AVOIDANCE BEHAVIOR TENDENCY ON CHILDREN WHO GOT DOMESIC VIOLENCE MISBAWATY SUSY SUARDY, PRAESTI SEDJO, S.PSI, M.SI Undergraduate Program, 2008 Gunadarma University http://www.gunadarma.ac.id key words: avoidance, domestic violence ABSTRACT : News or cases related to domestic violence (domestic violence) often times we hear even unconsciously we have seen directly. Actions of Domestic Violence can happen to anyone, including mothers, fathers, wives, husbands, domestic servants even though the child. In children who suffered domestic violence act is not uncommon to experience physical injuries and mental disorders. Ironically, according to data available in all institutions that handle issues of violence against children or those who provide guidance on the victim, indicated that child abuse continues to increase every year and the severity of the perpetrators of that violence most often committed by people nearby. Referred to the nearest person who might have family or parents and peers (peer group), domestic violence is abuse of power by one family member to other family members that violate individual rights or civil liability. Forms hardness can be a fulfillment of child neglect, physical abuse, verbal abuse, emotional, or sexual violence. Impact of domestic violence acts experienced by children can cause avoidance behavior, in which avoidance behavior is a form of avoidance behaviors are characterized by feelings of isolation and feelings of loneliness are also combined with a feeling of fear of humiliation and rejection from others. Dimension of avoidance behave as behavior that looks (behavioral appearance), interpersonal behavior (interpersonal conduct), self-perception (self-perception), affective expression (affective expression), cognitive models (cognitive style), and basic defense mechanisms (primary defense mechanism). The purpose of this study is to determine the forms of domestic violence experienced by the subject, how avoidance behavior in subjects who experience domestic violence and the causes avoidance behavior on the subject. In this study, the authors use qualitative methods with the approach of case study research because qualitative methods suitable for use on the problems that aims to explore the life of a person or a person's behavior in daily life and by using case study approach because there are complex problems in subjects who wanted to study and the authors expect that method can obtain satisfactory results on all matters related to this research. The subjects used in this study were a 7year-old girl who experienced domestic violence. Data collection techniques in this research are to use a method of interviewing and observation on the subject and significant other. In the process of interviewing and observation, researchers completed the interview guide and observation guide and a tape recorder to help the process of collecting data. After doing research, it can be concluded that in the case of the subject, the subject has undergone some form of domestic violence
1
made by his parents, a waiver of fulfilling the needs of children, verbal abuse, emotional, and physical violence. Impact of violence / rejection experienced by subjects were the cause of avoidance behavior, which avoidance behavior can be seen from several dimensions, such as the behavior of subjects who looked (behavioral appearance), interpersonal behavior (interpersonal conduct), selfperception (self-perception), affective expression (expression affective), cognitive models (cognitive style), and basic defense mechanisms (primary defense mechanism). Avoidance behaves on the subject due to the violence factor / rejection from parents and peers (group of peer).
2
UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS PSIKOLOGI
KECENDERUNGAN PERILAKU AVOIDANCE PADA ANAK YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Disusun oleh : Nama
: Misbawaty Susy Suardy
NPM
: 10503112
Pembimbing
: Praesti Sedjo, SPsi., MSi.
