BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental orang tersebut. Terdapat kaitan yang erat antara status gizi dan konsumsi makanan. Tingkat status gizi optimal akan tercapai apabila kebutuhan zat gizi optimal terpenuhi. Status gizi merupakan salah satu indikator dalam menentukan derajat kesehatan anak. Status gizi yang baik dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak untuk mencapai kematangan yang optimal. Sebagai penerus generasi bangsa, anak-anak Indonesia membutuhkan perhatian khusus dalam masalah kesehatannya (Nurlinda, 2013). Dalam penelitian yang dilakukan di Sudan terhadap anak-anak usia 19-24 bulan, ditemukan sebesar 40% anak mengalami KEP (Kekurangan Energi Protein) ringan, 6,0% KEP sedang, dan sebesar 3,3% berada dalam kategori berat. Salah satu penyebabnya adalah pemilihan makanan yang kurang bervariasi (Abdalla et.al 2009 dalam Nurlinda, 2013). Selain itu dari penelitian yang dilakukan di pedesaan Uganda, yang melibatkan 270 anak berusia dua tahun kebawah didapatkan sebesar 40% anak termasuk dalam kategori kerdil (stunting) dan hampir 20% kekurangan berat badan
1
2
(Wamani et al, 2009). Di Indonesia, berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010, masih terdapat 5,2% baduta yang menderita gizi buruk, 12,1% mengalami gizi kurang dan 35,6% balita yang stunting. Stunting merupakan hasil ukur status gizi bayi yang terlihat dari indikator tinggi badan menurut umur (TB/U). Indikator TB/U menggambarkan status gizi yang sifatnya kronis, artinya muncul sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti kemiskinan, pola asuh yang tidak tepat, sering menderita penyakit infeksi secara berulang karena higiene dan sanitasi yang kurang baik. Stunting adalah kegagalan untuk mencapai pertumbuhan yang optimal, diukur berdasarkan TB/U (tinggi badan menurut umur). Pertumbuhan balita sebaiknya tidak hanya tertuju pada berat badan. Tinggi badan juga menjadi perhatian, sehingga dapat diketahui secara dini apabila anak mengalami stunting (pendek) (Setiawan, 2010). Stunting akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembangan anak. Faktor dasar yang menyebabkan stunting dapat menggangu pertumbuhan dan perkembangan intelektual. Penyebab dari stunting adalah berat bayi lahir rendah, ASI yang tidak memadai, makanan tambahan yang tidak sesuai, diare berulang, dan infeksi pernafasan. Berdasarkan penelitian sebagian besar anak-anak dengan stunting mengkonsumsi makanan yang berada dibawah ketentuan rekomendasi kadar gizi, berasal dari keluarga miskin dengan jumlah keluarga banyak, bertempat tinggal di wilayah pinggiran kota dan komunitas pedesaan (Gibson, RS, 2005). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Aceh tahun 2011 diketahui bahwa jumlah bayi adalah 1763 bayi dan yang BBLR sebanyak 267 (15,14%) bayi.
3
Sementara di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Tahun 2012 didapatkan data jumlah ibu bersalin 1682 orang, 1579 (93,88%) bayi lahir dengan BBLN, 103 (6,12%) bayi lahir dengan BBLR. Sedangkan bulan Januari sampai Juni 2013 didapatkan data jumlah ibu bersalin 510 orang, 426 (83,53%) bayi lahir dengan BBLN, 84 (16,47%) bayi lahir dengan BBLR. Bayi BBLR umumnya akan mengalami kehidupan masa depan yang kurang baik. Bayi BBLR mempunyai resiko lebih tinggi untuk meninggal dalam lima tahun pertama kehidupan. Apabila tidak meninggal pada awal kehidupan, bayi BBLR akan tumbuh dan berkembang lebih lambat. Keadaan tersebut akan lebih buruk lagi jika bayi BBLR kurang mendapatkan ASI eksklusif dan makanan pendamping ASI, baik kualitas maupun kuantitas. Pada akhirnya bayi yang lahir dengan BBLR akan menjadi balita yang mempunyai status gizi kurang dan buruk. Balita yang kurang gizi biasanya akan mengalami hambatan pertumbuhan dan perkembangan (Hadi, 2005). Hasil penelitian Rahayu, LS (2011), ada hubungan antara kejadian BBLR, premature, dan panjang badan lahir kurang dengan kejadian stunting pada usia 6-12 bulan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan juga menunjukkan bahwa bayi yang BBLR beresiko memiliki status gizi kurang pada usia 1-5 tahun dibandingkan yang tidak BBLR, penelitian yang lain juga menyebutkan bahwa anak yang BBLR pertumbuhan dan perkembangannya lebih lambat dari anak dengan BBLN terlebih lagi bila diperburuk oleh kurangnya asupan energi dan zat gizi, pola asuh yang kurang baik dan sering menderita penyakit infeksi (Mugni, 2012).
