1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian ini merupakan penelitian tentang tindakan mengancam muka dan responsnya. Yang dimaksud dengan tindakan mengancam muka dalam penelitian ini adalah tindakan yang dapat menjatuhkan harga diri seseorang. Tindakan tersebut mengakibatkan adanya respons dari orang tersebut untuk menyelamatkan harga dirinya. Penelitian ini penting karena harga diri merupakan kebutuhan dasar yang diinginkan manusia setelah kebutuhan psikis yang lain, seperti rasa aman dan cinta, di samping kebutuhan fisik/biologis (Ryckman, 2008:422—426). Manusia akan selalu mempertahankan harga diri dan menyelamatkan harga diri ketika dia terancam oleh pihak lain. Tindakan mengancam muka dapat terjadi dalam proses komunikasi. Bahasa memegang peranan penting dalam komunikasi. Tindakan mengancam muka (TMM) disebut juga dengan facethreatening acts. TMM merupakan suatu bentuk tuturan yang mengancam nama baik pihak lain, menghalangi keinginan pihak lain, membatasi kebebasan orang lain, bahkan menjatuhkan harga diri pihak lain. Di dalam komunikasi, masingmasing penutur harus menghormati nama baik atau harga diri pihak lain. Oleh karena itu, tindak tutur TMM harus sedemikian mungkin dihindari karena dapat merugikan bahkan menjatuhkan harga diri lawan tutur.
1
2
Faktanya, TMM tidak selalu dapat dihindari. Terkadang, pihak satu (selanjutnya disebut P1) dapat mengancam muka pihak lain (selanjutnya disebut P2), misalnya, dengan cara menanyakan hal-hal negatif yang berkaitan dengan diri lawan tutur. Berikut merupakan salah satu contoh adanya tindak ancaman muka oleh P1 dan respons dari P2. Dialog berikut diambil dari “Kabar Petang” di TVOne dengan judul dialog “Nikah Kilat Bupati”. 1) P1 : “Bagaimana mengurus rakyat banyak kalau mengurus rumah tangga saja belum bisa?” P2 : “Ya terima kasih. Saya sangat sadar betul saya bukan manusia sempurna, saya bukan manusia superior (…) Tadi disampaikan saya seolah olah sebagai penjahat, saya katakan ini bagian dari kepentingan politik, tapi itu hanya tahu di permukaan. Yang tahu persis bahwa itu adalah saya sendiri.” (14/KP/021212/NKB/001) Dialog tersebut merupakan dialog antara P1 (pemandu acara) dan P2 (narasumber: Aceng Fikri, mantan Bupati Garut). Konteks pembicaraan dalam dialog tersebut adalah persoalan Aceng, yang pada waktu itu masih menjabat sebagai bupati, menikah dan setelah empat hari menikah, istrinya tersebut diceraikan. Dalam dialog di atas, P1 melakukan TMM dengan memberikan penilaian negatif terhadap hal yang dilakukan P2. P1 menganggap bahwa P2 (sebagai bupati) tidak dapat mengurus rakyatnya. Mendapat ancaman demikian, P2 merespons dengan merendahkan diri dan mengakui bahwa dirinya bukan manusia sempurna yang luput dari salah dan dosa. Tuturan P2 tersebut bermakna tidak literal karena terdapat maksud bahwa P2 berharap masyarakat dapat memaklumi kesalahannya. Selain contoh di atas, terdapat berbagai tindak mengancam muka dan respons yang lain karena hal tersebut sering terjadi dalam komunikasi. Hal yang
3
menarik adalah keadaan tersebut ada dalam talkshow yang ditayangkan di televisi, sehingga pihak terancam akan mencari berbagai cara untuk merespons agar dapat menyelamatkan harga dirinya. Strategi tersebut tentu tidak terlepas dari faktorfaktor luar bahasa, misalnya latar belakang sosial, budaya, ekonomi penutur, kedudukan penutur di masyarakat, dan situasi ketika terancam. TMM dan respons tersebut dapat ditinjau dari kajian pragmatik dan sosiolinguistik.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat tiga rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu: 1. Apa saja bentuk-bentuk TMM? 2. Apa saja bentuk-bentuk respons terhadap TMM? 3. Mengapa muncul bentuk-bentuk TMM dan respons yang berbeda-beda?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan di atas, terdapat tiga tujuan dalam penelitian ini, yaitu: 1. memaparkan bentuk-bentuk TMM, 2. memaparkan bentuk-bentuk respons terhadap TMM, 3. menjelaskan faktor-faktor penyebab munculnya bentuk-bentuk TMM dan respons yang berbeda-beda.