Diajukan Guna Melengkapi Sebagian Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
JAKARTA 2008 KECENDERUNGAN PERILAKU AVOIDANCE PADA ANAK YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
3
MISBAWATY SUSY SUARDY
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GUNADARMA
ABSTRAKSI Berita atau kasus mengenai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sering kali kita dengar bahkan secara tidak sadar telah kita lihat secara langsung. Tindakan KDRT bisa menimpa siapa saja termasuk ibu, bapak, istri, suami, pembantu rumah tangga bahkan anak sekalipun. Pada anak yang mengalami tindakan KDRT tersebut tidak jarang mengalami cedera fisik dan gangguan psikis. Ironisnya menurut data yang tersedia disemua lembaga yang menangani isu kekerasan terhadap anak atau mereka yang melakukan pendampingan pada korban, menunjukan bahwa kekerasan pada anak terus meningkat setiap tahunnya dan parahnya adalah pelaku tindak kekerasan itu paling banyak dilakukan oleh orang-orang terdekat. Orang terdekat yang dimaksud bisa saja keluarga atau orangtua dan teman-teman sebaya (peer group). Kekerasan dalam rumah tangga adalah penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu anggota keluarga kepada anggota keluarga lainnya yang melanggar hak individu atau perdata. Bentuk-bentuk kekerasannya dapat berupa pengabaian pemenuhan kebutuhan anak, kekerasan fisik, kekerasan verbal-emosional, ataupun kekerasan seksual. Dampak dari tindakan KDRT yang dialami oleh anak dapat menimbulkan perilaku avoidance, dimana perilaku avoidance merupakan suatu bentuk perilaku menghindar yang ditandai dengan perasaan terisolasi dan perasaan kesepian yang dikombinasikan pula dengan perasaan takut akan penghinaan dan penolakan dari orang lain. Dimensi perilaku avoidance seperti tingkah laku yang kelihatan (behavioral appearance), perilaku interpersonal (Interpersonal conduct), persepsi diri (self-perception), ekspresi afektif (affective expression), model kognitif (cognitive style), dan mekanisme pertahanan dasar (primary defense mechanism). Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dialami subjek, bagaimana perilaku avoidance pada subjek yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan faktor penyebab perilaku avoidance pada subjek. Pada penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan penelitian studi kasus karena metode kualitatif sesuai untuk digunakan pada masalah-masalah yang bertujuan untuk mengeksplorasi kehidupan seseorang atau tingkah laku seseorang dalam kehidupannya sehari-hari dan dengan menggunakan pendekatan penelitian studi kasus karena terdapat permasalahan yang kompleks pada subyek yang ingin diteliti dan dengan metode tersebut penulis mengharapkan dapat memperoleh hasil yang memuaskan tentang semua hal yang berkaitan dengan penelitian ini. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah seorang anak perempuan berusia 7 tahun yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode wawancara dan observasi pada subjek dan significant other. Dalam proses wawancara dan observasi, peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara dan pedoman observasi serta alat perekam untuk membantu proses pengumpulan data. Setelah dilakukannya penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pada kasus subjek, subjek telah mengalami beberapa bentuk tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh orangtuanya, berupa pengabaian pemenuhan kebutuhan anak, kekerasan verbal-emosional, dan juga kekerasan fisik. Dampak dari tindak kekerasan/penolakan yang dialami subjek itulah yang menyebabkan adanya perilaku avoidance, dimana perilaku avoidancenya dapat dilihat dari beberapa dimensi seperti tingkah laku subjek yang kelihatan (behavioral appearance), perilaku interpersonalnya (Interpersonal conduct), persepsi dirinya (self-perception), ekspresi afektifnya (affective expression), model kognitifnya (cognitive style), serta mekanisme pertahanan dasarnya (primary defense mechanism). Perilaku avoidance pada subjek disebabkan karena adanya faktor kekerasan/penolakan dari orangtua dan teman sebayanya (peer group). Kata Kunci : Avoidance, Kekerasan dalam Rumah Tangga
4
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seorang bayi dilahirkan dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, seiring waktu ia akan tumbuh menjadi anak yang lucu dan menggemaskan. Agar dapat tumbuh menjadi individu yang mampu bertahan hidup, anak membutuhkan perlindungan dan bimbingan dari orangtuanya. Tidak semua orangtua dapat membesarkan anaknya dengan cara yang baik bahkan tidak jarang kita
5
