Ayu | Anak Laki-Laki Usia 6 Bulan dengan Marasmus dan Bronkopneumonia
Anak Laki-Laki Usia 6 Bulan dengan Marasmus dan Bronkopneumonia
Ayu Sulung Nariratri Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak Gizi buruk adalah keadaan kekurangan energi dan protein (KEP) tingkat berat. Menurut survei kesehatan nasional, salah satu sebab kematian bayi dan balita adalah penyakit sistem respiratori (pneumonia). Pasien anak, laki-laki, usia 6 bulan, berat badan (BB) 4,4 kg datang dengan keluhan sesak yang memberat sejak 1 minggu yang lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pernafasan 62 x/menit, ronki basah halus +/+ . Terdapat tanda gizi buruk berupa wajah orang tua, mata cekung, baggy pants dan muscles wasting, tidak ada edema. Status gizi berdasarkan World Health Organization (WHO) Growth Chart Standart 2006 BB/U, PB/U, dan BB/PB berada di bawah garis -3SD. Masalah pada pasien ini adalah gizi buruk tipe marasmus kondisi V dengan infeksi bronkopneumonia. Penatalaksanaan dengan 10 langkah tata laksana gizi buruk. Kata kunci: bronkopneumonia, gizi buruk, penatalaksanaan
A 6 Months Old Boy With Marasmus And Bronchopneumonia Abstract Malnutrition is a severe state of the lack of energy and protein. According to national health survey, one of the causes of infants and toddler’s death is respiratory system disorder (bronchopneumonia). Pediatric patient, male, 6 months, weight 4.4 kg comes with advanced dyspneu since one week ago. On physical examination found breathing 62 x/min, crackles +/+. There are signs of poor nutrition in the form of an old man's face, sunken eyes, baggy pants and muscles wasting, but no edema. Nutritional status based on WHO Growth Standards Chart 2006 BB/U, PB/U, and BB/PB is under -3SD lines. Problem in this patients is marasmus type condition V malnutrition with bronchopneumonia infection. The management is 10 steps malnutrition therapy. Keywords: bronchopneumonia, malnutrition, management
Korespondensi: Ayu Sulung Nariratri, S.Ked., alamat Perumahan Bataranila Jl. Cempaka 273 hajimena, Natar, Lampung Selata, e-mail
[email protected]
Pendahuluan Gizi buruk adalah KEP tingkat berat akibat kurang konsumsi makanan bergizi dan atau menderita sakit dalam waktu lama. Ditandai dengan status gizi sangat kurus menurut BB terhadap PB.1 Marasmus dan kwashiorkor adalah hasil akhir dari tingkat keparahan penderita gizi buruk. Marasmus ditandai dengan tubuh yang sangat kurus dengan berbagai tanda ikutannya, sedangkan kwashiorkor ditandai dengan edema, diawali edema pada punggung kaki (edema +), yang dapat menyebar ke seluruh tubuh (edema + + +).1,2 Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai peradangan paru oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Bronkopneumonia atau pneumonia lobaris adalah suatu peradangan akut dari parenkim paru yang biasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh lapangan paru. Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% angka kematian bayi dan 22,8% kematian balita di
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|40
Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia 3-5 Menurut profil kesehatan Indonesia tahun 2014, jumlah balita gizi buruk di Indonesia mencapai 32.521 balita. Kejadian pneumonia pada gizi buruk adalah sebesar 20% dari keseluruhan komplikasi yang timbul dari pasien dengan gizi buruk.6 Studi ini merupakan studi kualitatif dengan pendekatan laporan kasus. Kasus diambil dari bangsal Alamanda Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM) pada tanggal 8 Agustus 2014. Data yang diambil adalah data primer yaitu pemeriksaan fisik pasien dan data sekunder yaitu alloanamnesis dari keluarga serta pemeriksaan penunjang pasien. Kasus Pasien anak, laki-laki, usia 6 bulan, BB 4,4 kg, PB 61 cm datang ke RSUDAM pada tanggal 8 Agustus 2014 dengan keluhan sesak napas dan batuk berdahak yang memberat sejak 1 minggu. Sesak terjadi sepanjang hari. Keluhan sesak dan batuk pada pasien sudah dirasakan sejak pasien berusia 40 hari. Pasien
