BAB 1 PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Saat ini pangkajian terhadap profesi advokat banyak ditulis dalam bentuk
buku maupun makalah. Yang kajiannya hanya dari perspektif hukum positif, kajian advokat dalam perspektif Islam masih sangat sedikit sekali dikaji oleh para ahli hukum maupun praktisi hukum lainnya. Oleh karenanya penulis mengkaji kajian advokat yang bernuansa islami. Yang dimana dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Advokat tahun 2003 menerangkan bahwa : “ yang diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum”. Yang dimaksud berlatar belakang pendidikan hukum adalah salah satunya lulusan fakultas Syari’ah. Dimana fakultas syari’ah meluluskan sarjana hukum islam, disini terlihat cakupan hukum islam juga berperan dalam penegakkan hukum dalam bidang bantuan hukum. Advokat sebagai pemberian bantuan hukum atau jasa hukum kepada masyarakat atau klien yang menghadapi masalah hukum yang keberadaannya sangat dibutuhkan. Saat ini sangat penting seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat secara kompleksitasnya masalah hukum. Advokat merupakan profesi pemberi jasa hukum, saat menjalankan tugas dan fugsinya dapat bertugas sebagai
1
2
pendamping, memberi advise hukum, atau memberi kuasa hukum atau atas nama kliennya. Dalam menberikan jasa hukumnya, ia dapat melakukan secara prodeo ataupun atas dasar mendapatkan honorarium/fee dari klien. 1 Dan dapat pula menjadi mediator bagi para pihak yang bersengketa tentang suatu perkara Pidana, Perdata (termasuk perkara khusus yang berkaitan dalam perkara agama islam), maupun Tata Usaha Negara. Ia juga menjadi pasilitator dalam mencari kebenaran, menegakan keadilan dan memberikan pembelaan hukum. Konsistensi advokat dalam menjembatani kepentingan masyarakat dan sikap mengedepankan keadilan dan perlindungan hak asasi manusia dalam memasuki forum-forum pengadilan serta kebebasan advokat dari ikatan birokrasi peradilan menyadarkan advokat memiliki keleluasaan dalam berinteraksi dengan masyarakat guna menyelesaikan permasalahan hukum yang berkembang. Disamping itu terhadap masalah yang menyimpang advokat dapat menjadi kontrol yang keritis didalam menyelesaikan masalah hukum. Dalam sistem hukum yang mengakui profesi sebagai unsure in’tegral. Advokat merupakan sumber personal yang baik untuk mengisi serta menguatkan fungsi dan bahkan beberapa bagian dari birokrasi umum. Jika dilihat dari kalangan hukum yang lainnya (polisi, hakim, jaksa) advokat tidak terikat pada hirarki birokrasi yang memungkinkan advokat lebih leluasa bergerak mengikuti masalah hukum yang berkembang, karena bukan aparat Negara,
1
Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, Advokat dalam perspektif Islam dan Humum Positif. (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003). Cet 1, Hal 17.
3
advokat dapat lebih akrab berhubungan dengan masyarakat, sehingga dapat lebih jeli melihat berbagai masalah hukum maupun hak asasi manusia yang terjadi di tengahtengah masyarakat. Profesi advokat sesungguhnya syarat dengan idealism, sehingga dijuluki sebagai officium nobile (profesi mulia). Karena ia mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat dan bukan kepada kepentingan dirinya sendiri, serta menegakan keadilan dan hak asasi manusia. Disamping itu, ia pun bebas menbela, tidak terikat oleh pemerintah, order klien, dan tidak pilih kasih siapa lawan kliennya, apakah golongan kuat, pejabat, penguasa dan sebagainya. Advokat memiliki kepedulian pada keadilan bagi rakyat kecil bukan sebagai belas kasihan semata. Oleh sebab itu membela kepantingan rakyat kecil menjadi agenda utama para advokat sebagai individu dan komunitasnya sebagai kolektif. Dalam konteks inilah kode etik profesi mengemuka dan kolektifitas yang diwujudkan melalui pembentukan komunitas lembaga atau organisasi profesi menampakkan signifikasinya. Kode etik profesi yang kasat mata terlihat seperti membatasi ruang gerak advokat saat menjalankan profesinya, justru memprestasikan komponen vital dari interaksi timbal balik antara profesi dengan masyarakat luas. 2 Namun dalam kenyataannya profesi advokat terkadang menimbulkan pro dan kontra terhadap sebagian masyarakat terutama yang berkaitan dengan peranannya 2
Binziad Kadafi,et.al., Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, (Jakarta : Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2002), Cet ke-3, hal 10.
4
dalam memberikan jasa hukum. Ada sebagian masyarakat yang menganggap para pemegang profesi ini sebagai orang yang sering memutar balikan fakta. Profesi ini dianggap pekerjaan orang yang tidak mempunyai hati nurani karena selalu membela orang-orang yang bersalah dan mendapat kesenangan diatas penderitaan orang lain, mendapat uang dengan cara menukar kebenaran dengan kebatilan dan sebagainya. Dalam uraian ini dapat diketahui keberadaan advokat dalam menjalankan profesinya dan perannya sebagai agent of law development (agen pembangunan hukum) terlebih dapat menjadi agent of law enculturation (agen pembudayaan hukum bagi masyarakat) atau malah sebaliknya, cenderung menjdi agent of law commercialization (agen komersialisasi di bidang hukum). Apabila prilaku yang terkhir ini yang ditampilkan advokat, maka gugurlah adagium yang menganggap advokat sebagai officium nabile. Perofesi kemulian ini akan hancur dan ternoda oleh praktek penyimpangan yang dilakukan oleh segelintir advokat dalam memberikan jasa kepada klien atau masyarakat. Terlepas dari pro-kontra masyarakat terhadap peran advokat, pada kenyataannya pemberian jasa hukum melalui advokat bagi setiap warga Negara telah berlangsung sejak lama. Hal ini dimaksudkan untuk mencari kebenaran dan menegakkan keadilan. Secara histories peran pemberian jasa hukum oleh advokat di Indonesia dimulai sejak masa penjajahan belanda. Setelah perang Napoleon pada permulaan abad XIX. Dimana sebuah koloni, sistem hukum yang secara formal
5
diberlakukan di Indonesia sebagai mengadopsi sistem hukum yang ditetapkan pemerintah Belanda. 3 Sejalan dengan perkembangan kehidupan dan kesadaran masyarakat di berbagai bidang, khususnya dibidang hukum. Jasa hukum melalui advokat dewasa ini berkembang menjadi kekuatan institutional. Dengan munculnya berbagai organisasi advokat yang dikelola secara professional, perannya di anggap penting bagi jalannya peradilan yang bebas, cepat dan sederhana. Keberadaannya makin dibutuhkan masyarakat dalam membantu mencari keadilan dan menegakkan hukum untuk memperoleh hak-haknya yang dirampas. Praktek advokat yang tadinya hanya bergerak di lingkungan peradilan umum, telah merambah kelingkungan peradilan agama. Terdapat kecenderungan meningkat para pihak : suami istri yang bercerai terutama dikalangan ekonomi menengah keatas, sering menggunakan advokat, penasehat hukum, atau pengacara dengan berbagai alasan.
Berdasarkan laporan
Direktorat Agama Islam Tahun 1995, bahwa frekuensi dari proporsi perkara yang diterima, terbesar kasusnya adalah penetapan izin ikrar talak 47.355 (32,14 %), perceraian 42.699 (28,28 %), dan ta’lik talak 42.085 (28,56 %). Mereka juga yang memberikan jasa hukum juga sangat bervareasi dari advokat yang terkenal profesionalisasinya hingga mereka yang masih amatiran. Dari kelas mereka yang
3
Binziad Kadafi,et.al., Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, (Jakarta : Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2002), Cet ke-3, hal 2.
6
berbeda ini, sudah dapat diduga bagaimana terjadinya teransaksi honorium/fee antara advokat yang professional dengan mereka yang masih amatiran. 4 Terjadinya kecenderungan ini menjadi pengkajian, apakah menggunakan jasa advokat ini, merupakan kebutuhan masyarakat atau kesadaran hukum sendiri atau memang peran advokat yang agresif dalam mempengaruhi klien untuk berperkara di pengadilan demi kepentingan advokat. Hal ini bisa saja berakibat positif, tetapi dapat juga berakibat negatif terhadap proses pengadilan. Tentu saja hal ini wajar dan merupakan perkembangan yang perlu diantisifasi untuk meningkatkan kesadaran hukum demi tegaknya kebenaran dan keadilan. Islam sangat menganjurkan pemberian jasa hukum terhadap pihak yang berselisih tanpa diskriminatif, supaya pihak yang berselisih dapat menyelesaikan perkaranya secara islah. Advokat berarti juga kuasa hukum yang berarti orang yang diberi kuasa oleh seseorang atau pihak yang bersangkut perkara hukum atau orang yang menempatkan dirinya atas mana seseorang atau pihak dalam berperkara sejak perkara diperoses sampai kesidang pengadilan. 5 Dasar legalitas perlu adanya advokat dalam persfektif islam bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma Ulama. Sebagaimana islam memutuskan hukum
4
Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, Advokat dalam perspektif Islam dan Humum Positif. (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003). Cet 1, Hal 20. 5
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta : Ictiar Baru Van Hoeve, 1999), Cet Ke-3, Hal 981.
7
antara manusia yang benar, dan memutuskan hukum dengan apa yang diturunkan Allah SWT, disebut Qadha. Dengan ini jelas bahwa apa yang telah menjadi perwakilan dalam menegakkan keadilan harus sesuai dengan hukum Allah SWT. Islam memandang persoalan penegakan keadilan dan hak asasi manusia merupakan suatu anugrah terbesar, Allah SWT melalui firmanNYA, mengharuskan manusia untuk menjaga amanah dan karuniaNYA untuk merealisasikan anugrah tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Hakim dan para penegak hukum lainnya merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan untuk menegakkan keadilan dan hak asasi manusia. Keberadaan advokat dalam memberikan jasa hukum bagi para pihak yang menyelesaikan perkara di pengadilan agama sampai saat ini merupakan fenomena baru yang sangat menarik untuk diteliti dari aspek yuridis-sosiologis. Didalamnya dilandasi dengan suatu rangka pemikiran bahwa penyelesaian suatu perkara dengan jasa advokat, selain secara yuridis mempunyai landasan hukum yang sangat kuat, baik menurut perspektif islam maupun hukum positif. Secara sosiologis ia pun merupakan kebutuhan masyarakat dalam mencari kebenaran dan menegakkan keadilan. Panjang lebar wacana tentang hukum yang sangat luas dan penegakkan keadilan, disini sangat jelas sorotannya terhadap profesi advokat sebagai salah satu penyelenggara bantuan hukum. Maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana
8
hukum islam memandang profesi advokat. Dengan ini penulis ingin membahas, meneliti dan memberi judul “ Profesi Advokat Dalam Perspektif Hukum Islam “. Penulis ingin meninjau profesi advokat yang sesuai dangan syari’at hukum islam. B.
Pembatasan dan perumusan masalah Advokat sebagai salah satu unsur system peradilan merupakan salah satu pilar
dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Adanya profesi advokat dapat memberi perlindungan dan bantuan hukum bagi para pihak yang berperkara di muka peradilan, dalam upaya meyujudkan keadilan hukum dengan tidak menyampingkan
nilai-nilai
kebenaran
yang
sesuai
dengan
syari’at
islam.
Permasalahan hukum yang sangat kompleks, maka penulis membatasi penelitian ini dengan seputar profesi advokat yang sesuai dengan hukum islam. Advokat sebagai profsi mulia atau Officium nobile memiliki kebebasan dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini diartikan bahwa advokat tidak terikat pada hirarki birokrasi. Selain itu, advokat juga bukan merupakan aparat negara sehingga advokat diharapkan mampu berpihak kepada kepentingan masyarakat atau kepentingan publik. Selanjutnya agar terarahnya sekripsi ini, penulis mengkaji kajian advokat yang bernuansa islami, khususnya pada peran, fungsi serta moralitas. Oleh karena itu penulis merumuskan pokok-pokok masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana eksistensi organisasi advokat menurut undang-undang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat ?
9
2. Bagaimana semestinya kode etik advokat dalam menjalankan profesinya ? 3. Bagaimana profesi advokat ditinjau menurut hukum islam ? C.
Tujuan Dan Manfaat Penelitian Tujuan penulis mengambil topik ini di maksudkan untuk mengetahui dan
memperoleh hasil dari fokus permasalahan. Secara lebih terperinci penelitian ini bertujuan untuk : 1. Untuk memperjelas organisasi advokat dengan lahirnya undang-undang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat. 2. Untuk mengetahui bagaimana aturan-aturan yang ditetapkan oleh kode etik profesi advokat ditinjau menurut hukum islam. 3. Untuk meningkatkan
pengetahuan dalam bidang hukum baik hukum
Islam maupun hukum positif, khususnya yang menyangkut masalah profesi advokat. Adapun manfaat penelitian ini adalah penulis ingin memberikan gambaran kepada masyarakat maupun akademisi khususnya mahasiswa yang bergelut dibidang hukum mengenai bagaimana sebenarnya profesi advokat dalam perspektif hukum islam. Dan dapat dijadikan pedoman bagi kalangan yang akan mendalami dunia advokat khususnya pada mahasiswa syari’ah sebagai bahan perbandingan.