jumpai sebagian dari orangtua yang membesarkan anaknya dengan cara yang tidak wajar, salahsatunya adalah melalui tindak kekerasan. Kekerasan dalam rumah tangga menurut Abbott dkk (dalam Sampurna, 2000) adalah penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu anggota keluarga kepada anggota keluarga lainnya yang melanggar hak individu atau perdata. Kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri menimpa siapa saja termasuk ibu, bapak, istri, suami, pembantu rumah tangga atau anak sekalipun (Kolibonso, 2002). Jumlah kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data yang diperoleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP), jumlah kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia pada tahun 2005 sekitar 20.000 kasus. Pada tahun 2006 ke tahun 2007, jumlah kasus kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan lebih dari 30.000 kasus. Hal ini diakui Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta Swasono. (Sinar Harapan, 2007). Kekerasan terhadap anak dapat terjadi dalam beragam bentuk. Komisi Nasional Perempuan (2002) membagi kekerasan terhadap anak secara umum ke dalam empat kategori yaitu pengabaian pemenuhan kebutuhan anak, kekerasan fisik, kekerasan verbal-emosional, dan kekerasan seksual. Komisi Nasional Perempuan (2002) juga menambahkan bahwa berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap anak ini membawa dampak yang membahayakan terhadap kesejahteraan fisik maupun psikis anak. Secara fisik anak menderita patah tulang, sembab, lebam, terbakar, cacat permanen, dan lain sebagainya. Sedangkan secara psikis anak bisa menderita ketakutan, kemarahan, sedih, merasa bersalah, malu, bingung, dan juga perilaku menghindar (avoidance). Berdasarkan uraian di atas, kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh orangtua kepada anak dapat mengganggu proses perkembangan anak baik secara fisik maupun psikologis. Anak yang mengalami kekerasan juga tidak dapat menikmati indahnya masa kecil yang penuh keceriaan. Salah satu dampak psikologis bagi anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah anak akan jadi menarik diri dari lingkungan atau adanya perilaku avoidance yang terjadi pada anak tersebut. Perilaku avoidance tersebut bisa saja muncul ketika seseorang masih berusia anak-anak, remaja ataupun dewasa. Pentingnya pengetahuan tentang avoidance pada anak yang berdampak serius ini mendorong penulis untuk meneliti tentang kecenderungan perilaku avoidance pada anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. B. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penulisan adalah peneliti ingin mengetahui lebih jelas tentang: 1. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga. 2. Perilaku avoidance pada anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. 3. Penyebab terjadinya perilaku avoidance pada anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. C. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu : 1. Manfaat Teoritis Menambah wacana penelitian dalam psikologi (psikologi kognitif, psikologi abnormal dan psikopatologi, psikologi perkembangan, serta psikologi klinis) terutama mengenai perilaku avoidance pada anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. 2. Manfaat praktis Memberikan wacana pengetahuan mengenai kekerasan dalam rumah tangga yang makin sering kita jumpai melalui media masa maupun media elektronik, selain itu juga membangun kepekaan terhadap isu kekerasan terhadap anak serta membantu menghapus kekerasan terhadap anak. Diharapkan juga dapat memberikan masukan bagi para konselor dan masyarakat pada umumnya agar lebih intensif dalam menangani kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1.
2.
A. Perilaku Avoidance Definisi Avoidance Avoidance merupakan suatu tingkah laku menghindar yang ditandai dengan perasaan terisolasi dan perasaan kesepian yang dikombinasikan pula dengan perasaan takut akan penghinaan dan penolakan dari orang lain. Millon & Everly (1985) Dari definisi di atas maka disimpulkan bahwa avoidance adalah suatu bentuk perilaku menghindar yang ditandai dengan perasaan terisolasi dan perasaan kesepian yang dikombinasikan pula dengan perasaan takut akan penghinaan dan penolakan dari orang lain. Dimensi-dimensi dari Perilaku Avoidance
7
Berikut ini akan dijelaskan beberapa dimensi dari perilaku avoidance (dalam Millon dan Everly, 1985), yaitu : a. Tingkah laku yang kelihatan (behavioral appearance) b. Perilaku interpersonal (Interpersonal conduct) c. Persepsi diri (self-perception) d. Ekspresi afektif ( affective expression) e. Model kognitif (cognitive style) f. Mekanisme pertahanan dasar (primary defense mechanism) 3.
Kriteria Perilaku Avoidance Menurut Kaplan & Sadock (1997) kriteria diagnostik untuk gangguan kepribadian menghindar (avoidance) dalam DSM IV adalah sebagai berikut : a. Menghindari aktivitas pekerjaan yang memerlukan kontak interpersonal yang bermakna, karena takut akan kritik, celaan, atau penolakan. b. Tidak mau terlibat dengan orang lain kecuali merasa yakin akan disenangi. c. Menunjukkan keterbatasan dalam hubungan intim karena rasa takut dipermalukan atau ditertawai. d. Preokupasi ketika sedang dikritik atau ditolak dalam situasi sosial. e. Terhambat dalam situasi interpersonal yang baru karena perasaan tidak adekuat. f. Memandang diri sendiri sebagai sesuatu yang janggal secara sosial, tidak menarik secara pribadi, atau lebih rendah dari orang lain. g. Tidak biasanya enggan untuk mengambil resiko pribadi atau melakukan aktivitas baru karena dapat membuktikan penghinaan.
4.
Faktor yang Menyebabkan Perilaku Avoidance Perilaku avoidance menghadirkan suatu kekacauan kepribadian yang kelihatan. Individu dengan perilaku avoidance rindu akan persahabatan tetapi takut akan penolakan dan penghinaan yang mereka rasakan itu (Millon & Everly, 1985). Faktor perilaku avoidance, yaitu : a. Faktor Biogenik b. Faktor lingkungan 1) Penolakan dari orangtua. 2) Penolakan dari teman sebaya (Peer-Group).
1.
2.
