JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2014) 1-6 1
Assessment Kerentanan Bangunan Beton Bertulang Pasca Gempa M. G. Wisnu Wijaya, Endah Wahyuni dan Data Iranata Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 e-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak - Beberapa kejadian gempa yang terjadi akhir-akhir ini, seperti gempa Aceh, Padang, Yogyakarta dan di daerah lain telah banyak memakan korban jiwa, kerugian harta benda, serta kerusakan pada bangunan gedung beton bertulang yang didirikan secara tidak memadai untuk mengantisipasi bahaya tersebut. Melihat situasi yang demikian, terutama yang daerahnya sering terjadi gempa, perlu dilakukan assessment kerentananya. Pada penelitian ini akan dilakukan evaluasi kerentanan struktur bangunan beton bertulang terhadap beban gempa yang terjadi. Untuk mendukung studi ini, maka perlu dilakukan beberapa kegiatan yang terdiri dari pengumpulan data bangunan sebelum terjadi kerusakan, pengamatan kondisi setelah bangunan terkena beban. Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan pengetesan dengan memberikan beban lateral terhadap sumbu memanjang gedung dengan menggunakan alat aktuator pada lantai 1 dan atap gedung akan menghasilkan nilai simpangan dari beban yang diberikan. Hal ini dimaksudkan agar didapatkan beberapa tipe kerusakan dari setiap step pembebanan. Studi ini dilakukan untuk melihat perilaku kerusakan dan simpangan yang terjadi berdasarkan analisa numerik dengan menggunakan analisa beban dorong statik nonlinier pushover yang nantinya akan dilanjutkan dengan pembuatan urutan untuk penilaian kondisi bangunan. Hasil dari analisa tersebut akan dituangkan dalam bentuk rekomendasi apakah bangunan tersebut masih dalam kondisi Immediate Occupancy, Life Safety, atau Collapse Prevention. Studi ini juga menghasilkan form assessment gedung setelah terkena gempa. Kata Kunci - Assessment, Beton Bertulang, Collapse Prevention, Immediate Occupancy, Life Safety.
S
I. PENDAHULUAN
ECARA geografis, kepulauan Indonesia berada di antara 6 LU dan 11 LS serta di antara 95 BT dan141 BT dan terletak pada perbenturan tiga lempeng kerak bumi yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng India Australia. Ditinjau secara geologis, kepulauan Indonesia berada pada pertemuan 2 jalur gempa utama, yaitu jalur gempa Sirkum Pasifik dan jalur gempa Alpide Transasiatic. Karena itu, kepulauan Indonesia berada pada daerah yang mempunyai aktifitas gempa bumi cukup tinggi. Peraturan tentang beban gempa SNI 17262002, menetapkan Indonesia terbagi dalam enam wilayah gempa, di mana Wilayah Gempa 1 adalah wilayah dengan kegempaan paling rendah, serta Wilayah Gempa 6 dengan kegempaan paling tinggi. Pembagian Wilayah Gempa ini,
didasarkan atas percepatan puncak batuan dasar akibat pengaruh Gempa Rencana dengan perioda ulang 500 tahun, yang nilai rata-ratanya untuk setiap Wilayah Gempa. Gempa bumi yang terjadi dalam skala yang cukup tinggi dapat merusak bangunan perumahan maupun sarana dan prasarana penting. Kerusakan akibat gempa bumi pada masa lalu menunjukkan bahwa betapa besarnya kerugian yang kita alami. Beberapa bangunan gedung, terutama perumahan penduduk, perkantoran dan gedung sekolah, yang berada di wilayah gempa tinggi sangatlah rentan pada saat terjadinya gempa bumi, terutama resiko terjadinya kerusakan bangunan yang dapat menimbulkan korban jiwa dalam jumlah yang cukup besar. Kerusakan bangunan gedung serta sarana dan prasarana publik