10
D.
Studi review sepanjang pengetahuan penulis topik penelitian yang sama dengan topik yang
penulis teliti baik dalam katalog perpustakaan utama ataupun perpustakaan syari’ah dan hukum, belum pernah diteliti oleh peneliti lainnya, namun ada beberapa judul skripsi yang mendekati permasalahan bahasan penulis diantaranya adalah : 1. Peran Dan Eksistensi Advokat Terahadap Perceraian Dalam Upaya Mencari Keadilan Di Peradilan Agama (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Depok) Nama
: Heru Gunawan Pratomo
Nim
: 0044119288
Konsentrasi
: Peradilan Agama
Prodi
: Ahwal Al-Sakhsiyyah
Skripsi ini menjelaskan tentang hukum di Indonesia, sejarah perkembangan hukum di Indonesia. Advokat sebagai pemberi bantuan hukum di lingkungan peradilan agama. Prosedur izin beracara bagi advokat di peradilan agama. Peran pengacara dalam penyelesaian kasus perceraian di pengadilan agama Depok. 6
6
Heru Gunawan Pratomo, Peran dan Eksistensi Advoka a Terhadap PerkaraPerceraian Dalam Upaya Mencari Keadilan Di Pengadilan Agama (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Depok), (Jakarta : UIN Syarifhidayatullah, 2005).
11
2. Persepsi Advokat Dan Hakim Terhadap Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Bidang Ekonomi Syari’ah. Nama
: Budi Susilo
Nim
: 103044228105
Konsentrasi
: Administrasi Keperdataan Islam
Prodi
: Ahwal Al-Sakhsiyyah
Sekripsi ini menjelaskan pada kedudukan peradilan agama kini mandiri dibawah Mahkamah Agung dan kewenangannya meluas sampai kepada masalah ekonomi syari’ah, peradilan agama menangani perkara ekonomi syari’ah oleh advokat dan hakim di tanggapi positif dengan alasan peradilan agama adalah satusatunya peradilan Indonesia yang pantas berwenang perkara-perkara syari’ah dan memiliki teradisi ke islaman yang mengental. Keterkaitannya dengan ekonomi syari’ah di peradilan agama. Advokat dan hakim menyatakan merasa siap menghadapi permasalahan hukum yang menangani perkara kegiatan dan pembiyaan ekonomi syari’ah. 7 Adapun perbedaan sekripsi yang akan saya bahas diantaranya adalah menyangkut masalah hukum profesi advokat menurut undang-undnag No 18 Tahun 2003 tentang Advokat, hukum profesi Advokat menurut hukum Islam, landasan 7
Budi Susilo, Persepsi Advokat dan Hukum Terhadap Kewenangan Absolut Pengadilan Agama Di Bidang Ekonomi Syari’a, (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, 2008).
12
hukum advokat dalam Islam dan pandangan terhadap citra Advokat serta analisis Advokat dalam hukum Islam. E.
Metode Penelitian 1. metode penelitian metode yang digunakan untuk penulisan ini adalah studi pustaka (Library Research). Penulis ini menggunakan penilitian kualitatif, penelitian kualitatif yaitu dengan mengkaji dan menelusuri analisis yang ada dibukubuku yang berhubungan dan ada kaitannya dengan masalah yang ada dalam skripsi ini, untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan kajian penelitian ini. Yaitu pencarian literature secara umum dengan buku-buku, seminar-seminar atau pun media elektronik yang menunjang pembahasan penulis. 2. Sumber Data Data primer adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan setudi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang di ajukan, dokumen-dokumen yang di maksud adalah ALQur’an Al-Hadist dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.
13
Data sekunder diperoleh melalui advokat dan hukum islam yaitu mengambil pendapat dari kata-kata para ahli hokum tentang advokat, peraturan-peraturan dan kode etik yang berkaitan dengan advokat, serta mengambil pendapat Qaulul ‘ulama. 3. Tekhnik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian melalui buku-buku pustaka dan juga dari internet yang berkaitan dengan masalah ini. Data tersebut diproses melalui pencatatan, pengetikan, penyuntingan data dan dianalisis tetap menggunakan kata-kata yang mudah dipahami dan disusun kedalam teks yang di perluas. 4. Tekhnik Penulisan Dalam penyusunan secara metode penulisan, semua berpedoman pada prinsip-perinsip yang telah diatur dan di bukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakutas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
14
F.
Sistematika Penulisan BAB Pertama Yaitu, Pendahuluan dalam sub bab ini berisikan tentang Latar
Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB Kedua Yaitu, Tinjauan Umum Tentang Advokat menurut undangundang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dalam sub bab ini terbagi menjadi Pengertian Profesi Advokat, Sejarah Tentang Advokat, Peran, Fungsi dan Tugas Advokat, dan Kode Etik Advokat. BAB Ketiga Yaitu, Tinjauan Umum Tentang Advokat Menurut Hukum Islam, dalam sub bab ini terbagi menjadi. Pengertian dan Tujuan Hukum Islam, Status Hukum Dalam Hukum Islam, Landasan Hukum Advokat Dalam Islam. BAB Keempat Yaitu, Analisis Advokat Menurut Undang-Undang dan Hukum Islam, dalam sub bab ini terbagi menjadi, Peran Advokat Dalam Pemberian Jasa Hukum di Pengadilan Agama Menurut Undang-Undang, Pandangan Terhadap Citra Advokat, Analisis Advokat Dalam Hukum Islam, dsan Analisis Penulis. BAB Kelima Yaitu, penutup yaitu berisikan tentang Kesimpulan dan Saran.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ADVOKAT MENURUT UNDANG-UNDNAG NO 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT A.
Pengertian Advokat Pengertian dari advokat atau pengacara adalah orang yang mewakili kliennya
untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan surat kuasa yang diberikan untuk pembelaan atau penuntutan pada acara persidangan di pengadilan atau beracara di pengadilan (litigasi). Sedang penasehat hukum adalah orang yang bertindak memberikan nasehat-nasehat atau pendapat hukum terhadap suatu tindakan atau perbuatan hukum yang akan dan yang telah dilakukan kliennya (non litigasi). 8 Akan tetapi advokat atau pengacara di Indonesia selain berkecimpung pada acara persidangan dipengadilan dalam perakteknya dapat juga mendampingi atau mewakili seorang klien berdasarkan surat kuasa di luar pengadilan (non litigasi). Misalkan saja mendampingi atau mewakili klien dalam negosiasi untuk mencapai kesepakatan terhadap perkara yang diselesaikan diluar pengadilan atau istilah populernya proses Alternative Dispute Resolution dan tindakan-tindakan hukum lain atas nama klien yang bukan merupakan proses litigasi. 9
8
Yudha Pandu, klien dan Penasehat Hukum dalam Perspektif Masa Kini, (Jakarta : PT Abadi, 2001), h. 11. 9
Ibid, h. 12.
15
16
Awalnya, istilah profesi hukum yang dimaksud terdapat penggunaan berbeda antara istilah advokat, pengacara dan penasehat hukum. Sebagai contoh dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1970 jo Undang-undang No 4 Tahun 2004 tentang ketentuan-ketetuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menggunakan istilah penasehat hukum di pasal 36, yaitu sebagai berikut : “dimana setiap orang yang berperkara pidana berhak menghubungi dan meminta bantuan penasehat hukum.” Lain halnya, Departemen Kehakiman (Departemen Hukum dan HAM, red) mempergunakan dua istilah dalam surat pengangkatan bagi mereka yang bergelar sarjana hukum dan mempunyai pekerjaan tetap di bidang advocatuur, yakni pada periode sebelum tahun 1970 mempergunakan istilah “advokat” dan pada periode setelah tahun 1970 dengan nama “pengacara”. Menurut Martiman Projohamidjojo, adanya perbedaan penggunaan istilah di tengah masyarakat hukum dikarenakan karena belum adanya undang-undang yang mengatur perihal mengenai profesi yang dimaksud. 10 Tetapi kini aturan undang-undnag profesi jasa hukum mengistilahkannya advokat, terlebih juga karena alasan pertimbangan segi pemaknaan bahasa. Dimana istilah penasehat hukum memiliki kelemahan yang sifatnya mendasar. Karena istilah penasehat secara konotatif bermakna pasif. Padahal secara normative dalam bab IV
10
Martiman Prodjohamidjojo, Penasehat dan Bantuan Hukum Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), h. 6.
17
ketentuan Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili (RO) sifat pasif maupun aktif dapat dilakukan seorang Advokat en Procureur dalam mengurus sesuatu hal yang perlu pertimbangan hukum atau mengurus perkara yang dikuasakan kepadanya. 11 Untuk lebih jelasnya, definisi advokat bisa di lihat dalam Undangundang No. 18 Tahun 2003 tentang advokat pasal 1 ayat (1), Undang-undang tersebut mengartikan advokat sebagai berikut : “orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini.” B.
Sejarah Pemberian Jasa Hukum Pada dasarnya, pemberian jasa hukum kepada para pihak yang bersengketa
telah berlangsung sejak lama. Dalam catatan sejarah peradilan islam, peraktek pemberian hukum telah di kenal sejak jaman pra-Islam. Pada saat itu, meskipun belum terdapat sistem
peradilan yang terorganisir, setiap ada persengketaan
mengenai hak milik, hak waris, dan hak-hak lainnya sering kali diselesaikan melalui bantuan juru damai atau wasit yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang berselisih. Mereka yang ditunjuk pada waktu itu sebagai mediator adalah orang yang
11
M.P. Luhut Pangalibuan, Advokat dan Contempt of Court: Suatu Proses di Dewan Kehormatan Profesi, (Jakarta: Djambatan, 2002), h.7.
18
memiliki kekuatan supranatural dan orang yang mempunyai kelebihan di bidang tertentu sesuai dengan perkembangan pada waktu itu 12 . Pada masa pra-Islam pemberian bantuan jasa hukum itu harus memenuhi beberapa kualifikasi. Diantara syarat yang penting bagi mereka adalah harus cakap dan memiliki kekuatan supranatural dan adikrodati. Atas dasar persyaratan tadi, pada umumnya pemberian jasa hukum itu terdiri atas ahli nujum. Karena itu dalam pemeriksaan dan penyelesaian persengketaan dikalangan mereka lebih banyak mengggunakan kekuatan firasat dari pada menghadirkan alat-alat bukti, seperti saksi atau pengakuan. Pada waktu itu mereka berperaktek di tempat sederhana, misalnya di bawah pohon atau kemah-kemah yang didirikan. Setelah di bangun sebuah gedung yang terkenal di Mekkah, Darul al-Adawah, mereka berperaktek di tempat itu. Dalam sejarah, gedung itu di bangun oleh Qusay bin Ka’ab. Pintu gedung itu sengaja diarahkan ke Ka’bah. 13 Pada waktu islam datang dan berkembang yang di bawa oleh Nabi Muhammad, prektek pemberian jasa hukum terus berjalan dan dikembangkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa dengan memodifikasi yang pernah berlaku pada masa pra-Islam. Hal-hal yang bersifat takhayul dan syirik mulai di eliminir secara bertahap dan disesuaikan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pada awal
12
Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, Advokat Dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), Hal. 36. 13
Ibid, Hal. 36.
19
perkembangan Islam, maka tradisi pemberian bantuan jasa hukum lebih berkembang pada masyarakat Mekkah sebagai pusat perdagangan untuk menyelesaikan sengketa bisnis di antara mereka. Demikian juga lembaga jasa hukum yang berkembang di Madinah sebagai daerah agararis untuk menyelesaikan masalah sengketa di bidang pertaniaan. Pada perakteknya, Muhammad dalam memberikan bantuan jasa hukum pada umatnya terkadang berperan sebagai advokat, konsultan hukum, penasehat hukum dan arbiter. 14 Dalam catatan sejarah, bahwa Nabi Muhammad SAW. Sebelum diangkat menjadi Rosulullah pernah bertindak menjadi arbiter dalam perselisihan yang terjadi dikalangan masyarakat Mekkah. Perselisihan itu berkaitan dengan peletakan kembali Hajar Aswad ke tempat semula. Di kalangan Quraisy terjadi perselisihan siap yang berhak meletakan kembali ketempat semula, karena masing-masing pihak saling menuntut sehingga nyaris terjadi bentrokan fisik pada waktu itu. Akhirnya mereka menemukan jalan keluar, yaitu menunjuk orang yang pertama kali datang ketempat itu melalui melalui pintu Syaibah. Kebetulan Nabi Muhammad SAW. Datang terlebih dalu melalui pintu tersebut, dan kaum Qurasy berseru, inilah al-Amin. Kami menyetujui, dialah yang menyelesaikan perselisihan ini. Akhirnya Nabi Muhammad berusaha untuk menyelesaikan sengketa itu dengan pendapatnya sendiri. Ternyata mereka sepakat dan rela dengan keputusan yeng dilakukan oleh Muhammad itu.
14
Ibid, Hal. 36-37.
