BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perkembangan kebudayaan dalam suatu negara dapat ditunjang oleh masyarakat yang melakukan persebaran kebudayaan dengan cara promosi atau mengenalkannya kepada negara lain. Promosi tersebut tidak hanya berfungsi sebagai penarik minat wisatawan untuk melihat keanekaragaman dan kekayaan budaya yang dimiliki suatu negara, tetapi juga berfungsi sebagai pembangun komunikasi dan public relation dengan negara–negara lain. Salah satu cara mengenalkan kebudayaan yang umum dilakukan oleh berbagai negara yang sedang menjalin kerjasama dengan negara lain adalah dengan menggunakan atraksi budaya yaitu tarian.1 Salah satu contoh negara yang bekerjasama dengan Indonesia dan melakukan persebaran budayanya melalui tarian adalah Jepang. Jepang telah menyebarkan budaya tradisionalnya di Indonesia melalui festival-festival sebagai bentuk perayaan dari sister city atau saudara kembar. Sister city adalah hubungan kerjasama pemerintah kota di Jepang dengan pemerintah kota di Indonesia. Salah satu pelaku sister city ini adalah Kochi dan Surabaya yang telah lebih dari 15 tahun menjalin hubungan kerjasama2. Dalam rangka perayaan sister city setiap tahunnya, Surabaya mengadakan festival Yosakoi dan lomba tari Remo. 1 Tonny Dian Effendi, Diplomasi Publik Jepang, Perkembangan dan Tantangan, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), hal. 2 2 www.surabaya.go.id/sistercity diakses pada tanggal 17 Februari 2013 pukul 11.44 1
2
Pada tahun 1954 pemerintah kota Kochi menyelenggarakan sebuah yosakoi matsuri atau festival yosakoi yang bertujuan untuk mengembalikan semangat aktivitas perdagangan di daerah pertokoan atau shōtengai akibat kacaunya infrastruktur perekonomian pasca perang dunia II yang mengakibatkan resesi ekonomi yang berimbas pada sektor perdagangan serta persediaan kebutuhan akan bahan mentah dan bahan pangan. 3 Selain itu, yosakoi matsuri bertujuan untuk mengalihkan perhatian masyarakat atas musim panas yang tengah melanda, yang biasa disebut mengusir hawa panas atau shokibarai.4 Yosakoi ditarikan dengan cara berjalan di jalan raya dengan menggenggam naruko5 di kedua tangan. Naruko adalah sebuah alat pengusir burung di sawah yang digunakan oleh seluruh petani di Kochi. Pada saat pertama kali festival yosakoi diadakan, masyarakat menarikan seicho atau tarian dasar yosakoi di jalanjalan depan pertokoan menggunakan naruko sebagai alat musik pengiring tarian. Naruko kemudian menjadi ciri khas yang wajib digunakan oleh seluruh penari yosakoi pada festival yosakoi. Berbeda dengan tarian Jepang lain, tarian yosakoi lebih menonjolkan kebebasan berekspresi dalam tiga unsur, yaitu musik atau ongaku, kostum atau ishou,dan tarian atau odori. Walaupun tarian ini lebih menonjolkan kebebasan berekspresi pada musik, kostum, dan tarian, yosakoi tetap memiliki dasar tari dan musik yang merupakan unsur dasar atau unsur aslinya. Tarian dasar yosakoi adalah tari seicho yang 3 Tatsurō, Uchino (translated by Mark A.Harbison), Japan Postwar Economy, An Insiders View Of Its History and Its Future, (Tokyo: Kodansha International Ltd, 1983), hal. 13 dan 37. 4 Yamamoto, Takeshi, Kochiken No Rekishi, (Jepang: Yamakawa, 2001), hal. 5 5 Naruko adalah alat yang apabila digerak-gerakkan akan berbunyi kecrek kecrek
3