4
Stunting dapat mengindikasikan bahwa telah terjadi retardasi pertumbuhan akibat defisiensi zat gizi saat dalam kandungan, artinya ibu yang kurang gizi sejak awal kehamilan hingga lahir akan beresiko melahirkan anak BBLR yang juga beresiko menjadi stunting. Salah satu studi yang dilakukan di kelurahan Tamamaung Makassar menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting terhadap balita di kelurahan tersebut artinya balita yang lahir dengan berat badan rendah berpeluang menjadi pendek dibandingkan dengan balita yang lahir dengan berat badan normal (Mugni, 2012). Stunting yang terjadi pada masa anak merupakan faktor risiko meningkatnya kematian, kemampuan kognitif, dan perkembangan motorik yang rendah serta fungsifungsi tubuh yang tidak seimbang (Allen & Gillespie, 2001). Berdasarkan hasil penelitian Mandez dan Adair (1999), perubahan status stunting berhubungan dengan umur. Stunting yang terjadi pada usia 7-12 bulan, hanya 9,5 % yang berubah menjadi normal pada saat berusia 2 tahun. Peneliti di Peru menemukan prevalensi stunting meningkat sebesar 9,7% pada anak usia 15 bulan dibandingkan pada anak usia 12 bulan (Marquis et al.,1997) sedangkan Martorell (1994) sebagian besar stunting terjadi pada usia 2-3 tahun. Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada masamasa emas ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya dan sulit diperbaiki. Seiring dengan bertambahnya umur, asupan zat gizi yang lebih rendah dibandingkan kebutuhan, serta tingginya beban penyakit infeksi pada awal kehidupan, maka sebagian besar bayi di Indonesia terus mengalamai penurunan status gizi dengan puncak penurunan pada umur kurang lebih 18-24 bulan. Pada kelompok
5
umur inilah prevalensi balita kurus (wasting) dan balita pendek (stunting) mencapai titik tertinggi. Setelah melewati umur 24 bulan, status gizi balita umumnya mengalami perbaikan meskipun tidak sempurna (Hadi, 2005). Status gizi dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang menjadi dasar pemenuhan tingkat kebutuhan gizi seseorang meliputi asupan zat gizi dan penyakit infeksi (Almatsier, 2001). Faktor eksternal yang mempengaruhi status gizi yaitu pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, memberi kasih sayang, menyediakan waktu dan sebagainya (Soekirman, 2000). Berdasarkan Data Riskesdas tahun 2010 persentase pola menyusui pada bayi umur 0 bulan adalah 39,8% menyusui eksklusif, 5,1% menyusui predominan, dan 55,1% menyusui parsial. Persentasi menyusui eksklusif semakin menurun dengan meningkatnya kelompok umur bayi. Pada bayi yang berumur 5 bulan menyusui eksklusif hanya 15,3%, menyusui parsial 83,2%. Rendahnya pemberian ASI merupakan ancaman bagi tumbuh kembang anak yang akan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan kualitas sumber daya manusia secara umum. Masalah gizi kurang juga berkaitan dengan faktor umur dan jenis kelamin. Umur anak enam bulan merupakan titik awal timbulnya masalah gizi kurang, hal ini disebabkan karena pada usia enam bulan kandungan zat gizi ASI sudah mulai berkurang, sedangkan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) tidak mencukupi (Tarigan, 2003 dalam Arnisam 2006). Penelitian Anggiana et al
6
(2013), pemberian ASI Eksklusif secara klinis berpengaruh terhadap pertumbuhan anak, dimana anak yang stunting banyak ditemukan pada mereka yang tidak memberikan ASI Ekslusif. Anak yang tidak diberikan ASI Eksklusif memiliki resiko 3,4 kali lebih besar untuk menjadi stunting dibandingkan dengan anak yang yang diberi ASI Eksklusif (OR=3,4). Pemberian MP-ASI harus diberikan kepada anak sejak usia 6 bulan karena dengan ASI saja (jumlah dan komposisi ASI mulai berkurang) tidak mampu mencukupi kebutuhan anak. Pada anak umur 1-2 tahun, ASI hanya berfungsi sebagai pendamping makanan utama. Namun, ASI tidak harus digantikan oleh makanan utama. Pemberian ASI dan Makanan Pendamping ASI yang terlalu dini juga berhubungan dengan kejadian stunting pada anak (Adair & Guilkey, 1997). Gizi seimbang bagi anak usia 0-2 tahun dimulai sejak konsepsi sampai dua tahun pertama lahir, masa ini adalah masa kritis, periode ini, sel-sel otaknya sudah mencapai lebih dari 80%. Oleh sebab itu periode ini merupakan masa kritis bagi komponen otak yang bertanggung jawab terhadap kecerdasan anak, yang hanya terjadi sekali seumur hidup dan tak akan berulang. Bila anak dalam periode ini mengalami kekurangan gizi yang diperlukan otak, perkembangan otak dan kecerdasannya akan terpengaruh. Kekurangan gizi pada masa kehidupan ini perlu perhatian serius. Pola makan dengan gizi seimbang, bayi akan tumbuh dan berkembang secara optimal, termasuk kecerdasannya. Kurang perhatian orang tua khususnya ibu pada periode kritis ini, kegagalan tumbuh kembang optimal akan terbawa terus sampai dewasa secara permanen. Bila pola pemberian ASI tidak benar