4
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu inventaris kajian pragmatik dan sosiolinguistik, terutama tentang kesantunan berbahasa. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan terhadap masyarakat Indonesia umum dalam hal mengancam muka dan meresponsnya. Seharusnya, dalam berkomunikasi, kita harus berusaha untuk tidak mengancam muka orang lain. Akan tetapi, dalam kondisi dan tujuan tertentu, tindakan tersebut dapat dibenarkan, misalnya ketika menginterogasi seorang tersangka untuk mendapat keterangan yang lengkap. Ketika mendapat TMM
yang dapat
menjatuhkan harga diri,
diperlukan respons
untuk
menyelamatkan harga diri. Kedua tindakan tersebut seharusnya dituturkan dengan cara yang baik dan santun. Hal tersebut merupakan upaya dalam menjaga hubungan antarsesama, terutama dalam komunikasi. Selain itu, hal tersebut merupakan wujud refleksi untuk menjadikan diri penulis, khususnya, dan diri masyarakat Indonesia umumnya menjadi pribadi yang lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat, utamanya dalam berkomunikasi.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini termasuk dalam ranah kajian pragmatik dalam aspek kesantunan berbahasa, khususnya tindakan mengancam muka. Posisi penelitian ini terhadap kajian pragmatik adalah melengkapi kajian pragmatik mengenai tindakan mengancam muka; bahwa selama ini TMM seharusnya dihindari, dalam
5
penelitian ini TMM justru digunakan sebagai karakteristik talkshow di televisi yang mengangkat topik-topik atau permasalahan di Indonesia. Dalam kajian pragmatik, terdapat pembahasan prinsip kesopanan. Salah satu teori dalam prinsip kesopanan adalah teori face-threatening acts (tindakan mengancam muka) dari Brown dan Levinson atau yang disebut TMM, yang di dalamnya terdapat konsep „muka‟. Teori tersebut meliputi TMM dan responsnya. Untuk mendukung analisis, digunakan kajian sosiolinguistik. Dalam kajian sosiolinguistik, terdapat teori mengenai komponen tutur SPEAKING dari Dell Hymes yang dapat digunakan untuk mengkaji faktor yang menyebabkan munculnya bentuk-bentuk TMM dan responsnya. Ruang lingkup yang kedua terkait bahan, data, dan objek penelitian. Bahan penelitian ini adalah dialog-dialog yang diindikasikan memuat adanya TMM dan responsnya. Dialog diambil dari talkshow “Mata Najwa” dan “Prime Time” yang tayang di Metro TV, serta “Suara Anda” dan “Kabar Petang” yang tayang di TV One. Dari dialog-dialog dalam beberapa episode dan segmen, diambil data berupa tuturan yang berisi TMM dan responsnya. Pengumpulan bahan penelitian dilakukan mulai Januari 2015 sampai Maret 2015. Video-video tersebut diunduh dari youtube.com. Terdapat 15 video yang dijadikan bahan. Dari video-video tersebut, berhasil ditranskripsi 252 dialog. Dari 252 dialog tersebut, terdapat 157 dialog yang berisi tuturan TMM. Untuk keperluan analisis, diambil 52 sampel yang dapat mewakili masing-masing ciri khas data.
6
1.6 Tinjauan Pustaka Terdapat beberapa penelitian terkait kesantunan berbahasa. Penelitianpenelitian yang telah dilakukan lebih sering meneliti cara orang memperlakukan orang lain, termasuk cara menyelamatkan muka orang lain, sementara penelitian ini berkaitan dengan tindakan yang justru mengancam muka orang lain. Penelitian ini mengambil lima tinjauan pustaka yang paling dekat dengan objek penelitian. Dari kelima tinjauan pustaka tersebut, belum ada penelitian terkait TMM dan responsnya dalam talkshow di televisi. Kelima penelitian yang sudah dilakukan di atas dapat menjadi acuan pengerjaan penelitian ini mengenai strategi kesopanan dalam berbahasa. Kelima tinjauan tersebut adalah penelitian yang berupa skripsi maupun disertasi yang dilakukan oleh Nadar (2006), Amaroh (2010), Amaliah (2011), Sundus (2012), dan Yuni (2013). Nadar membahas realisasi strategi kesopanan untuk penolakan dalam tuturan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Amaroh mengulas jenis tindak tutur yang mengancam muka dan strategi kesantunanya. Amaliah meneliti kesantunan narasumber dan pembawa acara dalam dialog “Suara Anda”. Sundus melakukan penelitian terkait TMM dan menyimpulkan bahwa strategi TMM dapat mengurangi derajat keburukan Chelsea akibat kekalahan. Yuni melakukan penelitian terkait kesantunan berbahasa dalam “Mata Najwa”. Secara lebih terperinci, kelima penelitian tersebut dipaparkan sebagai berikut. Nadar (2006) melakukan penelitian terkait kesantunan berbahasa dalam disertasinya yang berjudul “Penolakan dalam Bahasa Inggris dan Bahasa
7
