1
DISERTASI
ASAS TANGGUNG JAWAB LANGSUNG (STRICT LIABILITY) DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN KEPERDATAAN (Studi Gugatan Perwakilan)
I KETUT TJUKUP
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
2
DISERTASI
ASAS TANGGUNG JAWAB LANGSUNG (STRICT LIABILITY) DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN KEPERDATAAN (Studi Gugatan Perwakilan)
I KETUT TJUKUP NIM : 1290971001
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii
3
DISERTASI
ASAS TANGGUNG JAWAB LANGSUNG (STRICT LIABILITY) DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN KEPERDATAAN (Studi Gugatan Perwakilan)
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana dan Dipertahankan Dihadapan Rapat Senat Terbuka Badan Perwakilan Pascasarjana Universitas Udayana Di Bawah Pimpinan Direktur Pascasarjana Universitas Udayana Hari : Kamis, 12 Maret 2015 Pukul : 10.00 Wita
I KETUT TJUKUP NIM : 1290971001
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 iii
4
iv
5 Disertasi Ini Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Rapat Terbuka Badan Perwakilan Program Pascasarjana Universitas Udayana Hari Kamis Tanggal 12 Maret 2015 Pukul 10.00 Wita Panitia Penguji Disertasi Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No : 695/UN14.4/HK/20015 Tanggal : 3 Maret 2015 Ketua
:
Sekretaris : Anggota
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K) Prof. Dr. I Made Budiarsa, MA
: 1. Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH. M.Hum 2. Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH. M.Hum 3. Dr. I Dewa Gede Palguna, SH. MH 4. Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, SH.MS 5. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH. MH. 6. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.MS. 7. Prof. Dr. Eva Laela Fakhriah, SH.MH 8. Dr. I Wayan Wiryawan, SH. MH. 9. Dr. I Gede Artha, SH.,M.H.
Undangan Akademik : 1. Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A 2. Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH.,M.S 3. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum., LLM. 4. Dr. I Dewa Made Suartha, SH.,M.H 5. Dr. I Made Sarjana, SH., M.H
v
6
vi
7 UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Waça), karena berkat rahmat-Nya maka disertasi yang berjudul ”Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) dalam Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan (Studi Gugatan Perwakilan) dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Disertasi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum (S3) pada Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Udayana. Penulisan disertasi ini masih jauh dari sempurna baik metodologi maupun susunan tata bahasanya. Hal tersebut penulis menyadari karena pengetahuan yang dimiliki sangat terbatas dalam menulis mutu karya ilmiah. Atas segala kekurangannya penulis mengharapkan kritik, saran dan masukannya sehingga disertasi yang diharapkan dapat terpenuhi. Sudah tentu penulisan disertasi ini untuk lebih sempurna diperlukan bantuan, motivasi dari berbagai pihak baik langsung atau tidak langsung. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada yang terhormat : 1. Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.M.Hum selaku Promotor dalam penulisan disertasi ini, yang dengan penuh semangat dan tanggung jawab telah memberikan bimbingan, petunjuk, arahan secara terus menerus,
sejak
penyusunan proposal, ujian kwalifikasi, sidang komisi dan tidak hentihentinya memberikan bimbingan dan memberikan semangat agar bersabar dan penuh konsentrasi dalam menyelesaikan penulisan disertasi ini. Atas vii
8 segala perhatian dan petunjuknya semoga Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Waça) selalu memberikan balasan sebagai amal yang tidak ternilai harganya. 2. Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH.M.Hum yang dalam hal ini sebagai Ko. Promotor I yang telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk dan selalu memberikan semangat untuk terus menulis sampai selesai. Semoga kebaikan beliau selalu mendapatkan anugrah atau imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa. 3. Bapak Dr. I Dewa Gede Palguna, SH.M.Hum selaku Ko. Promotor II mulai dari perumusan permasalahan sampai sekarang terus memberikan bimbingan. Disamping hampir setiap hari dalam waktu 6 hari memberikan petunjuk, diskusi-diskusi, menegor seandainya penulis lalai dan lain-lainnya. Beliau tidak mengenal lelah dan selalu sabar mendampingi penulis dalam menyusun disertasi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan anugrah atas amal beliau. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat: a. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.Pd. KEMD yang telah memberikan kesempatan dan izin untuk melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu Hukum pada Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. b. Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) yang telah memberikan berbagai fasilitas dan
viii
9 pelayanan administrasi dalam mengikuti pendidikan di Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. c. Asisten Direktur I Prof. Dr. I Made Budiasa, MA dan Asisten Direktur II, Prof. Dr. I Made Sudiana Mahendra, PhD. Program Pascasarjana Universitas Udayana. d. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. I.G.N. Wairocana, SH.MH yang telah memberikan semangat, petunjuk, dorongan dan kemudahan-kemudahan dalam mengikuti pendidikan di S3 Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Udayana. e. Ketua Prodi Ilmu Hukum (S3) Pasca Sarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.MS yang telah memberikan petunjuk, arahan dan layanan administrasi dalam mengikuti
mekanisme pendidikan S3 Ilmu
Hukum di Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. f. Sekretaris Prodi Ilmu Hukum (S3) Pasca Sarjana Universitas Udayana Bapak Dr. I Gede Artha, SH.MH yang dengan sabar memberi petunjuk dan meminjamkan disertasi serta memberi layanan administrasi dalam mekanisme penulisan, perkuliahan dan lain-lainnya. g. Prof. Dr. I Wayan Ardika, MA yang telah memberikan petunjuk, arahan, dan meminjamkan buku-buku selama penulis mengikuti perkuliahan MKPD. h. Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, SH.MS beserta Ibu yang dalam hal ini sebagai Pembimbing Akademik yang selalu menegor, membimbing dan meminjamkan buku. Penulis sering mengganggu baik di kampus maupun dirumahnya untuk diskusi-diskusi.
ix
10 i.
Prod. Dr. B. Arief Sidharta yang telah memberikan petunjuk terhadap materi dalam penulisan disertasi ini.
j.
Sekretaris Jenderal MPR dan DPR yang telah memberi bantuan bahan atas pembahasan RUU No. 32 Tahun 2009 (RUUPPLH).
k. Ketua Prodi Ilmu Hukum (S3) Fakultas Hukum Brawijaya, Prof. Dr. Sudarsono, SH.MH yang
berkenan menerima dan memberikan bantuan
dalam mencari dan mengikuti SHP di S3 Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. l.
Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, SH.MH yang telah memberikan arahan dan petunjuk dalam mencari SHP di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.
m. Bapak I Made Karma Resen, SH.M.Kn dan keluarga yang telah banyak membantu penulis baik di Denpasar
maupun di Jogya
dalam
urusan
mencari bahan, buku-buku dan lain-lainnya. n. Bapak/Ibu Dosen bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana, N.A. Martana, SH.MH., I Wayan Tangun Susila, SH.MH., I Ketut Keneng, SH.MH., Dewa Rai Nyoman Asmara Putra, SM.MH., Ibu Arik, SH.MH.,
Nengah Ardiani, SH.MH., Dr. Dewa Made Suartha, SH.MH.,
Bapak Yudha, SH.MKN., Ketut Sudjana, SH.MH., Ketut Rikiyana, SH, Putu Ramadi, SH.MH., A.A. Yudistira, SH.MH. o. Bapak Dosen, Pegawai Administrasi di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana
diantaranya
Bapak Pembantu Dekan I, I Ketut
Sudiartha, SH.MH., Bapak Pembantu Dekan II, I Wayan Bela Siki Layang, SH.MH., Bapak Pembantu Dekan III, I Wayan Suardana, SH.MH., Dr. I
x
11 Made Sarjana, SH.MH, Bapak KTU, Bapak/Ibu Kasubbag Kepegawaian dan lain-lainnya yang tidak perlu saya sebutkan namanya satu persatu. p. Rekan-rekan Angkatan I dan Angkatan II Program Studi Ilmu Hukum pada Pasca Sarjana yang tidak perlu penulis sebutkan namanya satu persatu. q. Keluarga besar penulis mulai dari Bapak (alm), Ibu (alm), dan saudarasaudara, keponakan, cucu-cucu diantaranya I Gede Sumawa, Nyoman Ngayon, Ketut Sirim, Wayan Tamat, Made Seraman dan Ibu, Nyoman Purusani, Komang Ayu, Gede Dog, Gede Giya Aditya Rahman, Made Rio, Ketut Karyasa Adnyana beserta ibu, Dede, Dendi, Sukanadi, Wawik, Ema, Anggun dan lain-lainnya. Semoga semua pihak yang telah memberikan dukungan dan dorongan diberkhati kesehatan dan kesejahteraan oleh Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Waça). Akhirnya penulis haturkan banyak-banyak terima kasih.
Denpasar,
Januari 2015
Penulis
xi
12 ABSTRAK Nama : Program Studi : Judul Disertasi :
I Ketut Tjukup Ilmu Hukum Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) dalam Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan (Studi Gugatan Perwakilan)
Pembangunan di bidang industri telah banyak membawa dampak terjadinya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan kerugian banyak orang atau masyarakat. Berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata masyarakat yang mengalami kerugian dapat mengajukan gugatan ganti rugi ke pengadilan dengan kewajiban membuktikan kesalahan pencemar. Pembagian beban pembuktian yang demikian tidak memberikan rasa keadilan karena dalam pembuktian pencemaran akibat limbah berbahaya dan beracun (B3) memerlukan biaya sangat tinggi. Disamping biaya sangat tinggi juga kesulitan dalam mengumpulkan alat-alat bukti untuk menjawab hal tersebut diperlukan perangkat aturan hukum yang memadai seperti asas tanggung jawab langsung (strict liability) yang dikenal dalam sistem hukum Anglo Saxon. Menurut asas tanggung jawab langsung korban tidak perlu membuktikan kesalahan pencemar dan pencemar seketika bertanggung jawab secara langsung atas kerugian yang terjadi. Asas tanggung jawab langsung yang sudah diatur dalam Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang UUPPLH belum dilengkapi dengan hukum formil sehingga terjadi kekosongan hukum dibidang hukum formil, oleh karena itu hakim wajib melakukan penemuan hukum untuk mengisi kekosongan hukum formil tersebut. Penelitian ini dikualifikasikan sebagai penelitian hukum normatif dengan menerapkan beberapa jenis pendekatan yaitu, pendekatan perundang-undangan, pendeketan konseptual, pendekatan filsafat, pendekatan sejarah, pendekatan perbandingan, pendekatan kasus termasuk pula pendekatan budaya atas dasar kearifan masyarakat lokal, khususnya budaya masyarakat Bali. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menemukan pemikiran filosofis dan teoritis berbasis kearifan lokal tentang hakikat asas tanggung jawab langsung beserta penemuan hukum oleh hakim mengenai hukum formilnya dalam penegakan Hukum Lingkungan keperdataan melalui upaya gugatan perwakilan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asas tanggung jawab langsung yang beresensikan tanggung jawab tidak semata-mata atas dasar kesalahan dan/atau kerugian, namun juga memelihara keseimbangan kosmis dengan mewujudkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum dalam menyelesaikan kasus-kasus akibat perbuatan manusia yang berdampak besar, luas, dan tidak dapat dihitung akibatnya terhadap keseimbangan kehidupan manusia beserta lingkungan hidupnya sebagaimana dikembangkan dalam Hukum Adat Bali. Sementara itu, Asas "ius curia novit” yang mempraanggapkan hakim sebagai pihak tahu hukum maka dalam hal terjadi kekosongan norma untuk penerapan asas tanggung jawab langsung dalam penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan melalui gugatan perwakilan maka hakim berkewajiban menemukan hukumnya dengan tetap terikat pada asas-asas hukum acara yang berlaku umum dan kode etik hakim yang berlaku universal. Kata kunci :
Asas, Tanggung Jawab Langsung, Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan, Studi Gugatan Perwakilan. xii
13 ABSTRACT Name Faculty Title
: : :
I Ketut Tjukup Law Strict Liability on Private Environmental Law Enforcement (Class Action Study)
Development of industry had affected the deterioriation and pollution of environment which resulted loss to great amount of people. Upon that matter, Article 1365 of Civil Code the society who experienced loss shall be eligible to file a claim before the Court upon the legal obligation of proving the fault of the polluter. Such practice does not reflect the sense of justice towards the society, as it is shown upon the high cost needed in proving the B-3 related pollution and difficulties in gathering the evidence. In order to resolve such problems, an adequate set of regulation is essentially needed, such as strict liability is widely recognized in Anglo Saxon, where the victim shall no longer bear the burden to prove the fault of the polluter and the polluter shall be held liable over the loss directly. Legal instrument of strict liability had been substantively regulated in Article 88 of Law. No. 32 of 2009 (UU PPLH), however, its procedural law regulations in its application had not been regulated thus resulted in the absence of law in maintaining the substantive law. However, Judge shall be obliged to discover the procedural law in order to accommodate the absence of law aforementioned. This research shall be qualified into normative legal research by applying several approaches, namely, the legal approach, conceptual approach, philosopical approach, historical approach, comparative approach, case approach including cultural approach upon the basis of local genius, especially which is enshrined in Balinese culture. Thus, this research aims to discover the philosophical and theoretical framework based upon the local genius on the essence of strict liability and discovery of law in procedural matters by Judge in enforcing the Environmental Law in Indonesia through class action lawsuit. Results of research had shown that strict liability principle which is essentially based upon the nature of responsibility shall not merely based upon fault and/or loss, order to maintain the cosmic balance by preserving justice, legal proximity and expediency in resolving man-made environmental pollution cases which are major, wide, and disrupting the balance of mankind with its surrounding environment in nature as developed in Balinese custom laws. However, under the principle of ius curia novit which presumes the Judge to be the party who comprehends the law, under the circumstances of absence of law in applying the strict liability principle and in order to enforce the Environmental Civil Law through class action, legal interpretation as well as legal construction (rechtsvinding) shall be deemed to be necessary conducted by Judge in the manner consistent with legal principles of procedural law and universally-accepted code of ethics for judge. Keywords : Principle, Strict Liability, Enforcement of Private Environmental Law, the Study of Class Action xiii
14 RINGKASAN
Dalam disertasi ini penulis membahas tentang penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan dengan judul ”Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) dalam Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan (Studi Gugatan Perwakilan). Latar belakang ditelitinya bidang hukum tersebut mengingat hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi manusia. Sementara itu, fakta-fakta yang dapat kita saksikan bersama di lapangan banyaknya muncul kasuskasus perusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup yang disebabkan oleh limbah berbahaya dan beracun (B3). Hal ini dapat menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup yang pada akhirnya merugikan masyarakat. Kerugian yang akan diperjuangkan oleh masyarakat ke Pengadilan menurut sistem Hukum Perdata seperti diatur pada Pasal 1365 KUH Perdata masih sangat memberatkan pihak korban karena dibebani untuk membuktikan kesalahan pencemar dan pihak korban kesulitan mengumpulkan alat-alat bukti serta memerlukan biaya tinggi. Berdasarkan
alasan-alasan
tersebut
dibahas
isu-isu
hukum
dengan
merumuskan kedalam 2 (dua) masalah atau isu sentral dalam penelitian ini. Pertama : Apakah hakikat asas tanggung jawab langsung dan pengembangannya dalam penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan. Kedua : Apakah menurut doktrin hukum hakim dapat melakukan penemuan hukum formil dalam penerapan asas tanggung jawab langsung pada gugatan perwakilan. Dari latar belakang yang telah dipaparkan maka tujuan yang diinginkan dalam penelitian ini ialah untuk menemukan hakikat asas tanggung jawab langsung dan ingin menemukan pemikiran
xiv
15 secara teoritis tentang asas tanggung jawab langsung dalam penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan. Secara lebih mengkhusus penelitian ini menganalisis dan menemukan apakah yang menjadi hakikat asas tanggung jawab langsung beserta manfaatnya serta mencari landasan teoritikal apakah hakim dapat melakukan penemuan hukum formil untuk dapat menerapkan asas tanggung jawab langsung dalam penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan. Untuk menjaga kemurnian dari penelitian ini telah dilakukan penelusuran baik secara manual maupun melalui penelusuran di Internet untuk mengetahui apakah sudah ada yang membahas atau tidak. Penelusuran ini dengan maksud untuk mencegah terjadinya pembahasan yang sama atau terjadi plagiasi. Berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan maka manfaat teoritis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya
menemukan
hakikat
hukum
tanggung
jawab
langsung
dan
pengembangannya dalam penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat disumbangkan pada pembentuk peraturan perundang-undangan atau badan legislatif, dan dapat dipakai pedoman oleh hakim dalam pemeriksaan kasus-kasus lingkungan hidup dibidang hukum perdata. Jenis penelitian yang dipilih ialah penelitian hukum normatif yang beranjak dari adanya kekosongan hukum formil guna penerapan asas tanggung jawab langsung yang diatur pada Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang UUPPLH. Untuk mendukung penelitian tersebut dipergunakan beberapa jenis pendekatan
yaitu
pendekatan
perundang-undangan,
pendekatan
konseptual,
pendekatan filsafat, pendekatan sejarah, pendekatan perbandingan dan pendekatan
xv
16 kasus. Untuk mengkaji dan membahas rumusan masalah pertama untuk landasan yuridis dan filosofis dipergunakan pendekatan yuridis, pendekatan konseptual, pendekatan sejarah, perbandingan dan pendekatan filsafat. Untuk masalah yang kedua akan dilengkapi dengan pendekatan kasus. Untuk mencapai hasil dan temuan dalam penelitian disertasi ini dibagi dalam 5 (lima) bab. Bab I mulai dari Pendahuluan; Bab II Kerangka Teoritik, Kerangka Konseptual dan Kerangka Berpikir. Masing-masing masalah akan dibahas dalam Bab III dan bab IV, sementara itu pada pada Bab V merupakan Bab Penutup yaitu : Kesimpulan dan Saran-saran. Uraian Bab II yaitu Kerangka Teoritik dimulai dengan pembahasan Grand Theory yakni Teori Negara Hukum sebagai Teori Dasar. Middle Range Theory (Teori Penghubung) yang diterapkan adalah teorinya Mochtar Kusumaatmadja yaitu Teori Hukum Pembangunan. Sedangkan untuk Applied Theory (Teori Terapan) dipergunakan beberapa teori yakni : Teori Kewenangan, Teori Penemuan Hukum, Teori Keadilan, dan Teori Hukum Pembuktian. Dengan teori-teori ini dipakai untuk membahas 2 (dua) isu hukum yang dijadikan rumusan masalah. Kajian Kerangka Konseptual dilakukan untuk menemukan konsep-konsep hukum atau pengertianpengertian pokok dari konsep asas tanggung jawab langsung, pengertian penegakan hukum lingkungan keperdataan, pengertian gugatan perwakilan untuk mencegah timbulnya multi interpretasi. Kerangka Berpikir merupakan uraian tentang alur berpikir terhadap isi dari uraian-uraian dalam penelitian disertasi ini. Uraian dalam Bab III merupakan bab pembahasan atas rumusan masalah yang pertama yaitu mengkaji dan meneliti ontologi hukum asas tanggung jawab
xvi
17 langsung dalam penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan. Pembahasan diawali dari sejarah perkembangan asas tanggung jawab langsung yang dikenal di negara yang menganut sistim hukum Anglo Saxon, dibahas dari perspektif aliran-aliran filsafat hukum. Dibahas apa tujuan dan manfaat asas tanggung jawab langsung, perbandingan Polluter Pays Principle dengan strict liability, ruang lingkup penerapan asas tanggung jawab langsung dalam hukum internasional. Dimensi pengaturan asas tanggung jawab langsung dalam UUDNRI 1945, perspektif HAM atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dan asas tanggung jawab langsung dilihat dari perspektif budaya. Uraian dalam Bab IV ialah pembahasan atas rumusan masalah kedua yaitu: penemuan hukum formil oleh hakim guna menerapkan asas tanggung jawab langsung pada gugatan perwakilan. Pembahasan meliputi sumber, metode, aliranaliran penemuan hukum, jenis-jenis penemuan hukum, penentuan beban pembuktian dalam pemeriksaan gugatan perwakilan dan pembahasan terakhir ialah penemuan hukum formil oleh hakim guna penerapan asas tanggung jawab langsung pada gugatan perwakilan. Sebagai akhir uraian, maka pada Bab V akan dikemukakan Bab Penutup. Pada bab penutup ini dikemukakan kesimpulan dan saran-saran yang diperoleh atas pembahasan permasalahan yang dikaji dalam disertasi ini.
xvii
18
DAFTAR ISI Halaman Halaman Sampul Depan.....................................................................................
i
Halaman Sampul Dalam ....................................................................................
ii
Halaman Prasyarat Gelar....................................................................................
iii
Halaman Persetujuan Promotor ..........................................................................
iv
Halaman Persetujuan Penguji .............................................................................
v
Pernyataan Bebas Plagiarisme ............................................................................
vi
Halaman Ucapan Terima Kasih ..........................................................................
vii
Halaman Abstrak dan Ringkasan .......................................................................
xiii
Halaman Daftar Isi ............................................................................................. xviii Halaman Daftar Singkatan atau Tanda ............................................................... xxii BAB I
PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1 Latar Belakang............................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................
27
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................
28
1.3.1 Tujuan Umum ....................................................................
28
1.3.2 Tujuan Khusus ...................................................................
28
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................
28
1.5 Orisinalitas Penelitian .................................................................
30
1.6 Metode Penelitian .......................................................................
32
1.6.1 Jenis Penelitian ..................................................................
32
1.6.2 Pendekatan Masalah ...........................................................
33
1.6.3 Sumber Bahan Hukum .......................................................
37
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ..................................
38
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ...........................................
39
xviii
19 BAB II
BAB III
KERANGKA TEORITIK, KERANGKA KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR .................................................................
42
2.1
Kerangka Teoritik ....................................................................
42
2.1.1 Teori Negara Hukum sebagai Grand Theory ...............
42
2.1.2 Teori Hukum Pembangunan sebagai Middle Range Theory ..........................................................................
58
2.1.3 Teori Kewenangan, Teori Penemuan Hukum, Teori Keadilan, dan Teori Hukum Pembuktian sebagai Applied Theory .............................................................
67
2.1.3.1 Teori Kewenangan ........................................
67
2.1.3.2 Teori Penemuan Hukum.................................
71
2.1.3.3 Teori Keadilan ...............................................
73
2.1.3.4 Teori Hukum Pembuktian ..............................
77
2.2
Kerangka Konseptual ...............................................................
80
2.3
Kerangka Berpikir ...................................................................
88
HAKIKAT ASAS TANGGUNG JAWAB LANGSUNG (STRICT LIABILITY) DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN KEPERDATAAN.............................................................................
93
3.1
Asas tanggung jawab Langsung (Strict Liability) Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan ...........................
97
3.1.1 Istilah, Pengertian dan Sejarah Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) ...........................................
97
3.1.2 Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) Perspektif Aliran-aliran Filsafat Hukum ....................... 109 3.1.3 Tujuan dan Manfaat Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) dalam Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan ................................................................. 128 3.1.4 Asas Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle) dalam Penegakan Hukum Lingkungan dan Perbedaannya dengan Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) ........................................... 136 xix
20 3.2
Asas tanggung jawab Langsung (Strict Liability) Dalam Pengembangannya ................................................................... 143 3.2.1 Ruang Lingkup Penerapan Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) dalam Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan .............................................. 146 3.2.2 Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) dalam Hukum Lingkungan Internasional ..................... 151
3.3
Urgensi Pengaturan Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) dalam Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan.. 163 3.3.1 Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat .......................................... 165 3.3.2 Pengintegrasian Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) dalam Sistem Hukum Eropa Continental, Anglo Saxon dan yang telah Diatur Dalam Konvensi Internasional Kedalam Hukum Lingkungan di Indonesia ................................................................. 174 3.3.3 Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) Perspektif Budaya ....................................................... 186
BAB IV
PENEMUAN HUKUM FORMIL OLEH HAKIM DALAM PENERAPAN ASAS TANGGUNG JAWAB LANGSUNG (STRICT LIABILITY) PADA GUGATAN PERWAKILAN (CLASS ACTION) .......................................................................................... 194 4.1
Pengertian, Dasar Hukum dan Perkembangan Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Gugatan Perwakilan (Class Action) 194
4.2
Sumber-sumber Hukum dan Aliran-Aliran Penemuan Hukum oleh Hakim .............................................................................. 214
4.3
Metode dan Penemuan Hukum oleh Hakim ............................. 229
4.4
Penentuan Beban Pembuktian oleh Hakim pada Gugatan Perwakilan Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan ............................................................................. 237
4.5
Penemuan Hukum Formil Berkenaan Dengan Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) Dalam Gugatan Perwakilan (Class Action) .......................................................................... 250
xx
21 BAB V
PENUTUP 5.1
Kesimpulan ............................................................................. 290
5.2
Saran-saran .............................................................................. 291
DAFTAR PUSTAKA
xxi
22 DAFTAR SINGKATAN
U.U.D
:
Undang-Undang Dasar
U.U
:
Undang-Undang
KUH. Perdata
:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
B.W.
:
Burgerlijk Wetboek
BRV
:
Burgerlijk Rechtvoordering
W.V.S
:
Wetboek Van Strafrecht
KUHP
:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUHD
:
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
C.C.
:
Code Civil
H.I.R.
:
Het Herziene Indonesich Reglement
RBg
:
Rechtsreglement Buitengewijsten
UULH
:
Undang-Undang Lingkungan Hidup
UUPLH
:
Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup
UUPPLH
:
Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
K.K
:
Kekuasaan Kehakiman
P.P
:
Peraturan Pemerintah
Keppres
:
Keputusan Presiden
PERDA
:
Peraturan Daerah
SEMA
:
Surat Edaran Mahkamah Agung
PERMA
:
Peraturan Mahkamah Agung
S.L
:
Strict Liability
xxii
23 A.L
:
Absolute Liability
B3
:
Limbah Berbahaya dan Beracun
AMDAL
:
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
IPTEK
:
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
HAM
:
Hak Asasi Manusia
PPP
:
Polluter Pays Principle
House of Lord
:
Pengadilan Tertinggi di Inggris
G.C
:
Green Constitution
PN
:
Pengadilan Negeri
PT
:
Pengadilan Tinggi
MA
:
Mahkamah Agung
xxiii
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Kegiatan manusia dalam pembangunan yang dimaksudkan untuk mampu meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan pada masyarakat dapat juga menimbulkan akibat negatif berupa perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 14 dan 16 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat UUPPLH). Disebutkan bahwa pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam lingkungan oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang ditetapkan. Sedangkan perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung seperti fisik, kimia dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup1. Pencemaran dan perusakan terhadap lingkungan hidup pada hakikatnya memiliki karakter hukum yang terpisah, namun dalam beberapa hal kedua peristiwa hukum tersebut sulit dipisahkan atau merupakan rangkaian yang saling berkaitan. Dalam hal ini perbedaan antara pencemaran dengan perusakan tidak terlalu prinsip 1
Pasal 1 angka 14 UU No. 32 Tahun 2009 tentang UUPPLH menetapkan Pencemaran Lingkungan Hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang ditetapkan. Pasal 1 angka 16 UU No. 32 Tahun 2009 tentang UUPPLH, menetapkan Perusakan Lingkungan Hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap seperti fisik, kimia dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. 1
2 karena setiap orang yang melakukan perusakan lingkungan hidup dapat juga melakukan pencemaran dan sebaliknya. Bedanya ialah hanya terletak pada intentitas perbuatan yang dilakukan terhadap lingkungan hidup dan kadar akibat yang diderita oleh lingkungan hidup akibat perbuatan tersebut.2 Pada pencemaran terjadi suatu peristiwa yaitu tindakan manusia bisa sengaja dan tidak sengaja memasukan makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup yang melampaui ambang batas baku mutu lingkungan hidup. Perusakan lingkungan hidup terjadi antara lain karena adanya tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung kepada perubahan fisik terhadap lingkungan hidup. Dalam pencemaran, konsep ”masukan” diberikan pengertian sebagai hasil kegiatan manusia, sedangkan dimasukkannya ialah berupa tindakan manusia. Dalam kaitannya dengan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang merupakan sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3, ini berarti tindakan dimasukkannya ke media lingkungan hidup bersumber dari satu tindakan manusia yang diduga menimbulkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Tindakan manusia yang diduga menimbulkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup tidak terlepas dari tata nilai manusia dalam berperilaku di masyarakat. Menurut Takdir Rahmadi, sebagian pakar berpendapat timbulnya masalah-masalah lingkungan hidup disebabkan oleh tata nilai yang berlaku menempatkan kepentingan manusia sebagai pusat dari segala-galanya dalam alam semesta. Nilai dari segala sesuatu yang ada di alam semesta dilihat dari sudut 2
Abdurrahman, 1990, Pengantar Hukum Lingkungan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.95-96.
3 pandang kepentingan manusia semata.3 Tata nilai yang dimiliki ini dikenal dengan istilah anthropocentric atau homocentric. Alam semesta atau lingkungan hidup perlu dimanfaatkan dan dilindungi semata-mata untuk kepentingan manusia. Sumber daya alam yang terdapat dalam alam semesta dipandang sekedar sebagai obyek untuk pemenuhan kebutuhan manusia yang tidak terbatas.4 Selanjutnya menurut Takdir Rahmadi, wawasan pandang antropocentric telah mendapat tantangan dari kalangan aktivis gerakan lingkungan (environmentalists) karena dua alasan5: a.
Pertama, manusia bagian dari alam manusia hanyalah merupakan satu diantara species organis yang hidup dalam suatu sistem yang saling tergantung. Oleh sebab itu perlu dipertahankan berlakunya wawasan pandang yang melihat semua unsur-unsur dalam alam semesta sebagai suatu kesatuan. Kepedulian manusia seyogyanya tidak hanya terbatas pada diri manusia saja, tetapi juga diperluas meliputi makhluk-makhluk lain dalam alam semesta.
b.
Hewan-hewan sebagai makhluk alam yang seperti manusia juga mempunyai rasa sakit yang seharusnya diakui haknya sebagai suatu kaedah moral manusia. Kerusakan lingkungan hidup merupakan dampak sampingan dari tindakan
manusia untuk mencapai suatu tujuan yang mempunyai konsekwensi terhadap lingkungan hidup, sedangkan pencemaran lingkungan hidup adalah akibat
3
Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 9. 4 Ibid. 5 Ibid, h. 10.
4 ambiguitas tindakan manusia.6 Lebih jauh dalam permasalahan terhadap lingkungan hidup, manusia akhirnya berhadapan dengan dirinya.7 Timbulnya perusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup yang disebabkan oleh limbah B3 yang akan menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup, maka korban yang pertamanya ialah manusia. Setiap kegiatan manusia baik dalam riak kecil maupun dalam riak yang lebih besar dalam langkah yang insidentil maupun rutin selalu akan mempengaruhi lingkungan hidupnya.8 Manusia tidak akan lepas dari pengaruh lingkungan hidup baik yang datang dari alam sekitarnya (fisik maupun non fisik) dari hubungan antara individu ataupun antar masyarakat.9 Oleh karena itu, munculnya pabrik-pabrik, transportasi serta tumbuhnya industri di negara maju, pada hakikanya sekaligus juga akan menimbulkan pencemaran melalui limbah, asap (jelaga) atau kebisingan (noise) yang dihasilkan.10 Fenomena kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan hidup yang terus berlangsung di Indonesia sejak tiga dekade terakhir ini tidak saja telah menjadi bencana nasional, tetapi juga telah diakui menjadi masalah internasional karena kerusakan salah satu komponen sumber daya alam khususnya hutan tropis Indonesia sangat mempengaruhi perubahan iklim secara global.11 Dengan kata lain, pencemaran dan perusakan lingkungan hidup tidak hanya menjadi masalah nasional, tetapi telah menjadi masalah antar negara, regional dan global. Pencemaran yang 6
Koesnadi Hardjasoemantri, 2006, Hukum Tata Lingkungan, Edisi VIII, Cet. XIX, Gajah Mada University Press, Jogyakarta, h. 4. 7 Ibid. 8 N.H.T. Siahaan, 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Erlangga, Jakarta, h. 26. 9 Ibid. 10 Ibid, h. 27. 11 I. N. Nurjaya, 2008, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Perspektif Antropologi Hukum, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 94.
5 semakin luas, kadang-kadang melintasi batas negara dalam bentuk pencemaran air sungai, emisi udara, kebakaran hutan, pencemaran minyak di laut dan seterusnya.12 Contoh pembuangan limbah berbahaya di hulu sungai Rijn dapat memberi dampak pada Jerman dan Belanda, kebakaran hutan di Serawak akan merembet ke Kalimantan Barat.13 Perusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup pada dasarnya merupakan tanggung jawab pencemar. Dalam penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan maka sangat diperlukan aturan hukum yang memadai untuk dapat mengantisipasi pembangunan di bidang industri dan kerugian yang ditimbulkan oleh pencemar. Kadang kala juga terdapat kecendrungan penanggung jawab industri mengabaikan berbagai persyaratan lingkungan hidup seperti analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL), pemilikan dan pengoperasian Unit Pengelola Limbah (UPL) dan persyaratan lainnya. Cukup banyak kasus yang terjadi dimana UPL tidak dioperasikan dan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dibuang begitu saja ke media lingkungan hidup. 14 Memaknai dampak pembangunan dibidang perekonomian dan kesadaran umat manusia terhadap
lingkungan hidup, maka diadakanlah konferensi PBB
tentang lingkungan hidup tanggal 5-16 Juni 1972 di Stockholm yang dihadiri oleh 110 negara. Konferensi Stockholm tersebut membahas masalah lingkungan hidup
12
Andi Hamzah, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 8. 13 Ibid. 14 Mas Achmad Santosa, 1997, Penerapan Asas Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) di Bidang Lingkungan Hidup, ICEL, Jakarta, (selanjutkan disebut Mas Ahmad Santosa I) h. 121-122.
6 serta
mencari
jalan
keluar
agar
pembangunan
dapat
terlaksana
dengan
mempertimbangkan daya dukung lingkungan hidup.15 Latar belakang konferensi tersebut tidak terlepas dari gagasan Vittachi yang berpendapat bahwa peringatan Rachel Carson, dalam bukunya yang berjudul Silent Spring (1962) tentang bahaya penggunaan insektisida (and no birds sing) merupakan pemikiran yang pertama kali menyadarkan manusia mengenai lingkungan hidup.16 Deklarasi tersebut selanjutnya diikuti dengan Deklarasi Rio 1992 yang dihasilkan dalam konferensi lingkungan hidup dan pembangunan yang dilaksanakan PBB di Rio de Jenerio, 3-4 Juni 1992, merupakan penegasan konferensi Stockholm 1972. Tujuan konferensi adalah unutk mewujudkan kemitraan global yang baru dan adil melalui tahapan kerjasama yang baru dan erat diantara negara-negara berdasarkan keterpaduan konsep pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup serta kesadaran terhadap keterpaduan dan saling ketergantungan alam bumi tempat semua umat manusia berpijak.17 Deklarasi Rio Tahun 1992 dalam prinsipnya yang ke-218 menyebutkan bahwa setiap negara berdasarkan Piagam PBB dan prinsip-prinsip Hukum Internasional diakui memiliki kedaulatan penuh untuk memanfaatkan sumber daya alam mereka, sesuai dengan kebijakan lingkungan hidup dan pembangunan masing-masing. Setiap negara juga berkewajiban menjaga agar kegiatan yang berlangsung di wilayahnya atau berada dibawah pengawasannya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan 15
Siti Sundari Rangkuti, 2000, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi II, Airlangga University Press, Surabaya, h. 27. 16 Ibid, h. 27. 17 Ida Bagus Wyasa Putra, 2003, Hukum Lingkungan Internasional, Perspektif Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, Cet. I, h. 40. 18 Ibid.
7 hidup negara lain atau wilayah di luar batas national negara-negara. Prinsip ke-2 tersebut pada intinya mengamanatkan kepada negara-negara untuk memelihara lingkungan hidup agar tidak terjadi perusakan. Pembangunan yang diselenggarakan setiap negara wajib melestarikan fungsi lingkungan hidup, oleh karena lingkungan hidup yang sehat sangat dibutuhkan untuk generasi masa kini dan generasi masa depan. Masing-masing negara berkewajiban untuk menyelamatkan lingkungan hidup. Dua konferensi tersebut di atas telah membantu upaya penyadaran umat manusia betapa pentingnya lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi semua umat manusia di dunia. Perlindungan dan perbaikan lingkungan hidup adalah suatu pokok persoalan yang mempengaruhi kesejahteraan umat manusia dan perkembangan ekonomi seluruh dunia. Usaha melindungi serta memperbaiki lingkungan hidup manusia dipandang sebagai kehendak utama dari seluruh penduduk dunia dan merupakan kewajiban dari segenap pemerintah di dunia.19 Oleh karena semua umat manusia berkewajiban menyelamatkan lingkungan hidup, maka hal itu dapat dipandang sebagai kehendak umat manusia dan kewajiban pemerintah. Dari aspek hukum, konferensi PBB di Rio de Jenerio yang merupakan penegasan dari Konferensi Stokholm 1972 mengamanatkan agar tiap-tiap negara menyiapkan peraturan hukum dibidang lingkungan hidup. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang berusaha mengembangkan lingkungan hidup sebagai bagian integral dalam proses pembangunan. Di tengah kemelut ekonomi dunia yang
19
Abdurrahman, Op. Cit., h.1-2.
8 juga ikut mengganggu ekonomi Indonesia, komitmen bangsa Indonesia terhadap pengembangan lingkungan hidup-justru meningkat. Komitmen ini di tingkat nasional pada awalnya dituangkan dalam ketentuan Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.20 Dengan diaturnya hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (setelah amandemen) selanjutnya disingkat UUDNRI 1945, maka semua kebijakan negara c.q. Pemerintah wajib memperhatikan aspek hukum lingkungan hidup. Dalam risalah resmi RUU Pengelolaan lingkungan hidup dikemukakan pendapat Fraksi PDIP di DPR terhadap RUU usul inisiatif komisi VII antara lain pemerintah bertanggung jawab untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dengan demikian, secara konstitusional pengelolaan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab negara dan juga tanggung jawab seluruh masyarakat, segenap pelaku usaha swasta yang beroperasi di wilayah RI dan semua badan usaha milik negara, seluruh lintas sektor pemerintahan di pusat, di daerah secara terintegrasi dan holistik.21 Sejalan dengan hal itu, Fraksi partai Demokrat berpendapat bahwa pengelolaan lingkungan hidup merupakan tanggung jawab bersama yang harus dilaksanakan sebagai bagian dari masyarakat, bangsa dan negara Indonesia dalam rangka
20
Abdurrahman, Op. Cit, h. 5. Risalah Resmi Rancangan Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang UUPPLH, MPR-DPR, Jakarta, h. 50. 21
9 melaksanakan amanat konstitusi UUDNRI 1945 yang telah dituangkan dalam Pasal 28H ayat (1).22 Menurut pandangan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan bahwa merosotnya kualitas lingkungan hidup dan kepedulian terhadap lingkungan hidup telah mendapat perhatian masyarakat dunia. Berbagai kalangan terus-menerus melakukan gerakan dan promosi-promosi atau kampanye-kampanye mengenai lingkungan hidup.23 Hal ini dirasakan semakin penting jika dikaitkan dengan globalisasi yang melanda dunia dewasa ini yang melahirkan 3 (tiga) isu pokok yakni hak asasi manusia, demokrasi dan lingkungan hidup. Pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Konstitusi Indonesia dalam amandemen UUDNRI 1945 sudah menempatkan lingkungan hidup sebagai hak setiap orang dan sebagai asas perekonomian nasional (seperti tersebut dalam Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUDNRI 1945).24 Dalam penegakan hukum lingkungan maka dibutuhkan adanya komitmen melestarikan lingkungan hidup terhadap pembangunan yang akan dilakukan. Dalam penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2009 (UUPPLH), lingkungan hidup harus dikelola dengan baik.25 Bagi Indonesia yang banyak melakukan pembangunan,
22
Ibid, h. 51. Ibid, h. 54. 24 Ibid, h. 59. 25 Penjelasan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lingkungan Hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan, selain itu pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan hidup, disentralisasi serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearipan lokal dan kearipan lingkungan hidup, h. 72. 23
10 mengimplementasikan
pembangunan
yang
berwawasan
lingkungan
hidup
merupakan tanggung jawab pemerintah yang mengurus Negara Republik Indonesia, dan seluruh warga masyarakat wajib turut serta melestarikan lingkungan hidup termasuk ekosistemnya. Pada tingkat program aksi yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan, antara lain berupa penyelesaian dokumen Agenda 21 Indonesia pada akhir tahun 1996 sebagai pejabaran lebih lanjut Agenda 21 global hasil pertemuan internasional Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi Rio de Janeiro 3-14 Juni 1992.26 Dokumen itu berisi rekomendasi-rekomendasi untuk pembangunan berkelanjutan di Indonesia sampai tahun 2010 pada masingmasing sektor pembangunan, termasuk juga tentang masyarakat
pelayanan dan partisipasi
dalam pengelolaan lingkungan hidup.27 Agenda 21 Indonesia
memberikan inspirasi
bagi proses perencanaan pada semua tingkatan (nasional
maupun daerah) yang dilakukan melalui tindakan pemerintah, sektor swasta maupun melalui lembaga non pemerintah.28 Dalam kaitannya dengan keinginan dari konferensi tersebut jika dikaitkan dengan pelaksanaan pembangunan di Indonesia, maka salah satu hal yang harus dilakukan adalah mengambil langkah-langkah penyelesaian terhadap timbulnya kasus perusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Beberapa contoh kasus pencemaran yang telah dan sedang mendapat perhatian serius bangsa Indonesia saat ini adalah Kasus lumpur Lapindo, Kasus 26
I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Sistem Hukum Perijinan Berwawasan Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Cet. I, Bandung, h. 27. 27 Ibid. 28 Ibid.
11 Teluk Buyat Sulawesi Utara kasus limbah di perairan laut. Kasus lumpur Lapindo berupa semburan lumpur panas, muncul pertama kalinya pada 29 Mei 2006 sekitar pukul 05.00. WIB. Terjadi di areal persawahan Desa Siring, Kecamatan Porong. Kabupaten Sidoarjo sekitar 150 meter barat daya sumur Banjar Panji 1 yang dikerjakan oleh Lapindo Brantas Inc. Selama tiga bulan Lapindo Brantas Inc, melakukan pengeboran vertikal untuk mencapai formasi geologi yang disebut Kujung pada kedalaman 10.300 kaki.29 Sampai semburan lumpur pertama itu, yang dalam dunia perminyakan dan gas disebut blow out, telah mencapai kedalaman 9.297 kaki (sekitar 3,5 kilometer). Kedalaman ini dicapai pukul 13.00 WIB dua hari sebelum blow out. Kelaziman pada pengeboran di kedalaman tersebut, lumpur berat masuk pada lapisan disebut loss, yang memungkinkan terjadinya tekanan tinggi dari dalam sumur ke atas atau kick, antisipasinya menarik pipa untuk memasukkan casing yang merupakan pengaman sumur. Ketika penarikan pipa hingga 4.241 kaki, pada 28 Mei 2006 terjadi kick. Penanggulangan ini adalah dengan penyuntikan lumpur ke dalam sumur. Ternyata bor macet pada 3.580 kaki, dan upaya pengamanan lain dengan disuntikan semen. Bahkan pada hari itu dilakukan fish, yakni pemutusan mata bor dari pipa dengan diledakan. Kemudian yang terjadi adalah semburan gas dan lumpur pada subuh esok harinya.30 Kasus pencemaran perairan Teluk Buyat Sulawesi Utara, penyebabnya adalah pencemaran air laut akibat logam berat arsen (As) dan merkurium (Hg) yang telah 29
Depri, 2014, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Kasus Lumpur Lapindo, Available at : http://jurnalsrigunting.com/tag/kasus-lumpur-lapindo, Diakses 13 Juni 2014. 30 Ibid.
12 melebihi ambang batas yang ditetapkan. Terkait ini, PT Newmont Minahasa merupakan perusahaan yang dituding sebagai biang keladi pencemaran ini, karena membuang sailing (batuan dan tanah sia ekstraksi bijih emas) ke dasar laut di Teluk Buyat. Oleh itu, tragedi Minamata yang pernah terjadi di Jepang pada 1960-an, dapat terjadi di Indonesia kini.31 Saat itu, terjadi pencemaran merkurium dalam kadar tinggi di Teluk Minamata, Jepang. Dampaknya, masyarakat sekitar yang mengkonsumsi ikan menderita penyakit gangguan saraf dan kanker yang terjadi setelah sekian belas tahun perusahaan batu baterai dan aki yang ada di sana beroperasi. Lepas dari tudingan minor, yang jelas industri pertambangan memang menjadi salah satu faktor utama di balik maraknya pencemaran lingkungan hidup. Bahkan, industri ini juga turut andil dalam perusakan kawasan hutan lindung. Konfirmasi, menurut siaran pers Walhi pada 10 April 2002 bahwa kawasan hutan lindung atau konservasi yang saat ini benar-benar sudah terancam keberadaannya diantaranya : hutan lindung Pulau Gag-Papua yang sudah resmi menjadi lokasi proyek PT. Gag Nickel/BHP, Tahura Poboya-Paneki oleh PT Citra Palu Mineral/Rio Tinto, Palu (Sulawesi Tenggara) dan juga Taman Nasional Meru Betiri di Jember, Jatim, oleh PT Jember Metal Banyuwangi Mineral dan PT. Hakman.32 Ribuan ton limbah diantaranya terkontaminasi bahan beracun dan berbahaya dapat mencemari daratan dan perairan Indonesia. Sebagian limbah diimpor dari sejumlah negara, yang berisiko bagi lingkungan hidup dan kesehatan. Di perairan 31
Edy Purwo Saputro, 2004, Bersikap Arif atas Kasus Teluk Buyat, Available at: http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file%3Ffile%3Ffile%3Ddigital/blob/ F15002/Bersikap%2520Arif%2520atas%2520Kasus%2520Teluk%2520BuyatMl.htm&sa=U&ei=zXmaU8uRKYT58QWj4KgAw&ved=0CB4QFjACOB4&usg=AF QjCNHKcwhlgE-GZgYQim8iNegguTerA, diakses 13 Juni 2014. 32 Ibid.
13 utara Jakarta, misalnya gumpalan minyak secara berkala mengapung di laut terbawa angin ke pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Tak hanya mengganggu pemandangan, limbah cucian lambung kapal tanker itu juga merusak lingkungan hidup dan mengancam biota laut.33 Hal yang sama ditemui di perairan sekitar Pulau Batam, Kepulauan Riau. Batam tergolong rentan dimasuki limbah karena posisinya yang terbuka dan berbatasan langsung dengan negara lain. Salah satu kasus yang hingga kini belum tuntas adalah timbunan 3.800 ton ampas tembaga di sebelah Kantor Camat Sagulung, Batam, yang diimpor dari Korea Selatan tahun 2009. Dua warga negara Korsel dan satu warga negara Indonesia menjadi tersangka. Hingga kini, pihak perusahaan bersikukuh limbah itu adalah pasir besi, bahan pembersih karat kapal.34 Selain pemaparan kasus-kasus tersebut, kasus lingkungan hidup yang dapat dicermati dalam perspektif international antara lain kasus Agent Orange, kasus Strom King, kasus Tarrey Canyon, kasus Trail Smelter. Kasus Agent Orange (1987) merupakan kasus yang diajukan oleh ribuan veteran perang Vietnam terhadap penghasil pabrik kimia beracun yang mempergunakan bahan tersebut sebagai defolian dalam perang Vietnam. Kasus ini dinamakan dengan kasus Agent Orange yaitu salah satu jenis dioksin sebagai penyebab timbulnya kerugian dan penderitaan fisik maupun emosional.35
33
Masnellyarti Hilman, 2014, Ribuan Ton Limbah Berisiko, Available at : http://www.kemenperin.go.id/artikel/3185/Ribuan-Ton-Limbah-Berisiko, Diakses : 13 Juni 2014. 34 Ibid. 35 Mas Ahmad Santosa, 1997, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan (Class Action), ICEL, (selanjutnya disebut Mas Ahmad Santosa II), h. 84.
14 Kasus Strom King di New York Amerika, suatu perusahaan swasta yang bergerak di bidang penyediaan tenaga listrik, yaitu : consolidate edison di New York telah mencoba sejak tahun 1962 untuk membangun industri pusat listrik tenaga air di Strom King di Houdson Higlands. Rencana tersebut telah mengundang reaksi dari berbagai pihak. Mula-mula dengan alasan merusak keindahan alam, tetapi kemudian ditambah dengan alasan bahwa instalasi tersebut
secara potensial dapat
mencemarkan air di sekitarnya dan ikan dapat musnah.36 Kasus tentang kandasnya kapal tangki Tarrey Canyon tahun 1967 di Selat Inggris yang menimbulkan tumpahan minyak dalam jumlah besar telah mengakibatkan pencemaran dan kerusakan pantai Inggris secara parah dan kegiatan tersebut tergolong kegiatan dengan resiko tinggi dan berbahaya.37 Selanjutnya dalam kasus Trail Smelter (1938), As. Vs Kanada kasus trail smelter (trail smelter case) bermula dari kasus pencemaran udara yang diakibatkan oleh sebuah perusahaan pupuk milik warga negara Kanada yang dioperasikan di wilayah Kanada dekat sungai Columbia, lebih kurang 10 mil menjelang perbatasan Kanada dan Amerika Serikat. Mulai tahun 1920 produksi emisi perusahaan tersebut terus meningkat. Emisi tersebut mengandung sulfur dioksida menyebarkan bau logam dan seng yang sangat menyengat. Pada tahun 1930 jumlah emisi tersebut mencapai lebih dari 300 ton sulfur setiap hari. Emisi tersebut karena dibawa angin bergerak ke wilayah AS melalui limbah sungai Columbia dan menimbulkan berbagai akibat merugikan
36 37
Koesnadi Hardjasoemantri, Op.Cit, h. 404. Koesnadi Hardjasoemantri, Op. Cit., h. 417.
15 terhadap sawah, air dan udara, kesehatan serta berbagai kepentingan penduduk Washington lainnya.38 Ilustrasi kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa pembangunan juga dapat membawa dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Oleh karena itu, pembangunan di Indonesia tidak menutup kemungkinan timbul perusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang mengandung limbah berbahaya dan beracun (B3). Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berhasil membawa perbaikan standar hidup masyarakatnya, pertumbuhan ekonomi tersebut banyak dilakukan dengan cara-cara yang dalam jangka panjang dapat merusak lingkungan hidup.39 Di
Indonesia
kegiatan
dalam
rangka
meningkatkan
pertumbuhan
pembangunan40 dan perekonomian dengan memanfaatkan sumber daya alam terlebih lagi dalam pengembangan otonomi daerah41, globalisasi dan perdagangan bebas membuka daya tarik investor dalam maupun luar negeri menanamkan modalnya di Indonesia. Investasi yang dilakukan sering kali bertolak belakang dengan harapan yang dihasilkannya atau tidak jarang mengorbankan aspek lingkungan hidup yang sesungguhnya memiliki peranan sangat penting guna keberlanjutan pembangunan yang diidam-idamkan. Kelestarian lingkungan hidup beserta fungsinya tidak jarang semakin hari mengalami degradasi atau penurunan kualitas maupun kuantitas akibat
38
Ida Bagus Wyasa Putra, Op. Cit, h. 45. Marhaeni Ria Siombo, 2007, Hukum Lingkungan Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, Gramedia Pustaka utama, Jakarta, h. 60. 40 Pembangunan sebagai suatu akses untuk mentransformasikan suatu kondisi ke kondisi yang lain dalam pengertian yang lebih baik. 41 Dampak otonomi terhadap lingkungan hidup seringkali terjadi dalam rangka mendapatkan pendapatan asli daerah. 39
16 orientasi pembangunan yang dilaksanakan kurang memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup serta kurang memperhatikan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan berbagai unsur pembangunan. Inti permasalahan lingkungan hidup adalah hubungan makhluk hidup, khususnya manusia dengan lingkungan hidupnya. Ilmu tentang hubungan timbal balik makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya disebut ekologi. Oleh karena itu permasalahan lingkungan hidup pada hakikatnya permasalahan ekologi.42 Dengan demikian, terdapat keterkaitan erat antara hak atas pembangunan (right to development) dengan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUDNRI 1945. Pasal 28 H ayat (1) mengatakan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Perumusan Pasal 28 H ayat (1) ini menunjukkan bahwa UUDNRI 1945 sangat menghormati adanya hak asasi manusia yaitu hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat, karena itulah UUDNRI 1945 sangat pro lingkungan hidup sehingga dapat disebut sebagai konstitusi hijau (green constitution). Ketentuan Pasal 28 H ayat (1) UUDNRI 1945 berarti norma lingkungan hidup sudah mengalami konstitusionalisasi menjadi materi muatan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Dengan demikian segala kebijakan dan
42
Otto Soemarwoto, 2008, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Cet. Ke-11, Penerbit Jambatan, Bandung, h.22.
17 tindakan pemerintahan dan pembangunan haruslah tunduk pada ketentuan mengenai hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.43 Konsepsi mengenai ruang lingkup ekosistem mempunyai korelasi yang sangat erat dengan Pasal 33 ayat (4) UUDNRI 1945 yang menyebutkan bahwa “perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan hidup, kemandirian serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. 44 Berdasarkan rumusan Pasal 33 ayat (3) secara ekstensif ditafsirkan bahwa lingkungan hidup haruslah dikelola untuk kepentingan pembangunan berdasarkan prinsip-prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup (pro-environment) sehingga bernuansa hijau atau pro lingkungan hidup (green constitution).45 Kerusakan tata ekologi separah yang terjadi saat ini, tidak akan pernah terjadi apabila paradigma pembangunan tidak dilihat sebagai sesuatu yang bertolak belakang dengan persoalan lingkungan hidup, melainkan sebagai sesuatu tujuan bersama dalam menuntaskan masalah kemiskinan, keterbelakangan dan masalah ekonomi. Fakta-fakta yang telah penulis uraikan dan pentingnya hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat menggambarkan betapa pentingnya penerapan prinsip strict liability (selanjutnya disebut asas tanggung jawab langsung) terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang mengandung limbah berbahaya dan beracun juga ancaman serius terhadap lingkungan hidup yang dapat 43
Jimly Asshiddiqie, 2009, Green Constitution Nuansa Hijau UUD NRI 1945, Rajawali Press, Jakarta, (selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie I), h. 91. 44 Ibid, h. 182 45 Ibid.
