai perusahaan pada waktu tertentu dan memberikan informasi mengenai sumber daya ekonomik perusahaan. Laporan keuangan digunakan untuk pengambilan keputusan oleh berbagai macam pihak berkepentingan seperti investor, manajemen, pemerintah dan masyarakat. Untuk mendukung fungsi tersebut, laporan keuangan diharapkan menyediakan gambaran perusahaan pada waktu tertentu secara tepat. Jika laporan keuangan suatu perusahaan dapat memberikan gambaran kondisi perusahaan sesungguhnya, maka laporan keuangan tersebut mengandung informasi yang berkualitas. Informasi yang berkualitas pada laporan keuangan sangat penting untuk para pemangku kepentingan agar tidak melakukan kesalahan dalam menganalisa dan mengambil keputusan. Misal, calon investor membutuhkan informasi yang tepat mengenai kondisi perusahaan sekarang untuk dapat memperkirakan prospek ke depannya. Jika informasi yang tersedia tidak berkualitas, investor akan mengambil keputusan yang salah dengan berinvestasi padahal perusahaan menghadapi ancaman kebangkrutan. Tentu hal ini akan merugikan investor.
1
Kualitas informasi pada sebuah laporan keuangan dapat ditunjukkan dengan adanya dua karakteristik kualitatif utama seperti keberpautan dan ketepatan penyimbolan. Juga dengan adanya karakteristik pelengkap seperti keterbandingan, keterujian, ketepatwaktuan dan keterpahamian (IASB dan FASB, 2006). Kriteria ini menjelaskan apakah suatu informasi yang tersedia pada laporan keuangan akan bermanfaat pada pengambilan keputusan. Dalam pelaporan keuangan, standar akuntansi menjadi hal yang penting untuk menjaga agar laporan keuangan mengandung informasi yang berkualitas sehingga pengambilan keputusan yang diambil nantinya tepat. Standar akuntansi adalah konsep, prinsip, metoda, teknik dan lainnya yang sengaja dipilih atas dasar rerangka konseptual oleh badan penyusun standar (atau yang berwenang) untuk diberlakukan dalam suatu lingkungan/negara dan dituangkan dalam bentuk dokumen resmi guna mencapai tujuan pelaporan keuangan negara tersebut (Suwardjono, 2011). Tanpa adanya standar akuntansi, karakteristik kualitatif tidak akan dapat dipenuhi. Sebagai contoh, tanpa adanya standar yang jelas, laporan keuangan perusahaan satu dan yang lainnya dalam satu negara tidak akan bisa diperbandingkan karena teknik pengukuran yang digunakan berbeda. Hal tersebut tentu akan menimbulkan kos bagi pemangku kepentingan untuk dapat memahami setiap laporan yang berbeda. Standar akuntansi ada agar ada pedoman jelas dalam pendefinisian, pengukuran, penilaian, pengakuan dan penyajian suatu transaksi.
2
Standar akuntansi di Indonesia dituangkan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Interpretasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (ISAK). Pada mulanya, PSAK mengacu pada US-GAAP (United States Generally Accepted Accounting Principles) yang sudah diterjemahkan menjadi PABU Indonesia (Indonesian-GAAP). Namun, tuntutan era globalisasi membuat Indonesia melakukan konvergensi ke IFRS (International Financial Reporting Standards). Era globalisasi membuat dunia bisnis berubah. Batasan negara sudah semakin tidak nampak. Investor dari Indonesia bisa dengan mudah berinvestasi pada pasar modal asing, begitu pula sebaliknya. Informasi dapat dengan mudah diperoleh. Namun, kemudahan informasi tidak serta merta membuat pemahaman akan laporan keuangan lintas negara diperoleh. Standar yang tersedia hanya mengakomodasi kepentingan tiap negara. Negara dengan kondisi ekonomi yang berbeda, iklim bisnis yang beragam, dan aturan hukum yang bervariasi membuat standar yang ada, walaupun dengan acuan yang sama, menjadi berbeda. Hal ini mengakibatkan tidak adanya keterbandingan antara laporan keuangan perusahaan suatu negara dengan negara lain. Bukan tidak mungkin bila suatu laporan keuangan yang sama menunjukkan laba dan rugi jika disusun dengan standar akuntansi yang berbeda (Maryono, 2010). Ketidakmampuan laporan keuangan untuk diperbandingkan jelas akan meningkatkan kos investor. Perlu usaha ekstra untuk bisa menganalisis dengan
3
tepat suatu laporan keuangan. Perusahaan yang memiliki cabang internasional, ataupun yang berencana berekspansi, akan kesulitan untuk melakukan perencanaan dan pengembangan karena tidak adanya satu tolok ukur yang sama. Semua itu mengakibatkan laporan keuangan menjadi tidak terpercaya atau dengan kata lain informasinya menjadi kurang bermanfaat. Untuk dapat mengakomodasi tuntutan-tuntutan yang ada, dibutuhkan suatu standar yang global. Kebutuhan itulah yang lantas membuat harmonisasi akuntansi telah menjadi isu hangat. Choi dan Meek (1999) menyatakan bahwa harmonisasi adalah proses peningkatan keterbandingan praktik akuntansi dengan menetapkan batasan pada perbedaan yang ada. Standart harmonisasi ini bebas dari konflik logika dan dapat meningkatkan komparabilitas (daya banding) informasi keuangan yang berasal dari berbagai negara.