Indonesia (Kajian Pragmatik tentang Realisasi Strategi Kesantunan Berbahasa)”. Nadar menemukan adanya perbedaan dan persamaan cara menolak dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Dengan merujuk pada teori Brown dan Levinson terkait strategi kesantunan, Nadar menyimpulkan persamaan cara menolak dalam kedua bahasa tersebut adalah adanya strategi kesantunan berbahasa, yaitu memberikan alasan, membuat penawaran, meminta maaf, dan berterima kasih. Beberapa persamaan maupun perbedaan tersebut dipengaruhi faktor latar belakang budaya, yaitu bahwa orang Indonesia cenderung kolektif dan orang Inggris cenderung individualis. Amaroh (2010) melakukan penelitian tindakan pengancaman muka dalam skripsinya yang berjudul “Tindakan Pengancaman Muka dan Strategi Kesantunan dalam Rubrik „Pembaca Menulis‟ di Harian Jawa Pos (Sebuah Kajian Pragmatik)”. Penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu penelitian terhadap surat aduan dan surat tanggapan. Hasil penelitian Amaroh mengenai surat aduan, ditemukan ada delapan jenis tindak tutur yang mengancam muka negatif lawan tutur, yaitu tindakan memerintah, meminta, memberi saran, memberi nasihat, bertanya, menuntut, menagih janji, dan marah. Sementara itu, tindak tutur yang mengancam muka positif lawan tutur ada empat, yaitu menuduh, mengeluh, mengkritik, dan menghina. Dari surat tanggapan, ditemukan tiga jenis tindak tutur yang mengancam muka negatif, yaitu ucapan terima kasih, pembelaan, dan melakukan janji. Tindak tutur yang mengancam muka positif ada dua, yaitu meminta maaf dan mengakui kesalahan. Cara pengaduan yang lebih efisien adalah
8
dengan cara lebih berterus terang tanpa berupaya menyelamatkan muka (Amaroh, 2010: 154). Amaliah (2011) meneliti kesantunan berbahasa dalam dialog “Suara Anda” di Metro TV. Hasil penelitian tersebut berupa skripsi dengan judul “Strategi Bertutur Pemandu Acara dan Narasumber: Sebuah Analisis Kesantunan Berbahasa dalam Program Dialog „Suara Anda‟ Metro”. Dari hasil penelitiannya, Amaliah menyatakan bahwa strategi kesantunan yang sering digunakan pemandu acara dan narasumber adalah strategi kesantunan positif substrategi menghindari pertentangan dengan cara membatasi pendapat. Pembatasan pendapat tersebut dilakukan sebagai penanda kehati-hatian atas tuturan yang diucapkan dan berimplikasi terbangunnya citra positif di antara keduanya. Prinsip kerja sama Grice dalam maksim kualitas dilanggar dengan tujuan menjaga hubungan sosial. Sundus (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Sikap Menjaga Muka dalam Laporan Pertandingan Kekalahan Chelsea dalam „Bridge Kids‟: Sebuah Analisis Pragmatik” meneliti laporan pertandingan kekalahan Chelsea yang dikhususkan untuk anak-anak. Simpulan dari penelitian tersebut adalah bahwa terdapat maksud-maksud terselubung yang bertujuan untuk melindungi muka Chelsea akibat kekalahan yang didapat. Strategi bald on-record dan positive redressive merupakan strategi yang dominan digunakan. Dengan menggunakan strategi dalam teori face-threatening acts (FTA) derajat keburukan Chelsea akibat kekalahan dapat dikurangi (Sundus, 2012:87). Penelitian mengenai kesantunan berbahasa juga dilakukan oleh Yuni (2013) dengan judul artikel “Kesantunan Berbahasa dalam „Mata Najwa‟
9
(Tinjauan Pragmatik)”. Yuni meneliti kesantunan berbahasa dari segi pembawa acara, yaitu Najwa Shihab sebagai tuan rumah “Mata Najwa”. Dalam simpulannya, Yuni menyebutkan ada lima kelompok tuturan yang dapat dikatakan santun, yaitu tuturan yang (1) menunjukkan sikap menghormati mitra tutur, (2) menunjukkan sikap peduli pada mitra tutur, (3) menunjukkan sikap menghormati orang ketiga, (4) menunjukkan sikap rendah hati, dan (5) menunjukkan sikap percaya pada mitra tutur. Seperti yang telah disebutkan di atas, penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian-penelitian sebelumnya menggunakan sudut pandang pihak pertama (P1) yang harus menaati prinsip kesopanan, termasuk mengurangi kemungkinan mengancam muka atau menyelamatkan muka pihak kedua (P2). Dalam penelitian ini, dicobalah sebuah analisis dari sudut pandang yang berbeda; P1 melakukan TMM dan P2 harus meresponsnya untuk menyelamatkan harga diri yang diancam oleh P1. Hal tersebut diharapkan dapat menjadikan kajian pragmatik dan sosiolinguistik lebih komprehensif.
1.7 Landasan Teori Sebelum membicarakan metode penelitian, perlu dipaparkan beberapa landasan teori untuk menyelaraskan konsep antara penulis dan pembaca. Penelitian ini termasuk dalam ranah kajian pragmatik dan sosiolinguistik. Dalam kajian pragmatik, teori yang dipakai adalah teori dasar tindak tutur dalam pragmatik dan teori tindakan mengancam muka dalam kesantunan berbahasa.