20
Pada awalnya, Nabi Muhammad SAW. Bertindak sebagai arbiter tunggal. Selain menjadi wasit dalam perkara Hajar Aswad, Nabi juga sering menjadi wasit dalam sengketa umat. Misalnya, dalam sengketa warisan antara Ka’ab ibnu Malik dan Ibnu Abi Hardrad sebagai arbiter tunggal. Kemudian juga kepada Sa’id ibnu Muaz dalam perselisihan diantara Abi Quraidh, Zaid Ibnu Sabit dalam perselisihan antara Umar dengan Ubay ibnu Ka’ab tentang kasus Nahl dan sebagainya. 15 Akan tetapi, setelah Islam berkembang keberbagai daerah, maka ia memberikan kewenangan kepada sahabat lainnya untuk menjadi mediator yang menyelesaikan persengketaan di antara mereka. Demikian juga lembaga yang dipakainya ada yang permanen dan juga ad-hock
yang disesuaikan dengan
perkembangan masyarakat. Para sahabat di tuntut oleh Nabi Muhammad agar melakukan ijtihad dalam berbagai kasus yang tidak ada dalam Al-Qur’an atau AsSunnah, seperti yang pernah dilakukan oleh Muaz ibnu Jabal. Demikian juga Abu Syuraih yang menjadi tahkim di antara para sahabat. Perkembangan pemberian jasa hukum ini lebih berkembang pada masa pemerintahan Umar Bin Khattab yang mulai melimpahkan wewenang peradilan kepada pihak lain yang memiliki otoritas untuk itu. Lebih dari itu Umar ibnu Khattab mulai membenahi lembaga peradilan untuk memulihkan kepercayaan umat terhadap lembaga peradilan. Selain adanya lembaga arbitrase dengan sebaik-baiknya agar
15
Warkum Sumitro, Asas-asas PerbankanIslam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI dan Takaful) di Indonesia, (Jakrta: PT Raja Grafindo, 1986), Hal. 142.
21
mempu menjadi lembaga alternatif tempat penyelesaian sengketa bagi umat. Bahkan Umar berhasil menyusun pokok-pokok pedoman beracara di peradilan (Risalat Qadha) yang ditinjuk seorang qodhi, Abu Musa al Asy’ari. Salah satu prinsip yang tercantum dalam risalah itu adalah pengukuhan terhadap kedudukan arbitrase. 16 Dalam perkembangannya di penghujung Al-Khulafaurrasyidin pemberian jasa hukum tidak hanya diterapkan pada masalah yang berhubungna dengan hukum kelurga dan hukum bisnis, tetapi juga dalam bidang politik. Merambahnya peraktek pemberian jasa hukum di bidang politik itu di pengaruhi oleh situasi dan kondisi politik pada masa itu yang diwarnai dengan bentrokan-bentrokan fisik, khususnya pada saat terjadi perselisihan kepemimpinan Usman ibnu Affan kepada Ali ibnu Abi Thalib yang ditandai terbunuhnya Usman ibnu Affan pada waktu itu. Sedangkan pada pemerintahan Bani Umayah dan pemerintahan Bani Abbas, peranan pemberi bantuan hukum kurang menonjol, karena peradilan resmi yang di bentuk pemerintah pada waktu itu dapat menjalankan fungsinya lebih baik. Akan tetapi, di dalam perkembangnya setelah para hakim (qodhi) mulai berkurang untuk berijtihad dan berpengaruh oleh birokrasi yang sangat dominan, sehingga lembaga peradilan bentukan pemerintahan kredibilitasnya makin diragukan oleh umat sehingga hilang kepercayaan kepada lembaga peradilan sebagai pintu keadilan. Dalam situasi inilah, masyarakat mulai mendambakan kembali lembaga alternatif
16
Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, Advokat Dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), Hal. 37.
22
untuk menyelesaikan sengketa diperlukan kembali dengan prinsip cepat, tepat, dan biaya lebih murah dengan putusan lebih memenuhi rasa keadilan bagi para pihak. 17 Oleh karena itu, pembicaraan advokat dalam perspektif sejarah Islam tidak bisa dilepaskan dengan
perkembangan hukum Islam itu sendiri yang mengikuti
geraknya masyarakat pada waktu itu. Nabi Muhammad SAW. Sebagai figur tunggal yang sangat dipercaya telah memberikan contoh bagi umat, tentang bagaimana beliau menyelesaikan sengketa dengan cara yang dapat di terima oleh semua pihak tanpa menimbulkan keraguan dan penyesalan. Demikian juga pada masa sahabat yang mengikuti langkah-langkah Rasulnya yang telah menerapkan lembaga pemberian jasa hukum ini dengan sebaik-baiknya sehingga keutuhan umat tetap terjaga setiap sengketa dapat diselesaikan secara tuntas dengan memenuhi keadilan. Apabila diperhatikan dari jalannya sejarah perkembangan pemberian bantuan jasa hukum, dapat disimpulkan bahwa masalah yang timbul pada masa itu sesungguhnya sangat kompleks. Yuridiksi pemberian jasa hukum tidak hanya berkaitan dengan perkara bisnis saja, tetapi menyangkut masalah kelurga, politik, perdagangan dan peperangan. Fenomena ini menjadi lapangan dan harapan advokat yang sangat luas dan banyak peluang untuk lembaga jasa hukum yang sesuai dengan perkembangan masalah dan kebutuhan umat di masa sekarang dan mendatang. C. Peran, Fungsi Serta Tugas Advokat 17
Ibid, Hal. 38.
23
Sebagaimana di ketahui Indonesia merupakan Negara berperinsif hukum dan bukan atas kekuasaan belaka sehingga hukum dijadikan sebagai panglima dalam berkehidupan kebangsaan. Perinsif Negara hukum menuntut adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum tanpa memandang dari mana suku, agama, ras, ideology dan warna kulitnya. Oleh karena itu konstitusi telah menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum. Oleh
sebab
itulah
advokat
harus
menjadi
garda
terdepan
dalam
memperjuangkan perlindungan dan kepastian hukum, advokat di tuntut untuk membela kepentingan rakyat tanpa keberpihakan pada ketidak benaran dan keadilan. Pembelaan pada semua orang termasuk juga kepada pakir miskin.
Berbicara
mengenai pembelaan hukum terutama bentuan hukum secara Cuma-Cuma, Indonesia mencatat kontribusi signifikan yang di berikan advokat. Menurut penelitian, keterlibatan advokat dalam bantuan hukum Cuma-Cuma sebagian besar mengaku pernah memberikan bantuan hukum Cuma-Cuma dan hanya sebagian kecil saja yang mengatakan tidak pernah. Sebagian besar alasan advokat memberikan jasa hukum secara Cuma-Cuma dilatar belakangi oleh alasan-alasan tanggung jawab moral dan pertimbangan kemanusiaan semata. Selain kondisi ekonomi klien lemah dan tuntutan profesi yang memiliki aspek muatan sosial. 18
18
Binziad Kadfi, dkk, Advokat Indonesia Mncari Legitimasi, (Jakatrta: Pusat setudi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2002), h. 177-178.
24
Sedangkan menurut Bagir Manan, advokat selain membentuk hakim mengungkap fakta yang benar dan menemukan hukum yang tepat agar hakim dapat memutus secara benar dan adil, sekaligus advokat juga bisa dijadikan penyedia jasa hukum yang berperkara atau sering disebut klien. 19 Sebagai fasilitator dalam memberi jasa hukum advokat hanya berkaitan dengan urusan kepentingan klien. Dimana kepentingan klien tidak semata-mata kepentingan hukum, tetapi juga kepentingan lain seperti sosial, ekonomi yang bertalian dengan persoalan hukum yang dihadapi. Seorang advokat tidak mencari, dan membentuk klien dalam suatu proses hukum, tetapi juga memberi dan menemukan jalan penyelesaian lebih mudah, lebih sederhana yang dapat melindungi reputasi termasuk menghindarkan atau mencegah klien berperkara secara berkepanjangan. Dengan kata lain jasa hukum sebagai profesi advokat, bukan saja membantu klien berperkara tetapi juga membantu untuk menghindari atau tidak berperkara. 20 Tak sampai disitu saja, peran dan fungsi advokat juga berpengaruh terhadap kesuksesan persidangan. Karena menurut penelitian, bahwa proses penjadwalan persidangan kompromistik oleh advokat, membuat hakim merasa terbantu akan
19
Bagir Manan, “Peran advokat dalam penataan peradilan, “suara Uldilag II, No.4 (Februari
2004): h.4. 20
Ibid, H. 6.
25
keberlangsungan persidangan. Kerena dengan begitu penjadwalan akan terlihat disiplin sesuai dengan apa yang di sanggupi dalam kompromi sebelumnya. 21 Kemudian peran dan fungsi advokat dalam penyelesaian perkara sangat meringankan beban seorang hakim. Maksudnya, beracara diperadilan sangat membutuhkan pengetahuan seseorang tentang hukum materil dan formil. Jika saja seorang warga buta hukum mengajukan suatu perkara hukum, dewan hakim tidak jarang sangat disibukkan untuk mengarahkan bagaimana caranya membuat berkas tuntutan yang benar. Tak jarang berkas-berkas perkaranya harus di revisi berulangulang akibat ketidak jelasan inti permasalahan. Bahkan penghadiran para saksi yang tidak tepat untuk memberikan keterangan bukti tentang duduk perkara yang dipermasalahkan tidak jarang menjadi dilema besar. Tentunya dengan kejadian tersebut, bisa memperpanjang waktu penyelesaian perkara, juga membengkakan biaya yang harus dikeluarkan, terlebih lagi dewan hakim pun harus menguras tenaga ekstra menunda sidang berkali-kali akibat yang berperkara tidak memenuhi syarat. 22 Sehingga dapat disimpulkan advokat memiliki peran diantaranya, yaitu :23 Pertama, mempercepat penyelesaian administrasi persidangan di pengadilan, Kedua, membantu mengahdirkan para pihak yang berperkara di pengadilan sesuai jadwal 21
Noryamin Aini, “Penggunaan jasa pengacara dalam kasus penceraian : studi kasus di PA Jaksel, “ AHKAM VI, No 14 (2004): h. 221-222. 22 23
Ibid, H 222.
Rahmat Rosyadi dan Sri Hartani, Advokat dalam Perspektif dan Hukum Positif, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), h, 70.
26
persidangan. Ketiga, memberikan pemahaman hukum yang berkaitan dengan duduk perkara dan posisinya, terhadap para pihak dalam menyampaikan permohonan atau gugatan atau menerima putusan pengadilan. Keempat, mendampingi para pihak yang berperkara di Pengadilan Agama misalnya, sehingga yang didampingi merasa terayomi keadilannya. Kelima, mewakili para pihak yang tidak dapat hadir dalam proses sidang lanjutan, sehingga memperlancar proses persidangan. Keenam, dalam memberikan bantuan hukum, sebagai advokat profesional tetap menjunjung tinggi sumpah advokat, kode etik profesi dalam menjalankan peran sesuai dengan tugas dan fungsinya. Sedangkan fungsi advokat, yaitu diantaranya: 24 pertama, sebagai pengawal konstitusi dan memperjuangkan tegaknya hak asasi manusia dalam Negara hukum Indonesia. Kedua, menjunjung tinggi serta mengutamankan nilai keadilan, kebenaran dan moralitas sesuai apa yang menjadikan advokat sebagai profesi yang terhormat (offecium nobile). Ketiga, berfungsi sebagai pemberi nasehat hukum, klien hukum, konsultan hukum, pendapat hukum, pemberi informasi hukum serta membantu dalam penyusunan kontrak-kontrak (legal Drafting). Keempat, membela kepentingan klien dan mewakilinya dalam proses pengadilan. Kelima, memberikan bantuan hukum dengan Cuma-Cuma atau sukarela kepada rakyat lemah dan tidak mampu (legal aid).
24
Ibid, h. 85-86.
27
Tugas adalah kewajiban, sesuatau yang wajib dilakukan atau ditentukan untuk dilakukan. Tugas advokat berarti suatu yang wajib dilakukan oleh advokat dalam memberikan jasa hukum kepada masyarakat/kliennya. Oleh karena itu, advokat dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada negara, masyarakat, pengadilan, klien dan pihak lawannya. Persepsi masyarakat terhadap tugas advokat sampai saat ini masih banyak yang salah paham. Mereka menganggap bahwa tugas advokat hanya membela di pengadilan dalam perkara perdata, pidana dan tata usaha negara di hadapan kepolisian, kejaksaan, dan di pengadilan. Sessungguhnya pekerjaan advokat tidak hanya bersipat litigasi, tetapi mencangkup tugas lain diluar pengadilan bersifat nonlitigasi. 25 Tugas advokat bukanlah merupakan pekerjaan (vocation beroep), tetapi lebih merupakan profesi. Karena profesi advokat tidak sekedar bersifat ekonomis untuk mencari nafkah, tetapi mempunyai nilai sosial yang lebih tinggi di dalam masyarakat. Profesi advokat di kenal sebagai profesi mulia (officium nobile), karena mewajibkan pembelaan kepada semua orang tanpa membedakan latar belakang ras, warna kulit, agama, budaya, sosial-ekonomi, kaya-miskin, keyakinan politik, gender, dan ideologi. Tugas advokat adalah membela kepentingan masyarakat (public defender) dan kliennya. Advokat dibutuhkan pada saat seseorang atau lebih anggota masyarakat menghadapai suatu masalah atau problem di bidang hukum. Sebelum menjalankan pekerjaannya, ia harus di sumpah terlebih dahulu sesuai dengan agama dan
25
Ibid, H 84-85.