Ada dua macam
harmonisasi akuntansi, yaitu peraturan (de jure) dan praktik (de facto). Menurut Tay dan Parker (1990) harmonisasi peraturan lebih bermanfaat dibanding dengan harmonisasi praktik. Usaha untuk mengharmonisasi akuntansi di dunia sudah dimulai jauh sebelum IASC dibentuk pada tahun 1973. Pada tahun 1959, Jacob Kraayenhof, rekan banyak kantor akuntan independen di Eropa, menyatakan pentingnya mulai membuat standar akuntansi internasional. Adanya kebutuhan perusahaan untuk mencari modal di luar negara mereka terhambat oleh perbedaan pengukuran, penyingkapan dan pengauditan di tiap negara (Choi & Meek, 2005), investor dan
4
analis keuangan perlu memahami laporan keuangan perusahaan asing dan meyakini bahwa isinya dapat dipercaya ketika mereka berencana berinvestasi, serta perusahaan multinasional maupun yang berencana untuk menjadi multinasional memerlukan laporan keuangan yang bisa memberikan informasi yang terpercaya dan meyakinkan bagi para pemangku kepentingan dan calon investor. Harmonisasi akuntansi dianggap akan memberikan banyak keuntungan pada banyak aspek seperti penilaian investasi, evaluasi kinerja, dan pengambilan keputusan lainnya. Tidak hanya itu, kos modal akan turun karena berkurangnya risiko untuk investor (Nobes, 2008). Dengan adanya harmonisasi akuntansi, perusahaan di berbagai negara berpedoman pada satu standar. Pendefinisian, pengukuran, penilaian, pengakuan dan penyajian suatu transaksi akan dilakukan berdasarkan prinsip yang sama. Laporan keuangan akan mengungkapkan hal yang sejalan. Hal ini mempermudah para pemangku kepentingan untuk menganalisis dan mengambil keputusan pada laporan keuangan lintas negara. Banyaknya keuntungan yang diperoleh harmonisasi akuntansi tidak menjadikan ia mudah diterapkan. Ada banyak hal yang menjadi penghambat. Nobes (2008) menyatakan bahwa besarnya perbedaan praktik akuntansi di negara yang berbeda akan menjadi penghambat utama. Penghambat lainnya adalah kurangnya agen regulasi internasional. Selain itu, kondisi ekonomi tiap negara
5
yang berbeda juga menjadikan penerapan harmonisasi akuntansi susah untuk 100% sama. Harmonisasi akuntansi berkembang dari tahun ke tahun. Pada tahun 1973, IASC dibentuk. IASC kemudian menyusun International Accounting Standards (IAS). Pada tahun 2001, IASB dibentuk sebagai pengganti IASC. IFRS (International Financial Reporting Standards) merupakan standar akuntansi yang dibuat oleh IASB. Tujuan pembuatan standar ini sejalan dengan harmonisasi akuntasi, yakni agar laporan keuangan dari berbagai negara yang berbeda dapat diperbandingkan. Lebih dari 100 negara setuju untuk mengadopsinya. Beberapa negara seperti China dan Australia telah melakukan adopsi penuh, sementara beberapa negara di Eropa melakukan endorsement. Indonesia yang mulanya berbasis US-GAAP kini beralih menjadi IFRS. Perbedaan signifikan antara US-GAAP dan IFRS adalah basis yang digunakan. US-GAAP berbasis peraturan (rule-based), sementara IFRS berbasis prinsip (principle-based). Nobes (2005) menyatakan bahwa jumlah peraturan akan berkurang dengan mengidentifikasi prinsip yang lebih baik, yang akan membawa pada ketelitian yang lebih dan perekayasaan yang kurang pada waktu yang sama. Di Indonesia, isu harmonisasi akuntansi sudah ada semenjak tahun 1994. Pada kata pengantar SAK per 1 Juni 2012 disebutkan bahwa untuk mengembangkan standar akuntansi di Indonesia, IAI mulai melakukan harmonisasi sejak 1994 dan berlanjut adaptasi dan adopsi demi kepentingan
6