18 menimbulkan kerugian disamping orang perorangan juga masyarakat. Masyarakat yang ingin mengajukan gugatan ganti rugi, akibat perusakan dan pencemaran lingkungan hidup berlaku ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, hubungannya dengan beban pembuktian dalam hal perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup, beban pembuktian dibebankan kepada pencemar bukan kepada penggugat. Disini terjadi apa yang dinamakan pembalikan pembuktian (omkering van bewijslast, shifting of burden of proof).46 Persoalan beban pembuktian dalam Hukum Acara Perdata merupakan persoalan yuridis yang dapat menimbulkan akibat hukum. Ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata tersebut apabila dipegang teguh akan sangat berat bagi salah satu pihak yang disuruh membuktikan yang dapat merugikan. 47 Ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata dengan beban pembuktian kesalahan yang harus dibuktikan oleh penggugat dan tidak mengenal beban pembuktian terbalik ini berarti tergugat tidak ada kewajiban untuk membuktikan kesalahannya. Jadi konsep pertanggungjawaban perdata menurut hukum perdata Indonesia ialah konsep tradisional yang dapat dipersamakan dengan liability based on fault. Doktrin pertanggungjawaban tradisional
tersebut
tidak
mampu
mengantisipasi
kegiatan-kegiatan
yang
mengandung risiko besar (significant risk).48 Mempertahankan doktrin pertanggungjawaban perdata liability based on fault, di Indonesia pihak yang merasa dirugikan yaitu penggugat dalam kasus-kasus
46
Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat, Cet. I, Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), h. 114. 47 Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 117. 48 Mas Achmad Santosa I, Op. Cit., h.124.
19 lingkungan hidup biasanya memiliki latar belakang ekonomi lemah maupun pendidikan rendah, sehingga sangatlah tidak adil apabila mereka dibebani pembuktian tentang pencemaran dan keterkaitannya dengan kerugian yang mereka alami.49 Oleh karenanya, mempertahankan doktrin pertanggungjawaban tradisional untuk kasus-kasus yang memiliki resiko tinggi tidak akan mendorong masyarakat berperan serta dalam penegakan hukum lingkungan hidup. 50 Pasal 1365 KUH Perdata adalah konsep yang berdasarkan atas kesalahan (liability based on fault, schuld aansprakelijkeheid) artinya kesalahan dipakai dasar untuk melakukan tuntutan. Membuktikan adanya kesalahan tidaklah mudah karena harus lebih dahulu dibuktikan hubungan sebab akibat (causality) antara perbuatan pencemaran dengan kerugian dari si penderita. Dalam penyelesaian masalah lingkungan hidup, kewajiban membuktikan atau menjelaskan hubungan sebab-akibat dari perbuatan si pencemar dengan korban merupakan hal yang sulit.51 Menganalisis suatu pencemaran membutuhkan penjelasan yang bersifat ilmiah, teknis, dan khusus, maka membuktikan hubungan sebab akibat dalam kasus pencemaran justru lebih menyulitkan. Oleh karena itu, penerapan sistem pertanggungjawaban yang bersifat biasa tidaklah mencerminkan rasa keadilan.52 Kesulitan dalam mengumpulkan alat-alat bukti dalam penyelesaian kasuskasus lingkungan yang berhubungan dengan tindakan yang mengancam secara serius kelestarian lingkungan hidup dengan asas tanggung jawab langsung telah disadari oleh pembuat undang-undang. Hal ini dapat disimak dengan telah diaturnya asas tanggung jawab langsung dalam penyelesaian beberapa kasus lingkungan pada Pasal 49
Mas Achmad Santosa I, Loc. Cit. Mas Achmad Santosa I, Loc. Cit. 51 NHT. Siahaan, Op. Cit, h. 311. 52 NHT. Siahaan, Loc. Cit. 50
20 88 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jo penjelasannya.53 Dengan kata lain, asas tanggung jawab langsung sebenarnya sudah diatur dalam hukum materiil, namun amat disayangkan terdapat kekosongan hukum (rechtvacuum) dalam hukum formil yang berfungsi menegakkan hukum materiil. Secara teoritis, seharusnya ketentuan hukum formil harus diadakan, karena hukum formil berfungsi menegakan hukum materiil. Berkaitan dengan kekosongan hukum tersebut, menurut fiksi dari tata hukum yang memiliki kekosongan maka hukum yang berlaku tidak dapat diterapkan pada kasus kongkrit karena tidak ada norma umum yang sesuai dengan kasus ini. Ide ini secara logis berarti tidak mungkin mengaplikasikan hukum valid yang ada kepada kasus kongkrit karena tidak adanya premis yang dibutuhkan.54 Dalam hubungan ini dikembangkan pemikiran bahwa pihak legislatif menyadari kemungkinan bahwa norma umum yang dibuat mungkin untuk beberapa kasus menjadi tidak adil atau menghasilkan sesuatu yang tidak diharapkan. Hal ini karena legislator tidak dapat melihat semua kasus kongkrit yang mungkin dapat terjadi, maka dia kemudian mengotorisasi organ pelaksana hukum tidak untuk mengaplikasikan norma umum yang dibuat tersebut, tetapi untuk membuat suatu norma baru dalam kasus pelaksanaan norma umum yang dibuat legislatif akan memiliki hasil yang tidak memuaskan.55 Lebih lanjut formula hakim diotorisasi untuk bertindak sebagai legislatif jika aplikasi dari norma umum yang ada terlihat tidak adil, memberikan keleluasaan pada hakim, mungkin hakim menemukan banyak kasus, dimana norma 53
Prinsip Tanggung Jawab Mutlak dengan Istilah Strict Liability diatur pada Pasal 88 jo Penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 54 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Cet. Kedua, 2012, Konstitusi Press (Konpress), Jakarta, h. 119. 55 Ibid, h. 119-120.
21 yang dibuat legislator tidak cocok. Formula tersebut menurunkan sebagian besar legislator menjadi urusan hakim, inilah alasan mengapa legislator menggunakan fiksi kekosongan hukum.56 Dalam kaitannya dengan kekosongan hukum, maka dibutuhkan model dan prinsip hukum yang visioner dan progresif sebagai perpaduan antara civil law dan common law. Alasannya menurut sistem civil law yang dianut di Indonesia, walaupun hakim dilarang menciptakan atau membuat hukum, karena menurut sistem ini hakim hanya dapat menerapkan hukum atau undang-undang. Setelah mencari undang-undang yang sesuai dengan fakta itu sebagai landasan hukumnya namun persoalannya dalam praktek jika hakim tidak menemukan undang-undang atau undang-undang tidak jelas mengatur kasus tersebut justru hakim harus menerobos sistem civil law, yakni hakim itu harus mampu secara profesional menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya berdasarkan penemuan hukum oleh hakim. Disini hakim telah menggunakan sistem common law. 57 Konsekuensi kekosongan hukum tersebut, maka tugas hakim menerima, memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara dengan alasan Undang-Undang atau hukum tidak mengatur, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa melainkan wajib untuk memeriksa sesuai dengan asas ius curia novit yaitu asas hakim dianggap tahu hukum. Dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dikemukakan pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
56
Ibid, h. 120. Binsar M. Gultom, 2012, Pandangan Kritis Seorang Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.53. 57
22 Hakim dalam melakukan penemuan hukum wajib berpedoman pada asas-asas Hukum Acara Perdata. Pentingnya asas tanggung jawab langsung dalam hukum lingkungan hidup yang telah diatur dalam konvensi-konvensi internasional dan telah diratifikasi kedalam Undang-Undang lingkungan hidup, sehingga perangkat Hukum Acara Perdata harus diadakan untuk menerapkan asas tanggung jawab langsung. Dengan
semakin
banyaknya
persoalan-persoalan
yang
menyangkut
kepentingan umum terjadi serta dengan berkembangnya industri dan perdagangan jasa, serta penanggung jawab usaha tidak siap dengan teknologi yang modern terhadap usaha yang dijalankannya, maka tidak menutup kemungkinan terjadi pencemaran dan usahanya menghasilkan limbah berbahaya dan beracun (B3). Oleh karena itu, pada hakikatnya asas tanggung jawab langsung mempunyai fungsi dan manfaat yang penting dalam penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan. Pencemaran dan perusakan terhadap lingkungan hidup yang disebabkan oleh limbah berbahaya dan beracun (B3) akan membawa dampak secara meluas pada masyarakat. Masyarakat yang mengalami kerugian dan ingin memperjuangkan haknya ke pengadilan harus mengajukan gugatan. Hukum Acara Perdata dalam HIR dan RBg hanya mengatur gugatan yang diajukan oleh orang perorangan atau setiap masyarakat yang dirugikan haruslah mengajukan gugatan sendiri-sendiri ke pengadilan dengan membuat surat kuasa khusus. Dalam penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan pihak yang dirugikan adalah masyarakat, tentunya pengaturannya yang demikian sudah tidak sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya murah. Masyarakat dalam jumlah besar yang mengalami kerugian, tuntutannya sejenis, fakta hukumnya sama saat ini telah diakui hak gugatnya ialah mengajukan gugatan perwakilan yang dikenal dalam sistem hukum anglo saxon.
23 Class action atau gugatan perwakilan merupakan suatu cara untuk memberikan suatu akses kepada masyarakat, kepada keadilan, karena sifatnya sejalan dengan prinsip-prinsip peradilan cepat, praktis dan murah.58 Walaupun secara historis perkembangan class action dimulai dari sistem hukum anglo saxon (common law) namun kebutuhan class action merupakan kebutuhan universal bagi seluruh bangsa yang kini sedang memasuki tahap-tahap pembangunan yang sangat pesat dengan segala resiko yang dihadapinya.59 Pemasaran barang yang semakin lama semakin agresif,
kecanggihan
tehnologi
dan
kebutuhan
akan
pembangunan
serta
industrialisasi mengakibatkan pula mass accident atau mass injuri sangatlah besar. Gugatan
perwakilan dengan
berbagai
kemanfaatannya
sudah
perlu
dikembangkan dalam peraturan perundang-undangan nasional, terutama undangundang yang menyangkut serta terkait dengan kepentingan publik/khalayak luas dan masyarakat kecil.60 Dalam kaitannya dengan tugas hakim menegakan hukum dan keadilan serta pengemban asas ius curia novit, maka ia berfungsi rechtsvinding (menemukan hukum) dalam hal terjadi kekosongan hukum. Demikian pula terkait penerapan gugatan perwakilan, maka fungsi rechtsvinding tersebut tidak boleh dibatasi semata-mata pada hukum materiil melainkan juga hukum formil, sehingga dalam kontek sistem hukum yang berlaku di Indonesia dalam bidang Hukum Acara Perdata pada saat ini ketentuan prosedural mengenai prosedur beracara perdata dengan gugatan perwakilan yang belum diatur harus diadakan.
58
Mas Achmad Santosa II, Op. Cit., h. 23. Mas Achmad Santosa II, Loc. Cit. 60 Mas Achmad Santosa II, Loc. Cit. 59
24 Mencermati dinamika kebutuhan masyarakat akan hukum yang memberikan rasa keadilan, khususnya berkenaan dengan haknya atas lingkungan hidup yang sehat sebagaimana telah diatur dalam UUDNRI 1945, maka
asas tanggung jawab
langsung harus diatur dalam hukum formil guna dipakai pedoman oleh hakim untuk menerapkan asas tanggung jawab langsung atas kegiatan-kegiatan pembangunan yang berisiko tinggi tehadap lingkungan hidup. Pada pihak lain, hal itu juga dibutuhkan untuk menutupi kelemahan dari prinsip pertanggungjawaban tradisional yang mensyaratkan penggugat membuktikan kesalahan tergugat. Dari uraian-uraian sebelumnya, tampak hukum yang ada belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat akan nilai keadilan sebagaimana tujuan hukum yang juga memberikan nilai kepastian dan kemanfaatan. Secara filosofis, produk hukum di bidang lingkungan hidup perlu mengatur secara tegas upaya hukum yang dapat dilakukan masyarakat yakni class action dan legal standing. Class action dapat memfasilitasi kelompok masyarakat yang dirugikan oleh adanya kerusakan lingkungan hidup dan pencemaran. Legal standing memungkinkan adanya upaya hukum oleh masyarakat untuk melawan perusak lingkungan hidup meskipun tidak ada kerugian yang dirasakan oleh masyarakat secara langsung. Produk hukum di bidang Lingkungan Hidup seharusnya mampu menjadi landasan hukum yang lebih sesuai dengan semangat zaman dan konfrehensif bagi pengelolaan lingkungan hidup terkait dengan pemanfaatannya bagi kualitas kehidupan secara lebih bertanggung jawab.
Hukum yang ditetapkan di bidang
Lingkungan Hidup diharapkan juga mengatur semua pihak yang terkait dalam pengelolaan lingkungan hidup, baik pemerintah, pebisnis dan masyarakat luas.
25 Dengan demikian, lingkungan hidup yang dikelola, ditata, dan dipelihara dengan baik diharapkan dapat menunjang pembangunan nasional berwawasan lingkungan hidup berlandaskan norma atau hukum yang mampu menyadarkan kita sebagai makhluk hidup yang memiliki nilai lebih dibandingkan makhluk hidup lainnya. Penegakan hukum yang hanya mendasarkan pada kepastian hukum tanpa menyadari perkembangan dinamika sosial yang menghendaki perubahan pada substansinya saat ini telah dirasakan kurang memenuhi rasa keadilan dan penegakan hukumnya tidak jarang sangat merugikan masyarakat. Kebutuhan akan pengaturan yang memberikan rasa keadilan membuka kemungkinan untuk dilakukan perubahan terhadap aturan hukum tersebut, atau membuka celah bagi hakim untuk menemukan hukumnya yang dapat memberikan rasa keadilan pada masyarakat. Oleh karena itu, asas tanggung jawab langsung perlu dikembangkan dalam penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan di Indonesia. Hal itu sangat bermanfaat bagi masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak hukum yang berkeadilan dibandingkan dengan asas tanggung jawab berdasarkan kesalahan menurut sistem hukum perdata Indonesia. Asas tanggung jawab langsung sangat bermanfaat pada masyarakat kecil yang lemah ekonomi dan permodalannya serta akan dapat membangkitkan tanggung jawab masyarakat untuk ikut berperan serta aktif dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup. Asas tanggung jawab langsung dianggap perlu dalam lalu lintas hukum modern untuk memungkinkan diselenggarakan berbagai hal yang membawa tanggung jawab terlalu besar (extra hazardous activity) dan dilihat dari segi masyarakat (internasional) dinilai bermanfaat, sehingga tanpa strict liability dianggap
26 kurang memberi proteksi bagi pelaku (polluter) maupun korban.61 Dengan digunakannya asas tanggung jawab langsung sebagai suatu instrumen hukum yang baru, maka hambatan-hambatan yang dialami pihak penderita dapat diatasi. Berdasarkan sistem ini, pembuktian tidak lagi dibebankan pada pihak pengklaim (korban yang dirugikan, sebagaimana yang selama ini lazim dianut, tetapi dibebankan pada pelaku perbuatan melanggar hukum). Disini berlaku asas pembuktian terbalik (omkerings van bewijslast).62 Hal lain yang dapat dicatat sangat menguntungkan korban ialah secara asumtif si pelaku telah dinyatakan bertanggung jawab terlepas dari apakah ia bersalah atau tidak. Ini merupakan perkembangan pesat dalam ilmu hukum. Selama ini unsur kesalahan (fault mensrea) selalu merupakan dasar pertanggungjawaban klaim dari suatu kerugian.63 Dalam mengajukan gugatan ganti rugi untuk mendapatkan konpensasi, tidak lagi mengalami kesulitan-kesulitan dalam mengumpulkan alat-alat bukti, problematik filosofis keadilan bagi masyarakat sebagai pihak korban tidak lagi dipinggirkan, bahkan lebih dikedepankan dalam memperjuangkan hak-haknya di pengadilan. Segala usaha yang terkait dengan hukum mutlak harus diarahkan untuk menemukan sebuah sistem hukum yang paling cocok dan sesuai dengan prinsip keadilan.64 Dipilihnya asas tanggung jawab langsung dalam judul disertasi ini ialah bermula dari perkembangan dan penerapan kedua istilah strict liability den absolute liability timbul perbedaan. Pada istilah absolute liability tidak ada alasan-alasan
61
N.H.T. Siahaan, Op. Cit., h. 317. N.H.T. Siahaan, Op. Cit., h. 318. 63 N.H.T. Siahaan, Loc. Cit. 64 H.M. Efran Helmi Juni, 2012, Filsafat Hukum, Pustaka Setia, Bandung, 62
h. 406.
27 pemaaf, sebaliknya strict liability ada alasan-alasan pemaaf. Istilah tanggung jawab langsung dalam menterjemahkan strict liability ialah merupakan perkembangan dari diskursus hukum positif Indonesia. Penajaman dalam menterjemahkan istilah strict liability dan absolut liability ialah untuk lebih memudahkan dalam memaknai dan menerapkan dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan. Absolute liability diterjemahkan dengan istilah tanggung jawab mutlak atau absolut, sedangkan strict liability dengan istilah tanggung jawab langsung yang mengarah ke pembuktian terbalik. Dengan uraian latar belakang di atas, maka penelitian melalui disertasi ini dengan judul “ASAS TANGGUNG JAWAB LANGSUNG (STRICT LIABILITY) DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN KEPERDATAAN (Studi Gugatan Perwakilan)” menjadi menarik dan aktual untuk dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah diuraikan, ada dua rumusan masalah yang diteliti dalam disertasi ini yaitu : 1. Apakah hakikat asas tanggung jawab langsung dan pengembangannya dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan? 2. Apakah menurut doktrin hukum hakim dapat melakukan penemuan hukum formil dalam penerapan asas tanggung jawab langsung pada gugatan perwakilan?
28 1.3 Tujuan Penelitian Mengenai tujuan penelitian ini dapat diklasifikasikan atas tujuan umum dan tujuan khusus sebagai berikut :
1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalan untuk menemukan pemikiran secara filosofis teoritis terhadap asas tanggung jawab langsung dalam dimensi hukum dan kebudayaan. Disamping itu, penelitian ini juga untuk memahami dan menganalisis prosfek pengembangan asas tanggung jawab langsung dalam penyelesaian kasuskasus lingkungan hidup di Indonesia.
1.3.2 Tujuan Khusus Sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini, maka tujuan khusus yang ingin dicapai adalah : a). Untuk menganalisis dan menemukan hakikat asas tanggung jawab langsung dalam penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan. b). Untuk menganalisis dan menemukan landasan teoritik yuridis tindakan hakim dalam melakukan penemuan hukum di bidang hukum formil terkait penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan melalui penerapan asas tanggung jawab langsung pada gugatan perwakilan. 1.4. Manfaat Penelitian Mengenai manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini dapat dibedakan atas manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut :
29 1.4.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan Hukum, khususnya bidang Hukum Lingkungan Keperdataan berupa acuan teoritik terhadap hakikat prinsip tanggung jawab langsung. Disamping itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat sebagai dasar pengembangan keilmuan Ilmu Hukum dalam penemuan hukum formil oleh hakim guna menerapkan asas tanggung jawab langsung pada penyelesaian kasuskasus lingkungan hidup melalui gugatan perwakilan. 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada beberapa pihak sebagai berikut : a). Bagi hakim, hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan dalam hal menghadapi atau mengisi kekosongan hukum dalam hukum formil dan dapat dipergunakan sebagai pedoman oleh hakim dalam proses beracara perdata di pengadilan guna penerapan asas tanggung jawab langsung pada gugatan perwakilan; b). Bagi pembuat undang-undang dan pihak pemerintah yang memiliki kompetensi dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan, hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi dan pertimbangan untuk menyempurnakan produk hukum di bidang lingkungan hidup maupun dalam hal beracara menyelesaikan kasus perdata di pengadilan melalui gugatan perwakilan; c). Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi dan rujukan dalam hal beracara menyelesaikan kasus lingkungan hidup keperdataan di pengadilan melalui gugatan perwakilan.
30 1.5 Orisinalitas Penelitian Dalam menjaga orisinalitas dari penelitian disertasi ini maka telah dilakukan penelusuran melalui internet dan penelitian ke beberapa perpustakaan maupun bukubuku untuk meneliti aspek kesamaan baik judul ataupun permasalahan hukumnya dari beberapa disertasi maupun tesis dari beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa belum ada yang menulis dan meneliti tentang asas tanggung jawab langsung dalam penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan (studi gugatan perwakilan kelompok). Namun demikian, beberapa penelitian yang terkait dapat diketemukan dalam beberapa penelitian sebelumnya, antara lain sebagai berikut : 1. Hari Purwadi, dengan judul disertasi : Gugatan Kelompok (Class action) dalam Tata Hukum Indonesia (Studi tentang Transflantasi Gugatan Kelompok dari Tradisi Common law ke Supra Sistem Budaya Masyarakat Indonesia), telah diterbitkan dalam buku dengan judul Gugatan Kelompok (Class action) di Indonesia. Transplantasi dari Tradisi Common law ke Supra Sistem Budaya Masyarakat Indonesia. Adapun mengenai rumusan masalahnya adalah: a. Bagaimana memfasilitasi transplantasi prosedur gugatan kelompok dalam supra sistem budaya masyarakat Indonesia ? b. Sampai pada tingkat apa transplantasi prosedur gugatan kelompok dalam supra sistem budaya masyarakat Indonesia itu dilakukan ? c. Perubahan-perubahan prosedural bagaimanakah yang diperlukan untuk melakukan transplantasi gugatan kelompok sehingga signifikan dengan
31 konteks hukum, sosial, kultural saat ini dan kemungkinan terjadinya perubahan di masa mendatang? 2. Laporan hasil penelitian dari Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil M.A. RI 2009 dengan judul : Class Action dari Citizen Law Suit. Adapun mengenai pokok masalahnya adalah: a. Bagaimana penerapan PERMA No. 1 tahun 2002 mengatur tentang makanisme gugatan perwakilan kelompok (class action) dan urgensi PERMA tersebut sehingga patut dipertahankan dalam penerapannya di Indonesia ? b. Bagaimana efektivitas PERMA No. 1 tahun 2002 dalam kurun waktu 7 tahun keberlakuan PERMA tersebut ? c. Untuk mengetahui pendapat para hakim yang menjadi responden dalam penelitian ini apakah sudah cukup gugatan citizen law suit dipahami secara kritis dan mendalam berdasarkan putusan-putusan yang ada ? 3. E. Sundari, dengan judul : Pengajuan Gugatan Secara Class action (Suatu Studi Perbandingan
dan
Penerapannya
di
Indonesia),
Universitas
Atmajaya,
Yogyakarta, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, 2002. Pada buku tersebut diuraikan perlunya suatu studi perbandingan prinsip-prinsip class action yang ada di beberapa negara yang menganutnya, serta penelaan tentang implementasi prinsip dan prosedur class action yang terdapat dalam wacana sistem Hukum Acara Perdata Indonesia. 4. Dessy Andrea Muslim, Universitas Diponegoro, Semarang, tesis dengan judul “Penerapan Asas Tanggung Jawab Mutlak dalam Kasus Lingkungan Hidup di Pengadilan Negeri”. Adapun rumusan masalahnya adalah :
32 a. Bagaimana penerapan asas tanggung tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam kasus lingkungan hidup di Pengadilan Negeri? b. Faktor-faktor apa saja yang menentukan digunakannya asas tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam kasus lingkungan hidup di Pengadilan Negeri tersebut? c. Hambatan-hambatan apa saja yang ditemui dalam penerapan asas tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam kasus lingkungan hidup di Pengadilan Negeri tersebut? 5. Eva Novianty, dari Universitas Indonesia, Jakarta, tesis dengan judul ”Analisis Ekonomi Dalam Penggunaan Gugatan Strict Liability Kasus Lumpur Lapindo”. Adapun rumusan masalahnya adalah : a. Apakah kasus Lapindo merupakan perbuatan melawan hukum? b. Bagaimana pertanggungjawaban korporasi dikaitkan dengan penerapan asas strict liability dalam kasus kerusakan lingkungan hidup? c. Apakah penerapan asas strict liability dapat memberikan keuntungan ekonomi (economic benefits) dan pemulihan ekonomi (economic recovery)? Apabila dibandingkan dengan penelitian penulis baik dari judul maupun rumusan masalahnya maka beberapa penelitian di atas tidak dijumpai memiliki kesamaan, sehingga orisinalitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.
1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penulisan disertasi ini ialah penelitian hukum normatif yang beranjak kekosongan hukum formil (hukum acara)
33 dalam menegakkan hukum materiil terkait instrumen hukum strict liability yang diatur pada Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH). Dengan kata lain, penelitian ini membahas tentang hakikat asas tanggung jawab langsung
dan
pengembangannya dalam penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan melalui gugatan perwakilan. 1.6.2 Pendekatan Masalah Ada beberapa jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian disertasi ini, yakni : 1. Pendekatan Perundang-undangan (statuta approach) Alasan dipergunakannya pendekatan perundang-undangan (statuta approach) dalam penelitian disertasi ini ialah ingin mengkaji dan menelaah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengaturan asas tanggung jawab langsung dan penemuan hukum formil (hukum acara). Hal ini dilakukan karena adanya kekosongan hukum formil (hukum acara) dalam menegakkan hukum materiil. Dalam pendekatan perundang-undangan maka hukum diposisikan sebagai suatu sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut : a.
Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait antara satu dengan yang lainnya secara logis.
b.
All inclusive, kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak ada kekurangan hukum
c.
Systematic, bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lainnya, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarchis.65
65
Johny Ibrahim, 2012, Metode Penelitian Hukum Normatif, Cet. Keenam, Bayu Media Publishing, Malang, h. 303.
34 2. Pendekatan Konseptual (conceptual approach) Konsep adalah unsur-unsur yang memiliki kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi yang kadang kala menunjuk pada hal-hal yang universal yang diabstraksikan dari hal-hal yang partikular.66 Alasan dipergunakannya pendekatan konseptual (conseptual approach) dalam penelitian disertasi ini ialah untuk mendapatkan pemahaman yang benar atas seluruh konsep-konsep yang terkait diantaranya konsep penegakan hukum lingkungan hidup, konsep penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan, konsep tanggung jawab langsung dan konsep gugatan perwakilan. Pendekatan konsep juga dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal itu dilakukan karena memang belum ada atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi.67
3.
Pendekatan Filsafat (Filosophical Approach) Alasan dipergunakannya pendekatan filsafat dalam penelitian ini ialah untuk
dapat menelaah secara menyeluruh, mendalam, dan replektif terhadap hakikat asas tanggung jawab langsung dalam penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan. Disamping itu, pendekatan filsafat juga dilakukan untuk mengkaji secara mendalam dasar teoritis yuridis tindakan hakim dalam melakukan penemuan hukum formil (hukum acara) maupun dalam menerapkan asas tanggung jawab langsung pada penyelesaian gugatan perdata di bidang lingkungan hidup melalui gugatan perwakilan.
66
Ibid, h. 303. Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I), h. 137. 67
35 4.
Pendekatan sejarah (historical approach) Mengenai alasan mempergunakan pendekatan sejarah dalam penelitian ini
adalah untuk dapat mengetahui secara historis perkembangan asas tanggung jawab langsung dalam penegakan Hukum Lingkungan. Dalam kaitan itu, penerapan pendekatan ini akan dapat memberikan kemanfaatan sebagai berikut : The aim of a legal historical research question can be to acyuire legal knowledge about the historical functioning of a particular legal rule institution. Howefer, it can also serve as a source of inspiration for solutions to current problems of legal questions. Legal historical research can provide arguments to uncover developments that can be useful in assessing current legal rules.68 (Terjemahan bebeasnya : Tujuan dari pertanyaan penelitian hukum sejarah dapat memperoleh pengetahuan hukum tentang fungsi sejarah lembaga aturan hukum tertentu. Namun, juga dapat berfungsi sebagai sumber inspirasi bagi solusi untuk masalah saat pertanyaan hukum. Penelitian sejarah hukum dapat memberikan argumen atau mengungkap perkembangan yang dapat berguna dalam menilai aturan hukum saat ini). Melalui pendekatan sejarah akan dapat diketahui perkembangan asas tanggung jawab langsung yang berguna dalam menilai perkembangan instrumen hukum itu saat ini 5.
Pendekatan perbandingan (comparative approach) Alasan dipergunakannya pendekatan perbandingan dalam penulisan disertasi
ini ialah untuk memahami penerapan asas tanggung jawab langsung (strict liability) dalam sistem hukum Anglo Saxon yang dikenal di Amerika. Demikian pula terkait dengan penerapan gugatan perwakilan dalam sistem hukum Indonesia yang polanya mengarah ke Eropa Continental dengan sistem civil law akan dibandingkan dengan penerapannya di Amerika yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon. Pada intinya penggunaan pendekatan perbandingan dalam penelitian ini untuk membandingkan tradisi sistem hukum Anglo-Saxon (Amerika) yang telah mengenal asas tanggung 68
Ian Curry. Summer, et.al., Juli 2010, Research Skills Instruction for Lawyers, School of Law Uttracht university, Nijmegea, h. 5.
36 jawab langsung dan gugatan perwakilan yang nanti dapat dipakai sumber dalam penelitian asas tanggung jawab langsung dan gugatan perwakilan dalam sistem Hukum Indonesia yang lebih mengembangkan prinsip-prinsip hukum Eropa Continental dengan sistem civil law. Menurut Johnny Ibrahim, pendekatan perbandingan merupakan suatu cara dalam penelitian hukum normatif untuk membandingkan salah satu lembaga hukum (legal institution) dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum (yang kurang lebih sama dari sistem hukum) yang lain.69 Perbandingan tersebut dapat diketemukan unsur-unsur persamaan dan perbedaan kedua sistem hukum itu. Persamaan menunjukkan inti lembaga hukum yang diselidiki, perbedaan disebabkan adanya perbedaan iklim, suasana dan sejarah masing-masing bangsa yang bersangkutan dengan sistem hukum yang berbeda.70 Pendekatan
perbandingan
menggunakan
komparasi
mikro
dengan
membandingkan isi aturan hukum negara lain yang spesifik dengan aturan hukum yang diteliti dapat juga diterapkan dalam rangka mengisi kekosongan dalam hukum positip. Penelitian itu hanya dilakukan terhadap unsur-unsur yang dapat dibandingkan (tertium comparationis) dengan bahan hukum yang menjadi fokus penelitian.71 Perbandingan makro merujuk pada studi mengenai dua atau lebih sistem hukum secara keseluruhan. Perbandingan mikro biasanya merujuk pada studi mengenai topik-topik atau aspek-aspek dari dua atau lebih dari sistem hukum.72
69
Johnny Ibrahim, Op. Cit, h. 313. Johnny Ibrahim, Loc. Cit. 71 Johnny Ibrahim, Op. Cit, h. 315. 72 Peter de Cruz, 2010, Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law dan Socialist Law, Cet. I, Nusa Media, Bandung, h. 325. 70
37 Dengan demikian, penelitian ini akan melakukan perbandingan hukum dengan sistem hukum Anglo Saxon (khususnya Amerika). 6.
Pendekatan Kasus (case approach) Pendekatan kasus dipergunakan dengan tujuan untuk menelaah penerapan
norma-norma atau kaedah-kaedah hukum dalam putusan hakim. Dalam Ratio Decidendi putusan hakim, mengenai pertimbangan hukum, akan dijumpai atau kelihatan titik berdiri dari hakim. Tentu dalam pertimbangan hukum terurai argumentasi hukum untuk menjastifikasi putusan itu.73 Dengan demikian pendekatan kasus akan menelaah putusan hakim yang berkaitan dengan penemuan hukum formil (hukum acara) dalam beberapa kasus terkait.
1.6.3 Sumber Bahan Hukum Dalam penelitian disertasi ini bahan hukum yang dipergunakan untuk membahas kedua masalah penelitian bersumber dari : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum dan mengikat. Dalam kaitan penelitian ini, bahan hukum primer yang diteliti antara lain berupa : 1) Undang-Undang Dasar 2) Undang-Undang 3) Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang 4) Traktat-traktat 73
I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran Hukum dan Argumentasi Hukum (Legal Reasoning and Legal Argumentation Introduction). Cet. I, Bali Age, Denpasar, (selanjutnya disebut I Dewa Gede Atmadja I), h. 65.
38 5) Konvensi Internasional 6) Yurisprudensi b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan hukum yang menunjang bahan-bahan hukum primer. Dalam kaitan penelitian ini, bahan hukum sekunder yang diteliti adalah yang terkait dengan permasalahan penelitian, antara lain berupa : 1) Karya-karya ilmiah 2) Hasil-hasil penelitian 3) Doktrin-doktrin 4) Jurnal c. Bahan hukum tertier Bahan hukum tertier merupakan bahan-bahan hukum yang menunjang bahanbahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tertier dipakai sebagai petunjuk untuk memahami bahan hukum primer dan sekunder, antara lain berupa Ensiklopedi, Kamus Bahasa Belanda, Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Tehnik yang dipergunakan untuk mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder dan tersier dalam penelitian ini adalah dengan sistem kartu (card system). Bahan-bahan hukum terlebih dahulu dipelajari dan bahan hukum yang relevan dengan pokok permasalahan kemudian dicatat dan dituangkan dalam kartu-kartu kecil untuk dicatat identitas buku, pendapat penulis terkait permasalahan dalam disertasi ini, beserta nomor halaman pemuatannya, disertai beberapa catatan kecil
39 dari peneliti. Informasi yang telah diperoleh terus dikembangkan ke sumber-sumber bahan hukum lainnya melalui tehnik bola salju untuk mendapatkan informasi atau bahan hukum selengkap mungkin terkait permasalahan yang diteliti.
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum Mengenai teknik analisis terhadap bahan hukum primer, sekunder, dan tertier dalam penelitian disertasi ini adalah dengan teknik deskriptif analitis. Kedua permasalahan yang diteliti yakni terkait hakikat asas tanggung jawab langsung dalam penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan dan penemuan hukum formil (hukum acara) oleh hakim guna penerapan asas tanggung jawab langsung pada gugatan perwakilan akan dianalisis secara deskriptif analitis. Bahan hukum dari hasil penelusuran terhadap penerapan
asas tanggung
jawab langsung pertama-tama akan dideskripsikan untuk selanjutnya diberikan argumentasi serta dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan terkait dengan instrumen hukum asas tanggung jawab langsung yang belum diatur secara komfrehensif dalam UU No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH). Dengan demikian, analisisnya tidak sematamata pada pemahamam hakikat asas tanggung jawab langsung, namun juga berkaitan dengan jenis-jenis kegiatan beserta kualifikasi ancaman serius terhadap lingkungan hidup yang dalam hal ini merugikan masyarakat dapat digugat dengan menerapkan asas tanggung jawab langsung. Sebagai contoh, penerapan asas tanggung jawab langsung tersebut dari pendekatan konseptual masih dijumpai multi tafsir. Untuk mendapatkan pengertian konsep hukum yang jelas dalam hal ini terdapat perbedaan pandangan antara strict liability, absolute liability. Untuk mencegah multi interpretasi terhadap konsep-konsep hukum tersebut dan untuk dapat mengetahui
40 hakikat dari asas tanggung jawab langsung, tujuan dan manfaatnya maka dapat ditelusuri melalui pendekatan sejarah untuk menilai aturan hukum tersebut. Demikian juga analisis dilakukan terkait terjadinya kekosongan hukum (rechts vacuum) dibidang hukum formil yang berfungsi menegakkan hukum materiil karena belum mencerminkan asas-asas hukum pada umumnya dan asas-asas hukum dalam bidang Hukum Acara Perdata
maupun nilai-nilai keadilan. Mengenai
kekosongan hukum (rechts vacuum) dalam hukum formil melalui pendekatan sejarah dilakukan dengan memahami pembahasan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH) di badan legislatif. Secara umum dijumpai ternyata hukum formil belum dinormakan dalam Undang-Undang lingkungan hidup, yang seharusnya ketentuan hukum materiil mengatur ketentuan hukum formil wajib diadakan. Mengenai hakikat dan penemuan hukum formil dapat dianalisis secara menyeluruh, mendalam, reflektif terhadap asas tanggung jawab langsung dan akhirnya dapat diketahui nilai-nilai keadilan, dan kefaedahannya dalam penegakan hukum lingkungan hidup. Melalui pendekatan perbandingan dapat diketahui persamaan dan perbedaannya. Di negara-negara maju asas tanggung jawab langsung sudah diterapkan dalam praktek, dan telah ditegaskan ruang lingkup kegiatankegiatan yang sangat serius, sedangkan dalam Undang-Undang lingkungan hidup kita belum ada seperti itu. Pertimbangan-pertimbangan hukum dari putusan hakim dapat diketahui bagaimana menelaah pertimbangan-pertimbangan hukum putusan tersebut. Demikian juga dapat diketahui pada umumnya pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat limbah B3 dan ancaman serius terhadap lingkungan hidup,
41 adapun yang menjadi korban dalam hal ini ialah masyarakat. Upaya hukum yang paling tepat dipergunakan untuk menuntut ganti rugi ialah dengan mengajukan gugatan perwakilan. Demikian juga dalam hukum pembuktian karena membuktikan zat kimia sangat sulit dan memerlukan biaya yang mahal, asas tanggung jawab langsung tepat diterapkan untuk mengatasi hal tersebut, karena pihak korban (masyarakat) tidak perlu diwajibkan untuk membuktikan kesalahan pencemar. Akhirnya dari analisis 2 (dua) isu permasalahan tentang hakikat hukum dan penemuan hukum formil oleh hakim dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier dapat ditarik kesimpulan dan beberapa saran yang perlu dipertimbangkan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.
42 BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA KONSEPTUAL, DAN KERANGKA BERPIKIR
2.1 Kerangka Teoritik 2.1.1 Teori Negara Hukum sebagai Grand Theory Dipilihnya Teori Negara Hukum sebagai Grand Theory terlebih dahulu perlu dijelaskan apakah yang dimaksudkan dengan Grand Theory. Menurut Harkristuti Harkrisnowo, model teori yang dikonstruksi ditataran ide-ide yang imajinatif, model teori semacam ini disebut sebagai Grand Theory. Dalam daya jangkauan keberlakuannya, komunitas teori ini ternyata sangat berada jauh dari kontekstualisasi empirik (realitas faktual) sebab apa yang benar bagi teori ini adalah sesuatu yang kodrati (orisinal) oleh sebagian orang dikatakan bahwa model teori ini bercorak imperatif dan normatif. Karena itu orang juga menyebut model teori ini dengan sebutan teori ”apriori”.74 Lebih jauh diuraikan teori ini adalah teori yang sudah benar dengan sendirinya (sudah self evident). Karena sudah benar dengan sendirinya maka atas kebenaran dalil-dalilnya orang tidak perlu lagi melakukan pembuktian-pembuktian (empirikal). Ibarat sepotong lilin yang memijarkan cahaya yang atasnya orang tidak perlu lagi memerlukan cahaya lainnya untuk memaparkan bahwa lilin itu memang memijarkan cahaya.75 Oleh Atmadja menjelaskan Grand Theory mempunyai fungsi :
74
Herman Bakir, 2005, Kastil Teori Hukum, PT. Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta, h. 30. 75 Ibid. 42
43 1.
Substansial yaitu merupakan nilai-nilai yang melandasi bagaimana aturan hukum itu eksis.
2.
Menjelaskan legitimasi eksistensi suatu norma hukum Teori Negara Hukum sebagai Grand Theory, salah stu pilar negara hukum
ialah supremasi hukum (hukum yang tertinggi), terkait dengan hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang telah diatur dalam Konstitusi UUDNRI 1945 harus dijamin perlindungannya dalam konstitusi. Dengan diaturnya HAM atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam Pasal 28 H ayat (1) UUDNRI 1945 ini harus ada aturan hukum yang dapat menjamin keadilan terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat dan korban (masyarakat) dapat memperjuangkan hak-haknya secara adil dimata hukum akibat pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang mengandung limbah berbahaya dan beracun (B3) serta ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Alasan-alasan dipilihnya Teori Negara Hukum sebagai Grand Theory: Pertama, dalam pembukaan UUDNRI 1945 alenia IV berbunyi kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu UUD Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan
44 yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah atas tanah air Indonesia maka negara mempunyai kewajiban untuk mengayomi hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Demikian juga dalam Pasal 33 ayat (4) yang menyatakan perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi
ekonomi
dengan
prinsip
kebersamaan,
efisiensi,
berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Oleh karena itu kebijakan pemerintah dan pelaksanaan demokrasi ekonomi wajib memberikan pengayoman atas lingkungan hidup yang baik dan sehat atas dasar prinsip berwawasan lingkungan. Kedua, diakuinya hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam Pasal 28 H ayat (1) UUDNRI 1945 yang menetapkan ”setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Ketiga, diaturnya hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam UUD 1945, berarti negara berkewajiban memberi perlindungan hukum untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum terhadap lingkungan hidup dan masyarakat. Jaminan hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, haruslah diikuti dengan proses penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan yang adil berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Keempat, terbentuknya Negara Indonesia sebagai negara hukum, dalam hal ini Negara Indonesia tidak boleh
45 mengurangi arti dan makna kebebasan dasar HAM yaitu perlindungan HAM atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Jika terjadi pelanggaran dan negara tidak dapat mengatasi secara adil, negara tersebut tidak dapat disebut sebagai negara hukum. Kelima, belum tercerminnya prinsip keadilan dan kepastian hukum dalam sistem peradilan dan beban pembuktian yang menyangkut kasus-kasus lingkungan hidup yang serius dan mengancam kelangsungan ekosistem. Keenam, ketidakadilan ini dapat dilihat dengan jelas, mengingat adanya kekosongan hukum dalam bidang hukum formil yang berfungsi menegakkan hukum materiil. Ketujuh, diperlukannya asas tanggung jawab langsung dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan untuk dapat terjaminnya keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat akibat adanya perusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup. Ide Negara Hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh filsuf zaman Yunani Kuno. Plato pada awalnya dalam the Republik berpendapat bahwa adalah mungkin mewujudkan negara ideal untuk mencapai kebaikan yang berintikan kebaikan.76 Lebih jauh kekuasaan harus dipegang oleh orang yang mengetahui kebaikan, yaitu seorang filosuf (the philosopher king). Namun dalam bukunya the statesmen dan the law, Plato mengatakan bahwa yang dapat diwujudkan bentuk paling baik kedua (the second best) yang menempatkan supremasi hukum.77 Aristoteles mengartikan Negara Hukum sebagai negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan bagi warga negaranya. Aristoteles mengemukakan dalam pengertian negara hukum maka warga negara dikonsepsikan ikut serta dalam 76
Jimly Asshiddiqie, 2012, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Cet. Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie II), h. 129. 77 Ibid.
46 permusyawaratan negara (ecclesia). Dengan kata lain warga negara secara aktif ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.78 Pada masa Romawi, pemikiran tentang hukum lebih banyak diperankan oleh praetor, khususnya sejak akhir abad ke-2 sebelum Masehi. Meskipun saat itu sudah dikenal adanya undang-undang (legislation) namun jumlahnya sangat terbatas dan yang paling terkenal adalah kodifikasi yang dinamakan Twelve Tables.79 Para Praetor-lah yang memutuskan apa hukumnya terhadap suatu perkara kongkrit tertentu yang dihadapkan kepadanya, sehingga mereka dapat membatasi atau memperluas ketentuan yang terdapat dalam legislasi. Pembentukan hukum oleh para praetor ini dinamakan ius honorarium. Sedangkan menurut Cicero, dengan lebih menekankan hukumnya, maka yang dianggap memerintah bukan individu atau orang yang kebetulan menjadi pejabat pemerintah (magistrate).80 Pada abad pertengahan terjadi pertentangan antara pemikiran yang lahir pada masa-masa awal hingga pertengahan dengan pemikiran yang lahir pada menjelang akhir abad itu. Ada beberapa hal penting yang dijumpai pada masa pertentangan pemikiran tersebut:81 Pertama, hukum dikonsepsikan sebagai apa yang dititahkan oleh penguasa yang dibuat berdasarkan nalar dan ditujukan untuk kebaikan bersama (Thomas Aquinas). Kedua, penguasa dipahami harus tunduk pada hukum. Ketiga, adanya pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak individual tertentu.
78
I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-hak Konstitusional Warga Negara, Cet. Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut I Dewa Gede Palguna I), h. 43. 79 Ibid, h. 50. 80 Ibid, h. 50-51. 81 Ibid, h. 63.
47 Pada abad Pencerahan dan masa Liberalisme, terdapat beberapa pemahaman terhadap konsep Negara Hukum:82 Pertama, konsep Negara Hukum mencakup persoalan tentang sumber atau dasar legitimasi tindakan pemerintah, yakni adanya persatuan rakyat (gagasan populer consent). Kedua, konsep Negara Hukum juga mencakup persoalan tentang struktur pemerintahan yang baik, yakni bahwa kekuasaan pemerintahan (dalam arti yang luas) yang meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial yang tidak boleh berada di satu tangan melainkan harus dipisahkan (gagasan separation of powers). Khusus untuk kekuasaan yudikatif, selain harus dipisahkan juga harus independence (gagasan independence of the judicary). Ketiga, konsep Negara Hukum mencakup pengaduan hak-hak individual yang tidak begitu saja dapat diambil atau dilanggar oleh pemerntah maupun oleh individu (gagasan penghormatan dan perlindungan HAM). Secara historis, maka dijumpai ada beberapa istilah tentang negara hukum dalam bahasa asing. Istilah-istilah yang dimaksudkan adalah sebagai berikut: a. dalam Bahasa Belanda, istilahnya Rechtsstaat yang digunakan untuk menunjuk tipe negara hukum yang diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Continental atau Civil Law System. b. dalam Bahasa Inggris menggunakan istilah Rule Of Law untuk menunjuk tipe negara hukum dari Negara Anglo Saxon atau di negara-negara yang menganut common law system (Inggris, Amerika dan Negara-negara bekas jajahan Inggris),
82
Ibid, h. 79.
48 sedangkan tipe negara hukum yang diterapkan di negara-negara sosialis komunis menggunakan istilah socialist legality (antara lain: Rusia, RRC dan Vietnam).83 Sebelum atau pra perubahan ketiga UUD NRI 1945 adapun prinsip negara hukum Indonesia ditegaskan dalam penjelasan UUD NRI 1945 yang menentukan bahwa, negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Apa yang ditunjukkan dalam penjelasan UUD NRI 1945 ialah negara hukum berasal dari istilah bahasa Belanda (Rechtsstaat) lawan kata dari machtsstaat.84 Rechtsstaat atau negara hukum diartikan negara yang penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan prinsip-prinsip hukum untuk membatasi kekuasaan pemerintahan, dibalik itu machtsstaat diartikan negara yang dalam penyelenggaraan pemerintahannya dijalankan berdasar pada kekuasaan belaka.85 Berkenaan dengan kedua istilah negara hukum tersebut, istilah The Rule of law lebih populer daripada istilah rechtsstaat. Unsur-unsur rechtsstaat terdiri atas 4 unsur : a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia b. Negara didasarkan atas Trias Politika (pemisahan kekuasaan negara atas kekuasaan legislatif, eksekutif dan kekuasaan yudisial) c. Pemerintahan didasarkan atas Undang-Undang (wetmatigeheid van bestuur), dan d. Ada peradilan administrasi negara yang berwenang menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige 86 overheidsdaad).
83
I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi, Problematik Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD NRI 1945, Edisi Revisi, Setara Press, Malang, (selanjutnya disebut I Dewa Gede Atmadja II), h. 157. 84 Ibid, h. 158. 85 Ibid. 86 Ibid, h. 159.
49 Di balik itu adapun unsur-unsur The Rule of law menurut AV Dicey terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu : a. Supremasi hukum (supremacy of law) b. Persamaan dimuka hukum (equality before the law) c. Hak asasi individu (individual rights) tidak memerlukan peradilan administrasi, karena peradilan umum dianggap berlaku untuk semua orang baik bagi warga negara maupun pejabat pemerintah.87 Dari segi teori atau konsepsi negara hukum Marjane dengan mengutip pendapat Parenboon mengemukakan disisi lain pengertian negara hukum atau rule of law dibedakan atas : a. Negara hukum dalam arti sempit (rule of law in the narrow sense) adalah negara yang didasarkan pada prinsip bahwa penyelenggaraan pemerintahan dibatasi oleh hukum tertulis atau Undang-Undang (seperti di Jerman, dinamakan Gezetzsstaat, Belanda, disebut rechtsstaat, Indonesia dinamakan negara Undang-Undang). b. Negara hukum dalam arti luas (rule of law in the broad sense) adalah suatu negara yang idealnya dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dalam dimensi hukum yang adil (good law or right) ditekankan pada elemen konstitusi dan judicial review (pengujian Undang-Undang).88 Berdasarkan kedua pengertian di atas, ada dua teori rule of law yang dapat diidentifikasi, yaitu : a. The Thin Theory of Law, lebih mendekati pengertian Negara Hukum dalam arti sempit. Inti teori ini penekanannya pada aspek formal atau instrumen dari Rule of 87 88
Ibid. Ibid, h. 160.
50 Law, dan ciri utamanya berfungsinya sistem hukum tertulis atau Undang-Undang secara efektif dan netral dari aspek moralitas politik. Artinya negara hukum tanpa memandang apakah negara itu sistem politiknya demokrasi atau non demokrasi, ideologinya libral-kapitalis, sosialis-komunis atau teokrasi. b. The Thick Theory Rule of Law disebut juga konsep negara hukum substantif. Thick Theory of Law intinya suatu negara disamping harus memenuhi elemenelemen dasar suatu negara hukum formal juga penekanannya pada elemenelemen moral politik, seperti unsur sistem ekonomi yang dianut (misalnya ekonomi kapitalis, pasar-bebas, sistem ekonomi berencana secara sentralistis atau sistem ekonomi sosialisasi, sistem ekonomi negara-negara sedang berkembang di Asia atau pariasi lain dari sistem ekonomi kapitalis), unsur karakter pemerintahan (demokrasi, sosialisasi, otokrasi lunak) dan konsepsi mengenai HAM atau Human Rights) libertarian, libral klasik, libral dengan penekanan pada kesejahteraan sosial, komunitarian atau HAM dengan nilai-nilai asia).89 Prinsip-prinsip
negara
hukum
yang
berkembang
yang
mengikuti
perkembangan masyarakat dan negara, menurut Uttrecht membedakan dua macam negara hukum yaitu negara hukum formil atau negara hukum klasik dan negara hukum materiil atau negara hukum modern.90 Negara hukum formal menyangkut pengertian hukum yang bersifat formal dan sempit. Yaitu dalam arti peraturan Perundang-undangan tertulis. Tugas negara adalah melaksanakan peraturan Perundang-undangan tersebut untuk menegakkan ketertiban. Tipe negara tradisional
89
Ibid, h. 161. Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, (selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie III), h. 396. 90
51 ini dikenal dengan istilah negara penjaga malam.91 Sedangkan pengertian negara hukum material termasuk pengertian yang lebih luas termasuk keadilan di dalamnya. Tugas negara tidak hanya menjaga ketertiban dengan melaksanakan hukum, tetapi juga mencapai kesejahteraan rakyat sebagai bentuk keadilan (welfarestate).92 Dalam kaitan di atas, Brian Z. Tamanaha mengemukakan sebagai berikut: It is possible to lay out the alternative theoretical formulations of the rule of law in circulation today. There is no shortage of competing formulations, but they can be pared down to two basic categories, known by theorists as “formal” versions and “substantive versions,” each coming in the three distinct forms. 93 Dengan demikian dikemukakan sangat mungkin untuk menjabarkan formulasi teori alternatif dari konsep rule of law dewasa ini. Pada dasarnya menurut Brian Z. Tamanaha, ada dua kategori formulasi yaitu versi formal dan versi substantive. Secara lengkap Brian Z. Tamanaha menjabarkan kategorinya sebagai berikut: a. Versi formal : 1. Rule of law The thinnest formal version of the rule of law is the notion that law is the means by which the state conducts its affairs, “that whatever a government does, it should do through laws.”94 (Terjemahan bebasnya : Tingkatan terendah dari konsepsi formal hukum adalah bahwa hukum merupakan sebuah sarana yang digunakan Negara untuk melakukan kegiatannya, bahwa apapun yang dilakukan oleh pemerintah harus dilakukan melalui hukum).