28
kepercayaannya masing-masing. Dalam menjalankan tugasnya, ia juga harus memahami kode etik advokat sebagai landasan moral. 26 Tugas advokat dalam memberikan jasa hukum kepada masyarakat tidak terinci dalam uraian tugas, karena ia bukan pejabat negara sebagai pelaksana hukum seperti halnya polisi, jaksa dan hakim. Ia merupakan profesi yang bergerak di bidang hukum untuk memberikan pembelaan, pendampingan dan menjadi kuasa untuk dan atas nama kliennya. Ia disebut benteng hukum atau garda keadilan dalam menjalankan fungsinya. 27 Tugas dan fungsi dalam sebuah pekerjaan atau profesi apapun tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Karena keduanya merupakan sistem kerja yang saling mendukung. Dalam menjalankan tugasnya, seorang advokat harus befungsi: 28 a. Sebagai pengawal konstitusi dan hak asasi manusia; b. Memperjuangkan hak-hak asasi manusia dalam negara hukum Indonesia; c. Melaksanakan kode etik advokat; d. Memegang teguh sumpah advokat dalam rangka menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran;
26
Ibid, hal, 84.
27
Ibid hal. 84-85.
28
Ibid, Hal 85.
29
e. Menjunjung tinggi serta mengutamakan idealisme (nilai keadilan dan kebenaran) dan moralitas; f. Menjunjung tinggi citra profesi advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile); g. Melindungi dan memelihara kemandirian, kebebasan, derajat dan martabat advokat; h. Menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan advokat terhadap masyarakat; i. Menangani perkara-perkara sesuai kode etik advokat; j. Membela klien dengan cara yang jujur dan bertanggung jawab; k. Mencegah penyalahgunaan keahlian dan pengetahuan yang merugikan masyarakat; l. Memelihara kepribadian advokat; m. Menjaga hubungan baik dengan klien maupun dengan teman sejawat antara sesama advokat yang didasarkan kepada kejujuran, kerahasiaan dan keterbukaan, serta saling menghargai dan mempercayai; n. Memelihara persatuan dan kesatuan advokat agar sesuai wadah tunggal organisasi advokat; o. Memberi pelayanan hukum (legal service); p. Memberi nasehat hukum (legal advice); q. Memberi konsultasi hukum (legal konsultation); r. Memberi pendapat hukum (legal opinion); s. Menyusun kontrak-kontrak (legal drafting);
30
t. Memberi informasi hukum (legal imformation); u. Membela kepntingan klien (litigation); v. Mewakili klien di muka pengadilan (legal representation); w. Memberikan bantuan hukum dengan Cuma-Cuma kepada rakyat lemah dan tidak mampu (legal aid). Dengan demikian, seorang advokat dalam membela, mendampingi, mewakili, bertindak, dan memulai tugas dan fungsinya harus selalu memasukkan kedalam pertimbangannya kewajiban terhadap klien, pengadilan, diri sendiri, negara terlebih kepada Allah SWT. Untuk mencari kebenaran dan menegakkan keadilan. Profesi advokat ini akan terpandang mulia di hadapan masyarakat apabila ia sendiri bisa menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pemberi jasa hukum kepada masyarakat yang membutuhkan. Terjadinya pergeseran tugas dan fungsi ini dari pemberi bantuan hukum secara prodeo menjadi pemberian jasa hukum profesional mengakibatkan banyak peraktek menyimpang dari para advokat. Dengan prilaku ini, advokat tidak lagi menjadi benteng hukum atau garda keadilan, tetapi secara tidak disadari telah menjadi propokator bidang hukum untuk sebuah kepentingan advokat dalam memanfaatkan kliennya.
D.
Kode Etik Advokat Kode etik atau sumpah profesi adalah merupakan perangkat moral yang
sesungguhnya mesti ada pada semua profesi termasuk di dalamnya profesi advokat. Objek material dari etika adalah moralitas yang melekat pada suatu profesi. Etika dalam perspektif Islam bisa diidentikan dengan akhlakulkarimah. Secara etimologis dapat diartikan sebagai “kebiasaan kehendak”. 29 Kebiasaan yang dimaksud adalah perbuatan dan perilaku yang baik, terukur dan berlangsung terus-menerus. Seseorang yang biasa berbuat adil dalam segala hal, di manapun ia akan selalu berbuat adil yang menjadi akhlak bagi dirinya. Etika mestinya tertanam dalam hati nurani setiap profesi hukum seperti halnya advokat dalam menjalankan perannya, agar selalu berada di jalan yang benar menurut hukum dan bukan benar menurut interest pribadi. Profesi advokat selaku penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya oleh karena itu, satu sama lainnya harus saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara penegak hukum lainnya. Oleh karena itu setiap advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya di awasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui oleh advokat tanpa melihat dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan
29
Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak, (Jakrta: Bulan Bintang, tt), Hal. 62.
31
32
menjadi anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat pengakuan dan kepatuhannya terhadap kode etik yang berlaku. Berkaitan dengan kode etik advokat, 30 diartikan sebagai pengaturan tentang prilaku anggota-anggota, baik dalam interaksi sesama anggota atau rekan anggota organisasi advokat lainnya maupun dalam kaitannya di muka pengadilan, baik beracara di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan. Muhammad Sanusi, 31 mendefinisikan kode etik profesi penasehat hukum sebagai ketentuan atau norma yang mengatur sikap, perilaku dan perbuatan yang boleh atau tidak boleh dilakukan seseorang penasehat hukum dalam menjalankan kegiatan profesinya, baik sewaktu beracara di muka pengadilan maupun di luar pengadilan. Secara sistematis, kode etik advokat 32 yang telah disepakati oleh asosiasi atau organisasi profesi itu dibagi dalam ketentuan-ketentuan pokok sebagai berikut : 33 1. Kode Etik yang Berkaitan dengan Sikap, Perilaku, dan Keperibadian Penasehat Hukum Pada Umumnya. 2. Hubungan Penasehat Hukum dengan Kliennya.
30
Ropuan Rambe, Tehnik Praktek Advokat, (Jakarta: Grasindo, 2001), Hal. 45.
31
Muhamad Sanusi, Kode Etik Penasehat-Penasehat: Pengertian, Penjabaran, dan Penerapannya, (Jakarta: Kompilasi Khusus Advokat AAI, 1997), Hal. 9. 32 33
Kode etik advokat yang telah disepakati tanggal 4 April 1996 oleh IKADIN, AAI, IPHI
Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, Advokat Dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), Hal. 89-94.
33
3. Seorang Penasehat Hukum Harus Menjaga Hubungan Sesama Teman Sejawat. 4. Sikap dan Tindakan Penasehat Hukum dalam Menangani Perkara dan Menghadapi Lawan Perkara. 5. Ketentuan-Ketentuan Lain. Dalam kode etik advokat, selain mengatur hubungan-hubungan sebagaimana disebutkan diatas, juga mengatur ketentuan-ketentuan lain sebagai berikut : a. adanya larangan pemasangan iklan yang semata-mata untuk menarik perhatian, demikian pula pemasangan papan-papan nama dengan ukuran dan bentuk yang berlebihan. b. penasehat hukum harus menunggu permintaan dari klien dan tidak boleh menawarkan jasanya, baik langsung maupun tidak langgung, misalnya broker perkara (calo). c. kantor penasehat hukum dan cabangnya di Indonesia tidak dibenarkan diadakan di suatu tempat yang dapat merugikan kedudukan penasehat hukum, misalnya di rumah atau di kantor seseorang yang bukan penasehat hukum.
34
d. Penasehat hukum dapat menerima pesanan dari seorang wakil yang bertindak atas nama calon klien, tetapi ia harus berusaha supaya berhubungan langsung dengan klien menerima keterangan dari klien sendiri. e. Penasehat hukum tidak dibenarkan mengizinkan orang yang bukan penasehat hukum dengan mencantumkan namanya di papan nama kantor penasehat hukum atau mengizinkan orang yang bukan penasehat hukum itu untuk memperkenalkan dirinya sebagai penasehat hukum. f. Penesehat
hukum
tidak
dibenarkan
mengizinkan
karyawan-
karyawannya yang tidak mempunyai kompetensi untuk mengurus perkara sendiri, memberi nasehat kepada klien dengan lisan atau tulisan. g. Penasehat hukum tidak dibenarkan melalui media masa mencari publikasi bagi dirinya atau untuk menarik perhatian masyarakat mengenai tindakan-tindakanya sebagai penasehat hukum mengenai perkara-perkara yang sedang atau telah ditanganinya, kecuali apabila keterangan yang ia berikan itu bertujuan untuk menegakkan prinsipprinsip hukum yaitu yang wajib diperjuangkan oleh setiap penasehat hukum.
35
h. Nama seorang penasehat hukum yang diangkat untuk suatu jabatan Negara tidak dibenarkan untuk tetap dipergunakan oleh kantor di mana dahulu ia bekerja. i. Seorang penasehat hukum yang sebelumnya menjadi hakim/panitra dari suatu pengadilan, tidak dibenarkan untuk memegang perkara di pengadilan yang bersangkutan selama tiga tahun semenjak ia berhenti dari pengadilan tersebut. 6. Sikap dan Tingkah Laku Penasehat Hukum Kepada Hukum, Undangundang/Kekuasaan Umum, Badan Peradilan dan Pejabatnya. Kode etik advokat bukan hanya sederetan peryataan-peryataan yang menetukan bagaimana advokat harus bertindak dan berprilaku terhadap satu dengan lainya. Pada tingkat praktis, ia harus menjiwai advokat dalam manjalankan perannya sebagai benteng keadilan. Oleh karena itu, pelaksanaan kode etik harus di bawah pengawasan sesuatau lembaga yang kompeten terhadap advokat. Pelaksanaan kode etik ini di awasi oleh suatu badan yang mempunyai otoritas yaitu dewan kehormatan, baik yang berada di cabang atau pusat. Cara beracara di persidangannya dan sanksi atas pelanggaran kode etik ditentukan sendiri.
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG ADVOKAT MENURUT HUKUM ISLAM A.
Pengertian Dan Tujuan Hukum Islam 1. Pengertian Hukum Islam Kata hukum yang berakar kata ( ) ﺣﻜﻢmengandung makna mencegah atau
menolak,
yaitu
mencegah
ketidakadilan,
mencegah
kezhaliman,
mencegah
penganiyaan dan menolak untuk kemafsadatan lainnya. 34 Hukum islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari alfiqh al-Islamy atau dalam keadaan konteks tertentu dari as-syari’ah al-Islamy. Istilah ini dalam hukum barat disebut Islamic law. Dalam Al-qur’an dan Sunnah, istilah Alhukm al-Islam tidak ditemukan. Namun yang digunakan adalah kata Syari’at Islam. Yang kemudian dalam penjabarannya disebut istilah Fiqh. 35
ﻋﻨْ ُﻪ َ ﻋَﻠﻰ َا وْ َﻓ ِﻘﻴْﺔ َ ﺊ ٍﺳ َ ت ُ اِﺛﺒَﺎ
Artinya: “menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu dari padanya”.
34
Zainuddin Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia). Jakarta; Sinar Grafika, 2006, Cet.1. Hal 1. 35
Ibid Hal. 1
36
37
Dalam perkembangan ilmu fiqh/ushul fiqh yang demikian pesat, para ulama ushul fiqh telah menetapkan definisi hukum islam secara terminologi diantaranya dikemukakan oleh Al-Badhawi dan Abu Zahra sebagai berikut: 36
ﻀﺎ ِء َاوْ اﻟ َﺘﺨْ ِﻴﻴْ ِﺮ َاوْ اﻟ َﻮﺿْ ِﻊ َ ﻦ ِﺑﺎﻻ ﻗْ ِﺘ َ ْل اﻟ ُﻤ َﻜِﻠ ِﻔﻴ ِ ب اﷲ اﻟ ُﻤ َﺘ َﻌِﻠﻖ ِﺑَﺎ ﻓ َﻌﺎ ُ ﻄﺎ َﺧ ِ
Artinya: Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntunan, pilihan, maupun bersifat wadl’iy”. 37
ﻃَﻠ ًﺒﺎ َاوْ َﺗﺨْ ِﻴﻴْ ًﺮا َاوْ َوﺿْ ًﻌﺎ َ ﻦ َ ْل اﻟ ُﻤ َﻜِﻠ ِﻔﻴ ِ ب اﷲ اﻟ ُﻤ َﺘ َﻌِﻠﻖ ِﺑَﺎ ﻓ َﻌﺎ ُ ﻄﺎ َﺧ ِ
Artinya: “khitab (titah) yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf yang bersifat memerintah terwujudnya kemaslahatan dan mencegah terjadinya kejahatan, baik titah itu mengandung tuntunan (perintah dan larangan) atau semata-mata menerangkan pilihan (kebolehan memilih) atau menjadikan sesuatau sebagai sebab, syarat atau pengahalang terhadap sesuatu hukum”. Uraian diatas memberi asumsi bahwa hukum yang dimaksud adalah hukum islam, sebab kajiannya dalam perspektif hukum islam. Maka yang dimaksud pula adalah hukum syara’ yang bertalian dengan perbuatan manusia dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang bertalian dengan aqidah dan akhlak. 38 Penyebutan hukum islam sering dipakai sebagi terjemahan dari syari’at Islam atau fiqh Islam. Apabila syari’at Islam di terjemahkan sebagai hukum islam (hukum
36
Ibid Hal. 2.
