perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN DI DESA SEDAH KECAMATAN JENANGAN KABUPATEN PONOROGO
Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : RISKI OLIVIA CITRA DEWI NIM. E 1107067
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user
2011
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi) ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN DI DESA SEDAH KECAMATAN JENANGAN KABUPATEN PONOROGO
Oleh RISKI OLIVIA CITRA DEWI NIM. E1107067
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 11 April 2011 Dosen Pembimbing
Purwono Sungkowo Raharjo, S.H NIP. 196106131986011001
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: Riski Olivia Citra Dewi
NIM
: E1107067
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN DI DESA SEDAH KECAMATAN JENANGAN KABUPATEN PONOROGO adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta,
April 2011
yang membuat pernyataan
Riski Olivia Citra Dewi NIM. E1107067
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK RISKI OLIVIA CITRA DEWI E1107067. ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN DI DESA SEDAH KECAMATAN JENANGAN KABUPATEN PONOROGO. Penulisan Hukum (Skripsi). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. 2011 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah bentuk, lamanya jangka waktu, dan berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo Sudah Sesuai Dengan Peraturan Perundang–Undangan, dan apakah imbangan pemilik tanah dan penggarap dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo sudah memenuhi unsur keadilan. Penulisan hukum ini termasuk dalam penulisan hukum hukum normatif atau hukum doktrinal yang bersifat preskriptif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dan disertai konfirmasi pada pemilik tanah dan penggarap tanah. Teknik analisis yang digunakan adalah silogisme dan interprestasi dengan menggunakan pola penalaran deduktif. Berdasarkan hasil penelitian yang diketahui bahwa pelaksanaan bagi hasil di Desa Sedah belum sepuhnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil karena, dibuat berdasarkan kesepakatan atau hukum adat setempat, yaitu dalam bentuk lisan atau tidak tertulis yang berdasarkan kepercayaan dan kesepakatan antara kedua belah pihak, dalam pelaksanaan jangka waktu pelaksanaan bagi hasil ini dibagi menjadi 2 (dua), yaitu jangka waktu yang ditentukan dan jangka waktu yang tidak ditentukan dimana perjanjian ini berjalan begitu saja sampai saat ini, dan berakhirnya perjanjian bagi hasil di Desa Sedah ini dilakukan karena jangka waktu yang ditentukan telah berakhir, dan dilakukan atas permintaan pemilik dan penggarap tanah. Mengenai aspek keadilan dalam perjanjian bagi hasil di Desa Sedah berdasarkan pembagian imbangan bagi hasil yang digunakan hanya ada 2 (dua) macam yang ada, yaitu pembagian imbangan berdasarkan pada perbandingan (1:1) dengan imbangan sama besarnya, dan untuk imbangan (1:2) dengan perbandingan 1/3 untuk penggarap dan 2/3 pemilik tanah, kedua imbangan tersebut dipergunakan untuk jenis tanah basah (sawah) yang ditanami padi dan palawija. Dimana jika dihitung berdasarkan perhitungan imbangan yang ada pada Pasal 7 ditemukan hasil pembagian yang lebih menguntungkan pihak pemilik saja. Sehingga dirasa aspek keadilan ini telah sesuai dengan keadaan yang ada di Desa Sedah menurut perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena pembagian imbangan bagi hasil untuk pemilik dan penggarap tanah di Desa Sedah ini sudah seimbang. Kata Kunci: aspek keadilan, perjanjian bagi hasil tanah pertanian, di Desa Sedah Kecamatan Jenangancommit Kabupaten to user Ponorogo.
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Riski Olivia Citra Dewi, E117067. Justice Aspect in Agricultural Profit Share Agreement in Sedah Village of Jenangan Subdistrict of Ponorogo Regency. Law Writing (Thesis). Law Faculty of Sebelas Maret University. 2011. This research aims to find out whether type, the length of the duration, and expiration of profit share agreement in Sedah Village of Jenangan Subdistrict of Ponorogo Regency has been consistent with the legislation, and whether the balance of landowners and tenants in the agreement the profit share agreement in Sedah Village of Jenangan Subdistrict of Ponorogo Regency has met the justice aspect. This study belongs to a normative or doctrinal research that is prescriptive in nature. The data type employed was secondary data including primary, secondary and tertiary law material. Technique of collecting data used was library study and accompanied with the land owner’s and user’s confirmation. Technique of analyzing data used was syllogism and interpretation using deductive reasoning pattern. Considering the result of research it can be obtained that the implementation of profit share in Sedah Village not all of them in accordance with Act No. 2 of the 1960 agreement on product division because, is made by consensus or local customary law, namaly orally or not in written form based on mutual trust among the parties; in the term of period, the profit share implementation is divided into 2 (two): predetermined period and nonpredetermined period in which the agreement proceeds as they were up to now, and the end of profit share agreement in Sedah Village is because the determined period is expired, because of the land owner’s and user’s request. In the term of justice aspect, there are two types of profit share agreement in Village Sedah considering the profit share distribution used: the profit share based on ratio (1:1) with the equal share, and based on ratio (1:2) with 1/3 for the user and 2/3 for the owner, both of which is used for the wet farm (rice farm) planted with rice and crop plant. Where if he is calculated on the basis of calculation balance in article 7 that are a result of the most profitable Division of the sole owner. aspect as well that this has been considered of Justice, according to the situation in the village of Sedah counterpart by comparison of the results were considered more just because a part of the distribution of benefits distribution to owners and tenants of land in the village of Sedah is balanced. Keywords: justice aspect, agricultural land profit share agreement, in Sedah commit toofuser Village of Jenangan Subdistrict Ponorogo Regency
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO DAN PERSEMBAHAN Motto Orang yang gemar menjauhi pekerjaan, yang datang selambat mungkin, tapi pulang secepat mungkin, tidak boleh mengeluhkan keberuntungannya. ...Orang yang bekerja keras – saja, belum tentu mudah dan melimpah rezekinya, apalagi orang yang malas. Memang kerja keras tidak menjamin kekayaan, tapi tidak ada bentuk kesejahteraan apa pun yang bisa diharapkan tanpa bekerja. Belajarlah mencintai pekerjaan. by : Mario Teguh
Persembahan Dengan segala kerendahan dan kebanggaan hati, kupersembahkan skripsi ini kepada: ·
ALLAH SWT, yang mengatur serta pemilik skenario hidupku, tempatku mengadu dan meminta.
·
Kedua orang tuaku yang sangat kusayangi.
·
Kakakku, Kakak Ipar dan Ponakakku yang ku sayangi.
·
Para pembimbing skripsiku yang telah membimbing dan memberi data.
·
My fiancee yang kucintai dan selalu memberi dukungan.
·
Sahabat serta Almamaterku.
·
Pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum yang berjudul “ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN DI DESA SEDAH KECAMATAN JENANGAN KABUPATEN PONOROGO”, yang merupakan salah satu persyaratan guna memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Maksud diadakannya Penulisan Hukum dengan topik Perjanjian Bagi Hasil ini adalah untuk mengetahui aspek keadilan yang ada dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian ini dan apakah perjanjian bagi hasil ini sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak, khususnya atas bimbingan secara moril maupun materiil dalam proses Penulisan Hukum ini, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat : 1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin dalam penyusunan penulisan hukum ini. 3. Bapak Sabar Slamet, S.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan saran dan nasehat selama ini. 4. Bapak Purwono Sungkowo Rahardjo, S. H., selaku Dosen Pembimbing. 5. Ibu Dr. I. Gusti Ayu Ketut R. H, S. H., M. M., selaku Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Bapak Lego Karjoko, S. H., M. Hum., selaku Ketua PPH Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang dengan keikhlasan dan kemuliaan hati telah meberikan bekal ilmu kepada penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 8. Bapak dan Ibu di Bagian Akademik, Bagian Kemahasiswaan, Bagian Tata Usaha dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 9. Keluarga Besar Wisma Putri Kemuning Angkatan 2007 (Arina, Tata, Tarida, Rini, Shela, Ari, Nikita, Rahma) adek2 angkatan 2008, 2009, 2010, dan bapak dan ibu penjaga kost yang telah menjadi keluarga keduaku selama di Solo. 10. Kepada teman-temanku angkatan 2007 yang selama tiga setengah tahun belakangan ini selalu ada dan menemaniku. Untuk Lia, Wiwik, Angga (ABP), Ipin, Mahe SW, Pengky, dll. 11. Semua pihak yang telah membantu dalam terselesaikannya penulisan hukum ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala kebaikan bapak, ibu, rekan-rekan menjadi amalan dan mendapat balasan kebaikan dari Allah SWT.
Demikian, semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.
Surakarta,
April 2011
Penulis Riski Olivia Citra Dewi commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i HALAMAN PERSETUJUAN.................................................................................ii HALAMAN PENGESAHAN............................................................................... .iii PERNYATAAN......................................................................................................iv ABSTRAK ............................................................................................................... v ABSTRACT ............................................................................................................vi HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN...................................................vii KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii DAFTAR ISI ............................................................................................................ x DAFTAR GAMBAR DAN TABEL.................................................................... xiii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ........................................................................... 4 C. Tujuan Kegiatan ................................................................................. 5 D. Manfaat Kegiatan ............................................................................... 5 E. Metode Penelitian .............................................................................. 6 F. Sistematika Penulisan Hukum ........................................................... 9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ................................................................................ 10 commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Menurut Hukum Adat ........................................................................ 10 a.Hakekat dan Latar Belakang Timbulnya Perjanjian Bagi Hasil b.Tanah Pertanian ............................................................................. 10 c.Istilah
dan
Pengertian
Perjanjian
Bagi
Hasil
Tanah
Pertanian...........................................................................................12 d.Sifat atau Ciri-ciri Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian ............ 14 e.Sistem Pembagian Hasil ................................................................ 14 f.Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian ................... 15 2. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Bagi Hasil Menurut UndangUndang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian..16 a.Dasar Hukum dan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 .................................................................................... 16 b.Pengertian Bagi Hasil Tanah Pertanian ......................................... 19 c.Obyek Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian............................... 20 d.Bentuk Perjanjian Bagi Hasil......................................................... 20 e.Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian................... 22 f.Imbangan Pembagian Hasil ............................................................ 23 g.Hak dan Kewajiban Pemilik dan Penggarap ................................. 27 h.Peralihan dan Hapusnya Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian. . 28 3. Tinjauan Umum tentang Keadilan a.Pengertian Keadilan ....................................................................... 30 b.Ukuran-ukuran tentang Keadilan ................................................... 34 c.Macam-macam Keadilan ............................................................... 36 d.Teori Keadilan tentang Hukum ..................................................... 37 B. Kerangka Pemikiran ......................................................................... 38
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
A. Deskripsi Lokasi Penelitian Berdasarkan Letak Geografis dan Pembagian Wilayah di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo .......................................................................................... 41 1.Monografi Dukuh Sidorejo ............................................................ 43 2.Monografi Dukuh Gundi ............................................................... 45 3.Monografi Dukuh Krajan .............................................................. 47 4.Monografi Dukuh Jasem................................................................ 49 B. Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo ..................................... 50 a.Latar Belakang/ Alasan Perjanjian Bagi Hasil ............................ 51 b.Subjek Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo ................................... 55 c.Bentuk Perjanjian Bagi Hasil ...................................................... 59 d.Lamanya Waktu Perjanjian ......................................................... 61 e.Berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil .............................................. 63 C. Aspek Keadilan Dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo ................. 68 BAB IV PENUTUP A. Simpulan .......................................................................................... 77 B. Saran................................................................................................. 78 DAFTAR PUSTAKA
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
Bagan Kerangka Pemikiran...............................................................40 Tabel 1. Luas wilayah Desa Sedah, Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo............................................................................................42 Tabel 2. Jumlah Penduduk di Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo..........................................................................42 Tabel 3. Alasan pemilik tanah pertanian mengadakan perjanjian (transaksi ) bagi hasil di Desa Sedah.................................................52 Tabel 4. Alasan penggarap tanah pertanian mengadakan perjanjian ( transaksi ) bagi hasil........................................................................53 Tabel 5. Luas tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah.......................54
Tabel 6. Menanggung Pembayaran Pajak Tanah...............................55 Tabel 7. Pengetahuan Responden terhadap Undang-Undang bagi hasil....................................................................................................57 Tabel 8. Kata sepakat dalam perjanjian bagi hasil.............................58 Tabel 9. Golongan Umur Responden dalam Perjanjian bagi hasil....58 Tabel 10. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil antara pemilik tanah dan penggarap tanah.................................................................................60 Tabel 11. Lama Perjanjian Bagi Hasil antara pemilik tanah dan penggarap tanah.................................................................................61 Tabel 12. Jangka Waktu Perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah dan penggarap tanah..........................................................................58 Tabel 13. Berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil di Desa Sedah............64 Tabel 14. Perbandingan antara penggarap dan pemilik dalam perjanjian bagi hasil di Desa Sedah...................................................71 Tabel 15 Pihak yang menentukan besarnya bagian dalam perjanjian bagi hasil di Desa Sedah....................................................................72
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkembangan hukum agraria setelah berlakunya Undang–Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 melahirkan banyak mekanisme atau aturan–aturan baru mengenai sistem pengelolaan tanah yang ada di Indonesia. Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi. Tanah yang dimaksud disini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu ”Atas dasar hak menguasai hak dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya bermacam–macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama–sama dengan orang–orang lain serta badan–badan hukum” (Urip Santoso, 2005:10). Bagi bangsa Indonesia, tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan sekaligus merupakan kekayaan Nasional, hal mana tercermin dan hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanah adalah hubungan yang bersifat abadi dan kekal. Sebagian besar rakyatnya menggantungkan hidup dan kehidupannya pada tanah, utamanya dalam bidang pertanian. Tanah dalam masyarakat agraris mempunyai kedudukan yang sangat penting sehingga harus diperhatikan peruntukkan dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong royong. Dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-sebesar kemakmuran rakyat”. Indonesia adalah salah satu Negara agraris yang menggantungkan kehidupan masyarakatnya pada tanah. Bagi masyarakat Indonesia tanah merupakan sumber kehidupan dengan nilai yang sangat penting. Pentingnya arti commit to user tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia sama sekali tidak
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bisa dipisahkan dari tanah. Manusia hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah. Tanah merupakan tempat tinggal, tempat manusia melakukan aktivitas sehari-hari bahkan setelah meninggal pun tanah masih diperlukan. Tanah juga merupakan suatu obyek yang khas sifatnya, dibutuhkan oleh banyak orang, tetapi jumlahnya tidak bertambah. Secara kultur ada hubungan batin yang tak terpisahkan antara tanah dengan manusia. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, jelaslah bahwa pola penguasaan tanah tidak dapat dilepaskan dan permasalahan petani dan taraf kehidupan mereka. Kekurangan tanah, untuk dijadikan lahan garapan merupakan permasalahan pokok dalam suatu masyarakat agraris. Kondisi pemilikan dan penguasaan tanah yang timpang seperti inilah yang telah mendorong tekad para pendiri bangsa untuk menata struktur agrarian melalui kebijakan perundang-undangan guna mengangkat rakyat dan kemiskinan akibat ketidakadilan akses rakyat atas tanah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang dikenal dengan UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) merupakan sumber pokok segala kebijaksanaan untuk menata masalah pertanahan dan meningkatkan produksi, taraf hidup dan kesejahteraan sosial masyarakat sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian adalah suatu perbuatan hukum di mana pemilik tanah karena suatu sebab tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya, tetapi ingin mendapatkan hasil atas tanahnya. Oleh karena itu, ia membuat suatu perjanjian bagi hasil dengan pihak lain dengan imbalan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak. Dengan kata lain, perjanjian bagi hasil, adalah suatu bentuk perjanjian antara penggarap, di mana penggarap diperkenankan mengusahakan tanah itu dengan pembagian hasilnya antara penggarap dengan yang berhak atas tanah tersebut menurut imbangan yang telah disetujui bersama. Perjanjian bagi hasil tanah pertanian dapat terjadi pada pemegang Hak Milik, Hak Sewa atau Hak Gadai, dan dalam praktek dapat juga diatas tanah lungguh atau tanah bengkok. Akibat adanya gejolak ekonomi yang tak menentu seperti saat ini, commit user bisa menampung para tenaga menyebabkan pabrik–pabrik besar yangtosemula
2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kerja, tidak bisa melanjutkan usahanya lagi. Hal ini menimbulkan adanya pengangguran disana sini banyak orang saling berburu pekerjaan. Tidak adanya lahan pekerjaan dikota besar menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk dari kota ke desa, mereka kembali menekuni pekerjaan bercocok tanam. Tetapi karena tidak punya lahan pertanian sendiri maka hanya merupakan penggarap tanah pertanian tersebut. Namun demikian tidak pula terlepas dari sejumlah kondisi ekonomi seperti kekurangan modal, tersedianya buruh tani dalam jumlah yang cukup banyak, artinya cadangan tenaga kerja di sektor pertanian yang cukup (AMPA Scheltema, 1985:17). Karena tanah yang tersedia untuk dibagikan hasilnya tidak seimbang dengan jumlah petani yang memerlukan tanah garapan, maka dikomersilkan dan saling terdapat unsur–unsur pemerasan terhadap para penggarap. Maka untuk melindungi pihak yang lemah dan untuk meningkatkan taraf hidup petani penggarap, dikeluarkanlah Undang–Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian. Dalam hal ini terdapat ketentuan– ketentuan mengenai pengertian perjanjian bagi hasil, bentuk perjanjian, jangka waktunya pembagian bagi hasil tanahnya serta hak–hak dan kewajiban pemilik tanah dan petani panggarap. Ketentuan yang mana untuk menghindari keragu– raguan dalam menyelesaikan masalah yang timbul karena perselisihan antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Adapun maksud diadakannya Undang– Undang Nomor 2 Tahun 1960 adalah : a.
Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas dasar yang adil.
b.
Dengan menegaskan hak dan kewajiban pemilik dan penggarap, agar terjamin kedudukan hukum penggarap.
c.
Adanya pembagian yang adil dan terjaminnya kepastian hukum para pihak, akan tercipta iklim yang kondusif yang memungkinkan peningkatan produksi pertanian. Negara Indonesia yang 80 % dari penduduknya masih memperoleh
penghasilan dari sektor pertanian adalah wajar apabila Indonesia mengatur commit to user perjanjian bagi hasil, yaitu dengan Undang–Undang Nomor 2 Tahun 1960.
3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Adapun tujuan utama dari Undang–Undang Perjanjian Bagi Hasil adalah untuk memberikan kepastian hukum kepada Petani Penggarap, sungguhpun tidak ada niat untuk memberikan perlindungan yang berlebihan terutama pada penggarap tanah atau tuna kisma tersebut. Sehingga Undang–Undang itu sendiri bertujuan untuk menegakkan hak–hak dan kewajiban baik dari penggarap maupun pemilik (AP. Perlindungan, 1989:13). Dari hal–hal tersebut di atas mendorong penulis untuk meneliti aspek keadilan dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian yang ada di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi dengan judul : ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN
DI
DESA
SEDAH
KECAMATAN
JENANGAN
KABUPATEN PONOROGO .
B. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam suatu penelitian diperlukan untuk memfokuskan masalah agar dapat dipecahkan secara sistematis. Cara ini dapat memberikan gambaran yang jelas dan pemahaman terhadap permasalahan serta tujuan yang dikehendaki. Dalam penelitian ini, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apakah Bentuk, Lamanya Jangka Waktu, Dan Berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo Sudah Sesuai Dengan Peraturan Perundang–Undangan ? 2. Apakah Imbangan Pemilik Tanah Dan Penggarap Dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo Sudah Memenuhi Unsur Keadilan ? commit to user
4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Obyektif a.
Untuk mengetahui mekanisme jalannya perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang–undangan yang berlaku.
b.
Untuk mengetahui
aspek keadilan pada perjanjian bagi hasil tanah
pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. 2.
Tujuan Subyektif a.
Untuk memperoleh data sebagai bahan utama dalam penyusunan penulisan hukum guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b.
Untuk menambah wawasan tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian, khususnya aspek keadilan dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.
c.
Untuk meningkatkan serta mendalami materi kuliah yang diperoleh di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Nilai suatu penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembang ilmu pengetahuan pada umumnya, dan ilmu hukum pada khususnya terutama Hukum Administrasi Negara tentang aspek keadilan dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah Kecamatan commit to user
5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jenangan Kabupaten Ponorogo yang bisa bermanfaat bagi penelitian– penelitian ilmu hukum selanjutnya. b. Mendapatkan suatu saran dan kritik yang diharapkan dapat digunakan oleh almamater dalam mengembangkan bahan perkuliahan yang telah ada. 2.
Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini dapat membantu penulis dalam memahami tentang aspek keadilan dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. b. Bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya maupun bagi para Perangkat Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo dalam konteks penanganan, penanggulangan, dan peninjauna mengenai aspek keadilan dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.
E. Metode Penelitian Penelitian hukum adalah proses untuk menemukan aturan hukum, prinsipprinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:35). Adapun metode yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif atau hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau sumber penelitian sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannnya commit to user dengan masalah yang diteliti.
6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Sifat Penelitian Penelitian yang dilalukan oleh penulis bersifat perskriptif dan terapan. Ilmu hukum yang bersifat perskriptif mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas suatu aturan, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menerapkan standar prosedur, ketentuanketentuan,
rambu-rambu
dalam
melaksanakan
hukum
(Peter
Mahmud
Marzuki,2005:22) 3. Pendekatan Penelitian Penelitian hukum mempunyai beberapa macam pendekatan, pendekatanpendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undangundang (statue approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif
(comparative approach), dan
pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki,2005:93). Adapun penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan pendekatan undangundang (statue approach) dilakukan dengan melakukan studi mengenai keadilan dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo. 4. Jenis dan Sumber Penelitian Hukum Jenis data hukum yang digunakan dalam penelitian hukum yang dilakukan oleh penulis adalah data hukum sekunder. Menurut Peter Mahmud Marzuki pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Sehingga yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. a. Bahan Hukum Primer Merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri atas perundangundangan,
catatan-catatan
resmi
atau
risalah
dalam
pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim (Peter Mahmud Marzuki,2005:141) Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomorcommit 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi hasil to user
7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tanah Pertanian dan undang-undang lain yang berkaitan dengan isu hukum dalam penelitian ini. b. Bahan Hukum Sekunder Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, yang meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas putusan peradilan (Peter Mahmud Marzuki,2005:141) Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan ini adalah buku-buku, artikel, internet, jurnal hukum dan sumber lain yang berkaitan dengan isu hukum dalam penelitian ini. 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka baik dari media cetak maupun elektronik yang kemudian dikategorikan menurut jenisnya. Teknik pengumpulan bahan hukum tersebut diatas disebut studi pustaka dan disertai konfirmasi pada pemilik tanah dan penggarap tanah. 6. Teknik Analisis Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian normatif dimana teknik analisis yang penulis gunakan adalah dengan menggunakan silogisme dan interpretasi dengan menggunakan pola penalaran deduktif, yaitu cara berfikir yang berpangkal pada prinsip-prinsip dasar, kemudian peneliti menghadirkan objek yang akan diteliti yang digunakan untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus. Cara pengelolaan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi (Johny Ibrahim, 2006:393).
commit to user
8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk memudahkan penulisan hukum ini, sistematika yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan ini, penulis akan menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan menguraikan mengenai kajian pustaka dan teori yang berkenaan dengan judul dan masalah yang diteliti serta kerangka pemikirannya, antara lain membahas mengenai Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian, hak dan kewajiban antara pemilik tanah dan penggarap tanah sesuai yang diatur dalam Undang–undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan sebagai jawaban atas perumusan masalah yaitu, apakah bentuk, lamanya jangka waktu, dan berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo Sudah sesuai dengan Peraturan Perundang–Undangan. Dan apakah imbangan pemilik tanah dan penggarap dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo sudah memenuhi unsur keadilan. BAB IV : PENUTUP Dalam bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran yang ditujukan pada pihak-pihak terkait dengan permasalahan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Menurut Hukum Adat. a. Hakekat dan Latar Belakang Timbulnya Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian. Perjanjian bagi hasil pada pada mulanya tunduk pada ketentuan– ketentuan hukum adat. Hak dan kewajiban masing–masing pihak, yaitu pemilik tanah maupun penggarap ditetapkan atas dasar kesepakatan berdua, dan tidak pernah diatur secara tertulis. Besarnya bagian yang menjadi hak masing–masing pihakpun tidak akan keseragaman antara daerah yang satu dengan daerah yang lain (Urip Santoso, 2005:139). Praktek pelaksanaan perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Indonesia sudah berlangsung sejak dulu. Adapun yang menjadi latar belakang terjadinya perjanjian bagi hasil tanah pertanian adalah adanya ketimpangan di dalam pemilikan dan pengusahaan tanah pertanian. Di satu pihak terjadi penumpukan pemilikan tanah pertanian bagi golongan penduduk tertentu (yang biasa disebut dengan tuan tanah), sehingga mereka tidak mampu atau tidak sanggup mengerjakan sendiri tanahnya. Sedangkan di lain pihak banyaknya petani yang tidak mempunyai tanah pertanian (kurang dari satu hektar). Untuk itulah para tuan tanah ini menyuruh golongan petani tersebut untuk mengerjakan tanahnya yang sangat luas, dengan perjanjian bila panen tiba, para penggarap harus menyerahkan sebagian
hasil panen kepada pemilik tanah
yang
bersangkutan. Sebab-sebab adanya penumpukan tanah ini antara lain merupakan salah satu akibat dari politik penjajahan, dimana tanah-tanah pertikelir yang semula milik negara dijual kepada pengusaha swasta guna commit to user mendapatkan uang untuk membiayai kepentingan negara yang dalam
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
suasana perang. Disamping itu penumpukan tanah juga terjadi karena pemerintah Belanda pada waktu itu memungut pajak tanah (Landrente) yang cukup tinggi kepada rakyat yang mempunyai tanah. Dengan demikian bagi mereka yang tidak mampu membayarnya terpaksa harus menjual tanah. Hal ini meyebabkan tanah pertanian menumpuk pada beberapa orang kaya saja. Akibat selanjutnya, petani-petani yang tidak memiliki tanah ini dimana mereka hanya bekerja menggarap tanah pertanian milik orang lain demi kelangsungan hidupnya, dengan cara bagi hasil (S. Gautama, 1973:16). Selain sebab-sebab seperti tersebut di atas, perjanjian bagi hasil ini bisa terjadi juga kerena semakin menipisnya hak pertuanan di daerahdaerah tertentu. Hal ini disebabkan antara lain karena tanah-tanah persekutuan tersebut tidak dikerjakan oleh anggota persekutuan, sehingga memungkinkan orang lain di luar anggota persekutuan untuk mengerjakan tanah persekutuan tersebut. Kemudian di dalam bukunya Surojo Wignjodipuro, S.H. dikemukakan mengenai : “Hak menggunakan tanah atau hak memunggut hasil tanah hanya untuk satu tahun panen saja, berlaku bagi orang luar bukan warga persekutuan yang telah mendapatkan ijin untuk mengerjakan sebidang tanah serta telah mendapatkan ijin untuk mengerjakan sebidang tanah serta telah memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti membayar mesi (Jawa) atau uang pemasukan (Aceh)” (Surojo Wignjodipuro, 1973:245).” Sebab lain yang dapat mengakibatkan menipisnya hak pertuanan adalah karena raja-raja jaman dulu memberikan tanah bengkok kepada pegawai rendahan tanpa mengingat adanya hak pertuanan. Dengan menipisnya hak pertuanan, maka hak perseorangan dapat terjadi semakin kuat (Imam Sudiyat, 1981:3). commit to user
11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Istilah dan Pengertian Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian. 1) Istilah Perjanjian Bagi Hasil tanah Pertanian Dikemukanakan dalam buku Imam Sudiyat adalah sebagai berikut : “Istilah perjanjian bagi hasil tanah pertanian berbeda-beda di beberapa daerah di Indonesia, antara lain di Jawa Tengah disebut maro, mertelu, mrapat; di Sunda disebut nengah, jujuran; di Sulawesi Selatan disebut tesang; di Minangkabau disebut memperdui; di Minahasa disebut toyo. Penyebutan istilah didasarkan atas sistim pembagian hasilnya” (Imam Sudiyat, 1981:37). 2) Pengertian Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Menurut Boedi Harsono dalam bukunya memukakan : “Perjanjian bagi hasil adalah suatu bentuk perjanjian antara seorang yang berhak atas suatu bidang tanah pertanian dan orang lain yang disebut Penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan mengusahakan tanah yang bersangkutan dengan pembagian hasilnya antara penggarap dan yang bertindak atas tanah tersebut menurut imbangan yang telah disetujui bersama (Boedi Harsono, 1999:118)” Bagi hasil di Aceh disebut dengan meudua laba untuk dibagi dua, di Sumatera Barat dikenal sebutan mampaduokan, mampatigoi, dan seterusnya; di Sulawesi Selatan misalnya disebut thesang-tawadua untuk dibagi dua, di Bali nandu, telon, ngemepatempat, dan ngelima-lima; sedangkan di Jawa dikenal dengan maro, mertelu, mrapat, dan seterusnya. Secara umum, bagi hasil didefinisikan sebagai bentuk perjanjian antara dua pihak yaitu pemilik tanah dan penggarap tanah yang besepakat untuk melakukan pembagian hasil secara natura. Bagi hasil dalam bahasa Belanda yang disebut “deelbouw”, merupakan bentuk tertua dalam pengusahaan tanah di dunia, yang bahkan telah ditemukan pada lebih kurang 2300 SM (Scheltema, 1985). Bagi hasil terhadap dua unsur produksi, modal dan kerja, dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil bruto (kotor) dalam bentuk commit natura. to Berbeda user dengan perjanjian sewa, maka
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemilik tanah masih tetap memegang kontrol usaha (Syahyuti, 2004 : 162). Perjanjian bagi hasil ini semula diatur menurut Hukum Adat, maka pelaksanaannya pun tidak terlepas dari pengaruh hukum adat dan kebiasaan yang berlaku setempat. Menurut aturan hukum adat imbangan pembagian hasilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak, yang umumnya tidak menguntungkan bagi pihak Penggarap. Dalam tata hukum pertanahan jaman dulu masih diatur oleh hukum adat, di mana pada waktu timbul berbagai hak atas tanah pertanian. Antara lain hak menikmati hasil, hak pakai dan hak menggarap tanah pertanian. Hak menggarap tanah pertanian merupakan perpaduan antara hak pakai dan hak menikmati hasil. Hak menggarap tanah pertanian adalah suatu hak yang dapat diperoleh baik oIeh warga persekutuan hukum sendiri, maupun orang yang bukan anggota persekutuan, untuk mengolah sebidang tanah selama satu atau beberapa kali panen. Atas ijin dari pemimpin persekutuan atau pemilik tanah yang bersangkutan. Dari hak atas tanah ini timbul berbagai transaksi yang bersangkutan dengan tanah, antara lain transaksi perjanjian bagi hasil. Dalam transaksi ini obyeknya bukan tanah, tetapi hanya mempunyai hubungan dengan tanah. Obyek transaksi bagi hasil adalah tenaga kerja dan tanaman. Jadi meskipun perjanjian bagi hasil ini dapat digolongkan kedalam perjanjian atau transaksi yang berhubungan dengan tidak dapat disebut sebagai perjanjian yang berobyek tanah (B. Ter Haar, 1994:105). Dalam perjanjian bagi hasil tidak terjadi peralihan hak milik atas tanah, yang terjadi adalah penggarapan tanah oleh seseorang atau beberapa orang penggarap, dimana hasil dari panenan commit to user
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
nanti dibagi antara kedua belah pihak yaitu pihak pemilik dan pihak penggarap. Perjanjian bagi hasil melibatkan dua orang yang di satu pihak pemilik tanah yang tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya tetapi ingin memproduktifkannya, sedang dilain pihak sesama warga masyarakat bersedia menggarap tanah tersebut dengan perjanjian hasil tanah dibagi dua dengan perbandingan yang sudah ditentukan sebelumnya. Perjanjian bagi hasil ini tidak hanya dibuat oleh pemilik tanah saja, tetapi dapat juga dibuat oleh penyewa tanah, pembeli gadai, pembeli tahunan, pemakai tanah kerabat, atau pemegang tanah jabatan. Dalam perjanjian bagi hasil ini merupakan berkedudukan sebagai pihak pemilik tanah.
c. Sifat atau Ciri-ciri Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian. Menurut B. Teer Haar sifat-sifat/ciri-ciri perjanjian bagi hasil, yaitu : 1) Untuk sahnya perjanjian bagi hasil tersebut tidak membutuhkan bantuan dari kepala desa; 2) Untuk terbentuknya perjanjian bagi hasil ini, juga tidak memerlukan adanya akta; 3) Perjanjian bagi hasil menurut hukum adat, dapat dibuat oleh: a)
Pemilik tanah.
b)
Pembeli gadai.
c)
Pembeli tahunan.
d)
Pemakai tanah kerabat.
e)
Pemegang tanah jabatan.
4) Tidak ada pembatasan mengenai siapa yang dapat menjadi pembagi hasil atau dapat menjadi penggarap (B. Ter Haar, 1960:37 - 38). commit to user
14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. Sistem pembagian hasil. Mengenai sistem pembagian yang biasa digunakan di Daerah Jawa Timur adalah dengan istilah : 1) Sistem maro
commit to user
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dapat pula terjadi perjanjian bagi hasil berlangsung secara turun temurun dari penggarap pertama kepada ahli warisnya. Atau sebaliknya, dari pemilik tanah yang pertama kepada pemilik tanah berikutnya. Meskipun
demikian
kenyataan
tersebut
tidak
menutup
kemungkinan bagi pemilik tanah untuk memutuskan perjanjian bagi hasil. Hal ini
bisa terjadi apabila pihak penggarap tidak melaksanakan
kewajibannya seperti yang telah disepakati semula pada waktu perjanjian. Dengan kata lain perjanjiian bagi hasil itu tetap berlangsung selama tidak ada konflik diantara para pihak, yaitu pemilik tanah dan penggarap.
2. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Bagi Hasil Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian. a. Dasar Hukum dan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960. Seperti telah dikemukakan diatas, bahwa hak usaha bagi hasil disebut daIam Pasal 53 UUPA. Dimana pasal mengatur tentang hak-hak atas tanah yang bersifat sementara sebagai yang dimaksud oleh Pasal 16 ayat (1) huruf (h) UUPA. Karena hak usaha hasil bagi ini termasuk sebagai hak yang sifatnya sementara, maka dalam waktu singkat hal tersebut harus dihapuskan. Hal ini disebabkan hak jiwa UUPA dan ketentuan yang ada dalam pasal 10 ayat (1) yang tidak menghendaki adanya pemerasan manusia atas manusia. Selama hak usaha bagi hasil ini belum dihapus, harus ada tindakan-tindakan yang bersifat membatasi sifat-sifat hak usaha bagi hasil ini yang pada dasarnya bertentangan dengan UUPA. Sehingga meskipun Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 ini undang-undang yang sudah ada sebelum berlakunya UUPA namun demikian undang-undang tersebut dapat dianggap sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 53 UUPA. Oleh karena itu Pasa1 53 UUPA bisa dianggap sebagai dasar hukum dari Undang-Undang Nomor 2 1960. commit to user
16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, rnaka telah dikeluarkan beberapa peraturan pelaksanaannya yaitu : 1) Keputusan Menteri Muda Agraria Nomor SK. 322 Ka/1960, tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960. Peraturan ini diadakan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 1960 yang membutuhkan petunjuk pelaksanaan. 2) Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 4 Tahun 1964, tentang Penetapan Perimbangan Khusus dalam Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil. Peraturan ini menetapkan perimbangan khusus mengenai besarnya bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik tanah dalam hal melanggar ketentuan-ketentuan tentang perimbangan bagi hasil yang telah ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah Tingkat II. 3) Peraturan Menteri Agraria Nomor 4 Tahun 1964, tentang pedoman Penyelenggaraan Perjanjian Bagi Hasil. Tujuan diadakannya peraturan ini adalah untuk menyederhanakan dan menyempurnakan peraturanperaturan pelaksanaan perjanjian bagi hasil yang telah ada, guna mengintensifkan pelaksanaan bagi hasil. 4) Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980, tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960. Instruksi Presiden ini dikeluarkan dalam rangka usaha menertibkan dan meningkatkan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, sesuai dengan perkembangan masyarakat tani dan kemajuan tehnologi serta sarana pengusahaan tanah untuk produksi pangan. 5) Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 211 Tahun 1980, Nomor 714/Kpts/Um/p/1980, tentang Petunjuk Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980. commit to user
17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ketentuan ini merupakan petunjuk pelaksanaan dari Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980. Menurut M. Islam Akanda Aminul, Hiroshi Isoda dan Ito Shoichi, dalam Jurnalnya tentang Problem of Sharecrop Tenancy System in Rice Farming in Bangladesh, menyatakan bahwa : “The 1984 Land Reform Act in Bangladesh fixed land rent for sharecropping tenants at 33% of harvest yield without input sharing and at 50% with 50% of input sharing. This positively influenced expansion of HYV rice farming. However, the returns for tenants fell over time because of a gradual increase in input prices and wages. This research analysed the present distribution of returns in the dominant rice farming area in Bangladesh. A field survey was conducted in an advanced rice farming village where sharecropping was practiced. There was semi feudalism in the tenancy market with landowners earning more from sharecropping than they could from cash renting. Land-rich farmers often cultivated only a small part of their cultivable land and rented out most of it. The existing economic structure did not fairly balance the returns between tenants and landowners. This study suggested the need to reset the land rent at 20% of harvest yield without input sharing and at 40% with input sharing, to protect land-poor tenants”. “Tahun 1984 Reformasi Tanah Undang-Undang di Bangladesh sewa lahan tetap untuk penyewa bagi hasil sebesar 33% dari hasil panen tanpa berbagi pendapatan dan sebesar 50% dengan 50% dari berbagi pendapatan. Hal positif ini dipengaruhi perluasan usaha tani padi VU (Varietas Unggul). Namun, kembali untuk penyewa turun dari waktu ke waktu karena bertahap kenaikan harga input dan upah. Penelitian ini dilakukan analisis distribusi, kini kembali dalam lokasi budidaya padi dominan di Bangladesh. Sebuah survei lapangan dilakukan dalam pertanian padi maju desa di mana bagi hasil dipraktekkan. Ada feodalisme semi di pasar persewaan dengan pemilik tanah penghasilan lebih dari bagi hasil dari yang mereka dapat dari menyewakan tunai. Tanah petani kaya sering dibudidayakan hanya sebagian kecil dari tanah yang bisa diolah mereka dan disewakan sebagian besar. Yang ada struktur ekonomi tidak cukup menyeimbangkan kembali antara penyewa dan pemilik tanah. Studi ini menyarankan harus me-reset sewa tanah sebesar 20% dari to hasil commit userpanen tanpa berbagi masukan dan
18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
di 40% dengan berbagi masukan, untuk melindungi-miskin penyewa tanah (M. Islam Akanda Aminul, 2008:1)”. b. Pengertian Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian. Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 Pasal 1, yang dimaksud dengan tanah adalah tanah yang biasanya digunakan untuk menanam bahan makanan, sedangkan yang dimaksud dengan hasil tanah adalah hasil usaha pertanian yang diselenggarakan oleh penggarap, setelah dikurangi biaya-biaya untuk bibit, pupuk, ternak, biaya untuk menanam dan panen. Pengertian perjanjian bagi hasil tanah pertanian menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 adalah suatu perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik tanah disatu pihak dan seseorang atau badan hukum di lain pihak, yang dalam undang-undang ini disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tanah untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak. Pihak penggarap dan pemilik tanah dalam perjanjian bagi hasil ini berkedudukan sebagai subyek perjanjian, yaitu sebagai pihak-pihak yang mengadakan perjanjian bagi hasil tersebut. Subyek perjanjian bagi hasil ini dapat diperinci lagi menjadi dua unsur pokok yaitu : 1) Seseorang (petani) yang secara individual melakukan perjanjian bagi hasil. Bila sebagai pemilik, maka ia adalah seseorang
yang
berdasarkan suatu hak, menguasai sebidang tanah. Pihak pemilik tanah saja, melainkan dapat juga sebagai pemegang gadai dan penyewa. Bila sebagai penggarap, maka ia adalah seseorang baik yang mempunyai maupun yang tidak mempunyai tanah, yang mata pencarian pokoknya adalah mengusahakan atau mengerjakan tanah untuk pertanian. Untuk petani penggarap ini, menurut pasal 2 UndangUndang Tahun 1960 ada ketentuan-ketentuan khusus, yaitu ia boleh commit to user melakukan perjanjian bagi hasil bila tanah garapannya lebih dari tiga
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hektar, maka yang bersangkutan harus mendapat ijin dari Menteri Muda Agraria atau pejabat yang ditujukan olehnya. Menurut Keputusan Menteri Muda Agraria Nomor SK 322/Ka/1960, pejabat tersebut adalah Camat. 2) Badan hukum yaitu suatu bentuk organisasi, atau kumpulan yang didirikan berdasarkan hukum yang berlaku, terdiri dari sekelompok orang, yang secara bersama melakukan perjanjian bagi hasil. Jika sebagai pemilik, ia adalah badan hukum yang berdasarkan suatu, menguasai sebidang tanah. Apabila sebagai penggarap, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 ditentukan bahwa pada asasnya badan hukum dilarang menjadi penggarap. Akan tetapi ada pengecualian
terhadap ketentuan
tersebut dimungkinkan, yaitu
dengan ijin Menteri Muda Agraria atau pejabat yang ditunjuk olehnya. Menurut Keputusan Menteri Muda Agraria Nomor SK 322/Ka/1960, pejabat tersebut adalah Bupati/Kepala Daerah Tingkat II. c. Obyek Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian. Obyek perjanjian bagi hasil tanah pertanian adalah tenaga kerja dan tanaman. Yang dimaksud tenaga kerja adalah tenaga seseorang yang dipakai untuk mengolah tanah pertanian yang diperjanjikan itu, sehingga saat panen. Sedangkan yang dimaksud tanaman disini adalah tanaman yang berumur pendek, seperti padi, tebu, jagung, dan sebagainya, dimana dapat dinikmati segera hasilnya, baik oleh pemilik tanah maupun penggarap. d. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian. Bentuk perjanjian bagi hasil tanah pertanian menurut UndangUndang Nomor 2 Tahun 1960 harus dibuat secara tertulis dihadapan kepala desa. Perjanjian tersebut sendiri oleh pemilik tanah dan penggarap dengan disaksikan oleh dua orang saksi, masing-masing dari pihak pemilik tanah dan penggarap. Setelah semua surat perjanjian bagi hasil itu dibuat commit to user
20
perpustakaan.uns.ac.id
dihadapan
digilib.uns.ac.id
kepala
desa
yang
wilayahnya
meliputi
tanah
yang
dibagihasilkan, surat tersebut selanjutnya disahkan oleh Camat, kemudian diumumkan dalam rapat desa oleh kepala desa. Selanjutnya dimasukkan ke dalam buku register untuk dilaporkan kepada Bupati/Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan. Agar ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 ditaati dan dijalankan oleh semua pihak, maka bagi mereka yang melanggar ketentuan yang ada dalam surat perjanjian bagi hasil, kepala desa atas pengaduan salah satu pihak, berwenang memerintahkan ditaatinya ketentuan yang telah mereka sepakati bersama. Jika pemilik dan atau penggarap tidak mengindahkannya, maka masalah tersebut diajukan kepada Camat untuk mendapatkan keputusan yang mengikat kedua belah pihak (hal inl sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960). Surat perjanjian bagi hasil tanah pertanian tersebut dibuat rangkap dua, satu untuk pemilik tanah dan satu untuk penggarap, surat asli disimpan di Kelurahan (diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Agraria Nomor 4 Tahun 1964). Demikian masing-masing pihak baik
pemilik
maupun penggarap mempunyai alat bukti bahwa antara mereka telah ada kesepakatan untuk mengadakan perjanjian bagi hasil berikut syaratsyaratnya. Dari uraian ini, jelaslah bahwa maksud adanya ketentuan yang menentukan perjanjian bagi hasil harus dibuat secara tertulis dihadapkan kepala desa setempat adalah untuk menghindari keragu-raguan yang mungkin dapat menimbulkan perselisihan mengenai hak dan kewajiban para pihak, mengenai jangka waktu perjanjian, imbangan pembagian hasil dan sebagainya. Sebab didalam surat perjanjian, imbangan pembagian hasil serta hal-hal lain yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Disamping itu pembuatan perjanjian secara tertulis ini juga akan memudahkan pengawasan secara preventif terhadap adanya perjanjian bagi hasil itu.
commit to user
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e. Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian. Jangka waktu atau lamanya perjanjian diatur dalaml Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 yang menetapkan bahwa : 1) Perjanjian bagi hasil diadakan untuk jangka waktu yang dinyatakan didalam surat perjanjian bagi hasil. Dengan ketentuan bahwa untuk tanah sawah sekurang-kurangnya tiga tahun dan untuk tanah kering sekurang-kurangnya lima tahun. 2) Dalam hal-hal khusus, yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Muda Agraria, Camat dapat mengijinkan diadakannya perjanjian bagi hasil dengan jangka waktu kurang dari ketetapan umum yaitu untuk tanah yang biasanya dikerjakan sendiri oleh pemiliknya. 3) Jika pada waktu berakhirnya perjanjian bagi hasil, diatas tanah yang bersangkutan masih terdapat tanaman yang belum dapat dipanen, maka perjanjian tersebut berlaku terus sampat tanaman itu dapat dipanen. Tetapi perpanjangan itu tidak boleh lebih dari satu tahun. Perpanjangan ini cukup diberitahukan kepada kepala desa setempat, tidak perlu harus mengadakan perjanjian baru. Yang dimaksud “tahun” disini adalah tahun tanaman, bukan tahun kalender. Dengan adanya ketentuan mengenai jangka waktu ini maka penggarap akan memperoleh tanah garapan dalam waktu yang layak, sehingga penggarap upayanya guna mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin. Hal ini jelas akan membawa keuntungan pula bagi pemilik tanah, karena bagian hasil yang diterimanya juga akan bertambah banyak. Untuk sawah ditentukan jangka waktu tiga tahun dengan pertimbangan bila tanah tersebut berupa sawah dan pengelolaannya dengan menggunakan pupuk, terutama pupuk hijau yang ditanam pada tahun pertama, maka daya pupuk ini baru bekerja dan baru dapat dirasakan oleh tanaman pada tahun kedua, atau bahkan pada tahun ketigapun commit to user pengaruh pupuk pada tanaman dimungkinkan masih ada. Sedang untuk
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tanah kering diberi batas minimum lima tahun, karena pada tanah kering sebelum ditanami harus diperbaiki dahulu keadaan tanahnya. Sehingga waktu lima tahun untuk tanah kering dipandang cukup layak sebagai batas minimum untuk mengadakan perjanjian bagi hasil tanah pertanian. f. Imbangan Pembagian Hasil. Maksud daripada pembagian hasil tanah adalah pembagian hasil panen dari tanaman yang menjadi obyek perjanjian bagi hasil. UndangUndang Nomor 2 Tahun 1960 tidak menyebutkan secara tegas angka imbangan pembagian hasil. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, antara lain proses perkembangan masyarakat desa masih berjalan terus. Sehingga kadang peraturan yang ada dalam undang-undang sudah tidak sesuai lagi untuk diterapkan dalam kejadian yang ada dalam masyarakat yang berkembang. Faktor penyebab yang lain adalah karena kesuburan tanah dan kepadatan penduduk yang dalam perjanjian bagi hasil dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan besar kecilnya bagian pemilik dan penggarap. Sehubungan dengan hal itu tidak mungkin diterapkan secara umum angka pembagian yang cocok bagi seluruh daerah di Indonesia, yang dirasakan adil oleh masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian bagi hasil. Oleh karena itu, penetapan angka imbangan itu diserahkan kepada Bupati/Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan, karena para Bupati/Kepala Daerah Tingkat II ini telah mengetahui tentang faktor-faktor ekonomis dan keadaan setempat, keadaan daerahnya beserta perkembangannya, daripada pembentuk undang-undang. Penerapan angka imbangan ini setiap kali dapat diubah, yaitu setiap tiga tahun. Meskipun tidak menyebutkan secara tegas berapa besar bagiannya, tetapi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Pasal 7 dikatakan bahwa besamya hasil tanah yang diperoleh dan yang menjadi hak penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap daerah tingkat II yang bersangkutan ditetapkan oleh Bupati/Kepala commitDaerah to user Tingkat II yang bersangkutan,
23
perpustakaan.uns.ac.id
dengan
digilib.uns.ac.id
memperlihatkan jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan
penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi dan faktor-faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat setempat. Pasal 7 UndangUndang Nomor 2 Tahun 1960 berikut penjelasannya inilah yang menjadi pedoman bagi para Bupati/Kepala Daerah Tingkat II daiam melaksanakan wewenangnya untuk menetapkan angka imbangan pembagian hasil tanah. Dengan perumusan yang fleksibel, yang akan menampung keadaankeadaan khusus daerah demi daerah, sebagaimana halnya Pasal 7 ini, maka undang-undang ini memberikan pedoman imbangan antara pemilik dan penggarap 1 : 1, yaitu untuk padi yang ditanam di sawah. Untuk tanaman palawijo di sawah dan untuk tanaman di tanah kering bagian penggarap adalah 2 : 3 dan pemilik 1 : 3. Untuk daerahdaerah dimana imbangan tersebut telah lebih menguntungkan pihak penggarap, akan tetap digunakan. Hasil akan dibagi antara pemilik dan penggarap adalah hasil bersih, yaitu bruto (hasil kotor) setelah dikurangi biaya-biaya untuk bibit, pupuk, ternak serta biaya untuk menanam dan panen. Biaya-biaya tersebut dipikul bersama oleh kedua belah pihak. Sedang biaya-biaya berupa tenaga, baik dari penggarap sendiri maupun tenaga buruh tidak termasuk golongan biaya yang dikurangkan dari hasil kotor, karena biaya itu merupakan andil dari pihak penggarap itu sendiri dalam mengadakan perjanjian bagi hasil. Mengenai zakat harus disisihkan dari bruto yang mencapai nisab (untuk padi besarnya 14 kwintal). Hal ini berarti bahwa hasil padi yang kurang dari 14 kwintal tidak terkena zakat. Hal ini berlaku untuk orang-orang yang memeluk agama Islam. Menurut Keputusan bersama Menteri Pertanian dan Menteri Dalam Negeri Nomor 211 Tahun 1980 bagian kedua, besarnya imbangan bagian hasil tanah yang dimaksud dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 sepanjang mengenai padi yang ditanam di sawah. Yang commit to berikut: user ditetapkan dengan pedoman sebagai
24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1) Ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah Tingkat II berdasarkan usul dan pertimbangan Camat/Kepala Wilayah Kecamatan serta instansiinstansi yang bidangnya berkaitan dengan kegiatan usaha produksi pangan dan pengurus organisasi tani yang ada di daerahnya, dengan terlebih dahulu mendengar usul dan pertimbangan kepala desa dengan Lembaga Musyawarah Desa atau Kepala Kelurahan dengan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desanya. 2) Jumlah biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga tanam, dan panen, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 huruf d natura padi gabah, sebesar maksimum 25% dari hasil kotor yang besarnya dibawah atau sama dengan hasil produksi rata-rata dalam daerah tingkat II atau Kecamatan yang bersangkutan, atau dalam bentuk rumus sebagai berikut : Z = 1/4 X Z= biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga panen, dan tanam. X= Hasil kotor (Boedi Harsono, 1986 : 833 – 834). 3) Jika hasil yang dicapai oleh penggarap tidak melebihi hasil produksi rata-rata Daerah Tingkat II atau Kecamatan sebagai yang ditetapkan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah yang bersangkutan, maka hasil kotor setelah dikurangi biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga tanam dan panen yang dihitung menurut rumus butir b diatas, dibagi dua sama besar antara pemilik dan penggarap atau dalam bentuk rumus : Rumus I Hak penggarap = hak pemilik X–Z -----2
X–1/4X =
------------commit to user 2
25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Jika hasil yang dicapai oleh penggarap diatas hasil produksi rata-rata Daerah Tingkat II atau Kecamatan sebagai yang ditetapkan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah yang bersangkutan, maka besarnya bagian yang menjadi hak pemilik dan penggarap adalah sebagai berikut : d. 1.
