Buletin
BADAN POM Volume 27, No. 2
No. ISSN: 0852-6184
November 2009
Editorial Merupakan suatu tantangan tersendiri untuk dapat menggali informasi terbaru terkait efek samping obat agar dapat kami sajikan kepada sejawat kesehatan sekalian. Sementara itu, fokus yang menjadi perhatian tidak hanya terhadap obat baru namun juga obat yang sudah lama dikenal dan digunakan secara luas di masyarakat. Pendekatan inilah yang kami lakukan pada edisi Buletin Berita MESO kali ini, dimana kami mengangkat ke permukaan beberapa informasi aspek keamanan obat—obat yang sudah lama dikenal oleh sejawat sekalian. Pada bagian pertama, kami ketengahkan informasi aspek keamanan terkait Metoclopramide dan risiko efek samping tardive dyskinesia. Efek samping ini sebenarnya merupakan efek samping yang sudah diketahui atau listed , dan informasi telah tercantum pada labeling produk yang mengandung Metoclopramide, namun belum dalam bentuk boxed warning. Dengan adanya peningkatan frekuensi pelaporan kasus ini, US FDA telah mengambil langkah tindak lanjut regulatori berupa keharusan pencantuman boxed warning terkait hal tersebut. Sementara itu pada bagian kedua, sejawat sekalian dapat menyimak tentang concern terkait kemungkinan interaksi obat antara Clopidogrel dan obat Proton Pump Inhibitor (PPI), seperti lansoprazole, omeprazole, esomeprazole, pantoprazole
dan rabeprazole. Interaksi obat tersebut dapat meningkatkan risiko thrombotic events. Informasi aspek keamanan obat AINS Piroxicam, juga kami angkat, dan kali ini terkait dengan risiko efek samping pada kulit, dan juga pembatasan indikasi yang ditetapkan oleh Health Canada. Kemudian penekanan perlunya edukasi pada pasien oleh dokter dalam penggunaan Metformin dan kemungkinan risiko lactic acidosis juga mencuat di Australia. Selengkapnya, sejawat kesehatan kami persilahkan untuk menyimak artikel tersebut di dalam Buletin ini. Pada bagian akhir, kami sampaikan bagaimana aktifitas monitoring efek samping obat atau lebih luas saat ini dikenal sebagai Pharmacovigilance berperan dalam mendukung jaminan keamanan obat beredar, dan upaya Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam hal ini. Demikian kami sampaikan, semoga bermanfaat bagi sejawat kesehatan sekalian. Redaksi DAFTAR ISI
Halaman
Metoclopramide dan Risiko Tardive Dyskinesia
2
Potensi Interaksi Obat Clopidogrel dan Proton Pump Inhibitors
3
Piroxicam dan Risiko Efek Samping pada Kulit
4
Metformin — Lactic Acidosis dan Dehidrasi
4
Peran Pharmacovigilance dalam Mendukung Jaminan Keamanan Obat Beredar
5
1
V O LUME 2 7 , NO . 2, NO P E MBE R 20 09
BE R I TA ME SO
METOCLOPRAMIDE DAN RISIKO TARDIVE DYSKINESIA Metoclopramide merupakan suatu dopamine receptor antagonist yang disetujui beredar di Indonesia dengan indikasi diabetik gastroparesis, mual muntah dan esofagitis refluks. Baru-baru ini, mencuat informasi baru atau terkini terkait aspek keamanan obat metoclopramide yang dilansir oleh US FDA dan kemudian juga dimuat dalam WHO News Letter. Disebutkan dalam publikasi tersebut bahwa obat ini berisiko menyebabkan tardive dyskinesia pada penggunaan jangka panjang (kronis) atau dosis tinggi, utamanya pada pasien wanita usia lanjut. Tardive dyskinesia adalah kondisi medis yang ditandai dengan gejala gangguan perubahan bentuk (disfiguring disorder) berupa gerakan-gerakan yang diluar kesadaran (involuntary) pada wajah, lidah atau ekstrimitas, yang berpotensi irreversible. Hingga saat ini belum ada pengobatan yang efektif untuk mengatasi tardive dyskinesia, namun demikian