37
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), Hal. 26.
38
Zainuddin Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia). Jakarta; Sinar Grafika, 2006, Cet.1. Hal 2.
38
in abstracto), maka berarti syariat Islam yang dipahami dalam makna yang sempit, karena kajian syariat Islam meliputi aspek I’tiqadiyah, khuluqiyah, dan amal syr’iyah. Sebaiknya bila hukum islam menjadi terjemahan dari fiqh Islam, maka hukum Islam termasuk bidang kajian ijtihadi yang bersifat dzanni. 39 Namun demikian, untuk mendapatkan pemahaman yang benar tentang hukum islam, maka menurut H. Mohammad Daud Ali yang harus dilakukan sebagai berikut: 40 1. Mempelajari hukum Islam dalam kerangka dasar, dimana hukum Islam menjadi bagian yang utuh dari ajaran Dinul Islam. 2. menempatkan hukum Islam pada suatu kesatuan 3. dalam aplikasinya saling memberi keterkaitan antara syari’ah dan fiqh yang walaupun dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. 4. dapat mengatur tata hubungan kehidupan, baik secara vertikal maupun horizontal. Berdasarkan hal diatas maka definisi hukum Islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas hubungan masyarakat. Dalam khazanah hukum Islam di Indonesia. Istilah hukum Islam dipahami sebagi penggabungan dua kata hukum dan Islam. Hukum adalah seperangkat aturan tentang
39 40
Ibid, Hal.2.
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam(Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia).(Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006). Hal. 18.
39
tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu negara atau masyarakat yang berlaku dan mengikat seluruh anggotanya. Kemudian kata hukum disandarkan pada kata Islam, jadi dapat dipahami bahwa hukum Islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rosulullah tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama Islam. 2. Tujuan Hukum Islam Tujuan utama dari syari’ah adalah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga katagori hukum. Yang disebut sebagai Daruriyyat, Hajiyyat, dan Tahsiniyyat. 41 Tujuan dari masing-masing katagori tersebut adalah untuk memastikan bahwa kemaslahatan (masalih) kaum muslimin, baik di dunia maupun diakhirat, terwujud dengan cara yang terbaik. Tujuan hukum Islam adalah untuk memenuhi kepentingan, kebahagian, kesejahteraan, dan keselamatan hidup manusia di dunia dan di akhirat. 42 Oleh karena itu, apabila hukum positif yang tidak berasaskan Al-Quran dan Al-Hadist dibandingkan dengan tujuan hukum islam, maka ditemukan bahwa tujuan hukum Islam lebih tinggi dan bersifat lebih abadi artinya tidak terbatas kepada lapangan
41
Wael B Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, (Jakrta: Raja Grafindo Persada, 2001). Hal
247-248. 42
Zainuddin Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia). Jakarta; Sinar Grafika, 2006, Cet.1. Hal. 13.
40
materi yang bersifat sementara. Sebab faktor-faktor individu, masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya selalu diperhatikan dan dirangkaikan satu sama lain, dan dengan hukum Islam dimaksudkan dengan kebaikan semua dapat terwujud. Dalam lapangan ibadah misalnya, shalat, puasa, zakat dan haji. Hal ini dimaksudkan untuk membersihkan jiwa dan mempertemukannya dengan Tuhan, kesehatan jasmani dan kebaikan individu maupun masyarakat bersama-sama dengan berbagai aspeknya. Hal tampak lapangan muamalat (hubungan sesama manusia) dengan segala aspeknya. Tujuan dimaksud tampak jelas, seperti yang terlihat pada aturan peraktek hukum Islam yang menguasai lapangan tersebut. Diantara kaidah aturannya yang berbunyi sebagai berikut: 43
ﺐ اﻟ َﻤ َﻨﺎ ِﻓ ُﻊ ِ ْﺟﻠ َ ﻰ َ ﻋﻠ َ ﻀﺎ ِر ُﻣ َﻘ َﺪ ُم َ َدﻓ ُﻊ اﻟ َﻤ
“menolak keburukan mendahulukan atas mendatangkan kebaikan”. 44
ﺼ ِﺔ َ ﺤﺎ ِﻟ َ ﺢ اﻟ ِ ﺼﺎِﻟ َ ﻰ اﻟ َﻤ َ ﻋﻠ َ ﻻ َﻣ ِﺔ ُﻣﻘﺪ َﻣﺔ ُ ﺢا ُ ﺼﺎِﻟ َ اﻟ َﻤ
“kepentingan umat harus didahulukan atas kepentingan –kepentingan pribadi” Secara garis besar tujuan hukum Islam dapat dilihat dari dua aspek, yaitu : 1. kalau dilihat dari aspek pembuat hukum (Allah dan Nabi Muhammad), maka tujuan hukum Islam adalah untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang
Zainuddin Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia). Jakarta; Sinar Grafika, 2006, Cet.1. Hal. 13. 43
44
Ibid, Hal. 15.
41
bersifat primer, sekunder, dan tertier (istilah fiqh disebut Daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat). Selain itu adalah untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari serta meningkatkan kemampuan manusia untuk memahami hukum Islam melalui metodologi pembentukannya (ushul al fiqh). 2. kalau dilihat dari segi pelaku hukum dan pelaksana hukum Islam (manusia), maka tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai kehidupan yang bahagia. Caranya yaitu mengambil yang bermanfaat dan menolak yang tidak berguna bagi kehidupan. Singkat kata adalah untuk mencapai keridhaan Allah dalam kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. B.
Status Hukum Dalam Hukum Islam Macam-macam hukum adalah sebagi berikut : 45 1. Al-Ijab, yaiut tuntutan secara pasti dari syariat untuk dilaksanakan dan tidak boleh (dilanggar) ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenai hukuman. Istilah al-ijab terkait dengan khitab (firman) Allah SWT disebut alwajib (perbuatn yang dituntut oleh khitab Allah SWT). 2. An-Nadh, yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbutan, tetapi tuntutan itu tidak secara pasti. Seorang tidak di larang untuk meninggalkannya, karena orang yang meninggalkan tuntutan tersebut tidak dikenai hukuman.
45
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Bara Van Hove, 1999), Cet, Ke-2, Hal. 572.
42
3. Al-Ibahah, yaitu khitab (firman) Allah SWT yang mengandung pilihan antara berbuat atau tidak. Akibat khitab Allah SWT ini disebut juga dengan AlIbahah, dasn perbuatn yang boleh dipilih itu disebut Al-mubah. 4. Al-Karahah, yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu di ungkapkan melalui reaksi yang pasti. Seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk meninggalkan itu tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntunan itu disebut Al-Karahah, dan perbuatan yang dituntut untuk meninggalkan itu disebut dengan Al-Makruh. 5. At-Tahri, yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Akibat dari tuntutan ini disebut Al-Hurmah dan perbuatan yang dituntut disebut dengan Al-Haram. C.
Landasan Hukum Advokat Dalam Islam Sebagaimana telah dijelaskan bahwa advokat merupakan profesi yang mulia
karena perannya terhadap masyarakat dalam bidang hukum dan keadilan, advokat lebih memprioritaskan hak-hak asasi manusia ketimbang dirinya terhadap pencapaian kepentingan ekonomis. Sesungguhnya Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber hukum yang selalu menyerukan kepada kebajikan dan tanggung jawab moral yang tinggi. Menurut Al-Qur’an rasa tanggung jawab yang komprehensif dapat menjamin hak-hak dasar manusia. Bukan sebaliknya, dan orang yang merefleksikan tanggung jawab moral
43
tadi adalah dalam kemenangan. Sebagaimana Allah menjelaskan dalam firman-Nya dalam surat Al-Imran ayat 104-105 : 46
☺ ☺
. ⌧
⌧ ⌧
. Artinya :
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”. (QS Al-Imran : 104-105). Dalam ayat lain yang lebih tegas mengharamkan perbuatan yang melanggar hak-hak asasi manusia. Dalam Al-Qur’an surat Al-A’raaf ayat 33 : 47 ☺ ⌧
Artinya :
46
Ahmad Toha Putra, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Asy Syifa’, 2000), Hal. 122.
47
Ibid, Hal. 323.
44
“Katakanlah: "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS Al-A’raaf :33) Dalam sebuah hadist riwayat Tabrani agar berbuat kebajikan tanpa membedabedakan golongan yaitu: 48
ﺣ ُﺮا ِ ن َاوْ َﻓﺎ َ ﺴﺎن ِﺑ ًﺮا َآﺎ َ ْﻞ ِاﻧ ِ ن ِاَﻟﻰ ُآ ِ ﺴﺎ َ ْس َو ِاﺣ ِ ﻰ اﻟ َﻨﺎ َ ن اﻟ َﺘ َﻮ َدد ِاﻟ ِ ﻞ َﺑﻌْ َﺪ اﻻﻳْ َﻤﺎ ِ س اﻟ َﻌﻘ ُ َرا
Artinya : “kepala akal sesudah iman adalah berkasih-kasihan kepada manusia dan membuat kebajikan kepada segala orang, baik orang itu shaleh atau fasik”. Al-Qur;an dan As-Sunnah banyak memberi bimbingan etika pada pihak yang memasuki dunia hukum yang lainnya, maka bimbingan etika dari Rasulullah berlaku juga bagi para advokat sebagai pihak yang terlibat dalam pengambilan putusan hakim diantara hadist yang menjelaskan tentang para penegak hukum dalam peradilan salah satunya:
ْﻀﻰ َﻓ َﻘﺾ َ ﻲ اﻟ َﻘ َ َﻣﻦْ ُوِﻟ: ﺳَﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﻰ اﷲ َ ﺻﻠ َ ل اﷲ ُ ْﺳﻮ ُ ل َر َ َﻗﺎ: ل َ ﻋﻨ ُﻪ َﻗﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻋﻦْ َا ِﺑﻰ ُه َﺮﻳْ َﺮ َة َر َ 49 (ﻦ )رواﻩ اﺣﻤﺪ و اﻻرﺑﻌﺔ وﺻﺤﺤﻪ اﺑﻦ ﺣﺒﺎن ٍ ْﺳ ِﻜﻴ ِ ﺢ ِﺑ َﻐﻴْ ِﺮ َ ُذ ِﺑ Artinya : “dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: barang siapa memegang kekuasaan pengadilan, maka sesungguhnya ia telah menyembelih dirinya tanpa dengan pisau (HR. Ahmad Al-Arba’ah dan Ibnu Hibban mensyahihkan).”
48
T.M. Hasby ash Shiediqy, Al-Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1952), Cet, ke-1,, Hal. 464.
49
Ibid, hal. 464.
45
Hadist ini menjadi peringatan keras bagi para ahli hukum yang terlibat dalam proses peradilan dan bagi orang yang memasuki dunia peradilan, hal ini dinyatakan dalam lafadz dzubiha yang berarti menjerumuskan diri 50 . Dari beberapa penjelasan ayat Al-Qur’an dan Hadist diatas tampak Islam mengakomodasikan segala urusan umat manusia, tak terkecuali yang berkaitan dengan hukum. Dengan diterapkannya hukum, maka hidup manusia akan mencapai keteraturan dan kedamaian. Dalam penerapannya ada tujuan penting yang hendak dicapai yaitu terpenuhinya rasa keadilan umat manusia, sebagaimana firman Allah SWT pada surat Al-Maidah ayat 8 : 51
⌧ ☺
☺
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maa’idah : 8) Ayat diatas menunjukan bagaimana Allah SWT lewat ajaran Islam mengajarkan kepada orang-orang yang beriman untuk menegakkan kebenaran dan 50 51
Ibid, Hal. 464. Ahmad Toha Putra, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Hal. 226.
46
bersikap adil. Kandungan ajaran Islam ini pun sesuai dengan prinsip dasar bagi para aparat hukum, baik itu hakim, jaksa dan khususnya bagi profesi yang diangkat pada tulisan ini yaitu advokat. Hal ini sesuai dengan filsafah bangsa Indonesia, yaitu pancasila yang berkaitan dengan peradilan yang meracu pada sila “keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”. Adapun maksud adil dalam Islam disini adalah seperti apa yang dijelaskan Ibnu Katsir tentang definisi keadilan. Ibnu Katsir dalam magnum opusnya “Tafsir Ibnu Katsir” ketika menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan keadilan menyesuaikan dengan konteks ayatnya. Berikut ini dalam tafsirnya mengenai definisi keadilan 52 : “ Allah SWT menyuruh orang yang beriman untuk berbuat adil dalam perbuatan dan perkataan, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan menyampaikan hak kepada yang berhak membutuhkannya dengan cara yang tepat, dan juga menyampaikan hak bagi setiap orang dalam setiap waktu dan tempatnya.” Mengenai keberadaan advokat dipengadilan telah banyak dinyatakan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist telah diperaktekan pada masa Rasulullah SAW, Sahabat dan generasi sesudahnya. Di antara ayat Al-Qur’an yang mengandung pedoman mengenai
52
Hal. 633.