10
1.7.1
Kajian Pragmatik Konsep-konsep dalam pragmatik merupakan konsep dasar yang akan
dijadikan pijakan utama dalam penelitian ini. Dalam proses komunikasi, penutur dan lawan tutur sebaiknya dapat saling menghormati. Pragmatik merupakan kajian eksternal bahasa. Kajian pragmatik tepat digunakan dalam penelitian ini karena terdapat kondisi ancaman muka dan perlunya respons terhadap ancaman muka tersebut. Hal tersebut merupakan salah satu contoh faktor eksternal yang muncul dalam proses komunikasi. Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal; bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi (Wijana dan Rohmadi, 2009:4). Pragmatik mempelajari faktor-faktor yang menentukan pilihan berbahasa seseorang dalam interaksi sosial dan efek dari pilihan tersebut terhadap orang lain (Crystal, 1941:120). Lebih spesifik lagi, Leech (1993:ix) menyatakan bahwa pragmatik merupakan studi mengenai makna tuturan dalam situasi-situasi tertentu. Situasi tersebut meliputi aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tuturan sebagai bentuk tindakan, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Adanya konteks membuat analisis pragmatik tidak mengenal istilah ambigu dan sinonim karena semua makna dapat diketahui dari konteksnya (Purwo, 1990:13). Pragmatik sering kali diperbandingkan dengan semantik. Perbedaan yang mendasar adalah semantik mengkaji makna yang bebas konteks, sementara pragmatik mengkaji makna yang terikat konteks. Di dalam semantik, kita hanya bertanya, “Apa artinya X?” sementara di dalam analisis pragmatik, kita bertanya,
11
“Apa yang Anda maksud dengan X?” (Leech, 1993:8). Oleh Charles Morris (dalam Purwo, 1990:15) semantik diberi batasan sebagai telaah mengenai hubungan formal di antara lambang dan objeknya, sedangkan pragmatik menelaah hubungan di antara lambang dan penafsirnya. Satuan analisis pragmatik bukanlah kalimat, melainkan tindak tutur (Purwo, 1994:84). 1.7.1.1 Teori Tindak Tutur (Speech Acts) Tindak tutur merupakan wujud tuturan yang diucapkan penutur. Teori tindak tutur (speech acts) ini perlu dipaparkan karena teori ini penting untuk menentukan kekhasan TMM dan respons terhadap TMM. Dengan mengetahui teori tindak tutur, dapat ditentukan bentuk-bentuk tindak tutur yang dapat memberi efek ancaman muka sehingga dapat ditentukan bentuk tindak tutur respons terhadap TMM. Tindak tutur berbeda dengan kalimat. Satu tuturan dapat memberi maksud dua atau lebih tindak tutur (Purwo, 1994:84). Ada delapan jenis tindak tutur (dalam Wijana dan Rohmadi, 2009:27—40). Berikut adalah paparan dari delapan jenis tindak tutur tersebut. a. Tindak tutur langsung (La) Tindak tutur langsung merupakan tindak tutur yang modus kalimatnya sesuai dengan maksud tuturan tersebut diucapkan. Modus kalimat berita digunakan untuk maksud memberitakan, modus kalimat bertanya digunakan untuk maksud bertanya, dan modus kalimat perintah digunakan untuk maksud memerintah.
12
b. Tindak tutur tidak langsung (TLa) Tindak tutur tidak langsung merupakan tindak tutur yang modus kalimatnya tidak sesuai dengan maksud tuturan tersebut diucapkan. Modus kalimat berita digunakan untuk maksud bertanya atau memerintah, modus kalimat bertanya digunakan untuk maksud memberitakan atau memerintah. Akan tetapi, modus kalimat perintah tidak termasuk tindak tutur tidak langsung karena tidak ada modus perintah yang digunakan untuk memberitakan atau bertanya. c. Tindak tutur literal (Li) Tindak tutur literal berarti tindak tutur yang makna kata-katanya sesuai dengan maksud tuturan tersebut diucapkan. Kata bangga, misalnya, memiliki makna „besar hati; merasa gagah‟ digunakan untuk maksud memberitakan bahwa dirinya atau lawan tuturnya bangga dengan makna sesungguhnya. d. Tindak tutur tidak literal (TLi) Tindak tutur tidak literal berarti tindak tutur yang makna kata-katanya tidak sesuai dengan maksud tuturan tersebut diucapkan. Kata bagus, misalnya, memiliki makna sebenarnya „baik sekali; elok‟, tetapi digunakan dalam tuturan dengan maksud menyindir atau berarti „buruk sekali‟. e. Tindak tutur langsung literal (La-Li) Ini merupakan jenis tindak tutur kombinasi. Tindak tutur langsung literal berarti tindak tutur yang memiliki maksud sesuai dengan modus kalimatnya dan maknanya sesuai dengan makna kata-kata yang dituturkan. Jika seseorang ingin memerintah, dia akan menggunakan kalimat perintah dan kata-kata yang bermakna perintah, merupakan salah satu contoh tindak tutur langsung literal.