B. Kekerasan dalam Rumah Tangga Definisi Kekerasan Kekerasan biasa juga disebut sebagai violence yang berasal dari bahasa latin, yang terdiri dari gabungan kata vis (daya atau kekuatan) dan lotus (yang berasal dari ferre atau membawa) yang kemudian menjadi kekuatan. Istilah kekerasan juga digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert) dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive) yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain, di mana Galtung (dalam Windhu, 1992) menjabarkannya seperti di bawah ini : a. Kekerasan terbuka b. Kekerasan tertutup c. Kekerasan agresif d. Kekerasan defensif Berdasarkan definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kekerasan adalah suatu bentuk perilaku atau tindakan yang dilakukan seseorang atau lebih yang berupa ancaman, usaha, atau penggunaan kekuatan fisik yang dapat menimbulkan penderitaan secara fisik maupun psikologis bagi orang lain. Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Abbott dkk (dalam Sampurna, 2000) kekerasan dalam rumah tangga juga dapat dikatakan sebagai penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu anggota keluarga kepada anggota keluarga lain yang melanggar hak individu perdata. Berdasarkan definisi kekerasan dalam rumah tangga yang telah dipaparkan di atas maka penulis menyimpukan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu bentuk perilaku
8
yang dapat menimbulkan penderitaan fisik maupun psikologis yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarga kepada anggota keluarga lainnya yang melanggar hak individu. 3.
Sebab-sebab Terjadinya Kekerasan Ada banyak faktor mengapa sampai terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Poerwandari (2000) menggolongkan 3 penjelasan konseptual mengenai perilaku kekerasan dalam rumah tangga, yaitu : a. Penjelasan yang mengarah ke kondisi internal, karateristik pribadi atau psikopatologi pelaku kekerasan yang menyebabkan kekerasan kemudian terjadi. b. Penjelasan yang mengarah kealasan-alasan yang dilekatkan pada karakteristik pribadi korban kekerasan. c. Penjelasan feministik
4.
Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Anak Berikut ini akan dipaparkan bentuk-bentuk kekerasan. Komisi Nasional Perempuan (2002) membagi kekerasan terhadap anak ke dalam 4 kategori, yaitu : a. Pengabaian Pemenuhan Kebutuhan Anak b. Kekerasan Fisik c. Kekerasan Verbal-Emosional d. Kekerasan Seksual
5.
Dimensi-dimensi Kekerasan Galtung (dalam Windhu, 1992), menguraikan enam dimensi kekerasaan, antara lain : a. Kekerasan fisik dan psikologis b. Pengaruh positif dan negatif c. Ada objek atau tidak d. Ada subjek atau tidak e. Disengaja atau tidak f. Yang tampak dan tersembunyi
6.
Dampak Kekerasan pada Anak Menurut Komnas Perempuan (2002) beberapa gangguan emosi yang muncul pada anak yang mengalami tindak kekerasan, yaitu : a. Ketakutan b. Kemarahan c. Sedih d. Bersalah e. Malu f. Bingung
1.
2.
C. Masa Kanak-kanak Definisi Anak Lugo and Hershey (dalam Monks and Knoers, 2002) mengatakan bahwa anak adalah anggota keluarga yang ikut dalam tanggung jawab sehari-hari orang dewasa, ikut dalam aktifitas orang dewasa. Hurlock (1980) menambahkan bahwa tahapan dalam masa kanakkanak itu dimulai dari masa bayi yaitu akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua, awal masa kanak-kanak yaitu usia dua sampai enam tahun dan akhir masa kanak-kanak yaitu usia enam sampai sepuluh atau dua belas tahun. Berdasarkan definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa anak adalah anggota keluarga yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan verbal sebagai hasil proses mempelajari sesuatu dan ikut dalam aktifitas orang dewasa yang rentang usianya adalah dari masa bayi (akhir minggu kedua) hingga akhir masa kanak-kanak (usia 12 tahun). Periode Kanak-Kanak Menurut Yusuf (2006) 3 fase dalam periode kanak-kanak, yaitu : a. Fase bayi, masa ini dimulai sejak berakhirnya masa orok sampai akhir tahun kedua dari kehidupan.
9
b.
c.
Fase prasekolah, masa ini merupakan fase perkembangan individu dengan usia sekitar 3-6 tahun, ketika anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau wanita, dapat mengatur diri dalam buang air (toilet training), dan mengenal beberapa hal yang dianggap berbahaya (mencelakakan dirinya). Fase anak sekolah, masa ini berada pada rentang usia 6-12 tahun.