gejala tersebut dapat berkurang secara parsial atau hilang sepenuhnya dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan kemudian setelah metoclopramide dihentikan. Pada umumnya atau sebagian besar laporan kasus efek samping obat yang diterima oleh US FDA, kasus tardive dyskinesia terjadi pada pasien yang menggunakan metoclopramide lebih dari tiga bulan. Sekaitan dengan hal tersebut, langkah tindak lanjut yang telah dilakukan oleh US FDA yaitu mempersyaratkan produsen metoclopramide untuk menambahkan boxed warning berisi tentang peringatan risiko terjadinya tardive dyskinesia. Di samping itu, produsen juga diminta untuk mengajukan Risk Evaluation and Mitigation Strategy (REMS) sebagai bagian dari tanggung jawab produsen dalam menjamin keamanan penggunaan obat ini pada pasien. Implementasi REMS yang dipersyaratkan oleh US FDA kepada produsen meliputi antara lain medication guide yang juga membahas dan mencantumkan risiko tardive dyskinesia. Sebenarnya, efek samping tardive dyskinesia merupakan efek samping yang telah diketahui atau listed dan pada sebuah literatur disebutkan bahwa dyskinesia merupakan efek samping klasik dari metoclopramide, dan cenderung terjadi pada penggunaan jangka panjang hingga beberapa bulan. Seorang 2
pasien wanita berusia 73 tahun dilaporkan mengalami parkinsonisme parah setelah menggunakan metoclopramide, namun kondisi pasien membaik setelah obat dihentikan dan mendapat terapi biperiden. Kewaspadaan kemungkinan efek samping ini, meskipun risiko lebih besar pada pasien usia lanjut, tetap harus diperhatikan penggunaan obat ini pada usia yang lebih muda. Suatu studi re-trospektif selama 6 (enam) tahun terhadap 52 anak-anak usia 2,5 hingga 4,5 tahun yang masuk ke rumah sakit, diperoleh data bahwa semua anak mengalami gejala dystonic yang bervariasi beberapa jam setelah meminum obat ini. Gejala yang paling menonjol adalah oculogyric crisis, dan anak-anak yang meminum metoclopramide dengan dosis lebih tinggi mengalami drowsy. Oleh karena itu, obat ini sebaiknya tidak diberikan pada pasien anak-anak (young age) dan juga usia lanjut yang mempunyai risiko lebih besar mengalami efek samping. Pasien dengan riwayat dyskinesia juga sebaiknya tidak diberikan obat ini. Sedangkan laporan kasus efek samping terkait metoclopramide yang diterima oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan pada tahun 2009 terdapat 1 (satu) laporan, dengan manifestasi efek samping berupa pustula, erosi pada dasar kulit dan eritema. Namun laporan kasus efek samping obat yang diterima tersebut tidak hanya melibatkan metoclopramide namun juga melibatkan penggunaan obat lain pada waktu yang bersamaan yaitu paracetamol dan siproheptadine. Pada database yang ada di WHO Global Database (Vigibase) hingga Februari 2009 terdapat laporan kasus efek samping tardive dyskinesia sejumlah 362 kasus. Hingga saat artikel ini ditulis, Badan Pengawas Obat dan Makanan, belum menerima laporan kasus tardive dyskinesia terkait metoclopramide. Pada labeling obat yang mengandung metoclopramide yang disetujui di Indonesia juga sudah memuat informasi aspek keamanan terkini tersebut, meskipun belum dalam bentuk boxed warning. Namun demikian, kewaspadaan sejawat kesehatan terkait kemungkinan risiko efek samping tersebut harus menjadi perhatian. Dalam hal ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan akan melakukan pengkajian lebih lanjut terkait aspek keamanan metoclopramide termasuk perlunya penambahan boxed warning sebagaimana telah dilakukan di US.