Muhammad Al As-Shabuni, Mukhtashor Tafsir Ibnu Kasir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), Jilid 1
47
peraktekadvokat di pengadilan yaitu firman Allah SWT dalam surat Al-Anbiyaa’ ayat 78-79: 53 ☺ ⌧
☺ ⌧ ☺
☺
⌧
⌧
. ⌧
☺ ☺ ☺
Artinya : “ Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan Keputusan mengenai tanaman, Karena tanaman itu dirusak oleh kambingkambing kepunyaan kaumnya. dan adalah kami menyaksikan Keputusan yang diberikan oleh mereka itu, Maka kami Telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) dan kepada masingmasing mereka Telah kami berikan hikmah dan ilmu dan Telah kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. dan kamilah yang melakukannya. (QS. Al-Anbiyaa’ 78-79). Sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan manusia yang semakin beragam dalam penyelesaian hukum, advokat dalam pengertian positif di masa kini memiliki system dan ruang lingkup kerja yang lebih luas dan modern.
53
Ahmad Toha Putra, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Hal. 698
BAB IV ANALISIS ADVOKAT MENURUT UNDANG-UNDANG DAN HUKUM ISLAM A.
Peran Advokat Dalam Pemberian Jasa Hukum Di Pengadilan Agama Menurut Undang-Undang. Peran advokat 54 dalam memberikan jasa hukum bagi kepentingan klien
dengan tujuan untuk memberikan islah bagi para pihak yang bersengketa sangat menentukan. Dimaksud peran disini adalah bagaimana ia dapat menjalankan profesinya sesuai dengan tugas dan fungsinya serta kode etik dan sumpah advokat. Sedangkan yang dimaksud dengan pemberian jasa hukum yang dilakukan advokat adalah mendampingi, menjadi kuasa, memberikan advise hukum kepada klien baik bersifat sosial; pro boo publico maupun atas dasar mendapat kan honorarium/fee. Menurut Ropuan Rambe, 55 dalam menjalankan profesinya seorang advokat harus memegang teguh sumpah advokat dalam rangka menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran. Advokat adalah profesi yang bebas; free profession; vrij beroep, yang tidak tunduk pada hirarki jabatan dan tidak tunduk pada perintah atasan, dan hanya
54
Dalam penjelasan RUU Advokat disebutkan bahwa pada perakteknya peran pemberian bantuan hukum, dilakukan advokat secara litigasi dan nonlitigasi. Jasa bantuan hukum dibagi manjadi jasa hukum litigasi dan jasa hukum nonlitigasi. Jasa hukum litigasi adalah jasa hukum yang berkenaan dengan perselisihan hukum atau perkara didalam atau diluar pengadilan dan arbitrase. Sedangan jasa hukum nonlitigasi adalah jasa hukum diluar bidang jasa hukum litigasi. 55
Ropuan Rambe, Tehnik Peraktek Advokat, Grasindo, Jakarta, 2001, Hal. 33 dan 37.
48
49
menerima perintah atau order atau kuasa dari clien berdasarkan perjanjian yang bebas, baik yang tertulis ataupun yang tidak tertulis, yang tunduk pada kode etik advokat, dan tidak tunduk pada kekuasaan publik. Selama ini terdapat kesan pro dan kontra di masyarakat terhadap peran advokat yang berperaktek di pangadilan. Bagi yang kontra memberi kesan negatif sedangkan bagi yang pro memberi kesan positif terhadap kehadiran dan peran advokat di pengadilan agama. Terdapat kesan negatif sebagian masyarakat bahwa untuk mendapatkan jasa hukum sekarang ini memerlukan biaya tinggi dan membuat rumit masalah yang di anggap sederhana, sehingga lambat dalam penyelesaiannya. Akan tetapi, pihak lain ada kesan positif masyarakat, bahwa untuk berperkara di pengadilan dengan mengggunakan jasa advokat, dapat memudahkan urusan administratif dan juga memberikan kepuasan serta dapat memenuhi rasa keadilan sekalipun dalam posisi salah. 56 Oleh karena itu, seorang advokat yang akan melakukan peraktek litigasi di pengadilan agama untuk mendampingi atau menjadi kuasa atas nama kliennya agar mendapat simpatik dari masyarakat, tentu terus mengikuti hukum acara yang berlaku di pengadilan agama. Dengan mengikuti atuaran ini dapat meminimalkan perektek yang menyimpang, sehingga dapat di pertanggungjawabkan prosedurnya. Prosedur mendapatkan jasa hukum advokat adalah berkaitan dengan aturan baku yang
56
Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, Advokat Dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), Hal. 64-65.
50
ditetapkan
hukum
acara
di
lingkungan
peradilan
agama
maupun
aturan
kepengacaraan yang berlaku. Mengenai hukum acara yang berlaku di lingkungan pengadilan agama, diatur dalam Bab IV UU No. 7 Tahun 1989, Jo Undang-undang N0 3 Tahun 2006 mulai Pasal 54-105. pasal 54, menyatakan: “hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah Hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undangundnag ini.” Menurut Wirjono Projodikoro, 57 yang dimaksud dengan hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang terus bertindak terhadap dan dimuka peradilan dan cara bagaimana peradilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata. Keberadaan advokat untuk berperan dalam memberikan jasa hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam perkawinan, khususnya perceraian diatur melalui Undang-undang No 7 Tahun 1989 Jo, UU No 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, pasal 73 ayat (1) sebagai berikut. 58
57
Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, 1978, Hal. 13.
58
Basiq Djalil, Peradilan agama Di Indonesia (Jakarta : Kencana 2006), Hal. 207.
51
“gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.” Pasal ini mengatur gugatan cerai yang dilakukan istri terhadap suaminya, baik secara langsung kepengadilan agama mapun melalui jasa hukum seorang advokat dengan menggunakan suarat kuasa kepada advokat untuk melakukan tindakan hukum. Surat kuasa adalah suatu dokumen penting yang melahirkan perjanjian antara pihak klien dan advokat. Tanpa surat kuasa dari para pihak, maka advokat tidak mempunyai
kewenangan
untuk
melakukan
tindakan
hukum apapun
yang
mengatasnamakan para pihak dalam menyelesaikan perkara. Secara umum pengertian surat kuasa adalah suatu dokumen dinana isinya seorang menunjuk dan memberi wewenang pihak lain untuk melakukan perbuatan hukum untuk dan atas namanya. 59 Sedangkan menurut pasal 1792 BW pemberian kuasa adalah sebagi berikut. “suatu persetujuan yang berisikan pemberian kuasa kepada orang lain yang menerima untuk melaksanakan sesuatu untuk atas nama orang ynag memberikan kuasa.”
59
Yudha Pandu, Klien dan Penasehat Hukum Dalam Perspektif Masa Kini, PT Abadi, Jakarta, 2001, Hal. 95.
52
Dimaksud dengan melaksanakan suatu urusan menurut pasal 1792 BW diatas adalah melaksanakan perbuatan hukum yaitu perbuatan yang melahirkan akibat hukum yang berupa hak dan kewajiban yang mengikat. Oleh karena itu, tujuan surat kuasa adalah untuk membuktikan adanya pemberian kekuasaan kepada penerima kuasa (advokat) untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk atas nama pemberi kuasa, yaitu perbuatan hukum berupa hak dan kewajiban. Surat kuasa diberikan dalam bentuk kontrak antara pihak pemberi kuasa (klien) kepada yang menerima kuasa (advokat). Dalam membuat persetujuan ini, biasanya yang dibicarakan antara para pihak dan advokat adalah masalah honorarium/fee
untuk melakukan proses kepengacaraan. 60 Bagaimanapun pada
akhirnya tentu kesepakatan antara klien dan advokat dapat menetukan segala sesuatunya termasuk masalah honorarium/fee. Penentuan jasa hukum dalam menentukan honorarium/fee atas pekerjaan yang dilakukannya adalah berdasarkan tingkat kerumitan, besarnya tanggung jawab, dan berapa lama pekerjaan tersebut dapat diselesaikan. Akan tetapi, terkadang juga penasehat hukum (advokat) mempertimbangkan honorarium/fee berdasarkan kondisi dan posisi seorang klien dan suatu perkara. Karena kondisi dan posisi seorang klien tidak sama dengan klien lain.
60
Ibid, hal.78, ada tiga metode yang dipakai untuk menetapkan honorarium/fee oleh penesehat hukum, (1) honor/fee ditetapkan secara lump sum. Ini umumnya digunakan oelh para penasehat hukum dalam melakukan due diligence dalam proses legal audit dan legal opinion untuk keperluan tertentu (2) menetapkan honor/fee atas dasr item per item. Dalam metode ini penesehat hukum mebuat tagihan berdasarkan rincian satu persatu pekerjaan yang telah dilakukannya dan (3) menetapkan tagihan atas dasar “tidak menang - tidak bayar” (no win, no pay). Metode ini sering digunakan untuk honor/fee para penasehat hukum yang menjalankan peraktek profesinya sebagai penagih hutang (debt collector).
53
Pertimbangan seperti ini merupakan peran profesi advokat dalam masyarakat untuk mencari keadilan. Jadi, kondisi dan posisi klien dalam suatu perkara merupakan bahan pertimbangan untuk menetapkan honorarium/fee terhadap pekerjaan yang akan dilakukannya. H. Harono Marjono, 61 berpendapat bahwa terdapat dua pandangan yang menunjukan peran advokat dalam beracara di pengadilan, yaitu pandangan subyektif dan objektif. Dari sudut pandangan subjektif, karena pekerjaan pemberian bantuan hukum bertolak dari kepentingan seseorang yang akan atau sedang beracara di pengadilan, sebab orang itu merasa atau dianggap memerlukannya. Dengan pandangan ini, maka advokat akan berusaha memenagkan perkaranya dengan memberi janji-janji kepada kliennya. Ia akan melihat pihak lain sebagai lawan yang harus dikalahkan dalam persidangan. Demikian juga ia akan berusaha memberikan argumentasi kepada pihak pengadilan untuk keluar sebagai pemenang perkara. Advokat yang berpandangan demikian akan mengabdi pada kliennya, dan bukan pada kebenaran dan keadilan. Sedangkan dari sudut pandang objektif, karena pekerjaan itu berangkat dari tujuan atau maksud yang hendak dicapai dari tersenggaranya peradilan itu sendiri. Pandangan ini memberi kesan positif dalam melaksanakan acara peradilan. Ia akan melihat secara objektif terhadap kebenaran hukum dan bukan pada kebenaran
61
H. Hartono Marjono, Menegakkan Syari’at Islam Dalam Konteks Keindonesiaan, Mizan, Bandung, 1997, Hal. 70-71.
54
kliennya. Pandangan ini akan melihat proses peradilan itu sebagai suatu yang wajar, bukan hal yang luar biasa. Dalam posisi kliennya tidak menguntungkan, ia akan membela kebenaran dan keadilan dan bukan membela kliennya sekalipun memang salah. Advokat yang berpandangan seperti ini akan mengabdi kepada kebenaran dan keadilan, bukan kepada keberadaan kliennya. Peran advokat dalam pemberian jasa hukum litigasi di pengadilan, pada dasarnya harus diartikan sebagai upaya memberi bantuan hukum kepada orang yang sedang beracara di muka peradilan. Hal itu dimaksudkan agar pemeriksaan dan peradilan dapat berjalan dengan tertib, baik dan lancar sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Ia juga dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan secara nyata berdasarkan hukum materil yang berlaku, sehubungan dengan perkara yang sedang diperiksa. Perkara tersebut bisa berupa sengketa antara para pihak atau permohonan yang diajukan oleh seorang pemohon. 62 Peran advokat yang berperaktek di pengadilan agama dalam meberikan jasa hukum dianggap positif bagi pencari kebenaran dan penegakkan keadilan. Peran positif advokat itu digambarkan dalam beberapa hal sebagai berikut: 1. mempercepat penyelesaian administrasi, baik permohonan cerai talak maupun gugatan cerai bagi kelancaran persidangan di pengadilan.
62
Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, Advokat Dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Ghalia Indonesia, 2003. Hal. 69-70.
55
2. membantu menghadirkan para pihak yang berperkara di pengadilan sesuai dengan jadwal persidangan. 3. memberikan pemahaman hukum yang berkaitan dengan duduk perkara dan posisinya, terhadap para pihak dalam menyampaikan permohonan atau gugatan atau menerima putusan pengadilan agama. 4. mendampingi para pihak yang berperkara di pengadilan agama, sehingga merasa terayomi keadilannya. 5. mewakili para pihak yang tidak dapat hadir dalam proses persidangan lanjutan, sehingga memperlancar proses persidangannya. 6. dalam memberikan bantuan hukum, sebagai advokat profesional, tetap menjunjung tinggi sumpah advokat, kode etik profesi dalam menjalankan peran sesuai dengan tugas dan fungsinya. Ketentuan yang berkaitan dengan bantuan hukum Undang-undang No 4 Tahun 2004 telah diatur dalam pasal 37-40, yang menyatakan bahwa ”setiap orang yang bersangkutan perkara berhak memperoleh bantuan hukum dan advokat sebagai subyek yang ditunjuk dalam memberikan bantuan hukum wajib membentu proses penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan”. Sedangkan dalam Undang-undang No 14 Tahun 1985 jo Undang-undang No 5 Tahun 2004 masalah bantuan hukum diantaranya diatur dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa :
56
“Mahkamah Agung dan pemerintah melakukan pengawasan atas Penasehat Hukum dan Notaris”. 63 Kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, pasal 69-74 pasal 115 ayat 1 dan pasal 156 KUHP, yang menggunakan istilah bantuan hukum dan penasehat hukum sebagai orang yang ditunjuk oleh pihak yang berperkara untuk memberi bantuan hukum. Peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan masalah bantuan hukum yaitu SK Mahkamah Agung No 1 Tahun 1965 mengidentikan bantuan hukum dengan menggunakan istilah advokat/pengacara, pokrol (pengacara praktek). Walaupun istilah berbeda namun secara prinsipil pemberian bantuan hukum terhadap pihak yang berperkara di muka pengadilan adalah salah satu bentuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam bidang hukum dan lembaga peradilan. Tetapi setelah diberlakukan undang-undang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat, istilah-istilah tersebut pengertiannya telah disetarakan menjadi advokat. Undang-undang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat ini, adalah undangundang terbaru tentang advokat dan merupakan penyempurnaan dari undang-undang sebelumnya. Dengan adanya undang-undang tersebut diharapkan dapat memberikan masa depan yang lebih baik bagi para advokat dan memberi kejelasan tantang keberadaan advokat sebagai pemberi jasa bantuan hukum serta manjadi pijakan
63
Ibid, hal. 260-261.