13
f. Tindak tutur langsung tidak literal (La-TLi) Tindak tutur langsung tidak literal berarti tindak tutur yang memiliki maksud sesuai dengan modus kalimat, tetapi makna kata tidak sesuai dengan maksud tuturan. Seseorang memerintah menggunakan kalimat perintah, tetapi bukan dengan kata-kata yang bermakna sesuai perintah yang dimaksud. g. Tindak tutur tidak langsung literal (TLa-Li) Tindak tutur tidak langsung literal berarti tindak tutur yang modus kalimatnya tidak sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang digunakan sesuai dengan makna sebenarnya. Misalnya, seseorang ingin bertanya dengan menggunakan kalimat berita, tetapi kata-kata yang digunakan memiliki makna sebenarnya, bukan kiasan. h. Tindak tutur tidak langsung tidak literal (TLa-TLi) Tindak tutur tidak langsung tidak literal berarti tindak tutur yang modus kalimatnya tidak sesuai dengan maksud tuturan sekaligus kata-kata yang digunakan tidak sesuai dengan makna sebenarnya. Dalam penelitian ini, didapatkan pola penggunaan tindak tutur. Tindak tutur yang sering digunakan sebagai TMM adalah tindak tutur tidak langsung literal (TLa-Li) dan langsung literal (La-Li). Sesuai paparan di atas, TLa-Li merupakan tindak tutur yang tujuan tuturannya tidak sama dengan modus kalimat, tetapi maknanya sama, misalnya, seseorang yang mengancam muka dengan menanyakan kabar buruk dapat menggunakan modus kalimat pernyataan atau sebaliknya. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi efek ancaman muka. Tindak tutur lain yang digunakan adalah La-Li, misalnya, seseorang yang mengancam
14
muka dengan memberi tantangan langsung menggunakan kalimat perintah agar lawan tutur melakukan tantangan. Tindak tutur La-Li lebih sedikit digunakan daripada TLa-Li karena TLa-Li dianggap lebih sopan. Dengan didapatkannya TMM, dapat diperoleh respons terhadap TMM. Pola tindak tutur TMM yang dominan digunakan adalah Tla-Li. Sementara itu, setelah dilakukan pengamtan, diperoleh pola bahwa bentuk tindak tutur dalam respons terhadap TMM yang paling dominan adalah tindak tutur La-TLi. 1.7.1.2 Teori Kesantunan Berbahasa Kesantunan merupakan hal yang penting dalam berkomunikasi. Brown dan Levinson (dalam Rahardi, 2009:27) memberikan konsep bahwa pada dasarnya kesantunan merupakan sebuah upaya penyelamatan muka. Di dalam teori kesantunan berbahasa, terdapat teori face-threatening acts yang berhubungan dengan tindak ancaman muka dan responsnya. Teori tersebut mendasari konsep „muka‟, „ancaman muka‟, dan „respons terhadap ancaman muka. Teori kesantunan berbahasa telah dirumuskan oleh beberapa pakar, di antaranya Lakoff (1972), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978) dan Leech (1983). Masing-masing pakar mendefiniskan prinsip kesantunan secara berbedabeda. Dalam penelitian ini, digunakan teori kesantunan bahasa yang dirumuskan Brown dan Levinson karena dalam teorinya tersebut, mereka memaparkan konsep tentang muka yang berkenaan dengan harga diri seseorang. Teori tersebut tepat digunakan untuk menganalisi tindakan tuturan dalam talkshow di televisi. Muka di sini berarti harga diri setiap orang yang harus dipertimbangkan oleh setiap peserta pertuturan
(Wijana
dan
Rohmadi,
2009:132).
Yule
(2006:102—120)
15
mengistilahkan muka dengan wajah yang memiliki arti wujud pribadi seseorang dalam masyarakat; mengacu pada makna sosial dan emosional yang setiap orang memiliki dan mengharapkan orang lain untuk mengetahui. Di dalam interaksi sosial, penutur memiliki keinginan untuk dihormati karena mereka memiliki konsep „muka‟ yang diartikan sebagai citra diri yang harus diperhatikan oleh lawan tutur (Wijana dan Rohmadi, 2009:59). Oleh Brown dan Levinson, muka dibagi menjadi dua, yaitu muka negatif dan positif. Brown dan Levinson (1978:66) mendefinisikan muka negatif dan positif sebagai berikut. Negative face: the basic claims to territories, personal preserves, rights to non-distraction, in example to freedom of action and freedom from imposition. Positive face: the positive consistent self-image or „personality‟ (crucially including the desire that this self-image be appreciated and approved of) claimed by interactants. Muka negatif berarti keinginan warga masyarakat agar tindakannya tidak dihalang-halangi oleh pihak lain, muka positif berarti keinginan warga masyarakat agar dirinya dapat diterima oleh pihak lain (Nadar, 2006:2). Muka positif merupakan citra diri, ide-ide, atribut-atribut, milik, prestasi, yang dimiliki seseorang dihargai atau diakui oleh lawan tuturnya sebagai hal yang baik (Purwo, 1994:90; Wijana dan Rohmadi, 2009:60). Muka positif juga berarti kebutuhan untuk diterima, disukai orang lain, diperlakukan sebagai anggota dari kelompok yang sama, dan mengetahui bahwa keinginannya dimiliki bersama dengan yang lainnya (Yule, 2006:102—120). Muka negatif merupakan citra diri seseorang yang ingin dihargai dengan cara dibiarkan bebas melakukan tindakan, keinginan
16
untuk tidak diejek, diserang, atau dihinakan oleh lawan tuturnya (Purwo, 1994:90; Wijana dan Rohmadi, 2009: 60). Pada praktiknya, teori Brown dan Levinson berfokus pada tindakan mengancam muka dan strategi kesopanan untuk mengurangi ancaman muka tersebut (Leech, 2014:33). Menurut Brown dan Levinson (dalam Purwo, 1994:90), sebuah tindak tutur dapat merupakan ancaman terhadap muka. Mereka menyebutnya sebagai face-threatening act (FTA) atau tindakan mengancam muka. Tindakan mengancam muka ialah jika seorang penutur mengatakan sesuatu yang mengandung suatu ancaman terhadap harapan-harapan individu lain berkenaan dengan nama baiknya sendiri (Yule, 2006:103). Tindakan yang tidak santun adalah tindakan yang menghambat atau menghalangi keinginan dan kehendak seseorang (Rahardi, 2009:27). Karena muka terdiri atas muka positif dan muka negatif, tindakan yang melanggar muka dapat dibedakan menjadi dua. Nadar, setelah mencermati konsep muka dari Brown dan Levinson, menguraikan bentukbentuk tindakan yang melanggar muka positif dan muka negatif (dalam Rahardi, 2009:27). Tindakan yang melanggar muka negatif adalah sebagai berikut. (1)
Ungkapan yang menunjukkan perintah dan permintaan, saran, nasihat, peringatan, ancaman, tantangan; merupakan TMM yang dilakukan P1 untuk menekan P2 melakukan sesuatu seperti yang diinginkan oleh P1, misalnya, tindakan perintah“Tolong tutup pintu itu!”,
tindakan saran “Sebaiknya
Anda menutup pintu itu,” tindakan ancaman, “Jika Anda ingin selamat, tutup pintu itu!”
