BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Dalam hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan timbulnya perselisihan/sengketa. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara melaksanakan klausula-klausula perjanjian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya.1 Dalam menyelesaikan sengketa ada beberapa cara yang bisa dipilih, yaitu melalui pengadilan, negosiasi, mediasi, dan arbitrase.2 Pengadilan adalah lembaga resmi kenegaraan yang diberi kewenangan untuk mengadili, yaitu menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan hukum acara dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hakim yang menangani suatu perkara di pengadilan tidak dapat dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Cara ini kurang popular di kalangan pengusaha. Hal ini dapat disebabkan karena waktu yang tersita cukup lama karena adanya tahapan-tahapan proses pengadilan yang harus dilalui dan karena sifat pengadilan yang terbuka untuk umum yang menyebabkan kurangnya privasi karena masalah-masalah bisnisnya yang dipublikasikan.3 Kemudian, negosiasi adalah cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi secara langsung antara para pihak yang berselisih/bersengketa, yang hasilnya akan diterima oleh para pihak tersebut. Dapat dikatakan sebagai suatu seni dalam bersepakat.4 Pada prakteknya, alasan dari dilakukannya negosiasi ada dua, yaitu : a. Untuk mencari sesuatu yang baru yang tidak dapat dilakukannya sendiri, misalnya dalam transaksi jual beli, pihak penjual dan pembeli
1
RM. Gatot P. Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm.3. 2 Ibid, hlm 1. 3 Ibid, hlm 2. 4 Fiona Boyle, et. al., A Practical Guide to Lawyering Skills, (London: Cavendish Publishing Limited, 2003), hlm. 273.
1 Universitas Indonesia
Analisis klausula..., Widya Lestari S.R., FH UI, 2010
2
saling memerlukan untuk menetukan harga yang disepakati (dalam hal ini tidak terjadi sengketa). b. Memutus perselisihan/sengketa yang timbul di antara para pihak.
Sedangkan mediasi adalah suatu upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak yang netral, yang tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan, yang membantu para pihak yang bersengketa mencari penyelesaian yang diterima oleh kedua belah pihak.5 Arbitrase sendiri merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, berdasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, dan dilakukan oleh arbiter yang dipilih dan diberi kewenangan untuk membuat keputusan. Pengertian arbitrase menurut pasal 1 butir 1 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”)6: “..Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.” Arbitrase sebagai cara menyelesaikan sengketa hukum di luar proses pengadilan bukan suatu hal yang baru dalam sistem penyelesaian sengketa hukum di Indonesia. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (Rv) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam Pasal 615 s/d Pasal 651 Rv. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak berlaku lagi dengan diundangkannya UU Arbitrase. Dalam Undang-undang nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan
5
RM. Gatot P. Soemartono, Op. cit. hlm. 3. Indonesia, Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU No. 30 tahun 1999 (LN. Tahun 1999. No. 138 , TLN. No. 3872), ps. 1 angka 8 . 6
Universitas Indonesia
Analisis klausula..., Widya Lestari S.R., FH UI, 2010
3
pasal 3 ayat (1) yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan. Yang terjadi di masa lalu di Indonesia, arbitrase kurang menarik perhatian sehingga kurang populer di masyarakat kita. Berbeda dengan sekarang, arbitrase dipandang sebagai pranata hukum penting sebagai cara menyelesaikan sengketa di luar proses peradilan. Meningkatnya peranan arbitrase bersamaan dengan meningkatnya transaksi niaga baik nasional maupun internasional. Di kalangan pengusaha, arbitrase dapat menjadi pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan pengusaha. Terlebih lagi dengan telah diundangkannya UU Arbitrase maka semakin teraktualisasikan urgensi arbitrase sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dinilai memiliki kelebihan sebagai berikut:7 a.