Ayu | Anak Laki-Laki Usia 6 Bulan dengan Marasmus dan Bronkopneumonia
sering berobat ke bidan dan puskesmas, namun membaik sesaat dan kambuh kembali. Berat badan dikeluhkan tidak mengalami penambahan sejak 2 bulan terakhir, bahkan cenderung menurun. Pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran komposmentis, nadi 144 x/menit, pernafasan 62 x/menit, suhu 36,2ºC, rambut sedikit dan jarang, berwarna coklat kekuningan. Perut tampak tonjolan di umbilikus, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+), auskultasi paru vesikuler +/+, ronki basah halus +/+. Terdapat tanda gizi buruk berupa wajah orang tua, mata cekung, baggy pants dan wasting, tidak ada edema maupun kelainan kulit. Status imunisasi dasar pasien sampai usia 6 bulan tidak lengkap. Pasien hanya mendapatkan imunisasi BCG (umur 2 bulan), DPT 1 kali (umur 2 bulan), polio 1 kali (umur 2 bulan), dan hepatitis B 2 kali (umur 0 dan 2 bulan). Status sosial ekonomi dan lingkungan pasien kurang baik. Riwayat nutrisi kesan asupan nutrisi kurang. Sejak usia 0-6 bulan pasien hanya diberikan air susu ibu (ASI). Ibu menyusui tergantung permintaan bayi. Dalam keadaan sehat, pasien biasa menyusu 10-12 kali sehari selama 15 menit setiap kali menyusu. Sejak mengalami sesak napas, pasien malas menyusu sehingga seringkali hanya sanggup menyusu 6-7 kali sehari selama 5-10 menit setiap kali menyusu. Frekuensi dan durasi menyusu yang berkurang tersebut menyebabkan pemenuhan kecukupan kalori pasien berkurang yaitu hanya sekitar 60% dari kecukupan kalori sebelum sakit. Riwayat tumbuh kembang kesan pertumbuhan terlambat serta perkembangan motorik halus dan kasar terlambat. Status gizi berdasarkan WHO Growth Chart Standart 2006, BB/U berada di bawah garis -3SD dengan kesan severely underweight (gizi buruk), PB/U berada di bawah garis -3SD dengan kesan severely stunted (perawakan pendek), dan BB/PB berada di bawah garis -3SD dengan kesan severely wasted. Diagnosis pasien ini adalah gizi buruk tipe marasmus kondisi V dengan bronkopneumonia. Penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien ini yaitu infus dextrose 10%, asupan F75 dilanjutkan dengan F100, injeksi cefotaxim 200 mg/12 jam, injeksi gentamisin 20 mg/hari, injeksi ranitidin 5 mg/12 jam, paracetamol drop 0,5 cc/6 jam jika demam, zink 20 mg/hari, probiotik 2x½
saset, nebulisasi dengan ¼ ampul ventolin, vitamin A 1x50000 IU, dan asam folat 1x5 mg. Pemeriksaan penunjang pada pasien ini didapatkan laboratorium hemoglobin (Hb) 9,5 gr/dL, kalsium 8,5 mg/dL. Foto toraks kesan bronkopneumonia dan kardiomegali (CTR >60%). Pembahasan Pasien didiagnosis sebagai marasmus kondisi V dengan bronkopneumonia. Diagnosis ini ditegakkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.1,3,7 Gizi buruk merupakan akibat dari konsumsi makanan yang tidak memadai dari protein dan energi, baik karena kekurangan asupan makanan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan normal atau karena kebutuhan untuk pertumbuhan lebih besar daripada yang disediakan. Gizi buruk dibagi dalam tiga bentuk. Marasmus (nonedematous) akibat kekurangan energi, kwashiorkor (edematous), karena kekurangan protein, dan marasmus kwashiorkor karena kekurangan energi dan protein.1,5,8,9 Marasmus ditandai dengan penurunan berat badan dan iritabilitas. Kulit kehilangan turgor dan berkerut serta longgar akibat kehilangan lemak subkutan. Perut buncit atau datar, dengan pola usus mudah terlihat. Terjadi hipotrofi dan atrofi otot, suhu biasanya menjadi di