yang terjadi akibat terkena beban gempa secara umum disebabkan karena perencanaan dan pembangunan yang tidak memperhatikan standard bangunan tahan gempa yang telah disepakati bersama (Wiguna, dkk 2009). Boen (2007) menyatakan bahwa kerusakan terbanyak akibat beban gempa adalah pada bangunan non- engineering, yaitu suatu bangunan yang direncanakan oleh penduduk lokal yang tanpa memperhatikan standard perencanaan yang baku. Pemerintah Indonesian sendiri telah menetapkan peraturan SNI 1726-2002 tentang pembebanan gempa pada struktur bangunan dan SNI 2847-2002 tentang perencanaan struktur bangunan beton yang tahan terhadap beban gempa. Meskipun demikian, masih banyak bangunan yang dibangun tanpa memperhatikan peraturan tersebut (Wiguna, dkk 2009). Semakin banyak bangunan yang pembangunannya tidak mematuhi standar keselamatan bangunan, maka jumlah bangunan yang rentan terhadap kerusakan akan semakin meningkat. Berdasarkan pengalaman bencana alam di masa lalu, suatu bangunan yang mempunyai kerentanan yang cukup tinggi menjadi penyebab utama terjadinya korban jiwa apabila terjadi bencana gempa bumi. Hal ini sesuai dengan kata pepatah: “Earthquake doesn’t kill people, but buildings do”. Beberapa kejadian gempa yang terjadi akhir-akhir ini, seperti gempa Aceh, Nias, Yogyakarta dan di daerah lain telah banyak memakan korban jiwa serta kerugian harta benda, termasuk hancurnya bangunan rumah penduduk, serta kerusakan fasilitas umum seperti bangunan gedung sekolah dan perkantoran serta pertokoan yang didirikan secara tidak memadai untuk mengantisipasi bahaya tersebut. Melihat situasi yang demikian, terutama yang daerahnya sudah terjadi gempa, perlu dilakukan assessment kerentanannya. Pada studi ini akan dilakukan evaluasi kerentanan struktur bangunan beton bertulang terhadap beban gempa yang terjadi. Wiguna, dkk (2009) menyatakan bahwa struktur bangunan beton memiliki
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2014) 1-6 2 kerentanan yang cukup tinggi terutama pada Wilayah Gempa 5 dan 6 di Indonesia. Hal ini disebabkan karena proses pembangunan struktur bangunan beton yang biasanya dilakukan secara cor di tempat (cast-in-situ) sering kurang mendapatkan kualitas kontrol yang baik. Dengan demikian, mutu bangunan yang didirikan juga akan mengalami penurunan kualitas. Hal ini akan semakin bertambah buruk apabila proses desain bangunan tersebut sama sekali tidak memperhatikan peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia. Sebagai akibatnya, bangunan akan mempunyai tingkat kerentanan yang cukup tinggi dan akan mudah mengalami kerusakan atau bahkan runtuh apabila terkena beban gempa. II. METODE PENELITIAN Proses penelitian ini ditampilkan dalam sebuah diagram alir metodologi yang dapat dilihat pada diagram alir dibawah ini : START
Studi Literatur Kerusakan Bangunan Gedung Beton Bertulang
- Elastisitas beton, Ec : 4700f’c : 18263.59 Mpa - Tulangan Longitudinal Tegangan tarik minimum (Fy) : 287.2Mpa Tegangan tekan minimum (Fu) : 425.5 Mpa - Tulangan Transversal Tegangan tarik minimum (Fy) : 477.2Mpa Tegangan tekan minimum (Fu) : 678.1Mpa 5. Data Elemen Struktur a. Pelat Lantai - Tebal pelat lantai 2 t = 17 cm - Tebal pelat atap t = 16 cm b. Balok - Balok B1 : 35 cm x 60 cm - Balok WB2A2 : 40 cm x 40 cm - Balok WB2C2 : 40 cm x 45 cm - Balok WB2AR : 24 cm x 45 cm - Balok WB2CR : 24 cm x 45 cm - RB 1 : 24 cm x 35cm c. Kolom - Kolom A1 – A7 : 35 cm x 40 cm - Kolom C1 – C7 : 35 cm x 40 cm - Kolom C2 : 24 cm x 40 cm