Kecepatan dalam proses Suatu persetujuan arbitrase harus menetapkan jangka waktu, yaitu berapa lama perselisihan/sengketa yang diajukan pada arbitrase harus diputuskan. Apabila para pihak tidak menentukan jangka waktu tertentu, maka jangka waktu penyelesaian ditentukan oleh aturanaturan arbitrase setempat yang dipilih. Meskipun ada negara yang peraturan perundang-undangannya memberi kesempatan banding terhadap putusan arbitrase, dalam prakteknya kemungkinan banding ini
dihapuskan
melalui
perjanjian.
Tujuannya
adalah
untuk
mempercepat proses penyelesaian sengketa. \ Pasal 53 UU Arbitrase disebutkan bahwa terhadap putusan arbitrase tidak dapat dilakukan perlawanan atau upaya hukum apapun. Sedangkan dalam Pasal 60 UU Arbitrase secara tegas disebutkan:
7
RM. Gatot P. Soemartono, Op. Cit, hlm. 10.
Universitas Indonesia
Analisis klausula..., Widya Lestari S.R., FH UI, 2010
4
“Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.” Dalam pengaturan internasional, Pasal 35 ayat (1) Model Arbitrase UNCITRAL menyebutkan bahwa8: “An arbitral award, irrespective of the country in which it was made, shall be recognized as binding and, … shall be enforced.” Jadi keputusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, di negara manapun ia diputuskan. b.
Pemeriksa ahli di bidangnya Untuk memeriksa dan memutus perkara melalui arbitrase, para pihak dapat memilih para ahli yang sangat menguasai hal-hal yang disengketakan,
sehingga
pertimbangan-pertimbangan
yang
diberikanpun berkualitas. Di dalam badan arbitrase, selain ahli hukum juga terdapat ahli-ahli di berbagai bidang lainnya, misalnya ahli perbankan, ahli leasing dan sebagainya. c.
Sifat konfidensialitas Sidang arbitrase dilakukan dalam ruangan tertutup dari umum, dan keputusan yang diucapkan dalam sidang tertutup. Dengan demikian, penyelesaian sengketa melalui arbitrase diharapkan dapat menjaga kerahasiaan para pihak yang bersengketa. Yang menjadi obyek arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di
luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut dalam Pasal 5 UU Arbitrase
9
adalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 ayat (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui 8
Ibid. hlm. 11. Pasal 5 UU Arbitrase: ”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.” 9
Universitas Indonesia
Analisis klausula..., Widya Lestari S.R., FH UI, 2010
5
arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) Buku III Bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d Pasal 1854. Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen (institusi). Arbitrase ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU Arbitrase atau UNCITRAL Arbitration Rules, sering kali dibentuk setelah sengketa timbul. Dalam kaitan itu, jika para pihak telah mengacu misalnya pada UU Arbitrase, maka ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang tersebut berlaku bagi penyelesaian sengketa mereka. Aturan tentang prosedur arbitrase ad-hoc dapat disusun sendiri atau oleh majelis arbitrase atau kombinasi di antara keduanya. Arbitrase ad-hoc bersifat sementara dan berakhir pada saat dijatuhkannya putusan atas sengketa tersebut. Pada umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausula arbitrase.10 Selain itu ada Arbitrase Institusi yang lebih sering digunakan, yang adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh lembaga/badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendirisendiri.11 Sejak diundangkannya UU Arbitrase di Indonesia maka semakin teraktualisasikan urgensi arbitrase sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, termasuk diantaranya sengketa 10 11
RM. Gatot P. Soemartono, Op. cit. hlm. 27. Ibid.
Universitas Indonesia
Analisis klausula..., Widya Lestari S.R., FH UI, 2010
6
dalam asuransi. Dalam Polis Standar Kebakaran Indonesia (polis standar untuk asuransi kebakaran di Indonesia), telah terdapat perjanjian arbitrase yang terdapat pada pasal 21 mengenai perselisihan.