ditarikan dengan diiringi lagu yosakoi naruko odori. Kebebasan berekspresi dan berkreasi membuat yosakoi matsuri menjadi salah satu festival atau matsuri besar di Jepang yang diadakan setiap tahun dan diikuti oleh banyak peserta.6 Tercatat peserta yosakoi pada tahun 1954 berjumlah 750 orang dengan 21 kelompok. Jumlah peserta mengalami peningkatan setiap tahun hingga pada tahun 2005 peserta berjumlah 19.000 orang dengan 177 kelompok7. Selain banyaknya jumlah peserta yang mengikuti, yosakoi matsuri juga diadakan di beberapa kota lain di Jepang dan di beberapa negara lain di luar Jepang (wawancara oleh pemerintah kota Kochi via Lalita8), salah satunya adalah Indonesia. Yosakoi pertama kali masuk ke Indonesia tahun 2003 di kota Surabaya. Awalnya pemerintah Jepang bersama pemerintah Indonesia membuat suatu acara yang berjudul Japan Asean Exchange Year pada tahun 2003 di Jakarta. Acara ini bertujuan untuk memperkenalkan budaya Jepang ke negara Asean, salah satunya Indonesia dengan cara pertukaran kebudayaan. Pada saat acara berlangsung, pemerintah Jepang tertarik pada Surabaya yang merupakan salah satu kota besar setelah Jakarta karena adanya mobilitas yang padat oleh pelabuhan besar yang berfungsi sebagai jalan masuknya perdagangan dan transit antar pulau maupun negara. Selain itu, pemerintah kota Surabaya juga telah bekerja sama dengan pemerintah kota Kochi sejak tahun 1997 9 . Pada tanggal 14 September 2003 6 Iwai,Masahiro, Kore ga Kouchi no Yosakoi da! Igosso to Hachikintachi no Atsui Natsu, (Tokyo: Iwata Shoin, 2006), hal. 12-14 7 Ibid, 163-167. 8 Salah seorang staff Konsulat Indonesia yang berada di Osaka 9 www.surabaya.go.id/sistercity diakses pada tanggal 17 Februari 2013 pukul 11.44
4
Festival Yosakoi Surabaya yang dikelola oleh pemerintah kota Surabaya, pemerintah kota Kochi, dan pemerintah Jepang, pertama kali diadakan bertepatan dengan acara peringatan persahabatan kota Kochi dengan Surabaya. Kemudian festival Yosakoi dan tari Remo ditetapkan menjadi agenda tahunan pemerintah kota Surabaya. Konsep yang dihadirkan pada festival Yosakoi Surabaya mengadaptasi dari yosakoi matsuri di Jepang dan diadakan setiap bulan Juli atau Agustus bertempat di taman kota. Kostum dan tarian bebas dikreasikan sesuai keinginan, tetapi lagu yang digunakan hanya satu jenis yaitu yosakoi wacho. Melalui festival yosakoi di Surabaya, pemerintah kota Surabaya mampu menyedot
perhatian
masyarakat
dan
menimbulkan
ketertarikan
untuk
berpartisipasi pada sebagian besar masyarakat yang menyukai seni tari. Beberapa sanggar tari dan kelompok tari di sekolah-sekolah maupun universitas ikut meramaikan acara tersebut. Kegiatan untuk menghadirkan konsep tari yang berbeda setiap tahun pada tarian asing tanpa menghilangkan unsur budaya sendiri merupakan sebuah tantangan bagi para peserta dan merupakan hiburan bagi masyarakat yang melihatnya. Peserta festival tidak dibatasi hanya pada daerah Surabaya dan Jawa Timur saja, tetapi juga dari seluruh Indonesia. Pada tahun 2008 satu kelompok tari dari Yogyakarta ikut berpartisipasi dan di tahun 2010 satu kelompok tari dari Bali juga ikut meramaikan festival ini. Inovasi yang dilakukan semakin bervariasi dengan tidak menghilangkan budaya asli, baik budaya Jepang maupun budaya Indonesia. Perkembangan yosakoi selain di Jawa Timur juga terlihat di Yogyakarta. Pada tahun 2013 di bulan Juli lalu, peserta yang berasal dari Yogyakarta bertambah
5
menjadi dua. Dari sebagian besar masyarakat yang tidak tahu menjadi tahu dan kemudian ditandai dengan bertambahnya komunitas tari yosakoi. Hal tersebut menandakan terjadinya perkembangan yosakoi itu sendiri. Penjelasan mengenai bagaimana perkembangan sebuah hasil dari akulturasi kebudayaan dapat menjadi sebuah sajian yang menarik dan terus berkembang tanpa mengurangi kebudayaan aslinya, dapat menjadi hal yang bermanfaat. Dengan mengetahui bagaimana perkembangan tersebut, maka kreativitas yang menghasilkan inovasi baru tidak akan berhenti. Selain itu, pengetahuan dan wawasan mengenai budaya lain akan semakin luas tidak hanya terbatas pada beberapa bidang saja. Oleh karena itu, dengan menjadikan tari yosakoi sebagai objek, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana latar kemunculan, bentuk perkembangan tari yosakoi di Yogyakarta yang meliputi faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhinya, serta ciri khas tari yosakoi yang ada di Yogyakarta.