Pengumpulan Data Studi Kasus Assessment Kerentanan Gedung Beton Bertulang Akibat Beban Gempa
Pembuatan Tahapan Pengecekan
Pembuatan Justifikasi Penilaian dan Pengaplikasian pada contoh studi kasus
Kesimpulan : Didapatkan tahapan dan hasil penilaian kerentanan kondisi bangunan beton bertulang pasca gempa
Gambar 2. Denah Gedung Lantai 1 Objek Studi
FINISH
Gambar 1. Diagram Alir Metode Penelitian
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Studi Kasus Dalam studi, objek merupakan gedung 2 lanti yang berfungsi sebagai gedung sekolah dengan data bangunan dibawah ini: 1. Zona Gempa : Wilayah 2 Tanah Keras 2. Konfigurasi Gedung a. Tinggi Lantai 1 : 3.6 m b. Tinggi Lantai atap : 3.6 m 3. Mutu Bahan - Mutu Beton (fc’) : 15.1 Mpa - Berat jenis beton : 2400 kg/m3
Gambar 3. Permodelan Struktur
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2014) 1-6
3
Pada penelitian dilapangan, gedung dberikan gaya dorong sampai pada nilai pergeseran tertentu. Berikut adalah data penelitian hasil pengujian dilapangan: Tabel 1 Hasil Pengujian Beban Lateral pada Gedung Displacement Target
Roof Displacement
Base shear
(%)
mm
Ton
0
0
0
0.25
18.39
90
0.5
36.78
114
0.75
55.16
116
1
73.55
115
1.25
91.94
114
1.5
110.33
111
1.75
128.71
107
2
147.1
102
2.25
183.88
91
2.5
220.65
87
5
376.75
33
Tabel 2 Tabel hasil analisis pushover
5.4.3 C. Assessment Tingkat Kinerja Struktur Pada Assessment tingkat kinerja struktur dilakukan berdasarkan hubungan antara base shear dengan displacement akibat beban statik, dan tingkat kinerja struktur berdasarkan pengujian dilapangan dengan perbandingan hasil analisa pushover. Berikut adalah perbandingan kurva kapasitas hasil pengujian dilapangan dengan hasil analisa pushover.
B. Analisa Beban Dorong Statik (Pushover Analysis) Pushover analysis atau analisis beban dorong statik merupakan prosedur analisis untuk mengetahui perilaku keruntuhan suatu gedung. Pada analisis ini, struktur didorong secara bertahap dan ditingkatkan dengan factor pengali hingga komponen struktur mengalami kelelehan dan berdeformasi dari satu target perpindahan lateral ke titik acuan yang dicapai. Hal ini bertujuan untuk memperkirakan gaya maksimum dan deformasi yang terjadi, serta memperoleh informasi bagian structural mana saja yang mengalami kritis. Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan pengetesan dengan memberikan beban lateral terhadap sumbu memanjang gedung dengan menggunakan dua buah alat aktuator pada lantai 1 dan lantai atap, atap gedung akan menghasilkan nilai simpangan dari beban yang diberikan. Gedung mengalami beberapa tipe kerusakan dari setiap step pembebanan. Studi ini dilakukan untuk melihat perilaku kerusakan dan simpangan yang terjadi berdasarkan analisa numerik dengan menggunakan analisa beban dorong statik nonlinier pushover yang nantinya akan dilanjutkan dengan pembuatan urutan untuk penilaian kondisi bangunan
Gambar 5 Kurva kapasitas perbandingan hasil pushover dengan pengujian di lapangan
Kondisi Pertama – Immediate Occupancy
Gambar 6 Kondisi B-IO (Operational – Immediate Occupancy)
Gambar 4 Kurva kapasitas hasil running pushover
Berdasarkan hasil pengujian di lapangan pada Gambar 6, dari total 14 kolom, kondisi kolom bangunan secara keseluruhan masih mengalami kerusakan ringan. Dari hasil pengamatan kerusakan kolom yang terjadi pada pengujian di lapangan, dapat dihasilkan suatu prosentase yang menunjukkan kerusakan pada kolom, hasil prosentase dari step 2 ini akan dijelaskan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil prosentase kerusakan kondisi B-IO (Operational – Immediate Occupancy)