V O LUME 2 7 , NO . 2, NO P E MBE R 20 09
Daftar Pustaka: 1. US FDA, FDA News, 26 Februari 2009 2. US FDA, REMS for Drug containing Metoclopramide, 2009 3. WHO Pharmaceutical Newsletter No. 2, 2009 4. Aronson J.K., Meyler’s Side Effects of Drugs, The International Encyclopedia of Adverse Drug Reactions and Interactions, Fifteenth Edition, Volume 4, page 2317 -2319, 2006. 5. Data Badan POM RI
POTENSI INTERAKSI OBAT CLOPIDOGREL DAN OBAT GOLONGAN PROTON PUMP INHIBITORS Clopidogrel merupakan suatu obat golongan thienopyridine, yang secara struktur kimia mirip dengan ticlopidine, bekerja dengan mekanisme menghambat ADP-induced platelet aggregation. Obat ini disetujui beredar di Indonesia dengan indikasi untuk mengurangi kejadian atherothrombotik pada pasien: • penderita myocardial infarction (from a few days
until less than 35 days), ischaemic stroke (from 7 days until less than 6 months or established peripheral arterial disease; • penderita non-ST segment elevation acute coro-
nary syndrome (unstable angina or non-Q-wave myocardial infarction) in combination with ASA (Acetyl Salycilic Acid). Informasi aspek keamanan terkini terkait obat ini mengemuka setelah publikasi yang dirilis oleh EMEA (The European Medicines Agency) pada tanggal 29 Mei 2009 yang menyatakan terdapat beberapa studi yang menunjukkan bahwa clopidogrel bekerja kurang efektif pada pasien yang dalam waktu bersamaan juga mengkonsumsi obat proton pump inhibitors (PPI), seperti lansoprazole, omeprazole, esomeprazole, pantoprazole dan rabeprazole. Hal inilah yang dapat meningkatkan risiko thrombotic events, termasuk acute myocardial infarction. Pada praktik klinik kemungkinan kedua obat ini diresepkan secara bersama, karena Clopidogrel dapat mengakibatkan efek samping nyeri lambung dan ulser lambung, dan biasanya untuk mengatasi hal tersebut diresepkan juga obat golongan PPI tersebut.
BE R I TA ME SO
Di dalam tubuh, Clopidogrel baru efektif bekerja setelah tubuh mengubahnya menjadi bentuk aktifnya. Penjelasan kemungkinan mekanisme interaksi antara Clopidogrel dan PPI adalah bahwa PPI menghambat konversi Clopidogrel menjadi bentuk aktifnya dalam tubuh, sehingga mengurangi keefektifan obat tersebut, dan meningkatkan risiko serangan jantung atau kondisi lain yang membahayakan seperti stroke. Namun demikian perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap kemungkinan mekanisme lainnya, karena kemampuan masing-masing obat PPI dalam mempengaruhi metabolisme Clopidogrel berbeda-beda. Rekomendasi yang diberikan oleh The Agency’s Committee for Medicinal Product for Human Use (CHMP) bahwa informasi produk Clopidogrel harus direvisi dengan memberikan penekanan dengan anjuran agar Clopidogrel tidak digunakan secara bersamaan dengan obat golongan PPI, kecuali memang benar-benar diperlukan untuk pasien. CHMP juga merekomendasikan bahwa informasi lebih lanjut juga diperlukan terkait penghambatan metabolisme Clopidogrel oleh obat lainnya, dan juga implikasi variasi genetik yang dapat menyebabkan tidak sempurnanya tubuh mengubah Clopidogrel menjadi bentuk aktifnya, seperti pasien dengan CYP2C19 poor metabolisers. Sejauh ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan belum menerima laporan kasus efek samping thrombotic events yang dicurigai sebagai akibat interaksi obat antara Clopidogrel dan obat-obat PPI. Informasi ini kami angkat ke permukaan, untuk menjadi perhatian sejawat sekalian dalam memberikan pengobatan pada pasien, dengan senantiasa mengedepankan evidence based dan individual assessment pasien serta kondisi penyakitnya.