91
Ibid, h. 396-397. Ibid, h. 397. 93 Brian Z. Tamanaha, 2004, On The Rule Of Law History, Politics, Theory, Cambridge University Press, New York, h. 91. 94 Ibid, h.92. 92
52 2. Formal Legality (Legalitas formal) Tingkatan selanjutnya dari konsepsi ini adalah legalitas formal, dimana mengharuskan formulasinya harus berdasarkan pada asas umum, prospectif, jelas dan pasti. 3. Democracy + Legality Tingkatan paling tinggi atau yang terakhir dari konsesp ini adalah Democracy + Legality. The third and last formal version of the rule of law adds democracy to formal legality. Like formal legality, democracy is substantively empty in that it says nothing about what the content of law must be. It is a decision procedure that specifies how to determine the content of law.95 Bahwasanya demokrasi diperlukan bukan karena keberadaannya terlihat pada isi dari hukum, melainkan karena prosedur pembuatan hukum tersebutlah yang harus mengusung konsep demokrasi. b. Versi substantif: 1. Individual Rights (Hak-hak individu) The most common substantive version includes individual rights within the rule of law.96 Bahwasanya, hak-hak individu merupakan hal yang umum dalam versi substantif dari konsepsi rule of law yang dimana didalamnya biasanya terkandug konsep properti, kontrak dan privasi. 2. Right of Dignity and /or justice (Hak atas martabat dan /atau keadilan) Merupakan jaminan akan dihargainnya hak untuk memiliki martabat dan hak atas keadilan. 95 96
Ibid, h.99 Ibid, h. 102
53 3. Sosial welfare (kesejahteraan sosial) The thickest substantive version of the rule of law incorporate formal legality, individual rights, and democracy, but add a further qualitative dimension that might be roughly categorized under the label “social welfare rights.” (Terjemahan bebasnya : dalam versi substantive, hal yang paling tinggi bukan hanya masalah legalitas formal, hak-hak individu dan demokrasi tetapi juga kesejahteraan sosial). Merujuk pendapat Brian Z. Tamanaha di atas, ada tiga substansi sentral dalam ciri-ciri negara hukum baik yang berkembang dalam teori dan / praktek di negara-negara Eropa Daratan (sebagaimana tampak konsepsi rechtstaat dan etat de droit) maupun di negara-negara Anglo Saxon, dalam hal ini Inggris dan Amerika Serikat (sebagaimana tampak dalam konsepsi rule of law). 97 Ketiga substansi sentral tersebut adalah : 1. Substansi yang memuat gagasan bahwa pemerintah (dalam arti kata luas) dibatasi oleh hukum 2. Substansi yang memuat gagasan tentang legalitas formal 3. Substansi yang memuat gagasan bahwa hukumlah yang memerintah atau berkuasa, bukan manusia.98 Semua ciri-ciri negara hukum dikembalikan pada ketiga substansi central negara hukum itu. Substansi pertama ini ialah membatasi kekuasaan penguasa. Pemerintah dibatasi oleh hukum yang berarti aparat atau pejabat negara harus bekerja dalam suatu kerangka yang batas-batasnya ditentukan oleh hukum. Substansi kedua gagasan tentang legalitas formal yaitu menekankan pada adanya suatu tata tertib yang terikat pada aturan-aturan yang dibuat dan dipertahankan oleh negara. 97 98
I Dewa Gede Palguna I, Op. Cit., h. 93-94. I Dewa Gede Palguna I, Op. Cit,, h. 94.
54 Sedangkan pada substansi ketiga mengandung pengertian, bahwa hidup di bawah negara hukum bukanlah untuk tunduk pada tingkah laku tak terduga yang dilakukan oleh individu-individu lain, apakah itu raja, hakim, aparat negara atau sesama warga negara.99 Berkaitan dengan fungsi dari negara hukum yang melindungi dan memberi keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi masyarakat dalam memberi perlindungan terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat, yaitu mengikuti ciri-ciri negara hukum yang selalu berkembang, sesuai dengan perkembangan masyarakat. Prinsipprinsip negara hukum, senantiasa berpusar di dua isu pokok yaitu : masalah pembatasan kekuasaan dan perlindungan hak asasi manusia, sehingga ada 12 prinsip pokok yang menjadi pilar utama penyangga negara hukum, yakni : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Supremacy hukum (supremacy of law). Persamaan dalam hukum (equality before the law). Asas legalitas (due proces of law) . Pembatasan kekuasaan. Organ-organ pendukung yang independen. Peradilan bebas tidak memihak. Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Negara (constitutional court). Perlindungan HAM. Bersifat demokratis (democratische rechtstaat). Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan negara (welfare rechtsstaat) Transparansi dan kontrol sosial.100
Dari kedua belas prinsip-prinsip negara hukum tersebut dalam kaitannya dengan perlindungan hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, Jaminan HAM harus diikuti penegakan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Terbentuknya negara tidak boleh mengurangi arti dan makna kebebasan dasar dan hak asasi. Dengan perkataan lain, jika suatu negara HAM terabaikan atau 99
I Dewa Gede Palguna I, Op. Cit, h. 94-95, 98. Jimly Asshiddiqie II, Op. Cit, h. 132.
100
55 pelanggaran terhadapnya tidak dapat diatasi secara adil maka negara itu tidak dapat disebut negara hukum dalam arti yang sesungguhnya.101 Pengaruh paham kedaulatan rakyat dan demokrasi dapat mempengaruhi perkembangan prinsip-prinsip Negara Hukum. Prinsip-prinsip negara hukum (nomocratie) dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dijalankan secara beriringan sebagai dua sisi dari satu mata uang. Paham negara hukum yang demikian disebut sebagai negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) atau dalam bentuk konstitusional disebut constitutional democracy.102 Dalam kaitannya dengan fungsi negara ialah memenuhi kepentingan warga negara sekaligus melindungi kepentingan warga negara yang lain. Negara diberikan kekuasaan untuk mempromosikan kepentingan warga negara dan mengatur pemenuhan kepentingan tersebut atau bahkan membatasinya jika dapat merugikan kepentingan warga negara yang lain.103 Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 disebutkan Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yang diperjuangkan di negeri ini ialah suatu negara hukum dalam artian yang materiil, the rule of just law, yang bertujuan untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum jasmaniah dan rohaniah. Berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang benar dan adil, sehingga hak-hak dasar warga negara betul-betul dihormati (to respect), dilindungi (to protect) dan dipenuhi (to fulfill).104 Selanjutnya negara hukum yang hendak diwujudkan minimal ada tiga elemen yaitu :
101
I Dewa Gede Palguna I, Op. Cit, h. 109. Jimly Asshiddiqie II, Op. Cit., h. 398. 103 Jimly Asshiddiqie II, Loc. Cit. 104 Abdul Muktie Fadjar, 2013, Membangun Negara Hukum yang Bermartabat, Cet. I, Setara Press, Malang, h. 5. 102
56 1. Pengakuan dan perlindungan HAM, yaitu hak yang inherent pada kodrat manusia yang melekat pada pribadi manusia sejak manusia dilahirkan, untuk mempertahankan nilai dan martabatnya sebagai manusia (human worth and dignity). 2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak, dalam artian bahwa hakim (pengadilan) yang akan menangani peradilan harus bebas dari campur tangan, pengaruh dan tekanan kekuasaan apapun, baik legislatif, eksekutif, hakim/pengadilan yang lebih tinggi, partai politik, militer dll, serta juga pengaruh dan godaan materi (uang). 3. Dianutnya asas legalitas, dalam artian bahwa setiap tindakan, tingkah laku, dan perbuatan baik penguasa maupun warga negara harus berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku baik tertulis maupun tidak tertulis.105 Mengenai Indonesia adalah Negara Hukum, apabila dilihat dari latar belakang sejarahnya baik konsep the rule of law maupun konsep rechsstaat lahir dari suatu usaha atau perjuangan menentang kesewenangan penguasa, sedangkan Negara Republik Indonesia sejak dalam perencanaan berdirinya jelas-jelas menentang segala bentuk kesewenangan atau absolutisme.106 Baik konsep “the rule of law” maupun konsep “rechtsstaat” menempatkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai titik sentral, sedangkan untuk Negara Republik Indonesia, pada waktu pembahasan Undang-Undang Dasar 1945 tidak dikehendaki masuknya rumusan hak-hak asasi manusia ala Barat yang individualitis sifatnya. Bagi Negara Republik Indonesia yang menjadi titik sentral adalah keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.107 Dari asas ini berkembang elemen lain dari Negara Hukum Pancasila yaitu terjalinnya hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara, penyelesaian sengketa secara musyawarah, sedangkan peradilan merupakan sarana
105
Ibid, h. 6. Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Cet. I, Peradaban, Surabaya, h. 79. 107 Ibid. 106
57 terakhir dan hak-hak asasi manusia tidaklah hanya menekankan hak atau kewajiban, tetapi terjalinnya suatu keseimbangan antara hak dan kewajiban.108 Dalam hubungannya Negara Hukum dengan HAM, maka Pasal 1 ayat (3) jo. Pasal 28 UUD 1945 menunjukkan Negara Hukum Indonesia mengakui, melindungi, dan menghormati keberadaan HAM yang merupakan salah satu ciri dari negara hukum ialah perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.109 Lebih jauh dalam negara hukum, jika hak asasi manusia tidak terlindungi maka negara tersebut bukan negara hukum akan tetapi negara diktator dengan pemerintahan yang sangat otoriter.110 Dalam kaitan itu, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang bebas dan merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahan. Salah satu ciri dari negara hukum ialah dimana terdapat suatu kemerdekaan hakim yang bebas dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif.111 Asas perlindungan hak-hak asasi manusia dalam Negara Hukum sebagaimana juga tertuang dalam declaration of independence menghormati bahwa orang yang hidup di dunia, sebenarnya telah diciptakan merdeka oleh Tuhan dengan dikaruniai beberapa hak yang tidak dapat dirampas atau dimusnahkan, hak tersebut mendapat perlindungan secara tegas dalam Negara Hukum. Peradilan tidak semata-mata melindungi hak asasi perseorangan, melainkan fungsinya untuk mengayoni masyarakat sebagai totalitas, agar supaya cita-cita luhur bangsa tercapai dan terpelihara.112
108
Ibid, h. 80. Bahder Johan Nasution, 2011, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Cet. I, Mandar Madju, Bandung, h. 10. 110 Ibid. 111 Ibid, h. 10-11. 112 Ibid, h. 11. 109
58 Dari pemaparan Teori Negara Hukum sebagai Grand Theory dapat disimak bahwa perlindungan HAM termasuk hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan salah satu unusr negara hukum. Dengan demikian, teori dasar ini dapat menjadi landasan dalam memecahkan permasalahan dalam penelitian disertasi ini sebagai dasar keadilan dan kepastian hukum dalam pemecahan kedua masalah yang diteliti. 2.1.2 Teori Hukum Pembangunan sebagai Middle Range Theory Teori Hukum Pembangunan dipilih sebagai Middle Range Theory karena teori ini berkaitan dengan pembangunan dan pembaharuan hukum di Indonesia. Teori ini memandang pentingnya undang-undang sebagai salah satu cara pembentukan dan pembaharuan hukum, namun demikian haruslah taat aturan, taat asas dan memperhatikan kaedah-kaedah di masyarakat, nilai-nilai tradisional dalam masyarakat, memperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat dan perkembangan hukum dalam masyarakat. Mengenai konsep hukum yang ditawarkan oleh Teori Hukum
Pembangunan dapat
dijumpai dalam
buku
Mochtar
Kusumaatmadja yang berjudul “Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional”. Hukum dalam pengertian yang luas tidak saja merupakan keseluruhan asasasas dan kaedah-kaedah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses (processes) yang mewujudkan berlakunya kaedah-kaedah itu dalam kenyataan. 113 Dengan lain perkataan, suatu pendekatan yang normatif semata-mata tentang hukum tidak cukup 113
Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, (selanjutnya disebut Mochtar Kusumaatmadja I), h. 11.
59 apabila kita hendak melakukan pembinaan hukum secara menyeluruh.114 Menyimak pendapat tersebut memang benar hukum tidak semata-mata ada dalam undangundang, tetapi ada dalam masyarakat dan hukum selalu mengikuti perkembangan masyarakat. Dalam suatu pembangunan dapat diharapkan pembangunan dengan tertib atau dengan cara-cara yang teratur. Menurut Shidarta definisi dan fungsi hukum yang dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, menggunakan genus proximum berupa kaedah, asas, lembaga dan proses tatkala mendifinisikan hukum.115 Shidarta menguraikan menurut analisis para editor tersebut, kata asas menggambarkan penulisnya (Mochtar) memperhatikan pandangan Aliran Hukum Alam (maksudnya Aliran Hukum Kodrat), karena asas itu ada kaitannya dengan nilai-nilai moral tertinggi yaitu keadilan, sedangkan kata kaedah menggambarkan aliran Positivisme Hukum karena kata kaedah mempunyai sifat normatif seperti yang dikemukakan oleh John Austin dan Hans Kelsen dalam teori-teorinya.116 Kata lembaga menggambarkan, Mazab sejarah karena yang dimaksud dengan kata lembaga ini ialah lembaga hukum adat. Kata proses menggambarkan pandangan pragmatic legal realism (Roscoe Pound) karena proses disini adalah terbentuknya putusan hakim pengadilan.117 Lebih lanjut kata lembaga dan proses mencerminkan pandangan sociological jurisprudence karena kedua kata itu mencerminkan living law yaitu sumber hukum tertulis dan tidak tertulis yang hidup. Kata kaedah yang mewujudkan berlakunya kaedah itu dalam kenyataan menggambarkan bahwa bentuk hukumnya harus 114
Ibid. Mochtar Kusumaatmadja, 2012, Teori Hukum Pembangunan Eksistensi dan Implikasi, Edisi Pertama, Episteme Institute, Jakarta, h. 14. 116 Ibid. 117 Ibid, h. 15. 115
60 Undang-Undang. 118 Disisi lain menurut Bernard Arief Sidharta kata kaedah dan asas merupakan unsur ideal dalam sistem hukum. Kata lembaga mengacu pada unsur aktual yakni organisasi-organisasi yang mewujudkan hukum itu dalam kenyataan. Kata proses yang memperlihatkan unsur budaya hukum.119 Anthon F. Susanto menjelaskan Mochtar Kusumaatmadja menempatkan hukum sebagai pengawal (guardian) dalam pembangunan, agar berjalan sesuai harapan, sebagaimana penjelasan beliau, apabila diteliti semua masyarakat yang sedang membangun dicirikan perubahan, bagaimanapun kita mendifinisikan pembangunan itu dan apapun ukuran yang kita pergunakan bagi masyarakat dalam pembangunan. Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur.120 Menurut Mochtar Kusumaatmadja, dalam bukunya Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, anggapan yang merupakan kenyataan perubahan yang teratur dapat dibantu oleh peraturan perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi dari kedua-duanya.121 Lebih jauh perubahan yang teratur melalui prosedur hukum, baik berwujud Perundang-undangan atau Keputusan badan-badan peradilan lebih baik daripada perubahan tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata. Perubahan dan ketertiban merupakan tujuan kembar daripada masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi satu alat yang tak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.122 Kembali kepada pokok masalah
118
Ibid. Ibid, h. 15-16. 120 Ibid, h. 88. 121 Mochtar Kusumaatmadja I, Op. Cit., h. 3. 122 Mochtar Kusumaatmadja I, Loc. Cit. 119
61 dalam hukum dan pembangunan perlu kiranya dibedakan dua hal sebagai berikut (a) persoalan hukum sebagai alat perubahan (pembangunan) dan (b) pembinaan atau perkembangan hukum itu sendiri. Masalah-masalah yang kita hadapi dalam memperkembangkan hukum sebagai suatu alat pembaharuan masyarakat (a tool of social engineering).123 Dalam bukunya Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, ada beberapa masalah pokok yang bertalian dengan arti dan fungsi hukum pada umumnya dan khususnya dalam pembangunan nasional, masalah-masalah hukum yang pokok, dibatasi sebagai berikut : (1) (2) (3) (4)
Arti dan fungsi hukum dalam masyarakat; Hukum sebagai kaedah sosial; Hukum dan kekuasaan; Hukum dan nilai-nilai sosial, hakikat pembangunan sebagai perubahan sikap dan sikap-sikap manusia; (5) Hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat.124 Dalam kaitannya dengan pembaharuan hukum, kita tidak dapat berpikir hanya mempertahankan hukum dan ketertiban secara konservatif. Dalam masyarakat yang sedang membangun, lebih-lebih hubungan yang meluas pemikiran-pemikiran konservatif tidak dapat dipertahankan lagi. Seterusnya dijelaskan masyarakat yang sedang membangun yang dalam definisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu.125 Juga ditekankan masalah-masalah
123
Mochtar Kusumaatmadja I, Op. Cit, h. 4. Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, (selanjutnya disebut Mochtar Kusumaatmadja II), h. 2. 125 Ibid, h.11. 124
62 dasar diatas tentu perlunya perkembangan hukum positif yang berlaku agar supaya dapat lebih baik memenuhi kebutuhan masyarakat akan kepastian disegala bidang.126 Dalam bukunya yang lain yaitu : Hukum, Masyarakat Dan Pembinaan Hukum Nasional, menjelaskan pengembangan konsepsional daripada hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat di Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya daripada ditempat kelahirannya sendiri. 127 Oleh karenanya ada beberapa hal yaitu : (1) Lebih menonjolnya Perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia, walaupun yurisprudensi juga ada memegang peranan, berlainan dengan keadaan di Amerika Serikat dimana teori Pound itu ditujukan terutama pada peranan pembaharuan daripada keputusan-keputusan pengadilan, khususnya supreme court sebagai mahkamah tertinggi. (2) Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap kenyataan masyarakat menolak aplikasi mechanistis daripada konsepsi “law as a tool of social engineering”. (3) Apabila dalam pengertian hukum termasuk pula hukum international maka kita di Indonesia sebenarnya sudah menjalankan asas hukum sebagai alat pembaharuan, jauh sebelum konsepsi ini dirumuskan secara resmi sebagai landasan kebijaksanaan hukum.128 Pandangan Mochtar Kusumaatmadja, tentang fungsi dan peranan hukum dalam
pembangunan
nasional,
kemudian
dikenal
dengan
Teori
Hukum
Pembangunan, diletakkan diatas premis yang merupakan inti ajaran atau prinsip sebagai berikut: (1) Semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh perubahan dan hukum berfungsi agar dapat menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara teratur. Perubahan yang teratur menurut Mochtar, dapat dibantu oleh Perundang-undangan atau Keputusan Pengadilan atau kombinasi keduanya. Beliau menolak penolakan yang tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata-mata. 126
Ibid, h.14. Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, (selanjutnya disebut Mochtar Kusumaatmadja III), h. 9. 128 Ibid, h. 9-10. 127
63 (2) Baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan tujuan awal dari masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi suatu sarana (bukan alat) yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan. (3) Fungsi hukum dalam masyarakat adalah mempertahankan ketertiban melalui kepastian hukum dan juga hukum (sebagai kaedah sosial) harus dapat mengatur (membantu) proses perubahan dalam masyarakat (4) Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu. (5) Implementasi fungsi hukum tersebut diatas hanya dapat diwujudkan jika hukum dijalankan oleh suatu kekuasaan, akan tetapi kekuasaan itu sendiri harus berjalan dalam batas rambu-rambu yang ditentukan di dalam hukum itu.129 Dari prinsip yang merupakan inti ajaran Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja. Perubahan hukum yang teratur dalam masyarakat sesuai dengan sistim hukum perundang-undangan dan Putusan-putusan Hakim / Pengadilan terutama Putusan Mahkamah Agung / atau yang sudah menjadi yurisprudensi tetap. Hukum mempunyai fungsi untuk mempertahankan ketertiban, oleh karena melalui Perundang-undangan atau hukum yang mengatur proses perubahan tersebut, sehingga akan dapat terjamin kepastian hukum dalam masyarakat. Dalam pembangunan hukum haruslah hukum yang baik, artinya hukum yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Dalam menjalankan hukum haruslah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan selalu mempertahankan tata tertib masyarakat. Perbedaan pandangan antara Mochtar dengan Pound dalam pemahaman mengenai konsep hukum dan fungsi hukum. Uraian Pound mengenai konsep hukum dan fungsi hukum dikemukakan dalam lingkup proses peradilan di Amerika Serikat
129
Romli Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progressif, Cet. Pertama, Genta Publishing, Jogyakarta, h. 65-66.
64 yang ketika itu (awal abad ke-20) tampak mempertimbangkan faktor-faktor non hukum kedalam pertimbangan hakim dalam situasi masyarakat yang telah maju.130 Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan konsep hukum dan fungsi serta peranan hukum dalam konteks pembangunan hukum di Indonesia yang tengah mengalami masa transisi dari sistem pemerintahan yang bersifat tertutup kepada sistem pemerintahan yang bersifat terbuka kepada masuknya modal asing.131 Sekalipun berbeda, Mochtar Kusumaatmadja tetap mengakui perubahan masyarakat dapat dicapai melalui Perundang-undangan atau Putusan Pengadilan atau keduaduanya, sedangkan Pound sama sekali tidak menaruh perhatian pada UndangUndang sebagai unsur penting dalam perubahan masyarakat.132 Pandangan Pound tentang hukum sebagai social engineering (pembaruan masyarakat) dilandaskan pendekatan instrumentalisme hukum yang mengemukakan pandangan organik dengan ide sebagai berikut: 1. Hukum memuat dalam dirinya sumber doktrinal dalam bentuk nilai-nilai dan asas-asas yang memberikan isi dan bentuk pada perkembangan hukum 2. Hukum merupakan momentum perubahan secara alamiah selalu dalam keadaan berkembang (bersifat dinamis tidak statis) 3. Perkembangan hukum merupakan perubahan yang teratur dalam suatu sistem hukum untuk menghadapi tuntutan manusia melalui penasehat hukum dan hakim 4. Tugas hakim adalah memelihara dan menjaga agar proses perkembangan hukum teratur dan bekerja secara bebas.133 Sedangkan inti dari pemikiran Teori Hukum Integratif adalah merupakan perpaduan antara Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif dalam konteks Indonesia yang terinspirasi oleh konsep hukum menurut Hart. Teori 130
Ibid, h. 69. Ibid. 132 Ibid. 133 Ibid, h.71 131
65 Integratif memberi pencerahan mengenai relevansi dan arti penting hukum dalam kehidupan manusia Indonesia dan mencerminkan bahwa hukum sebagai sistem yang mengatur kehidupan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari kultur dan karakter masyarakatnya serta letak geografis lingkungan hidupnya serta pandangan hidup masyarakat.134 Keyakinan Teori Integratif adalah fungsi dan peranan hukum sebagai sarana pemersatu dan memperkuat solidaritas masyarakat dan birokrasi dalam menghadapi perkembangan dan dinamika kehidupan baik dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun dalam lingkup perkembangan international.135 Memahami mazab UNPAD menurut I Dewa Gede Palguna mazhab ini merupakan perkembangan lebih lanjut yang menggunakan unsur-unsur dari mazhabmazhab yang lahir sebelumnya. Mazhab Unpad yang dikenal dengan Teori Hukum Pembangunan ini, di satu pihak menyadari pentingnya Undang-Undang sebagai salah satu cara pembentukan hukum (disini tampak mazhab Positivisme atau aliran hukum Positif) namun dilain pihak juga menyadari pentingnya nilai-nilai tradisional dipertahankan (disini tampak mazhab sejarah).136 Mazhab ini juga menyadari bahwa dalam pembentukan Undang-Undang itu, disamping mempertahankan nilai-nilai tradisional, juga harus mempertimbangkan kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat (disini tampak pengaruh mazhab sociological jurisprudence).137 Dengan pertimbangan-pertimbangan itulah seharusnya hukum itu dibentuk sebagai sarana pembaharuan masyarakat (disini jelas nampak mazhab Pragmatic Legal Realism).
134
Ibid, h. 97-98. Ibid, h. 98. 136 I Dewa Gede Palguna, tanpa tahun, “Perkembangan Pemikiran Filsafat Hukum (Aliran-aliran Dalam Filsafat Hukum)”, Pasca Sarjana UNUD, Denpasar, (selanjutnya disebut I Dewa Gede Palguna II), h. 7-8. 137 Ibid. 135
66 Kalau diperhatikan lebih seksama, mazhab Upad ini sangat dekat dengan ajaran mazhab Pragmatic Legal Realism, khususnya ajaran Roscoe Pound tentang hukum sebagai
sarana
pembaharuan
masyarakat.138
Pada
intinya
Teori
Hukum
Pembangunan, pembentukan hukum dan pembaharuan hukum dalam bidang hukum formil haruslah taat aturan, taat asas, memperhatikan kaedah-kaedah dalam masyarakat, nilai-nilai tradisional, kenyataan-kenyataan dan perkembangan hukum dalam masyarakat. Untuk dapat memberikan perlindungan hukum terhadap HAM atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang telah diatur dalam Pasal 28 H ayat (1) UUDNRI 1945 lebih ke bawah lagi harus ada aturan hukum yang lebih menjamin keadilan masyarakat akibat pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Di dalam masyarakat ada hukum sudah tentu di masyarakat tersebut ada aturan hukum, dimulai dari kodifikasi dibentuk dan diberi bentuk Undang-undang. Menurut Teori Hukum Pembangunan pentingnya undang-undang sebagai salah satu cara pembentukan hukum. Teori Hukum Pembangunan menyadari pentingnya nilai-nilai tradisional dan kenyataan-kenyataan yang hidup di masyarakat. Sebagai sarana pembaharuan masyarakat, perlu modifikasi artinya dibuat aturan hukum baru untuk mengatur perilaku dari masyarakat. Hukum lama diubah dan dibuat hukum yang baru. Pasal 1365 KUH.Perdata tidak memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sudah tentu hukum lama tersebut dirubah dan dibuat hukum yang baru. Pada intinya Teori Hukum Pembangunan sebagai sarana pembentukan dan pembaharuan hukum.
138
Ibid.
67 2.1.3 Teori Kewenangan, Teori Penemuan Hukum, Teori Keadilan, dan Teori Hukum Pembuktian sebagai Applied Theory 2.1.3.1 Teori Kewenangan Teori Kewenangan sebagai applied theory (teori terapan) dipilih dalam penulisan disertasi ini karena berangkat dari ciri-ciri negara hukum yaitu asas legalitas, perlindungan HAM dan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan menurut UUD 1945 maka semua institusi diatur dalam peraturan perundang-undangan, dan berdasarkan undang-undang baru suatu institusi akan memiliki kewenangan. Hakim pada hakikatnya sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan dalam arti luas. Dengan demikian, kewenangan hakim haruslah bersumber pada undang-undang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang yudisial. Menurut E. Utrecht, pemerintahan dalam arti kata luas – dalam bahasa Belanda” – ”bewindvoering”, regeren” (van Vollenhoven Staatsrecht Overzee 1934, 101) – meliputi membuat peraturan (regel-geven), pemerintahan dalam arti kata sempit
(bestuur)
serta
mengadili
dalam
perselisihan
(geschilbeslecthing).
Pemerintahan dalam arti kata sempit meliputi segala hal yang tidak termasuk membuat peraturan atau mengadili dalam perselisihan).139 Lebih jelasnya menurut Van Vollenhoven, pemerintah dalam arti luas meliputi : (1) membuat peraturan (legal geven), (2) pemerintah/pelaksana (bestuur), (3) peradilan (rechtspraak) dan (4) polisi (politie), sedangkan pemerintahan dalam arti sempit hanya badan pelaksana (executive, bestuur) saja tidak termasuk badan Perundang-undangan, badan Peradilan
139
E. Utrecht, 1994, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, (selanjutnya disebut E. Utrecht I), h. 13.
68 dan Badan Kepolisian.140 Menurut penulis dasar kewenangan hakim dalam kekuasaan kehakiman dalam Pasal 24 UUDNRI 1945 dan dalam pelaksanaannya berdasarkan Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mencerminkan kewenangan pemerintah dan teori yang membahas tentang kewenangan disebut dengan Teori Kewenangan. Teori Kewenangan berasal dari terjemahan bahasa Inggris yaitu autority of theory, istilah dalam bahasa Belanda, yaitu theorie van het gezag, sedangkan dalam bahasa Jermannya yaitu theorie der autoritat.141 Di Indonesia dasar kewenangan menurut asas legalitas adalah merupakan prinsip negara hukum, sehingga semua tindakannya ditentukan dalam UndangUndang. Asas legalitas ialah merupakan prinsip negara hukum yang sering dirumuskan Hetbeginsel van wetmatigheid van bestuur yakni prinsip keabsahan pemerintahan. HD. Stout dengan mengutip pendapat Verhey, mengemukakan bahwa het beginsel van wetmatigeheid van bestuur mengandung tiga aspek yakni : aspek negatif (het negatieve aspect), aspek formal, positif (het formeel-positieve aspect) dan aspek materiil positif (het materieel–positive aspect). Aspek negatif menentukan tindakan pemerintahan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang. Tindakan pemerintahan tidak sah jika bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Aspek formil positif menentukan bahwa pemerintah hanya memiliki kewenangan tertentu sepanjang diberikan atau berdasarkan UndangUndang. Aspek materiil positif menentukan Undang-Undang memuat aturan umum yang mengikat tindakan pemerintahan. Hal ini berarti kewenangan itu harus memiliki 140
H. Sadjijono, 2011, Bab-bab Pokok Hukum Administrasi, Cet. II, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, h. 49-50. 141 H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Cet. I, Rajawali Pers, Jakarta, h. 183.
69 dasar perundang-undangan dan juga bahwa kewenangan itu isinya ditentukan normanya oleh Undang-Undang. 142 Menurut Nomenson Sinamo, asas legalitas (legaliteit beginsel) merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar penyelenggaraan pemerintahan dan negara khusus negara hukum. Asas legalitas ini dalam hukum administrasi mengandung makna pemerintahan tunduk pada undang-undang dan semua ketentuan yang mengikat warga negara harus didasarkan pada undang-undang oleh karenanya itu asas legalitas sebagai landasan kewenangan pemerintah.143 Di Negara Belanda, asas legalitas merupakan salah satu unsur penting dari negara hukum, karenanya asas legalitas menempati kedudukan yang tinggi dalam hukum administrasi negara yang diwujudkan dalam asas rect matigeheid van bestuur.144 Asas legalitas mengandung makna bahwa setiap tindakan badan atau pejabat tata usaha negara harus berdasarkan atas undang-undang formal atau hukum (hukum tidak tertulis) selanjutnya dari asas legalitas tersebut lahir pengertian administrasi atau pemerintahan dalam arti yuridis, yakni sebagai pelaksana atau penyelenggara undang-undang dalam arti luas (wet in reine zin).145 Jadi dalam hal ini asas legalitas ialah merupakan suatu prinsip dari suatu negara hukum yang menjadi dasar hukum atas kewenangan tersebut, dan secara prinsip kewenangan dari pemerintah ialah berdasarkan peraturan perundangundangan. Atribusi dalam istilah hukum diterjemahkan sebagai pembagian (kekuasaan) dalam kata atributie van recht macht, pembagian kekuasaan kepada berbagai instansi 142
HD. Stout dengan mengutip pendapat Verhey (dalam Ridwan HR), Hukum Administrasi Negara, Cet. 7, 2011, Grafindo Persada, Jakarta, h. 90-92. 143 Nomenson Sinamo, 2010, Hukum Administrasi Negara, Jala Permata Aksara, Jakarta, (selanjutnya disebut Sinamo I), h. 92. 144 Ibid. 145 Ibid.
70 (kompetensi mutlak) sebagai lawan dari distributie van recht macht. Salah satu kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang kepada Pemerintah ialah atribusi. Philipus M. Hadjon membagi cara memperoleh wewenang ada 2 cara yaitu : (1) atribusi; dan (2) delegasi kadang-kadang juga mandat. Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan yang langsung bersumber pada undang-undang dalam arti materiil. Kewenangan yang di dapat melalui atribusi oleh organ pemerintah adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh langsung dari peraturan perundang-undangan (utamanya UUD 1945). Sedangkan delegasi penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan (Pejabat Tata Usaha Negara) kepada pihak lain tersebut. Penyerahan ini dapat diartikan adanya perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegetaris).146 Selanjutnya menurut Philipus M. Hadjon, mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahannya. Tanggung jawab tetap ada pada si pemberi mandat.147 Cara memperoleh wewenang atribusi dalam kaitannya dengan tugas hakim yaitu menerima, memeriksa dan mengadili suatu perkara dan dilarang menolak suatu perkara dengan alasan Undang-Undang atau hukum tidak mengatur wajib untuk mengadili, sehingga hakim harus menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Bagi hakim dalam tugasnya tersebut dalam melakukan penemuan hukum berdasarkan atas kewenangan atribusi berdasarkan Pasal 24 UUDNRI 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
146 147
H. Salim HS. Dan Erlies Septiana Nurbani, Op. Cit., h. 195. Ibid, h. 196.
71 2.1.3.2 Teori Penemuan Hukum Teori Penemuan Hukum dipilih sebagai Applied Theory dalam penelitian ini ialah berangkat dari tugas hakim yang ditentukan dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Tugas hakim dalam mengadili suatu perkara ialah : menerima, memeriksa dan mengadili dan akhirnya memutus perkara. Dalam tugasnya tersebut apabila ada perkara wajib untuk mengadili dan dilarang menolak untuk memeriksa dan mengadili dengan alasan undang-undang atau hukum tidak mengatur. Asas dalam Hukum Acara Perdata ialah asas ius curia novit atau asas hakim dianggap tahu hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo kalau sekiranya Hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis maka ia wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970).148 Dalam UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN yang baru yaitu diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 (UndangUndang tentang Kekuasaan Kehakiman). Berbicara tentang penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo ialah merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan hukum pada peristiwa kongkrit. Penemuan hukum adalah proses kongkrisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa kongkrit (das sein).149 Dalam sistem penemuan hukum, pada dasarnya penemuan hukum harus mendasarkan pada sistem hukum yang ada. Penemuan hukum yang pada dasarnya 148
Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h. 10. Sudikno Mertokusumo, 2009, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Edisi Kedua, Cet. Keenam, Liberty Yogyakarta, (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo II), h. 37. 149
72 pada undang-undang saja disebut sebagai sistem oriented, tetapi apabila sistem tidak memberikan solusi maka sistem harus ditinggalkan dan menuju problem oriented.150 Latar belakang timbulnya problem oriented, yaitu ada kecenderungan masyarakat pada umumnya yang membuat undang-undang lebih umum, sehingga dengan sifat umum itu hakim mendapat kebebasan lebih.151
Ketentuan undang-
undang yang berlaku umum dan bersifat abstrak tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwa kongkrit oleh karena itu ketentuan Undang-Undang harus diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan disesuaikan dengan peristiwanya untuk diterapkan pada peristiwanya itu. Peristiwa hukumnya harus dicari terlebih dahulu dari peristiwa kongkritnya, kemudian undang-undangnya ditafsirkan untuk dapat diterapkan.152 Tugas pokok Hakim adalah mengadili, memeriksa, dan memutus suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga tidak ada alasan bagi seorang hakim untuk tidak menerima atau menolak memeriksa suatu perkara dengan alasan hukumnya tidak jelas atau belum ada. Bagi hakim memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya merupakan kewajiban, sedangkan tugas utama dari hakim adalah menghubungkan aturan abstrak dalam undang-undang dengan fakta kongkrit dari perkara yang diperiksanya.153 Oleh karena peraturan perundang-undangan tidak jelas, kabur, tidak lengkap atau tidak mengatur sehingga wajib diketemukan hukumnya, tidak ada alasan karena hukum atau undang-undang perkara itu ditolak untuk diadili
150
Bambang Sutiyoso, 2012, Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, Cet. ke-4, 2012, VII Press Yogyakarta, h. 62. 151 Ibid. 152 Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Prgressif, Cet. I, Sinar Grafika, Jakarta, h. 4. 153 Ibid., h. 28.
73 dan menurut Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ada kewenangan bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo untuk menemukan hukum dalam hal Peraturan Perundang-undangan tidak jelas maka tersedialah metode interpretasi atau metode penafsiran.154 Sudikno Mertokusumo mengemukakan metode penafsiran yaitu interpretasi gramatikal, sistematis, historis dan teleologis.155 Disamping itu dikenal juga jenis-jenis penafsiran yang lain yaitu, penafsiran komparatif, penafsiran futuristis, restriktif, ekstrensif. Metode penemuan hukum yang lain yaitu konstruksi hukum, analogi atau argumentum a contrario.156 Dalam kaitannya dengan kekosongan hukum formil yang berfungsi menegakkan hukum materiil, hakim wajib mengisi kekosongan tersebut melalui penemuan hukum (rechtsvinding). 2.1.3.3 Teori keadilan Teori Keadilan dipilih sebagai teori terapan dalam penelitian disertasi ini yaitu dengan ditemukannya asas tanggung jawab langsung dalam Hukum Formil memberi jaminan dan perlindungan hukum dan keadilan terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat pada masyarakat. Dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan, disamping prosesnya adil, etika dari lingkungan hidup dapat selalu dijaga. Teori keadilan dalam ilmu hukum khususnya dogmatik hukum yaitu membicarakan tentang tujuan hukum meliputi keadilan, kepastian dan kefaedahan. Persoalan tujuan hukum ialah lingkup pembahasan filsafat hukum. Menurut Gustav Radbruch, gagasan hukum sebagai gagasan kultural tidak dapat formal, sebaliknya ia 154
Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h. 56. Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h. 57. 156 Sudikno Mertokusumo II, Loc. Cit. 155
74 terarah pada rechtsidee yakni keadilan.157 Keadilan sebagai suatu cita seperti ditunjukkan oleh Aristoteles tidak dapat mengatakan lain, kecuali yang sama diperlakukan sama yang tidak sama diperlakukan tidak sama. Sehingga untuk mengisi cita keadilan ini dengan isi yang kongkrit kita harus menengok pada segi finalitasnya, dan untuk melengkapi keadilan dan finalitas dibutuhkan kepastian.158 Jadi menurut Gustav Radbruch hukum memiliki tiga aspek yakni keadilan, finalitas dan kepastian.159 Menurut Aristoteles dalam bukunya Ethica Nichomacheia dan Rethorica hukum mempunyai tugas yang suci yaitu memberi kepada tiap-tiap orang apa yang ia berhak menerimanya. Sedangkan menurut Bentham, anggapan yang mengutamakan utilitet. Tujuan hukum menurut Bentham, hukum menjamin adanya bahagia sebanyak-banyaknya pada orang yang sebanyak-banyaknya.160 Tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan, kepastian dan kefaedahan
pada masyarakat akan dapat
terwujud. Para penganut aliran hukum kodrat meyakini bahwa, alam semesta ini diciptakan dengan prinsip keadilan, sehingga kita kenal misalnya, pada stoisisme norma hukum kodrat primer yang bersifat umum menyatakan : berikanlah pada setiap orang apa yang menjadi haknya (ius suum cuique tribuere). Cicero mengatakan bahwa hukum dan keadilan tidak ditentukan oleh pendapat manusia
157
Bernad L. Tanya, dkk., 2010, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Cet. III, Yogyakarta, h. 130. 158 Ibid. 159 Ibid. 160 E. Utrecht, 1965, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Edisi Fotografi, (selanjutnya disebut E. Utrecht II), h. 26.
75 tetapi oleh alam.161 Lebih jauh, selain keadilan dan kepastian hukum, penganut utilitarianisme memperkenalkan tujuan hukum yang ketiga yaitu kemanfaatan bagi seluruh orang. Menurut aliran ini memberi manfaat pada semua orang secara adil praktis merupakan impian semata. Untuk itu tujuan hukum sudah dicapai apabila kemanfaatannya dapat dirasakan sebanyak mungkin orang (the greatest happiness for the greates number of people).162 Pengertian keadilan dalam pandangan utilitarianisme adalah keadilan dalam arti yang luas, bukan untuk perorangan atau sekedar pendistribusian barang. Ukuran satu-satunya untuk mengukur sesuatu adil atau tidak adalah seberapa besar dampaknya bagi kesejahteraan manusia (human welfare).163 Teori keadilan dari John Rawls, keadilan sebagai fairness dimulai dengan salah satu pilihan yang paling umum yang dapat dibuat orang bersama-sama yakni dengan pilihan prinsip pertama dari konsep keadilan yang mengatur kritik lebih lanjut serta reformasi institusi.164 Maka setelah memilih konsepsi keadilan, kita dapat menganggap bahwa mereka memilih konstitusi dan Undang-undang untuk menegakkan hukum dan lain-lain, kesemuanya sesuai dengan prinsip keadilan yang sebelumnya disepakati.165 Lebih jauh menurut John Rawls, katakanlah sebuah masyarakat tertata dengan baik ketika ia tidak hanya dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya namun ketika ia juga secara efektif diatur oleh konsepsi publik mengenai keadilan yakni masyarakat dimana : 161
Otong Rosadi, 2012, Quo Vadis Hukum Ekologi dan Keadilan Sosial, Dalam Perenungan Pemikiran (Filsafat) Hukum, Cet. I, Tafa Media, Yogyakarta, h.97. 162 Ibid, h. 98. 163 Ibid. 164 John Rawls, 1995, A Theory of Justice Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.14. 165 Ibid.
76 (1) Setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang lain menganut prinsip keadilan yang sama (2) Institusi-institusi sosial dasar yang ada umumnya sejalan dengan prinsipprinsip tersebut.166 Seterusnya menurut John Rawls, sejumlah orang menyatakan bahwa pada kenyataannya keadilan formal dan keadilan substantif cendrung sejalan dan karena itu lembaga-lembaga yang tidak adil tidak pernah, atau kadang pada tingkatan apapun, diatur secara netral dan konsisten.167 Dalam kaitannya dengan perlindungan HAM atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, menurut penulis negara wajib menjamin dalam penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan dengan proses yang adil. Prinsip keadilan lebih berbicara tentang bagaimana manusia harus berperilaku satu terhadap yang lain dalam kaitannya dengan alam semesta dan bagaimana sistem sosial harus diatur agar berdampak positip pada kelestarian lingkungan hidup.168 Prinsip keadilan terutama berbicara tentang akses yang sama bagi semua kelompok dan anggota masyarakat dalam ikut menentukan kebijaksanaan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian alam, dan dalam ikut menikmati pemanfaatan sumber daya alam atau alam semesta seluruhnya.169 Dengan demikian prinsip keadilan telah masuk dalam wilayah politik ekologi, pemerintah dituntut membuka peluang dan akses yang sama bagi semua kelompok dan anggota masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan publik (khususnya dibidang
166
Ibid, h. 5. Ibid, h.71. 168 Sonny Keraf, 2010, Etika Lingkungan Hidup, Kompas, Jakarta, h. 177. 169 Ibid. 167
77 lingkungan hidup dan dalam memanfaatkan alam ini bagi kepentingan vital manusia).170 Menurut A Sonny Keraf, hal ini mempunyai implikasi sebagai berikut : Pertama harus dijamin adanya keadilan prosedural, dimungkinkan adanya partisipasi publik dalam menentukan kebijakan dibidang lingkungan hidup dan dibidang lain yang terkait. Kedua, ada perlakuan yang sama atau proporsional antara laki-laki dan perempuan. Perempuan lebih rentan dalam kaitan dengan manfaat dan resiko lingkungan hidup, manfaat dan resiko ini harus diperhitungkan dan dikonpensasi secara porporsional. Jadi prinsip keadilan menuntut pula adanya keadilan gender dibidang lingkungan hidup. Ketiga, harus ada perlakuan yang proporsional diantara berbagai kelompok masyarakat. Keempat, harus ada akses dan peluang yang sama bagi generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling vital secara sama dengan generasi sekarang. Maka prinsip keadilan berlaku pula antar generasi.171 2.1.3.4 Teori Hukum Pembuktian Teori hukum pembuktian dipilih sebagai applied theory ialah pembuktian tersebut sangat menentukan dalam proses pengambilan putusan oleh hakim. Dalam hal pembagian beban pembuktian sangat menentukan keadilan bagi para justitia belen (pencari keadilan). Asas pembagian beban pembuktian dalam Hukum Acara Perdata tercantum dalam Pasal 163 HIR, 283 RBg dan Pasal 1865 KUH Perdata. Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan hak itu atau untuk menyangkal hak orang lain, harus
170 171
Ibid. Ibid, h. 177-178.
78 membuktikan adanya hak atau peristiwa itu. Menurut Sudikno Mertokusumo, kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Penggugat tidak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran bantahan tergugat, demikian pula sebaliknya tergugat tidak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan oleh penggugat.172 Menurut Sudikno Mertokusumo, pembagian beban pembuktian itu sangat menentukan jalannya peradilan. Hakim harus sangat berhati-hati dalam melakukan pembagian beban pembuktian.173 Dalam hal perusakan dan pencemaran untuk menuntut ganti rugi dalam Pasal 1365 KUH Perdata kewajiban penggugat untuk membuktikan kesalahan tergugat. Sedangkan pendapat Sudikno Mertokusumo, dalam hal perusakan dan pencemaran lingkungan hidup, bukan penggugat yang dibebani pembuktian melainkan pencemar. Disini terjadi apa yang dinamakan pembalikan pembuktian (omkering van bewijslast, sifting of burden of proof).174 Menurut Efa Laela Fakhriah konsep pembuktian terbalik juga dianut di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen oleh karena itu untuk beban pembuktian dalam praktek pengadilan berlaku suatu teori kepatutan (kelayakan) yaitu beban pembuktian oleh hakim kepada pihak yang paling sedikit dirugikan seandainya ia dibebani dengan pembuktian, baru kemudian pihak lawan diberikan kesempatan untuk melakukan pembuktian balik (pembuktian lawan).175
172
Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit, h. 113. Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit, h. 114. 174 Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit. 175 Efa Laela Fakhriah, 2011, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata, Alumni Bandung, (selanjutnya disebut Efa Laela Fakhriah I), Cet. II, h. 37-38. 173
79 Hakim dalam pemeriksaan perkara perdata terikat dengan Hukum Acara Perdata yang dipakai dasar hukum. Ada 3 (tiga) teori yang saling berbeda terkait hal ini, yaitu :176 1. Teori Negatif: keinginan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat bagi hakim didalam pembuktian. Ketentuan tersebut bersifat larangan-larangan bagi hakim yang merupakan pembatasan bagi kebebasan hakim di dalam pembuktian. 2. Teori Positif: teori ini menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, selain berupa larangan-larangan juga perintah-perintah. 3. Teori Bebas: menginginkan hakim sama sekali tidak diikat dengan hukum positif tertulis dalam hal pembuktian, tetapi penilaian pembuktian sepenuhnya diserahkan pada pertimbangan hakim. Sehubungan dengan beban pembuktian, hal itu akan menimbulkan konsekuensi tidak adil apabila hakim terlalu berat sebelah. Teori beban pembuktian dapat dipakai sebagai pedoman dalam pembagian beban pembuktian dikenal beberapa teori :177 a. Teori Negative Non Sunt Probanda Teori ini bertitik tolak pada asas beban pembuktian “negativa non sunt probanda” asas yang menyatakan bahwa sesuatu yang negatif sifatnya sulit dibuktikan. Asas ini, sehingga penganut teori ini menyatakan bahwa barang siapa yang mengemukakan sesuatu ialah yang harus membuktikannya, jadi bukan pihak yang menyangkalnya. b. Teori Hak Dasar dari teori ini adalah bahwa haklah yang mendasari proses perdata dengan lain kata proses perdata itu senantiasa melaksanakan hak yang dimiliki perorangan. Dengan demikian teori ini berpendapat bahwa tujuan dari hukum secara perdata adalah semata-mata untuk mempertahankan hak. c. Teori De lege Lata (Menurut hukum positif), menurut teori ini si penggugat mengajukan gugatannya berarti bahwa si penggugat minta pada hakim agar hakim menerapkan ketentuan hukum yang berlaku terhadap peristiwa yang diajukan. d. Teori ius publicum (hukum publik). Teori ini menekankan bahwa walaupun Hukum Acara Perdata bagian dari hukum privat, tetapi bagaimanapun kepentingan publik masuk didalamnya. Karena itu teori ini cenderung 176
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata, Edisi I, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 87. 177 Ibid, h. 117-121.
80 menginginkan agar hakim diberi wewenang yang lebih besar didalam mencari kebenaran. e. Teori audi et alteram partem Menurut teori ini, kedudukan yang sama secara prosessuil dari kedua pihak yang berperkara. Dalam uraian teori Hukum Pembuktian dikaitkan dengan asas tanggung jawab langsung (strict liability) adalah sangat menentukan tentang beban pembuktian penerapan asas tanggung jawab langsung (strict liability) dalam penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan. 2.2
Kerangka Konseptual Dari judul penelitian disertasi ini yaitu asas tanggung jawab langsung dalam
penegakan hukum lingkungan keperdataan (studi gugatan perwakilan), ada beberapa konsep hukum yang perlu diberikan pengertian yang jelas untuk mencegah timbul multi interpretasi. Konsep-konsep hukum yang dimaksud adalah konsep hukum tanggung jawab langsung, konsep penegakan hukum lingkungan, penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan dan konsep gugatan perwakilan, dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Konsep hukum tanggung jawab langsung, dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan. Istilah dan pengertian asas tanggung jawab langsung dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup dijelaskan sebagai berikut : a. Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang UUPPLH yang menetapkan : Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatan menggunakan B3, menghasilkan atau mengelola limbah B3, dan/atau menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH) menggunakan istilah tanggung jawab mutlak yang sebenarnya merupakan terjemahan dari istilah strict liability. Pakar dan pengamat hukum lingkungan hidup, menterjemahkan strict
81 liability dengan istilah tanggung jawab seketika atau ketat. Penggunaan tanggung jawab ketat atau seketika dimaksudkannya untuk membedakannya dengan konsep absolute liability yang memiliki makna yang sedikit berbeda dengan strict liability. Kelihatannya pembentuk undang-undang memilih istilah tanggung jawab mutlak sebagai terjemahan dari strict liability dikarenakan tanggung jawab mutlak merupakan istilah yang telah dikenal di masyarakat dibandingkan dengan istilah tanggung jawab seketika atau tanggung jawab ketat.178 Perkembangan penerjemahan istilah strict liability di dalam literatur-literatur dan diskursus hukum Indonesia. Tahap I, II,
Pra tahun 1990 terjemahan strict liability tidak dipersoalkan Tahun
1990-2000
mulai
dipersoalkan
karena
memiliki
perbedaan makna. Absolute liability : tanggung jawab mutlak Strict liability : tanggung jawab langsung / seketika III.
Tahun 2000 – sekarang sudah mulai dipertajam yaitu : Absolute liability : tanggung jawab mutlak Strict liability : tanggung jawab langsung dengan beban pembuktian terbalik.
Dengan adanya perbedaan pendapat diantara para sarjana, dalam penulisan disertasi ini penulis lebih cendrung menterjemahkan strict liability dengan tanggung jawab langsung yang mengarah ke pembuktian terbalik. Sedangkan istilah Absolute Liability diterjemahkan dengan istilah tanggung jawab mutlak. Penajaman dalam menterjemahkan strict liability dan istilah absolute liability akan lebih memudahkan
178
Mas Achmad Santosa I, Op. Cit., h. 123.