1.2 Rumusan Masalah Masalah yang akan dikemukakan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana bentuk perkembangan yosakoi di Yogyakarta (Periode 20132014)? 2. Bagaimana ciri khas yosakoi yang ada di Yogyakarta?
6
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk, 1. Menjelaskan bentuk perkembangan yosakoi di Yogyakarta (Periode 20132014). 2. Menjelaskan ciri khas yosakoi yang ada di Yogyakarta.
1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian tentang yosakoi matsuri pernah dilakukan oleh Desilia Prapdini yang dituangkan dalam skripsi S1 program studi Bahasa dan Sastra Jepang UGM yang berjudul “Adaptasi Festival Yosakoi Di Surabaya” pada tahun 2005. Pada skripsi tersebut dijelaskan tentang awal mula festival Yosakoi di Surabaya, struktur pelaksanaan festival Yosakoi Surabaya, dan adaptasi masyarakat terhadap festival tersebut. Berbeda dengan skripsi tersebut yang lebih fokus kepada matsuri atau festivalnya, penelitian ini akan lebih fokus kepada representasi budaya Jepang yang terdapat pada tari yosakoi. Selain itu, objek penelitian Desilia Prapdini hanya mencakup struktur pelaksanaan festival dengan sedikit perbandingan dengan festival yang ada di Jepang dan bagaimana masyarakat Surabaya bisa menerima adanya festival tersebut, sedangkan penelitian ini akan lebih membahas tentang bagaimana tarian yosakoi bisa masuk di Yogyakarta, bentuk perkembangan yosakoi di Yogyakarta, serta bagaimana ciri khas yosakoi yang ada di Yogyakarta. Tulisan tentang Yosakoi di Yogyakarta juga pernah dilakukan oleh Indah Wahyuni yang dituangkan dalam tugas akhir program diploma bahasa Jepang
7
tahun 2008 dengan Judul “Peran De Japan Odori Holic Terhadap Inovasi Tarian Yosakoi Di Yogyakarta”. Tulisan tersebut lebih menitikberatkan pada deskripsi tentang kelompok tari yosakoi yaitu De Japan Odori Holic yang berisi sejarah dan kegiatannya. Berbeda dengan tugas akhir tersebut, penelitian ini akan lebih spesifik dan secara rinci membahas latar belakang masuknya, bentuk perkembangan yosakoi di Yogyakarta, serta bagaimana ciri khas yosakoi yang ada di Yogyakarta. Selain itu penelitian tentang yosakoi matsuri juga pernah dilakukan oleh Verlinton Waldo yang dituangkan dalam bentuk skripsi S1 program studi Jepang Kekhususan Budaya Universitas Indonesia tahun 2010 dengan judul “Yosakoi Matsuri: Inovasi, Kesinambungan, dan Komersialisasi dalam budaya”. Penelitian tersebut membahas tentang festival yosakoi yang ada di Jepang termasuk inovasi yang dilakukan sehingga festival ini tetap dilaksanakan hingga sekarang. Selain itu penelitian tersebut juga membahas perkembangan festival yosakoi di Jepang yang mengakibatkan munculnya komersialisasi dalam bentuk penjualan produkproduk yang digunakan dalam festival yosakoi seperti naruko dan lain sebagainya, sebagai suatu sarana untuk memperoleh keuntungan pribadi. Akan tetapi skripsi ini hanya membahas festival yosakoi dan inovasi yosakoi yang ada di Jepang saja. Berbeda dengan penelitian tersebut, penelitian kali ini akan lebih spesifik dan secara rinci membahas latar belakang masuknya, bentuk perkembangan yosakoi di Yogyakarta, serta bagaimana ciri khas yosakoi yang ada di Yogyakarta.