Step
Deskripsi
1
Operational – Immediate Occupancy
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2014) 1-6 4 Evaluasi Indikator Terjadi retak rambut pada permukaan kolom (0,2mm1mm) tingkat kerusakan komponen 92,86%
Justifikasi
Kondisi Ketujuh – Collapse Prevention
IO
Kolom mengalami pengelupasan pada selimut, mengalami keretakan dengan lebar retak >1,5 mm, tingkat kerusakan komponen 7,14%
LS
-
CP
Kondisi Kelima – Life Safety
Gambar 8 Kondisi LS-CP (Life Safety – Collapse Prevention)
Berdasarkan hasil pengujian di lapangan pada Gambar 8, dari total 14 kolom, kondisi kolom bangunan secara keseluruhan mengalami kerusakan berat, terjadi spelling dan penyimpangan yang cukup besar di beberapa kolom. Dari hasil pengamatan kerusakan kolom yang terjadi pada pengujian di lapangan, dapat dihasilkan suatu prosentase yang menunjukkan kerusakan pada kolom, hasil prosentase dari step 8 ini akan dijelaskan pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil prosentase kerusakan kondisi LS-CP (Life Safety – Collapse Prevention) Step
Deskripsi
Berdasarkan hasil pengujian di lapangan pada Gambar 7, dari total 14 kolom, kondisi kolom bangunan secara keseluruhan mengalami kerusakan sedang, yaitu terjadi retak pada beberapa kolom dan terjadi spelling pada kolom A2, A3, A5 dan pengelupasan elemen beton pada kolom C3. Dari hasil pengamatan kerusakan kolom yang terjadi pada pengujian di lapangan, dapat dihasilkan suatu prosentase yang menunjukkan kerusakan pada kolom, hasil prosentase dari step 5 ini akan dijelaskan pada Tabel 5.
Tabel 5 Hasil prosentase kerusakan kondisi IO-LS (Immediate Occupancy – Life Safety)
5
Deskripsi
Immediate Occupancy – Life Safety
Step
Evaluasi Indikator Terjadi retak rambut pada permukaan kolom (0,2mm1mm), keretakan pada permukaan kolom melebar dari ujung ke ujung, tingkat kerusakan komponen 42,86% Kolom mengalami pengelupasan pada selimut, mengalami keretakan dengan lebar retak >1,5 mm yang semakin meluas, tingkat kerusakan komponen 35,71% Kolom beton mengalami spelling yang semakin besar, dengan retak tembus yang membelah kolom, tulangan terlihat, tingkat kerusakan komponen 21,43%
Justifikasi
IO
LS
CP
7
Collapse Prevention - Collapse
Gambar 7 Kondisi IO-LS (Immediate Occupancy – Life Safety)
Evaluasi Indikator Terjadi retak rambut pada permukaan kolom (0,2mm1mm), keretakan pada permukaan kolom melebar dari ujung ke ujung, tingkat kerusakan komponen 14,29% Kolom mengalami pengelupasan pada selimut, mengalami keretakan dengan lebar retak >1,5 mm yang semakin meluas dari ujung ke ujung, kolom miring, tingkat kerusakan komponen 28,57% Kolom beton mengalami spelling yang semakin besar, dengan retak tembus yang membelah kolom, tulangan terlihat, kolom mengalami perubahan bentuk/miring, tingkat kerusakan komponen 57,14%
Justifikasi
IO
LS
CP
D. Metode Penilaian Bangunan (Building Assessment Method) Metode penilaian bangunan disusun untuk memberikan acuan pada evaluasi bangunan yang diusulkan untuk dilakukan tindakan perbaikan pasca gempa. Metode yang digunakan adalah penilaian secara kualitatif dengan teknik skoring. Teknik ini dipilih untuk memberikan penilaian secara lebih obyektif masing-masing objek berdasarkan indikator yang ditetapkan. Serangkaian tahapan penilaian dilakukan untuk mendata kondisi eksisting fisik dan non fisik bangunan serta melakukan dokumentasi kondisi fisik bangunan. Pada sub-bab Observasi Kerusakan telah didapatkan prosentase kerusakan kolom pada step 1 – 10. Nilai prosentase tersebut digunakan untuk menentukan berapa persen tingkat kerusakan kolom yang diijinkan terjadi pada kondisi IO (Immediate Occupancy), LS (Life Safety), CP (Collapse Prevention. Sedangkan prosentase kerusakan pada