Penulis mencoba
melihat upaya penyelesaian perselisihan yang ada dalam Polis Standar Kebakaran Indonesia dari kronologis Kasus gugatan Tn. Dick terhadap PT Asuransi Prisma Indonesia d/h PT Wataka General Insurance Pusat Jakarta Cq. PT Asuransi Prisma Indonesia Cabang Medan, yang mana telah mencapai tingkat kasasi, yang telah diputuskan pada tanggal 6 Oktober 2005 melalui putusan No. 2337 K/Pdt/2004.
1.2.
Pokok Permasalahan Berdasarkan uraian di muka, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang menjadi jalur kerja dan analisis dalam tesis ini, diantaranya adalah : 1. Apakah elemen-elemen dalam klausula arbitrase yang terdapat pada Polis Standar Kebakaran Indonesia telah memberikan kemudahan dalam penyelesaian sengketa asuransi ? 2. Apakah
pertimbangan hukum dari hakim dalam putusan pengadilan
perkara tuntutan ganti rugi antara Tuan Dick melawan PT. Asuransi Prisma Indonesia dan dr. Immanuel Romin sudah sesuai dengan klausula arbitrase yang terdapat dalam Polis Standar Kebakaran Indonesia ? 3. Apakah klausula arbitrase dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia yang merupakan perubahan atau pengganti Polis Standar Kebakaran Indonesia telah memberikan kemudahan dalam proses penyelesaian sengketa asuransi ?
1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk : a. mengetahui elemen-elemen dalam klausula arbitrase yang terdapat pada Polis Standar Kebakaran Indonesia telah memberikan kemudahan dalam penyelesaian sengketa asuransi.
Universitas Indonesia
Analisis klausula..., Widya Lestari S.R., FH UI, 2010
7
b. mengetahui pertimbangan hukum dari hakim dalam putusan pengadilan perkara tuntutan ganti rugi antara Tuan Dick melawan PT. Asuransi Prisma Indonesia dan dr. Immanuel Romin sudah sesuai dengan klausula arbitrase yang terdapat dalam Polis Standar Kebakaran Indonesia. c. mengetahui Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia yang merupakan pengganti Polis Standar Kebakaran Indonesia dalam klausula arbitrasenya telah memberikan kemudahan dalam penyelesaian sengketa asuransi.
1.4. Kegunaan dan Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, diantaranya adalah untuk dapat membuat klausula yang standar dan jelas dalam penentuan penyelesaian perselisihan dalam suatu perjanjian untuk memudahkan proses penyelesaian perselisihan tersebut dan memberikan suatu pemahaman kepada masyarakat khususnya lembaga peradilan dalam memutus perselisihan.
1.5. Kerangka Konsepsional Sebelum UU Arbitrase berlaku, dalam Pasal 618 ayat (1) Rv ditentukan bahwa persetujuan arbitrase harus dibuat secara tertulis dan ditanda-tangani oleh kedua belah pihak. Jika para pihak tidak mampu menandatangani, persetujuan harus dibuat didepan notaris dengan para saksi.12 Pada dasarnya di negara yang menganut asas konsensualisme, tidak ada keharusan bentuk tertulis untuk suatu perjanjian, sehingga klausula arbitrase pun dapat dilakukan secara lisan apabila perjanjian pokok (main contract) juga telah diadakan secara lisan. Namun demikian, dalam suatu kegiatan bisnis, khususnya bisnis internasional di mana para pihak yang melakukan transaksi tunduk pada sistem hukum yang berlainan, bentuk tertulis adalah suatu keharusan, guna menghindari kesulitan dalam pembuktiannya di kemudian hari. 12
Pasal 618 ayat (1) Rv menyebutkan bahwa : “Akta kompromi dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak; bila para pihak tidak dapat menandatangani, maka kompromi itu dibuat di depan notaris dan saksi-saksi.”