57
undang-undang untuk mengaktualisasikan diri sebagai penegak hukum yang dapat menyeimbangkan semua kepetingan, klien, profesi, peradilan dan Negara tanpa mengabaikan nilai-nilai moral dan keadilan B.
Pandangan Terhadap Citra Advokat Bagaimana pandangan masyarakat, kalangan ahli hukum dan advokat
terhadap citra advokat selama ini? Hasil jajak pendapat, menyimpulkan citara advokat sudah tercemar. Percuma menyadarkan hukum di negeri ini. Mulai dari polisi, jaksa, hakim hingga pengacaranya yang seharusnya menjadi ujung tombak penegak hukum, justru tercemar dengan berbagai kasus pelanggaran hukum. Masyarakat tidak menyukai terhadap profesi advokat dalam dua hal. 64 Pertama, menyangkut perilaku yang berkaitan dengan persidangan. Dalam anggapan responden, perilaku mereka selama ini tampak sangat mendominasi perjalanana suatu perkara. Dengan akses dan kemampuan yang dimiliki, kalangan ini mampu memainkan peranannya seakan-akan menjadi yang paling benar di dalam persidangan. Berkaitan dengan persoalan yang demikian, tidak kurang dari 59 % responden meragukan profesionalitas para pengacara. Kedua, sorotan masyarakat terhadap pengacara tampak pula dari perilaku pengacara di luar persidangan. Di dalam penelitian responden, penampilan kalangan ini terlalu “meyilaukan mata”. Gaya hidup mewah dan kepiawaian memainkan kata-
64
Ibid, Hal. 104-105.
58
kata di pandang 80% responden tidak lebih dari upaya mencari popularitas dan bayaran ketimbang upaya penegakkan hukum. Todung Mulya Lubis, seorang advokat senior, mungkin setelah membaca, mendengar, atau mengamati setiap proses peradilan dalam berbagai kasus berkesimpulan, bahwa perusak paling utama dalam lembaga peradilan adalah uang, para pengusaha dan advokat hitam yang memperdagangkan hukum. Tragisnya etika profesi sudah tidak sama sekali berharga karena banyak advokat hitam yang tidak merasa bersalah meski mereka mendatangi hakim dengan segepok uang. Indriyanto Seno Adji, dalam disertasinya mengemukakan bahwa para advokat pelaku kejahatan korupsi sering memanfaatkan kelemahan asas legalitas formal dalam sebuah perkara pidana. Sedangkan dalam perkara perdata mereka berlindung dalam artian sempit dari perbuatan melawan hukum yang diartikan sebagai melanggar undang-undang saja, padahal secara luas pengertian melanggar hukum itu tidak lagi diartikan pada ketentuan perundang-undangan tertulis saja, tetapi meliputi pelanggaran terhadap nilai-nilai atau rasa kepatutan yang ada dimayarakat. 65 Diantara sekian banyak profesi hukum advokat merupakan jenis profesi yang paling banyak menimbulkan kontroversi. Situasi demikian tidak hanya dirasakan pada negara-negara berkembang, tetapi juga pada negara-negara maju. Dalam berbagai survei di Amerika Serikat, profesi advokat masih menempati posisi 65
2000.
Disertasi disampaikan di hadapan Guru Besar Universitas Indonesia, tanggal 22 januari
59
terhormat. Pengacara naik pamornya karena banyak pemimpin dunia berangkat dari profesi ini, dan terbukti mereka semua orang-orang yang cerdas, rasional dan orang yang pandai berargumentasi. Ironisnya dalam jajak pendapat lainnya, advokat ternyata juga mandapat peredikat profesi yang paling tidak disukai. Mereka di pandang sebagai kumpulan orang-orang yang senang memutar balikkan fakta, membuat gelap persoalan yang sudah jelas, dan tidak bermoral karena mengambil keuntungan dari penderitaan orang lain. 66 Pada tahun 1938, frank Tanembuan, 67 seorang sosiologi menulis panjang lebar tentang kelakuan para pengacara di Amerika Serikat. Yang menjadi sorotan adalah aktivis para lawyer yang menjadi langganan penjahat, khususnya penjahat terorganisir. Para pengacara ini disebut criminal lawyer. Pekerjaannya antara lain merekayasa alibi, mengatur dan menyuap aparat hukum, mengancam juri dan menakut-nakuti saksi. C.
Analisis Advokat Dalam Hukum Islam Advokat sebagai profesi terhormat yang dalam menjalankan profesinya
berada di bawah perlindungan hukum, undang-undnag dan kode etik, memiliki kebebasan yang disandarkan kepada kehormatan dan kepribadian advokat yang berpegang teguh kepada kemandirian, kejujuran, kerahasiaan dan keterbukaan.
66
Dardji Darmodihardjo, dan Sidharta, Pokok-pokok Filsapat Hukum, (Jakarta: PT Gramedia Utama, 2000), Hal. 294-295. 67
Kompas, 29/3/2000, Hal 4, Rony Nitibaskara, dalam tulisan “Sang Pengacara”
60
Sebagimana dijelaskan pada pasal 1 tentang UU Advokat UU RI No. 18 Advokat dalam pengertian positif adalah orang yang berprofesi memberikan jasa bantuan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang. Istilah advokat bisa di sebut juga sebagai penasehat hukum. Yang di maksud jasa hukum tersebut diatas adalah jasa yang diberikan advokat berupa pemberian konsultasi bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum bagi orang, badan hukum, atau lembaga lian yang menerima jasa hukum advokat. Advoakat dalam pengertian penesehat hukum yang diaplikasikan berupa bantuan hukum, dalam peradilan Islam mengandung beberapa pengertian diantaranya wakalah, mufti, muhakam, dan muhamah. Berikut adalah penjelasan beberapa istilah tersebut : a. wakalah kata wakil muncul sekitar dua puluh empat kali dalam Al-Qur’an. Dalam hukum Islam, wakalah atau perwakilan muncul ketika satu orang menguasakan kepada orang lain untuk menggantikannya memperoleh hakhak sipilnya. 68
68
A.Rahman l. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), (Jakrta: Raja Grafindo Persada 2002). Cet ke-1. Hal 4
61
Pengertian wakalah atau wikalah (perwakilan atau perlindungan) sama maknanya dengan takwidh (penyerahan atau pelimpahan), yang berarti pemberian bantuan hukum, penasehat hukum atau pengacara.69 juga berarti hafidzh (pemelihara). Sedangkan menurut istilah syara’ yang dimaksud dengan wikalah yaitu pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang dalam hal-hal yang dapat digantikan dan diperoleh oleh syara’70 Wakalah berarti juga perlindungan (al-hifzh), pencukupan (al-kifayah), tanggungan (al-dhaman), atau pendelegasian (al-tafwidh). 71 Dasar hukum wakalah disebut dalam Al-Qur’an Surat Al-Kahfi ayat 19: 72 ☺ ☯ ☺ Artinya : "…. “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota …” (QS Al-Kahfi : 19).
69
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Bara Van Hove, 1999), Cet, Ke-3, Hal. 982. 70
Sayyid Sabiq, Al Fiqhussunah, (Bairut: Darul Kutub, 1971), Juz XIV, Hal. 228.
71
Dr. Helmi Karim, M A, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), Hal. 233.
72
Ahmad Toha Putra, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Asy Syifa’, 2000), Hal. 630.
62
b. Muhamah Muhamah berarti pembelaan, yaitu pembelaan terhadap seseorang yang dituduh atau disangka melakukan delik pidana di muka sidang peradilan. Pembelaan dalam hal ini hukum Islam telah membolehkan sebagai sandaran kebolehannya diambil dari Al-Qur’an dalam surat An-Nisaa ayat 107: 73
☺
⌧
Artinya : “Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa” (QS An-Nisaa : 107) c. Tahkim Kata tahkim, yang kata kerjanya hakkama, secara harfiah berarti menjadikan seseorang sebagai penengah bagi suatu sengketa. 74 Tahkim dalam pengertian bahasa Arab ialah menyerahkan putusan pada seseorang yang menerima putusan itu. Di dalam pengertian istilah ialah dua orang atau lebih mentahkimkan kepada seseorang diantara mereka untuk diselesaikan sengketa dan ditetapkan hukum syara’ atas sengketa mereka itu. Tahkim dalam Islam dapat disamakan dengan arbitrasi dalam hukum umum, merupakan lembaga yang bertugas mencari dan menyelesaikan
73 74
Ibid, Hal 171.
Drs. Cik Hasan Bisri, MS, Bunga Rampai Peradilan Islam Di Indonesia, (Bandung: Ulul Albab Press, 1997), Cek pertama, Hal. 91.
63
perkara hukum diluar pengadilan. Tahkim disebut juga ketetapan perjanjian yaitu bentuk kontrak yang harus disetujui dalam kasus perselisihan dalam masalah persetujuan kontrak, hal ini diselesaikan melalui putusan hakim/arbitator. 75 Orang yang memberi tahkim disebut hakam atau muhakam. Dasar hukum bagi tahkim ini di dalam syariat Islam, ialah firman Allah dalam surat An-Nisaa ayat 35 : 76
☺ ☺ ☯ ☺
⌧
☺
Artinya : “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS AnNisaa : 35). d. Mufti Mufti berkedudukan sebagai pemberi penjelasan tentang hukum syara’ yang harus diketahui dan diamalkan oleh umat akan selamat bila ia
75 75
A.Rahman l. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), (Jakrta: Raja Grafindo Persada 2002). Cet ke-1. Hal. 472. 76
Ahmad Toha Putra, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Asy Syifa’, 2000), Hal. 166.
64
memberi fatwa yang benar dan akan sesat bila ia salah dalam berfatwa. 77 Mufti dalam artian memberi fatwa yaitu orang yang memiliki keahlian hukum dan dijadikan tempat bertanya dalam masalah hukum. Maksud muhakam disini adalah orang yang memiliki keahlian hukum, diberi wewenang
untuk
memberikan
pertolongan
kepada
pihak
yang
bersengketa. Mufti selaku orang yang memberi fatwa-fatwa merupakan nama lain apa yang disebut dengan penasehat hukum. Dalam hal ini fatwa yang boleh dimintakan fatwa meliputi seluruh bidang hukum sampai bidang ibadah pun boleh meminta fatwa, sedangkan pada pengadilan terbatas dalam masalah yang ada pada hak pengadilan. Fatwa-fatwa yang diberikan oleh mufti walaupun tidak merupakan putusan hakim tetapi dia merupakan petunjuk-petunjuk dan merupakan majlis pertimbangan. Lembaga-lembaga fatwa itu memberi fatwa dan mengeluarkan pendapat baik masalah-masalah yang diajukan oleh perorangan ataupun yang dikemukakan oleh instansi-instansi resmi. Dari uraian tersebut dapat kita tarik benang merahnya bahwa, perbedaan fatwa dan qadha sebagai putusan hakim adalah; pertama mufti bisa menolak untuk memberikan fatwa mengenai hal yang dimintakan fatwa kepadanya, sedangkan peradilan (qadha) tidaklah demikian, tetapi harus memutuskan, artinya tidak boleh
77
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001). Jilid III, Hal. 430.
65
menolak para pihak yang mengajukan mohon keadilan, sekalipun dengan alasan bahwa aturan hal tersebut belum ada. Kedua Qadha itu dasarnya adalah fakta (kenyataan) yang dicari hakim, jadi hakim memutuskan berdasarkan fakta. Sedangkan fatwa berdasarkan ilmu (pengetahuan), yakni mufti memberi fatwa berdasarkan ilmu yang di miliki mufti. Ketiga, kalau putusan hakim harus dituruti atau mempunyai daya paksa yakni negara bisa memaksakan putusan itu untuk dilaksanakan. Sedangkan fatwa tidak harus orang mengikutinya. Keempat, fatwa itu tidak boleh dibatalkan, sedangkan putusan bisa di batalkan oelh tingkat yang lebih tinggi. 78 Dengan melihat beberapa penjelasan dari keempat istilah tersebut wakalah, muhamah, muhakam, dam mufti pada hakikatnya mempunyai tujuan yang sama yaitu demi menyelesaikan masalah-masalah hukum. C.