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2014) 1-6 elemen balok dan dinding beton mengacu pada prosentase kerusakan pada kolom. E. Indikator Penilaian Penilaian terhadap kondisi bangunan dilakukan untuk mengetahui secara pasti kondisi setiap bangunan akibat gempa, sehingga dapat dilakukan kegiatan penanganan yang sesuai. Indikator penilaian kondisi fasilitas kesehatan didasarkan pada 2 (dua) aspek penting yaitu structural dan non struktural. Kedua aspek tersebut dijabarkan menjadi beberapa variabel yaitu: a. Aspek struktural terkait kondisi fisik bangunan pasca terjadinya gempa. Variabel yang dinilai adalah kondisi kolom, balok, dinding, pelat, atap, dengan justifikasi IO (Immediate Occupancy), LS (Life Safety), CP (Collapse Prevention). b. Aspek nonstruktural, variabel yang dinilai adalah partisi/sekat, plafon, parapets, tangga, pintu, pipa, dengan justifikasi IO (Immediate Occupancy), LS (Lefi Safety), HZ (Hazards Reduced).
5 No
1
Kriteria
Kolom
Evaluasi Indikator Struktural Terjadi retak rambut pada permukaan kolom (0,2mm1mm), terjadi retak pada sambungan dengan lebar retak < 1,5 mm, tidak berpotensi mengganggu stabilitas bangunan, tingkat kerusakan berat pada komponen < 25% Kolom mengalami pengelupasan pada selimut, mengalami keretakan geser pada sambungan dengan lebar retak < 3,1 mm, terjadi kerusakan yang parah pada kolom pendek, berpotensi mengganggu stabilitas bangunan, tingkat kerusakan berat pada komponen berkisar antara 25% - 50% Kolom beton hancur sebagian, tulangan terlihat, patah/terlepas dari struktur utama sehingga mengakibatkan perubahan bentuk pada bangunan (miring/roboh), kerusakan berat pada komponen > 50% Terjadi retak rambut pada permukaan balok (0,2mm1mm), terjadi retak pada sambungan dengan lebar retak < 1,5 mm, tidak berpotensi mengganggu stabilitas bangunan, tingkat kerusakan berat pada komponen < 25%
2
Balok
Balok mengalami keretakan yang cukup besar, mengalami keretakan geser pada sambungan dengan lebar retak < 3,1 mm, berpotensi mengganggu stabilitas bangunan, tingkat kerusakan berat pada komponen berkisar antara 25% - 50% Balok beton hancur sebagian, tulangan terlihat, patah/terlepas dari struktur utama sehingga mengakibatkan perubahan bentuk pada bangunan (miring/roboh), kerusakan berat pada komponen > 50% Komponen pengisi masih baik, hanya mengalami retak kecil dengan lebar < 3,1 mm, plesteran berjatuhan, layak fungsi/huni, tingkat kerusakan berat pada komponen < 25%
3
Dinding Beton
Komponen pengisi mengalami retak cukup luas dengan lebar retak < 6,3 mm, keretakan menyebar luas ke beberapa tempat, layak fungsi/huni, tingkat kerusakan berat pada komponen berkisar antara 25% - 50% Komponen pengisi mengalami kerusakan parah (dinding pemikul beban terbelah/runtuh), bangunan terpisah akibat kegagalan unsur-unsur pengikat, tidak layak fungsi/huni, tingkat kerusakan berat pada komponen > 50% Retak rambut tersebar, beberapa keretakan terjadi dengan lebar retak < 3,1mm
4A
Pelat Beton