82 memaknai dan menerapkan kedua istilah tersebut dalam penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan. 2. Konsep
penegakan
hukum
lingkungan,
penegakan Hukum
Lingkungan
Keperdataan. Menurut Siti Sundari Rangkuti, penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku yang meliputi tiga bidang hukum yaitu : administratif, pidana dan perdata.179 Pengertian penegakan hukum lingkungan hidup dikemukakan oleh Biezeveld sebagai berikut : Environmental law enforcement can be defined as the application of legal governmental powers to ensure compliance with environmental regulation by means of : a. Administrative supervision of the confliance with environmental regulations (inspection) (= mainly preventive – activity) b. Administrative measures or sanctions in case of non compliance (= corrective activity) c. Criminal investigation in case of presumed affences (= repressive activity) d. Criminal measures or sanctions in case of offinces (= repressive activity) e. Civil action (law suit) in case of (threatening) non compliance (preventive or corrective activity).180 Dengan demikian, menurut Siti Sundari Rangkuti, penegakan hukum lingkungan merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual melalui pengawasan dan penerapan sanksi administrasi, kepidanaan dan keperdataan.181 Sedangkan istilah penegakan hukum ialah menurut Andi Hamzah dalam bahasa Inggris Law Enforcement, bahasa Belanda Rechtshandaving. Istilah penegakan hukum dalam 179
Siti Sundari Rangkuti, Op. Cit., h. 208. Biezeveld (dalam Siti Sundari Rangkuti), Op. Cit, h. 208-209. 181 Siti Sundari Rangkuti, Op. Cit, h. 209. 180
83 bahasa Indonesia membawa kita kepada pemikiran bahwa penegakan hukum hanya selalu dengan force, sehingga ada yang berpendapat bahwa penegakan hukum hanya bersangkut paut dengan hukum pidana. Pikiran seperti itu diperkuat dengan kebiasaan kita menyebut penegak hukum itu polisi, jaksa, hakim.182 Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan melalui pengadilan yaitu dengan mengajukan gugatan berdasarkan Hukum Acara Perdata yang diatur dalam HIR dan RBg. Gugatan, dapat diajukan oleh orang perorangan atau melalui kuasanya, sedangkan gugatan perwakilan dapat diajukan berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2002 yaitu : Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. 3. Konsep gugatan dan gugatan perwakilan (class action). Pengertian gugatan dalam bahasa Belanda adalah berarti “verdering”. Vordering tersebut mengandung arti yang luas yatu tuntutan hukum dalam perkara sipil dan tuntutan requisitoir dalam perkara pidana.183 Sementara itu Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa tuntutan hak atau lazim disebut dengan gugatan adalah : tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh Pengadilan untuk mencegah eigenrichtig.184 Suatu gugatan diajukan ke pengadilan ialah untuk mempertahankan haknya sebagai akibat ada gangguan dari orang lain dengan tujuan yaitu untuk mencegah tindakan main hakim sendiri. Orang yang mempertahankan haknya dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan memerlukan atau berkepentingan akan perlindungan hukum, oleh karena itu 182
Andi Hamzah, Op. Cit, h. 48. N.E. Algra, dkk, 1983, Kamus Istilah Hukum Forchema Andreae Belanda Indonesia, Bina Cipta, Bandung, h. 664. 184 Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h. 38. 183
84 disyaratkan adanya kepentingan hukum. Pengertian gugatan dan prosedur pengajuan gugatan dalam Hukum Acara Perdata Indonesia ialah berdasarkan HIR dan RBg. Sedangkan gugatan perwakilan berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Tata cara persyaratan gugatan perwakilan kelompok sesuai dengan PERMA No. 1 Tahun 2002 ditentukan gugatan dapat diajukan dengan mempergunakan tata cara gugatan perwakilan kelompok. Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak, terdapat kesamaan fakta dan peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan bersifat substansial, terdapat kesamaan jenis tuntutan diantara wakil kelompok dan anggota kelompok. Selain memuat persyaratan formal, surat gugatan perwakilan kelompok harus memuat identitas, definisi kelompok, posita dari seluruh anggota kelompok dan wakil kelompok. Tuntutan / petitum tentang ganti rugi harus jelas, usulan pendistribusian ganti rugi kepada seluruh anggota kelompok. Ditegaskan juga dalam gugatan perwakilan wakil kelompok tidak diwajibkan untuk membuat surat kuasa khusus dari anggota kelompok. Mekanisme pemeriksaan gugatan perwakilan pada awal persidangan hakim berkewajiban dan mempertimbangkan kriteria gugatan perwakilan kelompok, syahnya gugatan perwakilan dituangkan dalam penetapan pengadilan. Apabila hakim memutuskan penggunaan prosedur gugatan kelompok dinyatakan syah maka hakim memerintahkan penggugat membuat usulan model pemberitahuan. Dan apabila tidak syah pemeriksaan dihentikan dengan putusan hakim. Disamping itu hakim juga mendorong para pihak untuk melakukan perdamaian. Dalam pemberitahuan haruslah
85 memuat nomor gugatan, identitas penggugat / para penggugat sebagai wakil kelompok serta pihak tergugat / para tergugat. Penjelasan singkat tentang kasus, pendifinisian kelompok, penjelasan tentang pernyataan keluar dari anggota kelompok dengan isian formolir pernyataan keluar. Penjelasan tentang jumlah ganti-rugi dan terakhir ialah putusan hakim dengan memutus jumlah ganti rugi, penentuan kelompok / sub kelompok, mekanisme pendistribusian ganti rugi. Apabila dibandingkan dengan mekanisme pemeriksaan gugatan menurut HIR, RBg. Ketentuan dalam HIR dan RBg sepanjang tidak diatur dalam Perma No. 1 tahun 2002 masih tetap berlaku. Pada gugatan perwakilan tidak ditentukan setiap orang harus membuat surat kuasa khusus termasuk wakil kelompok. Sebaliknya menurut HIR dan RBg gugatan haruslah diajukan oleh orang perorangan dan apabila didampingi oleh kuasa haruslah membuat surat kuasa khusus. Pada prinsipnya yang membedakan gugatan perwakilan dengan gugatan kompensional ialah syarat-syarat formal harus terpenuhi seperti tersebut dalam Pasal 2 dan 3 PERMA No. 1 Tahun 2002
dalam
mengajukan
gugatan
perwakilan
sedangkan
dalam
gugatan
kompensional tidak ada untuk itu. Selanjutnya pemeriksaan seperti pemeriksaan biasa. Perbedaan yang lainnya, apabila gugatan perwakilan tidak syah dihentikan dengan putusan hakim. Apabila dinyatakan syah hakim memerintahkan membuat model usulan pemberitahuan, hal tersebut tidak ada dalam pemeriksaan gugatan kompensional. Gugatan perwakilan awalnya dikenal di negara-negara yang menganut tradisi sistem hukum Anglo Saxon. Ketentuan hukum yang mengatur class action dilakukan tahun 1966 setelah hukum acara pada tingkat Federal diubah
86 dengan penambahan Pasal 23 US – Federal Civil of Procedure. Pasal 23 US Federal Civil of Procedure menetapkan persyaratan sebagai berikut : 1.
2. 3.
4.
Numerasity (jumlah orang yang mengajukan gugatan harus sedemikian banyaknya). Persyaratan pertama ini mensyaratkan kelas yang diwakili (Class Members) harus sedemikian besar jumlahnya, sehingga apabila gugatan yang diajukan satu demi satu (individual sangat tidak praktis dan tidak efesien). Commonality (kesamaan) artinya harus ada kesamaan fakta maupun question of law antara pihak yang mewakili dan diwakili Typicality artinya tuntutan (bagi flainsift class action) maupun pembelaan (bagi de fendant class action) dari seluruh anggota yang diwakili (Class Members) haruslah sejenis. Adequacy of representation (kelayakan perwakilan) persyaratan ini mewajibkan perwakilan kelas (class representative) untuk menjamin secara jujur dan adil serta mampu melindungi kepentingan mereka yang diwakilkan.185
Menurut Mas Achmad Santosa, pengertian class action pada intinya ialah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan, injuction atau ganti rugi yang diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang tidak banyak) misalnya satu atau dua orang sebagai perwakilan kelas (class representative) mewakili kepentingan mereka sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga menjadi korban ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut diistilahkan dengan Class Members.186 Selanjutnya mengenai pengertian gugatan perwakilan dapat dijumpai dalam peraturan perundang-undangan yang pernah dan seadng berlaku, yakni: a. Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang UUPLH yang menetapkan masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke Pengadilan dan/atau melaporkan ke Penegak Hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat. Selanjutnya penjelasan Pasal 37 185 186
Mas Achmad Santosa II, Op. Cit., h. 77. Mas Achmad Santosa II, Loc. Cit.
87 ayat (1) mengemukakan yang dimaksud hak mengajukan gugatan perwakilan pada ayat ini adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat
dalam jumlah besar
yang dirugikan atas dasar kesamaan
permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. b. Pasal 91 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang UUPPLH, yang menetapkan : (1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. (2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum serta jenis tuntutan diantara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. (3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan Perundang-undangan. c. Pasal 1 Huruf (a) PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, yang menetapkan : Gugatan Perwakilan kelompok ialah suatu tata cara pengajuan gugatan dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang mewakili kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok. Dengan pengertian gugatan perwakilan dalam peraturan perundang-undangan tersebut, menurut pendapat Koesnadi Hardjasoemantri, dengan adanya ketentuan gugatan perwakilan ini, maka yang dapat mewakili masyarakat dalam jumlah besar (Class Members) adalah kelompok kecil (class representative) di dalam kelompok besar itu bukan pihak luar.187 Pada intinya konsep gugatan perwakilan dipakai dasar
187
Koesnadi Hardjasoemantri, Op. Cit., h. 426.
88 dalam merumuskan gugatan perwakilan dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup di Indonesia. 2.3 Kerangka Berpikir Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan (Studi Gugatan Perwakilan)
RM2 Apakah menurut doktrin hukum hakim dapat melakukan penemuan hukum formil dalam penerapan asas tanggung jawab langsung pada gugatan perwakilan?
Diagram Kerangka Berpikir
89 Dari judul disertasi ”Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) dalam Penegakan
Hukum
Lingkungan
Keperdataan
(Studi Gugatan
Perwakilan).
Berdasarkan alasan sosiologis, yuridis dan filosofis dapat dirumuskan 2 (dua) masalah yaitu : 1. Apakah hakikat asas tanggung jawab langsung dan pengembangannya dalam penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan. 2. Apakah menurut doktrin hukum hakim dapat melakukan penemuan hukum formil dalam penerapan asas tanggung jawab langsung pada gugatan perwakilan. Untuk membahas dan memecahkan 2 (dua) masalah dalam penelitian disertasi ini menggunakan teori : I. Grand Theory (Teori Dasar), yakni Teori Negara Hukum. II. Middle
Range
Theory
(Teori
Penghubung),
yakni
Teori
Hukum
Pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja. III. Applied Theory (teori terapan) yaitu : 1. Teori Kewenangan 2. Teori Keadilan 3. Teori Penemuan Hukum 4
Teori Hukum Pembuktian.
Berangkat dari fakta-fakta di lapangan yaitu rusaknya dan tercemarnya lingkungan hidup akibat limbah berbahaya dan beracun (B3) dan mengancam lingkungan hidup secara serius yang dapat merugikan masyarakat luas. Perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha atau pencemar, dalam sistem hukum perdata
90 Indonesia berlaku ketentuan Pasal 1365 KUH.Perdata. berbunyi tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Apabila timbul tuntutan ganti rugi dari pihak korban (masyarakat) dalam mengajukan gugatan ke pengadilan, beban pembuktian ada pada penggugat dan mempunyai kewajiban untuk membuktikan kesalahan tergugat. Beban pembuktian yang demikian dalam penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan adalah tidak sesuai dengan rasa keadilan dari masyarakat. Dan hal tersebut dapat berakibat masyarakat tidak mau berperan aktif dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup. Secara ontologi tanggung jawab berdasarkan kesalahan pada hakikatnya secara hukum tidak memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat yang tidak mampu. Kedepan dalam pembangunan yang mengarah pada pembangunan industri yang dapat menimbulkan akibat pada masyarakat dan lingkungan hidup sudah tentu dibutuhkan perangkat hukum yang memadai. Perangkat hukum yang mengandung hakikat hukum yang berkeadilan dalam sistem hukum perdata Indonesia dan sistem Hukum Acara Perdata yang berlaku belum mengatur hal tersebut. Di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon telah diatur bentuk hukum strict liability atau absolute liability yang memberikan hakikat keadilan dalam penegakkan Hukum Lingkungan Keperdataan. Di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang UUPPLH, namun dalam ketentuan hukum formil terdapat kekosongan hukum. Dengan diakuinya HAM atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam generasi ketiga ini berarti semua umat manusia di dunia dalam aktivitas sehari-hari
91 mempunyai kewajiban menyelamatkan lingkungan hidup. Dalam Pasal 28 H ayat (1) UUDNRI 1945 setelah amandemen yaitu setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini dapat diartikan semua kebijakan pemerintah dari pusat sampai ke daerah wajib menyelamatkan lingkungan hidup. Perangkat aturan hukum yang diperlukan dalam pembangunan menurut Teori Hukum Pembangunan dengan perkembangan lebih lanjut harus menggunakan unsurunsur dari mazab-mazab sebelumnya. Pentingnya undang-undang sebagai salah satu cara pembentukan hukum. Disamping mempertahankan nilai-nilai tradisional juga mempertimbangkan kenyataan-kenyataan yang hidup di masyarakat. Perlunya penemuan hukum formil oleh hakim yang dibatasi oleh hukum, asas-asas hukum dalam Hukum Acara Perdata Indonesia. Sesuai dengan kewenangan atribusi dan berdasarkan atas asas legalitas berdasarkan Pasal 24 UUD 1945 setelah amandemen dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Hakim diberi kewenangan dalam tugasnya untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Teori penemuan hukum dalam hal ini hakim harus mempergunakan metode interpretasi dan metode konstruksi hukum. Memahami perkembangan asas tanggung jawab langsung yang dikenal di negara-negara yang mengenal sistim hukum Anglo Saxon, di dalam perkembangannya telah dituangkan dalam konvensi-konvensi internasional. Negara-negara
yang
telah
meratifikasi
konvensi-konvensi
tersebut
berkewajiban dan terikat untuk menerapkannya. Dalam Pasal 88 Undang-Undang
92 No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH) yang mengatur tentang prinsip tanggung jawab langsung belum diatur secara lengkap tentang kegiatan-kegiatan yang dapat diterapkan asas tanggung jawab langsung atau pengaturannya terlalu sumir. Konvensi ini dapat mewujudkan hakikat dari lingkungan hidup yang baik dan sehat yang merupakan tujuan dalam penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan. Berdasarkan Grand Theory, Middle Range Theory dan Applied Theory dapat dibahas hakikat atas tanggung jawab langsung secara filosofis karena sangat bermanfaat untuk mewujudkan rasa keadilan masyarakat dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan. Ketiga lapisan teori di atas juga bermanfaat untuk membahas kewenangan hakim melakukan penemuan hukum formal dalam penerapan asas tanggung jawab langsung pada penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan melalui gugatan perwakilan.
93 BAB III HAKIKAT ASAS TANGGUNG JAWAB LANGSUNG (STRICT LIABILITY) DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN KEPERDATAAN Pembangunan industri telah memberikan berbagai manfaat terhadap kemajuan bangsa Indonesia. Namun pembangunan juga merupakan sumber masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan, akibat limbah buangan kegiatan tersebut, termasuk antara lain limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), yang kian hari kian menampakkan diri sebagai ancaman terhadap lingkungan hidup dan masyarakat. Penanganan masalah ini memerlukan perangkat hukum yang memadai, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan, institusi, maupun aparatur, sehingga penanganan masalah itu dapat berlangsung efektif. Penanganan dalam bentuk pengaturan itu juga perlu menyerap kearifan lokal, yaitu nilai-nilai yang berkaitan dengan hakikat penegakan hukum yang adil, agar penanganan itu dapat menjamin kepastian hukum dan bermanfaat bagi lingkungan hidup serta masyarakat. Untuk tujuan itu, hukum perlu dipahami secara utuh dan menyeluruh oleh semua pihak, terutama penyelenggara hukum, sehingga hukum mampu memenuhi fungsi dan tujuannya, termasuk memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai pencari keadilan.188 Dalam pemahaman menyeluruh, hukum merupakan lapisan-lapisan keilmuan ilmu hukum, yaitu dogmatika hukum, yang mencakup teori dan filsafat hukum. Dogmatik hukum menurut Meijers ialah pengolahan atau penggarapan peraturanperaturan atau asas-asas hukum secara ilmiah semata-mata dengan bantuan logika
188
Nomenson Sinamo, 2014, Filsafat Hukum, dilengkapi dengan Materi Etika Profesi Hukum, Permata Aksara, Jakarta, (selanjutnya disebut Nomenson Sinamo II), h. 65. 93
94 (tidak hanya kegiatan saja, tapi juga hasilnya).189 Bertitik tolak dari materi hukum, kegiatan dogmatik hukum itu meliputi: konstruksi, definisi, dan pengembangan dialektis. Dengan demikian dogmatik hukum merupakan kegiatan ilmiah untuk mempelajari suatu tatanan hukum positif tertentu dengan mengkosentrasikan diri pada norma hukum positif tertentu dan melepaskan diri dari sistem-sistem lainnya tanpa menggunakan pengetahuan empiris.190 Uraian teori hukum dapat dipandang sebagai kelanjutan atau pengganti Allgemeine Rechtslehre yang timbul pada abad 19 ketika minat filsafat hukum mengalami kelesuan karena dipandang terlalu abstrak dan spekulatif dan dogmatik hukum dipandang terlalu kongkrit serta terikat pada tempat dan waktu.191 Allgemeine Rechtslehre bukan ilmu normatif melainkan ilmu yang secara emfiris dengan bertitik tolak dari titik berdiri eksternal berupaya menemukan ontologi (hakikat dari hukum). Istilah Allgemeine Rechtslehre mulai tergeser oleh istilah Rechtstheorie yang diartikan sebagai teori dari hukum positif yang mempelajari masalah-masalah umum yang sama pada semua sistem hukum. Masalah itu mencakup : sifat hukum, hubungan antara hukum dan negara serta hukum dan masyarakat, perangkat pengertian pokok dan berbagai metode untuk memperoleh pengetahuan hukum, hubungan timbal-balik antara hukum nasional dan hukum internasional.192 Selanjutnya menurut Friedman, semua teori hukum berisikan unsur-unsur filsafat yang berarti lebih bersifat teoritis/abstrak daripada dogmatik hukum, oleh karena itu
189
Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo III), h. 37 190 Ibid. 191 Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, h. 120. 192 Ibid, h. 121.
95 untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang teori hukum maka penting untuk menguraikan filsafat dan filsafat hukum.193 Sementara itu, hukum sebagai disiplin, menurut Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, merupakan sistem ajaran mengenai kenyataan atau gejalagejala yang dihadapi.194 Ilmu-ilmu hukum dalam arti kenyataan mengukur apakah hukum sudah efektif diterapkan di masyarakat. Disamping itu apakah keberlakuan hukum sudah sesuai dengan landasan pilosofis, yuridis dan sosiologis, sehingga tujuan hukum yang diharapkan yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan dapat terwujud. Menurut Gustav Radbruch, hukum mencakup tiga aspek, yaitu: keadilan, finalitas dan kepastian. Aspek keadilan menunjuk pada kesamaan hak di depan hukum, aspek finalitas menunjuk pada tujuan keadilan yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia, menentukan isi hukum, aspek kepastian menunjuk pada jaminan bahwa hukum benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati. Keadilan dan finalitas adalah kerangka ideal dari hukum dan kepastian hukum merupakan kerangka operasional dari hukum.195 Adapun apabila dilihat dari perspektif fungsinya, Jeremy Bentham mengemukakan bahwa fungsi hukum adalah menyokong kebahagiaan. Apa yang cocok digunakan atau cocok untuk kepentingan individu adalah apa yang cenderung memperbanyak kebahagiaan. Demikian juga apa yang cocok untuk kepentingan masyarakat adalah apa yang cenderung menambah ketenangan individu-individu 193
Ibid, h. 65. Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, 1979, Perihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung, h. 9. 195 Bernad L. Tanya, dkk, 2010, Op. Cit., h. 130. 194
96 yang merupakan anggota masyarakat itu. Ini mesti menjadi titik tolak dalam menata hidup manusia, termasuk melalui hukum.196 Lebih jauh Bentham menyatakan bahwa hukum harus berbasis pada manfaat bagi kebahagiaan manusia.197 Sejalan dengan kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini, pendapat-pendapat tentang tujuan dan komponen hukum itu merupakan pijakan analisis dalam membahas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 UUPPLH. Penjelasan umum UUPPLH angka (1) menyebutkan bahwa menurut UndangUndang Dasar Tahun 1945 lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitutional setiap warga negara. Karena itu, negara, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain. Dewasa ini dalam perkembangan IPTEK, dalam angka (4) penjelasan umum UUPPLH menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kualitas hidup dan mengubah gaya hidup manusia. Pemakaian produk berbasis kimia telah meningkatkan produksi limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Keadaan itu menuntut pengembangan sistem pembuangan yang aman dengan resiko yang kecil bagi lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup yang lain. Lebih jauh ditegaskan bahwa disamping menghasilkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat, industri juga menimbulkan dampak antara lain karena menghasilkan B3 yang apabila dibuang ke media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia, serta 196 197
Bernard L. Tanya, dkk, Op. Cit., h. 90. Bernard L. Tanya, dkk, Op. Cit., h. 90.
97 makhluk hidup lain. Hakikat dari lingkungan hidup yang baik dan sehat yang merupakan tujuan pengelolaan lingkungan hidup sehingga wajib diwujudkan melalui penegakan hukum. 3.1 Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) dalam Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan 3.1.1 Istilah, Pengertian dan Sejarah Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) Istilah yang dipilih dalam penulisan disertasi ini ialah asas tanggung jawab langsung sebagai terjemahan dari prinsip strict liability. Yang dimaksud dengan asas hukum ada beberapa pendapat dari para pakar hukum tergantung dari pengertian fundamentil. Berturut-turut para pakar tersebut :198 Menurut Paul Scholten dalam risalahnya Rechtsbeginselen, asas-asas hukum itu tendensi-tendensi yang disyarat kepada hukum oleh kesusilaan kita (tendenzen, welkeons zedelijk vordeel aan het richt stelt). Faham Karl Larenz dalam Methoden-lehre der Rechtswissenschaft ialah menyerupai pendapat Paul Scholten. Asas-asas Hukum ialah ukuran-ukuran hukumiah ethis yang memberikan
arah
kepada
pembentukan
hukum
(de
rechtscthische,
rechtingggevende maatstoven der rechtsvorming). Seterusnya menurut P. Bellefroid, dalam Beschouwingen over Rechtsbeginselen asas-asas hukum umum ialah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dipersoalkan dari aturanaturan yang lebih umum (uit het positieve recht of geleide en door
198
O. Notohamidjojo, 1975, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta Pusat, h. 49.
98 derechtswesenschap
niet
totnog
algemener
regelen
te
herleiden
grondmormen). Lebih lanjut menurut Bellefroid, bagaimanapun juga asasasas hukum umum itu merupakan pengendapan dari hukum positif dalam suatu masyarakat. Asas hukum ini oleh Bellefroid didasarkan pada pengertian yang dualitis yaitu pengertian hukum alam dan pengertian hukum positif. Demikian juga menurut Prof. Mr. H.J. Hommes dalam de betekenis van de algemeine rechtsbeginselen voar de praktijk. Asas-asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang kongkrit akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk (rechtsnoer) bagi hukum yang berlaku. Asas hukum adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum yang mengandung nilai-nilai moral dan etis, merupakan petunjuk arah bagi pembentukan hukum yang memenuhi nilai-nilai filosofis yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran, nilai-nilai sosiologis yang sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat dan nilai yuridis yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.199 Istilah tanggung jawab langsung sebagai terjemahan dari strict liability, menurut Ida Bagus Wyasa Putra merupakan hasil perkembangan dari diskursus hukum Indonesia. Pembedaan istilah stict liability dengan istilah absolute liability ialah untuk mempertajam teknik dalam penerapannya. Istilah absolute liability diterjemahkan dengan istilah tanggung jawab mutlak
199
Khudzaefah Dimyati, 2010, “Teorisasi Hukum”, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia Tahun 1945-1990, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 208.
99 atau tanggung jawab absolut, artinya seketika bertanggung jawab berdasarkan fakta yang ada, fakta pencemaran atau kerusakan lingkungan yang ada secara nyata, yang tidak lagi diperlukan pembuktian korelasi antara pelaku atau perbuatan pelaku dengan akibat perbuatannya. Sebaliknya istilah strict liability menunjuk pada peristiwa hukum yang menggambarkan hubungan antara perbuatan pelaku dengan akibatnya, hanya saja kewajiban pembuktian terhadap korelasi antara perbuatan dengan akibat perbuatan itu tidak dilakukan oleh pihak penggugat, melainkan oleh pihak tergugat. Proses pembuktian ini disebut beban pembuktian terbalik, yaitu tergugat yang wajib melakukan pembuktian. Dalam hal perbedaan sistem tanggung jawab berdasarkan kesalahan (tortious liability) sistem diterima pelaku sudah disebut memikul tanggung jawab,
sistem
pembuktian
dan
batas-batas
kerugian
yang
harus
dipertanggungjawabkan.200 Pembuktian dalam strict liability dibebankan pada pelaku (polluter)
berdasarkan prinsip
pembuktian
terbalik (shefting of
burden of proofs).201 Asas tanggung jawab langsung telah diratifikasi yang diatur dalam konvensi internasional tentang pertanggungjawaban dalam hal pencemaran dilaut (international convention on civil liability for oil pollution damage (1969)). Tanggung jawab karena pencemaran minyak dilaut, dikecualikan bila pemilik kapal dapat membuktikan tanggung jawab langsung
200 201
NHT Siahaan, Op. Cit., h. 324. Ibid.
100 dan seketika itu tidak menimpa dirinya.202 Artinya ada alasan-alasan pemaaf untuk membebaskan tanggung jawab. Asas tanggung jawab langsung dalam kaitannya dengan sistem pembuktian yang dianut, untuk keperluan tersebut biasanya yang dipakai ialah beban pembuktian terbalik. Dengan demikian dalam perkara lingkungan hidup, seseorang bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya, kecuali ia dapat membuktikan bahwa ia tidak dapat dipersalahkan.203 Apabila dibandingkan dengan hukum pidana dimensi filosofis adanya eksistensi pembuktian, beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi disebabkan adanya kesulitan dalam sistim hukum pidana Indonesia untuk melakukan pembuktian terhadap perampasan harta kekayaan pelaku (offender) apabila dipergunakan dengan teori pembuktian negatif.204 Senada dengan hal tersebut dalam kasus pencemaran yang mengandung zat kimia, apabila penggugat membuktikan kesalahan pencemar adalah tidak adil, karena membuktikan limbah B3 yang ada zat kimianya adalah tidak adil dan memberatkan korban harus membuktikan kesalahan pencemar dan memerlukan biaya yang besar. Disinilah akhirnya strict liability diterjemahkan dengan tanggung jawab langsung yang mengarah ke beban pembuktian terbalik. Dalam hukum pidana,
menurut
Barda Nawawi Arief, sering
dipersoalkan apakah strict liability sama dengan absolute liability. Ada 2
202
Abdurrahman, Op. Cit., h. 104-105. Abdurrahman, Op. Cit., h. 106. 204 Lilik Mulyadi, 2012, Asas Pembalikan Beban Tindak Pidana Korupsi, Cet. II, Alumni Bandung, h. 23. 203
Pembuktian Terhadap
101 (dua) pendapat,205 pertama
strict
liability merupakan absolute liability.
Alasannya ialah dalam perkara strict liability seseorang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana dirumuskan dalam UndangUndang. Sudah dapat dipidana tanpa mempersoalkan pelaku bersalah atau tidak. Kedua, berpendapat strict liability bukan absolute liability artinya orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut Undang-Undang tidak harus atau belum tentu dipidana. Contoh si A mabuk-mabukan di rumahnya sendiri tetapi dalam keadaan tidak sadar (pingsan) si A diangkat oleh teman-temannya dan diletakkan di jalan raya. Dalam hal ini memang ada strict liability yaitu berada di jalan dalam keadaan mabuk, tetapi si A dapat mengadakan pembelaan berdasarkan adanya compulsion. Jadi dalam hal inipun strict liability bukanlah absolute liability .206 Pendapat yang kedua yaitu strict liability bukan absolute liability senada dengan perumusan Pasal 35 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1997 (UUPLH) yang menyatakan bahwa penanggung jawab usaha atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
jika yang
bersangkutan dapat membuktikan bahwa
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan dibawah ini: a. adanya bencana alam atau peperangan. b. adanya keadaan terpaksa diluar kemampuan manusia.
205
Barda Nawawi Arief, 2008, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 31. 206 Ibid, hl. 32.
102 c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Sesuai dengan alasan tersebut, strict liability tidak sama dengan absolute liability karena adanya pembelaan dari pencemar, dalam arti pencemar mempunyai kewajiban untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Dalam hal ini istilah strict liability diterjemahkan dengan dipertajam yaitu istilah tanggung jawab langsung yang mengarah ke pembuktian terbalik. Prinsip tanggung jawab ada 3 (tiga) prinsip atau teori mengenai tanggung jawab ialah : 1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas adanya unsur kesalahan (fault liability, liability based on fault principle) 2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga (rebuttable presumption of liability principle) 3. Prinsip tanggung jawab mutlak (no fault liability, absolute atau strict liability principle).207 Istilah tanggung jawab mutlak adalah terjemahan dari istilah absolute liability atau strict liability. Lebih jauh, ungkapan atau frase absolute liability untuk pertama kalinya dipergunakan oleh John Salmond dalam bukunya berjudul the law of torts 1907, sedangkan ungkapan strict liability dikemukakan oleh W.H. Winfield 1926 dalam sebuah artikel yang berjudul
207
Saefullah Wiradipradja, 1989, Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional, Cet. I, Liberty, Yogyakarta, h. 19.
103 The Myth of Absolute Liability.208 Menurut Salmond, keputusan pengadilan dalam perkara Rylands vs Fletcher contoh dari absolute liability, sedangkan menurut Winfield putusan tesebut tidak disebut sebagai contoh absolute liability melainkan lebih tepat dengan strict liability.209 Doktrin pertanggungjawaban yang lazim dalam hukum tentang perbuatan melanggar hukum adalah membedakan tanggung jawab berupa kewajiban membayar ganti rugi jika pelakunya bersalah atas tindakan tersebut.210 Tetapi sebenarnya hukum juga mengenal apa yang disebut tanggung jawab tanpa kesalahan (liability without fault) atau yang sering juga disebut dengan istilah tanggung jawab mutlak (strict liability, absolute liability).211 Sebagaimana telah disinggung di atas, asas tanggung jawab mutlak (strict liability) awalnya lahir dari kasus Rylands vs Fletcher di Inggris tahun 1868. Pokok-pokok kasus tersebut adalah sebagai berikut:212
208
Ibid¸h. 35. Ibid, h. 36. 210 Munir Fuady, 2010, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, Citra aditya Bakti, Bandung, h. 173. 211 Ibid. 212 Lihat dalam N.H.T. Siahaan, Op. Cit., h. 312. Kasusnya sebagai berikut : 209
penggugat adalah seorang pelaksana kegiatan penambangan batu bara yang lokasinya berdekatan dengan areal tanah tergugat yang dipergunakan untuk reservoir (semacam waduk) bagi penyuplaian air dalam proses mesin penggilingan. Dalam pelaksanaan pembangunan reservoir, tergugat melalui teknisinya tidak menyadari bahwa sisi perbatasan dengan areal penggugat adalah wilayah tambang yang sedang dipergunakan oleh penggugat. Ketika instalasi reservoir semuanya sudah selesai, dan air diisi kedalamnya, tak lama kemudian reservoir itu pecah dan menggenangi wilayah tambang sebelahnya sehingga menimbulkan kerusakan atau kerugian bagi penggugat. Pengadilan tingkat I menyatakan tergugat tidak terdapat unsur kelalaian, dimana pembangunan reservoir dilakukan oleh tenaga insinyur dan kontraktor yang profesional. Kasus ini di tingkat pengadilan I (the court of exchanguer) dimenangkan oleh tergugat. Di tingkat banding (the court of exchaguer chamber) hakim berpendapat sebagai berikut: setiap orang dalam kegiatan menyimpan, mengumpulkan atau membawa segala sesuatu meskipun di atas tanahnya dapat merugikan orang lain harus bertanggung jawab. Dalam pertimbangannya, hakim mengatakan apa yang dilakukan tergugat dengan memanfaatkan sumber daya alam adalah bersifat di luar kelaziman (non natural use), dengan memasukkan atau membawa air dalam jumlah yang besar kedalam tanah galian yang secara alami air di situ tidak ada. Dalam tingkat kasasi pada House of Lord, putusan pengadilan banding dikukuhkan.
104 Putusan ini akhirnya menjadi yurisprudensi atas penerapan asas strict liability dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan. Menurut Siti Sundari Rangkuti, masalah tanggung jawab mutlak (strict liability) perlu diteliti dalam hubungannya dengan tanggung gugat pencemar dan ganti kerugian bagi korban pencemaran. Konsep tanggung gugat keperdataan dapat digolongkan kedalam 2 (dua) sistem hukum yaitu :213 a. Eropa Continental Dengan bersumberkan pada French Code Civil of 1804, melalui sistem hukum Belanda yang berlaku di Indonesia B.W. ada 3 golongan tanggung gugat, menurut Nieuwenhuis : 1. Schuldaansprakelijkheid (tanggung gugat berdasarkan kesalahan). Yang berarti penggugat wajib membuktikan kesalahan tergugat. Konsep ini tertuang dalam Pasal 1365 KUHPerdata, mengandung persamaan dengan Pasal 1401 BW. Belanda, proses pembaharuan artikel 6.3.1.1. BW. Belanda yang baru (N.B.W.) 2. Schuldaansprakelijkheid met omkering van de bewijslast (tanggung gugat berdasarkan kesalahan dengan beban pembuktian terbalik) Contoh : a. Pasal 1367 KUH Perdata ayat (2), ayat (5) tentang tanggung gugat orang tua, wali b. Pasal 1368 KUH Perdata, tanggung gugat pemilik binatang 3. Risico aansprakelijkheid (tanggung gugat berdasarkan risiko) a. Pasal 1367 KUH.Perdata, tanggung gugat majikan b. Pasal 1369 KUH.Perdata, tanggung gugat pemilik gudang b. Anglo Amerika 1. Tort liability (liability based on fault) 2. Burden-shiffting (and burden alleviating) doctrine (shiffting the burder of proof) tanggung gugat disini ditekankan pada pembuktian terbalik bagi tergugat (defendant) 3. Res ipsa loquitur, membebaskan penggugat dari beban pembuktian 4. Strict liability, tanggung gugat ini timbul seketika pada saat terjadinya perbuatan, tanpa mempersoalkan kesalahan tergugat. 5. Absolute liability, Komar menjelaskan pengertian pertanggung jawaban penuh / absolut mengandung 2 (dua) pengertian prosedural kewajiban untuk membuktikan adanya unsur kesalahan untuk dapat dipertanggungjawabkannya kerugian; dan pengertian materiil yaitu penuh dalam besarnya ganti rugi yang mengandung pengertian bahwa pemberian ganti rugi harus sepenuhnya / tanpa batas tertinggi yang 213
Siti Sundari Rangkuti, Op. Cit., h. 297-302.
105 ditentukan terlebih dahulu. Menurut Siti Sundari Rangkuti konsep tanggung gugat keperdataan antara sistem hukum Eropa Continental terdapat adanya kesamaan dengan Anglo Saxon. Disertasi ini memfokuskan uraian pada pengertian istilah liability based on
fault,
strict
liability
dan
absolute
liability.
Dalam
sejarah
perkembangannya latar belakang dari prinsip tanggung jawab langsung, ialah warisan dari sistem kuno. Ia merupakan konsekuensi ajaran ”a man acts at his peril, atau he who breaks must pay”, yang maksudnya barang siapa berbuat, bila merugikan orang lain, dia harus bertanggungjawab. Pada waktu itu tugas utama hukum adalah memelihara kerukunan antar individu dengan menyediakan suatu cara penyelesaian yang diharapkan dapat diterima untuk mencegah pembalasan dendam.214 Menurut Roscoe Pound, perundangundangan modern menunjukkan kecendrungan penerapan prinsip tanggung jawab mutlak, berdasarkan berbagai alasan, seperti: kegiatan yang sifatnya berbahaya, kegiatannya bersifat luar biasa (unusual) dan abnormal, bahaya yang mengancam orang lain demikian besar.215 Istilah liability based on fault merupakan istilah pertanggungjawaban perdata dengan beban pembuktian kewajiban penggugat membuktikan kesalahan tergugat. Pasal 1365 KUH.Perdata mengandung konsep tanggung jawab berdasarkan atas kesalahan yang dapat dipersamakan dengan liability based on fault, seperti halnya doktrin pertanggungjawaban tradisional negligence dalam sistem hukum Anglo Saxon.216
214
Saefullah Wiradipradja, Op. Cit., h. 41. Saefullah Wiradipradja, Op. Cit., h. 42. 216 Mas Achmad Santosa I, Op. Cit., h. 123. 215
106 Menurut
sejarah
perkembangannya,
prinsip
tanggung
jawab
berdasarkan atas kesalahan (liability based on fault or negligence atau fault liability) merupakan reaksi atas prinsip tanggung jawab mutlak no fault liability atau absolute/strict liability yang berlaku pada masyarakat primitif.217 Pengertian prinsip kesalahan menurut Atiyah, secara tradisional mencakup dua aspek. Pertama, adalah adil bila seseorang yang menyebabkan kerugian atau kerusakan pada orang lain karena kesalahannya diwajibkan untuk memberikan santunan atas kerugian tersebut kepada korban. Kedua, adil bila seseorang yang menyebabkan kerugian atau kerusakan pada orang lain tanpa kesalahan tidak usah memberikan santunan kepada korban. Prinsip kesalahan ini memusatkan perhatian, yaitu jika penyebab kerugian terbukti bersalah pihak korban berhak memperoleh santunan dan bila tidak terbukti adanya unsur kesalahan maka santunan tidak diberikan.218 Dalam kaitannya apabila ada tuntutan ganti rugi yaitu penggugat wajib membuktikan apakah tergugat melakukan perbuatan melanggar hukum, wajib membuktikan kesalahan tergugat. Kesalahan
merupakan
unsur
yang
sangat
menentukan
pertanggungjawaban, yang berarti bahwa bila tidak terbukti ada unsur kesalahan tidak ada kewajiban memberi ganti kerugian.219 Di samping pengertian tanggung jawab berdasarkan atas kesalahan dikenal juga tanggung jawab tanpa kesalahan (liability without fault), yang secara umum diterima
217
Saefullah Wiradipradja, Op. Cit., h. 20. Saefullah Wiradipradja, Op. Cit., h. 24. 219 Koesnadi Hardjasoemantri, Op. Cit., h. 411. 218
107 dengan istilah strict liability, absolute liability atau tanggung jawab mutlak, tanggung jawab seketika atau tanggung jawab langsung. Tanggung jawab mutlak ialah suatu tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan hukum tanpa melihat apakah yang bersangkutan dalam melakukan perbuatannya mempunyai unsur kesalahan atau tidak. Karena itu tanggung jawab mutlak sering disebut dengan tanggung tanpa kesalahan.220 Menurut James Krier, doktrin pertanggungjawaban mutlak merupakan bantuan yang sangat besar dalam peradilan mengenai kasus-kasus lingkungan, karena banyak kegiatan-kegiatan yang menimbulkan kerugian terhadap lingkungan merupakan tindakan-tindakan berbahaya untuk mana dapat diberlakukan ketentuan-ketentuan tanggung jawab tanpa kesalahan.221 Seterusnya menurut Lummert, konsep tanggung jawab mutlak diartikan terutama
sebagai
kewajiban
mutlak
yang
dihubungkan
dengan
ditimbulkannya kerusakan. Salah satu ciri utama asas tanggung jawab mutlak adalah tidak adanya kesalahan.222 Profesor Binceng seorang ahli hukum udara terkemuka dari London University dan Ketua Komisi Hukum Udara dari International Law Association menyatakan bahwa dalam kepustakaan berbahasa Inggris penggunaan istilah strict liability dan absolute liability (kadang-kadang juga no foult liability) sering tampak saling bergantian. Baik secara teoritis maupun secara praktis sulit mengadakan perbedaan diantara kedua istilah
220
Munir Fuady, Op. Cit., h. 173 Koesnadi Hardjasoemantri, Op. Cit., h. 412. 222 Koesnadi Hardjasoemantri, Op. Cit., h. 412. 221
108 tersebut. Menurut Binceng menunjukkan adanya perbedaan yang pokok antara kedua istilah tersebut. Pada strict liability perbuatan yang menyebabkan kerugian yang dituntut itu harus dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab.223 Dengan perkataan lain, pada strict liability terdapat hubungan kausalitas antara orang yang benar-benar bertanggung jawab dengan kerugian. Pada strict liability semua hal yang biasanya membebaskan tanggung jawab (usual defences) tetap diakui kecuali hal-hal yang mengarah pada pernyataan tidak bersalah (absence of fault) karena kesalahan tidak lagi diperlukan.224 Lebih jauh menurut Binceng, absolute liability akan timbul kapan saja dan keadaan yang menimbulkan tanggung jawab tersebut ada tanpa mempermasalahkan oleh siapa atau bagaimana terjadinya kerugian. Jadi absolute liability adalah hubungan kausalitas antara orang yang bertanggung jawab dan kerugian tidak disyaratkan.225 Analisis tersebut, istilah dan prinsip pertanggungjawaban dapat dibedakan sebagai berikut: Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault) ialah penggugat dalam mengajukan tuntutan ganti rugi akibat perencanaan dan perusakan terhadap lingkungan hidup wajib membuktikan unsur kesalahan pihak tergugat atau pencemar sebaliknya asas tanggung jawab langsung unsur kesalahan oleh penggugat tidak perlu dibuktikan. Disini tergugat atau pencemar seketika bertanggung jawab secara
223
Saefullah Wiradipradja, Op. Cit., h. 37. Saefullah Wiradipradja, Loc. Cit. 225 Saefullah Wiradipradja, Op. Cit., h. 37-38. 224
109 langsung. Antara strict liability dengan absolute liability perbedaannya ialah dalam strict liability pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dapat membebaskan pertanggungjawaban dalam hal bencana alam, keadaan terpaksa, absolute liability tidak ada alasan untuk itu, ini berarti absolute liability bertanggung jawab seketika atau mutlak. Perbedaan yang lainnya ajaran kesalahan berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata peninggalan Belanda, sedangkan strict liability yang diatur dalam UndangUndang No. 32 tahun 2009 tentang UUPPLH berasal dari sistem hukum Anglo Saxon. Istilah
yang berkembang dikalangan para sarjana ialah
menterjemahkan strict liability
dengan tanggung jawab langsung yang
mengarah ke pembuktian terbalik.
3.1.2 Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) Aliran Filsafat Hukum
Perspektif Aliran-
Mazab hukum alam memandang hukum selalu dikaitkan dengan alam, sehingga apa yang disebut hukum alam dan untuk membedakannya dengan hukum buatan manusia atau yang kita kenal dengan hukum positip (ius constitutum). Hukum alam adalah hukum yang berlaku universal dan abadi. Dari situlah kemudian didapatkan keadilan yang sempurna dan mutlak berlaku bagi semua orang.226 Mazab hukum alam sumbernya ialah dari Tuhan dan hukum alam dari ratio manusia. Kedudukan hukum selalu dikaitkan dengan Tuhan, menurut Thomas Aquinas membagi hukum alam dalam 4 (empat) golongan antara lain :
226
H. M. Agus Santoso, 2012, Hukum, Moral, Keadilan, Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 151.
110 a. Lex aeterna, ratio Tuhan sendiri, mengatur segala hal dan merupakan sumber dari segala sumber hukum. b. Lex devina, ratio Tuhan yang dapat ditangkap oleh pancaindra, berdasarkan atas waktu dan tempat. c. Lex naturalis, ratio hukum alam yang merupakan terjemahan dari lex aeterna didalam ratio manusia. d. Lex positivistis, hukum yang berlaku ialah pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia.227 Dalam memahami hakikat hukum pada Mazab hukum alam, haruslah dilihat dari dimensi ontologi, yaitu apakah hakikat dari hukum tersebut. Dari masing-masing Mazab sudah tentu memaknai hakikat hukum tersebut adalah berbeda-beda. Menurut hukum alam, menjelaskan hakikat hukum ialah asas-asas kebenaran, keadilan, asasasas moral yang bersifat kodrati dan universal.228 Hakikat ini melarang semua tindakan-tindakan manusia yang bertentangan dengan kebenaran, keadilan, moral, hukum dan lain-lainnya. Teori hukum kodrat dikembangkan oleh Thomas Aquino, disamping lex aeterna dikembangkan juga 2 (dua) bentuk hukum yaitu lex naturalis dan lex humania. 229 Lebih jauh menurut Thomas Aquino, hukum adalah peraturan dan tindakan yang mendorong melakukan atau mencegah tindakan. Ukuran bertindak menurut Thomas Aquino adalah rasio (reason) yang sekaligus merupakan sumber utama tindakan manusia.230 Lebih jauh menurut Thomas Aquino, hukum sebagai peraturan merupakan bagian dari rasio. Ada 2 (dua) hal ketika berbicara tentang hukum, (1) hukum sebagai konsep yang sumbernya adalah rasio; (2) hukum dari sisi penerapannya yang berlaku bagi apa saja. Sebagai konsep hukum adalah ciptaan
227
Ibid, h. 52. I Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum, Dimensi Tematis dan Historis, Setara Press, Malang, (selanjutnya disebut I Dewa Gede Atmadja III), h. 12. 229 Andre Ata Ujan, 2009, Membangun Hukum Membela Keadilan, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, h. 51. 230 Ibid. 228
111 rasio dan masuk wilayah rasio. Dari sisi penerapannya perlu diperhatikan bahwa manusia seharusnya tidak bertindak semata-mata karena paksaan hukum.231 Menurut pandangan Imanual Kant, ketika masa pencerahan norma obyektif adalah akal budi manusia atau rasio. Kant membedakan antara legislasi dengan moralitas. Bagi Kant yang paling tepat bagi manusia adalah bertindak secara moral atau sesuai hukum moral. Kant benar-benar menggunakan tolak ukur rasio dalam memandang keberadaan norma obyektif.232 Hukum kodrat terbagi atas 2 (dua) golongan, pertama hukum kodrat primer: semua aturan hukum yang mengatur kepentingan bersama manusia, oleh sebab itu bersifat umum. Hukum kodrat sekunder setiap aturan hukum yang bersumber dari hukum kodrat primer tetap terdapat kekecualian karena situasi tertentu.233 Lebih jauh menurut Fuller ialah melihat hukum sebagai suatu activitas yang bertujuan moralitas gagasan mendorong manusia mencapai hal-hal yang lokal untuk memenuhi kemampuannya.234 Menurut pendapat Hart, terdapat aturan-aturan tertentu yang mengisi setiap organisasi sosial dan merupakan fakta dari sifat manusia yang memberikan suatu pertimbangan bagi postulasi suatu isi minimum dari hukum kodrat.235 Dimensi ontologi dari hakikat hukum kodrat ialah keadilan. Keadilan merupakan persoalan fundamental dalam hukum. Dalam keadilan ada sifat relativisme, abstrak, luas dan komplek sering tujuan hukum ngambang. Oleh karena itu selayaknya tujuan hukum 231
Ibid, h., 52. Antonius Cahyadi dan Fernando M. Manullang, 2011, Pengantar ke Filsafat Hukum, Kencana Prenada Media Groups, Jakarta, h., 46. 233 Ibid, h., 50. 234 Ibid, h., 52. 235 Ibid, h., 54. 232
112 haruslah realistis. Tujuan hukum yang realistis ini ialah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum.236 Jadi walaupun keadilan itu bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya, tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan.237 Aristoteles mengatakan unicuique suum tribuere (memberikan kepada setiap orang yang menjadi haknya) dan meminem laedere (janganlah merugikan orang lain) atau menurut Kant, honeste vivere, neminem leadere suum quique tribuire / tribuendi, titik berat pada pejuang keadilan disini agar negara memberikan keadilan kepada yang berhak untuk memperolehnya.238 Jika pokok persoalan hukum adalah manusia, maka pokok persoalan bagi manusia yang hendak dicapainya melalui hukum adalah keadilan.239 Menurut Gustav Radbruch, hukum bisa saja tidak adil, tetapi hukum hanyalah hukum yang maunya adil.240 Hubungan hukum dengan keadilan seperti yang dirumuskan oleh Gustav Radbruch belum lagi menjelaskan banyak persoalan mengenai hakikat dari keadilan itu sendiri dan dengan demikian juga mengenai persoalan kapankah hukum itu kondusip menuju keadilan.241 Sekalipun terdapat perbedaan antara hukum dan keadilan, serta adanya upaya untuk meletakkan keduanya dalam hubungan yang fungsional, keadilan yang dicapai melalui hukum itu adalah esensial negara manapun. Hart dengan mengutip Aurelius Augustinus yang dalam abad ke IV secara retoris : what are states without justice but robber-bands enlarged. Dengan kata lain, 236
Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum, Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum, Laks Bang Justitia, Surabaya, h., 59. 237 Ibid. 238 Ibid. 239 Budiono Kusumohamidjoyo, 2011, Filsafat Hukum, Problematik Ketertiban yang Adil, Mandar Madju, Bandung, h. 142. 240 Ibid. 241 Ibid.
113 suatu negara yang tidak mencerminkan keadilan tidak usah menyebut dirinya negara.242 Keadilan merupakan tujuan utama dari Mazab Hukum Alam, hal ini dibuktikan dari pengalaman empiris Socrates.243 Membicarakan hukum tidak lepas dengan cita hukum yang senantiasa merupakan pembicaraan mengenai keadilan. Menurut Plato, kekuatan moral adalah unsur hakikat dari hukum. Sebab tanpa moralitas maka hukum akan kehilangan supremasi dan independensinya.244 Hukum pada dasarnya berpijak pada hubungan antar manusia di dalam dinamika masyarakat yang terwujud sebagai proses sosial pengaturan cara bertingkah laku. Hakikat hukum bertumpu pada ide keadilan dan kekuatan moral.245 Seperti dikatakan Aristoteles, hukum negara bertujuan tidak hanya untuk memperoleh keadilan, namun juga untuk mendapatkan kebahagiaan bagi semua warga negara.246 Aliran hukum alam memandang bahwa alam harus dipelihara oleh manusia untuk mencapai tujuan, maka tolok ukur aliran hukum alam ialah terhadap esensi hukum, terletak pada dimana apa yang dipandang sesuai dengan kepentingan alam adalah kebaikan, maka lakukanlah kebaikan dan bertindaklah secara adil dan apa yang jahat dan tidak adil harus dihindarkan. Hakikat ini merupakan aturan alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan.247 Asas tanggung jawab langsung yaitu pertanggung jawaban dalam hukum perdata yang mencerminkan asas-asas moral, 242
Ibid. Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2012, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.92. 244 Ibid, h., 93. 245 Ibid, h., 93-94. 246 Ibid, h., 94. 247 Muhamad Erwin, 2011, Filsafat Hukum, Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 141. 243
114 kebenaran dan nilai-nilai keadilan. Dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan asas tanggung jawab langsung dilihat dari perspektif mazab hukum alam dapat memberikan keadilan pada masyarakat yang tidak mampu akibat pencemaran / perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan ancaman serius. Dalam pandangan mazab positivisme hukum, dari dimensi ontologi dalam memaknai hakikat hukum adalah norma-norma positif dalam sistem perundangundangan suatu negara. Bagi aliran positivisme hukum, peraturan perundangundangan merupakan aturan hukum positif. Dalam kepustakaan hukum, pandangan yang memandang bahwa tidak ada hukum diluar peraturan perundang-undangan dinamakan paham legisme atau legalisme.248 Terkait dengan asas tanggung jawab langsung dapat mencerminkan kepastian hukum baik dalam hukum materiil dan kepastian hukum dalam hukum formil. Adanya kepastian hukum dalam hukum acara, yaitu ketentuan hukum formil guna menegakkan hukum materiil, dan adanya kepastian hukum bagi masyarakat atau korban dalam memperjuangkan haknya di pengadilan. Keteraturan (orde) merupakan orientasi perjuangan dari mazab hukum positivisme. Untuk mencapai tujuan itu keteraturan hukum harus mampu memberikan kepastian hukum.249 Menurut Jeremy Bentham, hukum dapat diidentifikasi dan digambarkan berkaitan dengan fakta-fakta hukum yang relevan, yang mengikutsertakan hal-hal yang berkenaan dengan proses penciptaan hukum dan pelaksanaannya oleh orangorang dalam posisi memiliki posisi dan kontrol dalam masyarakat.250 Lebih jauh dari
248
I Dewa Gede Atmadja III, Op. Cit., h., 13. Dominikus Rato, Op. Cit., h. 63. 250 Antonius Cahyadi, dkk., Op. Cit., h. 63. 249
115 Bentham merupakan teori hukum yang bersifat imferatif yang didalamnya terdapat konsep-konsep yaitu : sovereignty, power, sanction, dalam sebuah masyarakat politik.251 Pandangan Austin dalam mazab hukum positivisme ialah hukum adalah merupakan perintah (command) dari pihak yang berkuasa (souvereign) yang memiliki sanksi.252 Menurut Andre Ata Ujan positivisme hukum dalam cara berpikir dalam proses judisial dimana hakim mendasarkan keputusannya sepenuhnya pada peraturan hukum yang ada. Keputusan judisial semata-mata merupakan hasil deduksi peraturan hukum.253 Menurut Hans Kelsen, hukum bersifat normatif, hukum yang normatif adalah penegakan hukum sebagai hukum. Hukum yang diselidiki hukum tersebut lepas dari pandangan-pandangan terhadap hukum yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan arti hukum sebagai hukum yaitu segi psikologi, sosiologi, etis dan politis.254 Menurut I Dewa Gede Palguna, yang mensarikan ialah Mazab Hukum Positif mengajarkan bagaimana menjadi realitas. Mazab ini juga mengajarkan untuk menganalisis segala sesuatu secara mendalam melalui hukum, karena itu ia disebut juga Analitical Jurisprudence. 255 Aliran hukum positif memisahkan secara tegas antara hukum dengan moral. Positivistis menganggap bahwa hukum identik dengan Undang-Undang.256 Aliran hukum positivisme ialah dengan tujuan adanya kepastian hukum dengan menerapkan Undang-Undang, oleh karena diluar Undang-Undang
251
Antonius Cahyadi, dkk., Loc. Cit. Ibid, h. 65. 253 Andre ATA UJAN, Op. Cit., h. 67. 254 Agus Santoso, Op. Cit., h. 56. 255 I Dewa Gede Palguna, Perkembangan Pemikiran Filsafat Hukum (Aliranaliran Dalam Filsafat Hukum), (selanjutnya disebut I Dewa Gede Palguna II), h.3. 256 Nomenson Sinamo II, Op. Cit., h. 49. 252
116 tidak ada hukum. Keberadaan dari asas tanggung jawab langsung apabila sudah dituangkan dalam undang-undang dapat menjamin kepastian hukum. Oleh karena itu, undang-undang harus dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu. Keadilan berarti juga kebahagiaan bagi masyarakat atau setidaktidaknya untuk sebagian besar masyarakat (the greatest happiness of the greatest number of people). Pendapat itu dikemukakan oleh Jeremy Bentham yang kemudian dikenal sebagai paham utilitarian yang merupakan pengembangan dari aliran positivisme hukum.257 Jeremy Bentham yang didukung oleh John Stuart Mill, berpendapat bahwa penilaian moral dari suatu perbuatan didasarkan atas hasil atau akibat dari perbuatan itu. Jeremy Bentham tidaklah membedakan lagi antara upaya mengejar kebahagiaan individu dengan upaya mengejar kebahagiaan umum. Asal saja sebagian besar menyangkut secara pribadi-pribadi sudah merasa bahagia maka sudah tercapailah tujuan hukum diciptakan.258 Menurut Auguste Comte, kaum positivis membedakan diri mereka dari pandangan hukum alam dengan mengatakan bahwa mereka mempelajari hukum sebagaimana tertulis dan sebagaimana adanya hukum itu, bukan tentang bagaimana hukum itu seharusnya (ought to be). Hukum dalam pandangan positivisme adalah peraturan.259 Pada mazab sociological jurisprudence menganut bahwa hakikat hukum adalah putusan-putusan hakim in concreto yang tersistematisasi sehingga menjadi
257
Djohansjah, 2008, Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, Kesaint Blanc, Jakarta, h. 57. 258 Ibid, h. 57-58. 259 Ibid, h. 52.