Hasil kotor sampai dengan hasil produksi rata-rata dibagi
menurut rumus : X–Z
X – 1/4 X
----- = ----------- (rumus I) (Budi Harsono, 1986 : 834 ) 2 d. 2.
2 Hasil selebihnya dari hasil produksi rata-rata dibagi antara
penggarap dan pemilik dengan imbangan 4 bagian untuk penggarap dan 1 bagian untuk pemilik atau dengan bentuk rumus sebagai berikut: Rumus II Y–Z Hak penggarap = ------
4(X – Y) +
2
--------5
Y–1/4X
4 (X – Y)
= ----------- + -----------2
5
Y–1/4X =
(X – Y)
------------ + ---------2
5
Dimana Y = Hasil produksi rata-rata Daerah Tingkat II atau Kecamatan yang bersangkutan (Budi Harsono, 1986 : 834) 5) Jika suatu daerah, bagian yang menjadi hak penggarap pada kenyataannya lebih besar dari pada yang ditentukan dalam rumus I dan II diatas, maka tetap diperlukan imbangan yang lebih menguntungkan penggarap. commit to user
26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
g. Hak dan Kewajiban Pemilik dan Penggarap. Perjanjian bagi hasil bersifat mengikat kedua belah pihak dan menimbuIkan hak dan kewajiban bagi para pihak, baik itu penggarap maupun pemilik. Kewajiban pemilik tanah antara lain : 1) Menyerahkan tanah yang bersangkutan untuk diusahakan oleh penggarap (Pasal 1 huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960). 2) Membayar pajak tanah tersebut. Kewajiban ini bisa beralih kepada penggarap, bila tanah yang dikerjakan adalah tanah milik penggarap sendiri, atau dengan kata lain penggarap ini adalah pemiiik tanah yang sebenarnya (Pasal 9 UndangUndang Nomor 2 Tahun 1960). 3) Memenuhi segala hal yang menjadi tanggungannya sesuai dengan isi perjanjiian (Penjelasan Pasal 1 huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960). Sedangkan hak pemilik adalah : 1) Mendapatkan sebagian dari hasil tanah yang dibagihasilkan menurut imbangan yang telah ditentukan sebelumnya (Pasal 1 huruf c UndangUndang Nomor 2 Tahun 1960). 2) Berhak menuntut diputuskannya perjanjian bagi hasil sebelumnya berakhir jangka waktu perjanjian dalam hal penggarap tidak memenuhi hal-hal yang telah disetujui dalam perjanjian (Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960). Adapun Kewajiban penggarap adalah : 1) Mengusahakan tanah garapan sebaik-baiknya (Pasal 1 huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960). 2) Menyerahkan sebagian dari hasil tanah yang menjadi hak dari pemilik (Pasal 1 huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960). commit to user
27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3) Memenuhi segala hal yang menjadi tanggungannya sesuai dengan isi perjanjian (Penjelasan Pasal 1 huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960). 4) Jika jangka waktu perjanjian habis, ia wajib menyerahkan kembali tanah yang dikerjakan kepada pemilik tanah dalam keadaan baik, dalam arti keadaan yang tidak merugikan pemilik sesuai dengan keadaan dan ukuran setempat. 5) Tidak boleh mengalihkan tanah garapan tersebut dalam bentuk apapun kepada pihak lain tanpa seijin pemilik tanah. Hal ini karena perjanjian bagi hasil, hubungan antara pemilik dengan penggarap tanah merupakan hubungan yang berdasarkan kepercayaan. Namun lain halnya bila penggarap meninggal dunia, kewajiban penggarap tanah bisa beralih kepada ahli warisnya, Karena hal ini merupakan jaminan khusus bagi penggarap (Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960). Hak-hak dari penggarap tanah antara lain: 1) Berhak mengusahakan tanah yang bersangkutan (Pasal 1 huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960). 2) Berhak menerima sebagian hasil tanah, sesuai dengan imbangan pembagian hasil yang ditetapkan bagi daerah (Pasal 1 huruf c UndangUndang Nomor 2 Tahun 1960). Hak dan kewajiban para pihak ini haruslah dijalankan dengan seimbang, sehingga masing-masing pihak tidak ada yang merasa dirugikan. h. Peralihan dan Hapusnya Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian. Hak usaha bagi hasil tidak akan hapus dengan berpindahnya hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain. Dalam hal ini, hakhak dan kewajiban pemilik lama beralih kepada pemilik yang baru. Dan apabila penggarap meninggal commitdunia to usermaka perjanjian bagi hasil itu
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dilanjutkan oleh ahli warisnya, dengan hak dan kewajiban yang sama. Dalam hal pemilik yang meninggal, diperlukan pembaruan perjanjian dengan pemilik yang baru, hal mana akan tergantung pada kesediaan pemilik baru.
Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 beserta penjelasanya. Ketentuan ini kurang memberi jaminan bagi penggarap, karena sewaktu-waktu hak penggarap untuk menggarap tanah hilang, akibat meninggalnya pemilik tanah, bila pemilik tanah yang baru tidak bersedia melanjutkan perjanjian bagi hasil. Meskipun begitu ketentuan dalam pasal ini memberi jaminan bagi penggarap, bahwa perjanjian bagi hasil itu akan tetap berlangsung selama waktu yang telah ditentukan, meskipun tanahnya oleh pemilik telah dipindahkan ke tangan lain. Karena pemutusan perjanjian oleh pemilik baru sebelum jangka waktu berakhir hanya dimungkinkan dalam hal-hal seperti yang disebutkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, yaitu : 1) Atas persetujuan kedua belah pihak yang bersangkutan setelah mereka laporkan kepada kepala desa. 2) Atas ijin kepala desa setempat atas tuntutan pihak pemilik tanah. Jadi pemilik tanah menuntut pemutusan perjanjian bagi hasil, jika ternyata kepentingannya merasa dirugikan oleh penggarap, yaitu dalam hal: a) Penggarap tanah tidak mengusahakan tanah garapan dengan sebagaimana mestinya. b) Penggarap tidak memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan sebagian hasil dari tanah yang telah disepakati bersama kepada pemilik. c) Penggarap
tidak
memenuhi
beban-beban
yang
menjadi
tanggungannya, yang telah disetujui dalam surat perjanjian. d) Penggarap tanpa ijin pemilik tanah, mengalihkan pengusahaan tanah kepada pihak lain. commit to user
29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kepala desa memberi ijin pemutusan perjanjian bagi hasil dengan mempertimbangkan kepentingan masing-masing pihak, bila usahanya untuk mendamaikan mereka memenuhi jalan buntu, terhadap keputusan kepala desa ada kemungkinan banding pada instansi yang lebih tinggi, yaitu camat. Hal ini ditempuh apabila pihak penggarap dan pihak pemilik tanah tidak puas dengan keputusan yang diberikan oleh kepala desa. Dalam memberikan keputusannya Camat akan dibantu oleh suatu badan pertimbangan, yang akan memberikan pertimbanganya kepada Camat, baik atas permintaan camat maupun inisiatif sendiri. Pemberian keputusan oleh dua instansi setempat tersebut kiranya yang sebaik-baiknya bagi kepentingan kedua belah pihak. Karena itu tidak perlu lagi campur tangan badan-badan pengadilan. Keputusan Camat ini wajib disampaikan kepada Bupati agar dapat diselenggarakan pengawasan yang sebaikbaiknya. Namun
seandainya
penggarap
melaksanakan
kewajiban-
kewajibannya dengan baik, maka perjanjian bagi hasil itu akan berakhir setelah jangka waktu yang ditetapkan habis. Bisa juga perjanjian bagi hasil hapus karena tanah yang diusahakan itu musnah dimana dengan sendirinya hak usaha bagi hasil juga ikut hapus.
3.
Tinjauan Umum tentang Keadilan a. Pengertian Keadilan. Semua kaidah hukum yang dilakukan mempunyai tujuan utama untuk mencapai keadilan. Akan tetapi, tidak jaminan sama sekali bahwa dengan penerapan kaidah hukum tersebut keadilan benar-benar akan tercapai. Hal ini disebabkan, pertama, kaidah hukum itu sendiri mempunyai sifat yang terbatas dan tidak luput dari kelemahannya karena kaidah hukum itu sendiri merupakan ciptaan manusia. Kedua, karena di sepanjang proses penegakan dan penerapan hukum banyak kemungkinan commit to user terjadinya distrosi.
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Namun, hukum yang bagus adalah hukum yang setidak-tidaknya dapat meminimalisir sekecil mungkin bahaya dari adanya ketidakadilan. Misalnya, ketentuan hukum pembuktian mengenai saksi yang tidak mendengar/melihat sendiri, tidak dapat didengar sebagai saksi. Ketentuan seperti itu tidak menjamin bahwa saksi yang mendengar sendiri akan menjadi bukti yang baik dan benar. Namun, jika tidak dilarang penggunaan saksi yang tidak mendengar sendiri, kemungkinan akan munculnya kesaksian yang salah adalah lebih besar. Menurut Henry Cambell Black yang dikutip dalam buku Munir Fuady, mengemukakan bahwa : “Kata “justice” dalam ilmu hukum diartikan sebagai pembagian yang konstan dan terus menerus untuk memberikan hak setiap orang (the constant and perpetual disposition to render every man his due) (Munir Fuady, 2010:90). Kata “justice” dalam beberapa hal berbeda dengan kata “equity” tetapi dalam banyak hal di antara ke duanya berarti sama, yaitu keadilan. Untuk kata “equity” tersebut dalam beberapa bahasa disebut sebagai berikut. 1) Aequitas, dalam bahasa Latin. 2) Equiter, dalam bahasa Prancis. 3) Equidad, dalam bahasa Spanyol. 4) Bliligkeitsrecht, dalam bahasa Jerman (Munir Fuady, 2010:90-91). Menurut Noah Webster yang dikutip dalam buku Munir Fuady, mengemukakan bahwa : Justice tersebut merupakan bagian dari sebuah nilai (value), karena itu bersifat abstrak sehingga memiliki banyak arti konotasi. Dalam hubungannya dengan konsep keadilan, kata justice antara lain diartikan sebagai berikut. commit to user 1) Kualitas untuk menjadi pantas (righteous); jujur (honesty).
31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Tidak memihak (impartiality); representasi yang layak (fair) atas fakta-fakta. 3) Kualitas untuk menjadi benar (correct, right). 4) Retribusi sebagai balas dendam (vindictive); hadiah (reward) atau hukuman (punishment) sesuai prestasi atau kesalahan. 5) Alasan yang logis (sound reason); kebenaran (rightfulness); validitas. 6) Penggunaan kekuasaan untuk mempertahankan apa yang benar (right), adil (just), atau sesuai hukum (lawful). Sedangkan kata just antara lain diartikan sebagai berikut. 1) Tulus (upright); jujur (honest); memiliki pinsip …. (rectitude); layak (righteous). 2) Adil (equitable); tidak memihak (impartial); pantas (fair). 3) Benar (correct, true). 4) Patut memperoleh (deserve); sesuai prestasi (merited). 5) Benar secara hukum (legally right); sesuai hukum (lawful); kebenaran (rightful). 6) Benar (right); patut (proper). Kemudian kata equity antara lain diartikan sebagai berikut. 1) Keadilan (justice), tidak memihak (impartial), memberikan setiap orang haknya (his due). 2) Segala sesuatu yang layak (fair) atau adil (equitable). 3) Prinsip umum tentang kelayakan (fairness) dan keadilan (justice) dalam hal hukum yang berlaku dalam keadaan tidak pantas (inadequate) (Munir Fuady, 2010:91). Persoalan keadilan dapat timbul dalam hubungan dan interaksi antara : 1) Individu dengan individu lainnya; commit to user
32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Individu dengan masyarakat/kelompok masyarakat; 3) Individu dengan otoritas kekuasaan/Negara; dan 4) Individu dengan alam semesta (Munir Fuady, 2010:91). Menurut Hans Kelsen dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Siwi Purwandari, mengemukanakan bahwa : “Hukum sebagai kategori moral serupa dengan keadilan, peryataan yang ditujukan pengelompokan sosial tersebut sepenuhnya benar, yang sepenuhnya mencapai tujuannya yang memuaskan semua. Rindu akan keadilan, yang dianggap secara psikologis, adalah kerinduaan abadi manusia akan kebahagiaan, yang tidak bisa ditemukan sebagai seorang individu dan karenanya mencari dalam masyarakat. Kebahagiaan sosial dinamakan ‘keadilan’ (Hans Kelsen, 2009 : 48)”. Ketidakadilan agraria bersifat struktural, yakni didasarkan pada produk hukum yang tidak adil, pelakunya adalah negara dan pelaksanaannya menggunakan mekanisme kekerasan. Hal ini sudah berlangsung lama dan mendatangkan korban di kalangan petani berupa meluasnya kemiskinan, keterbelakangan dan penderitaan fisik (ditangkap dan dipenjara bahkan meninggal) dan psikologis (merasa tidak bebas, tertekan, dan tiadanya harapan). Dengan demikian, perjuangan reforma agrarian
harus
dilakukan
dengan
pendekatan
struktural,
yakni
mendelegitimasi kewenangan mutlak negara, mendorong partisipasi petani dan mengajukan alternatif kebijakan agraria yang bersendikan keadilan, partisipatif dan demokratis. Pencapaian tujuan tersebut ditentukan oleh terkonsolidasinya gerakan petani sebagai kekuatan penyeimbang dan pengontrol kekuasaan negara. Penguatan organisasi petani amat diperlukan dalam mendorong terciptanya land reform by leverage sebagai suatu terobosan terhadap kebuntuan reforma agraria yang didasarkan pada inisiatif negara (land reform by grace) (Roman, 2002 : 10).
commit to user
33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Ukuran-ukuran tentang Keadilan. 1) Ukuran Hukum Alam atau Positivisme Ukuran hukum alam terhadap suatu keadilan akan berlawanan dengan ukuran keadilan dari paham positivisme. Paham keadilan yang berdasarkan kepada hukum alam ini mengajarkan bahwa suatu keadilan harus dilihat dari pandangan yang lebih tinggi (transcendent) dari pikiran manuasia, tetapi juga dengan masih memandang keadilan manusiawi berdasarkan atas akal sehat (reason). Sedangkan, keadilan menurut paham positivisme adalah menjalankan aturan yang berlaku secara baik dan benar. Hukum positif tidak berusaha dipisahkan dengan jelas dari keadilan, dan semakin baik usaha pembuat undang-undang agar hukum tersebut dianggap adil bagaimanapun juga, semakin banyak dukungan terhadap bias ideologis yang merupakan karakteristik hukum alam klasik, konservatif (Hans Kelsen, 2009 : 50-51). 2) Ukuran Absolut atau Relatif Ukuran lain bagi keadilan ialah apakah keadilan harus ditempatkan pada tataran yang absolute, yang berarti keadilan yang sama berlaku di mana saja dan kapan saja, sebagaimana yang diajarkan baik oleh kebanyakan penganut teori hukum alam maupun yang dianut olehh ajaran-ajaran Immanuel Kant, Kohler, atau Stammler. Atau sebaliknya, bahwa keadilan harus ditempatkan atas dasar yang relative yang berarti keadilan akan berbeda-beda sesuai perbedaan tempat atau waktu, sebagaimana yang diianut oleh keum Relativist, seperti Roscoe Pound, Gustav Radbrugh, Jhering, dan lain-lain
.