Universitas Indonesia
Analisis klausula..., Widya Lestari S.R., FH UI, 2010
8
Di Indonesia, setelah berlakunya UU Arbitrase, keharusan menuangkan klausula arbitrase dalam bentuk tertulis, dinyatakan secara tegas oleh Pasal 1 angka 1 UU Arbitrase. Di bawah ini terdapat beberapa definisi operasional sebagai berikut: a. Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
berdasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, dan dilakukan oleh arbiter yang dipilih dan diberi kewenangan untuk membuat keputusan. b. Asuransi atau Pertanggungan adalah Asuransi atau Pertanggungan
adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan
atas
meninggal
atau
hidupnya
seseorang
yang
dipertanggungkan13 c. Penanggung adalah pihak yang wajib memikul risiko yang dialihkan
kepadanya dan berhak memperoleh pembayaran premi.14 d. Tertanggung adalah pihak yang wajib membayar premi dan berhak
memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas harta miliknya yang diasuransikan.15 e. Premi adalah kewajiban tertanggung sebagai imbalan dari kewajiban
penanggung untuk mengganti kerugian tertanggung.16 f.
Polis adalah tanda bukti adanya perjanjian pertanggungan, tetapi bukan merupakan unsur dari perjanjian pertanggungan.17
13
Indonesia, Op.cit., ps. 1 selanjutnya pengertian asuransi menurut KUHD dalam pasal 246 lebih sempit karena hanya untuk lingkup asuransi kerugian. 14 Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, cet. IV, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 8. 15 Ibid. 16 Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, cet. V, (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm. 57.
Universitas Indonesia
Analisis klausula..., Widya Lestari S.R., FH UI, 2010
9
g. Clause (Klausula) suatu tambahan yang dilekatkan pada suatu polis
yang dapat memperluas jaminan atau mempersempit jaminan dan memuat ketentuan – ketentuan yang berkaitan.18 h. Objek asuransi adalah benda yang menjadi objek perjanjian asuransi
19
dan mengenai segala kepentingannyae dapat dinilai dengan uang, dapat diancam oleh suatu bahaya, dan tidak dikecualikan oleh undangundang.20 Klaim adalah permohonan atau tuntutan seorang pemilik polis
i.
terhadap perusahaan asuransi untuk pembayaran kerugian sesuai dengan pasal-pasal dari sebuah polis.21
1.6. Metode Penelitian 1.6.1.
Tipe dan Sifat Penelitian Hukum Tipe penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif dengan pertimbangan penelitian hukum dalam arti norma atau kaidah.22 Ilmu tentang kaidah hukum didasarkan pada dogmatik. Dogmatik hukum bersifat teoritis-rasional, sehinggga pengungkapannya terikat pada metode yang didasarkan pada persyaratan logika deduktif.23 Penelitian hukum yuridis normatif digolongkan ke dalam penelitian dengan metode penelitian preskritif24 untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu.
17
Ibid.hlm.69 Ibid. 19 Ibid. hlm 87 20 Kitab Undang – Undang Hukum Dagang op.cit., ps. 268 21 Hasymi et.al, Kamus Asuransi.cet. III (Jakarta : Bumi Aksara) , hlm. 55 22 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,cet. 11 (Jakarta : PT. RajaGrafindo,2009), hlm. 2. 23 Ibid.hlm.4. Lihat materi kuliah Metode Penelitian Hukum yang disampaikan Valerine J.L.K bahwa look at first the rule yang berarti harus mengacu kepada peraturan perundangundangan karena hukum Indonesia berdasarkan civil law yang menggunakan teori perundangundangan oleh Hans Kelsen. 24 Ibid. hlm.2 18
Universitas Indonesia
Analisis klausula..., Widya Lestari S.R., FH UI, 2010
10
1.6.2.
Jenis Data yang Dikumpulkan Dalam pengumpulan data peneliti berdasarkan data sekunder atau penelitian literatur (library research). Mengacu pada hal tersebut, bahan-bahan hukum tersebut dikelompokkan dalam tiga bagian. Maka, data sekunder ini dibagi menjadi : a. Bahan Hukum Primer, yaitu adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif)25 dan mengikat26, 1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) (Lembaran Negara Tahun 1999, Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3872).
2) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan lembaran Negara Nomor 3467).
3) Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
4) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Lembaran Negara tahun 1933 nomor 49).
5) Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. 6) Putusan Pengadilan Negeri Medan tanggal 19 Agustus 2002 Nomor 18/Pdt.G/2002/PN-MDN.
7) Putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 21 Juli 2003 Nomor 169/PDT/2003/PT-MDN.
8) Putusan Mahkamah Agung tanggal 6 Oktober 2005 Nomor 2337 K/Pdt/2004. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen tidak resmi. Publikasi tersebut
25
Prof. Dr. Zainuddin Ali, M.A., Metode Penelitian Hukum, cet.1 (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hlm. 47. 26 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit., hlm.13.
Universitas Indonesia
Analisis klausula..., Widya Lestari S.R., FH UI, 2010
11
merupakan petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer.27 Dalam hal ini berupa: 1) Polis Standar Kebakaran Indonesia 2) Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia 3) Bahan hukum yang berupa buku-buku teks, penelusuran internet, artikel, tesis. c. Bahan Hukum Tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder28, yaitu Kamus Hukum, Kamus Asuransi. 1.6.3.
Cara Pengumpulan dan Pengolahan Data Dalam penelitian ini alat pengumpulan data adalah studi dokumen atau bahan pustaka. dengan cara mengumpulkan data dengan membaca dan mempelajari literatur yang ada kaitannya dengan penelitian
berupa
peraturan
perundangan,
putusan
pengadilan,buku-buku dan artikel-artikel. 1.6.4.
Analisis Data Dalam penelitian ini analisis data adalah secara kualitatif karena penelitian yang dilakukan bersifat deskritif, maka analisis penelitiannya dilakukan secara kualitatif terhadap data sekunder yang sudah dikumpulkan dan diolah guna perumusan kesimpulan penelitian tersebut.
1.7.
Sistematika Penulisan Agar pembahasan dalam tesis ini lebih terarah dan sistematis, maka diperlukan sistematika yang dibagi menjadi beberapa pokok bahasan, yaitu sebagai berikut :
27
Zainuddin, Op.cit., hlm. 54 lihat juga Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,cet. 11 (Jakarta : PT. RajaGrafindo,2009), hlm. 2. 28 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji.Op.cit.
Universitas Indonesia
Analisis klausula..., Widya Lestari S.R., FH UI, 2010
12
BAB 1
PENDAHULUAN Bab Pendahuluan ini merupakan garis besar penulisan ini, yang memuat: Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Penelitian,
Tujuan Metode
Penelitian, Penelitian,
Manfaat Kerangka
Konsepsional dan Sistematika Penulisan.
BAB 2
ARBITRASE
SEBAGAI
CARA
PENYELESAIAN SENGKETA Bab
2
ini
mengemukakan
gambaran
umum
mengenai Arbitrase sebagai Cara Penyelesaian Sengketa, Obyek Arbitrase, Pengaturan Arbitrase.
BAB 3
KLAUSULA ARBITRASE Bab 3 ini mengemukakan Klausula Arbitrase dalam Polis
Standar
perubahannya
Kebakaran dalam
Polis
Indonesia Standar
dan
Asuransi
Kebakaran Indonesia.
BAB 4
ANALISIS KLAUSULA ARBITRASE DALAM POLIS STANDAR ASURANSI KEBAKARAN INDONESIA
DAN
SIKAP
PENGADILAN
INDONESIA Bab 4 ini akan membahas hasil penelitian, yaitu Analisis Klausula Arbitrase dalam Polis Standar Kebakaran Indonesia dan perubahannya dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Agung
No. 2337
K/Pdt/2004.
Universitas Indonesia
Analisis klausula..., Widya Lestari S.R., FH UI, 2010
13
BAB 5
PENUTUP Bab Penutup ini terdiri dari kesimpulan dan saran. Di dalamnya disajikan secara ringkas jawaban atas permasalahan
yang
mendorong
diadakannya
penelitian ini.
Universitas Indonesia
Analisis klausula..., Widya Lestari S.R., FH UI, 2010