Daftar Pustaka: 1. EMEA, Public Statement on Possible Intercation between Clopidogrel and Proton Pump Inhibitors, 29 May 2009 2. WHO Pharmaceutical Newsletter No. 4, 2009 3. Aronson J.K., Meyler’s Side Effects of Drugs, The International Encyclopedia of Adverse Drug Reactions and Interactions, Fifteenth Edition, Volume 4, page 821— 822, 2006. 4. Data Badan POM RI
3
V O LUME 2 7 , NO . 2, NO P E MBE R 20 09
BE R I TA ME SO
Piroxicam dan Risiko Efek Samping pada Kulit Isu aspek keamanan salah satu jenis golongan obat Anti Inflamasi Non Steroidal (AINS), yaitu Piroxicam mengemuka setelah Health Canada menerbitkan notifikasi kepada health care professional dan juga konsumen tentang updating labelling yaitu pembatasan penggunaan obat in. Disampaikan bahwa Piroxicam tidak lagi diperbolehkan untuk digunakan sebagai terapi short term pain and inflammation, karena adanya peningkatan risiko efek samping serius pada kulit. Sementara itu efek samping pada saluran cerna atau gastrointestinal tidak lebih baik dibandingkan dengan obat AINS lain. Hasil review yang telah dilakukan oleh Health Canada menyimpulkan bahwa hal tersebut berlaku untuk penggunaan piroxicam untuk nyeri akut dan jangka pendek. Namun piroxicam masih diperbolehkan mengobati gejala nyeri kronis dan inflamasi pada pasien yang menderita tipe tertentu arthritis kronis seperti osteoarthritis, rheumatoid arthritis dan ankylosing spondylitis. Berdasarkan hal tersebut, Health Canada akan melakukan revisi pada monograf dan juga informasi produk piroxicam yang dindikasikan untuk pengobatan nyeri akut (acute pain). Hingga saat ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, belum menerima laporan kasus efek samping serius pada kulit terkait obat piroxicam. Namun kami menerima beberapa laporan efek samping pada kulit yang melibatkan penggunaan obat AINS lainnya. Menilik beberapa literatur terkait kemungkinan risiko efek samping pada kulit yang disebabkan oleh piroxicam, antara lain disebutkan bahwa kemungkinan terjadi cross-reactivity antara piroxicam dan thiosalycilic acid mendukung hipotesis bahwa piroxicam meng-induce photosensitive reactions dengan photoallergic mechanism. Apabila piroxicam digunakan pada pasien yang mempunyai riwayat sensitif terhadap thiosalycilic acid, efek samping pada kulit biasanya dapat terjadi segera setelah pasien meminum obat. Manifestasi efek samping pada kulit tersebut dapat berupa: rash, urticaria, vasculitis, toxic epidermal necrolysis, erythema multiforme, pemphigus, dan fixed drug eruption. Sementara itu, untuk produk mengandung piroxicam yang beredar di Indonesia, indikasi yang disetujui 4
telah sejalan dengan concern sebagaimana hal tersebut diatas. Selanjutnya Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam menanggapai hal tersebut, akan melakukan kajian aspek keamanan secara komprehensif, tidak hanya melibatkan AINS piroxicam saja namun juga pengkajian dapat meliputi seluruh obat AINS yang beredar di Indonesia. Daftar Pustaka: 1. Health Canada, Advisories, Warnings and Recalls, 25 June 2009. 2. WHO Pharmaceutical Newsletter No. 4, 2009 3. Aronson J.K., Meyler’s Side Effects of Drugs, The International Encyclopedia of Adverse Drug Reactions and Interactions, Fifteenth Edition, Volume 4, page 2843 –2845, 2006 4. Data Badan POM
METFORMIN — Lactic Acidosis dan Dehidrasi Metformin merupakan obat antidiabetes yang banyak diresepkan dan digunakan oleh pasien, biasanya dalam jangka waktu panjang. Di Indonesia obat ini tersedia baik produk yang bermerek dagang, maupun yang generik. Baru-baru ini, di Australia, The Therapeutic Goods Administration (TGA) dan the Adverse Drug Reactions Advisory Committee (ADRAC) memberikan penekanan perlunya edukasi kepada pasien bagaimana menangani problem diabetes mereka dan pengobatannya, khususnya untuk pasien yang menggunakan metformin. Hal ini dipicu dari beberapa laporan kasus efek samping lactic acidosis dan dehidrasi yang diterima oleh TGA dan ADRAC terkait dengan penggunaan metformin. Pada saat pasien merasa tidak enak badan, sementara dia dalam pengobatan metformin, perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya lactic acidosis. Metformin dikontra-indikasikan pada pasien dengan kondisi akut yang dapat berpotensi adanya penyesuaian fungsi ginjal sehingga pasien dapat mengalami dehidrasi. Dan kondisi lactic acidosis yang dapat mengancam jiwa dapat terjadi karena akumulasi metformin.