8
I.5 Landasan Teori Menurut Kaplan dan Manners 10 , teori digunakan sebagai penyokong dan penjelas fakta yang telah disusun. Teori bersifat spekulatif dan dapat disusun apabila data telah didapatkan sehingga dapat dirumuskan secara relevan. Menurut Calvin S.Hall dan Gardner Linsey via Herawan11, teori adalah beberapa asumsi yang relevan dan beruhubungan satu sama lain yang diciptakan oleh para ahli teori, sehingga teori tidak dapat dilihat benar atau salahnya tetapi digunakan sebagai alat untuk membuat suatu konsep yang relevan dengan faktanya. Koentjaraningrat menyebutkan bahwa ada tujuh unsur pokok dari kebudayaan, antara lain sistem religi, sistem organisasi masyarakat, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup dan sistem–sistem ekonomi, sistem teknologi dan peralatan, bahasa, dan kesenian. Pada penelitian ini akan dibahas salah satu bagian dari tujuh unsur kebudayaan yang disebutkan oleh Koentjaraningrat, yaitu kesenian tari. Menurut Prof.Dr.R.M. Soedarsono via Sumaryono, tari adalah gerak ritmis yang melambangkan ekspresi perasaan manusia yang telah berstilisasi 12 dan berdistorsi 13 . Dr. Sumaryono, M.A dalam bukunya yang berjudul Antropologi Tari tahun 2011 menjelaskan bahwa tari adalah potensi seni yang ada dalam tubuh manusia berupa gerak dan suara. Selain itu, beliau juga menjelaskan bahwa 10 David Kaplan dan Albert A.Manners, Teori Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 27 11 Endang Herawan, “Handout Program Perkuliahan Teori Organisasi”, http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._ADMINISTRASI_PENDIDIKAN/19790712200501 1-NURDIN/HAND_OUT_TEORI_ORGANISASI.pdf diakses pada tanggal 25/02/2014 pukul 19.17 WIB 12 Membuat sesuai dengan norma-norma keindahan. (Op.Cit, hal. 1091) 13 Pemutar balikan suatu fakta, aturan, dsb. (Ibid, hal. 270)
9
dahulu tari lebih banyak digunakan untuk upacara atau ritual keagamaan. Bagi masyarakat zaman dahulu yang menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, tari merupakan sebuah cara komunikasi oleh hamba terhadap dewa-dewa yang disembahnya. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman, teknologi, serta ilmu pengetahuan, tarian tidak hanya berfungsi sebagai ritual keagamaan, tetapi juga berfungsi sebagai hiburan, penyambutan, dan lain-lain.14 Perubahan dan perkembangan yang ada di dalam suatu kebudayaan oleh Koentjaraningrat dibagi menjadi tiga, yaitu akulturasi, asimilasi, dan difusi. Perkembangan tari yosakoi yang menjadi topik penelitian kali ini termasuk dalam kategori akulturasi karena sejak tahun awal dibuatnya yosakoi matsuri, yosakoi dapat diaransemen dengan lagu-lagu lain seperti samba, pop, dan lain sebagainya, namun tetap memasukkan keaslian dari yosakoi itu sendiri. Hal tersebut sesuai dengan pengertian akuturasi yaitu sebuah kelompok masyarakat yang dihadapkan dengan kebudayaan asing yang lambat laun diterima oleh masyarakat tersebut kemudian diolah sedemikian rupa tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli masyarakatnya. 