commit to user
34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3) Ukuran Umum atau Konkret Selanjutnya, menjadi pertanyaan juga apakah keadilan harus diartikan sebagai hal yang umum (universal) yang berlaku di mana saja dan kapan saja, sebagaimana yang dikemukakan oleh Immanuel Kant atau Stammler atau apakah keadilan adalah tertentu tergantung keunikan setiap kasus, sebagaimana yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, Roscoe Pound, dan lain-laiin. 4) Ukuran Metafisik atau Empiris Ukuran metafisik (a priori, pure) dari keadilan mengajarkan bahwa keadilan tertib bukan dari fakta di dalam masyarakat, tetapi terbit manakala dilaksanakan hak dan kewajiban yang berdasarkan kepada ratio manusia (pure idea) yang dikembangkan secara deduktif. Sedangkan keadilan yang berlawanan dengan ukuran keadilan yang matafisis ialah keadaan yang empiris, yang hanya berdasarkan pada fakta sosial dalam kenyataannya. 5) Ukuran internal atau Eksternal Ukuran eksternal adalah keadilan sebagai suatu cita yang tinggi (highest idea) dan dari mana keadilan berasal atau dibentuk, apapun keadilan dalam fakta-fakta sosial. Dalam hal ini, suatu keadilan dipahami dari sudut pandang hukum alam (natural law), utilitas, kepentingan, kehendak bebas (free will), dan sebagainya. Sedangkan, pendekatan keadilan secara internal akan menelaah keadilan dalam batas-batas ruang gerak dari keadilan itu sendiri. 6) Ukuran Pengetahuan dan Intuisi Dapat juga dipakai ukuran pengetahuan dan ukuran intuisi dalam menentukan adanya keadialan. Dengan ukuran pengetahuan, suatu keadilan diukur dari berbagai teori dalam ilmu pengetahuan, termasuk teori keadilan distributive, kumutatif, dan korektif dari Aristoteles.
commit to user
35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Akan tetapi, suatu keadilan dapat juga diukur dengan jalan menggunakan intuisi, berhubungan adanya “perasaan keadilan” (sense of justice) dan “perasaan keadilan” (sense of injustice) baik pada penerap hukum, pada pihak yang berperkara, atau pada masyarakat secara keseluruhan. Karena itu, ukuran keadilan secara intuitif umumnya bersifat non metodologis. Sedangkan, ukuran keadilan berdasarkan pengetahuan umumnya bersifat non intuitif (Munir Fuady, 2010:102-103). c. Macam-macam Keadilan. Salah satu cara pembagian keadilan oleh filsof Aristoteles adalah seperti yang terdapaat dalam bukunya Etika, dimana Aristoteles membagi keadilan ke dalam dua golongan sebagai berikut. 1) Keadilan distributif, yakni keadilan dalam hal pendistribusian kekayaan atau kepemilikan lainnya pada masing-masing anggota masyarakat. Dengan keadilan distributive ini, yang dimaksud oleh Aristoteles adalah keseimbangan antara apa yang didapati (he gets) oleh seseorang dengan apa yang patut didapatkan (he deserves). 2) Keadilan korelatif, yakni keadilan yang bertujuan untuk mengoreksi kejadian yang tidak adil. Dalam hal ini keadilan dalam hubungan antara
satu
orrang
dengan
orang
lainnya
yang
merupakan
keseimbangan (equality) antara apa yang diberikan (what is given) dengan apa yang diterimanya (what is received). Untuk keadilan korelatif menurut Aristoteles ini, sering juga disebut dengan istilah-istilah : 1) keadilan keseimbangan (equalizing); 2) keadilan pembentulan (rectificatoty); 3) keadilan bertukar prestasi dalam kontrak (synallagmatic); dan 4) keadilan bilateral. commit to user
36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sebagaimana diketahui bahwa di sepanjang sejarah pemikiran hukum, keadilan diartikan sebagai : 1) kebijakan natural (individual virtue); 2) sebagai moral, sebagaimana diajarkan oleh teori hukum alam; dan 3) sebagai suatu rezim terhadap kontrol sosial, seperti dalam istilah admisistrasi keadilan (administrstion of justice). Di samping itu, suatu keadilan dapat juga dibagi ke dalam : 1) keadilan natural (natural justice); dan 2) keadilan hukum (legal justice). Kemudian, keadilan juga dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu : 1) keadilan kumutatif; 2) keadilan distributif; dan 3) keadilan hukum (Munir Fuady, 2010:109-111). d. Teori Keadilan tentang Hukum. Dalam hal ini, unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk mencapai keadilan formal, berlaku juga bagi suatu keadilan hukum. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut. 1) Harus ada ketentuan yang mengatur bagaimana memberlakukan manusia dalam kasus-kasus tertentu yang dihadapinya. 2) Ketentuan hukum tersebut harus jelas sasaran pemberlakuannya. Dalam hal ini, mesti ada ketentuan yang menentukan apakah aturan hukum tersebut berlaku untuk orang dalam semua kategori, atau hanya berlaku untuk kategori orang tertentu saja. 3) Aturan hukum tersebut haruslah diterapkan secara tidak memihak dan tanpa diskriminasi kepada setiap orang yang memenuhi kualifikasi pengaturannya. commit to user
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Di samping itu, perlu dibedakan antara pengertian-pengertian keadilan hukum (legal justice, justice according to law), rule of law, legalitas, dan due process. Due process berarti bahwa suatu aturan hukum secara substantif maupun secara procedural mengandung unsur fairness. Sementara, dengan rule of law berarti adanya keadilan jika suatu perbuatan dilakukan sesuai hukum positif yang berlaku, tetapi hukum positif itu sendiri secara prosedural maupun substantif juga mengandung unsur-unsur due process. Selanjutnya, dengan pengertian legalitas berarti semata-mata mengikuti hukum positif yang berlaku secara sah, terlepas substansi hukum positif tersebut mengandung unsurunsur keadilan ataupun tidak. Kemudian, seperti telah disebutkan bahwa dengan keadilan hukum berarti keadilan yang telah dirumuskan dalam hukum dalam bentuk hak dan kewajiban, di mana pelanggaran terhadap keadilan ini akan ditegakkan lewat proses hukum, umumnya oleh pengadilan. Jadi, keadilan menurut hukum adalah keadilan yang dilaksanakan mengikuti aturan hukum yang berlaku dan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku pula. Keadilan menurut hukum dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: 1) Keadilan di pengadilan (judicial justice); 2) Keadilan di parlemen (legislative justice); 3) Keadialn administratif (administrative justice).
B. Kerangka Pemikiran Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian adalah suatu bentuk perjanjian yang dilakukan oleh pemilik tanah pertanian dengan penggarap tanah pertanian. Perjanjian ini terjadi karena pemilik tanah pertanian tidak bisa mengelola tanah pertaniannya karena suatu hal tertentu, tetapi ia tetap ingin mendapatkan hasilcommit dari totanah user pertanian tersebut. Maka, ia
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengadakan perjanjian dengan seseorang sebagai penggarap tanah yang akan mengelola dan menggarap tanah pertanian miliknya. Kedua belah pihak atau subyek dari perjanjian bagi hasil ini yaitu, pemilik tanah dan penggarap tanah disini memiliki hak dan kewajiban masing–masing dalam hal keseimbangan mengenai pengelolaan tanah pertanian tersebut yang menjadi obyek dari perjanjian bagi hasil ini. Di Indonesia perjanjian bagi hasil ini diatur dalam Undang – undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian dengan peraturan–peraturan pelaksanaannya. Namun, realita yang terjadi di masyarakat luas, masih sering kita jumpai pengelolaan tanah pertanian ini yang dilakukan menurut Adat/Kebiasaan masyarakat setempat. Sehingga para pihak yang melaksanakan perjanjian ini menentukan sendiri mengenai mekanisme pelaksanaan yang terkait dengan pengelolaan tanah pertanian yang akan dijadikan obyek perjanjian tersebut. Di Indonesia sekarang ini, masih banyak ditemukan ketidakadilan dalam mekanisme pelaksanaan mengenai perjanjian bagi hasil tanah pertanian ini. Baik pada pemilik tanah maupun pihak penggarap tanah tersebut. Yang masih perlu dipelajari agar dapat ditemukan jalan agar tercapainya aspek keadilan dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. Penulis ingin melakukan penelitian mengenai aspek keadilan dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo mengenai keseimbangan antara hak dan kewajiban pemilik tanah dan penggarap di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. Apakah perjanjian bagi hasil tanah pertanian disana telah sesuai dengan peraturan perundang–undangan yang ada dan apakah perjanjian bagi hasil disana sudah memenuhi unsur keadilan. Jika unsur–unsur keadilan belum terpenuhi, maka mekanisme perjanjian bagi hasil tanah pertanian ini perlu dilakukan pembenahan commit to user ataupun perbaikan.
39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KERANGKA PEMIKIRAN
Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Pemilik Tanah Pertanian
Undang – undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian
Penggarap Tanah Pertanian Hak dan Kewajiban Aspek Keadilan
Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo
Gambar : Kerangka Pemikiran
commit to user
40
Kebiasaan Masyarakat Setempat (Hukum Adat)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian Berdasarkan Letak Geogafis dan Pembagian Wilayah di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. Sebelum diuraikan mengenai pelaksanaan bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, ada baiknya lebih dahulu penulis kemukakan mengenai keadaan wilayah di Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo yang diambil sebagai sampel dalam penelitian ini. Gambaran Umum Wilayah Penelitian. Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Adalah salah satu desa di Kecamatan Jenangan dari 15 (lima belas) Desa di Kecamatan Jenangan. Desa Sedah dibagi menjadi 4 (empat) Dusun/ Dukuh, yaitu : a. Dukuh Sidorejo. b. Dukuh Krajan. c. Dukuh Gundi. d. Dukuh Jasem. Secara administratif Desa Sedah berbatasan dengan : 1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kotamadya Madiun. 2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pintu . 3) Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Semanding. 4) Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Ngrupit. Desa Sedah memiliki sifat iklim tropis dengan musim hujan dan musim kemarau siliih berganti sepanjang tahun, letak ketinggian diukur dari permukaan air laut adalah rata-rata 120 Meter dengan curah hujan 1,930 m/ tahun dan berhari hujan sebanyak 104/ tahun. commit to user
41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 1. Luas wilayah Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo. NO.
Luas Wilayah
DUKUH/ DUSUN
( KM )²
Persen (%)
1.
Dukuh Sidorejo
46, 23
25,37
2.
Dukuh Krajan
42, 67
23,41
3.
Dukuh Gundi
45, 56
25
4.
Dukuh Jasem
47, 78
26,22
182, 240
100,00
JUMLAH
Sumber dari Kantor Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo.
Tabel 2. Jumlah Penduduk di Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo. Jenis Kelamin No.
Dusun/ Dukuh
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah Penduduk
1.
Sidorejo
237
236
473
2.
Krajan
236
231
467
3.
Gundi
235
230
465
4.
Jasem
232
229
461
940
926
1.866
Total Jumlah Penduduk
Sumber dari Kantor Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo.
1. Monografi Dukuh Sidorejo. a. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Secara administratif berbatasan dengan : commit to user
42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kotamadya Madiun. 2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Dukuh Krajan. 3) Sebelah Timur berbatasan dengan Dukuh Gundi. 4) Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Ngrupit. b. Jumlah Penduduk. Jumlah penduduk periode Maret 2011 di wilayah Dukuh/ Dusun Sidorejo Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo adalah 473 orang dengan perincian : § Laki – laki : 237 orang. § Perempuan : 236 orang. Sedangkan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 83 Kepala Keluarga.
c. Mata Pencaharian Penduduk. § Petani pemilik tanah 130 orang. § Buruh tani 155 orang. § Pedagang 40 orang. § Pegawai Negeri Sipil/ TNI/ POLRI 18 orang. § Pensiunan (PNS/ TNI/ POLRI) 13 orang. § Lain – lain 32 orang. § Ternak besar Sapi 16 ekor. Kerbau 0 ekor. § Ternak kecil Kambing 37 ekor. Domba 26 ekor. Ayam Kampung 1.500 ekor. Ayam Ras 3.000 ekor. Ayam Potong/ Pedaging 1200 ekor. Itik 0 ekor. Angsa 0 ekor. commit to user
43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. Pendidikan Penduduk. §
Belum sekolah 16 orang.
§
Tidak tamat SD 6 orang.
§
Belum tamat SD 27 orang.
§
Tamat SD/ Sederajat 18 orang.
§
Tamat SLPT/ Sederajat 110 orang.
§
Tamat SLTA/ Sederajat 216 orang.
§
Tamat Akademik/ Perguruan Tinggi 80 orang.
e. Penggunaan Tanah. 1) Tanah sawah luas seluruhnya adalah yang terdiri dari : § Irigasi tehnis 48 ha. § Irigasi setengah tehnis 10 ha. § Irigasi sederhana 0 ha. § Tadah hujan/ sawah rendengan 0 ha. § Lain – lain 0 ha. Jumlah seluruhnya 58 ha. 2) Tanah kering luas seluruhnya adalah 21, 25 ha terdiri dari : § Pekarangan/ bangunan 20 ha. § Tegal/ kebun 1 ha. § Padang/ gambalaan 0 ha. § Tambak/ kolam 0, 25 ha. § Rawa – rawa 0 ha. § Sementara tidak diusahakan 0 ha.
2. Monografi Dukuh Gundi. a. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Secara administratif berbatasan dengan : 1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kotamadya Madiun. 2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Dukuh Krajan. commit to user 3) Sebelah Timur berbatasan dengan Dukuh Jasem.
44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Sebelah Barat berbatasan dengan Dukuh Sidorejo. b. Jumlah Penduduk. Jumlah penduduk periode Maret 2011 di wilayah Dukuh/ Dukuh Gundi Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo adalah 465 orang dengan perincian : § Laki – laki : 235 orang. § Perempuan : 230 orang. Sedangkan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 87 Kepala Keluarga.
c. Mata Pencaharian Penduduk. § Petani pemilik tanah 118 orang. § Buruh tani 132 orang. § Pedagang 34 orang. § Pegawai Negeri Sipil/ TNI/ POLRI 53 orang. § Pensiunan (PNS/ TNI/ POLRI) 12 orang. § Lain – lain 42 orang. § Ternak besar Sapi 20 ekor. Kerbau 7 ekor. § Ternak kecil Kambing 25 ekor. Domba 12 ekor. Ayam Kampung 1.300 ekor. Ayam Ras 0 ekor. Ayam Potong/ Pedaging 0 ekor. Itik 30 ekor. Angsa 0 ekor.
d. Pendidikan Penduduk. §
Belum sekolah commit 20 orang. to user
45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
§
Tidak tamat SD 9 orang.
§
Belum tamat SD 32 orang.
§
Tamat SD/ Sederajat 16 orang.
§
Tamat SLPT/ Sederajat 107 orang.
§
Tamat SLTA/ Sederajat 170 orang.
§
Tamat Akademik/ Perguruan Tinggi 60 orang.
e. Penggunaan Tanah. 1) Tanah sawah luas seluruhnya adalah yang terdiri dari : § Irigasi tehnis 40 ha. § Irigasi setengah tehnis 10 ha. § Irigasi sederhana 5 ha. § Tadah hujan/ sawah rendengan 2 ha. § Lain – lain 0 ha. Jumlah seluruhnya 57 ha. 2) Tanah kering luas seluruhnya adalah 21, 50 ha terdiri dari : § Pekarangan/ bangunan 21 ha. § Tegal/ kebun 0, 25 ha. § Padang/ gambalaan 0 ha. § Tambak/ kolam 0, 25 ha. § Rawa – rawa 0 ha. § Sementara tidak diusahakan 0 ha.
3. Monografi Dukuh Krajan. a. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Secara administratif berbatasan dengan : 1) Sebelah Utara berbatasan dengan Dukuh Sidorejo. 2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pintu. 3) Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Panjeng. 4) Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Ngrupit. commit to user
46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Jumlah Penduduk. Jumlah penduduk periode Maret 2011 di wilayah Dukuh/ Dusun Krajan Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo adalah 467 orang dengan perincian : § Laki – laki : 236 orang. § Perempuan : 231 orang. Sedangkan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 89 Kepala Keluarga.
c. Mata Pencaharian Penduduk. § Petani pemilik tanah 116 orang. § Buruh tani 127 orang. § Pedagang 35 orang. § Pegawai Negeri Sipil/ TNI/ POLRI 14 orang. § Pensiunan (PNS/ TNI/ POLRI) 8 orang. § Lain – lain 40 orang. § Ternak besar Sapi 20 ekor. Kerbau 0 ekor. § Ternak kecil Kambing 35 ekor. Domba 25 ekor. Ayam Kampung 1.400 ekor. Ayam Ras 0 ekor. Ayam Potong/ Pedaging 1. 500 ekor. Itik 40 ekor. Angsa 0 ekor.
d. Pendidikan Penduduk. §
Belum sekolah 25 orang.