V O LUME 2 7 , NO . 2, NO P E MBE R 20 09
Faktor risiko utama terjadinya kondisi lactic acidosis adalah pasien dengan gangguan ataupun gagal ginjal. Faktor risiko lainnya antara lain adalah usia lanjut, karena fungsi ginjal berkurang, dan penggunaan metformin dosis tinggi, misal lebih dari 2 gram per hari. Di Australia, sejak tahun 1985, ADRAC telah menerima sejumlah 141 laporan kasus lactic acidosis terkait dengan penggunaan metformin, dan 25 kasus diantaranya merupakan kasus fatal. Sebagian besar laporan kasus tersebut, menyebutkan bahwa pasien mengalami diare, mual atau infeksi saluran cerna sebelum acidosis berkembang. Oleh karena itu, dianjurkan kepada pasien apabila gejala-gejala tersebut muncul pada pasien pengguna metformin, untuk segera berkonsultasi dan meminta pertimbangan kepada dokter untuk penghentian metformin sampai kondisi pasien kembali normal. Demikian juga kepada pasien yang juga menggunakan diuretic secara bersamaan dengan metformin, karena diuretic akan memicu kerja ginjal dan dapat memperparah gagal ginjal akut pada pasien yang dehidrasi. Terdapat dua laporan kasus efek samping obat pada kulit yang diterima oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang melibatkan metformin, namun juga melibatkan obat-obat lain yang digunakan pada waktu bersamaan (2008 = 1 laporan dan 2009 = 1 laporan). Meskipun pelaporan kasus efek samping obat terkait penggunaan metformin dan risiko terjadinya lactic acidosis belum pernah diterima, namun demikian diharapkan dengan adanya informasi ini, akan menambah wawasan dan pemahaman kita semua. Badan Pengawas Obat dan Makanan senantiasa akan melakukan pengkajian dan updating informasi terkini aspek keamanan obat beredar, baik obat lama maupun obat baru.
Daftar Pustaka: 1. ADRAC, Australian Adverse Drug Reactions Bulletin, Volume 28, Number 3, June 2009 2. WHO Pharmaceutical Newsletter No. 4, 2009 3. Data Badan POM
BE R I TA ME SO
PERAN PHARMACOVIGILANCE DALAM MENDUKUNG JAMINAN KEAMANAN OBAT BEREDAR Jaminan keamanan obat beredar di Indonesia, merupakan salah satu bentuk tanggung jawab dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Hal ini sejalan dengan Visi dan Misi yang diemban oleh institusi ini. Sementara itu, perkembangan obat saat ini telah mengubah cara pandang dalam menangani dan mengontrol suatu penyakit, karena bagaimanapun obat mempunyai dua sisi yang tidak dapat dipisahkan antara kemanfaatan (benefit) dan juga risiko (risk). Sebagaimana telah diketahui bahwa di samping efikasi atau khasiat, risiko adanya efek samping menjadi suatu hal yang umum melekat pada suatu obat. Oleh karena itu, pengawalan dan pemantauan aspek keamanan obat pasca-pemasaran menjadi suatu hal yang essential dilakukan untuk mengetahui effectiveness dan safety pada real-life conditions. Pengawalan dan pemantauan aspek keamanan obat pasca-pemasaran sering kita sebut sebagai Pharmacovigilance – sebuah terminologi payung yang digunakan untuk menjelaskan proses dalam Monitoring Efek Samping Obat (MESO) dan evaluasinya. Banyak bukti menunjukkan bahwa sebenarnya efek samping obat dapat dicegah, dengan pengetahuan yang bertambah diperoleh dari Pharmacovigilance. Sehingga, Pharmacovigilance menjadi salah satu key component dalam sistem regulasi obat, praktik klinik dan kesehatan masyarakat secara umum. Upaya yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan antara lain adalah penyelenggaraan workshop dengan audiens sejawat kesehatan dari rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya. Kegiatan in ditujukan untuk sensitisasi awareness dan suspicious sejawat kesehatan dalam melakukan monitoring dan pelaporan kasus efek samping obat yang ditemui dalam praktik klinik seharihari.