117 judge made law (hukum yang diputus oleh Hakim).260 Pendapat John Chipman Gray (1839-1915) semboyannya ialah : all the law is judge made law (semua hukum dibuat oleh hakim), mengingatkan disamping logika hukum sebagai faktor penting dalam pembentukan hukum, unsur-unsur subyektivitas hakim (simpati, politik, ekonomi dan sifat-sifat pribadi) telah berperanan dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum.261 Terkait dengan asas tanggung jawab langsung, bermula dari kasus Rylands V. Fletcher di Inggris yang penulis telah uraikan sebelumnya, mengandung penemuan yaitu : jenis-jenis kegiatan diluar kelaziman dengan pertimbangan hukum (House of Lord). Dalam penerapan tanggung jawab langsung pertimbangan hukum tersebut juga didukung oleh fakta-fakta yuridis / fakta-fakta di masyarakat, ada kegiatankegiatan yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup dan akibatnya sangat membahayakan kehidupan manusia dalam masyarakat apabila diterapkan
pertanggungjawaban
berdasarkan
kesalahan.
Aliran
sociological
jurisprudence berkembang di Amerika Serikat pionirnya Roscoe Pound melalui karya besarnya scope and purpose of sociological jurisprudence 1912, inti pemikiran dari aliran ini terletak pada penekanan bahwa hukum yang baik adalah yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat.262 Menurut Roscoe Pound, hukum haruslah dilihat sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Selain itu dianjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action) yang dibedakannya dengan hukum yang
260
I Dewa Gede Amadja III, Op. Cit., h., 13. I Dewa Gede Amadja III, Loc. Cit. 262 Muhamad Erwin, Op. Cit., h. 195. 261
118 tertulis (law in books), salah satu pendapat Pound yang terkenal hukum itu merupakan a tool of social engineering (hukum sebagai pranata sosial atau hukum sebagai alat untuk membangun masyarakat).263 Pada Teori Hukum Pembangunan atau mazab UNPAD tahun 1969. Konsep pembinaan hukum yang dimodifikasi dan diadaptasi dari pada Teori Roscoe Pound yaitu ”Law as a tool of social engineering” yang berkembang di Amerika Serikat, konsep hukum yang ditawarkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, dapat dilihat dari definisi maupun fungsi hukum yang dikembangkan. Hukum dalam pengertian yang luas menurut beliau tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas atau kaedah-kaedah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses (processes) yang mewujudkan berlakunya kaedah-kaedah itu dalam kenyataan.264 Dengan perkataan lain suatu pendekatan yang normatif semata-mata tentang hukum tidak cukup apabila kita melakukan pembinaan hukum secara menyeluruh.265 Mochtar Kusumaatmadja juga mengemukakan hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga (institution) dan proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.266 Dari definisi Mochtar Kusumaatmadja, terkait dengan asas tanggung jawab langsung dalam pembaharuan hukum melalui hukum Perundangundangan, untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan maka pembinaan hukum 263
Muhamad Erwin, Op. Cit., h. 197. Mochtar Kusumaatmadja I, Op. Cit., h. 11. 265 Mochtar Kusumaatmadja I, Loc. Cit. 266 Mochtar Kusumaatmadja II, Op. Cit., h. 15. 264
119 yang telah dilakukan melalui hukum tertulis dilanjutkan pada hukum tidak tertulis utamanya
melalui
mekanisme
yurisprudensi.
Pembinaan
hukum
melalui
yurisprudensi adalah sangat penting oleh karena dapat disadari hukum tertulis selalu ketinggalan zaman. Untuk mengisi kekosongan hukum (recht vacuum) yurisprudensi mempunyai arti penting. Artinya pertimbangan-pertimbangan hukum sangat penting dari putusan hakim. Dikaitkan dengan fungsi hukum asas tanggung jawab langsung disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia yaitu dalam bidang penegakan hukum lingkungan keperdataan. Dalam buku Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional (1970), dikemukakan fungsi hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat. Konsep fungsi hukum ini mengadopsi konsep Roscoe Pound yakni : ”Law as a tool of social engineering”. Pada bukunya yang lain yaitu : Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional (1976). Pengertian a tool sebagai alat yang bersifat mekanistis dimodifikasi menjadi sebagai sarana yang memiliki pengertian lebih luas. Berkaitan dengan fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat (GBHN, 1978-1998) pembangunan hukum nasional melalui tiga aspek yakni : a. Memperbaiki hukum, hukum yang sedang berlaku untuk disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan dan perkembangan masyarakat yang terjadi. b. Memperbaharui / merubah hukum-hukum yang pernah ada yang dianggap masih dapat dipergunakan c. Mempertahankan hukum yang pernah ada yang dianggap masih memadai.
120 Mencermati fungsi hukum dalam pembangunan di masyarakat, asas tanggung jawab langsung yang dikenal dalam sistem hukum Anglo Saxon sangat bermanfaat dan memiliki hakikat hukum yang dapat mencerminkan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam mengajukan gugatan ganti rugi ke pengadilan tanpa perlu membuktikan kesalahan tergugat. Untuk mengkaji suatu objek (hakikat) dari asas tanggung jawab langsung dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan aspek ontologis, epistemologi dan aksiologi adalah merupakan 3 (tiga) aspek penting dalam pengkajian suatu objek hukum. 1. Aspek ontologis Ontologis merupakan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno, yang paling tua ialah Thales, perenungannya terhadap air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal-mula dari segala sesuatu.267 Dalam ontologi bagaimana kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini. Kata ontologi berasal dari yunani on being dan logis = logic. Jadi ontologi adalah the theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan).268 Secara ontologis ilmu hukum atau disiplin hukum pada umumnya terikat pada suatu pertanyaan apakah hakikat hukum itu. Kajian ontologis secara garis besarnya terhadap hakikat hukum menurut Soetandyo Wignyosoebroto yang dapat dipetakan dalam 5 (lima) butir pengertian yaitu : a. Asas-asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrat dan berlaku universal. b. Norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan dalam satu negara. 267
Amzal Bahktiar, 2012, Filsafat Ilmu, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h. 131. 268
Ibid, h. 132.
121 c. Peraturan hakim in concrito yang tersistimatisasi sebagai judge made law. d. Pola-pola perilaku sosial terlembagakan eksis sebagai variabel sosial yang empirik. e. Manipestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sehingga tampak dalam interaksi diantara mereka.269 Hakikat hukum dapat diartikan sebagai asas-asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal. Hakikat hukum dilihat dari aspek formalitasnya (validitas, keabsahan) maupun dari segi substansinya (muatan keadilan) merupakan realitas kodrati. Moralitas sosial jela smasih abstrak untuk mengatur secara rinai aktivitas manusia setiap hari, oleh karena itu manusia diperbolehkan membuat hukumnya sendiri (lex humana atau human law). Pemikiran-pemikiran tersebut adalah ciri khas aliran hukum kodrat.270 Menurut Fuad Ihsan, dimensi keilmuan diartikan sebagai pilihan kita bagaimana memandang, melihat atau mengkaji ilmu pengetahuan apakah dari sudut : (a) Substansinya (b) Cara memperoleh, mengembangkan atau menggunakannya atau (c) Kita akan melihat manfaat atau nilainya.271 Lebih jauh dikemukakan obyek materiil ontologi adalah yang ada, artinya segala-galanya meliputi yang ada sebagai wujud kongkrit dan abstrak indrawi maupun tidak indrawi. Obyek formal memberikan dasar yang paling umum tiap masalah yang menyangkut manusia dan Tuhan. Titik tolak dan dasar ontologi adalah refleksi terhadap kenyataan yang paling dekat yaitu manusia sendiri dan 269
Sidharta, 2013, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 147. 270 Ibid, h. 147-148. 271 Fuad Ihsan, 2010, Filsafat Ilmu, Rineka Cipta, Jakarta, h. 222-223.
122 dunianya.272 Seterusnya dikemukakan fungsi atau manfaat mempelajari ontologi. Pertama sebagai refleksi kritis atas obyek atau bidang garapannya, konsepkonsep, asumsi-asumsi dari postulat-postulat ilmu. Kedua dunia emfiris dapat diketahui oleh manusia dengan panca indra. Ketiga penomena yang terdapat di dunia berhubungan satu dengan yang lainnya secara kausal.273 Menurut Sidharta, pemaknaan tentang hakikat hukum dengan menyatakan hukum sebagai norma-norma positif dalam sistem Perundang-undangan suatu negara.274 Selanjutnya pemahaman hakikat berikutnya mulai menerobos batasbatas yang disebut yuridis normatif yang formal, lugas-netral ala kebanyakan ahli hukum dari keluarga sistim civil law. Hakikat hukum yang termasuk kategori emfiris pertama-tama hukum dalam arti putusan hakim in concrito yang tersistimatisasi sebagai judge made law. 275 Menurut John Chipman Gray (18391915) dengan semboyannya ”All The Law is Judge Made Law” mengingatkan bahwa disamping faktor logika sebagai faktor dalam pembentukan hukum, unsurunsur subyektivitas hakim (simpati politik, ekonomi, dan sifat-sifat pribadi) telah berperan dalam menyelesaikan kasus-kasus penting umat manusia selama jutaan tahun.276 Selanjutnya pemaknaan hakikat hukum sebagai pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik. Pemaknaan ini menggunakan pendekatan kultural hukum bukanlah kreasi pengusaha politik melainkan adalah fenomena budaya seperti halnya bahasa. Fedrich Von Sovigny
272
Ibid, h. 223. Ibid¸h. 224. 274 Sidharta, Op. Cit., h. 148. 275 Sidharta, Op. Cit., h. 150. 276 Sidharta, Op. Cit., h. 151. 273
123 (1979-1861) menandaskan ”Richts ist nicht gemacth, es is und wird mit dem volke (hukum tidak dibuat ia tumbuh bersama dengan masyarakat).277 Asas tanggung jawab langsung perspektif mazab hukum kodrat ialah kebenaran, keadilan, moral dan hukum sebagai aktivitas yang bertujuan moralitas, sehingga perbuatan yang bertentangan dengan hal tersebut ialah merupakan perbuatan melanggar hukum. Menurut
Budiono
Kusumohamidjoyo,
masalah
keadilan
dalam
kenyataannya mempunyai makna yang sangat mendasar bagi kehidupan bersama manusia.278 Masyarakat luas yang dirugikan akibat pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang mengandung limbah B3 dan ancaman serius terhadap lingkungan hidup, oleh karena keadilan mempunyai makna yang sangat mendasar bagi kehidupan manusia dan lingkungan hidup sehingga mutlak keadilan tersebut harus terwujud dalam kehidupan di masyarakat. Demikian juga oleh karena keadilan tersebut merupakan persoalan yang fundamental dalam hukum. Apa yang dijelaskan oleh Gustav Radbruch
yang telah diuraikan
sebelumnya tujuan hukum ialah kepastian dan kefaedahan, sehingga tujuan hukum yang paling substantif ialah keadilan. Asas tanggung jawab langsung dapat memberikan rasa keadilan pada masyarakat untuk menuntut ganti rugi dengan tanggung jawab seketika atau tanggung jawab langsung. Pada intinya hakikat asas tanggung jawab langsung adalah sejalan dengan hakikat hukum aliran hukum alam, yaitu: keadilan, kebenaran, dan asas-asas moral. Hakikat kepastian hukum dari aliran / mazab 277 278
Sidharta, Op. Cit., h. 152. Budiono Kusumohamidjoyo, Op. Cit., h. 147.
124 positivisme kepastian hukum dapat mewujudkan keteraturan bagi masyarakat, sudah tentu keteraturan tersebut akan mencerminkan kepastian hukum. Bagi para penegak hukum (hakim) adanya jaminan kepastian hukum dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu sengketa dan dapat mencegah tindakan main hakim sendiri (eigenrichting). Hakim dalam penemuan hukum untuk membentuk hukum judge made law selalu memperhatikan fakta-fakta yang timbul dalam masyarakat, atau obitur dicta.
2. Aspek Epistemologi Menurut The Liang Gie, epistemologi adalah teori pengetahuan yang membahas berbagai segi pengetahuan seperti kemungkinan, asal-mula, sifat alami, batas-batas, asumsi dan landasan, validitas dan reliabilitas sampai soal kebenaran.279 Dalam aspek epistemologi ialah penekanan pada metodelogi / metodelogi ilmu pengetahuan yang dapat dipergunakan untuk menentukan validitas dan reliabilitas dari ilmu. Dalam konsep Kenneth T. Gallagher epistemologi adalah muncul dari rasa kagum, yaitu kekaguman manusia terhadap ada, dinalar dengan common sense akan memunculkan epistemologi yang membicarakan masalah bagaimana ada itu ada.280 Proses ada itu merupakan wilayah epistemologi. Jadi epistemologi adalah cabang filsafat umum yang membicarakan teori pengetahuan.281 Epistemologi sering juga disebut dengan teori pengetahuan (theory of knowledge). Istilah berasal dari bahasa Yunani, episteme yang artinya pengetahuan, logos artinya teori. Jadi epistemologi sebagai 279
The Liang Gie, 1991, Pengantar Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta, h. 84. Suwardi Endraswara, 2012, Filsafat Ilmu, Caps, Yogyakarta, h. 118. 281 Ibid, h. 118. 280
125 dimensi filsafat yang mempelajari asal mula, sumber, manfaat dan sahihnya pengetahuan. Secara sederhana disebutkan bagaimana cara mempelajari, mengembangkan dan memanfaatkan ilmu bagi kemaslahatan manusia.282 Dalam pengembangan pengetahuan aspek yang paling penting dari epistemologi ialah metodologi keilmuan.283 Terkait dengan asas tanggung jawab langsung adalah pengetahuan yang lebih dengan pendekatan emfiris. Pada aliran realisme ialah bagaimana pengetahuan tersebut akan dapat dipandang. Sehingga pada aliran realisme pendekatan dengan cara induktif, artinya dari fakta-fakta/kasus-kasus asas tanggung jawab langsung untuk bisa ditarik suatu kesimpulan yang umum (metode dari induktif ke deduktif). Rationalisme menganut pendekatan rasional. Pendekatan rational tersebut, sifat idealisme lebih menekankan proses berpikir deduktif yang terimplikasi dalam premis-premis yaitu premis mayor, premis minor dan simpulan.284 Atau dapat dikatakan berpikir dari deduktif ke berpikir induktif (dari umum ke khusus). Jujun S. Suriasumantri mengemukakan ialah 1) berdasarkan landasan ontologi dan aksiologi, maka bagaimana sebaiknya kita mengembangkan landasan epistemologi yang cocok.285 Persoalan utama yang dihadapi epistemologi adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhatikan aspek ontologi dan aspek aksiologi masing-masing, demikian masalah yang dihadapi oleh epistemologi keilmuan, bagaimana menyusun 282
Fuad Ihsan, Op. Cit., h. 225. Fuad Ihsan, Op. Cit., h. 226. 284 Fuad Ihsan, Op. Cit., h. 227. 285 Jujun S. Suriasumantri, Op. Cit., h. 106. 283
126 pengetahuan yang benar untuk dapat menjawab permasalahan mengenai dunia emfiris yang akan digunakan sebagai alat untuk meramalkan dan mengontrol berbagai gejala alam.286
3. Aspek Aksiologi Ilmu, pengetahuan dan teknologi adalah merupakan bagian dan sangat memberikan suatu manfaat bagi kehidupan manusia di dunia ini. Dewasa ini manusia dapat dikatakan sangat ketergantungan dengan IPTEK, tanpa penguasaan IPTEk dengan baik masyarakat akan mengalami kesulitan dalam hidupnya. Sebaliknya disamping demikian besarnya manfaat dari IPTEK, bisa juga menghancurkan kehidupan dalam masyarakat dan alam dalam kaitannya dengan hal-hal akan timbul tanggung jawab selaku ilmuan. Apa itu aksiologi. Beberapa definisi tentang aksiologi antara lain. 1. Aksiologi berasal dari pendekatan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi ialah teori tentang nilai. 2. Menurut Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya filsafat ilmu sebuah pengantar populer, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. 3. Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian pertama moral conduct, yaitu tindakan moral, melahirkan disiplin khusus yaitu : etika, kedua, esthetic expression yaitu ekspresi keindahan. Ketiga sosio-political life yaitu kehidupan sosial politik.287 Mencermati ketiga definisi yang dikemukakan oleh pendapat sarjana tersebut aksiologi ialah teori tentang nilai yang selalu terkait dengan kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia dan alam, dapat dijelaskan tindakan ilmuan harus punya tanggung jawab yang dilandasi oleh moral, yaitu disamping
286 287
Jujun S. Suriasumantri, Loc. Cit. Amsal Bakhtiar, Op. Cit., h. 163-164.
127 tanggung jawab ilmuan, juga tanggung jawab moral, tanggung jawab pada masyarakat dan alam. Mengabaikan tanggung jawab tersebut sudah pasti akan menghancurkan kehidupan dan alam atau lingkungan hidup. Asas tanggung jawab langsung memiliki esensi yang sangat bermanfaat dalam penegakan hukum lingkungan khususnya dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan. Hakikat yang lain penerapan asas tanggung jawab langsung ialah dapat menyelamatkan lingkungan hidup. Sangat bermanfaat bagi masyarakat dan sesuai dengan rasa keadilan bagi masyarakat yang lemah modal, lemah ekonomi dalam memperjuangkan haknya guna menuntut ganti rugi ke pengadilan. Dapat memberi tekanan secara preventif bagi pengusaha-pengusaha besar yang jenis usahanya dapat menghasilkan limbah B3 dengan berhati-hati. Dapat memberi kepastian hukum atas jenis-jenis kegiatan yang dapat diterapkan asas tanggung jawab langsung, disamping dapat memberikan kepastian hukum bagi hakim dalam menerapkan asas tanggung jawab langsung, dapat juga dikatakan yaitu menumbuhkan peran serta masyarakat (insfraak) dalam pengelolaan, pelestarian dan penegakan hukum lingkungan. Setelah mengkaji asas tanggung jawab langsung yang merupakan asas tanggung jawab tanpa perlu membuktikan kesalahan atau yang sering dengan istilah tanggung jawab seketika atau langsung, persepktif aliran-aliran atau mazab filsafat hukum yaitu dapat memberikan perasaan keadilan bagi masyarakat sebagai korban dalam memperjuangkan haknya di Pengadilan dalam kaitannya dengan memberi perlindungan terhadap lingkungan hidup, dapat membangkitkan peran serta dari masyarakat. Dalam penegakan hukum lingkungan, khususnya
128 bagi Hakim dalam menerapkan asas tanggung jawab langsung dapat memberi jaminan kepastian hukum terkait dengan fungsi hukum formil (hukum acara) yang berfungsi menegakkan hukum materiil dan sebagai dasar hukum dalam proses beracara di pengadilan, dan pada akhirnya, dimensi aksiologi sangat berfaedah dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan.
3.1.3 Tujuan dan Manfaat Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) dalam Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan Untuk mendapatkan jawaban yang jelas apa sebenarnya tujuan dan manfaat dari asas tanggung jawab langsung dalam penegakan hukum lingkungan, khususnya dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan tidak dapat dipisahkan dengan persoalan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan yang merupakan tujuan hukum. Manfaat dari asas tanggung jawab langsung ialah berangkat dari tuntutan perkembangan tehnologi dan modernisasi. Berdasarkan atas sistem ini si pelaku atau polluter telah cukup untuk dinyatakan bertanggung jawab atas pencemaran dan atau perusakan lingkungan meskipun belum dinyatakan bersalah.288 Seterusnya asas tanggung jawab langsung, kesalahan (fault, schuld atau mens rea) tidaklah menjadi penting untuk menyatakan si pelaku bertanggung jawab karena pada saat peristiwa itu timbul ia sudah memikul suatu tanggung jawab. Disini berlaku asas res ipso lequitor, yaitu fakta sudah berbicara sendiri (the thing speaks for itself).289 Oleh karena pembuktian kasus-kasus pencemaran yang mengandung limbah berbahaya dan beracun (B3) dan ancaman serius terhadap lingkungan hidup dan menyulitkan bagi korban atau penggugat dalam mengumpulkan alat-alat bukti 288 289
N.H.T. Siahaan, Op. Cit., h. 316-317. N.H.T. Siahaan, Loc. Cit.
129 apabila dibebani kewajiban untuk membuktikan kesalahan pelaku / pencemar. Asas tanggung jawab langsung adalah merupakan asas yang bertanggung jawab secara langsung atas kerugian yang timbul yang tidak perlu lagi membuktikan kesalahan pencemar. Pada umumnya masyarakat / korban yang mengalami kerugian adalah berkedudukan sebagai orang yang tidak mampu, posisi sangat lemah dan memerlukan biaya mahal atau tinggi. Menurut Suparto Wijoyo kesulitan dalam membuktikan kesalahan tergugat maupun hubungan kausal adalah merupakan hambatan dan beban yang harus dipikul oleh Penggugat atas dasar Pasal 1865 KUHPerdata jo Pasal 163 HIR/Pasal 283 RBg. Padahal korban pencemaran lingkungan pada umumnya awam soal hukum dan seringkali dalam posisi lemah bahkan berada dalam keadaan sekarat.290 Lebih jauh dikemukakan alternatif konseptual yang tersedia untuk mengatasi kesulitan pembuktian adalah dengan menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability atau resiko aansprakelijkheid).291 Mencermati pendapat Suparto Wijoyo tersebut asas tanggung jawab langsung lebih cendrung memberikan perlindungan hukum dan keadilan bagi masyarakat kecil atau masyarakat lemah. Sedangkan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, tidak memberikan perlindungan hukum terhadap lingkungan hidup dan tidak memberikan kemanfaatan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Disamping itu ajaran kesalahan tidak menumbuhkembangkan peran serta atau aktivitas masyarakat dalam perlindungan dan pengolahan terhadap lingkungan hidup. Sebaliknya atas 290
Suparto Wijoyo I, 2005, Refleksi Mata Rantai Pengaturan Hukum Pengelolaan Lingkungan Secara Terpadu, Cet. I., Airlangga University Press, Surabaya, h. 565. 291 Ibid.
130 tanggung jawab langsung dapat mendorong aktivitas masyarakat dalam melestarikan lingkungan hidup. Berbicara asas keadilan, asas tanggung jawab langsung lebih memberikan keadilan bagi masyarakat dan keadilan antar generasi dan beberapa elemen kuncinya yang dirumuskan oleh Fenner Conference, 1994, cukup urgensial dan beralasan karena dimensi penekanan prinsip tersebut berupaya menciptakan harmoni keadilan yang tidak hanya dinikmati oleh suatu generasi, tetapi generasi berikutnya memiliki peluang yang sama untuk memperoleh keadilan.292 Keadilan dalam suatu organisasi, secara teoritis atau praktis terkait erat dengan isu lingkungan dan sustainability. Hal ini mencuat karena beberapa persoalan diantaranya (a) beban dari permasalahan lingkungan dipikul oleh masyarakat yang lemah secara sosial dan ekonomi.293 Lebih jauh dikemukakan, adanya aspek keadilan dalam kehidupan masyarakat dalam satu generasi sesungguhnya mendeskripsikan kondisi objektif yang dicita-citakan lebih-lebih dalam kerangka pembangunan berkelanjutan yang mengedepankan pula perhatian terhadap perlindungan sumber daya alam dan lingkungan hidup dari ancaman kerusakan.294 Apa yang telah diuraikan oleh Syamsuharya tentang pandangan Betham terhadap perlindungan lingkungan hidup dari ancaman kerusakan menurut penulis, sudah tentu sangat memerlukan aturan hukum dalam mengajukan tuntutan ganti rugi atau tanggung jawab hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat, yaitu dengan meninggalkan asas pertanggung jawaban kesalahan beralih ke asas pertanggung 292
Syamsuharya Bethan, 2008, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Dalam Aktivitas Industri National, Sebuah Upaya Penyelematan Lingkungan Hidup dan Kehidupan Antar Generasi, Alumni, Bandung, h. 95. 293 Ibid, h. 95-96. 294 Ibid, h. 96.
131 jawaban dengan menerapkan asas tanggung jawab langsung. Berkaitan dengan hakhak subyektif atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dengan asas tanggung jawab langsung dalam kaitannya dengan penegakan hukum lingkungan keperdataan. Dikaitkan dengan pendapat Heinhard Steger c.s., menyatakan bahwa apa yang dinamakan hak-hak subyektif (subjective rights) adalah bentuk yang paling luas dari perlindungan seseorang. Hak tersebut memberikan kepada yang mempunyainya suatu tuntutan yang syah guna meminta kepentingan akan suatu lingkungan hidup yang baik dan sehat itu dihormati, suatu tuntutan yang didukung oleh prosedur hukum, dengan perlindungan hukum oleh pengadilan dan perangkat-perangkat lainnya.295 Tuntutan pada hakekatnya mempunyai 2 fungsi yang berbeda. Kedua fungsi yang dimaksudkan adalah : (a) Fungsi pembelaan, hak individu untuk membela diri terhadap gangguan terhadap lingkungan dimana tidak menguntungkan dirinya (b) Fungsi penampilan, hak individu menuntut dilakukannya suatu tindakan agar lingkungan dapat dilestarikan, dipulihkan atau diperbaiki.296 Strict liability dianggap perlu dalam lalu lintas hukum modern untuk memungkinkan dapat diselenggarakan berbagai aktivitas yang membawa tanggung jawab yang dianggap terlalu besar tetapi dilihat dari segi masyarakat (bangsa-bangsa)
295
Mohammad Taufik Makarao, 2011, Aspek-aspek Hukum Lingkungan, Indeks, Jakarta, h. 50. 296 Ibid, h. 51.
132 dapat dinilai sebagai manfaat.297 Tanpa strict liability kurang memberikan proteksi baik bagi pelaku maupun korban.298 Mengenai manfaat atau kelebihan dari asas tanggung jawab langsung dengan tanggung jawab berdasarkan kesalahan, menurut pendapat M. Ramdan Andri G.W. menyatakan bahwa seseorang bertanggung jawab kapanpun kerugian timbul. Pertama korban dilepaskan dari beban berat untuk membuktikan adanya hubungan kausal antara kerugiannya dengan tindakan individu. Kedua para potensial polluter akan memperhatikan baik tingkat kehati-hatiannya (level of care) maupun tingkat kegiatannya (level of activity).299 Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, asas keadilan adalah perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara baik lintas daerah, lintas generasi maupun lintas gender.300 Penerapan asas tanggung jawab langsung dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan akan sangat bermanfaat bagi masyarakat, oleh karena terbit tanggung jawab langsung apabila timbul kerugian akibat perusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang mengandung limbah berbahaya dan beracun (B3) dan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Dengan diterapkannya asas tanggung jawab langsung dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan dikaitkan dengan peran dan tujuan hukum lingkungan, adalah memberikan keadilan (law want justice). Keadilan yang dikehendaki hukum harus mencapai persamaan 297
Heru Prijanto, 2011, Hukum Pencemaran Minyak di Laut, Cet. I, Banyumedia Publishing, Malang, h. 30. 298 Ibid. 299 Supriadi, 2010, Hukum Lingkungan Indonesia Sebuah Pengantar, Cet. 3, Sinar Grafika, Jakarta, h. 295. 300 Marhaeni Rio Siombo, 2012, Op. Cit, h. 83.
133 (equality), hak atas individu (individual rights) kebenaran (truth) kepatutan (fairness) dan melindungi masyarakat (protection public interest).301 Lebih jauh dikemukakan, hukum yang mampu menegakkan nilai-nilai tersebut. 1. Kenyataan realita yang dihadapi masyarakat 2. Yang mampu menciptakan ketertiban (to achieve order) 3. Yang hendak ditertibkan adalah masyarakat oleh karena order yang dikehendaki adalah ketertiban sosial (social order) yang mampu berperan. a. Menjamin penegakan hukum sesuai dengan ketentuan proses beracara yang tertib b. Menjamin tegaknya kepastian hukum (ensuring certainty) c. Menjamin keseragaman penegakan hukum (ensuring unifornity) d. Menjamin tegaknya prediksi penegakan hukum (ensuring predictability).302 Dalam kaitannya dengan penerapan asas tanggung jawab langsung hukum harus mampu menegakkan keadilan dan memberi perlindungan hukum pada masyarakat. Menurut Roscoe Pound, kepentingan manusia yang dilindungi hukum ada 3 macam. 1. Public interest (kepentingan umum) 2. Social interest (kepentingan masyarakat) 3. Privat interest (kepentingan individual).303 Tujuan hukum, fungsi hukum dan perlindungan hukum, menurut Sudikno Mertokusumo adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan.304 Aspek keadilan tentunya harus dikedepankan dalam melihat tujuan dan manfaat dari asas tanggung jawab langsung sehingga dengan
301
Syahrul Machmud, 2012, Problematika Penerapan Delik Formil Dalam Perspektif Penegakan Hukum Pidana Lingkungan di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, h. 154-155. 302 Ibid, h. 155. 303 H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Op. Cit, h. 266-267. 304 H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Op. Cit, h. 269.
134 diaturnya dalam hukum materiil dan hukum formil akan dapat menjamin kepastian hukum, perlindungan lingkungan hidup, memberikan rasa keadilan dan sangat berfaedah bagi masyarakat sebagai pihak korban. Tujuan penerapan asas tanggung jawab langsung adalah untuk memenuhi rasa keadilan, mensejalankan dengan kompleksitas perkembangan teknologi sumber daya alam dan lingkungan serta mendorong badan usaha yang beresiko tinggi untuk menginternalisasikan biaya sosial yang dapat timbul akibat kegiatannya.305 Penerapan asas tanggung
jawab
langsung biasanya didampingi dengan ketentuan tentang beban pembuktian terbalik (omkering der bewisjlast), kewajiban asuransi dan penetapan plafond (ceiling) yaitu batas maksimum ganti kerugian.306 Tujuan dikembangkannya asas tanggung jawab langsung, doktrin ini dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan doktrin tradisional yaitu pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault) dalam mengantisipasi kegiatan-kegiatan yang mengandung resiko penting atau besar (significant risk).307 Seterusnya ditegaskan, dalam pencemaran dan/atau perusakan lingkungan terkadang terdapat kemungkinan penyebab ganda (multiple cause). Keadaan semacam ini sangat menyulitkan pencari keadilan atau pihak yang benarbenar dirugikan dalam mengemukakan bukti-bukti teknis tersebut. Dirasakan tidak adil manakala pihak yang dirugikan oleh limbah industri besar diharuskan pula membuktikan kesalahan dari
industri tersebut.308
Demikian
juga
manfaat
diterapkannya asas tanggung jawab langsung, terhadap kegiatan industri modern 305
Suparto Wijoyo II, 1999, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Settlement of Environmental Disputes), Airlangga University Press, Surabaya, h. 36. 306 Ibid. 307 Syahrul Machmud, 2012, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Cet. I, Graha Ilmu, Yogyakarta, h. 209. 308 Ibid.
135 yang mengandung resiko-resiko potensial tersebut sangat sulit dan berat untuk dibuktikan oleh penggugat (masyarakat awam), dan kalaulah bisa dibuktikan maka akan menghabiskan biaya yang cukup tinggi.309 Seperti telah diuraikan sebelumnya kasus-kasus perusakan, pencemaran yang mengandung limbah berbahaya dan beracun (B3), kasus-kasus sangat berbahaya dan dapat menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup sudah tentu akan mengalami kesulitan untuk menerapkan tanggung jawab berdasarkan kesalahan dalam mengajukan gugatan ganti kerugian. Menurut Rachmadi Usman dengan menggunakan asas strict liability, maka akan terjerat kejahatan-kejahatan lingkungan hidup yang mengharuskan adanya pembuktian secara ilmiah yang tidak mungkin berhasil jika dituntut berdasarkan tanggung gugat biasa. Hal ini sejalan dengan prinsip pencegahan secara dini terhadap lingkungan hidup.310 Rudiger Lummer dalam tulisannya ”changes in civil liability concept”, mengemukakan bahwa, dengan berkembangnya industrialisasi yang menghasilkan resiko yang bertambah besar, serta makin rumitnya hubungan sebab akibat, maka teori hukum telah meninggalkan konsep kesalahan dan berpaling ke konsep resiko.311 Hal senada dikemukakan pula oleh James E Krier, bahwa doktrin strict liability dapat merupakan bantuan yang sangat besar dalam peradilan mengenai kasus-kasus lingkungan, karena banyak kegiatan-kegiatan menurut pengalaman menimbulkan kerugian terhadap lingkungan merupakan tindakan-tindakan berbahaya, untuk mana dapat diperlakukan ketentuan tanggung jawab tanpa kesalahan.312 Pada hakikatnya tujuan dan manfaat asas
309
Ibid, 211. Rahmadi Usman, 2003, Pembaharuan Hukum Lingkungan Nasional, Cet. I, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 334. 311 Ibid. 312 Ibid, h. 335. 310
136 tanggung jawab langsung dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan ialah mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum sangat erat hubungannya dengan keadilan. Bahkan ada orang yang berpandangan bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya sungguh-sungguh berarti sebagai hukum.313 Lebih jauh dikatakan, hanya melalui tata hukum yang adil orang-orang dapat hidup dengan damai menuju kesejahteraan jasmani maupun rohani.314 Tujuan dari penerapan asas tanggung jawab mutlak dalam sistem hukum nasional adalah (1) untuk memenuhi rasa keadilan; (2) mensejalankan dengan kompleksitas perkembangan tehnologi; (3) kompleksitas sumber daya alam dan lingkungan hidup; dan (4) mendorong badan usaha yang beresiko tinggi untuk menginternalisasikan biaya sosial yang dapat timbul akibat kegiatannya.315 Dari uraian di atas tujuan atau manfaat dari asas tanggung jawab langsung dapat dirinci ialah, asas tanggung jawab langsung dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat, menjamin kepastian hukum, dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk berperan serta dalam penegakan hukum lingkungan atau pengelolaan lingkungan, dapat menumbuhkan sikap hati-hati bagi pengusaha-pengusaha besar yang usahanya kecendrungan membahayakan lingkungan, dapat menyelamatkan lingkungan bagi ahli waris kedepan, dan dapat memberikan kepastian hukum dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan. Asas tanggung jawab langsung esensinya juga lebih mengedepankan penegakan hukum lingkungan preventif. 3.1.4 Asas Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle) dalam Penegakan Hukum Lingkungan dan Perbedaannya dengan Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) Polluter Pays Principle ialah prinsip atau asas pencemar membayar. Timbulnya asas ini dalam hukum lingkungan ialah adanya potensi pencemaran dan 313
Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum, Cet. 3, Kanisius, Yogyakarta, h. 64. Ibid. 315 Mas Achmad Santosa I, Op. Cit., h. 173. 314
137 perusakan atas lingkungan hidup. Pencemaran dalam ketentuan umum UndangUndang No. 32 Tahun 2009 UUPPLH dalam Pasal 1 angka 14 dan perusakan lingkungan hidup Pasal 1 angka 16. Akibat dari pencemaran dan perusakan diatur dalam Pasal 1 angka 17. Akibat dari tindakan manusia baik karena pencemaran maupun perusakan lingkungan hidup, yaitu tindakan manusia dengan dimasukkannya zat, makhluk hidup, energi dan komponen lain kedalam lingkungan hidup, menimbulkan perubahan fisik, kimia, dan hayati yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dan baku mutu lingkungan hidup.316 Pencemaran dan perusakan terhadap lingkungan hidup dapat menimbulkan kerugian pada lingkungan hidup dan merugikan masyarakat. Tindakan manusia yang melakukan pencemaran dan perusakan atas lingkungan hidup dan menimbulkan kerugian dan korban yang menderita kerugian dapat mengajukan gugatan ganti rugi atau gugatan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad). Dalam UndangUndang No. 23 Tahun 1997 UUPLH ketentuan pertanggungjawaban atas pencemaran lingkungan hidup diatur dalam Pasal 34 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (1). Kedua pasal ini menganut 2 (dua) sifat pertanggungjawaban yaitu : (1) Dasar pertanggungjawaban yang bersifat biasa (Pasal 34 ayat (1) UUPLH) (2) Dasar
316
Pasal 1 angka 14. Ketentuan Umum Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Pencemaran Lingkungan Hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang ditetapkan. Pasal 1 angka 16 Perusakan Lingkungan Hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Pasal 1 angka 17 Kerusakan Lingkungan Hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
138 pertanggungjawaban yang bersifat khusus (Pasal 35 ayat (1) UUPLH).317 Senada dengan bunyi Pasal 34 ayat (1) UUPLH, dalam UUPPLH No. 32 tahun 2009 yaitu dalam Pasal 87 ayat (1).318 Ketentuan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No. 23 tahun 1997 yang dalam penjelasannya, yang mengatakan bahwa ayat ini merupakan realisasi dari asas yang dalam hukum lingkungan hidup disebut dengan asas pencemar membayar, maka dapat disimpulkan rumusan ketentuan pasal ini merupakan bagian dari asas polluter pays principle, yang dapat diartikan sebagai asas pencemar membayar tidak aspek preventif juga represif.319 Menurut Siti Sundari Rangkuti dasar pungutan atau uang jaminan ialah the polluter pays principle, yang tujuan utamanya ialah membiayai upaya-upaya
pencegahan
dan
penanggulangan
pencemaran.320
Lebih
jauh
dikemukakan pungutan pencemaran merupakan insentif bagi pencemar untuk menghilangkan atau mengurangi pencemaran. Insentif untuk mencegah pencemaran lingkungan yang dilaksanakan pemerintah dapat berbentuk bantuan keuangan minimal subsidi, iuran investasi dan sarana fiskal, tapi bantuan itu dapat menjadi disinsentif bila pencemar tidak tergugah untuk lepas dari ketergantungan pada pemerintah.321
317
N.H.T. Siahaan, Op. Cit., h. 307. Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 UUPPLH yaitu : setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. 319 N.H.T. Siahaan, Op. Cit., h. 308. 320 Siti Sundari Rangkuti, Op. Cit., h. 238. 321 Siti Sundari Rangkuti, Loc. Cit. 318
139 Seterusnya prinsip pencemar membayar ialah bersumber pada ilmu ekonomi berpangkal tolak pada pemikiran bahwa pencemar semata-mata merupakan seseorang yang berbuat pencemaran yang seharusnya dapat dihindarinya. Begitu pula norma hukum dalam bentuk larangan dan persyaratan perizinan bertujuan untuk mencegah pencemaran yang sebenarnya dapat dielakkan.322 Istilah membayar ialah mempunyai pengertian tersendiri, karena yang dimaksud bukan membayar secara murni dalam bentuk uang yang dapat menimbulkan keadaan (tafsiran) bahwa bukan si pencemar membayar, tetapi si pembayar mencemarkan (de betaler vervuilf).323 The organization for economic cooperation and development (OECD), menekankan supaya pencemar dibebani kewajiban membayar akibat kerusakankerusakan lingkungan hidup yang dibuatnya. Selanjutnya menurut OECD pencemar juga diharuskan membayar biaya kegiatan yang perlu secara preventif dalam bentuk penguatan insentif yang sama dengan biaya pembersihan limbah disamping menetapkan kriteria
yang
bersifat
keharusan (mengambil
langkah-langkah
pencegahan).324 Menurut OECD, upaya pengendalian pencemaran melibatkan biayabiaya seperti biaya alternatif penerapan kebijaksanaan arti pencemaran, biaya pengukuran dan pemantauan pengelolaan, biaya riset, pengembangan tehnologi unitunit pengelolaan pencemaran dan perawatan instalasi unit-unit pengelolaan limbah.325 Pada intinya prinsip pencemar membayar mengandung makna pencemar harus memikul biaya pencegahan pencemaran lingkungan (udara) yang diwujudkan dalam bentuk instrumen ekonomik. Penerapan instrumen ekonomik dilakukan 322
Siti Sundari Rangkuti, Op. Cit., h. 238. Siti Sundari Rangkuti, Op. Cit., h. 239. 324 N.H.T. Siahaan, Op. Cit., h. 309. 325 N.H.T. Siahaan, Loc. Cit. 323
140 melalui pungutan pencemaran (pollution charges) seperti misalnya air pollution fee, water pollution fee, emission changes, dan lain sebagainya serta uang jaminan pengembalian kaleng atau botol bekas (defosifees).326 Seterusnya ketentuan Pasal 52 PP No. 41 Tahun 1999 sejalan dengan prinsip pencemar membayar. Prinsip pencemar membayar dalam Pasal 53 PP No. 41 tahun 1999 terkesan limitatif, yaitu sebatas pembiayaan pengendalian pencemaran udara, sejalan dengan prinsip pencemar membayar yaitu sebatas pada pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak yang berasal dari kendaraan bermotor tipe baru.327 Dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1982 (UULH), ditetapkan setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selanjutnya Pasal 22 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1982 (UULH), menetapkan barang siapa merusak dan atau mencemarkan lingkungan hidup memikul tanggung jawab dengan kewajiban membayar ganti kerugian kepada penderita yang telah dilanggar haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan landasan bagi pelaksanaan prinsip pencemar membayar (polluter pays principle).328 Lebih jauh ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 tahun 1982 (UULH) berkaitan dengan pencegahan pencemaran yang bersifat preventif adalah jauh lebih baik daripada pencemaran terjadi. Oleh karena itu disebut juga pencemaran menguntungkan (pollution prevention pays).329 Apabila dilihat dari aspek teoritis, penerapan ilmu dan tehnologi pencegahan pencemaran dapat membantu kalangan industri menahan dampak negatif limbah industri. Upaya ini
326
Suparto Wijoyo I, Op. Cit, h. 149. Suparto Wijoyo I, Op. Cit, h. 151. 328 Koesnadi Hardjasoemantri, Op. Cit., h. 268. 329 Koesnadi Hardjasoemantri, Op. Cit., h. 269. 327
141 dikenal dengan konsep pencegahan pencemar menguntungkan (Pollution Prevention Pays).330 Dari uraian diatas antara asas pencemar membayar dengan asas tanggung jawab langsung menunjukkan persamaan dan perbedaan dalam penerapannya dalam hal ganti kerugian dan pemulihan lingkungan. Dilandasi dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1982 (UULH) jo Pasal 5 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 (UUPLH) jo Pasal 65 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH)331 yaitu setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia, dan telah ditegaskan dalam pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 setelah amandemen. Ketentuan tentang hak asasi manusia adalah merupakan landasan / atau melandasi barang siapa yang melakukan perusakan dan pencemaran wajib membayar ganti kerugian dan mengembalikan fungsi lingkungan hidup. Atas dasar ini dalam pasal 34 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 (UUPLH) dan pasal 87 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 (UPPLH) dalam penjelasannya disebutkan332, ialah merupakan realisasi dari asas pencemar membayar. Dari perumusan pasal tersebut dapat diartikan prinsip pencemar membayar adalah lebih mengedepankan pencegahan (preventif). Perumusan pasal 34 ayat (1) UUPLH dan Pasal 87 ayat (1) (UUPPLH) dalam hal ganti kerugian karena perbuatan melanggar hukum apabila diajukan gugatan tetap
330
Syamsuharya Bethan, Op. Cit., h. 234. Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1982 (UULH) jo pasal 5 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 (UUPLH), setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. 332 Pasal 34 ayat (1) UU No. 32 Tahun 1997 jo pasal 87 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 berbunyi : setiap penanggung jawab dan / atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa perencanaan dan / atau perusahan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. 331
142 harus membuktikan kesalahan pencemar / perusak sesuai dengan ketentuan pasal 1365 KUH Perdata. Jadi dapat dikatakan dari Undang-Undang Lingkungan yang berlaku prinsip pencemar membayar dapat diartikan preventif dan represif. Sedangkan beberapa pendapat sarjana yang penulis telah uraikan
prinsip pencemar membayar lebih
bersifat preventif (pencegahan) karena prinsip ini lebih menguntungkan seperti disebutkan oleh Suparto Wijoyo, prinsip pencemar membayar pencemar harus memikul biaya pencegahan, pencemaran yang diwujudkan dalam bentuk instrumen ekonomik. Prinsip pencemar membayar dengan penerapan ilmu dan teknologi dapat membantu
bagi kalangan industri / pengusaha-pengusaha besar untuk menekan
dampak negatif dari limbah yang dihasilkan oleh industrinya. Menurut OECD pencemar harus membayar biaya kerugian secara preventif dalam bentuk penguatan insentif yang sama dengan pembersihan limbah, disamping menetapkan kriteria yang bersifat keharusan (mengambil langkah-langkah pencegahan).333 Dapat ditegaskan prinsip pencemar membayar lebih mengedepankan aspek pencegahan. Apabila prinsip pencemaran membayar dicermati perumusan Pasal 34 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 jo Pasal 87 ayat (1) UU NO. 32 Tahun 2009, yaitu perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan perusakan sehingga dalam tuntutan ganti rugi dan pemulihan lingkungan hidup wajib ada pembuktian unsurunsur perbuatan melanggar hukum dalam pasal 1365 KUH Perdata, ini berarti secara represif, penggugat / korban wajib membuktikan kesalahan tergugat / pencemar. Kalau prinsip pencemar membayar lebih mengedepankan pencegahan, sedangkan
333
N.H.T. Siahaan, Op. Cit., h. 309.
143 tanggung jawab langsung lebih mengedepankan represif, tanpa perlu membuktikan unsur kesalahan. Asas tanggung jawab langsung juga ada kandungan preventif maksudnya memberi tekanan pada
pelaku usaha untuk bertindak hati-hati agar
usahanya tidak menimbulkan pencemaran / perusakan terhadap lingkungan hidup.
3.2
Asas Tanggung Perkembangannya
Jawab
Langsung
(Strict
Liability)
dalam
Asas tanggung jawab langsung pada mulanya ialah dikenal dalam sistem hukum Anglo Saxon. Kemudian terjadi perubahan
perkembangan
yang pesat
dibeberapa negara kearah penerimaan negligency sebagai bentuk tanggung jawab yang lebih dominan.334 Perkembangan penerapan asas tanggung jawab langsung dimulai di Inggris yang telah diuraikan sebelumnya dari kasus Rylands vs Fletzer. Demikian juga di sistem hukum perundang-undangan di Amerika. Istilah di negeri Belanda ialah risico aansprakelijkheid yang sama dengan strict liability di Amerika dan
yang
sama
dengan
istilah
tanggung
jawab
mutlak
di
Indonesia.
Perkembangannya di Indonesia telah diatur dalam perundang-undangan lingkungan hidup berturut- turut Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 (UULH), Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 (UUPLH) dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH). Ketiga
perundang-undangan tersebut
belum dilengkapi dengan prosedur
beracaranya atau belum dilengkapi dengan hukum formil yang berfungsi mempertahankan dan menegakkan hukum materiil. Di Indonesia rusaknya lingkungan hidup akibat pencemaran yang mengandung limbah berbahaya dan beracun (B3) dan mengancam kesehatan
334
Mas Achmad Santosa I, Op. Cit., h. 127.
144 manusia apabila pihak-pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 KUH.Perdata. Ketentuan pasal tersebut menyebutkan unsur-unsur yang harus dipenuhi diantaranya : 1. 2. 3. 4. 5.
Adanya suatu perbuatan. Perbuatan tersebut melawan hukum. Adanya kesalahan dari pihak pelaku. Adanya kerugian bagi korban. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.335
Pasal 1365 KUH.Perdata dalam kaitannya dengan
pertanggungjawaban
mewajibkan adanya unsur kesalahan dalam hal pihak korban yang ingin mengajukan gugatan wajib membuktikan kesalahan pihak pencemar. Apabila dilihat dari beban pembuktian dalam kasus-kasus pencemaran yang mengandung limbah B3 sangat sulit untuk mengumpulkan alat-alat bukti, lebih-lebih dalam membuktikan zat kimia adalah memerlukan biaya yang sangat mahal yang tidak mungkin bisa dijangkau oleh masyarakat yang lemah ekonomi atau lemah modal. Secara teoritik perkembangan asas tanggung jawab langsung yang telah diatur dalam hukum materiil dan tidak dilengkapi dengan hukum formil yang mempunyai fungsi untuk menegakkan dan mempertahankan hukum materiil. Gugatan perwakilan awalnya selalu tidak diterima untuk diperiksa oleh hakim dengan alasan bentuk hukum tersebut ialah dikenal dalam sistem hukum Anglo Saxon. Perkembangan yang lain Indonesia juga telah meratifikasi konvensi-konvensi internasional melalui Undang-Undang dan Keputusan Presiden, ini membawa konsekuensi mengikat bagi negara-negara yang meratifikasi dan wajib diterapkan. Dalam perundang-undangan nasional yang telah mengatur asas tanggung jawab 335
Munir Fuady, Op. Cit., h. 10.
145 langsung yaitu : Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 tentang ketenaganukliran. Kegiatan-kegiatan usaha yang mengandung resiko tinggi baik bagi kehidupan manusia maupun lingkungan hidup asas tanggung jawab langsung sangat tepat dan sangat bermanfaat keberadaannya dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan. Salah satu putusan yang telah menggambarkan tentang penerapan asas tanggung jawab langsung dalam sistem peradilan Indonesia yaitu : Putusan PN. Tangerang No. 97/Pdt/G/2012/PN. Tangerang. Dari kasus pencemaran yang dapat mengganggu kesehatan ibu yang mengandung, meningkatnya timbul penyakit akut, akibat limbah udara, gas, asap atau debu pertikulat. Kasus pencemaran ini diajukan melalui gugatan perwakilan, sayangnya gugatan tersebut tidak diterima oleh pengadilan dengan alasan gugatan penggugat tidak syah dan tidak memenuhi persyaratan gugatan perwakilan. Terkait dengan tiadanya hukum formil pada awalnya semua gugatan perwakilan yang diajukan ke Pengadilan selalu ditolak untuk diperiksa. Dalam hal ini para hakim Indonesia masih corong dari peraturan perundang-undangan atau hakim adalah mulutnya Undang-Undang, hakim belum melakukan penemuan hukum formil. Penemuan hukum formil baru dilakukan oleh hakim melalui Putusan PN. Jakarta Pusat No. 550/Pdt.G/2000/PN.Jak.Pusat yaitu dengan penemuan hukum formil yang mengabulkan gugatan class action. Dari uraian diatas telah menggambarkan dalam praktek peradilan perdata asas tanggung jawab langsung ada indikasi untuk diterapkan dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan, namun secara teoritik karena ketiadaan aturan yang dipakai dasar hukum oleh hakim untuk menerapkan asas tanggung jawab langsung dapat mengakibatkan belum diterapkannya asas tanggung jawab langsung tersebut.
146 3.2.1 Ruang Lingkup Penerapan Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) dalam Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan Pembahasan
penerapan
asas
tanggung
jawab
langsung
dibatasi
pembahasannya disekitar penegakan hukum lingkungan keperdataan, yaitu gugatan ganti kerugian yang diajukan ke pengadilan karena perusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang disebabkan oleh limbah berbahaya dan beracun (B3) dan ancaman serius terhadap lingkungan hidup yang merugikan masyarakat. Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009 (UUPPLH) diatur tentang prinsip tanggung jawab langsung. Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH) megaskan kegiatan usaha yang menghasilkan B3 dan menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup adalah bertanggung jawab mutlak atas kerugian tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.336 Dalam penjelasan Pasal 88 tersebut, asas tanggung jawab langsung adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang pembuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti-rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusakan lingkungan menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Adapun dimaksud dengan batas tertentu, jika
336
Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH) setiap orang yang tindakannya, usahanya dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan /atau mengelola limbah B3 dan/atau menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
147 menurut Peraturan Perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usada dan/atau kegiatan ybs atau telah tersedia dana lingkungan hidup.337 Pada prinsipnya bila dibandingkan dengan perumusan Pasal 35 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 adalah sama, namun perumusan Pasal 35 tersebut lebih longgar yaitu adanya alasan untuk membebaskan tanggung jawab (a) adanya bencana alam atau peperangan, (b) adanya keadaan terpaksa diluar kemampuan manusia, (c) adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.338 Mencermati perumusan Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH), tidak memberikan perumusan yang jelas apakah yang dimaksud dengan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Sedang dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 (UUPLH) hanya menyebutkan dampak penting dan besar terhadap lingkungan hidup. Kegiatan-kegiatan yang mengandung resiko besar, pencemaran keterkaitan dengan zat kimia yang dikeluarkan.339 Teori pertanggungjawaban mutlak (strict liability) ialah bermula dari doktrin kasus Rylands vs Fletcher di Inggris pada tahun 1868, menurut teori ini orang menjalankan kegiatan yang dapat digolongkan sebagai extrahazardous atau ultrahazardous atau abnormally dangerous.340 Sedangkan pengertian dari limbah B3, menurut ketentuan umum Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999, tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun. B3 ialah : sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang monsentrasinya dan/atau jumlahnya baik secara langsung atau tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup dan/atau dapat
337
Penjelasan Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 338 Lihat Pasal 35 Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997. 339 Mas Achmad Santosa I, Op. Cit., h. 124. 340 Mas Achmad Santosa I, Op. Cit., h. 125.