15 Unsur-unsur yang dapat diterima masyarakat pada proses akulturasi antara lain kebudayaan material, teknologi yang hasilnya dapat cepat dirasakan, kebudayaan yang dapat diterima masyarakat, dan kebudayaan yang memiliki sedikit perubahan. Sedangkan unsur yang sulit diterima oleh masyarakat pada proses akulturasi antara lain, kebudayaan yang berdasar pada pola piker masyarakat seperti agama dan ideologi, serta kebudayaan yang mempengaruhi 14 Sumaryono, Op.Cit.,hal. 30 15 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1990), hal. 91
10
proses sosial yang berdampak besar bagi masyarakat, seperti mata pencaharian dan sopan santun16. Tari juga dapat menggunakan sebuah ilmu dasar sosial berupa sosiologi tari, karena tari tidak lepas dari masyarakat dan fungsinya. Seperti yang dijelaskan oleh Prof.Dr.Y.Sumandiyo Hadi dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Tari, tari adalah sebuah bagian dari dinamika sosio-kultural masyarakatnya17. Maksud dari dinamika sosial-kultural masyarakatnya adalah sebuah tarian yang memang muncul dan berkembang di dalam sebuah kelompok masyarakat, yang kemudian menjadi sebuah kebudayaan dengan memiliki beragam fungsinya. Dalam bukunya, profesor Sumandiyo juga menjelaskan fungsi-fungsi tari, antara lain sebagai keindahan, alat komunikasi, hiburan, pendidikan, dan masih banyak lagi.
I.6 Metode Penelitian Data yang diharapkan dalam penelitian ini berupa data gambar dan data deskriptif, bukan data angka, maka digunakan metode penelitian kualitatif. Metode kualitatif adalah metode yang menghasilkan data bersifat deskriptif dengan penekanan penelitian berdasarkan objek dan sesuai dengan fakta yang diteliti 18 . Penelitian ini mengolah data melalui berbagai sumber, baik sumber tertulis maupun lisan. Teknik yang digunakan pada dibagi menjadi tiga tahap,
16 http://temukanpengertian.blogspot.com/2013/09/pengertian-akulturasi.html diakses pada tanggal 14 Maret 2014 pukul 12.35 WIB 17 Sumandiyo Hadi, Sosiologi Tari, (Yogyakarta: penerbit PUSTAKA, 2007), hal. 13 18 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 3
11
yaitu tahap penentuan periode penelitian, pemilihan lokasi dan subjek, serta tahap pengumpulan data.
1.6.1 Periode Penelitian Jangka waktu yang ditetapkan berlakunya penelitian ini adalah selama tahun 2013 sampai 2014. Jangka waktu ini ditentukan karena perkembangan yang terjadi pada suatu kebudayaan tidak berjalan sepanjang waktu dan dapat mengalami naik turun perkembangan dalam prosesnya.
I.6.2 Pemilihan Lokasi dan Subjek Penelitian Penelitian ini bertempat di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan pertimbangan area yang dapat terjangkau oleh peneliti dan merupakan salah satu daerah persebaran yosakoi di Indonesia. Subjek penelitian yang digunakan adalah dua kelompok yosakoi yang hingga saat ini aktif dalam mengembangkan tari yosakoi di Yogyakarta. Awalnya terdapat tiga kelompok yosakoi yang ada di Yogyakarta, tetapi salah satu kelompok lebih fokus pada pengembangan cosplay dibandingkan yosakoi, maka dengan berbagai pertimbangan pada penelitian ini hanya mengambil subjek dua kelompok yosakoi.