§
Tidak tamat SD 12 orang. commit to user Belum tamat SD 28 orang.
§
47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
§
Tamat SD/ Sederajat 18 orang.
§
Tamat SLPT/ Sederajat 96 orang.
§
Tamat SLTA/ Sederajat 166 orang.
§
Tamat Akademik/ Perguruan Tinggi 50 orang.
e. Penggunaan Tanah. 1) Tanah sawah luas seluruhnya adalah yang terdiri dari : § Irigasi tehnis 50 ha. § Irigasi setengah tehnis 12 ha. § Irigasi sederhana 0 ha. § Tadah hujan/ sawah rendengan 0 ha. § Lain – lain 0 ha. Jumlah seluruhnya 62 ha. 2) Tanah kering luas seluruhnya adalah 19, 50 ha terdiri dari : § Pekarangan/ bangunan 19 ha. § Tegal/ kebun 0, 25 ha. § Padang/ gambalaan 0 ha. § Tambak/ kolam 0, 25 ha. § Rawa – rawa 0 ha. § Sementara tidak diusahakan 0 ha.
4. Monografi Dukuh Jasem. a. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Secara administratif berbatasan dengan : 1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kotamadya Madiun. 2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Panjeng. 3) Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sraten. 4) Sebelah Barat berbatasan dengan Dukuh Gundi. b. Jumlah Penduduk. commit to user
48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jumlah penduduk periode Maret 2011 di wilayah Dukuh/ Dusun Jasem Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo adalah 461 orang dengan perincian : § Laki – laki : 232 orang. § Perempuan : 229 orang. Sedangkan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 82 Kepala Keluarga.
c. Mata Pencaharian Penduduk. § Petani pemilik tanah 120 orang. § Buruh tani 130 orang. § Pedagang 30 orang. § Pegawai Negeri Sipil/ TNI/ POLRI 16 orang. § Pensiunan (PNS/ TNI/ POLRI) 9 orang. § Lain – lain 30 orang. § Ternak besar Sapi 20 ekor. Kerbau 0 ekor. § Ternak kecil Kambing 30 ekor. Domba 23 ekor. Ayam Kampung 1. 200 ekor. Ayam Ras 0 ekor. Ayam Potong/ Pedaging 3.000 ekor. Itik 45 ekor. Angsa 0 ekor.
d. Pendidikan Penduduk. §
Belum sekolah 30 orang.
§
Tidak tamat SD 13 orang.
§
Belum tamat SD 25 orang. commit16toorang. user Tamat SD/ Sederajat
§
49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
§
Tamat SLPT/ Sederajat 93 orang.
§
Tamat SLTA/ Sederajat 160 orang.
§
Tamat Akademik/ Perguruan Tinggi 45 orang.
e. Penggunaan Tanah. 1) Tanah sawah luas seluruhnya adalah yang terdiri dari : § Irigasi tehnis 35 ha. § Irigasi setengah tehnis 0 ha. § Irigasi sederhana 5 ha. § Tadah hujan/ sawah rendengan 5 ha. § Lain – lain 0 ha. Jumlah seluruhnya 45 ha. 2) Tanah kering luas seluruhnya adalah 18, 25 ha terdiri dari : § Pekarangan/ bangunan 18 ha. § Tegal/ kebun 0, 25 ha. § Padang/ gambalaan 0 ha. § Tambak/ kolam 0 ha. § Rawa – rawa 0 ha. § Sementara tidak diusahakan 0 ha.
B. Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. Bagi hasil merupakan suatu lembaga Hukum Adat yang hidup dalam masyarakat. Hingga saat ini lembaga tersebut di Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo yang masih ada dan sangat dibutuhkan, karena sektor pertanian masih mempunyai arti penting dalam menunjang perekonomian masyarakat tersebut. Karena penduduknya lebih banyak terkonsentrasi di bidang pertanian, tidaklah mengherankan bila banyak dilakukan transaksi-transaksi untuk mengolah lahan pertanian dengan cara bagi hasil. Perjanjian (transaksi) bagi hasil di Desa Sedah commit to user
50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lebih dikenal dengan istilah “maro” ( separuh ) dan “mertelu” ( dibagi tiga ). Perjanjian paron dan mertelu di Desa Sedah dapat diketemukan beberapa unsur yaitu : 1. adanya kesepakatan para pihak; 2. izin menggarap dari pemilik tanah; 3. atas dasar kepercayaan; 4. perjanjian yang sebagian besar tidak tertulis atau lisan; 5. pembagian hasil menurut kebiasaan/ kesepakatan. Bagi hasil kadang-kadang berfungsi sebagai lembaga pemeliharaan sanak keluarga. Dalam perjanjian bagi hasil tersebut hubungan sanak keluarga tetap diprioritaskan untuk menggarap tanah, jika tidak ada lagi sanak keluarga yang bersedia menggarap tanah tersebut, penawaran baru diberikan kepada orang lain yaitu tetangga dekat atau orang pendatang yang tidak ada hubungan kekerabatan. Hasil penelitian penulis, dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah yang mengambil sample area di 4 ( empat ) Dusun yang ada di Desa Sedah, yaitu : 1. Dusun Sidorejo, 2. Dusun Gundi, 3. Dusun Krajan, dan 4. Dusun Jasem. Dengan mengambil sampling random acak dari 80 (delapan puluh) responden dengan pembagian 40 (empat puluh) responden pemilik tanah dan 40 (empat puluh) responden penggarap tanah. Yang akan di uraikan lebih lanjut oleh penulis dalam bentuk table berikut. a. Latar Belakang/ Alasan Perjanjian Bagi Hasil. Tabel 3. Alasan pemilik tanah pertanian mengadakan perjanjian (transaksi ) bagi hasil di Desa Sedah. commit to user
51
perpustakaan.uns.ac.id
NO.
digilib.uns.ac.id
Alasan bagi hasil
f
(%)
1.
Ada pekerjaan lain
8
20
2.
Sudah tua
25
62.5
3.
Rasa sosial/ balas jasa
7
17.5
JUMLAH
40
100,0
Sumber : Data Primer Latar belakang/ alasan pemilik tanah melakukan transaksi bagi hasil di Desa Sedah dari Data Primer table 3 di atas yaitu dengan alasan sebagai berikut, dengan 8 ( delapan ) responden yang menyatakan ada pekerjaan lain yang seperti Pegawai Negeri Sipil, Pedagang, Swasta, dll. (20%), 25 ( dua puluh lima ) responden yang menyatakan karena faktor usia yang sudah tua sehingga tidak bisa menggarap sendiri tanah pertaniannya (62,5%), dan 7 ( tujuh ) responden yang menyatakan karena ada rasa sosial/ balas jasa (17,5%), berkaitan dengan hutang atau kurang mampu mengolah tanah tersebut. Sedangkan
alasan penggarap mengadakan
perjanjian
( transaksi ) bagi hasil tanah pertanian adalah : Tabel 4. Alasan penggarap tanah pertanian mengadakan perjanjian ( transaksi ) bagi hasil. NO.
Alasan bagi hasil
f
(%)
15
37.5
5
12.5
Adanya tambahan pendapatan
20
50
JUMLAH
40
100,0
1.
Ada pekerjaan tambahan
2.
Penggarap
tidak
memiliki
tanah
pertanian 3.
Sumber : Data Primer Hasil penelitian dari data primer tabel 4 di atas yang commit to user menyatakan alasan penggarap tanah pertanian mengedakan perjanjian
52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(transaksi) bagi hasil tanah pertanian dapat diuraikan sebagai berikut, 15 ( lima belas ) responden yang menyatakan karena adanya pekerjaan tambahan untuk penggarap (37,5%), 5 ( lima ) responden yang menyatakan Penggarap tidak memiliki tanah pertanian sehingga penggarap bisa mengerjakan tanah dengan sistem bagi hasil yang menguntungkan (12,5%), dan 20 ( dua puluh ) responden yang menyatakan adanya tambahan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (50%). Walaupun pada tabel 3 dan tabel 4 telah ditemukan ketidak sesuaian antara realita pelaksanaan perjanjian bagi hasil di Desa Sedah dengan apa yang ditentukan di Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dimana dalam penjelasan pasalnya menyatakan, maksud diadaknnya pembatasan ini ialah agar tanahtanah garapan hanya digarap oleh orang-orang tani saja (termasuk buruh tani), yang akan mengusahakannya sendiri, juga agar sebanyak mungkin calon penggarap dapat memperoleh tanah garapan. Dengan adanya pembatasan ini maka dapatlah dicegah, bahwa seseorang atau badan hukum yang ekonominya kuat akan bertindak pula sebagai penggarap dan mengumpulkan tanah garapan yang luas dan dengan demikian akan mempersempit kemungkinan bagi para petani kecil calon penggarap untuk memperoleh tanah garapan. Namun, kenyataan/ realita yang ada di Desa Sedah ini mungkin disebabkan dengan berbagai faktor dan penyebab antara lain, faktor perkembangan teknologi dan globalisasi yang beakibat pada gaya hidup dan tuntutan ekonomi yang semakin meningkat, sehingga pemilik tanah pertanian harus mencari pekerjaan lain dan tidak hanya mengadalkan pada hasil panen dari lahan pertanian.
commit to user
53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Luas tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah pertanian. Tabel 5. Luas tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah. NO.
Luas tanah (hektar)
f
%
1.
0 –1
17
42.5
2.
1,1 – 2
15
37.5
3.
2,1 – 3
8
20
4.
>3
-
0
40
100,0
JUMLAH Sumber : Data Primer
Hasil penelitian dari Data Primer table 5 di atas, menerangkan mengenai luas tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah pertanian yang dibagi menjadi, 17 ( tujuh belas ) responden 0 - 1 ha (42,5%), 15 ( lima belas ) responden 1,1 – 2 ha (37,5%) dan, 8 ( delapan ) responden 2,1 – 3 ha (20%). Menurut sumber data sekunder Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 disebutkan mengenai Luas tanah Bagi Hasil, yaitu : (1) Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam ayat 2 dan 3 pasal ini, maka yang diperbolehkan menjadi penggarap dalam perjanjian bagi-hasil hanyalah orang-orang tani, yang tanah garapannya, baik kepunyaannya sendiri maupun yang diperolehnya secara, menyewa, dengan perjanjian bagi-hasil ataupun secara lainnya, tidak akan lebih dari sekitar 3 (tiga) hektar. (2) Orang-orang tani yang dengan mengadakan perjanjian bagi-hasil tanah garapannya akan melebihi 3 (tiga) hektar, diperkenankan menjadi penggarap, jika mendapat izin dari Menteri Muda Agraria atau penjabat yang ditunjuk olehnya. commit to user
54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(3) Badan-badan
hukum
dilarang
menjadi
penggarap
dalam
perjanjian bagi-hasil, kecuali dengan izin dari Menteri Muda Agraria atau penjabat yang ditunjuk olehnya. Menurut analisis data primer dan data sekunder di atas bahwa, sudah sesuainya pelaksanaan perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Tabel 6. Menanggung Pembayaran Pajak Tanah. No.
Pihak yang Menanggung
1.
Pemilik Tanah
2.
Penggarap Tanah JUMLAH
f
%
40
100
-
0
40
100,00
Sumber : Data Primer Hasil dari data primer tabel 6 di atas, pihak yang menanggung pembayaran pajak tanah pada 40 ( empat puluh ) responden mencapai (100%) yang mengemukakan bahwa pembayaran pajak tanah pertanian semua di tanggung oleh pemilik tanah tersebut. Menurut data sekunder Pasal 9 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Bagi Hasil, disebutkan mengenai kewajiban pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut : “Kewajiban membayar pajak mengenai tanah yang bersangkutan dilarang untuk dibebankan kepada penggarap, kecuali kalau penggarap itu adalah pemilik tanah yang sebenarnya”. Sehingga, dapat ditelaah sudah ada kesesuaian antara realita mengenai perjanjian bagi hasil yang ada di Desa Sedah ini dengan perturan perundang-undangan yang ada.
b. Subjek Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Sedah. 1) Pihak-pihak Dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian. Subjek perjanjian bagi hasil secara umum adalah pemilik commit to user tanah dan penggarap, namun sesuai dengan hukum yang berlaku
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sekarang bahwa yang berwenang mengadakan perjanjian bagi hasil tidak saja terbatas pada pemilik dalam arti yang mempunyai tanah, tapi juga para pemegang gadai, penyewa dan lain-lain berdasarkan sesuatu hak menguasai tanah yang bersangkutan. Sedangkan pihak penggarap dapat berbentuk perorangan atau badan hukum. Dengan demikian dapat saja terjadi bahwa pihakpihak perorangan maupun berbentuk badan hukum dan pihak penggarap baik perorangan atau badan hukum, dan dapat saja terjadi
dalam
transaksi
tersebut
pihak
pemilik
sekaligus
penggarap. Hal ini sudah sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil pada Pasal 1 Huruf b, dimana berisi : “Sesuai dengan hukumnya yang berlaku sekarang, yang berwenang untuk mengadakan perjanjian bagi hasil itu tidak saja berbatas pada para pemilik dalam arti yang mempunyai tanah, tetapi juga para pemegang gadai penyewa dan lain-lain orang yang berdasarkan sesuatu
hak
menguasai
tanah
yang bersangkutan.
Untuk
mempersingkat pemakaian kata-kata maka mereka itu semua dalam Undang-undang ini disebut pemilik. Pemilik itu bisa juga merupakan badan hukum, seperti lebih jauh dijelaskan dalam penjelasan Pasal 2 “. Tabel 7. Pengetahuan Responden terhadap Undang-Undang bagi hasil. NO.
Pengetahuan UU Bagi Hasil
f
%
1.
Tahu
25
31.25
2.
Tidak Tahu
55
68.75
80
100
JUMLAH Sumber : Data Primer commit to user
56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pengetahuan responden terhadap Undang-Undang Bagi Hasil Nomor 2 Tahun 1960 dapat dilihat pada Data Primer tabel 7 di atas. Perjanjian bagi hasil pada masyarakat Desa Sedah, umumnya berdasarkan adat setempat, tidak berdasarkan undangundang bagi hasil. Walaupun ada juga responden yang mengetahui Undang-Undang tersebut ada 25 ( dua puluh lima ) responden (31,25%), dan 55 responden yang menyatakan ketidaktahuan dengan adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tersebut (68,75%). Jadi, kenyataannya yang ada di Desa Sedah perjanjian bagi hasil ini dibuat berdasarkan hukum adat/ kebiasaan setempat. Karena, masih banyaknya masyarakat yang tidak mengetahui adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 ini juga sangat mempengaruhi hal tersebut tumbuh dan berkembang dengan kebiasaan yang dirasa lebih fleksibel oleh masyarakat dalam menentukan bagaimana mekanisme mengenai perjanjian bagi hasil tanah pertanian ini. 2) Kata Sepakat. Bagi masyarakat adat yang penting dalam pelaksanaan perjanjian bukan unsur subjektif atau unsur objektif tetapi terlaksana
dan
terjadinya
perjanjian
itu
didasarkan
pada
kesepakatan (mufakat) yang biasa dikenal dengan istilah konsensualisme. Tabel 8. Kata sepakat dalam perjanjian bagi hasil. NO.
Kesepakatan
1.
Ada
2.
Tidak Ada JUMLAH
f
%
80
100
-
-
80
100
Sumber : Data Primer Dari Data Primer tabel 8 di atas, dari 80 ( delapan puluh ) responden
commit to user (100%) menyatakan
57
bahwa,
pihak-pihak
yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengadakan transaksi bagi hasil berdasarkan kata sepakat. Dengan tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokokpokok perjanjian berarti perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus. Jadi, kata sepakat dalam perjanjian bagi hasil di Desa Sedah ini yang menjadi landasan lahirnya dan diadakannya perjanjian bagi hasil tanah pertanian. 3) Kecakapan Hukum Berdasarkan Usia. Sedangkan untuk mengetahui usia responden sehubungan dengan kedewasaan seseorang dalam perjanjian bagi hasil dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 9. Golongan Umur Responden dalam Perjanjian bagi hasil. NO.
Umur
f
%
1.
21 – 30
20
25
2.
31 – 40
25
31.25
3.