ANALISIS PENULIS Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan
secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Perinsip Negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum. Oleh karena itu, undang-undang dasar juga menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta pengakuan yang sama di hadapan hukum.
78
Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia (Jakarta : Kencana 2006), Hal. 3-4.
66
Advokat sebagai profesi yang mulia atau officium nobile memiliki kebebasan dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini diartikan bahwa advokat tidak terikat pada hirarki birokrasi. Selain itu, advokat juga bukan merupakan aparat negara sehingga advokat diharapkan mampu berpihak kepada kepentingan masyarakat atau kepentingan publik. Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka kedudukan sosial dari advokat yang demikian itu telah menimbulkan pula tanggung jawab moral bagi advokat yang bukan hanya bertindak sebagai pembela konstitusi namun juga bertindak sebagai pembela hak asasi manusia, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak publik. Akibat dari adanya tanggung jawab moral yang melekat pada status profesinya maka advokat memiliki lima (5) dimensi perjuangan ideal 79 yaitu sebagi berikut : 1. Dimensi kemanusiaan, yang diartikan bahwa walaupun advokat menerima imbalan honorium atau legal fee dalam melakukan pekerjaannya namun pada dasarnya advokat harus tetap berpedoman dan mengahargai nilai-nilai kemanusiaan khususnya dalam melakukan pembelaan terhadap keliennya. Dalam melakukan pembelaan maka harus didasarkan pada motivasi aspek kemanusiaan;
79
Sumber:http://www.m2sconsulting.com/webs/index.php?option=com_content&view=article &id=27:kewajiban-pemberian-bantuan-hukum-oleh-advokat-dalam-kedudukannya-sebagai-officiumnobile-&catid=38:law&itemid=25. tanggal 24 Maret 2010. 16:45
67
2. Dimensi pertanggungjawaban moral, yang diartikan bahwa advokat dalam melakukan pembelaan kepada kliennya harus selalu melihat dan mempertimbangkan dua hal pokok, yaitu adanya ketentuan hukum yang menjadi dasar dalam melakukan pembelaan dan adanya dasar moral serta etika. Berkaitan dengan hal tersebut maka hak atau kepentingan hukum dari klien yang di belanya maka tidak boleh bertentangan dengan moralitas umum atupun etika profesi yang wajib di junjung lebih tinggi; 3. Dimensi kebebasan, kemandirian dan independensi profesi, hal ini diartikan bahwa advokat ditantang untuk selalu memperjuangkan tegaknya profesi yang mandiri, bebas dan independen dari intervensi kekuasaan dalam melakukan pembelaan terhadap kliennya. Oleh karena itu, maka untuk mendukung dimensi yang ketiga tersebut dibutuhkan organisasi advokat yang kuat serta memiliki kode etik termasuk memiliki kapabilitas untuk membina dan manjaga kedisiplinan anggota profesinya ; 4.
Dimensi pembangunan negara hukum, yang diartikan bahwa profesi advokat dapat diimplementasikan secra ideal apabila proses penegakan hukum juga telah berjalan secara ideal. Dengan perkataan lain, bahwa advokat memiliki kepentingan demi profesi hukumnya dan demi kepentingan kliennya. Oleh sebab itu maka perlu untuk di bangun esensi dari sebuah negara hukum yang ideal ;
68
5. Demensi pembangunan demokrasi, yang diartikan bahwa suatau negara hukum bagaimana yang diuraikan dalam dimensi keempat hanya dapat dilaksanakan selaras dengan pembangunan demokrasi. Ibarat suatu mata uang maka antara pembangunan hukum dan
pembangunan demokrasi
dapat saling memiliki relasi. Demokrasi hanya dapat ditegakkan apabila di dukung oleh negara yang berdasarkan hukum dalam hal mana menjunjung supremasi hukum. Demokrasi akan berubah manjadi anarki apabila tidak didukung oleh hukum. Sebaliknya, negara hukum tanpa demokrasi akan menciptakan suatu negara yang bertipikal penindas. Menurut analisis penulis selain dalam proses peradilan, peran advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan. Kebutuhan jasa hukum advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antar suku, ras, bangsa dan negara. Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi advokat ikut memberi sumbangan
berarti bagi pemberdayaan
masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi, hukum dan perdagangan, termasuk dalam menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Dalam hukum islam istilah advokat dikenal dengan beberapa macam pengertian karena memang dalam hukum islam sejauh pengetahuan penulis tidak menemukan adanya istilah khusus tentang advokat namun dari segi fungsi dan
69
peranannya terhadap masyarakat dan negara memiliki makna yang sama dengan istilah wakalah, muhammah, mufti dan muhakam. Yang semua itu sama tujuannya utnuk menegakkan keadilan dan kemaslahatan serta keseimbangan.
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan 1. Dengan lahirnya Undang-undang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dengan sendirinya pengakuan terhadap eksistensi advokat, khususnya organisasi advokat semakin jelas, sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut, bahwa organisasi advokat dalam waktu dua tahun setelah lahirnya undang-undang ini harus terbentuk. Seperti dijelaskan pada pasal 28 ayat (1) UU No 18 Tentang Advokat bahwa organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan undang-undang, dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat, dan untuk sementara tugas dan wewenang organisasi advokat sebagaiman yang dimaksud dalam undang-undang ini dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Hal ini memberikan penegasan terhadap para advokat untuk bergabung dengan salah satu dari organisasi advokat yang ada dalam undang-undang tersebut.
70
71
2. Tiap profesi termasuk advokat menggunakan sistem etika terutama untuk menyediakan struktur yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakn garis batas tata nilai yang bisa dijadikan acuan para professional untuk menyelesaikan dilematik etika yang dihadapi saat manjalankan fungsi pengembangan profesinya sehari-hari. Hal ini menyatakan bahwa kode etik ibarat kompas yang meberikan atau menunjukan arah bagi suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral profesi di dalam masyarakat. Bahwa fungsi dan tujuan kode etik untuk menjunjung tinggi martabat profesi dan menjaga atau memelihara kesejahteraan para anggotanya dengan mengadakan larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang akan merugikan kesejahteraan materil para anggotanya. Dengan ini terlihat bahwa kode etik profesi adalah seperangkat kaedah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengembankan suatu profesi. Prosedur hukum bagi advokat dalam berperaktek atau beracara di pengadilan agama adalah berkaitan erat dengan aturan baku yang ditetapkan Hukum Acara Peradilan Agama dan Kode Etik Advokat Indonesia yang telah diatur dalam undang-undang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesinya, yang menjamin dan melindungi namun membebenkan kewajiban kepada setiap advokat untuk jujur, dan
72
bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara atau masyarakat terutama kepada dirinya sendiri. 3. Aktifitas advokat ketika membela kliennya, merupakan cara tersendiri dalam rangka mewujudkan rasa kemanusiaan sesamanya, ini berarti merupakan aplikasi antara hak dan kewajiban dalam kedudukannya selaku manusia pada umumnya. Disamping itu eksistensi advokat jika di lihat dari unsur-unsur penegak hukum maka ia mempunyai tempat yang sama dengan hakim dan penegak hukum lainnya dalam upaya mencari dan menegakkan keadilan. Pemberian jasa bantuan hukum merupakan kewajiban moral seorang advokat. Dan peran utama seorang advokat dalam menerima atau mengajukan gugatan untuk dan atas nama kliennya terlebih dahulu harus mengupayakan Islah (mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa). Status hukum advokat dalam tinjauan hukum islam adalah Mubah (perbuatan yang boleh dipilih), karena dalam surat An-Nissa ayat 135 yaitu:
⌧ ⌧
☺
☺
☺
⌧
73
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nissa 135). Bahwa orang yang beriman diperintahkan untuk menjadi orang yang benar-benar penegak keadilan. Maksud ayat tersebut adalah wajib menegakkkan keadilan, namun menjadi orang-orang yang benar penegak keadilan itu adalah orang yang punya keahlian khusus yaitu para penegak hukum. Salah satunya advokat. Yang mana profesi advokat merupakan salah satu profesi yang menjadi pilihan seseorang dalam menegakkan keadilan.
B.
Saran Sebagai tindak lanjut dari kajian ini maka penulis memberi saran kepada
pihak-pihak yang berkepentingan sebagai berikut : 1. kepada
masyarakat
menyelesaikan
yang
dahulu
bersengketa,
permasalahan
yang
alangkah ada
baiknya
dengan
cara
kekeluargaan dengan berdamai terlebih lagi masalah keluarga, sebelum
memprosesnya
kepengadilan
baik
menggunakan jasa bantuan hukum dari advokat.
langsung
atau
74
2. advokat dalam melaksanakan profesinya sebagai pemberi jasa bantuan hukum kepada masyarakat, hendaklah mengikuti kode etik profesi advokat dan norma-norma agama, sehingga tidak diskriminatif dalam penyelesaiian suatu perkara. Dan dapat bersikap dan melihat semua permasalahan dengan cara yang obyektif dalam mencari kebenaran dan menegakkan keadilan. 3. Keadvokatan perlu disosialisasikan dengan kitab-kitab, khutbah ju’at, pengajian dan lian-lain. 4. keadvokatan perlu dilaksanakan dalam kurikulum fiqih, tsanawiyah dasn aliyah.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta : Departemen Agama RI, 1994 Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim (Hadist Yang Diriwayatkan Oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim), Bandung : Jabal, 2008. Al As-Shabuni, Muhammad, tt, Mukhtashor Tafsir Ibnu Kasir Jilid 1, Beirut: Dar alFikr. Al-Jajiri, Abdurahman, Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Beirut : Daar Al-fikr, 1989. Ali, H, Zainuddin Prof., Dr., M.A. Hukum Islam (Pengantar Hukum Islam Di Indonesia). Jakarta : Sinar Grafika, 2006. Ali Muhammad Daud, Hukum Islam(Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006. Al-zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus : Daar al-Fikr, 1989. Amin Ahmad, tt, Etika Ilmu Akhlak, Jakrta: Bulan Bintang. Aini Noryamin, “Penggunaan jasa pengacara dalam kasus penceraian : studi kasus di PA Jaksel, “ AHKAM VI, No 14 2004. Ash Shiediqy T.M Hasby, Al-Islam, Cet, ke-1 Jakarta: Bulan Bintang, 1952. Aziz Dahla, Abdul. Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 3, Jakarta : Ictiar Baru Van Hoeve, 1999. Bisri, Cik Hasan, MS, Bunga Rampai Peradilan Islam Di Indonesia, Bandung: Ulul Albab Press, 1997. BAMUI dan Takaf, Arbitrase Islam di Indonesia, Jakrta: PT Raja Grafindo, 1986. Darmodihardjo, Dardji dan Sidharta, Pokok-pokok Filsapat Hukum, Jakarta: PT Gramedia Utama, 2000. Djalil, Basiq, Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta : Prenada Media Group, 2006. Faturrahman, Hadist-hadist Tentang Peradilan Agama, Jakarta : Bulan Bintang 2007.
75
76
Hallaq Wael B, Sejarah Teori Hukum Islam, Jakrta: Raja Grafindo Persada, 2001. Hasan, M Ali, studi Islam: Al-Qur’an dan As-Sunnah, Jakarta : Raja Grafindo Persada 2000. Kadafi, Binziad et.al., Advokat Indonesia Mancari Legitimasi, Jakarta : Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2002. Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, Raja Grafindo Persada 2002. Karim, Helmi M A, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Kompas, 29/3/2000, Rony Nitibaskara, dalam tulisan “Sang Pengacara” Marjono H. Hartono, Menegakkan Syari’at Islam Dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung, Mizan, 1997. Muhammad, Abdulkadir, etika Profesi Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006. Pandu Yudha, Klien dan Penasehat Hukum Dalam Perspektif Masa Kini, Jakarta, PT Abadi, 2001. Prodjohamidjojo Martiman, Penasehat dan Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982. Pangalibuan Luhut M.P., Advokat dan Contempt of Court: Suatu Proses di Dewan Kehormatan Profesi, Jakarta: Djambatan, 2002. Projodikoro Wirjono, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, 1978. Rambe Ropuan, Tehnik Peraktek Advokat, Grasindo, Jakarta, 2001. Rosyadi, Rahmat, Drs., SH., dan Hartini, Sri, SH., Advokat dan Perpektif Islam dan Hukum Positif. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003. Rahman l. Doi A, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), Jakrta: Raja Grafindo Persada 2002. Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, Bandung : Al-Ma’arif, 1993. ___________ Al Fiqhussunnah, Bairut : Darul Kutub, 1971.
77
Salam, Madkur, Muhammad, Peradilan Damai Islam, Surabaya : PT Bina Ilmu, 1979. Salim, Abdul Mu’in, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, Jakarta : Raja Grapindo Persada, 2002. Silaban, Sintong, Advokat Muda Indonesia: Dialog Tentang Hukum, Politik, Keadilan, HAM, Profesonalisme Advokat dan Lika-liku Keadvokatan, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1992. Syarifuddin, Amir, Prof., Dr. MA., Ushul Fiqh jilid II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001. Sumitro Warkum, Asas-asas PerbankanIslam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI & TAKAFUL) di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997. Toha Putra, Ahmad. Al-Qur’an danTerjemahnya, Semarang : Asy-Syifa, 2000. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Winata, Hendra, Frans, SH., Advokat Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995.