I.6.3 Pengumpulan Data Menurut Lofland dan Lofland via Lexy J.Moleong, sumber data utama pada penelitian kualitatif adalah kata dan tindakan seperti wawancara langsung atau melalui video. Sedangkan dokumen atau sumber tertulis seperti buku cetak
12
maupun online, jurnal, majalah, dan data statistik adalah data bantu dan tambahan19. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dan observasi atau pengamatan langsung dua kelompok yosakoi yang ada di Yogyakarta, yaitu De Japan Odori Holic (D’JOH) dan Utsukushii Yosakoi Odori Community (Tsukiyomi). Wawancara yang dilakukan menggunakan dua informan atau narasumber pada masing-masing kelompok, yaitu pendiri atau ketua kelompok dan koreografer20. Materi wawancara yang diajukan meliputi sejarah dan proses terbentuk, keanggotaan, perkembangan tari yosakoi, kendala-kendala yang dihadapi, dan ciri khas yang dimiliki. 1. D’JOH De Japan Odori Holic atau D’JOH adalah kelompok yosakoi yang berdiri pada tahun 2008. Dibentuk oleh beberapa mahasiswa Jepang yang menimba ilmu di Inculs UGM dan beberapa mahasiswa Indonesia yang juga menimba ilmu di UGM. Tetapi, D’JOH tidak terbentuk di bawah naungan UGM sehingga bersifat independen di bawah bimbingan Kato Mami, seorang seniman Jepang yang bertempat tinggal di Magelang. 2. Tsukiyomi Utsukushii Yosakoi Odori Community atau D’JOH adalah kelompok yosakoi yang berdiri pada tahun 2009 di bawah naungan UTY atau
19 Ibid, hal. 62-76 20 Koreografer adalah sebutan bagi orang yang menciptakan koreo atau gerakan dalam sebuah tarian atau pementasan kesenian.
13
Universitas Teknologi Yogyakarta dan didirikan oleh mahasiswa D3 jurusan Bahasa Jepang. Tahap selanjutnya yang dilakukan setelah wawancara adalah observasi atau pengamatan langsung pada tari yosakoi yang dibawakan oleh masing-masing kelompok. Pengamatan langsung dilakukan pada saat latihan rutin dan pengamatan melalui beberapa video pertunjukan. Pengamatan yang dilakukan meliputi gerak tari, kostum, pengetahuan anggota pada yosakoi, dan inovasi serta kreasi yang menimbulkan ciri khas tersendiri. Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Analisis dimulai dengan membaca atau mendengarkan, mempelajari, dan menelaah semua sumber data baik data primer maupun sekunder (data utama maupun data tambahan), kemudian dilakukan penafsiran data melalui penjabaran pada tujuan, prosedur umum, peranan hubungan kunci, peranan introgasi data, dan penggunaan analisis komparatif21.
I.7 Sistematika Penyajian Sistematika penyajian skripsi ini akan dibahas dalam empat bab, yaitu : Bab I berisi tentang pedahuluan, yang didalamnya dijelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
21 Ibid, hal. 190 dan 197
14
Bab II berisi tentang penjelasan bagaimana awal mula munculnya yosakoi di Jepang, kemudian diteruskan dengan penjelasan mengenai bagaimana masuknya yosakoi di Indonesia dan bagaimana masuknya yosakoi di Yogyakarta. Bab III berisi penjelasan mengenai profil dua komunitas yosakoi di Yogyakarta yaitu Tsukiyomi dan DJOH Bab IV merupakan bab yang berisi analisis yang terdiri dari faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi perkembangan yosakoi dan bab V yang merupakan penutup dan kesimpulan.