> 40
35
37.50
80
100
JUMLAH Sumber : Data Primer
Dilihat pada Data Primer tabel 9 di atas, responden yang berumur sampai dengan 21 - 30 tahun ada 20 ( dua puluh ) responden (25%), umur 31 – 40 tahun ada 25 ( dua puluh luma ) responden (31, 25%), dan umur diatas 40 tahun ada 35 ( tiga puluh lima ) responden (37,50%), dan secara hukum dilihat dari usia responden ini dapat dikatakan bahwa para responden telah cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Jadi, jika terjadi wanprestasi maka kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian sudah bisa mempertanggungjawabkan atau dimintai pertanggungjawaban hukum terhadap pelaksanaan perjanjian bagi hasil di Desa Sedah ini. commit to user
58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Syarat Sahnya Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Untuk
sahnya
suatu
perjanjian
haruslah
memenuhi
beberapa syarat-syarat perjanjian bagi hasil menurut hukum Adat di Desa Sedah seperti yang telah disinggung sebelumnya yaitu bahwa dalam perjanjian tersebut harus ada kesepakatan antara pihak-pihak yaitu pihak yang menguasai tanah (pemilik) dan pihak penggarap, kecakapan para pihak, harus ada izin untuk mengolah atau menggarap tanah tersebut dari penguasa atau pemilik tanah tersebut tidak dalam sengketa dan pemberian hasil panen oleh penggarap kepada pemilik tanah yang besar imbangan menurut kebiasaan setempat misalnya bagi dua atau tiga atau berdasarkan kesepakatan sebelumnya. c. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil Bentuk perjanjian bagi hasil yang terjadi di Desa Sedah dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 10. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil antara pemilik tanah dan penggarap tanah. NO.
Bentuk Perjanjian
f
%
1.
Tidak tertulis/ lisan antara
40
100
-
0
40
100
kedua belah pihak 2.
Tertulis JUMLAH
Sumber : Data Primer Hasil analisis dari Data Primer table 10 di atas menyatakan bahwa, perjanjian yang tidak tertulis atau lisan antara kedua belah pihak mencapai (100%) dari 40 ( empat puluh ) responden antara pemilik tanah dan penggarap tanah, dengan alasan-alasan yang mendasarinya sebagai berikut : commit to user
59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
o adanya rasa saling percaya o mudah pelaksanaannya atau tidak berbelit-belit o tidak mengetahui adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Menurut data sekunder dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil dalam Pasal 3 disebutkan mengenai Bentuk Perjanjian Bagi Hasil, yaitu : (1) Semua perjanjian bagi-hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis dihadapkan Kepala dari Desa atau daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah yang
bersangkutan-selanjutnya
dalam
undang-undang
ini
disebut “Kepala Desa” dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap. (2) Perjanjian bagi-hasil termaksud dalam ayat (1) di atas memerlukan pengesahan dari Camat/ Kepala Kecamatan yang bersangkutan atau penjabat lain yang setingkat dengan itu selanjutnya dalam undang-undang ini disebut “Camat”. (3) Pada tiap kerapatan desa Kepala Desa mengumumkan semua perjanjian bagi-hasil yang diadakan sesudah kerapatan yang terakhir. (4) Menteri Muda Agraria menetapkan peraturan-peraturan yang diperlukan untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) dan (2) diatas. Sedangkan, berdasarkn data primer dan data sekunder di atas dapat diketahui bahwa ditemukan ketidak sesuaian antara realita perjanjian bagi hasil yang ada di Desa Sedah dan ketentuan yang ada di Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960. Dimana, menurut realita atau hasil analisis data primer yang ada ditemukan bahwa 100% hasil responden menyatakan bahwa perjanjian bagi hasil di Desa commit to user Sedah adalah perjanjian yang tidak tertulis atau lisan antara kedua
60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
belah pihak yang berdasar pada kepercayaan, sedangkan berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1960 semua perjanjian bagi-hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis dihadapkan Kepala dari Desa atau daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah yang bersangkutan-selanjutnya dalam
Undang-Undang
ini
disebut
“Kepala
Desa”
dengan
dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap.
d. Lamanya Waktu Perjanjian Tabel 11. Lama Perjanjian Bagi Hasil antara pemilik tanah dan penggarap tanah. NO.
Lama Perjanjian
f
%
1.
Ditentukan
30
75
2.
Tidak ditentukan
10
25
40
100
JUMLAH Sumber : Data Primer
Berdasarkan Data Primer tabel 11 di atas, dalam perjanjian bagi hasil ada 30 ( tiga puluh ) responden (75%) perjanjian tersebut ditentukan dan perjanjian yang tidak ditentukan ada 10 ( sepuluh ) responden (25%). Perjanjian yang tidak ditentukan ini terjadi berdasarkan musim panen, selama ada izin dari pemilik tanah dan selama penggarap mau menggarap tanah tersebut. Mengenai jangka waktu perjanjian bagi hasil di Desa Sedah baik yang ditentukan maupun yang tidak ditentukan dapat dilihat pada tabel berikut ini :
commit to user
61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 12. Jangka Waktu Perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah dan penggarap tanah. NO. 1.
2.
Jangka waktu
f
%
a. 1 – 2 tahun
10
25
b. 2,1 – 3 tahun
15
37.5
c. 3,1 – 4 tahun
-
-
d. 4,1 – 5 tahun
5
12.5
e. > 5 tahun
3
7.5
a. 1 – 2 tahun
-
-
b. 2,1 – 3 tahun
5
12.5
c. 3,1 – 4 tahun
-
-
d. 4,1 – 5 tahun
-
-
e. > 5 tahun
2
5
40
100
Ditentukan
Tidak
ditentukan
telah
berlangsung ;
JUMLAH Sumber : Data Primer
Dari Data Primer tabel 12 di atas, diambil suatu pengertian bahwa dalam rentang waktu yang ditentukan antara 1 – 2 tahun pada perjanjian bagi hasil ini ada 10 (sepuluh ) responden (25%), dalam rentang waktu yang ditentukan antara 2,1 – 3 tahun pada perjanjian bagi hasil ini ada 15 ( lima belas ) responden ( 37,5% ), untuk rentan waktu yang ditentukan lebih dari 4,1 - 5 tahun ada 5 ( lima ) responden ( 12,5% ). Sedangkan waktu yang ditentukan lebih dari 5 tahun ada 3 ( tiga ) responden ( 7,5% ). Sedangkan, rentang waktu yang tidak ditentukan dan telah berlangsung antara waktu 2,1 – 3 tahun ada 5 ( lima ) responden commit to user (12,5%), dan lebih dari 5 tahun ada 2 ( dua ) responden (5%). Tidak
62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ditentukan dan sudah berlangsung di sini maksudnya adalah perjanjian ini berlangsung begitu saja tanpa ada ketentuan berapa lama penggarap akan mengerjakan tanah pertanian milik pemilik tanah tersebut dan perjanjian tersebutpun sudah berjalan begitu saja sampai saat ini. Menurut data sekunder dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), disebutkan mengenai jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil, yaitu : (1)Perjanjian bagi-hasil diadakan untuk waktu yang dinyatakan didalam surat perjanjian tersebut pada pasal 3, dengan ketentuan, bahwa bagi sawah waktu itu adalah sekurangkurangnya 3 (tiga) tahun dan bagi tanah-kering sekurangkurangnya 5 (lima) tahun. (2)Dalam hal-hal yang khusus, yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Muda Agraria, oleh Camat dapat diizinkan diadakannya perjanjian bagi-hasil dengan jangka waktu yang kurang dari apa yang ditetapkan dalam ayat 1 diatas, bagi tanah yang biasanya diusahakan sendiri oleh yang mempunyainya. Berdasarkan analisis data primer dan data sekunder di atas ditemukan ketidak sesuaian antara realita perjanjian bagi hasil di Desa Sedah dengan ketentuan yang ada di Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 dimana dalam hasil penelitian di lapangan lama/ jangka waktu perjanjian bagi hasil di Desa Sedah terdapat dua pilihan yaitu, perjanjian yang ditentukan jangka waktunya secara lisan dan perjanjian yang tidak ditentukan jangka waktunya dan berjalan begitu saja saat perjanjian antara penggarap dan pemilik tanah itu berlangsung sampai saat ini. Sedangkan dalam Pasal 4 UndangUndang Nomor 2 Tahun 1960 ini sudah ditentukan jangka waktu perjanjian bagi hasil ini. e. Berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil. Berakhirnya perjanjian bagi hasil di Desa Sedah anatara commit to user pemilik tanah dan penggarap tanah dapat terjadi karena telah
63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berakhirnya jangka waktu dan dapat juga terjadi sebelum berakhirnya jangka waktu, seperti pada tabel berikut ini : Tabel 13. Berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil di Desa Sedah. NO.
Berakhirnya Perjanjian
f
%
1.
Karena telah berakhir jangka
25
62.5
10
25
b. dari pemilik tanah;
3
7.5
c. dari penggarap.
2
5
40
100
waktu 2.
Sebelum waktunya a. atas
persetujuan
kedua
belah pihak;
JUMLAH Sumber : Data Primer
Sumber data primer dari tabel 13 di atas, ada 25 ( dua puluh lima ) responden menyatakan alasan berakhirnya perjanjian bagi hasil karena telah berakhir jangka waktu (62,5%), sebelum waktunya dibagi menjadi 3 alasan, pada 10 ( sepuluh ) responden menyatakan alasannya atas persetujuan kedua belah pihak (25%), 3 ( tiga ) responden menyatakan alasannya karena berasal dari pemilik tanah (7,5%), dan 2 ( dua ) responden menyatakan alasannya karena berasal dari penggarap (5%). Menurut sumber data primer Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tahun 1960, disebutkan tentang berakhirnya perjanjian bagi hasil, yaitu : “Pada berakhirnya perjanjian bagi hasil, baik karena berakhirnya jangka waktu perjanjian maupun karena salah satu sebab tersebut pada Pasal 6, penggarap wajib menyerahkan kembali tanah yang bersangkutan kepada pemilik dalam keadaan baik “. Sehingga, berakhirnya perjanjian di Desa Sedah ini dapat ditentukan dalam 2 (dua) hal, yaitu karena sudah berakhirnya to user perjanjian bagi hasil commit ini antara penggarap dan pemilik tanah dan
64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebelum berakhir atas permintaan pemilik dan penggarap karena sebab atau alasan tertentu. Dan berakhirnya perjanjian bagi hasil di Desa Sedah sebelum berakhirnya perjanjian yang disepakati sebelumnya tetap berdasarkan pada musyawarah yang menguntungkan kedua belah pihak dan diikuti pengembalian tanah kembali kepada pemilik sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960. Apabila terjadi perpindahan hak milik tanah dalam perjanjian bagi hasil ini dapat terjadi jika perjanjian bagi hasil dengan pihak sebelumnya sudah dinyatakan berakhir, untuk melindungi hak-hak penggarap tanah. Menurut data sekunder Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, disebutkan tentang pemindahan hak milik tanah dalam perjanjian bagi hasil, yaitu : 1. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 6, maka perjanjian bagi hasil tidak terputus karena pemindahan hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada orang lain. 2. Didalam hal termaksud dalam ayat 1 diatas semua hak dan kewajiban pemilik berdasarkan perjanjian bagi-hasil itu beralih kepada pemilik baru. 3. Jika penggarap meninggal dunia maka perjanjian bagi hasil itu dilanjutkan oleh ahli warisnya, dengan hak dan kewajiban yang sama. Apa yang dijelaskan pada Pasal 5 di atas sudah merupakan hal yang tepat, karena tidak mungkin ada orang yang dirugikan baik karena hak tanahnya dijual kepada orang lain, ataupun pemiliknya meninggal dunia ataupun penggarapnya meninggal dunia, maka dalam hal ini, perjanjian ini tetap diteruskan oleh ahli warisnya ataupun yang memperolehkan secara sah hak atas tanah tersebut. Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo yang terdiri dari 4 commit to user (empat) Dukuh/ Dusun sebagai sampel untuk penelitian ini dimana
65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lahan pertaniannya lebih banyak menggunakan irigasi tehnis, memungkinkan penduduknya untuk mengembangkan budi daya tanaman pangan maupun substansi tanaman pertanian yang lebih bervariasi. Hal ini dimungkinkan karena tanah lebih mudah untuk dikelola. Selain itu di Desa Sedah dengan ketersediaan sumber daya manusia yang mayoritas memiliki pendidikan yang cukup banyak, memungkinkan orang untuk melakukan inovasi lebih banyak daripada wilayah yang lahan pertaniannya tidak beririgasi tehnis. Artinya, pengelolaan sumber daya pertaniannya sepenuhnya tergantung oleh keadaan iklim yang ada di daerah tersebut. Sarana prasarana untuk menunjang terciptanya peluang usaha dan kesempatan kerja pun sangat memungkinkan kondisi yang menimbulkan adanya perjanjian bagi hasil bagi pemilik tanah lahan pertanian yang lebih memilih pekerjaan atau profesi lain. Atau paling tidak meraka memilih menyerahkan penggarapan lahannya dengan membagihasilkan dengan orang-orang yang dipercaya. Hasil penelitian di 4 (empat) Dukuh di Desa Sedah Kecamatan
Jenangan
Kabupaten
Ponorogo,
pada
umumnya
masyarakat lebih memilih sistem perjanjian Bagi Hasil mendasarkan pada Hukum Adat setempat (kebiasaan setempat secara turun temurun). Kendala – kendala yang muncul mengapa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo tidak dapat terlaksana/ tidak dapat di pergunakan dalam pelaksanaan perjanjian Bagi Hasil adalah karena : 1. Hampir seluruh masyarakat di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo tidak mengetahui keberadaan UndangUndang No 2 Tahun 1960 untuk mengatur perjanjian Bagi Hasil. Hal ini terjadi karena kurangnya kegiatan penyuluhan dari pihak pemerintah khususnya kegiatan penyuluhan dari pihak pemerintah Kecamatan, khususnya tentang penyuluhan pertanian hanya commit to satu user tahun. dilaksanakan satu kali dalam
66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Faktor budaya yang sangat melekat pada diri masing masing masyarakat Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo yang masih mempercayai penggunaan adat kebiasaan secara turun temurun yang biasa mereka lakukan untuk melaksanakan perjanjian Bagi Hasil karena ada pengaruh unsur-unsur tolong menolong antara sesama sehingga tidak memerlukan acara secara formal. Hasil pengamatan dari penelitian di lapangan berdasarkan 80 ( delapan puluh ) responden yang terdiri dari 40 ( empat puluh ) pemilik tanah dan 40 ( empat puluh ) penggarap tanah, dimana perjanjian bagi hasil di Desa Sedah ini belum sepenuhnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi hasil, dimana yang pada akhirnya mendapatkan suatu realita bahwa tidak bekerjanya bentuk perjanjian tertulis yang menjadi dasar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian Bagi Hasil. Hal yang mendasari keadaan ini karena adanya faktor utama yang mempengaruhinya yaitu, budaya masyarakat setempat. Mereka lebih mengutamakan budaya tolong menolong dalam melakukan perjanjian penggarapan sawah melalui bagi hasil secara Adat, yaitu secara lisan atau dengan kepercayaan dan kesepakatan tentang imbangan pembagian masyarakat
hasilnya. setempat,
Budaya demikian sehingga
apabila
sangat
melekat
mereka
pada
melakukan
penggarapan sawah dengan Bagi Hasil mendasarkan pada UndangUndang, mereka masih takut menjadi bahan omongan (gunjingan) masyarakat, khususnya para penggarap yang masih tetangga dalam satu desa. Rasa gotong royong dan kebersamaan dan saling tolong menolong masih melekat pada pola kehidupan masyarakat Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.
commit to user
67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Aspek Keadilan dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.