17
(2)
Ungkapan tentang tawaran, janji; merupakan ungkapan yang menunjukkan tindakan P1 yang menekan P2 untuk menerima atau menolak sesuatu, misalnya, “Anda mau memesan menu A atau B?”
(3)
Ungkapan tentang pujian, ungkapan perasaan negatif yang kuat seperti kebencian dan kemarahan; merupakan ungkapan yang menunjukkan tindakan P1 yang menginginkan sesuatu yang dimiliki P2 dan menginginkan agar P2 memberikannya pada P1, misalnya, “Sepatu Anda bagus sekali, seandainya saya dapat memilikinya.” Tindakan yang melanggar muka positif adalah sebagai berikut. Masing-
masing bentuk TMM berikut diterangkan lebih terperinci pada bab selanjutnya yang memaparkan bentuk-bentuk TMM beserta contoh dan analisisnya. (1) ungkapan
ketidaksetujuan,
kritik,
tindakan
merendahkan
atau
mempermalukan, keluhan, kemarahan, dakwaan, penghinaan; (2) ungkapan tentang pertentangan, ketidaksetujuan, tantangan; (3) ungkapan tentang emosi yang tidak terkontrol yang membuat orang lain merasa dibuat takut atau dipermalukan; (4) ungkapan yang tidak sopan, penyebutan hal-hal yang bersifat tabu atau yang tidak selayaknya dalam situasi tertentu; (5) ungkapan tentang kabar buruk mengenai lawan tutur, menyombongkan berita baik, tidak memedulikan perasaan lawan tutur; (6) ungkapan yang memecah-belah pendapat seperti masalah politik, ras, agama, pembebasan wanita;
18
(7) ungkapan yang menunjukkan ketidak-kooperatifan, misalnya menyela pembicaraan; (8) ungkapan tentang sebutan atau menunjukkan status lawan tutur pada perjumpaan pertama yang membuatnya tidak senang. Di dalam interaksi sosial, kita harus mengakui bahwa terkadang terdapat tuturan-tuturan yang dapat mengancam muka atau yang disebut tindakan mengancam muka (Cutting, 2008:43). Ketika tuturan mengancam muka terpaksa diucapkan, ada beberapa strategi kesantunan yang dapat dipakai untuk memperbaiki tuturan tersebut. Brown dan Levinson menyebutnya strategi positif dan strategi negatif (dalam Wijana dan Rohmadi, 2009:135). Dalam analisis ini, strategi tersebut dilihat dari sudut pandang teori tindak tutur.Kajian pragmatik, utamanya kesantunan berbahasa teori tindakan mengancam muka yang telah dipaparkan di atas digunakan untuk menganalisis bentuk-bentuk TMM dan responsnya. Dengan demikian, rumusan masalah pertama dan kedua dapat terjawab.
1.7.2 Kajian Sosiolinguistik Kajian kedua yang dipakai adalah kajian sosiolinguistik. Kajian ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah ketiga yaitu faktor-faktor peyebab munculnya TMM dan responsnya dalam talkshow di televisi. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia tidak lagi sebagai individu, tetapi sebagai masyarakat sosial. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya (Wijana dan Rohmadi,
19
2006:7). Situasi dan kondisi yang tidak terpisahkan dari perkembangan tersebut menjadi dasar munculnya kajian sosiolinguistik. Fokus studi sosiolinguistik adalah bahasa dan
dimensi kemasyarakatan (Ohoiwutun, 1996:9). Sosiolinguistik mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor sosial (Nababan, 1986:2). Sementara itu, Chaer dan Agustina (2010:2) menyatakan bahwa sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antardisiplin (sosiologi dan linguistik) yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa dalam masyarakat. Wardhaugh (1986:12) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai berikut. “Sosiolinguistics will be concerned with investigating the relationship between language and society with the goal of a better understanding of the structure of language and of how languages function in communication.” Ahli bahasa banyak yang merumuskan pengertian sosiolinguistik dan topik-topik di dalamnya. Hymes memperkenalkan sebuah istilah ethnography of speaking kemudian mengubahnya menjadi ethnography of communication dengan pendekatan baru untuk memahami penggunaan bahasa (Johnston dan Marcellino, 2010:3--4). Dell Hymes menandai bahwa terjadinya peristiwa tutur antara penutur dan mitra tutur dipengaruhi oleh faktor-faktor. Agar mudah diingat, dia menyebutnya dengan SPEAKING, yaitu setting,
participant, ends, act, key,
instrumentalities, norm, dan genre (Wijana dan Rohmadi, 2006:9). Berikut adalah paparan masing-masing faktor tersebut.