D. Kecenderungan Perilaku Avoidance pada Anak yang Mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga. Tindak kekerasan saat ini marak sekali terjadi, termasuk dalam lingkup rumah tangga. Tidak jarang kita jumpai sebagian dari orang tua yang membesarkan anaknya dengan cara yang tidak wajar, salah satunya adalah melalui tindak kekerasan. Kekerasan dalam rumah tangga didefinisikan Abbott dkk (dalam Sampurna, 2000) sebagai penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu anggota keluarga kepada anggota keluarga lainnya yang melanggar hak individu atau perdata. Kekerasan terhadap anak sangat bervariasi bentuk dan intensitasnya. Komisi Nasional Perempuan (2002) membagi kekerasan terhadap anak ke dalam 4 kategori, yaitu pengabaian pemenuhan kebutuhan anak, kekerasan fisik, kekerasan verbal-emosional, dan kekerasan seksual. Ada banyak faktor mengapa sampai terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Poerwandari (2000) menggolongkan 3 penjelasan konseptual mengenai perilaku kekerasan dalam rumah tangga, yaitu penjelasan yang mengarah kekondisi internal karateristik pribadi atau psikopatologi pelaku kekerasan, penjelasan yang mengarah kealasan-alasan yang dilekatkan pada karakteristik pribadi korban kekerasan, dan penjelasan feministik. Tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap anak ini membawa dampak yang membahayakan terhadap kesejahteraan fisik ataupun psikis anak. Secara fisik anak menderita patah tulang, sembab, lebam, terbakar, cacat permanen, dan lain sebagainya. Sedangkan secara psikis anak bisa menderita ketakutan, kemarahan, sedih, merasa bersalah, malu, bingung, dan juga perilaku menghindar (avoidance). Perilaku avoidance pada anak ini tidaklah dibuat-buat, karena pada dasarnya terbentuk secara tidak langsung pada diri anak tersebut, karena trauma akibat kekerasan yang dialaminya dan juga dikarenakan akan ketakutanketakutan si anak pada tindak kekerasan yang kiranya tidak diharapkan olehnya untuk terjadi lagi (Komisi Nasional Perempuan, 2002). Menurut Sutardjo (2005) perilaku avoidance ini ditandai oleh adanya ciri sangat sensitif (hypersensitiveness) terhadap penilaian orang lain, sehingga sukar untuk menolak kehendak orang lain atau menghalangi lingkungan sosial, mereka tidak mau dan tidak berani ikut dalam suatu gerakan di lingkungan sosial karena adanya perasaan tidak aman (insecurity) dalam berinteraksi sosial dan dalam memulai suatu relasi sosial. Perilaku avoidance menghadirkan suatu kekacauan kepribadian yang nampak (Millon & Everly, 1985). Individu dengan perilaku avoidance rindu akan persahabatan tetapi takut akan penolakan dan penghinaan yang mereka rasakan itu. Biasanya perilaku avoidance disebabkan oleh faktor biogenik atau faktor lingkungan yang di dalamnya termasuk penolakan dari orang tua. Millon & Everly (1985) menjelaskan tentang konsekuensi atau dampak dari penolakan, terutama penolakan dari orangtua itu antara lain akan tampak perasaan gelisah dan tegang. Seorang anak mungkin merasakan bahwa dunia kasar, tidak bersahabat, dan gelisah. Orang tua yang merendahkan, menertawakan, dan menolak anak-anak mereka akan menyebabkan kurangnya rasa kemampuan diri (self-competence) dan menghalangi pertumbuhan keyakinan diri anaknya. Hurlock (1980) menekankan bahwa pada masa kanak-kanak yaitu masa bayi (akhir minggu kedua) hingga masa akhir kanak-kanak (usia 12 tahun) merupakan tahap perkembangan yang sangat penting dikarenakan pada tahap tersebut anak-anak mulai membentuk konsep dirinya dan mulai mengembangkan kepribadiannya, terutama dimulai pada lingkup keluarga. Inilah sebabnya maka Glasner (dalam Hurlock, 1980) mengatakan bahwa konsep diri anak terbentuk di dalam ikatan hubungan keluarga.