bawah normal dan denyut nadi melambat.5,8 Pasien mengalami penurunan berat badan sejak 2 bulan. Pasien tampak kurus. Perhitungan gizi berdasarkan growth chart WHO pada pasien ini, didapatkan hasil pengukuran BB/U, TB/U, dan BB/TB <-3SD (zscore WHO 2006).1,8 Pemeriksaan fisik didapatkan rambut coklat kekuningan, mata cekung, konjungtiva anemis, muscles wasting (+), dan baggy pants (+). Jika dilihat berdasarkan tipe gizi buruknya, yang dialami pasien ini adalah tipe marasmus.5,8 Ketika datang ke RSUDAM, pasien ini tidak mengalami keadaan syok, letargi, maupun muntah/diare/dehidrasi, sehingga pasien ini dikategorikan sebagai gizi buruk tipe marasmus kondisi V.1,5,8 Pasien tidak pernah menderita diare sebelumnya. Riwayat minum ASI pasien sebelum sakit cukup baik yaitu 10-12 kali sehari. Namun, setelah mengalami batuk J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|41
Ayu | Anak Laki-Laki Usia 6 Bulan dengan Marasmus dan Bronkopneumonia
berdahak dan sesak napas sejak usia 40 hari, frekuensi menyusunya menurun menjadi 6-7 kali sehari. Berat badan pasien mengalami penurunan. Keluarga sudah membawa pasien untuk berobat ke puskesmas dan bidan. Keluarga mendapatkan edukasi mengenai penanganan kondisi pasien. Namun, menurut pengakuan ibu pasien, keluarga tidak melakukan upaya penanganan tersebut sesuai dengan yang diedukasikan. Dari informasi tersebut diduga penyebab gizi buruk dari pasien ini adalah kurangnya intake asupan gizi (frekuensi menyusu pasien sangat kurang sejak mengalami sesak napas dan batuk berdahak), dalam hal ini ASI.10 Dalam rangka mempermudah akses asupan gizi ke dalam tubuh pasien, maka dilakukan pemasangan Orogastric Tube (OGT). Secara teori, ada 10 langkah tata laksana gizi buruk, yaitu (1) mencegah dan mengatasi hipoglikemia, (2) mencegah dan mengatasi hipotermia, (3) mencegah dan mengatasi dehidrasi, (4) memperbaiki gangguan elektrolit, (5) mengobati infeksi, (6) memperbaiki kekurangan zat gizi mikro, (7) memberikan makanan untuk stabilisasi (8) memberikan makanan untuk transisi dan rehabilitasi, (9) stimulasi sensorik dan dukungan emosional pada anak, dan (10) tindak lanjut di rumah.7,11-13 Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan kadar gula darah sewaktu dan pemberian dextrose 10% sejak hari pertama perawatan. Hal ini bertujuan untuk mencegah dan mengatasi hipoglikemi.7,11-13 Pengukuran suhu badan berkala juga dilakukan setiap 3 jam. Apabila terjadi hipotermia pada pasien, langkah awal untuk menghangatkan tubuh pasien adalah dengan mendekap pasien di dada lalu ditutupi selimut (metode kanguru) dengan memastikan pasien dapat bernapas.1,11,13 Untuk mencegah dan mengatasi dehidrasi harus diamati tandatanda seperti riwayat diare, pasien tampak sangat kehausan, mata cekung, nadi lemah, akral dingin atau pasien tidak buang air kecil dalam waktu cukup lama. Pada pasien ini tidak ditemukan tanda-tanda tersebut.11,14 Selain itu, untuk mencegah terjadinya dehidrasi, perlu diberikan nutrisi sesuai dengan fase penatalaksanaan gizi buruk, yakni fase stabilisasi, fase transisi, dan fase rehabilitasi.5,7,11,14 Fase stabilisasi dilakukan pada hari ke-1 – ke-7. Pada fase stabilisasi J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|42