20
1.7.2.1 Setting “Setting including the time and place, physical aspects of the situation such as arrangement of furniture in the classroom (Hymes dalam Johnston dan Marcellino, 2010:7). Setting mencakup waktu dan tempat, aspek psikologis dari situasi tertentu. Secara ringkas, setting mencakup latar dan suasana. Latar mengacu pada waktu dan tempat terjadiya tindak tutur dan biasanya mengacu kepada keadaan fisik. Suasana mengacu pada latar psikologis, atau batasan budaya tentang suatu kejadian sebagai suatu jenis suasana tertentu (Sumarsono dan Patana, 2007:326—335). 1.7.2.2 Participant Participant dipakai untuk menunjuk kepada minimal dua pihak dalam bertutur. Participant melibatkan dua dimensi sosial manusia, yakni dimensi horizontal
(menyangkut hubungan penutur dan mitra tutur yang terbangun
sebelumnya) dan dimensi vertikal (berkaitan dengan masalah umur, kedudukan, status sosial, dan semacamnya (Rahardi, 2001:29—31). Dalam penelitian ini, penutur (P1) adalah pemandu acara, mitra tutur (P2) adalah narasumber, dan pendengar (P3) adalah publik/penonton. 1.7.2.3 Ends Ends adalah maksud atau tujuan pembicaraan (Wijana dan Rohmadi, 2006:9). “Ends including the purpose of the event itself as well as the individual goals of the participants (Hymes dalam Johnston dan Marcellino, 2010:7).” Masing-masing partisipan dapat memiliki ends yang berbeda.
21
1.7.2.4 Act Bentuk pesan menyangkut cara sesuatu itu (topik) dikatakan atau diberitakan. Keterampilan bertutur merupakan prasyarat bagi seseorang untuk mengungkapkan sesuatu karena itu perlu dipelajari oleh tiap peseta tutur. Isi pesan berkaitan dengan persoalan apa yang dikatakan, menyangkut topik dan perubahan topik. Peserta tutur tentu tahu apa yang sedang dipercakapkan orang, dan kapan yang dikatakan itu berubah, serta bagaimana mempertahankan topik itu menjadi bahan pembicaraan (Sumarsono dan Patana, 2007:326—335). 1.7.2.5 Key Key atau kunci mengacu pada cara, nada, atau jiwa (semangat) tindak tutur dilakukan. Kunci serupa dengan modalitas dalam kategori gramatika (Sumarsono dan Patana, 2007:326—335). Nada bisa santai, serius, tegang, kasar, dan sebagainya (Rahardi, 2001:29—31). 1.7.2.6 Instrumentalities Instrumentalities yaitu alat yang digunakan untuk menyampaikan tuturan (Wijana dan Rohmadi, 2006:9). Menunjuk kepada saluran tutur (channel) dan bentuk tutur (form of speech). Saluran tutur adalah alat yang digunakan untuk meunculkan tuturan agar sampai pada mitra tutur. Sarana yang dimaksud dapat berupa saluran lisan, tertulis, bahkan sandi atau kode tertentu. Bentuk tutur dapat berupa bahasa, termasuk dialek dan variasi bahasa yang lain (Rahardi, 2001:29— 31).
22
1.7.2.7 Norm Terdiri atas norma interaksi dan norma interpretasi. Norma interaksi merupakan perilaku khas dan sopan santun tutur yang mengikat yang berlaku dalam kelompok masyarakat (Sumarsono dan Patana, 2007:326—335). Norma interpretasi memungkinkan pihak-pihak terlibat untuk memberikan interpretasi terhadap mitra tutur. Norma interpretasi berkaitan erat dengan sistem kepercayaan masyarakat tutur tersebut (Rahardi, 2001:29—31). 1.7.2.8 Genre Genre menunjuk kepada jenis kategori kebahasaan yang sedang dituturkan. Genre menyangkut kategori wacana seperti percakapan, cerita, pidato, dan semacamnya. Orang yang berpidato berbeda dengan orang yang bercerita (Rahardi, 2001:29—31). Hymes mengatakan bahwa genre sering terjadi bersamasama dengan peristiwa tutur tetapi harus tetap diperlakukan berbeda dari peristiwa tutur. Keduanya bisa terjadi dalam peristiwa berbeda (dalam Sumarsono dan Patana, 2007:326—335).