148 membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.341 Berpedoman pada Pasal 35 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 (UUPLH) menerapkan tanggung gugat secara mutlak yaitu hanya pada sengketa kegiatan usaha yang : 1. Menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan 2. Menggunakan bahan berbahaya dan beracun (B3) atau 3. Menghasilkan limbah B3 Ukuran dampak besar dan penting tentu sangat saintifik dan membutuhkan pengaturan hukum yang cermat demi terjaminnya kepastian hukum.342 Dalam Pasal 1 angka (26) UUPPLH, dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan. Yang dimaksud ancaman serius terhadap lingkungan dalam pasal 1 angka (34) ialah ancaman yang berdampak luas terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan keresahan masyarakat. Dapat dijelaskan dengan dihasilkannya limbah B3 yang apabila dibuang kedalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.343 Asas tanggung jawab langsung diimplementasikan secara terbatas pada particular types of cases. Menurut hukum positif Indonesia asas tanggung jawab langsung baru dilakukan pada sengketa lingkungan akibat usaha dan/atau kegiatan yang dikwalifikasi. 341
Lihat Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun. 342 Suparto Wijoyo II, Op. Cit., h. 32-33. 343 Lihat Pasal 1 angka (26) dan (34) Ketentuan Umum Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32 tahun 2009.
149 a. b. c. d.
Menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan Menggunakan bahan berbahaya dan beracun Menghasilkan limbah berbahaya dan beracun Pencemaran perusakan lingkungan akibat kerugian nuklir dalam pengelolaan zat dan/atau limbah radioaktif e. Pencemaran minyak dilaut wilayah f. Pencemaran perusakan lingkungan dilaut zona ekonomi eksklusif Indonesia344 Tujuan penerapan asas tanggung jawab langsung adalah untuk memenuhi rasa keadilan, mensejalankan dengan kompleksitas perkembangan teknologi sumber daya alam dan lingkungan serta mendorong badan usaha beresiko tinggi untuk menginternalisasikan biaya sosial yang dapat timbul akibat kegiatannya.345 Strict liability merupakan jenis pertanggungjawaban perdata yang tidak mendasarkan pada kesalahan (fault) tergugat.346 Seterusnya Strict liability bermaksud unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan dan pembuktian justru dibebankan pada tergugat dan dia benar-benar tidak mencemari dan/atau merusak lingkungan.347 Dengan demikian, hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan ruang lingkup strict liability yaitu : a. Tingkat resiko (the degree of risk) dalam hal ini resiko dianggap tinggi apabila tidak dapat dijangkau oleh upaya lazim menurut kemampuan teknologi yang telah ada b. Tingkat bahaya (the grovity of harm), dalam hal ini bahaya dianggap sangat sulit untuk dicegah pada saat mulai terjalinnya c. Tingkat kelayakan upaya pencegahan (the appropriateness), dalam hal ini penanggung jawab harus menunjukkan upaya maksimal untuk mencegah terjadinya akibat yang menimbulkan kerugian pada pihak lain. d. Pertimbangan resiko dan manfaat kegiatan telah dilakukan secara memadai sehingga dapat diperkirakan bahwa keuntungan yang diperoleh akan lebih besar jika dibandingkan dengan ongkos-ongkos yang harus dikeluarkan untuk mencegah timbulnya bahaya.348 344
Suparto Wijoyo II, Op. Cit., h.36. Suparto Wijoyo II, Loc. Cit. 346 Syahrul Mahmud, Op. Cit., h. 211. 347 Syahrul Mahmud, Loc. Cit. 348 Supriadi, Op. Cit., h. 295. 345
150 Seterusnya apakah suatu kegiatan termasuk berbahaya (abnormally dangerous) yang dikutip dari John D. Blackburn, Elliot I, Klayman, dan Martin H. Malin yang mengutip Pasal 520. restatement of the Law of Torts di Amerika, terdapat beberapa faktor yaitu: 1. Kegiatan tersebut mengandung tingkat bahaya yang tinggi bagi manusia, tanah atau benda bergerak lain (the activity in values a high degree of some harm to the person, land or chatlels of others) 2. Kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut mempunyai kemungkinan untuk menjadi besar (the harm which way result from it is likely to be great) 3. Resiko dapat tidak dihilangkan meskipun kehati-hatian yang layak sudah diterapkan (the risk cannot be elemented by the excurcised reasonable care) 4. Kegiatan tersebut tidak termasuk dalam kegiatan yang lasim (the activity is not matther of common usage) 5. Kegiatan itu tidak sesuai dengan tempat dimana kegiatan itu dilakukan (the activity is not appropriate to the place where it is carried on). 6. Nilai atau manfaat kegiatan tersebut bagi masyarakat (the value of activity to the community).349 Dalam pembahasan tentang ruang lingkup dari penerapan asas tanggung jawab langsung ialah kegiatan-kegiatan usaha yang menghasilkan limbah B3 yang sangat membahayakan kehidupan manusia. Kegiatan-kegiatan yang mengandung tingkat bahaya yang sangat tinggi dan dapat mengancam secara serius lingkungan hidup yang berakibat hancurnya lingkungan hidup dan menimbulkan kematian pada semua makhluk hidup. Kegiatan-kegiatan yang tidak lazim dilakukan oleh manusia atau kegiatankegiatan tidak pada tempat yang sebenarnya dapat menimbulkan keresahan pada masyarakat, dapat menyebabkan ancaman kesehatan yang berkelanjutan bagi kehidupan manusia. Menimbulkan ancaman serius terhadap ekologi, bahkan ancaman serius tersebut berkepanjangan sangat
349
Supriadi, Op. Cit., h. 295-296.
sulit untuk dikembalikan pada
151 keadaan semula. Akibatnya kegiatan-kegiatan tersebut membahayakan keselamatan manusia dan lingkungan hidup.
3.2.2 Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) dalam Hukum Lingkungan Internasional Konferensi PBB tentang lingkungan hidup yang diadakan tanggal 5-16 Juni 1972 di Stokholm, dan tanggal 5 Juni ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Tahun 1992 tanggal 3-14 Juni diadakan konferensi lingkungan hidup dan pembangunan PBB di Rio de Jeneiro yang merupakan penegasan dari Deklarasi Stokholm 1972. Tujuan dari konferensi ini adalah mewujudkan kemitraan global yang baru dan adil melalui tahapan kerjasama yang baru dan erat diantara negaranegara berdasarkan keterpaduan konsep pembangunan dan perlindungan lingkungan serta kesadaran terhadap keterpaduan dan saling ketergantungan alam bumi tempat semua umat manusia berpijak.350 Deklarasi Rio memuat 27 prinsip, dan dalam kaitannya dengan penegakan hukum lingkungan prinsip yang ke 2 dan prinsip yang ke 13 dapat dipakai sebagai acuan. Prinsip 2 : Setiap negara, berdasarkan Piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional diakui memiliki kedaulatan penuh untuk memanfaatkan sumber daya alam karena sesuai dengan kebijakan di bidang lingkungan dan pembangunan masing-masing dan berkewajiban menjaga agar kegiatan yang berlangsung diwilayahnya atau berada di bawah pengawasannya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan negara lain atau wilayah diluar batas nasional negara-negara. Prinsip 13 : Penyusunan hukum tentang denda dan ganti rugi baik secara nasional maupun internasional oleh setiap pemerintah negara untuk keperluan perlindungan hak-hak korban pencemaran atau kerusakan lingkungan lainnya. Dari kedua prinsip tersebut yang telah penulis paparkan adalah menentukan hak-hak dari masing-masing tanggung jawab dalam memberikan perlindungan 350
Ida Bagus Wyasa Putra, Op. Cit., h. 40.
152 hukum baik akibat kegiatan usaha yang menimbulkan pencemaran atas lingkungan hidup maupun tindakan manusia yang merusak lingkungan hidup. Dalam bidang hukum, konferensi Stockholm, memberi kontribusi yang sangat besar dalam perkembangan hukum lingkungan. Juga sebagai awal tumbuhnya kesatuan pandangan
diantara
negara-negara
peserta
untuk
menggunakan Stockholm
Declaration sebagai referensi bersama-sama.351 Pembangunan berkelanjutan wajib ramah lingkungan atau pembangunan yang berwawasan lingkungan. Dalam kemajuan industri, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lepas timbul kasus-kasus pencemaran maupun perusakan atas lingkungan hidup. Beberapa aturan hukum yang diperlukan baik hukum nasional, hukum internasional, konvensi-konvensi dengan tujuan dapat menyelamatkan lingkungan hidup dan dapat memberi rasa adil bagi masyarakat. Perkembangan IPTEK dan industri yang modern tidak menutup kemungkinan timbul pencemaran dan perusakan yang membahayakan kehidupan manusia dan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Masyarakat atau korban dalam memperjuangkan haknya tidak lagi bisa bertahan dengan aturan-aturan hukum yang konvensional, negligence ataupun ajaran kesalahan seperti diatur dalam sistem hukum perdata di Indonesia. Korban / masyarakat umumnya lemah pengetahuan dan modal, sudah tentu apabila dibebani pembuktian seperti limbah berbahaya dan beracun (B3) akan mengalami kesulitan. Untuk memenuhi rasa keadilan, dan dapat menjamin kepastian hukum dan bermanfaat seharusnya ada perangkat aturan hukum yang dapat menjawab hal tersebut. Di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon, seperti Amerika, Inggris sudah mulai meninggalkan ajaran kesalahan dan pengadilan-pengadilan sudah mulai melakukan judge made law dari case law.
351
Marhaeini Ria Siombo, Op. Cit., h. 18.
153 Melihat dari kegiatan-kegiatan yang membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia di Inggris timbullah doktrin atau asas pertanggungjawaban langsung atas seketika tanpa perlu lagi membuktikan kesalahan pencemar, asas tanggung jawab tersebut dikenal dengan istilah tanggung jawab mutlak (strict liability, absolute liability). Istilah ini awalnya muncul dari kasus diluar kelaziman. Putusan House of Lord yang telah diuraikan sebelumnya. Perkembangan dibeberapa negara doktrin atau asas tanggung jawab langsung ialah perkembangan dari sistem hukum Anglo-Saxon atau common law. Terjadi perubahan perkembangan yang pesat dibeberapa negara kearah penerimaan (neglegence) sebagai bentuk tanggung jawab yang lebih dominan. Pergeseran ini berdasarkan atas alasan-alasan moral tidak ada ungkapan no liability without fault (tidak ada tanggung jawab tanpa adanya kesalahan).352 Beberapa dari Asas tanggung jawab langsung dari : Doctrine of strict liability for ultrahazardous activity found its first expression in the English case of Rylands vs Fletcher. In Ryland vs Fletcher, the defendent Landowners hired a contractor to build a water reservoir in their property, but the contractor, without the knowledge of the owner, negligently built the reservoir over an area containing underground mine shaft.353 (Penggunaan doktrin strict liability terlihat dengan jelas dalam kasus di Inggris, yaitu Rylands vs Fletcher. Dalam kasus ini tergugat merupakan pemilik tanah menyewa seorang kontraktor untuk membangun penampungan air dilahannya, namun kontraktor, tanpa sepengetahuan pemilik, membangun penampungan air diatas lahan yang berisikan sumur tambang). Dari kasus Rylands vs Fletcher tahun 1968 di Inggris, pada Pengadilan Tingkat Kasasi di Inggris (House of Lord) dengan pertimbangan hukum yaitu penggunaan sumber daya alam yang bersifat non natural atau di luar kelaziman. Dari kasus tersebut kwalifikasi pertanggung jawaban untuk melakukan tuntutan ganti rugi dengan tanggung
352
Mas Achmad Santosa I, Op. Cit., h. 127-128. James R. Mac Ayeal, The Comprehensive Environmental Reponse, Compensation, and Liability act : the Correct Paradigm of Strict Liability on The Problem of Individual Causation, 3. 353
154 jawab mutlak ialah sebatas adanya a non natural used of land (penggunaan tanah yang tidak lazim) In this case, the appellate court held that: the true rule of law is, that the person who for is own purposes brings on his lands and collects and keeps there anything likely to do mischief if it escapes must keep it in at his persil, and if he does not do so, is prima facie answerable for all the damage which is the natural concequence of its escape.354 (Dalam kasus ini Pengadilan Banding memutuskan bahwa Rule of law yang sesungguhnya adalah barang siapa yang dengan sengaja membawa, menaruh atau menyimpan apapun yang dimiliki kemungkinan membawa kerusakan atau ketidak beruntungan harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi, jika tidak, jawaban secara pasti bahwa orang orang itu akan bertanggung jawab atas segala konsekwensi alam yang terjadi). Mengenai konsep strict liability if there is no need for culpability, where does guilt come from in the context of strict criminal liability. It is sufficient to have authority over the conditions which led to the proscribed harm.355 (Jika kesalahan tidak diperlukan, dimana pelanggaran hukum berasal dalam konteks strict liability. Kewenangan untuk mengadili dapat dilihat dari kondisi atau kerusakan yang terjadi akibat perbuatan tersebut. The quintessential pure strict liability category of crime was environmental crime, inas much as the affender need only cause defined forms of environmental risk or harms (such as exposing the public to certain pollutans or toxins in excess of a specified level) and it is virelevant that she lached – negligence, knowledge, or any other culvability.356 (Jenis strict liability yang paling murni adalah dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan lingkungan, dimana pelaku telah melakukan perusakan lingkungan atau membahayakan lingkungan (seperti mengekspos masyarakat dengan polusi atau zat beracun sampai pada level tertentu) dan dalam kasus ini kelalaian atas jenis kesalahan lainnya tidak begitu diperhitungkan. Pada intinya dari uraian dan pertimbangan kasus tersebut terhadap hal-hal yang membahayakan lingkungan atau hal-hal yang tidak lazim, strict liability dapat diterapkan tanpa memperhitungkan kesalahan.
354
Ibid. Kalyani Robbins, Poved With Good Intention: The Fote of Strict Liability Under the Migratory Bird Treaty Act : 6. 356 Ibid. 355
155 Dalam tradisi sistem hukum Anglo Saxon seperti Amerika Serikat, konsep Strict Liability dapat ditelusuri melalui 2 (dua) sumber yaitu :357 1.
The Restatement (Second) of torts dan
2.
Statutory Laws (Undang-Undang)
1.
Strict liability dalam The Restatement (Second) of torts dirumuskan dalam pasal 519 ayat 1,2 sebagai berikut : Ayat (1) One who carries on an abnormally dangerous activity is subject to liability for harm to the person, land and chatterls of another resulting from the activity although he has exercited the ut mast care to prevent harm. (2) This strict liability is limited to the kind of harm the possibility of which makes the activity abnormally dangerous.
2.
Strict Liability dalam statutory Laws dalam Undang-Undang yaitu : a. Federal water pollution control act (FWPCA). Pasal 311 antara lain : Except where on owner or operation can prove that a dischange was caused salely by : (a) An act of god (b) On act of war (c) Negligence on the part of the limited states government or (d) An act or omission of a third party without regard to whether any such act or omission was or was not negligent, or any combination of the fare going clauses, such owner or operator of any vessel which oil or a hazardous substance is dischanged sholl be liable. b. Trans-Alaska Pipeline Authorization Act, sistem kompensasi tanggung jawab mutlak terhadap korban-korban yang muncul akibat kecelakaan yang dialirkan oleh Trans Alaska Pipeline Authorization act., penerapan strict liability atau tanggung jawab mutlak khusus dalam kondisi-kondisi tertentu yaitu jika terjadinya kerusakan dan jatuhnya korban. c. The comprehensive environmental responce compensation and liability act (CERLA). Pengadilan Amerika Serikat dengan mendasarkan pada Pasal 107 CERLA. Menerapkan strict liability terhadap para penghasil dan pengangkut limbah B3. Alasan yang membebaskan tergugat ialah : alasan pemaaf yang membebaskan Tergugat atas pencemaran Act of God, act. Of war, act of third parties. Untuk pihak ketiga, alasan tergugat satu-satunya penyebab terjadinya pencemaran. 357
Mas Achmad Santosa I, Op. Cit., h. 130-133.
156 Asas tanggung jawab langsung telah dianut sejak lama di Amerika Serikat. Namun jika dilihat dari penerapannya terdapat beberapa pengecualian yaitu terhadap kondisi-kondisi khusus yang pada prinsipnya merupakan aktifitas / kejadian yang berada diluar kapasitas manusia untuk menghindarinya (beyond human capasity).358 Dalam sistem hukum Belanda, konsep tanggung jawab langsung disebut dengan istilah risico-aansprakelijkheid, sebagaimana pengertian konsep strict liability dalam hukum Anglo Amerika, atau tanggung jawab mutlak dalam sistem hukum Indonesia, resico aansprakelijheid merupakan bentuk tanggung jawab yang tidak didasarkan pada unsur kesalahan.359 Pengaturan tentang resico aansprakelijheid ditemukan dalam Bab 6 dan 8 BW. Berdasarkan buku 6 BW sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 175 ayat (1), Pasal 176 ayat (1) dan Pasal 177 ayat (1), resico aansprakelijheid diberlakukan atau ditetapkan atas tiga jenis kegiatan. 1.
Badan usaha pengelolaan bahan berbahaya
2.
Instalasi pengelolaan limbah
3.
Kegiatan tambang pengeboran360 Demikian
pentingnya asas tanggung jawab langsung dalam penegakan
hukum lingkungan sehingga disepakatilah dalam konvensi internasional tentang pengaturan asas tanggung jawab langsung untuk mengantisipasi kegiatan-kegiatan yang membahayakan terhadap lingkungan hidup. Adapun asas tanggung jawab langsung dalam konvensi-konvensi internasional, antara lain : 1.
Konvensi tentang pertanggung jawaban pihak ketiga dibidang nuklir (convention on third party liability on the field of nuclear energy, 29 July 1960 Paris. 358
Mas Achmad Santosa I, Op. Cit., h. 133. Mas Achmad Santosa I, Op. Cit., h. 134. 360 Mas Achmad Santosa I, Loc. Cit. 359
157 Konvensi ini dibuat dalam kerangka OECD. Organization Economic Cooperation and Development, tentang pertanggung jawaban resiko dari penggunaan energi nuklir untuk kepentingan perdamaian (the peaceful use of nuclear energy). Konvensi ini mengatur prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) seperti dinyatakan dalam Pasal 9 : The operator shall not be liable for damage cauced by a nuclear incident directly due to an act of armed conflict, hastilities, civil war insurection or except in sofar as the legislation of the contracting party in whose territory his nuclear installation is stuated may provide to the contrary a grave natural disaster of an exceptional character. Dalam konvensi ini tidak ada kewajiban penggugat untuk membuktikan unsur kesalahan (fault atau negligence) apabila kerugian telah timbul obyek pertanggungjawaban / tergugat (operator instalasi nuklir, penanggung, penjamin keuangan seketika bertanggung jawab atas kerugian dengan jumlah maksimum yang telah ditetapkan dalam konvensi ini). 2.
Konvensi tentang pertanggung jawaban sipil atas kerugian yang diakibatkan oleh nuklir (convention on civil liability for nuclear damage, 21 May 1963 Vienna). Konvensi ini menganut prinsip absolute liability seperti dalam Pasal IV (1). Namun tidak berbeda dengan penerapan strict liability. Konvensi ini juga mengatur alasan-alasan penghapus tanggung jawab (defences), kadang-kadang penggunaannya sering dipertukarkan.
3.
Konvensi internasional tentang pertanggung jawaban sipil atas kerugian pencemaran minyak (liability for oil pollution damage, 29 November 1969, Brussels). Dalam Pasal 3 konvensi ini mengatur aspek pertanggungjawaban berdasarkan strict liability.
4.
Konvensi tentang pertanggung jawaban internasional atas kerugian yang disebabkan oleh Ruang Angkasa (Convention on International liability for Damage Caused by space objects. 29 March 1972 Genewa). Dalam kopensi ini
158 terdapat dua (2) jenis pertanggung jawaban yang dianut yaitu liability based on fault dan liability without fault. Jenis pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault) diterapkan terhadap kerugian yang terjadi diluar permukaan bumi atau terhadap manusia atau terhadap manusia dan benda dalam benda ruang angkasa negara lain. Pertanggung jawaban tidak berdasarkan kesalahan (liability without fault), jenis absolute diperlakukan bagi jenis kerugian yang diakibatkan oleh space objects terhadap permukaan bumi atau pesawat penerbangan (aircraft in flight). Konvensi ini tidak mengenal alasan pemaaf dan tidak mengenal batas jumlah kerugian. 5.
Konvensi pergerakan lintas batas limbah bahan berbahaya dan beracun (convention on the control of transboundary movements of hazardous wastes an their disposal, 22 March 1989). Dalam konvensi ini ialah usulan bentuk pertanggung jawaban absolute liability dan strict liability, adalah pertanggung jawab perdata tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan (liability without fault). Konvensi ini kecendrungan pemberlakukan pertanggung jawaban tanpa kesalahan (without fault).
6.
Konvensi tentang pertanggung jawaban sipil terhadap kerugian yang diakibatkan oleh aktifitas yang membahayakan lingkungan (convention on civil liability for damage resulting from activities dangerous to the environment, Lugano, 21 Juni 1993). Pertanggung jawaban diatur dalam Bab II (Pasal 5, 6, 7 dan 8). Jenis pertanggungjawaban yang dianut ialah : strict liability dengan alasan pemaaf (defences) yang diistilahkan exemptions.
159 7.
Rancangan protokol keamanan hayati (biosafety) sebagai pelaksanaan dari konvensi keanekaragaman hayati (convention on biodiversity). Pengaturan tentang strict liability, landasan utama yang mendorong 677 dan Cina mengusulkan strict liability ialah kesejalanan prinsip tersebut dengan prinsip penting dalam pembangunan berkelanjutan yaitu prinsip precautionary (prinsip 15 Deklarasi Rio). Prinsip yang menekankan bahwa, apabila terdapat ancaman terhadap kerusakan yang serius maupun yang bersifat irreversible. Ketiadaan kepastian pembuktian ilmiah tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya pencegahan. Apabila pertanggung jawab menggunakan unsur kesalahan (fault) pada tergugat, seperti diinginkan negara-negara industri maju, maka tergugat selalu dapat berlindung dibalik ketidak pastian pembuktian ilmiah.361 Dari uraian asas tanggung jawab langsung dalam konvensi-konvensi
internasional yang telah diuraikan akan membawa konsekwensi dibidang hukum apabila negara-negara anggota konvensi dalam hal ini Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut. Atau dengan perkataan lain wajib untuk mengikuti dan wajib menerapkannya. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dalam kalimat : Menimbang a. Dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembentuka UUD 1945 melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, keadilan sosial, Pemerintah Republik Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional, melakukan hubungan dan kerjasama internasional yang diwujudkan dalam perjanjian internasional. 361
Mas Achmad Santosa I, Op. Cit., h. 140-153.
160 b. Ditegaskan pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintahan negara lain organisasi internasional, dan subyek hukum internasional lain adalah perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara dalam bidang-bidang tertentu, oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional harus dilakukan dengan dasar-dasar tentang jelas dan kuat dengan menggunakan instrumen perundang-undangan yang jelas pula. Ketentuan Umum Pasal 1 : (a) Perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban dibidang hukum publik. (b) Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian, tentang pengesahan dri perjanjian internasional dalam pasal 9 disebutkan. Ayat (1). Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional. Ayat (2). Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dalam ayat (1) dilakukan dengan Undang-Undang dan atau keputusan peradilan. Pasal 10, pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan UndangUndang yaitu berkenaan dengan : a. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Republik Indonesia; c. Kedaulatan atau hak berdaulat negara; d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e. Pembentukan kaedah hukum baru; f. Pinjaman dan / atau hibah luar negeri. Selain ketentuan dalam Pasal 10 tersebut dilakukan dengan Keputusan Presiden tentang Pemberlakuan Perjanjian Internasional tersebut dalam Pasal 15 ayat (2) suatu perjanjian internasional, mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian tersebut. Dari Undang-Undang ini menunjukkan konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi dapat menjamin suatu kepastian hukum dan dapat juga untuk mendapatkan perlindungan hukum secara internasional. Untuk penegasan konvensikonvensi yang telah diratifikasi dari uraian diatas diantaranya :
161 1. Konvensi tentang pertanggungjawaban pihak ketiga dibidang nuklir (convention on third party liability on the field of nuclear energy, 29 Juli 1960 Paris). Konvensi ini dibuat dalam kerangka OECD (Organization Economic Coperation and Development) yaitu tentang pertanggungjawaban resiko dari penggunaan energi nuklir untuk kepentingan perdamaian (the peaceful use of nuclear energy). Konvensi ini ialah mengatur atas tanggung jawab langsung (strict liability). Berdasarkan atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, menegaskan yaitu keselamatan orang banyak, pengembangan dan pembangunan tenaga nuklir haruslah berwwasan lingkungan. Perlindungan kesehatan manusia dan perlindungan terhadap
lingkungan. Dari Undang-
Undang No. 10 Tahun 1997 tersebut kemanfaatan tenaga nuklir dan pengelolaan limbah radiaktif dapat mencegah bahaya radiasi terhadap pekerja, masayrakat dan
lingkungan
hidup,
ditegaskan
dalam
Undang-Undang
ini
ialah
pertanggungjawabannya apabila menimbulkan akibat kerugian bertanggung jawab langsung (strict liability). 2. Konvensi tentang pertanggungjawaban sipil atas kerugian yang diakibatkan oleh nuklir (convention on civil liability for nuclear damage, 21 May 1963 Vienna). Dengan konvensi ini mempunyai tanggung jawab, sehingga kemanfaatannya sesuai dengan UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, dan prinsip tanggung jawab apabila ada kerugian yaitu prinsip absolute liability. 3. Konvensi
internasional tentang
pertanggungjawaban sipil atas kerugian
pencemaran minyak (liability for oil pollution damage, 29 November 1969, Brussels), mengatur tentang pertanggungjawaban berdasarkan strict liability. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1978 yang meratifikasi konvensi
162 tersebut pada intinya memuat tentang pertanggungjawaban antar negara dan mencegah pengotoran minyak disepanjang perairan Indonesia. 4. Konvensi pergerakan lintas batas limbah bahan berbahaya dan beracun (convention on the control of trans boundary morements of hazardous wates and their disposal, 22 March 1989). Konvensi ini merupakan usulan untuk pertanggungjawaban perdata tanpa kesalahan yaitu : absolute liability dan strict liability dengan diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1993. Negara Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan perairan terbuka akan sangat potensial pembuangan limbah berbahaya dan beracun (B3). 5. Rancangan protokol keamanan Hayati (biosafety) sebagai pelaksanaan konvensi keanekaragaman Hayati (covention on biodiversity). Yaitu dengan prinsip strict liability dalam pembangunan yang berkelanjutan. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological
Diversity
(Konvensi
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
mengenai
Keanekaragaman Hayati). Pada intinya ialah perlu perlindungan keanekaragaman Hayati dunia dan khusus di Indonesia. Konvensi internasional yang belum diratifikasi dapat saja diterapkan sepanjang patut dan pantas dan sangat membahayakan kehidupan manusia dan lingkungan hidup. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hakikat dan dasar berlakunya Hukum Internasional telah diketemukan banyak teori-teori antara lain : 1. Teori hukum alam (natural law), menurut pendapat pengamat hukum alam, karena hukum internasional tersebut ialah hukum alam. 2. Atas kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional. Karena negaralah sebagai segala sumber hukum. Teori ini dari falsafah Hegel Jerman, yaitu tokoh George Jellinek oleh Zorn, hukum internasional tersebut tiada lain hukum tata negara yang mengatur hubungan luar negeri.
163 3. Adanya kehendak bersama untuk tunduk pada hukum internasional. Mencoba menerangklan sifat mengikat hukum kebiasaan (customary law). Menurut Hans Kelsen, dalam Mazab hukum Wina dengan asas pacta sunt servanda, sebagai kaedah dasar (grundnorm) hukum internasional. Menurut Hans Kelsen, grundnorm tersebut persoalan diluar hukum, sehingga mengapa hukum internasional tersebut mengikat dikembalikan pada kehidupan manusia diluar hukum yaitu rasa keadilan dan moral. Adanya asas hukum umum dimaksudkan misalnya dalam hukum perdata seperti asas pacta sunt servanda, asas bonafides (itikad baik), asas penyalahgunaan hak (abus de droit), asas adiplenti non est adi plendum.362 Apa yang telah diuraikan dari alasan-alasan tersebut, bahwa meskipun belum diratifikasi dapat diterapkan. Sesuai dengan pendapat Hans Kelsen, asas tanggung jawab
langsung yang telah diatur dalam konvensi tersebut dapat memberi rasa
keadilan dan moral baik bagi masyarakat maupun perlindungan atas lingkungan hidup.
3.3
Urgensi Pengaturan Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) dalam Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan Menurut Mas Achmad Santosa, tujuan dari penegakan hukum lingkungan
essensinya adalah penataan (compliance) terhadap nilai-nilai perlindungan daya dukung ecosistem dan fungsi dari lingkungan hidup.363 Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH) telah diatur asas tanggung jawab langsung. Pada UndangUndang tersebut mengatur tentang kegiatan Pencemaran dan Perusakan Lingkungan hidup yang menghasilkan limbah berbahaya dan beracun (B3) dan menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Urgensi pengaturan asas tanggung jawab langsung dalam Undang-Undang lingkungan ialah memberikan rasa keadilan pada masyarakat sebagai pihak korban dalam mengajukan tuntutan ganti rugi ke
362
Mochtar Kusumaatmadja, 1999, Pengantar Hukum Internasional, Putra Abardin, (selanjutnya disebut Mochtar Kusumaatmadja V), h. 33,35,37 dan h. 106. 363 Syahrul Machmud, Op. Cit., h. 159.
164 pengadilan. Dengan diaturnya asas tanggung jawab langsung dapat menumbuhkan peran serta dari masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup. Hakikat dari asas tanggung jawab langsung yaitu pencemar atau perusak lingkungan hidup bertanggung jawab seketika atau langsung tanpa perlu membuktikan unsurunsur kesalahan. Adanya penguatan dalam Undang-Undang lingkungan hidup yaitu prinsip-prinsip perlindungan dan pengolahan lingkungan hidup. Sebab dalam penegakan hukum lingkungan lebih mengedepankan penegakan hukum lingkungan preventif. Dalam hal menentukan suatu perbuatan perlu diterapkan asas tanggung jawab langsung dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Perlunya ditaati suatu peraturan mengenai kesejahteraan masyarakat. b. Pembuktian kesalahan (mens rea) sangat sulit c. Tingginya kadar bahaya sosial akan membenarkan penginterpretasian strict liability.364 Dengan diaturnya asas tanggung jawab langsung dalam Undang-Undang Lingkungan dapat memberi tekanan pada pelaku usaha agar bertindak hati-hati, ini berarti asas tanggung jawab langsung memberikan manfaat pada lingkungan hidup, masyarakat dan pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Lingkungan telah diuraikan ternyata asas tanggung jawab langsung dalam hukum materiil terlalu sumir, sehingga sangat diperlukan studi komparasi bagi negara-negara yang mengatur kegiatankegiatan yang Undang-Undang
dapat diterapkan asas tanggung jawab langsung. Demikian juga Lingkungan
tersebut
belum
dilengkapi
dengan
prosedur
beracaranya terdapat: rechtvacuum (kekosongan hukum). Untuk memenuhi sistem hukum yang memadai dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan
364
Andi Hamzah, Op. Cit., h. 52.
perlu
165 pengaturan yang lebih koprehensip, demikian juga yang telah diatur dalam konvensi internasional dan yang telah diratifikasi / belum, wajib untuk diterapkan. Urgensi pengaturan asas tanggung jawab langsung dalam hukum lingkungan dan hukumhukum lainnya dapat mengantisipasi dalam kontek pengembangan IPTEK dan kemajuan industri yang tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan akibat / dampak terhadap lingkungan hidup. Urgensi pengaturan asas tanggung jawab langsung dilihat dari perspektif HAM atas lingkungan yang baik dan sehat, pengintegrasian asas tanggung jawab langsung dalam sistem hukum Eropa Continental dan yang telah diatur dalam konvensi internasional, ke dalam hukum positif dan budaya hukum Indonesia. 3.3.1 Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat Istilah pengertian dan sejarah perkembangan hak-hak asasi manusia. Istilah hak asasi manusia ialah terjemahan dari ”droits de I’homme” berarti dalam bahasa Perancis hak manusia, bahasa Inggris Human Rights, dalam bahasa Belanda ”mensenrechten”. Dalam kepustakaan lain istilah hak-hak dasar yang merupakan terjemahan dari basic rights dalam bahasa Inggris, dalam bahasa Belanda grondrechten. Sebagian orang menyebutnya dengan hak-hak fundamental sebagai terjemahan dari fundamental right dalam bahasa Inggris dalam bahasa Belanda fundamentele rechten. Ada istilah natural rights Inggris, Belanda rechten van den mens. Dalam kepustakaan Indonesia hak-hak asasi manusia, hak-hak kodrat dan hakhak dasar.365 Dewasa ini dalam bahasa hukum di Indonesia sudah umum
365
Bahder Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Madju, Bandung, h. 129.
166 dipergunakan istilah hak-hak asasi manusia. Sedangkan beberapa pengertian dari HAM ialah menurut Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ialah hak untuk kebebasan dan persamaan dalam derajat yang diperoleh sejak lahir serta tidak dapat dicabut dari seseorang).366 Sedangkan pengertian HAM menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 1 ayat (1) hak asasi manusia ialah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dalam kaitannya dengan perkembangan pemikiran HAM menurut Karel Vasak, dengan istilah generasi, dan dielaborasi sebagai berikut. (a) Generasi pertama hak asasi manusia. Kebebasan atau hak-hak generasi pertama, untuk mewakili hak-hak sipil dan politik yakni hak-hak asasi manusia yang klasik. (b) Generasi kedua hak asasi manusia. Diwakili oleh perlindungan bagi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Termasuk juga, hak atas pekerjaan dan upah yang layak, hak jaminan sosial, hak atas pendidikan, kesehatan, pangan, perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat, hak perlindungan hasil karya ilmiah, kesusastraan, kesenian. (c) Generasi ketiga hak asasi manusia. Diwakili oleh tuntutan atas hak solidaritas atau hak bersama. Tuntutan negara berkembang sebagai berikut : (i) hak atas pembangunan, (ii) hak atas perdamaian, (iii) hak atas sumber daya alam, (iv) hak atas lingkungan hidup yang baik, (v) hak atas warisan budaya sendiri.367 Dalam kontek hukum alam, ada 2 alasan mengapa pembahasan hukum alam mempunyai relevansi dengan hak asasi manusia. Pertama melalui kajian ini dapat dipahami mengenai hakikat dan fungsi hukum alam. Kedua dapat dijadikan sebagai 366
Ibid, h. 130. Rhona KM Smith, dkk, 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, h. 322. 367
167 dasar pemikiran mengapa hukum alam dipergunakan sebagai pembenar secara teoritik tentang perlunya jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.368 Menurut Plato, corak kehidupan bernegara yang dapat menjamin peradaban dan kesejahteraan manusia yang merupakan tujuan dasar HAM, tujuan ini baru dapat dicapai kalau negara dapat melaksanakan ide keadilan.369 Sedangkan menurut Aristoteles, kriteria kebaikan negara terletak pada kenyataan apakah negara menguntungkan bagi seluruh masyarakat, sebab negara yang hanya menguntungkan bagi penguasa adalah negara jelek, menurut Aristoteles, negara harus diatur sebaik mungkin dengan konstitusi, hukum yang menjamin warga negara bersama-sama mencapai optimum kesejahteraan.370 Pada masa pencerahan, aliran filsup pencerahan berkembang di Perancis melalui pemikiran Montesquieu, Voltaire dan Roussiau, ketiga pemikir ini menekankan aspek kesamaan manusia, dasar pemikirannya karena pada saat kelahirannya semua manusia menurut kodratnya mempunyai potensi yang sama.371 Perkembangan berikutnya, revolusi demokrasi di Inggris yang mendirikan monarchi konstitusional, revolusi Amerika yang menumbangkan kolonialisme dan revolusi Perancis
yang
menjebal
mengkodifikasikan
hak
feodalisme asasi
manusia
kesemuanya serta
menjunjung
membahanakan,
tinggi
dan
menghimbau
masyarakat dunia sebagai pernyataan kritik terhadap sistem pemerintahan feodal dan kolonial sekaligus menyadarkan bangsa-bangsa lain akan hak-hak asasi mereka yang diperkosa sewenang-wenang oleh pemerintah mereka yang kolonial dan feodal, terus
368
Bahder Johan Nasution, Op. Cit., h. 154. Bahder Johan Nasution, Loc. Cit. 370 Bahder Johan Nasution, Op. Cit., h. 155. 371 Bahder Johan Nasution, Op. Cit., h. 159. 369
168 menerus membangkitkan pergerakan sosial dan nasional bangsa-bangsa pada abad ke 19 di benoa Eropa dan Amerika lalu pada abad 20 di benua Asia dan Afrika.372 Deklarasi universal hak asasi manusia (DUHAM) adalah elemen pertama dari peraturan perundang-undangan hak asasi manusia internasional (internasional bill of rights) yakni suatu tabulasi hak dan kebebasan fundamental. Konvenan-konvenan internasional menetapkan tabulasi hak yang mengikat secara hukum dan protokol tambahan pada konvenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik serta kedua komite yang memantau penerapan setiap konvenan menyediakan mekanisme bagi penegakan hak-hak tersebut.373 Lebih jauh mengenai isi hak dan kebebasan yang tercantum dalam DUHAM, mencakup sekumpulan hak yang lengkap baik hak sipil, politik, budaya, ekonomi dan sosial tiap individu maupun beberapa hak kolektif. Pasal 29 ayat (1) semua orang memiliki kewajiban kepada masyarakat dimana hanya di dalamnya perkembangan kepribadiannya secara bebas dan sepenuhnya dimungkinkan instrumen-instrumen yang dikeluarkan setelah DUHAM tidak mencakup tabulasi kewajiban.374 Di Indonesia permasalahan hak asasi manusia mulai diperdebatkan atau diperbincangkan keberadaannya setelah terjadi reformasi sampai ke Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada waktu reformasi tahun 1998 diinginkan ada perubahan yang mendasar tentang demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Apabila kita melihat Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen belum memberikan perlindungan atau demokrasi atas hak asasi manusia atau belum diatur dalam
372
Bahder Johan Nasution, Op. Cit., h. 161. Rhoma KM. Smith, Op. Cit., h. 88. 374 Rhoma KM. Smith, Op. Cit., h. 89. 373
169 Undang-Undang Dasar 1945. Dari uraian hak-hak asasi sebelumnya yaitu hak-hak kodrat (klasik), hak-hak politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Pada uraian berikutnya dalam kajian ini memfokuskan uraian terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat. Adalah merupakan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan atas lingkungan hidup dan menyelamatkan melalui Peraturan Perundang-Undangan, penegakan hukum dan kesadaran masyarakat dari ancaman pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Dalam Undang-Undang Lingkungan No. 4 Tahun 1982 (UULH), Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 (UUPLH) kedua Undang-Undang ini sudah memberikan perlindungan atas lingkungan hidup. Dalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selanjutnya pada Pasal 5 ayat (2) dikemukakan setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemarannya. Demikian juga dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Pasal 5 ayat (1) setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ditegaskan lagi dengan diundangkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH) yaitu lebih memberikan jaminan kepastian hukum atas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Dalam Pasal 65 ayat (1) UndangUndang No. 32 Tahun 2009 tentang UUPPLH berbunyi : setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dari perumusan Pasal 65 ayat (1) lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah merupakan hak asasi manusia. Dalam kontek ini semua orang memiliki kewajiban untuk menyelamatkan lingkungan akibat pencemaran, perusakan dan ancaman serius
170 terhadap lingkungan hidup. Dalam Pasal 67 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang UUPPLH ditegaskan : setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan / atau kerusakan lingkungan hidup. Kenyataan menunjukkan lingkungan hidup semakin rusak oleh ulah manusia. Lingkungan diposisikan sebagai obyek ekploitasi, menambang perut bumi tanpa kontrol, menggunduli hutan tanpa kompromi, mencemari air tanpa kendali dan tindakan sewenang-wenang lainnya.375 Lebih jauh dikemukakan, penghormatan atas hak asas lingkungan hidup menjadi aspek yang sangat penting dan mendasar bahwa lingkungannyapun mempunyai segala keterbatasan, sehingga kontrol atas perilaku manusia atas lingkungan menjadi mutlak adanya. Kontrol tersebut salah satunya melalui instrumen, mekanisme dan kebijakan baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional, untuk mencapai keseimbangan yang disebut sebagai pembangunan yang berkelanjutan.376 Mengenai pembangunan berkelanjutan dapat dijelaskan bahwa, berkelanjutan itu sebenarnya berkaitan dengan konsep sustainable development atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan pembangunan berkelanjutan. Hal ini terkait erat dengan perkembangan gagasan tentang pentingnya wawasan pemeliharaan, pelestarian, dan perlindungan lingkungan hidup yang sehat dimana dewasa ini telah menjadi wacana dan kesadaran umum diseluruh penjuru dunia untuk menerapkannya dalam
375
Mimin Dwi Hartono, Hak Asasi Lingkungan Hidup, http. www.unisosdem.org/article detail. php.?aid=6343&coid=1&ca--,1 of 2 diakses tanggal 14-3-2014. 376 Ibid.
171 praktek.377 Lebih jauh dikatakan istilah sustainable development sebenarnya baru mulai diperkenalkan oleh Rachel Carson melalui bukunya silent spring yang terbit pertama kali 1962 dalam konsep tersebut proses pembangunan atau perkembangan (development) diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam untuk kehidupan.378 Wawasan lingkungan adalah wawasan baru dalam kerangka sistem kekuasaan negara dan kebijakan pembangunan sangat diperlukan untuk menghadapi arus besar paradigma pemikiran yang tidak berpihak kepada lingkungan hidup. Seperti tergambar dalam perkembangan pola-pola hubungan yang eksploitatif antara manusia dan alam selama abad ke 20 dunia kini menyaksikan kerusakan yang sangat dahsyat dalam keseimbangan ekosistem.379 Pengakuan hak lingkungan hidup sebagai hak asasi manusia dapat mempunyai implikasi yang positif bagi upaya-upaya memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik di Indonesia.380 Lebih jauh dikatakan, asas, tujuan dan sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah pengelolaan lingkungan yang disalahgunakan berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat yang bertujuan mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia
377
Jimly Asshiddiqie I, Op. Cit., h. 133. Jimly Asshiddiqie I, Op. Cit., h. 134. 379 Jimly Asshiddiqie I, Op. Cit., h. 144. 380 Rika Erawaty dan Siti Kotijah, Hukum Masyarakat atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat (Society Rights of a Fine and Healthy Environment, http//dianweb.org/sehat/AD15.HTM. Diakses tanggal 4-3-2014. 378
172 seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.381 Sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah : a. Tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup b. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindakan melindungi dan membina lingkungan hidup. c. Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan. d. Tercapainya kelestarian lingkungan hidup e. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana dan, f. Terlindunginya negara kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau perusakan lingkungan hidup.382 Ketentuan lingkungan hidup yang dirumuskan dalam Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUDNRI 1945. Pasal 28 H ayat (1) berbunyi : Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat serta pelayanan kesehatan yang baik merupakan hak asasi manusia. Karena itu Undang-Undang Dasar 1945 jelas sangat pro lingkungan hidup, sehingga dapat disebut sebagai konstitusi hijau (green constitution).383
Ini
berarti
norma
lingkungan
hidup
telah
mengalami
konstitutionalisasi menjadi materi muatan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Dengan demikian segala kebijakan dan tindakan pemerintahan dan pembangunan haruslah tunduk kepada ketentuan mengenai HAM atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.384 Dalam kaitannya dengan penerapan asas tanggung jawab langsung dalam Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH), segala tindakan, kegiatan dan usahanya menghasilkan limbah B3 dan ancaman serius terhadap lingkungan 381
Ibid. Ibid. 383 Jimly Asshidiqie I, Op. Cit., h. 90. 384 Jimly Asshidiqie I, Op. Cit., h. 91. 382
173 hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang timbul tanpa perlu membuktikan unsur kesalahan. Upaya penerapan asas tanggung jawab langsung ini oleh karena tanggung jawab berdasarkan kesalahan menurut Pasal 1365 KUH Perdata tidak memberikan perlindungan hukum terhadap lingkungan dan sangat memberatkan bagi masyarakat tidak mampu / lemah dan tidak mencerminkan hakhak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini dapat diakui perkembangan industri dan tehnologi kecendrungan akan membawa dampak yang sangat membahayakan terhadap lingkungan hidup, disamping itu asas tanggung jawab langsung dapat menuntut secara preventif pelaku usaha sebagai pihak pencemar akan selalu bertindak hati-hati, sehingga dapat dicegah perusakan dan/atau pencemaran terhadap lingkungan hidup. Kedepan juga tidak menutup kemungkinan kegiatan-kegiatan yang timbul tidak sebatas yang diatur dalam Pasal 88 UndangUndang No. 32 Tahun 2009 tentang UUPPLH dan masih banyak kegiatan-kegiatan manusia yang dapat membahayakan lingkungan hidup. Bentuk-bentuk hukum seperti class action, legal standing, strict liability, dalam hukum lingkungan ialah merupakan cerminan hak-hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Secara teoritis dikembangkannya lingkungan sebagai subyek hukum tiada lain untuk mencegah tindakan ekploitasi yang dilakukan oleh manusia. Manusia mempunyai kewajiban untuk melestarikan lingkungan, mencegah timbulnya perusakan, pencemaran sebab lingkungan wajib dilestarikan karena lingkungan ialah warisan dari generasi yang akan datang. Apa yang telah diamanatkan oleh konprensi Stocholm, pembangunan harus lebih berwawasan lingkungan. Di Indonesia dengan diaturnya hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam pasal 28 H ayat (1) UUDNRI 1945, ini berrti semua kebijakan dari pusat sampai ke daerah wajib melestarikan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dapat juga dijelaskan
174 semua warga negara Indonesia wajib menjaga lingkungan sehingga dapat dihindari perusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup. Dapat djelaskan hubungan antara manusia dengan alam atas lingkungan tidak dapat dipisahkan dan manusia tidak bisa hidup tanpa alam atau lingkungan. Hal ini menurut hukum membawa konsekwensi yaitu tindakan-tindakan exploitasi tidak dibenarkan. Selain amanat dari konstitusi UUDNRI 1945, yang utama bahwa lingkungan hidup ini adalah karunia yang tidak ternilai dari Tuhan Yang Maha Esa. 3.3.2 Pengintegrasian Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) dalam Sistem Hukum Eropa Continental, Anglo Saxon dan yang telah Diatur Dalam Konvensi Internasional Kedalam Hukum Lingkungan di Indonesia Ketentuan Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH)385, hanya mengatur terlalu sumir kegiatan-kegiatan yang dapat diterapkan asas tanggung jawab langsung (strict liability) diantaranya ialah kegiatan yang menghasilkan limbah berbahaya dan beracun (B3) dan kegiatan yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Dalam penjelasan pasal 88 tidak dijelaskan kegiatan yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 34 yang dimaksud dengan ancaman serius ialah : ancaman yang berdampak luas terhadap lingkungan dan menimbulkan keresahan masyarakat. Untuk pengertian yang lebih luas dapat ditelusuri dalam berbagai sistem hukum. Di dunia dikenal 2 (dua) sistem hukum yang dapat mempengaruhi perkembangan hukum positif (ius constitutum) dari berbagai negara termasuk Indonesia. Kedua sistem 385
Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH) berbunyi : setiap orang yang tindakannya, usahanya dan/atau kegiatannya menggunakan B3 menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3 dan/atau menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
175 hukum itu ialah sistem hukum Eropa Continental atau Civil Law System dan sistem hukum Anglo Saxon atau common law system. Kedua sistem hukum ini memiliki perbedaan dari sumbernya, sistem hukum Eropa Continental sumbernya dari kodifikasi atau Peraturan Perundang-undangan, sedangkan sistem hukum Anglo Saxon sumbernya ialah yurisprudensi atau dikenal dengan asas precedent. Untuk mendapatkan sumber-sumber hukum mencari dulu persamaan dan mencari perbedaannya. Perbedaan ini pada sumbernya yaitu pada keluarga hukum RomawiGermania bersumberkan pada kodifikasi, sedangkan sumber utama keluarga hukum common law adalah yurisprudensi.386 Sistem hukum sipil merupakan terjemahan dari civil law istilah yang diambil dari hukum sipil itu sendiri pada zaman Kaisar Justinianus bernama Corpus Juris Civilis. 387 Dari uraian kedua sistem hukum tersebut antara sistem hukum Eropa Continental dan sistem hukum Anglo Saxon apakah ada persamaan dan perbedaannya dalam pengaturan dan penerapan asas tanggung jawab langsung (strict liability) untuk dapat diintegrasikan kegiatan-kegiatan yang dapat digolongkan sangat membahayakan lingkungan hidup kedalam hukum lingkungan keperdataan di Indonesia. Dalam studi perbandingan hukum atau studi komparatif menurut Peter de Cruz, untuk dapat dikatakan sebagai bidang hukum komparatif yang sesungguhnya ia juga membutuhkan perbandingan dari dua atau lebih sistem hukum / tradisi hukum atau aspek-aspek yang terseleksi, institusi atau cabang-cabang dari dua atau lebih
386
R. Soeroso, 1999, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta,
h. 38. 387
Ade Maman Suherman, 2012, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Civil Law, Common Law, Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 56.
176 sistem hukum.388 Dalam perbandingan sistem hukum Razi berpendapat, sebuah sistem hukum dalam artian yang luas tidak hanya terdiri atas peraturan-peraturan tetapi juga dikarakteristikan oleh berbagai institusi, praktik, standar penelitian dan bahkan kebiasaan mental dari para praktisi hukum, hakim, legislator dan administratornya (Razi, 1959).389 Lebih jauh menurut Peter de Cruz hukum komparatif modern diambil dari beberapa disiplin tetapi ia bersifat eklektik dalam penyeleksiannya. Ia memahami arti penting hubungan antara hukum, sejarah dan budaya dan dilaksanakan berdasarkan pemahaman bahwa semua sistem hukum itu merupakan perpaduan khusus dari masyarakatnya dan produk pergaulan dan interaksi beberapa peristiwa historis yang menghasilkan sebuah karakter dan atmosfir nasional yang berbeda.390 Menurut Hug yang dikutip oleh Peter de Cruz mengusulkan 5 (lima) kelompok studi yang mungkin bisa digunakan391 : (a) memperbandingkan sistem asing dengan sistem domestik dalam rangka menemukan kesamaan dan perbedaan, (b) studi yang menganalisis berbagai solusi secara obyektif dan sistematis yang ditawarkan oleh berbagai sistem untuk suatu masalah hukum tertentu; (c) studi yang menginvestigasi hubungan kausal antara sistem-sistem hukum yang berbeda; (d) studi yang membandingkan tahap-tahap dari beberapa sistem hukum dan (e) studi yang berusaha menemukan atau mengkaji evolusi hukum secara umum berdasarkan sistem dan periodenya. Dalam
mencari
persamaan-persamaan
dalam
sistem-sistem
hukum,
pembahasan-pembahasan tentang kesamaan inti pada sistem hukum biasanya menyangkut prinsip-prinsip hukum yang sama bagi semua atau hampir semua sistem
388
Peter de Cruz, Op. Cit., h. 4. Peter de Cruz, Op. Cit., h. 6. 390 Peter de Cruz, Op. Cit., h. 8. 391 Peter de Cruz, Op. Cit., h. 10-11. 389
177 hukum.392 Lebih jauh, tidak semua sistem hukum yang ada di dunia bisa ditelaah namun biasanya orang harus puas dengan mempelajari sistem-sistem hukum yang paling penting di dalam tiap-tiap keluarga hukum utama saja.393 Seterusnya bila perbandingan sistem hukum menunjukkan bahwa solusi sistem-sistem hukum tersebut identik atau mirip, hal ini dapat dianggap sebagai penegasan bahwa sistemsistem
hukum
tersebut
kemungkinan
besar
bisa
dimengerti
dan
telah
diperbandingkan dengan cara yang benar.394 Dalam mencari persamaan dan perbedaan atas asas tanggung jawab langsung (strict liability), penulis ingin mengintegrasikan melalui perbandingan micro dengan membatasi pada 2 (dua) sistem hukum yaitu sistem hukum Eropa Continental atau Civil Law System dan sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law System. Khususnya negeri Belanda yang sistem hukumnya mengikuti tradisi sistem hukum Eropa Continental dan Amerika yang mengikuti tradisi sistem hukum Anglo Saxon. Sistem civil law banyak dianut penyebabnya ialah : banyaknya negara menggunakan dan menerapkan sistem civil law adalah karena sistem hukum ini telah dibuat dalam suatu kitab hukum yang disebut dengan kodifikasi.395 Sistem hukum Belanda, yaitu pengenalan hukum Romawi di Belanda hampir sama dengan penerimaan reception di wilayah Jerman.396 Lebih jauh dikemukakan sistem hukum Belanda menganut sistem kodifikasi, sebagaimana juga kita
392
Michael Bogdan, 2010, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Cet. I, Nusa Media, Bandung, h. 112. 393 Ibid, h. 115. 394 Ibid, h. 117. 395 H. Salim HS dan Erlics Septiana II, 2014, Perbandingan Hukum Perdata Comparative Civil Law, Cet. I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 38. 396 Ade Maman Suherman, Op. Cit., h. 60.