Jika kita mengetahui sesuatu yang dapat membahayakan kesehatan orang lain yang tidak mengetahuinya, dan kita tidak memberitahukannya adalah tidak etis (to know of something that is harmful to another person, who does not know, and not telling, is unethical) 5
APA YANG PERLU DILAPORKAN
Setiap kejadian yang dicurigai sebagai efek samping akibat obat perlu dilaporkan. Laporan tidak harus didasarkan atas kepastian seratus persen adanya hubungan kausal antara efek samping dengan obat. Bila Saudara menemukan reaksi yang masih diragukan hubungannya dengan obat yang digunakan, adalah lebih baik dilaporkan daripada tidak sama sekali. REAKSI-REAKSI APA YANG SEYOGYANYA DILAPORKAN ?
• Setiap reaksi efek samping yang dicurigai akibat obat. Terutama efek samping yang selama ini tidak pernah / belum pernah
dihubungkan dengan obat yang bersangkutan . • Setiap reaksi efek samping yang dicurigai akibat interaksi obat. • Setiap reaksi efek samping serius, antara lain : ♣ Reaksi anafilaktik ♣ Diskrasia darah ♣ Perforasi usus ♣ Aritmia jantung ♣ Seluruh jenis efek fatal ♣ Kelainan congenital ♣ Perdarahan lambung ♣ Efek toksik pada hati ♣ Efek karsinogenik ♣ Kegagalan ginjal ♣ Edema laring ♣ Efek samping berbahaya seperti sindroma Stevens Johnson ♣ Serangan epilepsi dan neuropati • Setiap reaksi ketergantungan
Sebagai contoh klasik adalah yang berkaitan dengan obat golongan opiat; walaupun demikian berbagai obat lain dapat menimbulkan reaksi ketergantungan fisik dan atau psikis APA PERANAN LAPORAN EFEK SAMPING OBAT (ESO) SAUDARA ?
Setiap laporan ESO yang diterima dievaluasi oleh Badan POM RI sebagai Pusat MESO Nasional untuk menentukan hubungan kausal produk obat yang dicurigai dengan efek samping yang dilaporkan, menggunakan kriteria yang telah ditetapkan. Indonesia telah tercatat sebagai negara anggota dalam kegiatan WHO-UMC Collaborating Centre for International Drug Monitoring. Untuk itu laporan ESO di Indonesia yang diterima oleh Pusat MESO Nasional dari Saudara, akan dikirim ke “Pusat Monitoring Efek Samping Obat Internasional” (WHO-UMC Collaborating Centre), di Uppsala, Swedia. Data ESO dari seluruh dunia yang dikirimkan termasuk dari Indonesia, selanjutnya akan masuk dalam data base Pusat MESO Internasional. Drug Regulatory Authorities (DRAs) dari negara-negara anggota saling bertukar menukar informasi berkaitan drug safety melalui email Vigimed Lists. Laporan efek samping yang dikaji/evaluasi sesuai derajat/tingkat kegawatan efek samping dan/atau insidens atau hal lain, hasilnya dapat berbentuk saran serta tindak lanjut terhadap kasus yang bersangkutan oleh pihak regulatori, dan dipublikasi di dalam bulletin BERITA MESO. Pusat MESO Nasional sangat mengharapkan dan menghargai peran aktif untuk berpartisipasi di dalam kegiatan MESO dengan cara mengirimkan laporan efek samping obat yang Saudara jumpai. DEWAN REDAKSI BULETIN BERITA MESO:
Dra. Lucky S. Slamet, MSc.; Drs. Wusmin Tambunan, MSi.; Dr. Suharti K.S., SpFK; Prof.Dr. Armen Muchtar, SpFK; Prof.Dr. Hedi Rosmiati, SpFK; Dra. Engko Sosialine M; Dra. Tuning Nina D; Siti Asfijah Abdoellah, SSi, MMedSc (Clin Epid); Dra. Warta Br. Ginting; Dra. Umma Latifah; Dra. Herawati, M.Biomed, Apt; Juliati, SSi, Apt; Teti Hastati , SSi, Apt; Megrina Dian Agustin, SSi,Apt; Rahma Dewi Handari, SSi, Apt; Zulfa Auliyati Agustina, S.KM. ALAMAT REDAKSI BULETIN BERITA MESO:
Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik & PKRT Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Jl. Percetakan Negara No. 23 Kotak Pos No. 143 JAKARTA 10560 Telp : (021) 4245459; 4244755 ext. 111 Fax : (021) 4243605; 42883485 e-mail :
[email protected];
[email protected]
6
7