Keretakan meluas dengan lebar retak < 6,3mm, terjadi kerusakan setempat dan pengelupasan pada plesteran Kerusakan meluas dan tampak terjadi banyak keretakan pada pelat Terjadi kerusakan ringan pada sambungan
4B
Pelat Precast
Tabel 7 Indikator Penilaian Struktural Kondisi Bangunan 5
Atap
Keretakan meluas dengan lebar retak < 6,3mm, terjadi kerusakan setempat dan pengelupasan pada plesteran Terjadi kegagalan pada sambungan. Terjadi pergeseran antar satu dengan yang lain, terjadi kerusakan dan pengelupasan pada sambungan Terjadi kerusakan ringan pada penutup atap Terjadi kerusakan pada elemen-elemen sekunder atap (gording, reng, usuk) Terjadi kerusakan pada elemen-elemen primer atap (kudakuda), dan terjadi kerobohan pada atap
Nilai
Justifikasi
1
IO
3
LS
5
CP
1
IO
3
LS
5
CP
1
IO
3
LS
5
CP
1
IO
3
LS
5
CP
1
IO
3
LS
5
CP
1
IO
3
LS
5
CP
Total Score *
Pilih / lingkari salah satu nilai diatas sesuai kondisi bangunan yang ditinjau, lalu jumlahkan scorenya. Apabila salah satu elemen tidak terdapat pada kolom indikator, maka nilainya diambil nilai rata-rata dari data yang ada.
Tabel 8 Indikator Penilaian Non Struktural Kondisi Bangunan
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2014) 1-6 6 No
1
2
3
4
5
6
Kriteria
Partisi / Sekat
Plafon
Parapets
Evaluasi Indikator Non Struktural Terjadi retak pada bukaan dengan lebar retak sekitar 1,5 mm, terjadi keretakan kehancuran dan keretakan kecil pada sudut-sudut partisi Terjadi kerusakan yang cukup parah pada beberapa bagian partisi Terjadi kerusakan berat/parah pada partisi Terjadi kerusakan ringan, beberapa panel mengalami penurunan, terdapat retak kecil pada langit-langit yang keras (perkerasan beton)
IO
3
LS
5
HZ
1
IO
Terjadi kerusakan yang cukup parah, beberapa langitlangit terjatuh, terjadi keretakan yang cukup lebar pada langit-langit yang keras (perkerasan beton)
3
LS
Terjadi kerusakan berat/parah, langit-langit/plafon terjatuh, terjadi keretakan lebar pada langit-langit yang keras (perkerasan beton)
5
HZ
Terjadi kerusakan ringan
1
IO
Terjadi beberapa kegagalan struktur pada beberapa area yang dipakai
3
LS
Rusak berat, terjadi kegagalan pada area yang dipakai
5
HZ
Terjadi kerusakan ringan Terjadi retak pada slab/pijakan tangga, tangga masih dapat digunakan
1
IO
3
LS
Terjadi kerusakan berat, tangga tidak dapat digunakan
5
HZ
Terjadi kerusakan ringan, pintu masih dapat difungsikan
1
IO
3
LS
5
HZ
1
IO
3
LS
Kerusakan tersebar, beberapa pintu mengalami kendala/macet (kurang layak difungsikan) Kerusakan tersebar, seluruh pintu mengalami kendala/macet (tidak dapat difungsikan) Terjadi beberapa kebocoran pada sambungan
Pintu
Terjadi kerusakan kecil pada sambungan dan disertai kebocoran, beberapa pendukung mengalami kerusakan tetapi sistem masih berjalan Beberapa pipa jatuh, beberapa pipa pecah, beberapa sambungan pipa mengalami kegagalan Total Score
*
Justifikasi
1
Tangga
Perpipaan
Nilai
5
HZ
F. Justifikasi Penilaian Justifikasi penilaian dilakukan untuk dapat mengetahui tingkat kerusakan dan urgensi penanganan. Berdasarkan penilaian fisik akan diketahui tingkat kerusakan bangunan untuk menentukan jenis penanganan yang diperulukan. Dalam penilaian kondisi bangunan dilakukan dengan teknik skoring. Untuk masing-masing kriteria penilaian (struktural dan non-struktural). Berdasarkan penilaian tersebut dirumuskan pengelompokan penilaian sebagai berikut. Tabel 9 Justifikasi Penilaian Kondisi Struktural Bangunan Total Score
FEMA 356
0
0
No Damage
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
5 7 9 12 14 16 18 20 22 25
Immediate Occupancy
No Damage
1.