konvergensi ke IFRS. Dari 1994 sampai 2012, SAK telah direvisi sebanyak 8 kali, yakni 1 Oktober 1995, 1 Juni 1996, 1 Juni 1999, 1 April 2002, 1 Okt 2004, 1 September 2007, 1 Juli 2009 dan 1 Juni 2012. Penerapan IFRS ada yang bersifat wajib (mandatory) dan sukarela (voluntary). Indonesia menerapkan IFRS secara sukarela. Petreski (2005) menyatakan bahwa adopsi standar akuntansi internasional pada standar akuntansi lokal bertujuan agar laporan keuangan yang dihasilkan memiliki tingkat kredibilitas yang tinggi sehingga memiliki informasi akuntansi yang berkualitas. Dengan informasi yang berkualitas, relevan, dan akurat, nilai perusahaan di mata investor internasional pun meningkat. Di Indonesia, penerapan IFRS masih berupa konvergensi. Konvergensi merupakan jalan untuk melakukan full adoption. Menurut Baskerville (2010), konvergensi berarti juga harmonisasi atau standarisasi, sehingga konvergensi IFRS bermakna proses untuk mengubah standar yang sudah ada (PSAK) menuju IFRS. Strategi konvergensi IFRS ada dua, yakni big bang dan gradual. Big bang cenderung dilakukan oleh negara maju. IFRS diadopsi secara penuh sekaligus. Sementara negara berkembang seperti Indonesia menggunakan strategi gradual, adopsi IFRS dilakukan secara bertahap. Konvergensi di Indonesia dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama merupakan tahap adopsi, dilakukan pada tahun 2008-2009. Pada tahap ini, IAI melakukan adopsi seluruh IFRS ke dalam PSAK, mempersiapkan infrasturktur
7
yang diperlukan, dan mengevaluasi dampak adopsi terhadap PSAK yang berlaku. Tahap kedua pada tahun 2011 memasuki tahap persiapan akhir. Infrastruktur yang diperlukan memasuki tahap penyelesaian akhir dan IAI mulai menerapkan secara bertahap beberapa PSAK yang sudah berbasis IFRS. Pada tahun 2012 atau tahap implementasi, Penerapan PSAK bebasis IFRS terus dilakukan secara bertahap dan dievaluasi dampak penerapannya. IFRS dianggap sebagai standar akuntansi yang lebih unggul dibanding US-GAAP. Selain dari sisi keterbandingan, IFRS diklaim mampu menghasilkan informasi keuangan berkualitas tinggi. Tingginya kualitas informasi dari suatu laporan keuangan dapat ditunjukan dengan adanya ketelitian, bentuk yang sesuai, tempat, ketepatwaktuan, relevansi, dan reliabilitas (Suwardjono, 1996). Salah satu indikator laporan keuangan berkualitas tinggi adalah rendahnya tingkat manajemen laba. Manajemen laba merupakan pelaporan keuangan yang tidak netral yang mana manajer secara sengaja melakukannya untuk memperoleh keuntungan pribadi (Schipper, 1989). Barth et al (2008) menyatakan bahwa sebuah standar internasional dianggap meningkatkan kualitas pelaporan keuangan ketika memperkecil kesempatan manajemen untuk menentukan jumlah nilai akuntansi, atau manajemen laba. PSAK
60
mensyaratkan
sebuah
perusahaan
untuk
melakukan
pengungkapan terhadap instrumen keuangan yang dimiliki. Salah satu akun yang harus diungkapkan adalah piutang dan risiko kredit. Perusahaan harus
8
menjabarkan nilai piutang dan cadangan kerugian piutang yang dimiliki perusahaan. Selain itu, PSAK ini juga mensyaratkan mengungkapkan jumlah reklasifikasi dari dan ke masing-masing kategori dan alasan dilakukannya reklasifikasi. Ketatnya peraturam ini membuat manajemen memiliki akses terbatas untuk melakukan manajemen laba. Adanya larangan reklasifikasi instrumen keuangan pada PSAK 55 dianggap dapat menurunkan praktik manajemen laba. Menurut PSAK tersebut, manajemen tidak diperbolehkan untuk mereklasifikasi available for sale menjadi loan and receivables dan loan receivables ke hold to maturity dan financial asset at fair value through profit or loss. Beberapa penelitian terdahulu mengindikasikan bahwa tidak ada bukti yang memadai bahwa penerapan IFRS dapat menurunkan tingkat manajemen laba. Jeanjean dan Stowoly (2008) menyimpulkan bahwa penerapan IFRS di negara-negara yang pertama kali mengadopsi seperti Australia dan Inggris tidak mengalami penurunan manajemen laba, bahkan meningkat di Prancis. Tidak berbeda jauh, penelitian di India yang dilakukan oleh Rudra dan Bhattacharjee menyatakan bahwa negara dengan standar akuntansi berkualitas tinggi tidak lantas memiliki informasi laporan keuangan yang berkualitas dan manajemen laba yang rendah. Ada faktor-faktor lain yang turut serta mempengaruhi kualitas akuntansi di suatu negara. Menurut Ball (2003), adopsi standar berkualitas tinggi mungkin merupakan kondisi perlu untuk kualitas informasi yang tinggi, tetapi