Bagi hasil merupakan salah satu komponen dalam rangka Pembaharuan Agararia yang sesungguhnya memiliki peranan yang cukup penting dalam upaya memperbaiki kesejahteraan masyarakat pertanian, namun selama ini hamper tidak diperhatikan. Bagi hasil luput dari pembicaraan tentang Pembaharuan Agraria yang masih berkutat pada ideide yang lebih besar, terutama tentang landreform yang kenyataannya sangat sulit diimplementasikan. Dengan menyadari beratnya tantangan yang dihadapi untuk melaksanakan landreform, maka sudah selayaknya sistem bagi hasil mendapatkan perhatian seluruh pihak dengan penataan yang lebih adil dan baik (Syahyuti, 2004 : 165). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, diundangkan sejak tanggal 7 januari 1960 dan berlaku untuk seluruh masyarakat. Undang-Undang ini bertujuan untuk memperbaiki nasib para penggarap tanah milik pihak lain, jika benar-benar dilaksanakan, menurut Boedi Harsono akan mempunyai efek yang sama dengan penyelenggaraan redistribusi tanah kelebihan tanah absentee terhadap penghasilan para petani penggarap, karena menurut Undang-Undang ini mereka akan menerima bagian yang lebih besar dari hasil tanahnya. Menurut Hukum Adat imbangan pembagian hasil di tetapkan atas persetujuan kedua belah pihak yang umumnya tidak menguntungkan bagi pihak penggarap. Hal ini disebabkan karena tanah yang tersedia untuk di bagi-bagikan tidak seimbang dengan jumlah petani yang memerlukan tanah garapan. Menurut Hukum Adat transaksi penggarapan/ pengusahaan tanah pertanian dapat melalui sistem Sewa menyewa tanah, Jual gadai dan sistem Bagi Hasil. Sistem tersebut dalam UUPA diatur dalam Pasal 53 yaitu Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara yang pada dasarnya bertentangan dengan prinsip UUPA yang di atur dalam Pasal 10 UUPA, commit to user bahwa : Tanah pertanian pada asasnya harus di kerjakan atau di usahakan
68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sendiri secara aktif oleh pemiliknya. Berdasarkan hasil penelitian, yang mendorong masyarakat Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo memilih sistem transaksi pengolahan/ pengusahaan tanah melalui Sistem Perjanjian Bagi Hasil yang mendasarkan pada Hukum Adat Kebiasaan, menurut hasil penelitian di lapangan perjanjian bagi hasil ini dipilih karena memberikan “rasa nyaman“ karena sudah dari dulu menggunakan sistem hukum Adat kebiasaan dibanding dengan sistem perjanjian Bagi Hasil menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 dengan alasan yaitu adanya faktor- faktor. yang mempengaruhinya antara lain : 1. Keterbatasan dana / biaya; 2. Kebiasaan yang sudah turun temurun dimasyarakat; 3. Keuntungan dan kerugian yang dinikmati bersama; 4. Adanya kerja sama yang bersifat gotong royong. Pilihan sistem bagi hasil yang digunakan dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian yang ada di empat dukuh/ dusun yang digunakan sebagai samping area ini lebih banyak menggunakan perbandingan dengan imbangan bagi hasil (1:1) dan (1:2). Karena, di dalam sistem perjanjian bagi hasil ini dirasa ada banyak keuntungan dan keseimbangan antara biaya yang dikeluarkan dengan hasil panen yang didapat berbeda dengan sistem lainya, misal pada jual tahunan terkadang keuntungan hanya pada satu pihak dan sistem jual gadai dirasa sangat merugikan satu pihak dan hanya di sistem bagi hasil inilah kenyamanan didapat baik penggarap maupun pemilik tanah kemudian tingkat resiko yang minim di banding perjanjian lainya artinya resiko biasanya di tanggung bersama atau dapat di musyawahkan kedua pihak. Dari hasil wawancara dengan beberapa warga di lokasi penelitian “baik pihak penggarap maupun pihak pemilik tanah, menyatakan bahwa dengan perjanjian bagi hasil yang mereka kenal dengan istilah “paron/ maro” dan “mertelu” bila ada kesulitan ataupun bencana karena cuaca alam yang buruk sehingga mempengaruhi hasil commit to user panen maka dengan sendirinya akan ditanggung bersama - sama. Sehingga
69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menurut masyarakat di tempat lokasi penelitian banyak yang menyatakan bahwa perjanjian bagi hasil ini dirasa sudah adil bagi mereka. Faktor ketidak tahuan terhadap keberadaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 juga mempengaruhi terhadap pelaksanaan perjanjian Bagi Hasil, yang mereka tahu adalah perjanjian yang seperti sudah berlaku oleh pendahulunya yaitu dengan cara lisan atas dasar kepercayaan dan kesepakatan. Namun meskipun sebagian masyarakat juga sudah tahu ada aturan hukum tentang perjanjian Bagi Hasil, mereka tetap cenderung memilih untuk melaksanakan dengan cara Lisan, dengan dasar imbangan pembagian hasil sesuai dengan kesepakatan, pada umumnya yang dipergunakan adalah “Maro” dan “Mertelu”. Alasanya adalah sudah dilakukan secara turun temurun, saling percaya untuk saling tolong menolong antar warga sehingga mereka tidak memilih secara formal namun hanya kata sepakat antara kedua pihak (pemilik tanah dan penggarap). Apabila terjadi perselisihan cukup dilakukan/ diselesaikan melalui musyawarah kekeluargaan saja tanpa melibatkan aparat pemong desa. Biasanya sesepuh desa yang menjadi/ sebagai mediasi antar kedua pihak yang bertikai dan itu sudah cukup, karena kedua pihak akan samasama menyepakati keputusan bersama.
Biasanya pertikaian atau
perselisihan sering muncul karena kurang komunikasi kedua pihak mengenai hak dan kewajiban, misalnya saat kesepakatan terjadi pihak penggarap masih diluar kota karena berdagang atau buruh pabrik dikota sehingga diperantarakan orang lain dalam kesepakatan dengan pihak pemilik tanah, namun sepanjang ini semuan perselisian dapat di selesaikan lewat musyawarah keluarga saja. Berdasarkan hasil penelitian dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasi di Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo diketahui mengenai sistem pembagian menurut imbangan yang digunakan oleh kedua belah pihak atau bagian masing-masing pihak yang merupakan salah satu dari isi perjanjian. Besarnya bagian ini dapat terjadi karena to user kebiasaan setempat atau commit berdasarkan kesepakatan masing-masing pihak
70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(pemilik tanah dan penggarap tanah). Dan untuk mengetahui besarnya bagian antara pemilik dan penggarap dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 14. Perbandingan antara penggarap dan pemilik dalam perjanjian bagi hasil di Desa Sedah. NO.
Perbandingan
f
%
1.
1:1
30
75
2.
1:2
10
25
3.
1:3
-
-
4.
1:4
-
-
5.
2:1
-
-
40
100
JUMLAH Sumber : Data Primer
Dalam perjanjian bagi hasil di Desa Sedah dari Data Primer table 14 di atas, terdapat 30 ( tiga puluh ) responden (75%) dengan perbandingan 1 : 1. Dan ada 10 ( sepuluh ) responden ( 25% ) dengan perbandingan 1 : 2. Sedangkan, dengan perbandingan 1 : 3, 1 : 4, dan 2 : 1 tidak ditemukan di Desa Sedah. Pembagian imbangan (1 : 1) dan (1 : 2) ini berlaku untuk tanah sawah yang ditanami padi dan palawija pada jenis tanah basah. Karena di Desa Sedah ini menrupakan daerah dataran sehingga tidak ada jenis tanah kering untuk pertaniannya. Dengan perumusan yang flexible, yang akan Pasal 7 ini, maka undang-undang ini memberikan pedoman imbangan antara pemilik dan penggarap 1 : 1, yaitu untuk padi yang ditanam di sawah. Untuk tanaman palawijo di sawah dan untuk tanaman di tanah kering bagian penggarap adalah 2/3 dan pemilik 1/3. Untuk daerah-daerah dimana imbangan tersebut telah lebih menguntungkan pihak penggarap, akan tetap digunakan. Hasil akan dibagi antara pemilik dan penggarap adalah hasil bersih, yaitu bruto (hasil kotor) setelah dikurangi biaya-biaya untuk bibit, pupuk, ternak serta biaya untuk menanam dan panen. Untuk daerah-daerah dimana imbangan tersebut to user akan tetap. telah lebih menguntungkancommit pihak penggarap
71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Untuk menentukan besarnya pembagian atau imbangan masingmasing pihak dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil di Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo ini dapat ditentukan oleh pemilik tanah, penggarap, kedua belah pihak atau berdasarkan kebiasaan setempat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 15. Pihak yang menentukan besarnya bagian dalam perjanjian bagi hasil di Desa Sedah. NO.
Pihak yang menentukan
f
%
1.
Pemilik Tanah
15
18.75%
2.
Penggarap
15
18.75%
3.
Pemilik dan penggarap
20
25
4.
Kebiasaan setempat
30
37.5%
5.
Kepala desa
-
-
80
100
JUMLAH Sumber : Data Primer
Sumber Data Primer dalam table 15 di atas, pihak yang menentukan besaranya bagian dalam perjanjian bagi hasil di Desa Sedah tersebut berdasarkan 15 ( lima belas ) responden pihak pemilik tanah yang menentukan perjanjian bagi hasil tersebut (18,75%), 15 ( lima belas ) responden pihak penggarap yang menentukan perjanjian bagi hasil tersebut (18,75%), 20 ( dua puluh ) responden pihak pemilik dan penggarap tanah yang menentukan perjanjian bagi hasil tersebut (25%), dan 30 (tiga puluh) responden ditentukan oleh kebiasaan setempat (37,5%). Menurut data sekunder pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, disebutkan tentang pembagian imbangan bagi hasil, yaitu : Didalam menetapkan angka pembagian itu Bupati akan meminta pertimbangan instansi-instansi lainnya yang ahli dan wakil-wakil golongan fungsionil tani. Selain alasan-alasan tersebut diatas, maka dalam UndangUndang ini tidak ditetapkan angka imbangan yang tegas antara bagian commitproses to userperkembangan dalam masyarakat pemilik dan penggarap, karena
72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
desa masih berjalan terus, juga dalam hubungan-hubungan sosial. Hingga akan sangat tidak bijaksana untuk membendung proses tersebut dengan mencantumkan suatu perumusan yang kaku. Menurut sumber data primer tabel 14 dan 15 dan sumber data sekunder Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 di atas, ditemukan adanya perbedaan dalam menentukan imbangan pembagian bagi hasil untuk perhitungan karena berdasarkan keadaan geografis di Desa Sedah ini yang termasuk dataran dengan jenis tanah basah yang tanah sawahnya ditanami padi dan palawijo (seperti jagung, kedelai, cabe, dll). Dengan imbangan yang disepakati oleh kedua belah pihak antara penggarap dan pemilik tanah dan tidak ada campur tangan oleh Kepala Desa atau Pemerintah Daerah Tingkat II. Sedangkan pembagian pendapatan/ perimbangan pendapatan dengan diadakannya perjanjian bagi hasil tanah pertanian yang telah disepakati antara pemilik tanah dan penggarap tanah pertanian yang paling banyak digunakan dari hasil penelitian di Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo berdasarkan tanah basah ( tanah sawah yang ditanami padi) menggunakan perhitungan (1:1) sedangkan tanah sawah yang
ditanami
palawijo
menggunakan
perhitungan
(1:2),
menggunakan perhitungan dibawah ini : Untuk Perhitungan 1 Kotak ( 1 : 1)
j Biaya Operasional : 1. Bibit
: Rp.
40.000
2. Bajak
: Rp.
125.000
3. Upah Tanam
: Rp.
100.000
4. Pupuk
: Rp.
300.000
5. Upah Tenaga Perawatan
: Rp.
300.000
6. Obat – obatan
: Rp.
50.000
7. Pengairan
: Tidak ada krn musim hujan.
8. Upah Panen Jumlah
: Rp. 250.000 commit to user Rp. 1. 165.000
73
dapat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
j Pendapatan Kotor = 8 Kw x Rp. 250.000 = Rp. 2.000.000,j Pendapatan Bersih = Pendapatan Kotor – Biaya operasional = Rp. 2.000.000 – Rp. 1. 165.000 = Rp. 835.000,-
j Imbangan Pembagian Pendapatan untuk pemilik dan penggarap dengan perbandingan ( 1 : 1 ). Pendapatan Bersih : Imbangan Bagi Hasil = Rp. 835.000 : 2 = Rp. 417.500,-
Untuk Perhitungan 1 Kotak ( 1 : 2 )
j Biaya Operasional : 1. Bibit
: Rp.
40.000
2. Bajak
: Rp.
125.000
3. Upah Tanam
: Rp.
100.000
4. Pupuk
: Rp.
300.000
5. Upah Tenaga Perawatan
: Tidak ada krn dikerjakan sendiri.
6. Obat – obatan
: Rp.
7. Pengairan
: Tidak ada krn musim hujan.
8. Upah Panen
: Rp.
50.000
250.000
Rp. 865.000
j Pendapatan Kotor = 8 Kw x Rp. 250.000 = Rp. 2.000.000,j Pendapatan Bersih = Pendapatan Kotor – Biaya operasional = Rp. 2.000.000 – Rp. 865.000 = Rp. 1. 135.000,-
j Imbangan Pembagian Pendapatan untuk pemilik tanah. Pendapatan Bersih : Imbangan Bagi Hasil = Rp. 1. 135.000 : 1/3 = Rp. 378.333,-
j Imbangan Pembagian Pendapatan untuk penggarap tanah. Pendapatan Bersih : Imbangan Bagi Hasil = Rp. 1. 135.000: 2/3 commit to user = Rp. 756.667,-
74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Namun, kenyataan yang ada di lapangan hasil dari penelitian penulis di Desa Sedah ini belum semua ketentuan sesuai dengan atau mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil ini, tetapi mengedepankan pada adat kebiasaan setempat yang telah turun temurun digunakan dan berjalan sampai sekarang yang dianggap telah menguntungkan kedua belah pihak karena berdasarkan pada asas kekeluargaan dan gotong royong. Sehingga, jika ada permasalahan yang timbul maka akan diselesaikan dengan musyawarah oleh kedua belah pihak. Selain itu, belum adanya acuan mengenai Peraturan Bupati yang mengatur mengenai Perjanjian Bagi Hasil ini di Kabupaten Ponorogo yang menjadikan perjanjian bagi hasil ini hidup sesuai dengan kebiasaan setempat yang sudah turun temurun dipercaya. Jadi, semua imbangan bagi hasil disepakati dan ditentukan oleh kedua belah pihak yang dianggap memenuhi unsur keadilan dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo. Jika imbangan bagi hasil ini dihitung berdasarkan rumus I yang ada dalam penjelasan Pasal 7 di atas dengan besar imabangan dibagi dua sama besar antara pemilik dan penggarap atau dalam bentuk rumus : Rumus I Hak penggarap = hak pemilik X–Z ------
X–1/4X =
-------------
2
2
Keterangan : Z = 1/4 X Z= biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga panen, dan tanam. X= Hasil kotor commit to user
75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hak penggarap
=
X–Z ------
hak pemilik X–1/4X
=
-------------
2
2
2. 000.000 – 1.165.000 = 2.000.000 – ¼ x 2. 000. 000 2 835. 000
2 =
1. 500. 000
2 417. 500
2 =
750. 000
Jadi, hak yang diperoleh penggarap disini sebesar Rp. 417. 500,- dan hak yang diperoleh pemilik sebesar Rp. 750. 000,- dimana, ditemukan ketidakseimbangan yang diperoleh kedua belah pihak, sedangkan penggarap memperoleh hasil yang lebih sedikit daripada pemilik tanah.
commit to user
76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP A. Simpulan Dengan mengkaji bab kesatu sampai bab ketiga dan berpijak pada rumusan masalah, maka dapat diambil kesimpulan bahwa aspek keadilan dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Berdasarkan hasil penelitian yang diketahui bahwa pelaksanaan bagi hasil di Desa Sedah belum sepenuhnya sesuai dengan Peraturan PerundangUndangan yang mengatur mengenai perjanjian bagi hasil ini yaitu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, karena perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah ini dibuat berdasarkan kesepakatan atau hukum adat setempat, yaitu dalam bentuk lisan atau tidak tertulis yang berdasarkan kepercayaan dan kesepakatan antara kedua belah pihak, dalam pelaksanaan jangka waktu pelaksanaan bagi hasil ini dibagi menjadi 2 (dua), yaitu jangka waktu yang ditentukan dan jangka waktu yang tidak ditentukan dimana perjanjian ini berjalan begitu saja sampai saat ini, dan berakhirnya perjanjian bagi hasil di Desa Sedah ini dilakukan karena jangka waktu yang ditentukan telah berakhir, dan dilakukan atas permintaan pemilik dan penggarap tanah. Dimana di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo masyarakatnya masih banyak yang menggunakan sistem hukum adat dalam melaksanakan perjanjian bagi hasil tanah pertanian, karena kurangnya pengetahuan mereka tentang Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 yang mengatur perjanjian bagi hasil tersebut. Karena masyarakat di Desa Sedah lebih memahami dan merasa mudah menggunakan sistem hukum adat setempat yang telah turun temurun digunakan sejak dahulu sampai sekarang, sehingga perjanjian bagi hasil menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tersebut tidaklah sesuai dengan keadaan masyarakat commit to user tersebut.
77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo ini sudah memenuhi unsur keadilan, hal ini bisa dilihat berdasarkan pembagian imbangan bagi hasil yang digunakan hanya ada 2 (dua) macam yang ada, yaitu pembagian imbangan berdasarkan pada perbandingan (1:1) dengan imbangan sama besarnya, dan untuk imbangan (1:2) dengan perbandingan 1/3 untuk penggarap dan 2/3 pemilik tanah, kedua imbangan tersebut dipergunakan untuk jenis tanah basah (sawah) yang ditanami padi dan palawija. Dimana jika dihitung
berdasarkan
perhitungan imbangan yang ada pada Pasal 7 ditemukan hasil pembagian yang lebih menguntungkan pihak pemilik saja. Sehingga dirasa aspek keadilan ini telah sesuai dengan keadaan yang ada di Desa Sedah menurut perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena pembagian imbangan bagi hasil untuk pemilik dan penggarap tanah di Desa Sedah ini sudah seimbang. B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas dan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya pada bab hasil penelitian dan pembahasan, maka ada beberapa saran sederhana yang disampaikan penulis antara lain : 1.
Perlu adanya sosialisasi mengenai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil ini, karena masih banyak masyarakat yang belum mengetahui adanya undang-undang tersebut.
2.
Untuk melindungi hak-hak kedua belah pihak dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah, Keamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, dimana perlindungan hukum antara penggarap dan pemilik tanah akan lebih terjamin, seyogyanya dibentuklah suatu Peraturan Bupati yang mengatur tentang Imbangan Bagi Hasil sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil.
commit to user
78