10
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan peneliti adalah metode kualitatif dengan pendekatan penelitian studi kasus. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang memungkinkan evaluator untuk mempelajari isu yang dipilih secara mendalam dan terperinci (dalam Patton, 1990). Sedangkan menurut Frey et al (dalam Mulyana, 2004) pendekatan studi kasus menyediakan peluang untuk menerapkan prinsip umum terhadap situasi-situasi spesifik atau contoh-contoh yang disebut studi kasus. Ciri-ciri studi kasus menurut Narbuko & Achmadi (2003), antara lain : 1. Penelitian studi kasus adalah penelitian yang dalam kasus tertentu yang hasilnya merupakan gambaran lengkap mengenai kasus, penelitian ini mencangkup keseluruhan siklus kehidupan. 2. Studi kasus cenderung digunakan untuk meneliti jumlah unit yang kecil tetapi mengenai varibel-varibel dan kondisi yang besar jumlah. Berdasarkan uraian di atas, penulis memilih metode studi kasus karena terdapat permasalahan yang kompleks pada subjek yang ingin diteliti dan dengan metode tersebut penulis mengharapkan dapat memperoleh hasil yang memuaskan tentang semua hal yang berkaitan dengan penelitian ini.
1.
B. Subjek Penelitian Karakteristik Subjek Sarantakos (dalam Poerwandari, 2001) menjelaskan bahwa prosedur penentuan subjek atau sumber data dalam penelitian kualitatif umumnya menampilkan karakteristik sebagai berikut :
11
a.
2.
3.
Diarahkan tidak dalam jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian. b. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan konteks pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian. c. Tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam arti jumlah atau peristiwa acak) melainkan pada kecocokan konteks. Subjek dalam penelitian ini adalah anak perempuan berusia 7 tahun yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Jumlah Subjek Menurut Patton (dalam Poerwandari, 1998) tidak ada aturan pasti dalam jumlah sampel yang harus diambil dalam penelitian studi kasus. Jumlah sampel sangat tergantung pada apa yang ingin diketehui peneliti, tujuan penelitian, konteks saat itu, apa yang akan dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Poerwandari (1998) juga mengatakan bahwa dengan fokus penelitian dengan metode kualitatif pada kedalaman dan proses maka penelitian studi kasus cenderung dilakukan dengan jumlah kasus yang sedikit. Metode Pengambilan Subjek Metode pengambilan subjek dalam metode studi kasus ini dilakukan dengan cara memilih subjek berdasarkan karakteristik yang telah ditentukan sebelumnya.
C. Tahap-tahap Penelitian Tahap persiapan dan pelaksanaan yang akan dilakukan dalam penelitian ini meliputi beberapa tahapan, yaitu : 1. Tahap Persiapan 2. Tahap Pelaksanaan Penelitian D. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara dan metode observasi. 1.
Wawancara Wawancara menurut Moleong (2004) adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan ini dilakukan oleh dua orang pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan orang yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Menurut Moleong (2004), metode wawancara dapat dibedakan atas dua macam, yaitu : a. Wawancara berstruktur b. Wawancara tidak berstruktur Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara berstruktur karena dapat digunakan sebagai penuntun selama proses wawancara agar lebih terarah. 2. Observasi Menurut Poerwandari (2001) tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung dan orang-orang yang terlibat dalam aktivitas dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Menurut Moleong (2004), berdasarkan keterlibatan pengamat dalam kegiatan orangorang yang diamati, observasi dapat dibedakan menjadi : a. Observasi Partisipan b. Observasi Non Partisipan Menurut Moleong (2004), observasi berdasarkan cara pengamatan dibedakan atas: a. Observasi Berstruktur b. Observasi Tidak Berstruktur Jenis observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi non partisipan dan berstruktur karena penulis hanya berperan sebagai seorang pengamat dengan bantuan pedoman observasi ketika penulis dan subjek bertemu dan pada saat proses wawancara berlangsung.
12
E. Alat Bantu Pengumpulan Data Menurut Poerwandari (1998), penulis sangat berperan dalam seluruh proses penelitian mulai dari pemilihan topik, mendekati topik, mengumpulkan data, analisis, interpretasi dan menyimpulkan data. Dalam pengambilan data pada wawancara dan observasi diperlukan alat bantu untuk mempermudah peneliti untuk mengumpulkan data, yaitu : 1. Pedoman wawancara 2. Pedoman Observasi 3. Alat Perekam F. Keabsahan dan Keajegan Penelitian Penelitian ini menggunakan triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Kriteria keabsahan dan keajegan dalam suatu penelitian, yaitu : 1. Keabsahan Konstruk Keabsahan bentuk dengan kepastian bahwa yang terukur benar-benar variabel yang ingin diukur. Ada empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan untuk mencapai keabsahan, yaitu : a. Triangulasi dengan sumber b. Triangulasi dengan metode Triangulasi dengan metode ada dua strategi yaitu : 1) Pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data. 2) Pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode sama. Penelitian ini menggunakan 2 metode, yaitu observasi dan wawancara. c. Triangulasi dengan penyidik d. Triangulasi dengan teori 2.