1.8 Metode Penelitian Metode penelitian menurut tahapan strategi terdiri atas tiga tahapan, yaitu metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode pemaparan hasil analisis data (Sudaryanto, 1986:57). Berikut adalah metode yang dilakukan dalam penelitian ini.
23
1.8.1 Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode simak dengan teknik simak bebas libat cakap. Artinya, tidak ada keterlibatan langsung untuk menentukan pembentukan dan pemunculan calon data kecuali hanya sebagai pemerhati (Kesuma, 2007:46). Dialog-dialog yang disimak adalah dialog yang ada dalam beberapa video talkshow “Mata Najwa” dan “Prime Time” yang tayang di Metro TV, serta “Suara Anda” dan “Kabar Petang” yang tayang di TV One. Acara talkshow tersebut dipilih karena adanya indikasi ciri khas dialog yang memuat TMM dibanding acara talkshow lain yang ada di televisi. Video tersebut diunduh melalui youtube.com. Pengumpulan video tersebut dilakukan dari bulan Januari 2015 sampai bulan Maret 2015. Setelah mengunduh video-video tersebut, setiap dialog yang ada dalam talkshow didengarkan dengan saksama. Selanjutnya, digunakan teknik lanjutan berupa teknik catat. Dialog-dialog tersebut ditranskripsi sehingga didapat data tertulis. Transkripsi yang digunakan adalah transkripsi ortografis. Pengumpulan data diakhiri dengan klasifikasi data atau pengelompokkan kartu data (Sudaryanto, 1988:6). 1.8.2 Metode Analisis Data Setelah dialog-dialog tersebut terkumpul, langkah selanjutnya adalah analisis data. Metode analisis data yang digunakan adalah metode padan pragmatis. Metode padan pragmatis merupakan metode padan yang alat penentunya lawan tutur (Kesuma, 2007:49). Metode ini digunakan untuk
24
mengidentifikasi tuturan yang digunakan untuk ancaman muka dan respons terhadap TMM. Untuk keperluan tersebut, digunakan teknik pilah unsur tertentu. Mula-mula, dialog-dialog yang telah terkumpul diidentifikasi jenis kalimatnya atau modus kalimatnya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan daya pilah pragmatis, yaitu dengan melihat reaksi lawan tutur (P2) terhadap tuturan penutur (P1). Modus kalimat menentukan jenis tuturan langsung atau tidak langsung dengan melihat maksud kalimat tersebut dituturkan. Setelah itu, dilihat makna kata dalam tuturan sesuai atau tidak dengan maksud tuturan. Hal tersebut menentukan jenis tindak tutur literal atau tidak literal. Apabila hal itu telah dilakukan, dapat diketahui jenis tindak tutur dalam setiap tuturan dalam semua dialog yang terkumpul. Setelah mengetahui jenis tindak tutur masing-masing tuturan, dipilah tuturan yang dapat memberi efek ancaman muka berdasarkan teori ciri tuturan yang dapat mengancam muka. Dari tuturan yang dapat memberi efek ancaman muka, diperoleh bentuk-bentuk TMM sehingga dapat menjawab rumusan masalah pertama. Selanjutnya, setelah mengetahui bentuk-bentuk TMM, dapat diketahui pula bentuk respons terhadap TMM. Analisis terhadap respons TMM dilakukan dengan cara yang sama dalam analisis TMM. Analisis tersebut menjawab rumusan masalah yang kedua. Untuk menjawab rumusan masalah yang ketiga, yaitu faktor yang mempengaruhi strategi respons terhadap TMM, digunakan analisis SPEAKING Dell Hymes dalam kajian sosiolinguistik. SPEAKING terdiri atas komponen tutur yang berupa tempat, waktu, suasana tuturan, partisipan, tujuan atau maksud, pokok tuturan, kunci tuturan, instrumen, norma-norma, dan jenis tuturan. Tahapan
25
kedua berakhir dengan penemuan kaidah (Sudaryanto, 1986:58) tentang TMM dan responsnya. 1.8.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data Setelah dianalisis, selanjutnya adalah tahap penyajian hasil analisis data. Metode penyajian yang dilakukan adalah metode formal dan informal. Metode formal digunakan dengan menampilkan tabel untuk menunjukkan hasil analisis. Selanjutnya, metode informal digunakan untuk menguraikan hasil analisis data dan menjelaskan tabel dengan kata-kata. Metode informal tersebut digunakan untuk memudahkan pemahaman paparan penelitian.
1.9 Sistematika Penyajian Setiap hasil penelitian tentu perlu disajikan dalam bentuk pelaporan karya. Penelitian ini akan disajikan dalam lima bab. Bab 1 berisi bab pendahuluan. Dalam bab ini terdapat sembilan subbab, yaitu latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, data dan metode penelitian, serta sistematika penyajian. Bab II membahas bentuk-bentuk TMM dengan empat subbab yang merupakan paparan dari masing-masing bentuk tersebut. Bab III berisi bentuk-bentuk respons terhadap TMM dengan empat subbab yang merupakan paparan dari masingmasing bentuk respons terhadap TMM. Bab IV membahas faktor yang menyebabkan munculnya bentuk-bentuk TMM dan respons terhadap TMM dengan lima subbab. Bab 5 merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.