9
bukan sesuatu yang memadai. Dengan kata lain, IFRS mungkin merupakan standar dengan kualitas lebih baik dibanding .US-GAAP, tetapi hal tersebut tidak menjamin informasi yang dihasilkan laporan keuangan berstandar IFRS akan lebih berkualitas tinggi dari US-GAAP. Berbeda dengan kedua penelitian tersebut, Tendeloo dan Vanstraelen (2005) yang meneliti manajemen laba pada perusahaan di Jerman yang menerapkan IFRS menemukan bahwa manajemen laba menurun secara signifikan hanya pada perusahaan yang diaudit oleh KAP Big-4. Barth et al (2008) meneliti apakah standar internasional mengurangi manajemen laba berdasarkan perbedaan perubahaan laba bersih, rasio perubahan laba bersih dan perubahan arus kas, korelasi akrual dan arus kas dan frekuensi laba bersih positif yang bernilai kecil. Dalam penelitian yang dilakukan di 21 negara yang mengadopsi IAS dari tahun 1994 sampai dengan 2003, terbukti bahwa ada peningkatan kualitas laba setelah menggunakan standar internasional. Beragamnya
hasil
penelitian
di
negara-negara
yang
berbeda
melatarbelakangi penulis untuk mengambil penelitian dengan judul “Dampak Penerapan IFRS terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan di Indonesia” untuk menguji apakah akan ada perbedaan hasil apabila IFRS diterapkan secara konvergen dan di negara yang masih berkembang. Penelitian ini akan dilakukan dengan membandingkan data perusahaan-perusahaan di Indonesia secara terusmenerus dari tahun 2003 (sebelum konvergensi PSAK berbasis IFRS mulai
10
dilakukan) hingga tahun 2012 (PSAK berbasis IFRS mulai diterapkan secara konvergen)
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah “apakah konvergensi IFRS sebagai standar pelaporan keuangan akan menurunkan manajemen laba perusahaan di Indonesia?”. Rumusan masalah ini akan dianalisis dari data laporan keuangan perusahaan-perusahaan non institusi keuangan di Indonesia yang telah go public pada tahun 2003-2012. Analisa akan dilakukan pada ada tidaknya perbedaan manajemen laba ketika penerapan IFRS dilakukan secara bertahap.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah Untuk mendapatkan bukti empiris bahwa standar akuntansi internasional, IFRS, yang diterapkan secara konvergensi di Indonesia menyebabkan penurunan manajemen laba perusahaan-perusahaan selain bank dan lembaga keuangan.
11
1.3.2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik untuk praktisi maupun untuk akademisi dalam penelitian serupa selanjutnya. Manfaat yang dimaksud adalah sebagai berikut 1. Bagi pembuat standar dan regulator lainnya, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dalam aplikasi standar internasional seperti IFRS. 2. Bagi pihak akademisi dan peneliti selanjutnya di Indonesia diharapkan penelitian atas manajemen laba dan IFRS ini dapat berkontribusi informasi bagi penelitian selanjutnya mengenai standar internasional dan manajemen laba. 3. Bagi para investor maupun user, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan mengenai kualitas akuntansi perusahaan dengan diterapkannya standar akuntansi internasional. 4. Bagi perusahaan, penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai dampak konvergensi IFRS terhadap pelaporan keuangan yang dilakukan.
1.4. Sistematika Pembahasan BAB I Pendahuluan Bab ini menjelaskan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, batasan masalah, dan sistematika pembahasan. BAB II Tinjauan Pustaka
12
Bab ini menguraikan teori yang menjadi dasar dan penunjang dalam pembahasan masalah. BAB III Metode Penulisan Bab ini membahas metode yang dipakai dalam penulisan ini. BAB IV Hasil dan Pembahasan Bab ini menjelaskan mengenai pembahasan masalah tentang manajemen laba dalam penerapan IFRS dari hasil penelitian atau analisis kuantitatif yang telah dilakukan. BAB V Penutup Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang diambil dari uraian pembahasan dan analisa yang dilakukan pada bab sebelumnya.
13