pasien ini diberikan formula WHO 75 sebanyak 10 – 30 cc/3 jam. Seharusnya pada fase stabilisasi, pasien ini dengan berat badan 4,4 kg memperoleh formula WHO 75 sebanyak 50 cc/2 jam, setelah 10 jam bila kondisi baik dilanjutkan dengan 70 cc/3 jam dan selanjutnya menjadi 95 cc/4 jam. Lakukan pemantauan TTV dan asupan F75.7,11,13 Fase transisi dilakukan pada hari ke 8-14 dengan pemberian F100. Pada pasien ini diberikan F100 sebanyak 60 cc tiap 3 jam dinaikkan bertahap hingga mencapai 75-90 cc tiap 3 jam selama seminggu. Pada pasien ini seharusnya diberikan F100 sebanyak 95 cc tiap 4 jam selama 2 hari. Selama pemberian F100, dilakukan pemantauan TTV tiap 4 jam. Pada hari ketiga pemberian F100 sebanyak 110 cc/ 4 jam dan dilakukan peningkatan volume F100 sebanyak 10 cc/ 4 jam sampai anak tidak mampu menghabiskan F100 dengan catatan tidak melebihi dosis maksimal. Pada hari keempat diberikan F100 sebanyak 130-140 cc tiap 4 jam dan dipertahankan sampai hari ke 7-14.7,11,13 Fase rehabilitasi dilakukan setelah fase transisi selesai. Fase rehabilitasi ini dilakukan dengan melanjutkan pemberian F100 sebanyak 130-140 cc tiap 4 jam. Pada fase rehabilitasi pasien diberikan F100 + makanan lumat dan sari buah. Pemberian makanan pada tahap rehabilitasi dilakukan sampai tercapai BB/TB >-2SD. Fase rehabilitasi seharusnya dilakukan pada minggu ke 26.7,11,13 Gangguan elektrolit juga sering terjadi pada pasien dengan gizi buruk. Pada pasien ini kadar natrium, kalium, dan klorida berada pada kadar normal. Namun kadar kalsium pasien hanya 8,5 mg/dL. Koreksi kadar elektrolit dilakukan dengan pemberian F75 dan F100.1,14 Pasien juga mengalami infeksi pada saluran pernapasan. Diagnosis banding kasus pasien ini adalah tuberculosis (TB) paru dan bronkopneumonia. Pemilihan diagnosis banding didasarkan pada keluhan pasien. Pasien mengalami batuk berdahak sejak usia 40 hari yang disertai sesak napas. Pada pasien yang dicurigai mengalami TB paru, perlu dilakukan scoring. Pada pasien ini dilakukan skoring TB, riwayat kontak TB (skor 2), uji tuberkulin belum dilakukan (skor 0), status gizi tampak sangat kurus gizi buruk (skor 2), demam tanpa sebab jelas sering dialami
Ayu | Anak Laki-Laki Usia 6 Bulan dengan Marasmus dan Bronkopneumonia
namun tidak pernah lebih dari 2 minggu (skor 0), batuk sejak usia 40 hari (skor 1), pembesaran kelenjar limfe tidak ditemukan (skor 0), pembengkakan sendi tidak ditemukan (skor 0), foto thorax menunjukkan gambaran bronkopneumonia (skor 0). Hasil skor dikatakan positif TB apabila jumlah scoring ≥6. Jumlah skor pada pasien ini adalah 5 sehingga pasien ini dikatakan belum memenuhi syarat untuk didiagnosa dengan TB.15,16 Berdasarkan pembahasan, saat ini penyulit gizi buruk yang dialami pasien mengarah kepada diagnosa bronkopneumonia. Gambaran klinis bronkopneumonia pada bayi bergantung pada berat-ringannya infeksi, tetapi secara umum terbagi menjadi gejala infeksi umum dan gejala gangguan respiratori. Pada pasien ini ditemukan keluhan sesak napas, batuk, retraksi dada, napas cuping hidung, demam dan penurunan napsu makan. Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda klinis berupa pekak perkusi dan adanya ronki basah halus.3,17,18 Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapat dilakukan karena tidak tersedianya uji mikrobiologis yang cepat. Oleh karena itu, antibiotik dipilih berdasarkan pengalaman empiris. Antibiotik yang biasa digunakan pada pasien dengan kisaran usia 2 bulan – 5 tahun adalah beta laktam amoksisillin, amoksisillinamoksisillin klavulanat, golongan sefalosporin, kotrimoksazol, dan makrolid (eritromisin). Penelitian mengatakan pemberian antibiotik dapat menurunkan angka kematian pada pasien malnutrisi akut berat dengan komplikasi.11,17 Antibiotik yang digunakan pada pasien ini adalah cefotaxim 200mg/12 jam IV (dosis cefotaxim 100-150 mg/kg/hari). Penggunaan cefotaxim sudah tepat sesuai berat badan. cefotaxim merupakan antibiotika beta-laktam dan termasuk golongan sefalosporin generasi ke-III. Penggunaan antibiotik golongan sefalosporin biasanya dikombinasikan dengan antibiotik golongan aminoglikosida. Hal ini bertujuan memperluas dan memperkuat aktivitasnya. Pada pasien ini terapi antibiotik lain yang diterima adalah gentamicin 20mg/24 jam (dosis gentamicin 3-5 mg/kg/hari).