3.
4.
Keabsahan internal Keabsahan internal merupakan konsep yang mengacu pada seberapa jauh kesimpulan hasil penelitian menggambarkan keadaan sesungguhnya. Keabsahan eksternal Keabsahan yang mengacu pada seberapa jauh hasil penelitian dapat digeneralisasikan pada kasus lain. Keajegan Keajegan merupakan konsep yang mengacu pada seberapa jauh penelitian berikutnya akan mencapai hasil yang sama apabila mengulang penelitian. Penelitian ini menggunakan triangulasi dengan sumber atau teori yaitu pengecekan derajat kepercayaan suatu info yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dan fakta tertentu tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih teori.
G. Teknik Analisis Data Adapun proses analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini akan dianalisa dengan teknik data kualitatif yang diajukan oleh Marshall dan Rossman. Menurut Marshall dan Rossman (1995) dalam menganalisa penelitian kualitatif terdapat beberapa tahapan yang perlu dilakukan. Tahapantahapan tersebut adalah: 1. Mengorganisasikan Data 2. Pengelompokkan Berdasarkan Kategori, Tema dan Pola Jawaban 3. Menguji Asumsi atau Permasalahan yang Ada Terhadap Data 4. Mencari Alternatif Penjelasan Bagi Data 5. Menulis Hasil Penelitian
13
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh subjek antara lain pengabaian pemenuhan kebutuhan anak dimana, pada kasus subjek terlihat bahwa orangtua subjek tidak menemaninya mengerjakan tugas sekolahnya, subjek malah ditinggal tidur dan nonton oleh mamanya. Subjek juga tidak diajak liburan pada saat liburan sekolah. Ketika subjek bayi pun, mamanya malas menyusui dan memberi makan. Kekerasan fisik berupa sering kalinya subjek menerima perlakuan kasar dari orangtuanya yaitu dicubit, dipukul, ditendang, ditoyor bahkan didorong. Kekerasan verbal-emosional, dimana subjek kerap kali dimarahi, dan menerima kata-kata kasar baik dari teman-temannya ataupun dari orangtuanya. Tetapi untuk kekerasan seksual, subjek tidak pernah sekalipun mengalaminya. 2. Setelah mengalami beberapa bentuk tindak kekerasan dalam rumah tangga, perilaku avoidance subjek terlihat dari tingkah lakunya yang lebih cenderung menjadi malu bertemu orang lain, subjek akan bersembunyi sendiri di kamar, dan subjek lebih memilih untuk sendiri (behavioral appearance). Perilaku interpersonal (Interpersonal conduct) dimana subjek merasa malu dan diam ketika bersama orang lain karena ia tidak tahu apakah orang itu baik atau tidak pada subjek. Subjek juga jadi malu dan tidak betah ketika bertemu dengan orang lain. Persepsi diri (self-perception) dimana subjek merasa dan menganggap dirinya sebagai anak nakal sehingga subjek tidak disukai dan disayang lagi oleh keluarganya. Subjek juga merasa telah menjadi seorang penakut dan pemalu. Ekspresi afektif (affective expression) dimana subjek akan merasa tidak betah ketika harus bersama dengan orang lain bahkan orangtuanya sekalipun. Subjek juga menambahkan bahwa ia gelisah ketika harus bersama dengan orang lain. Model kognitif (cognitive style) dimana karena adanya perasaan takut subjek pada orangtuanya membuat subjek lebih memilih bermain di dalam rumah dari pada keluar rumah. Mekanisme pertahanan dasar (primary defense mechanism) dimana subjek membayangkan memainkan bonekanya jadi sosok yang baik dan sayang padanya, subjek juga membayangkan diajak jalan-jalan oleh keluarganya. 3. Penyebab perilaku avoidance pada subjek yang telah mengalami kekerasan dalam rumah tangga dikarenakan oleh adanya faktor penolakan dari orangtua dimana subjek 1.
14
kerap kali menerima perlakuan kasar dari orangtuanya baik itu berbentuk pengabaian pemenuhan kebutuhan anak, kekerasan verbal-emosional bahkan subjek juga mengalami kekerasan fisik. Yang mana semua bentuk kekerasan ini berakibat buruk bagi subjek. Subjek jadi ketakutan baik itu pada pelaku tindak kekerasan yaitu orangtuanya, subjek juga jadi malu, merasa sendiri bahkan menarik diri dari interaksi dengan lingkungan sekitarnya.