178 mengenalnya dengan beberapa kitab.397 Di Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda masih mempergunakan peninggalan hukum kolonial berdasarkan atas asas konkondansi dan untuk mengisi kekosongan hukum, diantaranya Kodifikasi KUH Perdata (BW), Kodifikasi Hukum Dagang (W.V.K), Kodifikasi Hukum Pidana (W.V.S) dan lain-lainnya. Disamping itu pola sistem hukum Indonesia mengikuti tradisi sistem hukum Eropa Continental atau Civil Law System. Sistem civil law menurut Peter de Cruz merujuk ke seluruh sistem hukum yang saat ini diterapkan pada sebagian besar negara Eropa Barat, Amerika Latin, negara-negara Timur Dekat dan sebagian besar wilayah Afrika, Indonesia dan Jepang.398 Pada penulisan ini penulis membatasi pada sistem hukum Belanda yang mengikuti tradisi sistem hukum Eropa Continental. Di negeri Belanda terhadap istilah strict liability yang dikenal di negara-negara yang mengikuti sistem hukum Anglo Saxon, di negeri Belanda dengan istilah resico-aansprakelijkheid. Kegiatan-kegiatan yang tunduk pada resico-aansprakelijkheid adalah : kegiatan pengelolaan bahan berbahaya, kegiatan pengelolaan limbah bahan berbahaya, kegiatan pengangkutan bahan berbahaya melalui laut, sungaisungai dan darat, kegiatan pengeboran dan tanah yang menimbulkan ledakan.399 Dalam sistem hukum common law merupakan sistem hukum yang berbasis perkara yang berfungsi sebagai penalaran logis. Sistem hukum ini dikembangkan didalam dan diaplikasikan pada dan sudah dikenal secara umum di Inggris.400 Dapat diketahui negara-negara yang pola sistem hukumnya mengikuti sistem hukum Anglo
397
Ade Maman Suherman, Op. Cit., h. 61. Peter de Cruz, Op. Cit, h. 61. 399 Mas Achmad Santosa I, Op. Cit., h. 159. 400 H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Op. Cit., h. 41. 398
179 Saxon diantaranya Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru dan lain-lainnya. Sistem common law secara orisinal berkembang dibawah pengaruh sistem hukum yang bersifat adversarial dalam sejarah England berdasarkan keputusan Pengadilkan berdasarkan tradisi, custom dan precedent. 401 Sistem common law ditetapkan pada kasus-kasus sipil (sebagai lawan dari kasus kriminal) yang dirancang untuk mengkonpensasi seseorang dari pelanggaran yang dikenal dengan torts.402 Menurut pendapat Caslav Pejovic, menganalisis perbedaan ke 2 (dua) sistem hukum tersebut yaitu : 1. 2. 3. 4.
Sumber hukumnya. Metode perpikirnya. Tugas pengadilan. Kekuatan mengikatnya putusan.403
Dari uraian sebelumnya perbandingan antara sistem hukum Eropa Continental atau Civil Law System dengan sistem hukum Anglo Saxon atau common law system ialah, sistem hukum Eropa Continental prioritas utama hukum tertulis yang tertuang dalam kitab-kitab hukum atau kodifikasi di Indonesia hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, sedangkan dalam sistem hukum Anglo Saxon ialah hukum dari kasus-kasus yang
dituangkan dalam putusan hakim,
sehingga dikenal dengan asas precedent. Dalam penelitian ini membatasi pada Negara Amerika Serikat yaitu bagaimana pengaturan asas tanggung jawab langsung. Dalam sistem hukum Anglo Amerika berangkat dari kasus Rylands vs Fletcher yang telah diuraikan sebelumnya pada abad 18 di Inggris yaitu kegiatan non natural. Dalam sistem hukum Amerika Serikat diperlakukan terhadap kegiatan401
Ade Maman Suherman, Op. Cit., h. 75. Ade Maman Suherman, Loc. Cit. 403 H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Op. Cit., h. 46. 402
180 kegiatan yang sangat berbahaya, kegiatan-kegiatan yang berbahaya yang kemudian dituangkan dalam restatement of torts ialah :404 1. Mengandung atau menimbulkan tingkat reisko bahaya yang tinggi terhadap manusia, tanah atau harta benda bergerak (existence of a high degree of some harm the person, land, or chattel of others). 2. Kemungkinan kejadiannya bahaya sangat besar (likehood that harm results from it will be great). 3. Ketidakmampuan untuk meniadakan resiko dengan melakukan tindakan atau sikap hati-hati yang layak (inability to eliminate risk by the exercise of reasonable care). 4. Kegiatan yang bersangkutan bukan merupakan hal atau kegiatan yang lazim (extent to which the activity is not a matter of common usage). 5. Ketidaksesuaian antara sifat kegiatan yang bertentangan dengan lingkungan atau tempat dimana kegiatan itu diselenggarakan (inapproproateness of the activity to the place where it is carried on). 6. Manfaat dari kegiatan tersebut bagi masyarakat dikalahkan oleh sifat-sifat bahaya dari kegiatan itu (extent to which its value to the community is out weighed by its dangerous at tributes). Dalam sistem hukum Anglo Amerika, menyebutkan kegiatan-kegiatan yang tunduk pada strict liability. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kegiatan usaha penghasil, pengolahan dan pengangkutan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Penyimpanan gas yang mudah terbakar dalam jumlah yang besar dikawasan perkotaan. Instalasi nuklir. Pengeboran minyak. Penggunaan mesin pematok tiang besar (pile driving) yang menimbulkan getaran luar biasa. Tumpahan air.405 Dari kegiatan-kegiatan yang telah penulis uraikan menggambarkan ialah
dapat menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup seperti tersebut dalam Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH). Kegiatan-kegiatan tersebut dapat mengancam lingkungan hidup, lingkungan tercemar dan perusakan lingkungan
404 405
Mas Achmad Santosa I, Op. Cit., h. 156-157. Mas Achmad Santosa I, Op. Cit., h. 159.
181 hidup menimbulkan ancaman kesehatan dan berakibat kematian bagi makhluk hidup termasuk manusia. Sudah tentu kegiatan-kegiatan tersebut dapat dipakai sebagai pedoman dalam praktek peradilan perdata oleh Hakim dalam menerapkan asas tanggung jawab langsung. Disamping kegiatan-kegiatan yang dapat diterapkan asas tanggung jawab langsung dari negeri Belanda yang mengikuti sistem hukum Eropa Continental juga Amerika Serikat yang mengikuti sistem hukum Anglo Saxon. Diintegrasikan kegiatan-kegiatan yang telah diratifikasi dalam konvensikonvensi internasional baik yang telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia maupun yang telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden. Hal ini membawa konsekwensi dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan, hakim terikat dan wajib menerapkannya. Konvensi-konvensi internasional kedepan dapat mengantisipasi kegiatan-kegiatan yang mengancam secara serius lingkungan hidup di Indonesia. Penulis uraikan konvensi-konvensi internasional yang mengatur tentang asas tanggung jawab langsung (strict liability) dan tanggung jawab mutlak (absolute liability) diantranya : Convention on third party liability in the field of nuclear energy of 29th Juli 1960, as amanded by the additional Protocol of 28th Januari 1964 and by the Protocol of 16th November 1982,406 Konvensi ini memastikan : Desirous of ensuring dequate and equitable compensasition for persons who suffer damage caused by nuclear incident whilst taking the necessary steps to ensure that the development of the production and 406
2012.
http://www.occd-nea.org/Law/nl paris conv.html.diakses tgl. 28 Oktober
182 uses of nuclear energy for peacepul purposes is not there by hindered. Konvensi ini berhasrat memastikan kompensasi yang layak dan adil bagi orang-orang yang menderita kerugian yang disebabkan oleh insident nuklir sementara mengambil langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa perkembangan produksi dan penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai tidak demikian terlambat. Tujuan dari konvensi tersebut disebutkan : Atricle 1. A nuclear incident means any occurrence or succession of occurences having the same origin which causes damage, provided that such occurence on succession of recurences, or any of the damage caused, arises out of or result either form the redioactive properties, or a combinatuion of radioactive properties with toxic, explosive, or other hazardous properties of nuclear fuel or radioactive products on with any of them, of from tonizing radioations emitted by any source of radioation inside a nuclear installation. (Tujuan dari konvensi ini, sebuah kecelakaan nuklir berarti setiap kejadian atau suksesi kejadian yang memiliki asal usul yang sama yang menyebabkan kerusakan, dengan ketentuan bahwa kejadian tersebut atau suksesi kejadian, atau kerusakan yang disebabkan timbul dari atau hasil baik dari sifat radioaktif atau kombinasi sifat radioaktif dengan sifat berbahaya, beracun, bahan peledak, atau bahan bakar nuklir atau produk, atau sampah radioaktif atau dengan salah satu dari mereka, atau dari radiasi pengion yang dipancarkan oleh sumber radiasi didalam instalasi nuklir). Konvensi ini mengatur ruang lingkup kerugian yang dapat dituntut (scope of damage), subyek pertanggungjawaban (subject of liability), obyek pertanggungjawaban, jenis pertanggungjawaban waktu pengajuan
183 tuntutan (limit of liability), batas maksimal konpensasi, dan ansuransi serta mekanisme pendanaan.407 Ketentuan tentang strict liability dalam konvensi ini yaitu dalam article 9. The operator shall not be liable for damage caused by a nuclear incident directly due to an act of armed conflict, hostilities, civil war, inssurrection or except in so par as the legeslation of the contracting party the whose territory his nuclear installation is situated may provide to the contrary, a grove natural disaster of an exceptional character. (Pengecualian aparatur tidak bertanggung jawab atas kerusakan yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir secara langsung karena tindakan konflik bersenjata, permusuhan, perang pemberontakan, perdata atau kecuali sejauh undang-undang pihak yang diwilayahnya nuklir instalasi terletak mungkin memberikan kepada sebaliknya : bencana alam kubur karakter yang luas biasa). Konvensi tentang pertanggungjawaban sipil atas kerugian yang diakibatkan oleh nuklir (convention on civil liability for nulear damage, 21 Mei 1963 Vienna). Menurut Mas Achmad Santosa konvensi ini ialah menganut prinsip absolute liability, tidak berbeda dengan penerapan strict liability, mengatur alasan-alasan penghapus tanggung jawab (defences).408 Pasal IV (1) Konvensi Vienna sebagai berikut : (1) The liability of the operator for nuclear damage under this convention shall be absolute. (2) If the operator proves that the nuclear damage resulted wholly of partly either from the gross negligency of the persons suffering the damage or from on act or ommission of such persons done with intent to cause damage, the competent court may, it its law so provides, relieve the 407 408
Mas Achmad Santosa I, Op. Cit., h. 141. Mas Achmad Santosa I, Op. Cit., h. 143.
184 operator wholly or partly from his obligation to pay compesation in respect of the damage suffered by such person. (3) (a) No liability under thies sonvention shall attach to an operator for nuclear damage causes by a nuclear insident directly due to an act of armed conflict, hostilities, civil war on insurrection. (b) Except in so for as the law of the instalation state may provide to the contrary, the operator shall not be liable for nuclear damage causes by a nuclear incident directly due to a grave natural disaster of an exeptional character. Dari ke 2 (dua) konvensi internasional ini di Indonesia diratifikasi dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran sebagai yang telah diuraikan yaitu kemanfaatan dari tenaga nuklir dan pengelolaan limbah radioaktif, yang dapat mencegah radiasi terhadap pekerja dan tidak membahayakan umat manusia dan tidak merusak lingkungan hidup. International convention on civil liability for oil pollution damage (CLC). Adoption : 29 November 1969 ; Enrty into force : 19 June 1975 ; Being replaced by 1992 protocol : adoption : 27 November 1992, entry into force : 30 May 1996.409 (Konvensi ini ialah : the civil liability convention was adopted to ensure that adequatre compensation is of availabvle to persons who suffer oil pollution damage resulting from maritime casualities involving oil carrying ships. Konvensi kewajiban sipil diadopsi untuk memastikan bahwa kompensasi yang memadai tersedia bagi orang-orang yang menderita kerusakan minyak polusi akibat korban maritim yang melibatkan kapal pembawa minyak). Konvensi ini mencakup kerusakan, the convention covers pollution damage resulting from
409
http.w.w.w.imo.org/about/conventions/listofconventions/pages/ internationalconvention-on-civil-liability-for-oil-pollution-damage-%28CLC%29. aspx, diakses tgl 26 oktober 2012.
185 spills of persistant oils suffered in the territory (including the territorial sea) of a state party to the convention. It is applicable to ships which actually carry oil bulk as cargo, i-e. Generaly laden tankers. Spills from tankers in ballast or binker spill from ships other than other than tankers are not covered, nor is it possible to recover costs when preventive measures are to succesful that no actual spill occurs. The shipowner cannot limit liability if the incident occurred as a result of the owner’s personal fault. (Konvensi mencakup kerusakan pencemaran akibat tumpahan minyak terus menerus dalam wilayah (termasuk laut teritorial) dari suatu negara pihak pada konvensi. Hal ini berlaku untuk kapal yang benar-benar membawa minyak dalam jumlah besar sebagai kargo, yaitu tanker umumnya sarat. Tumpahan dari kapal tanker ditumpahkan ballast atau bunker dari kapal selam kapal tanker yang tidak tercakup, juga tidak mungkin untuk memulihkan biaya ketika tindakan pencegahan yang sukses sehingga tidak ditumpahkan yang sebenarnya terjadi pemilik kapal tidak dapat membatasi tanggung jawab jika
insiden tetsebut
terjadi sebagai akibat dari kesalahan
pribadi pemilik). Konvensi ini di Indonesia telah diratifikasi berdasarkan Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1978 ditegaskan sebagai berikut, yaitu dapat mencegah pengotoran minyak disepanjang perairan Republik Indonesia. Convention on the control of transboundary movements of Hazardous.410 (Konvensi mengenai pengawasan perpindahan lintas batas limbah berbahaya) Konvensi ialah pengaturan tentang lintas batas negara tentang B3 yang bertujuan : (1) Melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup. 410
10-2012.
http//untreaty.un.org/cod/avl/hafbeetmhwd/beetmhwd.htm. diakses tgl. 26-
186 (2) Mengembalikan pada suatu prinsip suatu negara harus bertanggung jawab atas B3 yang dihasilkannya. (3) Mendorong (sebagai insentif) bagi upaya pengurangan jumlah limbah B3 yang dihasilkan.411 Pertanggungjawaban
perdata
dalam
konvensi
ini
ialah
kecenderungan
pemberlakuan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (without fault).412 Konvensi internasional ini telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1993 ditegaskan sebagai berikut, harus selalu diperhatikan oleh karena Negara Republik Indonesia yang memiliki beribu-ribu pulau (negara kepulauan) dan perairannya terbuka sehingga sangat potensial sebagai tempat pembuangan limbah berbahaya dan beracun (B3).
3.3.3 Asas Tanggung Jawab Langsung (Strict Liability) dalam Perspektif Budaya Dari uraian sebelumnya, prinsip tanggung jawab merupakan warisan dari sistem kuno dan berbagai merupakan konsekwensi ajaran ”a man acts at hisperil, atau he who breaks must pay”. Dalam kaitan itu, barang siapa yang berbuat bila merugikan orang lain dia harus bertanggung jawab. Pada waktu itu tugas dari hukum ialah memelihara kerukunan antara individu-individu dengan menyediakan suatu cara penyelesaian yang diharapkan dapat diterima untuk mencegah pembalasan dendam. Pada zaman ini lebih mengedepankan kerukuan. Tanggung jawab langsung dalam budaya terkait dengan filosofi dari hukum adat menjaga keseimbangan kosmis. Menurut Ter Haar Bzn., dalam ketertiban hukum dimasyarakat-masayrakat kecil ialah setiap gangguan segi satu (enzijdig)
411 412
Mas Achmad Santosa I, Op. Cit., h. 149. Mas Achmad Santosa I, h. 150.
187 terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan segi satu
barang-barang kehidupan
materiil dan inmateriil.413 Orang seseorang atau orang banyak yang merupakan satu kesatuan (segerombolan) tindakan sedemikian menimbulkan suatu reaksi yang sifat dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat atau reaksi adat.414 Karena reaksi mana keseimbangan harus dipulihkan kembali, kebanyakan dengan jalan pembayaran
pelanggaraan
berupa
barang
atau
uang.415
Penentuan
untuk
mengembalikan keseimbangan kosmisch yang dalam masyarakat sudah ditentukan dari keseimbangan mana tergantung kebahagiaan umat manusia.416 Konsep keseimbangan kosmisch dalam kaitannya dengan penyelesaian konflik. Dari persepektif antropologi hukum, konflik tidak selalu diartikan negatif dalam
kehidupan
masyarakat,
karena
mempunyai
maksud
positif
dapat
memperkokoh integrasi dan kohesi, hubungan sosial dalam masyarakat atau mengembalikan keseimbangan hubungan atau sendi-sendi kehidupan sosial.417 Sistem nilai, norma, politik, ekonomi dan keyakinan sangat mempengaruhi pilihan institusi dan model penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik yang bersifat tradisional yang bersumber dari sistem politik dan hukum rakyat yang berlangsung secara tradisional (folk institution).418 Penyelesaian ini mengembalikan keseimbangan magis dalam masyarakat. Dengan institusi tradisional tersebut masyarakat adat dalam menyelesaikan sengketa lebih mengedepankan kerukunan atau musyawarah mufakat.
413
Ter Haar Bzn, 1991, Terjemahan K.Ng. Soebekti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 226. 414 Ibid, h. 227. 415 Ibid. 416 Ibid. 417 IN. Nurjaya, Op. Cit., h. 75. 418 IN. Nurjaya, Loc. Cit.
188 Menurut pendapat I Wayan Ardika dan Ni Luh Sutjiati Beratha, pada perajin masa Bali Kuna Abad IX dan XI Masehi yaitu kayu larangan sadana, kayu larangan seada K 63 kayu larangan seadanya.419 Mengutip penjelasan I Wayan Ardika pada zaman ini ada ketentuan dari raja yaitu penebangan atas kayu larangan. Dan apabila ada penebangan atas kayu larangan tersebut sesuai dengan ketentuan raja pada zaman itu penebang harus bertanggung jawab. Penebangan-penebangan atas kayu tersebut ialah telah ditentukan oleh raja oleh karena kayu-kayu yang ditebang tersebut sangat berfungsi untuk melestarikan lingkungan dan mencegah tanah longsor, abrasi, penggundulan dan lain sebagainya. Dalam kontek ini bila terjadi penebangan atas kayu-kayu larangan yang ditebang terbitlah tanggung jawab langsung dari penebang. Tanggung jawab ini langsung disaksikan oleh Raja. Dari perspektif budaya dilihat dari otonomi daerah sumber daya alam lingkungan, menurut Noer Fauzi, dkk., pada tatanan rakyat. 1. Kelompok-kelompok masyarakat di daerah termasuk masyarakat adat harus mengorganisir diri dan menggunakan berbagai kelembagaan yang independen dan dikelola langsung oleh rakyat untuk kepentingan mengontrol atau mengawasi kebijakan pemerintah dan legislatif di daerah. 2. Rakyat di daerah harus mampu mengelola lingkungan dan sumber daya alam berdasarkan kearifan yang dimiliki atau berdasarkan pola-pola pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan tanpa diskriminasi antar etnik agama.420 Dari uraian tersebut, di dalam otonomi daerah lebih memberdayakan kearifan lokal 419
I Wayan Ardika dan Ni Luh Sutjiati Beratha, tanpa tahun, Perajin pada Masa Bali Kuno Abad IX-XI Masehi, Fakultas Sastra Universitas Udayana, h. 143. 420 Noer Fauzi, dkk, 2000, Otonomi Daerah Sumber Daya Alam Lingkungan, Lavera Pustaka Utama, Yogyakarta, h. 15-16.
189 yang dimiliki oleh desa ialah : hukum adat. Disamping perlindungan hukum, jaminan hukum dan tanggung jawab hukum dalam pengelolaan sumber daya alam dan pengelolaan lingkungan hidup. Ketidakadilan dalam penguasaan aset alam itu telah mendorong munculnya gerakan sosial yang menuntut perlindungan dan keadilan terhadap lingkungan.421 Perlindungan lingkungan hidup menekankan pada cara mempertahankan kualitas dan kuantitas aset alam saat ini untuk kepentingan generasi mendatang (keadilan antar generasi). Sedangkan keadilan lingkungan hidup adalah upaya mencari pola pengelolaan aset alam yang adil bagi generasi sekarang berkenaan dengan jaminan bagi semua. Warga negara memperoleh dan menikmati upaya yang bersih, air yang terdistribusi dengan adil dan sebagainya.422 Menurut William Cronon (1995) menjelaskan adalah bukan sealamiah yang kasat mata. Dampak kegiatan manusia terhadap lingkungan tidak selalu berakibat buruk, manusia tentunya dapat menghancurkan lingkungan hidup, tapi meskipun bisa memperbaiki dengan melakukan investasi pada alam. Lebih lanjut kaum papa saat mereka miliki akses kepada kekayaan alam, sering kali berperan penting dalam merehabilitasi dan memelihara alam secara berkelanjutan.423 Pada terminologi perbaikan lingkungan, kita mencipta nilai-nilai yang mendasari kepedulian pada kesejahteraan manusia masa kini dan generasi mendatang. Kita umumnya amat peduli dalam perlindungan lingkungan bukan karena lingkungan hidup lebih penting ketimbang manusia tapi
421
Yappika (dalam Noer Fauzi dkk), 2000, Otonomi Daerah Sumber Daya Alam Lingkungan, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, h. 34. 422 Ibid. 423 Ibid.
190 karena keduanya terlibat bersama-sama.424 Dari uraian tersebut konsep keseimbangan oleh karena bagaimana harmonisasi atau melestarikan lingkungan karena manusia membutuhkan lingkungan hidup yang sehat dan baik, sebaliknya manusia wajib menyelamatkan lingkungan hidup dalam perilaku sehari-harinya yang akhirnya dapat diwariskan pada anak cucu kita kedepan. Apapun perbuatan manusia dilakukan terhadap lingkungan tetap manusia bertanggung jawab. Sikap hormat terhadap alam menurut A Sonny Keraf manusia menghargai hak semua makhluk hidup untuk berada, hidup, tumbuh dan berkembang secara alamiah sesuai dengan tujuan penciptaannya. Dalam hal ini manusia perlu memelihara, merawat, menjaga, melindungi dan melestarikan alam beserta isinya, manusia tidak boleh merusak dan menghancurkan alam beserta seluruh isinya tanpa alasan yang dibenarkan oleh moral.425 Lebih jauh dikemukakan timbulnya tanggung jawab yaitu tanggung jawab bersama dalam bentuk mengingatkan, melarang, dan menghukum siapa saja yang secara sengaja ataupun tidak sengaja merusak dan membahayakan eksistensi alam semesta bukan karena kepentingan manusia tergantung dari eksistensi alam melainkan karena alam bernilai pada dirinya sendiri.426 Tanggung jawab yang menyebabkan manusia merasa bersalah ketika terjadi bencana alam dan ketika keseimbangan ekosistem terganggu. Manusia melakukan tindakan kosmis berupa membawa sesajen, berdoa atau ritual tertentu
424
Ibid. A. Sonny Keraf, 2002, Etika Lingkungan, Kompas Jakarta, h. 145. 426 Ibid, h. 146. 425
191 untuk mengungkapkan rasa bersalahnya dan secara kosmis ingin menyeimbangkan kembali kekacauan kosmis itu.427 Kearifan lokal dari masyarakat adat bersumberkan dari nilai-nilai komunitas. Nilai-nilai komunitas tersebut
adalah menjiwai dan dapat
mempengaruhi
lingkungannya dan juga dapat mempengaruhi perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari dalam pergaulannya di masyarakat. Dalam hal timbul kasus-kasus dalam komonitas tersebut, filosofi penyelesaian kasus-kasus tersebut ialah berdasarkan atas kerukunan dan kepatutan. Tujuan dikedepankannya kerukunan dan kepatutan dalam penyelesaian sengketa ialah untuk dapat mewujudkan kebudayaan yang harmonis antara sesama manusia, hubungan manusia dengan alam/lingkungannya. Harmonisasi hubungan tersebut akan dapat tercipta keseimbangan antara manusia dengan alam akibat tindakan manusia yang merusak lingkungan. Keseimbangan tersebut merupakan filsafat, pandangan hidup dan merupakan asas pokok dalam hukum adat. Keseimbangan manusia dengan manusia, dengan Tuhan dan keseimbangan manusia dengan alam / lingkungan. Esensi dari keseimbangan antara manusia dengan lingkungan / alam hal tindakan manusia yang merusak lingkungan bila dikaitkan dengan asas tanggung jawab langsung manusia harus mengembalikan keseimbangan yang telah terganggu tersebut. Berdasarkan asas kerukunan dalam komunitas masyarakat, manusia yang merusak tersebut wajib bertanggung jawab atas perbuatannya dengan cara sukarela tanpa harus ada paksaan. Artinya berdasarkan atas asas kerukunan tersebut terbitlah tanggung jawab langsung seketika haruslah mengembalikan keseimbangan tersebut 427
Ibid.
192 atau seketika manusia tersebut bertanggung jawab atas perbuatannya yang merusak lingkungan hidup. Perbuatan manusia yang merusak lingkungan dapat menimbulkan kegoncangan,
mengganggu keseimbangan kosmos.428 Di Bali hukum adat yang
dibuat oleh masayrakat adat disebut dengan awig-awig. Awig-awig mengatur tentang alam atau lingkungan hidup. Contoh yang dikemukakan oleh I Nyoman Sirtha, apabila terjadi pelanggaran pemakaian air yang merugikan anggota subak, dan cara penyelesaian
sengketa
melalui
paruman-paruman,
dan
apabila
terjadi
pembangkangan sanksi adat akan diperberat, oleh karena itu pelaku berusaha untuk memenuhinya.429 Dalam pengembalian keseimbangan kosmis yang telah terganggu tersebut, pelaku pencemaran atau perusakan terhadap lingkungan hidup
adalah
berpedoman pada asas kepatutan dan kerukunan dengan tanggung jawab langsung pada Hakikatnya sudah dikenal dalam masyarakat adat hanya tidak tertulis seperti dalam peraturan perundang-undangan tapi telah diwujudkan dalam perilakunya sehari-hari dalam kehidupan di masyarakat adat. Tjok Astiti memberi contoh dalam awig-awig Desa Lukluk ada 3 jenis sanksi apabila timbul pencemaran lingkungan hidup, mengganti kerugian, mecaru apabila pencemaran tempat suci dan denda.430 Jadi pada prinsipnya penyelesaian singkat tersebut dilandasi oleh asas kerukunan, keselarasan dan kepatutan. Dari uraian tersebut adalah merupakan kewajiban pada setiap manusia untuk bertanggung jawab atas kerusakan alam atau lingkungan dan mempunyai kewajiban
428
I Nyoman Sirtha, 2007, Peran Hukum Adat Dalam Pelestarian Lingkungan Hidup Daerah (Dalam Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidu), UPT. Universitas Udayana, Denpasar, h. 11.8. 429 Ibid. 430 Tjok Istri Putra Astiti, 2007, Awig-awig Sebagai Sarana Pelestarian Lingkungan Hidup (Dalam Kearifan Lokal Pengelolaan Lingkungan Hidup), UPT Universitas Udayana, Denpasar, h. 95.
193 untuk mengembalikannya. Ini dapat diartikan setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia dan akibat yang timbul wajib dipertanggung jawabkan. Menurut hukum apakah berdasarkan atas kesalahan atau bertanggung jawab secara langsung. Dalam filsafat Tri Hita Karana yaitu harmonisasi hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia sesama manusia dan manusia dengan alam / lingkungan. Tri Hita Karana lebih dipahami sebagai filosofi hidup untuk mewujudkan sikap hidup seimbang dan konsisten untuk percaya dan bakti pada Tuhan, mengabdi pada sesama dan memelihara kesejahteraan alam lingkungan. Tri Hita Karana tidak bisa dipahami hanya sebagian atau satu persatu karena Tri Hita Karana itu sebagai satu kesatuan yang utuh, sinergis dan konsisten sebagai filosofi hidup yang universal.431 Dengan Tri Hita Karana tersebut keseimbangan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup tersebut wajib dilestarikan. Dengan terbitnya asas tanggung jawab langsung berarti manusia tetap menjaga keseimbangan alam atau lingungan hidup. Dalam kearifan lokal keseimbangan selalu dijaga oleh manusia dalam pengelolaan sumber daya alam / lingkungan hidup, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia tetap mengembalikan fungsi lingkungan hidup. Aspek keseimbangan dari masyarakat dalam pengelolaan terhadap lingkungan hidup, wajib dibudayakan untuk bertanggung jawab dan setiap tingkah laku manusia di dalam kehidupannya di masyarakat tetap tertanam dalam jiwanya yaitu melestarikan lingkungan hidup.
431
Novy Purwanto, 2009, “Transformasi Nilai Filsafat Tri Hita Karana Dalam Perda No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali 2009-2029”, Disertasi, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang, h. 64.
194 BAB IV PENEMUAN HUKUM FORMIL OLEH HAKIM DALAM PENERAPAN ASAS TANGGUNG JAWAB LANGSUNG (STRICT LIABILITY) PADA GUGATAN PERWAKILAN (CLASS ACTION)
4.1
Pengertian, Dasar Hukum dan Perkembangan Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Gugatan Perwakilan Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman), tugas Hakim dalam peradilan perdata ialah memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara. Sesuai dengan ketentuan undang-undang, hakim wajib mengadili dan memutus suatu perkara sesuai dengan kewenangannya. Hakim tidak boleh menolak mengadili dan memeriksa perkara dengan alasan undang-undang atau hukum tidak mengatur perkara tersebut (rechtsvacuum), tetapi hakim wajib untuk mengadili. Hal ini sesuai dengan ajaran ius curia novit yaitu hakim dianggap tahu hukum. Dalam Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk mengadili dan memeriksa. Selanjutnya, dalam Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa apabila hakim dalam mengadili tidak menemukan hukumnya, baik hukum perundang-undangan, yurisprudensi dan hukum-hukum tidak tertulis dalam tugasnya tersebut Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di
194
195 masyarakat. Dengan demikian, hakim karena jabatannya wajib menemukan hukum. Terkait dengan hal ini, dalam Pasal 20 AB ditentukan, hakim harus mengadili menurut undang-undang sehingga Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman lebih luas dari Pasal 20 AB karena hakim mengadili menurut hukum dalam tugasnya yang lebih luas tersebut (ius curia novit), dituntut ketrampilan dan intelektualitas dari Hakim sehingga Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tidak membatalkan Pasal 20 AB tetapi kedua pasal itu saling mengisi. 432 Sudikno Mertokusumo memberikan pengertian penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh Hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa kongkrit.433 Lebih jauh dikemukakan bahwa permasalahan penemuan hukum adalah permasalahan pelaksanaan hukum, penerapan hukum, pembentukan hukum dan penciptaan hukum.434 Pembentukan hukum ialah hasil dari penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim melalui pembentukan hukum yang dituangkan dalam putusan hakim yang kita kenal yurispridensi.435
432
Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h. 10-11. Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h. 37. 434 Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit. h. 36. 435 Di samping penemuan hukum oleh hakim, terdapat pula penemuan hukum oleh pembentuk undang-undang. Menurut Teguh Prasetyo, penemuan hukum oleh pembentuk undang-undang adalah hukum yang dituangkan dalam bentuk undangundang dan sekaligus menjadi sumber hukum. Penemuan hukum oleh pembentuk undang-undang tidak akan dibicarakan di sini karena bukan merupakan fokus perhatian disertasi ini. Lihat Teguh Prasetyo dalam Yuda Bakti, Penemuan Hukum Nasional dan Internasional, Fikahati Aneska, Bandung, h. 620. 433
196 Menurut J.A. Pontier penemuan hukum merupakan reaksi terhadap situasisituasi problematikal yang dipaparkan orang dalam peristiwa hukum.436 Dalam hubungan ini, Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa, penemuan hukum
tidak dapat dihindari manakala
terminologi yang digunakan undang-undang tidak jelas, undang-undang tidak mengatur masalah yang dihadapi atau undang-undang yang ada bertentangan dengan situasi yang dihadapi. Dalam keadaan demikian, hakim lantas melakukan pembentukan hukum (rechtsvorming), penghalusan hukum (rechtverfijning) atau penafsiran (interpretatie). Kegiatan-kegiatan semacam itulah dalam sistem hukum Eropa kontinental disebut sebagai penemuan hukum (rechtsvinding).437 Hal senada juga dikatakan oleh Paul Scholten bahwa penemuan hukum merupakan sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadangkadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan baik dengan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechtsvervijning.438 Dari penjelasan Peter Mahmud Marzuki maupun Paul Scholten tersebut dapat dikatakan bahwa substansi penemuan hukum sesungguhnya ialah pembentukan hukum (rechtsvorming), dalam hal ini pembentukan hukum oleh hakim. Sebab, baik penghalusan hukum (rechtsverfijning) maupun penafsiran (interpretatie) pada dasarnya adalah pembentukan hukum (rechtsvorming) oleh hakim terhadap suatu
436
J.A. Pontier, 2001, Penemuan Hukum Rechtvinding (terjemahan B. Arief Sidharta), Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Katolik Parhyangan, Bandung, h. 1. 437 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki II), h. 282. 438 Paul Scholten dalam Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, h. 22.
197 peristiwa konkret tertentu guna mengisi kekosongan, pertentangan, maupun ketidakjelasan atau kekaburan undang-undang. Oleh karena itu benarlah yang dikatakan oleh Ahmad Rifai bahwa penemuan hukum merupakan proses pembentukan hukum oleh Hakim dalam upaya menerapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah atau metode-metode tertentu yang digunakan agar penerapan hukumnya terhadap peristiwa tersebut dapat dilakukan secara tepat dan relevan menurut hukum sehingga hasil yang diperoleh dari proses itu dapat diterima dan dipertanggungjawabkan dalam ilmu hukum.439 Dalam sistem hukum Indonesia, hakim atau badan peradilan mempunyai peran penting dalam penemuan hukum melalui putusan-putusannya, yang pada akhirnya akan membentuk hukum baru yang kekuatannya setara dengan undangundang dan jika putusan itu diikuti oleh hakim-hakim selanjutnya akan menjadi yurisprudensi.440 Dalam pandangan mantan ketua Mahkamah Agung RI, Purwoto S. Gandasubrata, dalam melakukan penemuan hukum hakim wajib untuk menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat, sehingga kasus yang semula tidak ada hukumnya menjadi ada dan kasus tersebut dapat diputus melalui penemuan hukum namun hal itu harus dilakukan dengan hati-hati. Dikatakan bahwa apabila nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat ternyata tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 atau perundang-undangan lainnya maka Hakim tidak wajib untuk
439 440
Ibid, h. 23. Ibid, h. 24.
198 mengikutinya.441 Karena itulah ia selanjutnya menegaskan bahwa tugas hakim akan menjadi lebih berat dikarenakan ia akan menentukan isi dan wajah hukum dan keadilan dalam masyarakat, juga merupakan penyambung rasa dan lidah dari rakyat di bidang hukum dan keadilan.442 Uraian di atas menunjukkan bahwa penemuan hukum oleh hakim bukan hanya penting melainkan dibutuhkan, khususnya di negara-negara Eropa Daratan (Kontinental) yang menganut tradisi civil law. Ia (penemuan hukum) dibutuhkan karena seorang hakim bertugas memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya berdasarkan hukum dan yang diartikan sebagai hukum dalam pemahaman para sarjana di negara-negara civil law, terutama, adalah undangundang. Sementara itu, sudah menjadi pengetahuan populer bahwa sebaik apa pun sebuah undang-undang disusun ia tidak pernah sempurna. Dalam sebuah undangundang akan selalu melakat kelemahan entah kemungkinan bahwa undang-undang itu tidak memuat aturan tentang suatu peristiwa konkret tertentu (sehingga terjadi kekosongan norma), atau undang-undang itu memuat pengaturan yang tidak jelas tentang suatu hal (sehingga terjadi kekaburan norma), atau undang-undang itu memuat norma yang bertentangan dengan norma hukum lainnya, baik secara vertikal maupun secara horizontal (sehingga terjadi konflik norma). Neil MacCormick mengatakan undang-undang sebagai produk legislatif tidak semuanya dirumuskan dalam bentuk verbal yang jelas, yang diharapkan dapat memberikan jawaban yang jelas terhadap persoalan hukum praktis. Aturan hukum, 441
Purwoto S. Ganda Subrata, 1991, Tugas Hakim Indonesia, Dalam Penemuan Hukum dan Pemecahan Hukum, Reader III, Tim Pengakjian Hukum, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, h. 142. 442 Ibid.
199 yang dirumuskan dalam bahasa, acapkali merupakan rumusan yang terbuka maupun rumusan yang kabur.443 Rumusan yang terbuka dan kabur demikian sudah tentu tidak mungkin diterapkan untuk menyelesaikan masalah-masalah praktis atau aktual. Rumusan aturan tersebut baru mungkin digunakan untuk menyelesaikan masalahmasalah konkret setelah terlebih dahulu “ditemukan” maksud dari aturan yang terbuka atau kabur itu. Untuk itulah dibutuhkan penemuan hukum oleh pihak yang akan menerapkan aturan itu dalam perkara yang konkret, yaitu hakim. Untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding), menurut Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, tidak cukup jika hanya menggunakan tiga model rechtsvinding yang diajarkan oleh Montesquieu. Menurut Montesquieu, model rechtsvinding yaitu: 1. Hakim adalah corong undang-undang. Dalam hal ini, hakim menerapkan undang-undang dan melaksanakannya secara harfiah. “Setiap hakim harus mengatakan sebagaimana yang termaktub dalam undang-undang atas segala kegiatan atau aktivitasnya agar tidak terjebak dalam situasi kacau” (“les juges delanation ne sont que les bouches qui prononcent les paroles de la loi, des etres inanimes qui n’en peuvent moderer ni la for ce ni rigueur”). 2. “Di dalam negara monarki ada suatu undang-undang, yang menjadi pedoman bagi para hakim. Jika pedoman itu tidak ada, undang-undang menjadi jiwa atau spirit untuk mencarinya” (“dans les etats monarchiques il ya une loi, la ou elle est precise juge la suit, la ou elle ne l’est pas, il en cherche l’esprit”).
443
Neil MacCormick dalam Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, h. 24.
200 3. Interpretasi menurut jiwa undang-undang. Hakim tidak hanya sebagai corong undang-undang (spreekbuis van de wet) tetapi juga sebagai penafsir (vertolker atau interpreter).444 Dewasa ini, model penemuan hukum (rechtsvinding) yang dianut adalah model yang menggunakan metode interpretasi (interpretatiemethoden) dan model penalaran (redeneerwijzen) atau konstruksi hukum. Metode interpretasi, menurut Bruggink, terdiri atas empat model, yaitu interpretasi bahasa (de taalkundige interpretatie), interpretasi historis undang-undang (de wetshistorische interpretatie), penafsiran sistematis (de systhematische interpretatie), penafsiran kemasyarakatan (de maatshappelijke interpretatie). Sedangkan penalaran atau konstruksi hukum mempunyai tiga bentuk, yaitu analogi, rechtsverfijning (penghalusan hukum), dan argumentum a contrario.445 Salah satu contoh penemuan hukum yang sangat terkenal dalam bidang atau lapangan hukum perdata adalah penemuan hukum yang tertuang di dalam putusan Mahkamah Agung Belanda dalam kasus Cohen v. Lindenbaum (1919). Putusan ini selalu dirujuk dalam perkualiahan hukum perdata, khususnya tatkala berbicara pokok bahasan tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Secara ringkas, duduk perkara kasus tersebut adalah sebagai berikut: seorang pemilik perusahaan percetakan yang bernama Samuel Cohen berupaya mematamatai dan mencuri rahasia perusahaan saingannya yang dimiliki oleh Max Lindenbaum. Caranya dengan memperalat pegawai perusahaan Max Lindenbaum itu, yaitu dengan cara menyuapnya. Ketika mengetahui upaya jahat tersebut, 444 445
Ibid., h. 24-25. Ibid., h. 26-27.
201 Lindenbaum kemudian menggugat Cohen dan menuntutnya untuk membayar ganti kerugian dengan dalil bahwa Cohen telah melakukan perbuatan melawan hukum. Lindenbaum mendasarkannya pada Pasal 1401 Burgerlijk Wetboek Belanda (sama dengan Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia). Cohen berdalih bahwa perbuatannya itu tidaklah melanggar hukum karena undang-undang tidak melarangnya. Pengadilan banding menerima dalil Cohen namun Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) menghukumnya. Mahkamah Agung Belanda berpendapat bahwa perbuatan melawan hukum bukan hanya jika perbuatan itu melanggar undang-undang tetapi juga apabila perbuatan itu bertentangan dengan hak subjektif orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau bertentangan dengan tata susila, kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.446 Melalui putusannya dalam kasus Cohen v. Lindebaum di atas, Mahkamah Agung Belanda telah mengubah secara radikal konsep atau pengertian tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dalam lapangan hukum perdata. Semula, perbuatan melawan hukum dalam lapangan hukum perdata hanya diartikan sebagai perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan undang-undang namun, melalui putusannya dalam kasus di atas, Mahkamah Agung Belanda telah memperluasnya menjadi bukan sekadar perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan undang-undang melainkan juga perbuatan yang melanggar kesusilaan, kepatutan yang hidup dalam masyarakat, atau bertentangan dengan kewajiban hukum orang yang melakukan perbuatan itu. 446
Dikutip dari http://myslawlibrary.wordpress.com/2013/06/05/kasuslindenbaum-cohen-1919, diunduh tanggal 29 Oktober 2014.
202 Bagaimanakah dengan penemuan hukum di Indonesia, khususnya berkenaan dengan gugatan perwakilan? Apakah, dalam praktik, para hakim di Indonesia (yang juga menganut atau setidak-tidaknya dipengaruhi oleh tradisi hukum Eropa Daratan) juga menjadikan penemuan hukum sebagai bagian dari kewajibannya dalam menjalankan fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan? Secara formal, berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah disebutkan di atas, hakim diwajibkan untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian, secara formal, hakim di Indonesia sesungguhnya wajib untuk melakukan penemuan hukum dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konkret yang dihadapkan kepadanya. Namun, dalam praktik hal itu ternyata tidak selamanya dilaksanakan, khususnya dalam gugatan perwakilan, sebagaiman akan terlihat dari uraian berikut. Sebagaimana
diketahui,
hingga
saat
ini
Indonesia
masih
banyak
memberlakukan peraturan perundang-undangan dari masa kolonial Belanda, termasuk dalam lapangan hukum perdata, baik hukum materiil maupun hukum formil atau hukum acaranya. Landasan konstitusional dari pemberlakuan pemberlakuan peraturan perundang-undangan dari masa kolonial Belanda tersebut adalah Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (sebelum dilakukan perubahan) yang menyatakan, “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Keadaan itu, sedikit banyak, membawa pengaruh terhadap sikap atau cara berpikir hakim dalam
203 memutus perkara, khususnya dalam melakukan penemuan hukum, baik melalui metode penafsiran (interpretasi) maupun melalui konstruksi hukum contoh kasus dalam putusan No. 134/Pdt.G/1997/PN.JAK.SEL yang menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima (N.O.). Duduk perkara : pengugat sebagai konsumen tenaga listrik yang selain bertindak untuk dirinya sendiri juga sekaligus mewakili konsumen yang menjadi korban dan mengalami kerugian karena padamnya aliran listrik disebagian besar Jawa dan Bali tanggal 13 April 1997. Penggugat diwakili oleh YLKI melawan PT PLN (Persero) sebagai Tergugat. Untuk mengatasi kemacetan Hukum Acara Perdata, Penggugat mendasarkan pada doktrin hukum yang berkembang. Bahwa jumlah konsumen lebih dari 1 juta sebagai korban dengan terdapat fakta yang sama, dalil serta tuntutan yang sama. Fakta-fakta hukum padamnya listrik tersebut. Penggugat tidak dapat melakukan kegiatan dan Tergugat telah melakukan perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian masyarakat
luas.
Pertimbangan
hukum
putusan
tersebut
:
PN
akan
mempertimbangkan penggunaan prosedur class action sesuai dengan doktrin hukum dan praktek di Pengadilan untuk memutus suatu gugatan hakim mendasarkan pada ketentuan-ketentuan materiil dan ketentuan hukum formil. Pengertian Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat bukan berarti Hakim mengenyampingkan hukum acara yang berlaku. Pertimbangan hukum yang telah mensitir putusan-putusan Negara Asing, hal ini tidaklah dapat dipergunakan oleh Hakim untuk mengabulkan class action di Indonesia. Sebab Hukum Acara Perdata di Indonesia yang menganut sistem hukum Eropa Continental
204 yang sama sekali tidak mengenal class action. Menurut Pasal 123 HIR telah ditentukan gugatan haruslah diajukan oleh orang yang bersangkutan bukan orang lain, seandainya orang lain harus ada surat kuasa khusus. Sehingga gugatan class action dinyatakan tidak dapat diterima.447 Contoh kasus yang cukup banyak menarik perhatian adalah gugatan perwakilan yang diajukan oleh pengacara R.O. Tambunan yang menggugat sebuah perusahaan rokok terkenal, yakni PT Bentoel. Duduk perkaranya, secara ringkas, adalah sebagai berikut dalam gugatannya bahwa ia tidak hanya saja mewakili dirinya sendiri sebagai orang tua dari anaknya akan tetapi juga mewakili seluruh generasi muda yang diracuni karena perusahaan rokok Bentoel. Contoh lain adalah kasus gugatan perwakilan yang diajukan oleh Mochtar Pakpahan dalam kasus demam berdarah yang ditujukan terhadap Pemerintah DKI Jakarta. Duduk perkaranya adalah sebagai berikut penggugat Muchtar Pahpahan bertindak untuk kepentingan sendiri sebagai korban wabah demam berdarah maupun mewakili masyarakat penduduk DKI Jakarta lainnya yang menderita wabah serupa, sayangnya permintaan penerapan prosedur class action semacam ini selalu ditolak dengan alasan hukum acara kita tidak mengaturnya.448 Dari putusan hakim dalam kasus yang berkenaan dengan gugatan perwakilan di Indonesia tersebut di atas tampak sekali cara bernalar hakim yang tidak berani keluar dari cara bernalar berdasarkan peraturan atau undang-undang (rule-based reasoning atau reasoning based on rules), suatu cara bernalar yang bertolak dari 447 448
Lebih Jauh lihat Putusan No. 134/Pdt.G/1997/PN.JAK.SEL. Mas Achmad Santoso II, Op. Cit., h. 80.
205 model argumentasi deduksi yang memang lazim dikenal dan dipraktikkan di negaranegara civil law. Dengan cara bernalar ini tampak bahwa yang lebih banyak dikejar atau dijadikan orientasi adalah kepastian hukum sehingga aspek keadilan dan kemanfaatan cenderung terabaikan. Cara bernalar demikian juga menunjukkan fakta bahwa, setidak-tidaknya dalam kasus-kasus di atas, hakim masih menunjukkan dirinya sebagai corong undang-undang (spreekbuis van de wet) tetapi juga sebagai penafsir (vertolker), belum sebagai penafsir (vertolker) sebagaimana yang diharapkan. Padahal, sebagai bagian dari proses penegakan hukum, putusan hakim atau pengadilan seharusnya bukan hanya memberi kepastian tetapi juga keadilan dan kemanfaatan atau faedah. Sebagaimana dikatakan oleh Randbruch. The existence of a legal order is more important than its justice and expediency, which constitute the second great task of the law, while the first, equally approved by all, is legal certainty, that is, order, or peace.449 “Bahwa keberadaan dari suatu kondisi tertib hukum lebih penting dari keadilan dan kemanfaatan dari suatu produk hukum, yang mana dalam hal ini mewujudkan tugas terpenting kedua dari tugas hukum, yang mana dalam tugas pertamanya, yang secara rata di akui, adalah kepastian hukum, yang dalam hal ini ketertiban dan kedamaian. “ “Our investigation has been pressed irresistibly from one element of the idea of the law to another: the three elements of the idea of law require one another – yet at the same time they contradict one another.450 “Penelitian kami telah telah menunjukkan perlawanan dari masing-masing elemen dari cita hukum: dimana dalam hal ini ketiga elemen dari cita hukum memerlukan satu sama lain – namun dalam saat yang bersamaan masingmasing elemen juga mengkontradiksi satu sama lain.
449
Radbruch, The Legal Philosophies of Lask, Radbruch and Dabin, 1950, Cambridge Massachusetts, Harvard University Press, h. 108. 450 Ibid, h. 109
206 The Idea of the law we found in justice and we determined the essence of justice, of distributive justice, as equality: equal treatment of equal, and correspondingly unequal treatment of different, men and relationship.451 Cita hukum ditemukan dalam keadilan dan ditentukanlah inti dari keadilan, dari keadilan distributive, sebagai kesamarataan: kesamarataan perlakukan dalam persamaan, dan begitu juga sebaliknya ketidaksamaan perlakuan dalam perbedaan, manusia dan hubungan-hubungannya. Lebih jauh dikatakan oleh Gustav Radbruch hukum sebagai pengemban nilai keadilan menjadi ukuran bagi adil tidak riilnya tata hukum. Nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum.452 Menurut Radbruch hukum memiliki tiga aspek yakni keadilan, finalitas dan kepastian. Aspek keadilan menunjuk kepada kesamaan hak di depan hukum, aspek finalitas menunjuk pada tujuan keadilan yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Aspek ini menentukan isi hukum, sedangkan kepastian menunjuk pada jaminan bahwa hukum (yang berisi keadilan dan norma-norma yang memajukan kebaikan), benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati.453 Selanjutnya menurut Radbruch tuntutan akan keadilan dan kepastian adalah merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum.454 Dari uraian pendapat Radbruch tersebut, dalam penegakan hukum saling menentukan (kepastian, keadilan dan kemanfaatan). Keadaan demikian tentu tidak sejalan dengan hakikat kekuasaan kehakiman (yudikatif) sebagai kekuasaan untuk menegakkan hukum dan keadilan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUDNRI 1945 yang mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan 451
Ibid, h. 107 Bernad L. Tanya, dkk, Op. Cit., h. 129-130. 453 Bernad L. Tanya, dkk, Op. Cit., h. 130. 454 Bernad L. Tanya, dkk, Loc. Cit. 452
207 peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Timbul pertanyaan, apakah cara bernalar seperti itu merupakan satu-satunya cara bernalar yang dapat dilakukan oleh hakim di negara-negara civil law dalam memutus suatu perkara konkret yang diajukan kepadanya? Sebagai perbandingan, dalam praktik yang berkembang di negara-negara common law dapat ditemukan adanya dua cara bernalar hakim dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya, yaitu cara bernalar berdasarkan peraturan atau undang-undang (rule-based reasoning atau reasoning based on rules) dan cara bernalar berdasarkan asas atau prinsip (principle-based reasoning atau reasoning based on principles atau reasoning based on precedent). Perbedaan penting dari kedua cara bernalar ini terletak terutama pada perbedaan peran hakim dalam proses bernalar terhadap suatu kasus. Dalam rule-based reasoning, titik tolaknya adalah aturan (rules), bukan kasus. Aturan diundangkan terlebih dahulu sebelum adanya suatu kasus. Di sini berlaku asas supremasi legislatif. Hakim tunduk pada aturan sehingga peran hakim hanya sub-ordinasi dari aturan. Sedangkan dalam principlebased reasoning atau reasoning based on precedent, dengan bertitik tolak dari kasus nyata yang dihadapi, hakim lalu melakukan identifikasi untuk menemukan landasan prinsip atau presedennya. Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi persamaan dan perbedaan dari kasus yang dihadapi itu dengan preseden atau prinsip yang digunakan sebagai landasan, memperbandingkan atau mempertentangkannya dengan
208 preseden. Atas dasar itu kemudian ditentukan sikap apakah akan mengikuti preseden atau tidak.455 Dengan demikian, dalam principle-based reasoning atau reasoning based on precedent, peran hakim bukanlah sub-ordinat dari aturan. Di sini, hakim justru sebagai penentu “apa hukumnya” terhadap suatu kasus konkret tertentu. Untuk menentukan “apa hukumnya” itu, hakim terikat pada penggunaan preseden sebagai landasan namun keputusan apakah pada akhirnya ia (hakim) akan mengikuti preseden atau justru menyatakan “hukum baru” terhadap kasus itu (yang artinya ia keluar dari preseden), hal itu sepenuhnya ada di tangan hakim yang bersangkutan. Sesungguhnya, bukan hanya dalam kaitan dengan penemuan hukum melainkan dalam penegakan hukum secara umum, sebagai konsekuensi dari ajaran ius curia novit, hakim dituntut memiliki pengetahuan yang luas tentang hukum. Hakim tidak cukup hanya memahami hukum sebagai kumpulan kaidah. Sebagaimana dikatakan oleh Lawrence Friedmann. Menurut Lawrence M. Friedman pendapatnya tentang sistem hukum, pertama-tama hukum mempunyai struktur. Sistem hukum terus berubah dalam kecepatan yang berbeda dan setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Ada pola jangka panjang yang berkesinambungan - aspek sistem yang berada disini kemarin (atau bahkan pada abad yang terakhir) akan berada disitu dalam jangka panjang. Inilah struktur sistem hukum kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap 455
h. 36-37.
Lihat lebih jauh, Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Op. Cit.,
209 keseluruhan.456 Selanjutnya struktur dari sistem hukum terdiri dari unsur jumlah dan ukuran Pengadilan, yurisdiksinya (yaitu jenis perkara yang mereka periksa dan bagaimana serta mengapa, dan cara naik banding dari satu pengadilan ke pengadilan lain.457 Aspek lain sistem hukum adalah substansinya adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem itu – keputusan yang mereka keluarkan aturan baru yang mereka susun. Penekanannya disini ialah terletak pada hukum yang hidup (living law), bukan hanya pada aturan dalam Kitab Hukum (law books).458 Komponen ketiga budaya hukum ialah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum – kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya. Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak berdaya seperti ikan mati yang terkapar dikeranjang bukan seperti ikan hidup yang berenang dilautnya.459 Mencermati pendapat Friedman memang betul hakim tidak cukup hanya memahami hukum sebagai kumpulan kaedah. Hakim dalam sistem hukum duduk dalam struktur, dalam kaitannya dengan penegakan hukum hakim harus memahami pola perilaku dari manusia dalam sistem itu, sebab hakim akan mengeluarkan 456
Lawrence M. Friedman, 2001, American Law an Introduction (Hukum Amerika Sebuah Pengantar), Penerjemah Wishnu Basuki, PT. Tata Nusa, Jakarta, Indonesia, h. 7. 457 Ibid. 458 Ibid, h. 7-8. 459 Ibid, h. 8.