7
atau MP-ASI tidak mencukupi kebutuhan zat gizi yang diperlukan tubuh, bayi akan mengalami gangguan pertumbuhan (WHO, 2010). Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orangtua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer seperti makanan maupun yang sekunder. Tingkat penghasilan juga ikut menentukan jenis pangan yang akan dibeli dengan adanya tambahan penghasilan. Orang miskin membelanjakan sebagian besar untuk serealia, sedang orang kaya membelanjakan sebagian besar untuk hasil olah susu (Andriani, M et al, 2012). Pilihan seseorang terhadap jenis dan kualitas makanan turut dipengaruhi oleh status sosial dan ekonomi. Penghasilan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas makanan. Peningkatan jumlah penghasilan memiliki pengaruh terhadap perbaikan kesehatan dan gizi (Andriani, M et al, 2012). Prevalensi kependekan terlihat semakin menurun dengan meningkatnya status ekonomi rumah tangga, prevalensi tertinggi yaitu 45,6% terlihat pada keadaan ekonomi rumah tangga yang terendah, dan prevalensi terendah yaitu 21,7% pada keadaan ekonomi rumah tangga yang tinggi. Sedangkan menurut tempat tinggal prevalensi anak kependekan diperkotaan sebesar 29,3% lebih rendah dari anak di pedesaan yaitu 41,5% (Riskesdas, 2010). Survey Kesehatan Nasional 2008 menunjukkan bahwa sebanyak 37% balita dengan tinggi badan dibawah standar (stunting). Di Asia, angka kejadian stunting tinggi yaitu 36% dengan prevalensi kejadian tertinggi di kawasan Asia Selatan. Di Asia Selatan, setengah dari jumlah total anak dibawah 5 tahun mengalami stunting,
8
dimana sekitar 61 juta dari jumlah total anak dibawah 5 tahun mengalami stunting terjadi di India (UNICEF, WFP, WHO, 2010). Oleh karena itu, mengatasi balita pendek menjadi salah satu perhatian dalam tujuh program Millenium Development Goals (MDGs). Pemerintah Indonesia pada tahun 2015 menargetkan angka balita pendek turun menjadi 18%. Prevalensi stunting secara Nasional pada tahun 2013 adalah 37,2% dimana terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan tahun 2007 (36,8%). Prevalensi pendek sebesar 37,2% terdiri dari 18,0% sangat pendek dan 19,2% pendek. Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sekitar 30-39% dan serius bila prevalensi pendek ≥ 40%. Sebanyak 14 propinsi termasuk kategori berat salah satunya yaitu provinsi Aceh yang berada pada urutan ke tujuh, dengan prevalensi stunting 41% (Riskesdas, 2013). Berdasarkan hasil pemantauan status gizi pada bulan November 2013 di Kecamatan Ulee Kareng ditemukan gizi kurang 15,8%, gizi buruk 1,8% dan gizi lebih 4,1%. Prevalensi stunting di kecamatan Ulee Kareng adalah 29,3% (Dinkes Kota Banda Aceh, 2013). Dilihat dari angka prevalensi stunting di tingkat provinsi Aceh maupun kotamadya Banda Aceh dan kecamatan Ulee Kareng masih diatas ambang batas (cut off point) yang telah disepakati secara universal, dimana apabila masalah stunting diatas 20% maka masih merupakan masalah kesehatan masyarakat (Kemenkes RI, 2010).
9
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang permasalahan diatas, maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah faktor apa saja yang mempengaruhi kejadian stunting pada anak usia 12-24 bulan di kecamatan Ulee Kareng kota Banda Aceh Tahun 2013 ?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada anak usia 12-24 bulan di kecamatan Ulee Kareng kota Banda Aceh tahun 2013. 1.3.1. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui pengaruh berat badan lahir rendah (BBLR) terhadap kejadian stunting pada anak usia 12-24 bulan. 2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian ASI Eksklusif terhadap kejadian stunting pada anak usia 12-24 bulan. 3. Untuk mengetahui pengaruh pendapatan keluarga terhadap kejadian stunting pada anak usia 12-24 bulan. 4. Untuk mengetahui pengaruh riwayat penyakit infeksi terhadap kejadian stunting pada anak usia 12-24 bulan. 5. Untuk mengetahui pengaruh pola asuh makan dan pola asuh perawatan kesehatan terhadap kejadian stunting pada anak usia 12-24 bulan.
10
1.4 Hipotesis Ada pengaruh riwayat berat badan lahir rendah (BBLR), pemberian ASI Eksklusif, pendapatan keluarga, riwayat penyakit infeksi, pola asuh makan dan pola asuh perawatan kesehatan terhadap kejadian stunting pada anak usia 12-24 bulan di kecamatan Ulee Kareng kota Banda Aceh tahun 2013
1.5 Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan perencanaan, evaluasi dan prioritas program kesehatan dan gizi bagi pemerintah daerah khususnya faktor penyebab stunting. 2. Sebagai bahan masukan terhadap pelaksana program dalam pengembangan program penanggulangan masalah gizi terutama stunting pada balita 3. sebagai bahan masukan bagi penelitian selanjutnya.