2.
Immediate Occupancy Damage Control
Tingkat Kerusakan Rusak Ringan
Rusak Sedang
Life Safety Limited Safety Collapse Prevention Collapse
Rusak Berat
Pada studi ini dihasilkan sebuah tahapan berupa form penilaian yang berfungsi untuk memberikan penilaian kondisi gedung beton bertulang baik secara struktural maupun non-struktural. Dasar penentuan penilaian tidak hanya dinilai secara fisik bangunan/visual, melainkan didasarkan pada perhitungan. V. SARAN
1. Perlu adanya pengembangan studi lebih lanjut terhadap bangunan-bangunan dengan struktur baja, kayu. 2. Perlu dikembangkan lagi faktor-faktor lain yang berkaitan dengan tingkat urgensi suatu bangunan pasca gempa. 3. Perlu dilakukan lagi peninjauan yang lebih detail terhadap aspek-aspek non struktural gedung.
[1] FEMA-356. 2000. Prestandard and Commentary For The
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
Tingkat Kerusakan Rusak Ringan
Rusak Sedang
Life Safety Limited Safety Collapse Prevention Collapse
FEMA 356
0 6 9 11 14 17 19 22 25 27 30
IV. KESIMPULAN
[8] Damage Control
Total Skoring
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
DAFTAR PUSTAKA
Pilih / lingkari salah satu nilai diatas sesuai kondisi bangunan yang ditinjau, lalu jumlahkan scorenya. Apabila salah satu elemen tidak terdapat pada kolom indikator, maka nilainya diambil nilai rata-rata dari data yang ada.
Damage Level
Damage Level
. Rusak Berat
Tabel 10 Justifikasi Penilaian Kondisi Non-Struktural Bangunan
Seismic Rehabilitation of Buildings, Report No. FEMA-356, Federal Emergency Management Agency. Washington, D.C. FEMA-273. 1996. NEHRP Guidelines For The Seismic Rehabilitation of Buildings, Report No. FEMA-273, Federal Emergency Management Agency. Washington, D.C. Badan Standarisasi Nasional. 2002. Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung (SNI 03-17262002). Standar Nasional Indonesia. Badan Standarisasi Nasional. 2002. Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung (SNI 03-2847-2002). Standar Nasional Indonesia. Sinha, Ravi. 2005. Damage and Loss Assessment Methodology. Seminar on Loss and Damage Assessment Methodologies, Ahmedabad, India. Dirgantari, Windya. 2013. Studi Assessment Kerentanan Gedung Beton Bertulang Terhadap Beban Gempa Dengan Menggunakan Metode Pushover Analysis, Surabaya. Dewobroto, W. 2005. Evaluasi Kinerja Bangunan Baja Tahan Gempa dengan Analisa Pushover. Civil Engineering National Conference : Sustainability Construction & Structural Engineering Based on Professionalism, Unika Soegijapranata, Semarang. Boen, T. 2010. Retrofiting Simple Buildings Damaged by Earthquake. Jakarta.