1.
2.
3.
4.
B. Saran Saran yang diberikan oleh penulis, yaitu: Kepada subjek Sebaiknya subjek mau berani untuk mengutarakan segala perasaan yang ia rasakan juga subjek diharapkan untuk dapat berani mengatakan tidak pada tuduhan-tuduhan yang tidak benar yang ditujukan padanya agar hak dasar yang dimiliki subjek tidak diremehkan oleh orang lain baik itu oleh orangtua ataupun orang dewasa lainnya. Sebaiknya subjek pun mau berani melakukan pengaduan pada lembaga-lembaga yang menangani kasus kekerasan pada anak seperti Komnas Anak atau pada Telepon Sahabat Anak TESA di 129. Kepada keluarga subjek Sebaiknya orangtua subjek tidak melakukan tindak kekerasan dalam bentuk apapun lagi kepada subjek karena akan berdampak negatif pada perkembangannya. Orangtua diharapkan bisa selalu mendampingi dan memenuhi segala kebutuhan subjek yang mana akan mendukung perkembangan fisik dan psikis dari subjek. Kepada anggota keluarga subjek yang lain (nenek, tante, dll) bisa selalu ikut mengawasi dan membantu dalam proses perkembangan subjek. Apabila ada yang melihat tindak kekerasan terjadi kembali pada subjek, bisa segera melaporkannya pada pihak yang berwenang agar bisa segera ditindak lanjuti. Kepada masyarakat Diharapkan dapat membangun kepekaan terhadap isu kekerasan dalam rumah tangga serta membantu mengurangi tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh orang dewasa pada anak-anak. Kepada penelitian selanjutnya Diharapkan pada penelitian selanjutnya, peneliti bisa mengambil kriteria subjek dengan latar belakang yang lebih beragam lagi seperti subjek yang berasal dari keluarga dengan taraf ekonomi rendah atau subjek yang merupakan anak hasil hubungan di luar nikah agar dapat memahami lebih dalam lagi mengenai kompleksitas isu kekerasan dalam rumah tangga.
15
DAFTAR PUSTAKA
Hurlock. B. E. (1980) Psikologi perkembangan : Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan, edisi kelima. Jakarta: Erlangga. Kaplan & Sadock. (1997) Sinopsis psikiatri ilmu pengetahuan perilaku psikiatri klinis. Alih Bahasa : Widjaja Kusuma. Jakarta : Binapura Aksara. Kolibonso, R. S. (2002) Kejahatan itu bernama KDRT : Jurnal perempuan untuk pencerahan dan kesetaraan. 26, 7-21. Komisi Nasional Perempuan. (2002) Peta kekerasan, pengalaman perempuan indonesia. Jakarta : Ameepro. Marshall, C. & Rossman. (1995) Designing qualitative research. London: Sage Publications. Millon, T. & Everly, G. S. (1985) Personality it’s disorders : A biosocial learning approach. United States of America : Theodore Millon and George S. Everly, Jr. Moleong, L. J. (2004) Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Offset. Mulyana, D. (2004) Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Narbuko, C. & Achmadi, A. (2003) Metode Penelitian. Jakarta : PT. Bumi Aksara. Patton, (1990) Qualitative evaluation and research methods. New York : Sage Publication, Inc. Poerwandari (1998) Pendekatan kualitatif. Jakarta : Universitas Indonesia. Poerwandari, E. K. (2000) Kekerasan terhadap perempuan : tinjauan psikologi feminimistik dalam Lahulima, A. S. (penyunting), pemahaman bentuk-bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan dan alternatif pemecahannya. Jakarta : Pusat kajian Wanita & Jender UI. Poerwandari, E. K. (2001) Penelitian kualitatif untuk penelitian perilaku manusia (LPSPI). Jakarta : Universitas Indonesia.
16
Sampurna, B. (2000) Pembuktian dan pelaksanaan kekerasan terhadap perempuan : Tinjauan klinis dan forensik dalam luhulima, A. S. (penyunting), Pemahaman bentuk-bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan dan alternatif pemecahannya. Jakarta : Pusat Kajian Wanita & Jender UI. Sinar Harapan, (2007) Page : 3 Size : 361.25 mmc Circulation : 100000, Author Unknown. Syamsu, Y. (2006) Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Windhu, I. M. (1992) Kekuasaan dan kekerasan menurut Johan Galtung. Yogyakarta : Kanisius Wiramihardja, A. Sutardjo. (2005) Pengantar psikologi abnormal. Bandung: PT. Refika Aditama.
17