gentamicin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida.19,20 Pasien juga mendapatkan terapi berupa nebulisasi menggunakan ventolin (salbutamol) sebanyak ¼ ampul (0,625 mg). Salbutamol merupakan salah satu agen bronkodilator golongan agonis beta-2 kerja singkat.20 Pasien ini datang dengan keadaan sesak napas. Pemberian salbutamol inhalasi ditujukan untuk mengurangi keluhan sesaknya. Dosis salbutamol inhalasi untuk anak adalah 0,05 mg/kgBB/kali. Pada pasien ini juga diberikan terapi berupa ranitidin 5 mg/12 jam (dosis ranitidin 2-4 mg/kg/hari). Indikasi ranitidin adalah untuk ulkus gaster ringan, ulkus duodenum ringan, keadaan yang menimbulkan hipersekresi lambung, dan refluks gastro esofageal. Ranitidin pada kasus ini digunakan untuk menghindari timbulnya stress ulcer akibat bronkopneumonia dan gizi buruk yang diderita. Paracetamol sebagai obat simtomatik juga diberikan pada pasien ini. Dosis pemberiannya 0,5 cc/6 jam hanya jika timbul keluhan demam. Dosis ini sudah tepat mengingat dosis paracetamol pada anak dan bayi adalah sebesar 0,6 cc 3-4 kali sehari.20 Pasien juga mengeluhkan diare beberapa hari setelah di rawat. Pasien kemudian diberi zink dan probiotik. Zink diberikan 20 mg/hari (dosis pada bayi usia 6 bulan yaitu 20 mg/hari selama 10 hari). Zink merupakan salah satu zat gizi mikro yang penting untuk kesehatan dan pertumbuhan anak. Zink meningkatkan sistem kekebalan tubuh sehingga mencegah resiko terulangnya diare selama 2-3 bulan setelah anak sembuh dari diare.21-24 Sementara itu probiotik diberikan 2x1/2 saset. Probiotik menghasilkan asam organik yang menghambat bakteri merugikan, sehingga dapat membantu memperbaiki ketidakseimbangan flora usus ketika diare terjadi.23,24 Selain mengatasi infeksi, pada pasien ini perlu dilakukan koreksi kekurangan zat gizi mikro. Pasien mendapatkan beberapa tambahan zat gizi mikro berupa vitamin A sebanyak 1x 50.000 IU, Asam Folat 1 x 5 mg pada hari pertama kemudian dilanjutkan dengan pemberian asam folat 1 x 1 mg per hari pada hari selanjutnya. Pemberian vitamin A dengan dosis 50.000 IU dirasa kurang adekuat pada pasien ini. Pasien dengan gizi buruk dengan usia 6 bulan seharusnya J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|43
Ayu | Anak Laki-Laki Usia 6 Bulan dengan Marasmus dan Bronkopneumonia
mendapatkan vitamin A dengan dosis 100.000 IU.14,23 Pada pasien dengan gizi buruk perlu diberi stimulasi sensorik dan dukungan emosional berupa kasih sayang, terapi bermain terstruktur 15-30 menit/hari, peningkatan keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain). Selain itu, harus dilakukan persiapan untuk tindak lanjut di rumah. Bila gejala klinis dan BB/TB-PB anak sudah berada di garis warna kuning (≥-2 SD), anak dinyatakan sembuh dan dapat dirawat di rumah dan dipantau oleh tenaga kesehatan puskesmas/bidan di desa.1,7 Pada pemeriksaan penunjang, ditemukan tanda anemia ringan pada pasien ini. Kadar hemoglobin pada pasien ini saat pertama kali diperiksa adalah 9,5 gr/dl. Ada banyak faktor resiko yang menyebabkan anemia pada anak, yaitu karena adanya masalah yang timbul pada masa kehamilan, bayi lahir prematur, perubahan pola makan dan kebutuhan jenis makanan, pemberian ASI dan bukan ASI yang tidak tepat, faktor ekonomi dan bisa juga karena menderita penyakit tertentu. Pada kasus gizi buruk, biasanya dilakukan penatalaksanaan berupa pemberian tablet besi (Fe) dan transfusi darah. Tatalaksana tersebut dilakukan apabila kadar hemoglobin pasien mencapai nilai <6 gr/dl.7,12,14 Pada pemeriksaan rontgen toraks ditemukan adanya gambaran kardiomegali (CTR >60%). Kardiomegali pada pasien ini diduga terkait dengan penyakit jantung bawaan yang dialaminya. Pasien telah melakukan echocardiografi pada 30 Agustus 2014 dan dikatakan mengalami Atrial Septal Defect (ASD) sekundum kecil. Defek dengan ukuran 3-8 mm menutup pada usia 1 ½ tahun pada 80% pasien. Oleh karena itu, pasien dianjurkan untuk melakukan echocardiography ulang 1 tahun lagi.25 Pasien ini juga mengalami gagal tumbuh. Gagal tumbuh didefinisikan sebagai perpindahan posisi berat badan terhadap umur yang melewati lebih dari 2 persentil utama atau 2 standar deviasi ke bawah jika diplot pada grafik BB menurut umur. Gagal tumbuh bukanlah suatu diagnosis melainkan gejala yang harus dicari penyebabnya. Penyebab gagal tumbuh pada pasien ini diduga akibat asupan kalori yang tidak mencukupi karena penyakit yang dialaminya, J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|44
yaitu gizi buruk+ bronkopneumonia + ASD sekundum kecil.1,3,7,25 Secara keseluruhan, gizi buruk menyebabkan menurunnya jumlah sel-sel serebrum dan batang otak, dimana penurunan terbanyak adalah pada serebrum. Gizi buruk yang terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan mengakibatkan hambatan tumbuh kembang serta terdapat bukti bahwa orang dewasa yang mengalami gizi buruk pada masa awal kehidupan menunjukkan gangguan kemampuan intelektual.1,7,26 Bronkopneumonia sendiri sebenarnya dapat sembuh total dengan mortalitas kurang dari 1%. Namun, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan. Kedua-duanya bekerja sinergi memberikan dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri. Namun, dengan penatalaksanaan yang cepat dan tepat serta edukasi yang baik kepada orang tua, pasien gizi buruk dengan penyulit dapat memperoleh prognosis yang lebih baik dan keluarga dapat mendukung proses pengobatan hingga anak dapat mencapai tumbuh kembang yang optimal dengan kualitas hidup yang baik. Faktor prognosis pada pasien ini ad vitam dubia ad bonam, ad functionam dubia ad bonam, ad sanactionam dubia ad bonam.26 Simpulan Gizi buruk adalah KEP tingkat berat. Infeksi sekunder yang paling sering menyertai adalah bronkopneumonia. Penatalaksaan gizi buruk dengan bronkopneumonia dilakukan dengan panduan 10 langkah tata laksana gizi buruk. Prognosis apabila keduanya terjadi bersamaan adalah dubia ad bonam jika segera mendapatkan penatalaksanaan yang tepat. Daftar Pustaka 1. Susanto JC, Mexitalia M, Nasar SS. Malnutrisi akut berat dan terapi nutrisi berbasis komunitas. Dalam: Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia M, Nasar SS, editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik Jilid I. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2011. hlm. 128–164
Ayu | Anak Laki-Laki Usia 6 Bulan dengan Marasmus dan Bronkopneumonia
2. Yellanthoor RB, Shah VKB. Prevalence of Malnutrition Among Under-Five Year Old Children With Acute Lower Respiratory Tract Infection Hospitalized at Udupi District Hospital. Arch Pediatr Infect Dis. 2013;5:203-6. 3. Said, M. Pneumonia. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, editor. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2010. hlm. 350–365 4. Monita O, Yani FF, Lestari Y. Profil Pasien pneumonia komunitas di bagian anak RSUP Dr. M. Djamil Padang Sumatera Barat. Jurnal Kesehatan Andalas. 2015;4(1):218-26. 5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009. 6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Data dan Informasi Tahun 2014 (Profil Kesehatan Indonesia). Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2015. 7. Grimwood K. Childhood Pneumonia Screener: a concept. Pneumonia. 2015;27(6):i-ii. 8. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk Buku I-II. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2011. 9. Rijal P, Sharma A, Shresta S, Upadhyay S. Profile of acute lower respiratory tract infection in childreen under fourteen years of age at Nepal medical college teaching hospital. Nepal Med Coll J. 2011;13(1):58-61. 10. Kramer MS, Kakuma R. Optimal duration of exclusive breesfeeding (Review). The Cochrane Colaboration. 2009;1:1-106. 11. World Health Organization. Recommendations for Management of common childhood conditions. Geneva: World Health Organization; 2012. 12. Shefia NA. Family medicine approach of the children aged 1 years with bronchopneumonia and mild malnutrition. J Medulla Unila. 2014;3(2):80-8.
13. World Health Organization. Buku Saku Pedoman Kesehatan Anak Di Rumah Sakit. Geneva: World Health Organization; 2009. 14. Allen L, de Benoist B, Dary O, Hurrell R, editors. Guideline on food fortification with micronutrients. World Health Organization and Food and Agriculture Organization of the United Nation. 2006;39-134. 15. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2006. 16. World Health Organization. Rapid advice treatment of tuberculosis in children. Geneva: World Health Organization; 2010. 17. Ekpe EE, Akpan MU. Poorly treated broncho-pneumonia with progression to empyema thoracis in Nigerian children. TAF Prev Med Bull. 2010; 9(3):181-186. 18. Debnath M, Singh S, Agrawat A, Dubey GP. Infectious diseases among malnourished children: Neurocognitive Performance. World J of Pharm Sci. 2015;3(2):224-31. 19. Trehan I, Goldbach HS, LaGrone LN. Outcomes research in review: Antibiotics cut death rates in children with malnutrition. N Engl J Med. 2013; 425-35 20. Tjay, TH, Raharja K. Obat-obat penting: khasiat, penggunaan, dan efek-efek sampingnya. Jakarta: Gramedia; 2007. 21. Gibson RS. Zinc: the missing link in combating micronutrient malnutrition in developing countries. Proceedings of the Nutrition Society; Maret 2006; New Zealand. Dunedin: University of Otago; 2006. 22. Arica S, Arica V, Dag H, Kaya A, Hatipoglu S, Fenercioglu A, et al. Serum zinc levels in children of 0-24 months diagnosed with pneumonia admitted to our clinic. Int J Clin Exp Med. 2011;4(3):227-33. 23. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Buku saku petugas kesehatan lintas diare. Jakarta:
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|45
Ayu | Anak Laki-Laki Usia 6 Bulan dengan Marasmus dan Bronkopneumonia
24. Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2011. 25. Schlaudecker EP, Steinhoff MC, Moore SR. Interactions of diarrhea, pneumonia, and malnutrition in childhood: recent evidence from developing countries. Current Opinion in Infect Dis. 2011;5:496-502. 26. Hanslik A, Pospisil U, Salzer-Muhar U, Graber-Platzer S, Male C. Predictors of spontaneous closure of isolated
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|46
secundum atrial septal defect in children: A longitudinal study. American Academy of Pediatr. 2016;180:1560-5. 27. Arpitha G, Rehman MA, Ashwitha G. Effect of severity of malnutrition on pneumonia aged 2m-5y at a tertiary care center in Khammam, Andhra Pradesh: A Clinical Study. Scholars J of Applied Med Sci. 2014;2(6E):3199203.