210 keputusan aturan baru dan hukum yang hidup. Hal tersebut akan membawa akibat dari budaya hukum ialah kepercayaan, nilai, serta harapan dan bagaimana hukum tersebut dapat digunakan seperti dikatakan oleh Friedman, tanpa budaya hukum penegakan hukum tersebut tidak akan berdaya. Namun, dalam perkembangan terakhir ternyata mulai terjadi perubahan sikap hakim dalam mengadili perkara-perkara gugatan perwakilan yang diajukan kepadanya. Pada tahun 2000, sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan masyarakat se-Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang Bekasi) mengajukan gugatan perwakilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Adapun menjadi objek gugatan adalah kenaikan harga LPG. Pihak tergugatnya ialah Pemerintah dan Pertamina. Inti gugatan dan dalil-dalil yang dikemukakan penggugat (duduk perkaranya) adalah sebagai berikut. Menimbang, bahwa Penggugat dengan surat gugatannya tertanggal Desember 2000, yang diterima di Kepaniteraan Penyadilan Negeri Jakarta Pusat, pada tanggal 15 Desember 2000 dan telah didaftarkan di Register perkara dibawah No. 550/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pst, telah mengajukan gugatan dengan alasan-alasan sebagai berikut: Kedudukan dan kepentingan hukum para penggugat beserta yang diwakilinya. Bahwa sebelum sampai pada alasan-alasan faktual diajukannya gugatan ini, terlebih dahulu Para Penggugat hendak mengajukan dasar kedudukan dan kepentingan hukum Para Penggugat beserta yang diwakilinya untuk mengajukan gugatan : bahwa Para Penggugat, merupakan konsumen Elpiji (LPG) yang selain bertindak untuk dirinya sendiri, juga sekaligus mewakili konsumen Elpiji (LPG) lainnya di Jabotabek, yang mengalami kerugian karena kenaikkannya harga jual
211 Elpiji (LPG) sebesar 40 % berdasarkan SK No. Kpts-097/C0000/2000-S3 tanggal 2 November 2000 ; bahwa
dalam
gugatan
ini
Para
Penggugat
menggunakan
mekanisme dan atau prosedur gugatan perwakilan kelompok (Class Action) yang sudah diakui dalam doktrin hukum dan peraturan pcrundang-undangan di Indonesia, yaitu bertindak tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga sekaligus mewakili masyarakat konsumen Elpiji (LPG) lainnya di Jabotabek, yang mengalami kerugian karena dinaikkannya harga Elpiji (LPG) oleh Tergugat I pada tanggal 2 November 2000 ; bahwa oleh karena terdapat jumlah konsumen LPG yang dapat mencapai lebih 200.000 konsumen, terdapat fakta yang; sama, seperti antara lain bahwa kenaikan harga LPG itu terhitung mulai tanggal 3 November 2000, bahwa LPG yang beredar dan diperjualkan, diprodukso oleh Tergugat 1, bahwa LPG yang digunakan oleh Para Penggugat maupun konsumen lainnya adalah tabung berisi 12 Kg, dll, adanya dalil dan tuntutan yang sama serta adanya wakil kelas (Class Representatif) yang secara jujur dan sungguh-sungguh melindungi kepentingan dari anggota kelasnya (Class Member), sehingga dengan demikian telah memenuhi persyaratan untuk dapat dilakukannya suatu gugatan perwakilan kelompok (Class Action) seperti, Numerosity, Commonality, Typcality, Class Protection / Adequancy of Representatif, maka sangat beralasan dalam rangka memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan diatas, Penggugat, selain bertindak untuk dirinya sendiri, juga dapat sekaligus mempunyai kedudukan hukum untuk mewakili masyarakat konsumen Elpiji (LPG) lainnya di Jabotabek, yang mengalami kerugian karena dinaikkannya harga Elpiji (LPG) oleh Tergugat I pada tanggal 2 November 2000, dengan mekanisme gugatan perwakilan kelompok (Class Action); bahwa mengingat gugatan
212 ini diajukan dengan menggunakan mekanisme atau prosedur gugatan perwakilan kelompok (Class Action), maka perwakilan kelompok (Class Representatif) dan anggota kelompok (Class Member) adalah sebagai berikut: Penggugat I merupakan perwakilan kelompok (Class Representatif) dari Jakarta Pusat, yang merupakan anggota kelompok masyarakat LPG di wilayah (Class Member); Penggugat II merupakan perwakilan kelompok (Class Representatif) dari Jakarta Selatan, yang merupakan anggota kelompok masyarakat LPG diwilayah (Class Member); Penggugat III merupakan perwakilan kelompok (Class Representatif) dari Jakarta Utara, yang merupakan anggota kelompok masyarakat LPG diwilayah (Class Member); Penggugat IV merupakan perwakilan kelompok (Class Representatif) dari Jakarta Barat, yang merupakan anggota kelompok masyarakat LPG di wilayah (Class Member); Penggugat V merupakan perwakilan kelompok (Class Representatif) dari Jakarta Timur, yang merupakan anggota kelompok (Class Member); Penggugat
VI
mcrupakan
masyarakat LPG diwilayah
perwakilan
kelompok
(Class
Representatif) dari masyarakat LPG diwilayah Bekasi, yang merupakan anggota kelompok (Class Member); Penggugat VII merupakan perwakiian kelompok (Class Representatif) dari masyarakat LPG diwilayah Bogor, yang merupakan anggota kelompok (Class Member); Penggugat VIII merupakan perwakiian kelompok (Class Representatif) dari masyarakat LPG di wilayah Tangerang, yang merupakan anggota kelompok (Class Member); Penggugat IX merupakan perwakiian kelompok (Class Representatif) dari masyarakat LPG diwilayah Depok, yang merupakan anggota kelompok (Class Member);460
460
Lebih jauh lihat Putusan No. 550/Pdt.G/2000/Jakarta.
213 Ternyata,
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Pusat
melalui
putusannya
550/PDT.G/PN.JAK.PST mengabulkan gugatan perwakilan ini. Dalam pertimbangan hukum putusan ini dikatakan bahwa dalam pertimbangan ukum Putusan No. 550/Pdt.G/2000/Jakarta Pusat yaitu menetapkan para penggugat bertindak dan berkedudukan hukum untuk mewakili kepentingan hukum masyarakat konsumen seJabotabek. Mengabulkan mekanisme prosedur class action meskipun HIR, RBg belum mengatur. Setelah memperhatikan secara seksama pertimbangan hukum hakim dalam putusan di atas, meskipun menyatakan mengabulkan gugatan, tidak ditemukan uraian yang menjelaskan bagaimana hakim tiba pada pendapat untuk memeriksa, mengadili, dan memutus gugatan perwakilan tersebut dengan tetap menggunakan ketentuan di dalam HIR sebagai hukum acaranya padahal HIR sendiri tidak memuat prosedur beracara tentang gugatan perwakilan. Pertimbangan hukum putusan di atas ternyata tidak memuat uraian yang dapat digunakan sebagai acuan yang tegas bahwa melalui putusannya itu hakim atau pengadilan telah memperluas ruang lingkup penemuan hukum yang tidak sematamata mencakup bidang hukum materiil tetapi juga bidang hukum formil. Sehingga dengan demikian tidak serta-merta, atau setidak-tidaknya belum, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam praktik peradilan di Indonesia saat ini hakim telah berani melakukan penemuan hukum dalam bidang hukum acara (hukum formil).
214 4.2
Sumber-sumber Hukum dan Aliran-aliran Penemuan Hukum oleh Hakim Sumber hukum merupakan bahan atau dasar yang digunakan oleh bagi hakim
atau pengadilan dalam memutus suatu perkara.461 Oleh sebab itu, uraian tentang sumber hukum penting dibahas karena, sebagaimana telah disinggung pada uraian sebelumnya, berbicara tentang penemuan hukum oleh hakim berarti kita berbicara tentang peran hakim untuk membentuk atau menciptakan hukum (rechtsvorming), baik hal itu dilakukan melalui metode penafsiran hukum maupun konstruksi hukum. Peran tersebut muncul, khususnya di negara-negara penganut tradisi hukum civil law yang sangat bergantung pada undang-undang, karena hakim dalam memutus suatu perkara konkret tertentu sering berhadapan dengan situasi di mana terhadap perkara itu undang-undang tidak jelas mengaturnya atau terdapat pertentangan antara satu norma dengan norma lainnya, baik yang secara vertikal maupun horizontal, atau sama sekali tidak ada ketentuan yang mengaturnya. Dengan demikian timbul pertanyaan, ke mana hakim akan merujuk atau apa yang akan dijadikan rujukan oleh hakim tatkala ia berhadapan dengan kasus-kasus yang menuntutnya untuk melakukan penemuan hukum? Dalam kepustakaan, istilah sumber hukum setidak-tidaknya mengandung dua pengertian. Pertama, sumber hukum dalam arti materiil yaitu berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan mengapa hukum itu mengikat. Kedua, sumber hukum dalam arti formil yaitu yang berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan di mana kita dapat menemukan kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang dapat diterapkan untuk suatu
461
Peter Mahmud Marzuki II, Op. Cit., h. 301.
215 peristiwa konkret.462 Namun, di luar kedua pengertian tersebut juga terdapat pengertian pengertian sumber dalam arti lain yakni berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan faktor-faktor apakah yang mempengaruhi terbentuknya hukum. Sumber hukum dalam pengertian ini terkait dengan keberadaan hukum sebagai gejalan sosial.463 Sementara itu, mengenai sumber hukum dapat dilihat dalam arti sejarah hukum, sumber hukum dalam arti sosiologi hukum, sumber
hukum dalam arti
filsafat hukum, sumber hukum dalam arti ekonomi, gejala-gejala yang ada di masyarakat, sumber-sumber hukum dari ajaran-ajaran suci, kepercayaan dan agama menjadi sumber yang menentukan isi dari hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa sejarah hukum menggunakan istilah sumber hukum dalam dua arti yaitu sumber hukum dalam arti tempat orang-orang untuk mengetahui hukum dan sumber bagi pembentuk undang-undang menggali bahan-bahan dalam penyusunan undangundang. Sedangkan dari perspektif sosiologis, sumber hukum berarti faktor-faktor yang menyebabkan hukum benar-benar berlaku. Faktor-faktor tersebut ialah faktafakta dan keadaan-keadaan yang menjadi tuntutan sosial untuk menciptakan hukum, dipandang dari segi sosiologi hukum tidak lebih dari pencerminan realita sosial. Oleh
462
Mochtar Kusumaatmadja dan Arief B. Sidharta, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Buku I, Alumni, Bandung, h. 54. 463 Mochtar Kusumaatmadja, 1982, Pengantar Hukum Internasional, Buku IBagian Umum, Binacipta, Bandung, (selanjutnya disebut Mochtar Kusumaatmadja IV), h 107.
216 karena itu hukum dikondisi oleh faktor-faktor politik, ekonomi, budaya, agama, geografis dan sosial.464 Dari sejumlah pengertian tentang sumber hukum di atas, pengertian sumber hukum yang relevan dengan pembahasan ini adalah sumber hukum dalam arti formil. Sebab, pembahasan pada sub-bab ini diarahkan kepada upaya untuk menemukan jawaban atas pertanyaan tentang rujukan hakim dalam menemukan kaidah-kaidah atau asas-asas hukum yang akan digunakannya dalam memutus perkara atau kasus konkret yang dihadapkan kepadanya. Di negara-negara penganut tradisi hukum civil law, atau yang dipengaruhi olehnya, sumber hukum formil utama adalah undang-undang. Sebagaimana dikatakan N.E. Algra, hakim dalam memutus suatu kasus haruslah mengambil aturan hukum yang dijadikan dasarnya dari undang-undang. Bahkan dikatakan, hakim sama sekali tidak boleh menguji nilai batin atas kepatutan dari undang-undang itu.465 Hal senada juga tercermin dalam pendapat Sudikno Mertokusumo, yang menyatakan bahwa sumber utama penemuan hukum adalah peraturan perundang-undangan, kemudian hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional, barulah doktrin.466 Utrecht pun berpendapat demikian, meskipun menggunakan rumusan yang sedikit berbeda. Menurutnya, sumber hukum formil (yang dikatakannya sebagai determinan formil membentuk hukum) adalah:
464
Peter Mahmud Marzuki II, Op. Cit., h. 302. N.E. Algra, dkk., 1983, Cet. I, Mula Hukum, Beberapa Bab Mengenai Hukum dan Ilmu Untuk Pendidikan Hukum Dalam Pengantar Ilmu Hukum, Binacipta, Bandung, h. 15. 466 Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h. 48. 465
217 a. Undang-Undang b. Kebiasaan dan adat yang dipertahankan dalam keputusan dari yang berkuasa dalam masyarakat. c. Traktat. d. Yurisprudensi. e. Pendapat ahli hukum yang terkenal (doktrin).467 Sementara itu, istilah undang-undang itu sendiri sesungguhnya memiliki dua pengertian, yaitu undang-undang dalam arti formil (wet in formiele zijn) dan undangundang dalam arti materiil (wet in materiele zijn). Undang-undang dalam arti formil adalah peraturan yang dibuat oleh lembaga atau organ yang diberi kewenangan membuat undang-undang. Sedangkan, undang-undang dalam arti materiil adalah setiap peraturan yang mengikat umum. Dengan demikian, setiap peraturan atau perundang-undangan yang mengikat umum, meskipun tidak dibuat oleh badan atau lembaga yang diberi kewenangan untuk membuat undang-undang, adalah undang-undang dalam arti materiil. Dalam pemahaman demikian maka semua jenis peraturan perundang-undangan yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah undang-undang dalam arti materiil. Menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-undang ini, jenis dan hierarkhi peraturan perundangundangan yang terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. 467
E. Utrecht II, Op. Cit., h. 87.
218 c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang. d. Peraturan Pemerintah. e. Peraturan Presiden. f. Peraturan Daerah Provinsi. g. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota. Selain itu, dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 di atas disebutkan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) di atas adalah peraturan yang Permusyawaratan
Rakyat,
Dewan
Perwakilan
ditetapkan oleh Majelis
Rakyat,
Mahkamah
Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota/Kepala Desa atau yang setingkat. Selanjutnya, dalam Pasal 8 ayat (2)-nya ditegaskan, “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.” Dengan penegasan ini berarti semua peraturan yang disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 itu pun adalah undang-undang dalam arti materiil. Karena itu, berbicara tentang undang-undang sebagai sumber hukum formil maka yang dimaksud bukan hanya undang-undang dalam arti formil
219 tetapi juga mencakup undang-undang dalam arti materiil. Lebih jauh hal ini berarti pula bahwa yang dimaksud dengan pernyataan “dalam ajaran penemuan hukum, undang-undang diprioritaskan atau didahulukan dari sumber-sumber hukum lainnya”, sebagaimana dikatakan oleh Sudikno Mertokusumo,468 berarti merujuk pada pengertian undang-undang dalam arti materiil. Pengutamaan undang-undang (dalam arti materiil) sebagai sumber hukum utama bagi hakim dalam melakukan penemuan hukum tidaklah berarti mengabaikan, apalagi meniadakan, keberadaan sumber-sumber hukum lainnya. Sebagaimana tercermin dari pendapat Utrecht maupun Sudikno Mertokusumo di atas, hukum kebiasaan atau hukum adat pun merupakan sumber hukum. Dengan demikian, apabila hakim dalam melakukan penemuan hukum, entah menggunakan metode interpretasi ataupun konstruksi hukum, ternyata tidak menemukan sumbernya dalam undang-undang maka ia harus mencarinya dalam hukum kebiasaan atau hukum adat. Lebih-lebih dalam konteks Indonesia, sebagaimana dikatakan Tolib Setiady, hukum adat dipandang sebagai perwujudan atau pencerminan kepribadian bangsa.469 Sebagai perwujudan atau pencerminan kepribadian bangsa, hukum adat pun berarti pencerminan nilai-nilai keadilan bangsa. Sedangkan tujuan akhir dari penemuan hukum adalah bukan sekadar menentukan atau memutuskan apa hukumnya bagi suatu peristiwa konkrit tertentu tetapi juga di dalam putusan itu harus termuat unsur keadilan.
468 469
Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h. 48. Sudikno Mertokusumo II, Loc. Cit.
220 Sementara itu, traktat atau perjanjian internasional sebagai sumber hukum, hal ini dapat dengan mudah dipahami karena, sebagaimana halnya dengan perjanjian pada umumnya, traktat atau perjanjian internasional adalah perwujudan kehendak dari para pihak untuk mengikatkan diri dalam aturan-aturan yang mereka buat dan sepakati yang kemudian akan berlaku sebagai “undang-undang” bagi mereka. Hal ini diturunkan dari asas atau prinsip hukum yang berlaku secara universal yang dikenal dengan asas atau prinsip pacta sunt servanda yang bermakna bahwa setiap janji harus ditepati. Dengan demikian, dalam hubungannya dengan penemuan hukum, apabila hakim dalam memutus suatu perkara konkrit tertentu yang terhadapnya berlaku traktat atau perjanjian internasional tertentu maka ia harus merujuk atau mengacu pada traktat atau perjanjian internasional dimaksud. Artinya, hakim dalam membuat penafsiran atau konstruksi hukum yang akan diberlakukan terhadap perkara tersebut harus bertolak dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam traktat atau perjanjian internasional yang bersangkutan. Dalam hubungan ini menjadi sangat penting bagi seorang hakim untuk menguasai pengetahuan tentang penafsiran perjanjian internasional. Berkenaan dengan kedudukan yurisprudensi sebagai sumber hukum, tidak menjadi masalah di negara-negara penganut tradisi common law. Sebab di negaranegara itu berlaku asas stare decisis et quieta non movere, yang artinya hakim atau pengadilan terikat oleh putusan-putusan pengadilan sebelumnya yang sederajat atau yang lebih tinggi. Sehingga di negara-negara tersebut yurisprudensi dengan
221 sendirinya merupakan sumber hukum formil.470 Namun, tidak demikian halnya di negara-negara penganut tradisi civil law. Di negara-negara yang disebut terakhir ini, hingga mendekati abad ke-19, masih kuat tertanam anggapan bahwa semua hal telah diatur dalam undang-undang dan tugas hakim hanyalah melaksanakan ketentuan undang-undang. Tidak ada hukum lain selain yang diatur dalam undang-undang.471 Namun ternyata, sebagaimana telah disinggung pada uraian sebelumnya, undangundang tidak pernah sempurna. Undang-undang tidak mungkin mengatur semua hal di dalamnya. Atau, undang-undang-undang mungkin telah mengaturnya tetapi tidak jelas. Atau, undang-undang-undang memang telah mengaturnya tetapi terdapat pertentangan antara ketentuan yang satu dan ketentuan yang lain. Sementara itu, hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara dengan alasan undang-undang tidak mengaturnya. Keadaan inilah yang mengharuskan hakim melakukan penemuan hukum yang kemudian dikenal sebagai hukumnya hakim atau hukum buatan hakim (rechtersrecht).472 Dengan demikian tidak setiap putusan hakim dapat disebut yurisprudensi melainkan hanya putusan hakim yang berisikan penemuan hukumlah yang dapat disebut sebagai yurisprudensi. Oleh karena itu, hanya putusan hakim yang berisikan penemuan hukum pula yang dapat menjadi sumber hukum.473
470
Lihat Lie Oen Hock, Jurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, Pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Luar Biasa dalam Ilmu Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masjarakat Universitas Indonesia, Djakarta, 19 September 1959, h. 4. 471 Ibid, h. 5-9. 472 Bandingkan dengan E. Utrecht II, Op. Cit., h. 137. 473 Dalam kaitan ini, Apeldoorn berpendapat yurisprudensi itu menjadi sumber hukum formil bukan karena ia merupakan hukum buatan hakim (rechtersrecht) melainkan karena hukum kebiasaan. Maksudnya, bilamana putusan hakim itu diikuti oleh hakim-hakim lainnya maka terbentuklah yurisprudensi tetap, sehingga apa yang diputuskan oleh hakim itu telah menjadi hukum objektif sebab telah dirujuk terus menerus sebagai hukum kebiasaan; lihat lebih jauh Van Apeldoorn, Op. Cit., h. 161-162.
222 Adapun tentang pendapat para ahli hukum sebagai sumber hukum, hal itu harus dipahami dalam pengertian bukan sebagai kaidah atau norma yang langsung dapat diterapkan atau diberlakukan dalam suatu perkara konkrit tertentu melainkan sebagai sumber hukum tambahan. Artinya, pendapat ahli hukum itu tidaklah menciptakan hukum. Pendapat para ahli hukum itu hanya sebagai petunjuk bagi hakim tentang keberadaan suatu kaidah hukum yang berlaku terhadap perkara konkrit yang sedang dihadapinya. Artinya, pendapat atau karya-karya para ahli hukum yang itu dapat dipakai sebagai pedoman untuk menemukan “apa hukumnya” untuk suatu peristiwa atau kasus konkret tertentu.474 Doktrin atau pandangan para ahli tentang sumber-sumber hukum (formil) di atas dapat dikatakan telah diterima secara universal. Hal itu terbukti, salah satunya, dari adanya kemiripan dengan sumber-sumber formil hukum internasional. Dalam hukum internasional ketentuan hukum internasional positif yang mencantumkan secara tertulis sumber-sumber formil hukum internasional adalah Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yang mengatakan: The Court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall aplly: a. international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states; b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law; c. the general principles of law recognized by civilized nations; d. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualifield publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law. 475 474
Sebagai perbandingan perihal sumber hukum tambahan ini, lihat lebih jauh Mochtar Kusumaatmadja IV, Op. Cit., h. 140-149. 475 Dikutip dari Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice, Department of Public Information of the United Nations, New York.
223 Urut-urutan penyebutan sumber-sumber formil hukum internasional di atas tidak dan bukan menggambarkan urut-urutan pentingnya masing-masing jenis sumber hukum tersebut. Maksudnya, kalaupun perjanjian internasional disebutkan lebih dahulu dibandingkan dengan sumber-sumber lainnya, hal itu bukanlah berarti bahwa perjanjian internasional lebih penting daripada sumber-sumber yang lain. Sebab, hal itu bergantung pada sudut pandang yang melihatnya.476 Dengan kata lain, hanya karena suatu jenis sumber hukum berbentuk tertulis tidaklah serta-merta berarti bahwa ia lebih penting dari sumber lainnya yang tidak tertulis. Logika yang sama juga berlaku dalam hukum nasional. Namun demikian, baik dalam lapangan hukum internasional maupun nasional adalah wajar jika, dalam mengadili perkara konkrit yang dihadapkan kepadanya, hakim pertama-tama akan menerapkan ketentuan tertulis yang nyata-nyata mengikat dan diakui oleh pihakpihak yang bersengketa. Jika dalam hukum tertulis ketentuannya tidak ditemukan, hakim akan mencarinya dalam hukum kebiasaan. Jika dalam hukum kebiasaannya ternyata ketentuan dimaksud tidak ditemukan maka hakim akan mencarinya dalam asas-asas hukum umum. Bersamaan dengan itu, hakim dapat menggunakan putusan pengadilan dan pendapat para ahli sebagai sumber tambahan untuk menemukan keberadaan kaidah yang dapat diterapkan terhadap kasus konkrit yang sedang dihadapinya. Lebih jauh, berbicara tentang penemuan hukum tidak dapat dilepaskan dari tiga aliran atau mazhab dalam perkembangan pemikiran tentang penemuan hukum.
476
Mochtar Kusumaatmadja IV, Op. Cit., h. 109.
224 Oleh karena itu, pada bagian ini penting untuk sedikit diulas pokok-pokok pemikiran dari ketiga mazhab atau aliran tersebut. Pengetahuan tentang pemikiran mazhabmazhab itu akan membantu menjelaskan dasar pemikiran pentingnya penemuan hukum oleh hakim sekaligus dasar pemikiran mereka yang menolak adanya fungsi menemukan hukum dalam diri hakim. Pertama, aliran Legisme. Menurut aliran ini, semua hukum terdapat dalam undang-undang. Hukum identik dengan undang-undang. Undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum. Tidak ada hukum di luar undang-undang. Hakim dalam melaksanakan tugasnya terikat pada undang-undang, sehingga pekerjaan hakim hanyalah melaksanakan undang-undang belaka (wetstoepassing) dengan jalan pembentukan silogisme hukum, yaitu suatu deduksi logis dari perumusan yang luas kepada keadaan khusus sehingga sampai pada kesimpulan.477 Dengan demikian, jika mengikuti pemikiran dari aliran Legisme ini, dapat dipastikan bahwa ruang gerak hakim dalam melakukan penemuan hukum dapat dikatakan hampir tidak ada. Sebab, hakim hanya dimungkinkan melakukan penemuan hukum melalui konstruksi hukum. Itu pun dibatasi hanya sebatas penggunaan silogisme. Hakim tidak dimungkinkan melakukan penemuan hukum melalui bentuk-bentuk konstruksi hukum yang lain, seperti argumentum a contrario maupun penghalusan hukum (rechtsverfijning), apalagi melalui penafsiran. Kedua, aliran Frei Rechtsbewegung. Aliran ini bertolak belakang dengan aliran Legisme. Menurut aliran ini, hakim dalam melaksanakan tugasnya bebas 477
h. 159.
Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali, Jakarta,
225 mengikuti undang-undang atau tidak. Hal ini disebabkan karena tugas hakim adalah menciptakan hukum. Oleh karena itu, mengikuti jalan pemikiran aliran ini, memahami yurisprudensi merupakan hal yang primer dalam mempelajari hukum, sedangkan undang-undang merupakan hal yang sekunder. Dalam pemikiran aliran ini, hakim benar-benar sebagai pencipta hukum (judge made law). 478 Jadi, menurut aliran ini, sumber hukum utama bukanlah undang-undang melainkan putusan hakim. Karena itu dapat dikatakan bahwa menurut aliran Frei Rechtsbewegung hakim memiliki keleluasaan untuk melakukan penemuan hukum dalam memutus perkara yang dihadapkan kepadanya. Ketiga, aliran Rechtsvinding. Aliran ini merupakan jalan tengah dari dua aliran sebelumnya. Menurut aliran Rechtsvinding, hakim terikat dengan undangundang tapi tidak seketat aliran Legisme karena hakim juga memiliki kebebasan. Dikatakan bahwa tugas hakim berupaya melakukan rechtsvinding yang artinya menyelaraskan undang-undang pada tuntutan zaman.479 Lebih jauh dijelaskan aliran penemuan hukum oleh Hakim menurut Paul Scholten yang dimaksud penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya kadang-kadang dan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus dikemukakan baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechtvervijning (penyempitan/pengkongkritan hukum).480
478
Ibid, h. 160. Ibid, h. 160-161. 480 Ahmad Rifai, Op. Cit., h. 31. 479
226 Dapat dijelaskan lebih jauh dari ketiga aliran yang telah diuraikan sebelumnya. Dalam kaitan dengan aliran legisme, mula-mula ahli hukum Romawi yang menghendaki bahwa peraturan-peraturan hukum itu hendaknya dituliskan. Bukan itu saja, malahan lebih jauh lagi himpunan peraturan-peraturan hukum itu ditetapkan dengan pasti dalam Kitab-kitab Undang-Undang dan hanya undangundanglah yang hendaknya dianggap satu-satunya sumber hukum. Tidak ada hukum kecuali undang-undang. Hukum kebiasaan hanya ada apabila diperbolehkan oleh hukum undang-undang. 481 Selanjutnya sebagai reaksi atas ketidakpastian dan ketidakseragaman hukum kebiasaan, di Eropa muncul gerakan kodifikasi pada sekitar abad 19, dengan berupaya menuangkan semua hukum secara lengkap dan sistematis dalam Kitab Undang-Undang Hukum kebiasaan sebagai sumber hukum mulai ditinggalkan. Di Perancis pada akhir abad 18 diadakan kodifikasi undangundang yang dicontoh oleh seluruh Eropa di Belanda (Nederland) kodifikasi hukum dilakukan pada hukum 1838 M. Timbulnya gerakan kodifikasi ini disertai dengan lahirnya aliran legisme.482 Selanjutnya aliran legis ini berpandangan bahwa satusatunya sumber hukum adalah undang-undang, karena undang-undang dianggap sudah lengkap dan jelas dalam mengatur semua persoalan hukum, sehingga hakim tidak boleh berbuat selain dari menerapkan undang-undang secara tegas apa adanya. Jadi Hakim hanya sekedar corong atau terompetnya undang-undang (la bouche de la loi). Dengan demikian menurut aliran ini hukum dan undang-undang dianggap
481
Bambang Setiyoso, 2012, (selanjutnya disebut Bambang Setiyoso I), Metode Penemuan Hukum, UII Press Yogyakarta, h. 80. 482 Ibid.
227 identik dan yang lebih dipentingkan adalah dalam rangka menjamin kepastian hukum. Hakim hanyalah sebagai subsumsie automat, yaitu kedudukan hakim ada dibawah undang-undang atau hanya sebagai pelaksana undang-undang sehingga Hakim tidak berwenang mengubah isi undang-undang.483 Seperti telah diuraikan, aliran Freirechtbewegung merupakan ajaran penemuan hukum bebas yaitu penemuan hukum tidak secara ketat terikat pada undang-undang, tetapi lebih menekankan pada kepatutan. Aliran ini muncul di Jerman sekitar tahun 1900 yang dipelopori oleh Kantorowicz (1877-1940) sebagai reaksi terhadap legisme yang pada waktu itu di Jerman diadakan kegiatan kodifikasi.484 Bertolak dari deskripsi tentang ketiga aliran di atas dapat dilihat bahwa dalam konteks penelitian ini yang paling realistis adalah aliran yang disebut terakhir (Aliran Rechtsvinding). Dikatakan paling realistis sebab hanya aliran ini yang, di satu pihak, mengakui keterbatasan atau kelemahan undang-undang meskipun hakim tetap harus pertama-tama merujuk kepadanya dalam memutuskan perkara konkrit yang dihadapkan kepadanya dan, di pihak lain, mengakui adanya kebebasan hakim untuk “membentuk” hukum namun kebebasan itu harus dibatasi. Pembatasan terhadap kebebasan hakim ini penting agar hakim tak sewenang-wenang dalam menggunakan kebebasan itu. Sementara, jika mengikuti aliran Legisme–yang menganggap undang-undang itu sempurna, tidak ada hukum di luar undang-undang, tugas hakim hanya 483 484
Ibid, h. 81. Ibid, h. 89.
228 menerapkan apa yang sudah diatur dalam undang-undang – maka hakim tidak akan dapat menjalankan fungsinya tatkala ia berhadapan dengan perkara konkrit yang diajukan
kepadanya
untuk
diputus
namun
undang-undang
ternyata
tidak
mengaturnya, atau aturan yang ada dalam undang-undang tidak jelas, atau ada pertentangan dalam undang-undang antara aturan yang satu dan yang lain. Padahal, berdasarkan doktrin ius curia novit, hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara dengan alasan tidak ada undang-undang yang mengatur. Bahkan, seorang hakim dapat diancam pidana dengan tuduhan keengganan mengadili jika ia menolak mengadili suatu perkara dengan menggunakan alasan-alasan di atas (undang-undang tidak mengatur, tidak jelas atau tidak lengkap), sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 22 AB.485 Sebaliknya, jika mengikuti aliran Frei Rechtsbewegung, dengan kebebasan yang tanpa batas yang dimiliki oleh hakim, bahkan dikatakan hakim dapat mengabaikan undang-undang, maka hakim dapat menjadi diktator yang sewenangwenang. Tak ada satu pihak pun yang dapat mencegahnya. Sebab hakim menjadi pembuat hukum sekaligus sebagai pengadil. Seperti dikatakan Montesquieu, jika kekuasaan yudikatif digabungkan dengan kekuasaan legislatif, kehidupan dan kebebasan warga negara akan rentan terhadap peraturan yang sewenang-wenang karena sang pengadilan juga sekaligus sebagai sang pembuat hukum.486 Inilah salah
485
Lie Oen Hock, Op. Cit., h. 11. Montesquieu dalam I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional... Op. Cit., h. 224. 486
229 satu alasan mendasar mengapa kekuasaan negara harus dipisah-pisahkan dan tidak boleh berada di satu tangan.
4.3 Metode dan Penemuan Hukum oleh Hakim Jika uraian sebelumnya berusaha memberikan penjelasan tentang mengapa penemuan hukum itu dibutuhkan maka uraian berikut akan berusaha memberikan penjelasan bagaimana penemuan hukum itu dilakukan. Dengan kata lain, uraian berikut akan berisikan deskripsi dan telaah tentang metode penemuan hukum. Uraian perihal metode penemuan hukum ini dipandang penting untuk menjelaskan bagaimana hakim, terutama di negara-negara penganut tradisi civil law, tiba pada suatu pendapat atau kesimpulan bahwa terhadap kasus A (di mana undang-undang tidak mengaturnya atau mengatur tetapi tidak jelas atau mengatur tetapi terdapat pertentangan antara aturan yang satu dan yang lain) hukumnya adalah X. Sehingga, pada saat yang sama, uraian ini akan memberi pengetahuan tentang bagaimana hakim bernalar dalam mengadili suatu kasus konkret untuk tiba pada amar atau diktum putusan. Menurut Bruggink, ada dua metode atau model dalam penemuan hukum (rechtsvinding), yaitu metode interpretasi atau penafsiran (interpretatiemethoden) dan metode atau model penalaran atau konstruksi hukum (redeneerweijzen).487 Sementara itu, Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa penafsiran oleh hakim tidak lain merupakan penjelasan yang harus menuju kepada penerapan (atau tidak menerapkan) suatu peraturan hukum umum terhadap peristiwa konkrit yang dapat
487
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Op. Cit., h. 25.
230 diterima oleh masyarakat.488 Atau, seperti yang dikatakan Bambang Sutiyoso, metode interpretasi adalah metode untuk menafsirkan teks perundang-undangan yang tidak jelas agar perundang-undang tersebut dapat diterapkan dalam suatu peristiwa konkrit tertentu.489 Metode penemuan hukum melalui interpretasi ini menjadi terasa makin penting karena saat ini tidak ada negara yang tidak memiliki undang-undang. Sebagaimana dikatakan oleh Anthon F. Susanto, undang-undang telah menjadi kebutuhan dari makin menguatnya eksistensi negara modern yang memerlukan bentuk-bentuk pengaturan modern.490 Artinya, dengan kata lain, undang-undang merupakan salah satu kebutuhan negara modern dalam memecahkan berbagai persoalan hukum dalam masyarakat.491 Namun, bagaimanapun kerasnya upaya dilakukan agar undang-undang mampu mengakomodir perubahan yang terjadi dalam masyarakat,
fakta
menunjukkan
bahwa
undang-undang
selalu
kalah
dari
perkembangan masyarakat, sebagaimana tercermin dalam ungkapan ”het recht hink achter de feiten aan” yaitu bahwa hukum tertulis selalu ketinggalan dengan peristiwanya,492 sehingga akan selalu ada risiko di mana hukum tertulis atau undangundang kurang lengkap atau bahkan tidak mengatur sama sekali suatu peristiwa yang terjadi dalam masyarakat atau, meski mengaturnya, terdapat pertentangan dalam pengaturannya. Risiko-risiko tersebut, sekali lagi, menunjukkan pentingnya penemuan hukum (rechtsvinding) oleh hakim. 488
Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h. 56. Bambang Sutiyoso, Op. Cit., h. 108-109. 490 Anton F. Susanto, 2010, Dekonstruksi Hukum, Ekplorasi Teks dan Model Pembacaan, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 12. 491 Ibid., h. 64. 492 Bambang Sutiyoso, Op. Cit., h. 102. 489
231 Ada beragam pendapat ahli tentang metode penafsiran yang dikenal hingga saat ini (yang sesungguhnya sekaligus juga menunjukkan jenis penafsiran itu sendiri). Dari beberapa pendapat ahli, ada sejumlah metode penasiran, yaitu: a. Metode interpretasi gramatikal. Penafsiran gramatikal ini penafsiran menurut bahasa dan merupakan penafsiran atau penjelasan undang-undang yang paling sederhana dibandingkan dengan metode interpretasi yang lain.493 Menurut Pitlo interpretasi gramatikal berarti mencoba menangkap arti atau teks menurut bunyi kata-katanya.494 Lebih jauh, metode interpretasi gramatikal merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna undang-undang dengan menguraikan menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi menurut bahasa ini sedikit lebih jauh dari sekadar membaca undang-undang.495 Haruslah diperhatikan perbedaan dalam melakukan interpretasi atas bahasa yang digunakan yaitu bahasa hukum bukan bahasa dalam pergaulan sehari-hari. Dalam kaitannya dengan penafsiran gramatikal dikenal penafsiran subsumptif. Metode ini ialah penerapan suatu teks perundang-undangan terhadap kasus in concreto dengan belum memasuki taraf penggunaan penalaran dan penafsiran lebih rumit tetapi sekadar menerapkan silogisme.496 b. Metode interpretasi sistematis atau logis. Seperti tersirat dalam namanya, metode interpretasi sistematis atau logis ini berarti menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkan peraturan 493
Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h. 37. Ahmad Rifai, Op. Cit., h. 64. 495 Ahmad Rifai, Op. Cit., h. 65. 496 Bambang Sutiyoso, Op. Cit., h. 111. 494
232 perundang-undangan itu dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum. Dalam penafsiran sistematis, hakim melihat hukum sebagai satu kesatuan, sebagai satu sistem peraturan. Satu peraturan tidak dilihat sebagai peraturan berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian dari satu sistem.497 Dalam metode interpretasi sistematis, menafsirkan peraturan perundang-undangan tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan suatu negara.498 c. Penafsiran sejarah. Penafsiran sejarah atau penafsiran historis adalah penafsiran yang dilakukan dengan mempertimbangkan sejarah lahirnya suatu peraturan. Suatu peraturan pasti mempunyai sejarahnya. Dengan menggunakan metode penafsiran ini, hakim dapat mengetahui maksud pembuatan peraturan yang bersangkutan. Harus dibedakan antara pengertian penafsiran sejarah hukum dan penafsiran sejarah perundangundangan. Sebagaimana dikatakan Utrecht, ada dua macam penafsiran historis yaitu pertama, penafsiran menurut sejarah hukum (rechts historische interpretatie) dan penafsiran menurut sejarah penetapan suatu ketentuan perundang-undangan (wetshirtoriche interpretatie).499 Menurut Scholten, penafsiran historis dengan sendirinya akan membimbing hakim ke penafsiran sosiologis500 (yang akan diuraikan berikut ini).
497
Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h. 58. Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum, UII Press, Yogyakarta, h. 54. 499 E. Utrecht II, Op. Cit., h. 187. 500 E. Utrecht II, Op. Cit., h. 189. 498
233 d. Penafsiran teleologis atau sosiologis. Interpretasi teleologis
terjadi
apabila
makna
undang-undang
ditetapkan
berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan sistuasi sosial yang baru. Ketentuan undang-undang yang ada dapat digunakan sebagai sarana untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa yang terjadi sekarang.501 Penafsiran sosiologis ini sering digunakan dalam penelitian lapangan, kesenjangan antara das sollen (harapan) dengan das sein (kenyataan). Penafsiran ini digunakan untuk menjawab pertanyaan apakah undang-undang yang berlaku dapat diterima oleh perasaan keadilan masyarakat atau dapat diterima dalam suasana yang nyata. Hal itu dapat dilihat dari faktafakta hukum, mengapa undang-undang atau pasal-pasal dalam undang-undang tidak ditaati oleh masyarakat. e. Penafsiran otentik. Penafsiran otentik sama artinya dengan penafsiran menurut maksud pembentuk undang-undang. Dengan demikian, sesungguhnya dalam penafsiran ini, hakim tidak lagi melakukan penafsiran. Sebab, penafsiran yang otentik/resmi telah ditentukan dalam undang-undang yang bersangkutan. f. Penafsiran futuristik. Interpretasi futruristik merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi. Dalam hal ini hakim memberikan penafsiran tentang ketentuan yang berlaku terhadap suatu kasus dengan menggunakan penjelasan atau berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum. Misalnya,
501
Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h. 63.
234 rancangan undang-undang yang masih dalam proses pembahasan di DPR, tetapi hakim yakin bahwa undang-undang itu akan diundangkan (dugaan politis).502 g. Penafsiran ekstensif. Metode penafsiran ini adalah metode penafsiran
yang membuat interpretasi
melebihi batas-batas baik interpretasi gramatikal. Contoh : perkataan menjual dalam Pasal 1576 KUH. Perdata oleh hakim ditafsirkan secara luas yaitu bukan semata-mata hanya berarti jual-beli, tetapi juga menyangkut peralihan hak.503 Selanjutnya, dalam konteks metode penafsiran atau interpretasi ini penting untuk selalu diingat bekerjanya prinsip Contextualism dalam aktivitas interpretasi itu sebagaimana disebutkan oleh Ian McLeod. Menurut McLeod, ada tiga asas dalam Contextualism tersebut, yaitu: (1) Asas Noscitur a Sociis (suatu hal diketahui dari associated-nya. Artinya, suatu kata harus diartikan dalam rangkaiannya); (2) Asas Ejusdem Generis (artinya, sesuai dengan genusnya. Maksudnya, suatu kata dibatasi makna secara khusus dalam kelompoknya. Misalnya: konsep rechtmatigheid dalam hukum administrasi belum tentu sama maknanya dalam hukum perdata dan pidana); (3) Asas Expressio Unius Exclusio Alterius (artinya, kalau suatu konsep sudah digunakan untuk satu hal, berarti tidak berlaku untuk hal lain. Contoh: kalau konsep rechtmatigheid sudah digunakan dalam hukum tata usaha negara maka konsep yang sama belum tentu berlaku untuk kalangan hukum perdata atau hukum pidana).504 Sementara itu, metode penemuan hukum yang kedua, yakni konstruksi hukum atau penalaran hukum, ada tiga bentuk yaitu analogi (argumentum per
502
Jazim Hamidi, Op. Cit., h. 56. Jazim Hamidi, Loc. Cit. 504 Lihat Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Op. Cit., 26-27. 503
235 analogium), argumentum a contrario, dan penghalusan hukum atau penyempitan hukum (rechtsverfijning).505 Metode kontruksi hukum akan digunakan oleh hakim pada saat ia dihadapkan pada situasi adanya kekosongan hukum (rechtsvacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum). Sebab memang baru pada saat demikianlah ia (konstruksi hukum) dibutuhkan karena adanya tuntutan kewajiban di mana hakim tidak boleh menolak perkara untuk diselesaikan dengan dalih hukumnya tidak ada atau belum mengaturnya (asas ius curia novit).506 Menurut Rudolf von Jhering ada tiga syarat utama untuk melakukan kontruksi hukum. Pertama, konstruksi hukum harus mampu meliputi semua bidang hukum positip yang bersangkutan. Kedua, dalam pendekatan konstruksi tidak boleh ada pertentangan logis di dalamnya atau tidak boleh membantah dirinya sendiri. Ketiga, konstruksi itu mencerminkan faktor keindahan (estetika). Konstruksi itu bukan merupakan sesuatu yang dibuat-buat dan harus mampu memberi gambaran yang jelas tentang sesuatu hal, sehingga dimungkinkan penggabungan berbagai peraturan, pembuatan pengertian-pengertian baru dan lain-lainnya.507 Analogi (Argumentum per analogian), menurut Sudikno Mertokusumo, digunakan karena ada kalanya peraturan perundang-undangan terlalu sempit ruang lingkupnya, sehingga untuk dapat menerapkan undang-undang pada peristiwanya, hukum akan memperluas dengan metode argumentum peranalogian atau analogi. Dengan analogi, peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang diatur dalam
505
Lihat lebih jauh, Ibid., h. 27-31. Ahmad Rifai, Op. Cit., h. 74. 507 Ahmad Rifai, Op. Cit., h. 75. 506
236 undang-undang diperlakukan sama.508 Dalam konstruksi analogi, dalam hal terdapat kekosongan hukum maka hakim harus melengkapi dengan peraturan-peraturan yang serupa. Dalam pandangan Sudikno Mertokusumo, analogi kecuali merupakan metode penemuan hukum juga merupakan penciptaan hukum baru. Dikatakan pula bahwa, karena memperluas pengertian, analogi ini dapat disebut juga penafsiran ekstensif.509 Sementara itu, menghaluskan hukum (rechtsverfijning) adalah konstruksi hukum yang merupakan kebalikan dari analogi. Menurut Utrecht, menghaluskan hukum (rechtsverfijning) terjadi atau dilakukan oleh hakim didasari oleh pemikiran bahwa, menurut tujuannya, hakim tidak boleh menyelesaikan suatu perkara secara yang tidak adil atau tidak sesuai dengan werkelijkheid sosial. Dalam hal suatu perkara tidak bisa diselesaikan secara adil oleh hakim jika menggunakan ketentuan undang-undang yang ada maka dalam keadaan demikian hakim terpaksa mengeluarkan yang sebenarnya dari lingkungan ketentuan itu dan selanjutnya menyelesaikannya menurut suatu peraturan sendiri. Perbuatan mengeluarkan inilah yang disebut menghaluskan hukum.510 Sedangkan argumentum a contrario ialah konstruksi hukum yang memberi kesempatan kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan bagi peristiwa di luarnya
508
Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h. 67. Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h. 68-69. 510 E. Utrecht II, Op. Cit., h. 203. 509
237 berlaku kebalikannya.511 Contoh tentang masa iddah bagi seorang janda dalam Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975 menyatakan bahwa, waktu tunggu bagi seorang janda. Masa iddah hanya mengatur bagi janda, dan bagaimana bagi duda. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan secara tegas memang tidak mengatur mengenai masa iddah bagi seorang duda, dan oleh karena itu digunakan a contrario yaitu memperlakukan kebalikannya dari Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975 tersebut, seorang duda tidak perlu menunggu waktu tertentu (karena memang tidak ada yang ditunggu) apabila hendak melangsungkan perkawinan.
4.4
Penentuan Beban Pembuktian oleh Hakim pada Gugatan Perwakilan Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan Setelah diuraikan tentang metode penemuan hukum, pada sub-bab ini akan
diuraikan tentang penentuan beban pembuktian oleh hakim pada gugatan perwakilan dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan. Uraian ini penting sebab masalah beban pembuktian dalam proses beracara langsung berkait dengan prinsip atau ajaran tanggung jawab yang dianut. Berbicara tentang beban pembuktian berarti berbicara tentang sebagian materi hukum acara perdata. Sementara itu, sebagai bagian dari hukum formil, hukum acara perdata berfungsi untuk mempertahankan dan menegakkan hukum perdata materiil apabila timbul pelanggaran. Hukum acara sebagai hukum formil mempunyai unsur materiil maupun formil. Unsur-unsur materiil dari hukum acara adalah ketentuan yang mengatur tentang wewenang, misalnya ketentuan tentang hak daripada pihak yang dikalahkan. Sedangkan unsur formil mengatur tentang caranya
511
Ahmad Rifai, Op. Cit., h. 81.
238 menggunakan wewenang tersebut, misalnya bagaimana caranya naik banding dan sebagainya.512 Hukum pembuktian pun, sebagai bagian dari hukum acara, terdiri unsur materiil dan formil. Hukum pembuktian materiil mangatur tentang dapat tidaknya diterima alat-alat bukti di persidangan (toelaatbaarheid) serta kekuatan pembuktiannya,
hukum
pembuktian
formil
tentang
caranya
mengadakan
pembuktian.513 Fungsi hukum pembuktian sebagai hukum formil dalam hukum acara perdata ialah untuk dapat meyakinkan hakim dalam memeriksa perkara perdata dengan mengajukan alat-alat bukti terhadap peristiwa atau sengketa perdata dan dapat memberikan kepastian hukum terhadap peristiwa atau sengketa perdata tersebut. Dengan demikian, peran hukum pembuktian sangat vital dalam proses beracara dalam hukum acara perdata. Sebagaimana dikatakan R. Soepomo, tugas Hakim ialah menyelidiki apakah hubungan hukum yang menjadi perkara itu benar-benar ada atau tidak.514 Hanya lewat hukum pembuktianlah tugas itu dapat dilaksanakan dengan baik oleh seorang hakim. Hukum pembuktian dalam hal ini menjadi bagian dari hukum acara yang sangat membutuhkan kecermatan karena kompleksitasnya. Sebagaimana dikatakan oleh M. Yahya Harahap, hukum pembuktian (law of evidence) dalam berperkara merupakan bagian yang sangat kompleks dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu (past event) sebagai suatu 512
Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h. 109. Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit. 514 R. Soepomo, 2000, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 62. 513
239 kebenaran (truth). Dalam hal ini, peristiwa-peristiwa di masa lalu tersebut kadangkadang tidak jelas siapa subyeknya, apa obyeknya dan tiadanya alat-alat bukti yang menerangkan peristiwa tersebut.515 Ada pun pembuktian itu sendiri, menurut Bachtiar Effendi dan kawan-kawan, mengandung pengertian penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh pihak berperkara kepada hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa sehingga hakim memperoleh kepastian untuk dijadikan dasar putusannya.516 Sementara itu, menurut Efa Laela Fakhriah, sembari menyebutkan bahwa proses pembuktian merupakan upaya meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil atau peristiwa yang dikemukakan oleh para pihak dalam suatu persengketaan di persidangan, pembuktian adalah suatu sistem karena proses pembuktian merupakan suatu susunan kesatuan yang terdiri atas pengertian pembuktian, obyek pembuktian (apa yang harus dibuktikan), subyek pembuktian (siapa yang harus membuktikan), asas-asas dalam pembuktian, beban pembuktian, kekuatan pembuktian dan alat-alat bukti yang satu sama lainnya saling mendukung untuk mencapai suatu tujuan yaitu membuktikan kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak dalam perkara (penggugat dan tergugat), baik itu peristiwa, kejadian maupun hak.517
515
M. Yahya Harahap, 2008, Hukum acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 446. 516 Dalam Lilik Mulyadi, 2009, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata Indonesia, Teori, Praktek, Teknik Membuat dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 95-96. 517 Efa Laela Fakhriah, Sistem Pembuktian Terbuka Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata Secara Litigasi http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads /2012/05/pustakaunpad sistem pembuktian pdt, tanpa halaman, diakses tgl 21-42014 (selanjutnya disebut Efa Laela Fakhriah II).
240 Sedangkan kalangan praktisi, khususnya hakim, tampak lebih memberikan perspektif praktis pandangannya tentang pembuktian, yaitu:
Pembuktian adalah memperkuat kesimpulan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
Pembuktian adalah
meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil yang
dikemukakan dalam suatu proses sengketa dengan mempergunakan alat-alat bukti menurut Undang-Undang.
Pembuktian ialah semua perbuatan dan tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam persidangan perkara perdata yang bertujuan untuk membuat atau memberi
keyakinan kepada hakim
tentang kebenaran atas dalil peristiwa-
peristiwa serta fakta-fakta yang diajukan didalam proses perdata dengan cara mempergunakan alat-alat bukti sebagaimana yang ditentukan menurut undangundangan.
Pembuktian memberi suatu kepastian yang loyal menurut akal, apakah perbuatan itu sungguh/benar terjadi dan apa motif perbuatan tersebut.
Pembuktian berarti meyakinkan hakim dengan mempergunakan alat-alat bukti tertentu menurut undang-undang akan kebenaran dalil-dalil yang diketengahkan dalam suatu persengketaan oleh para pihak dalam proses pengadilan.518 Dengan pengertian pembuktian sebagiamana diuraikan di atas, serta
mengingat pentingnya peran hukum pembuktian dalam hukum acara perdata, pertanyaan kemudian adalah bagaimana cara hakim dalam menilai ataupun menentukan beban pembuktian bagi pihak-pihak yang berperkara? Pertanyaan ini
518
Lilik Mulyadi, Op. Cit., h. 96-97.
241 penting sebab meskipun diakui bahwa hakim memiliki kebebasan dalam menilai beban pembuktian, kebebasan itu pasti ada batasnya. Menurut Efa Laela Fakhriah dalam kaitannya dengan beban pembuktian dalam praktek pengadilan berlaku suatu teori yang disebut teori kepatutan (teori kelayakan) yaitu beban pembuktian harus diserahkan oleh hakim kepada pihak yang paling sedikit dirugikan seandainya ia dibebani dengan pembuktian baru kemudian kepada pihak lawan diberikan kesempatan untuk melakukan pembuktian balik (pembuktian lawan).519 Dalam pemeriksaan perkara perdata di persidangan, hakim memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian terhadap alat-alat bukti yang diajukan dan hakim juga terikat dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang. Keyakinan hakim dalam memberi penilaian atas alat-alat bukti adalah berdasarkan atas hukum yang berlaku. Secara teoretik, tentang kebebasan oleh hakim dalam menilai beban pembuktian dalam proses persidangan dikenal beberapa teori yaitu :
Pertama, teori pembuktian bebas, teori ini tidak menghendaki adanya ketentuanketentuan yang mengikat hakim.
Kedua, teori pembuktian negatif, harus ada ketentuan-ketentuan yang mengikat yang bersifat negatif, yang membatasi larangan pada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian.
519
Efa Laela Fakhriah I, Op. Cit, h. 37-38.
242
Ketiga, teori pembuktian positif, di samping larangan, teori ini menghendaki adanya perintah pada hakim.520 Sulit untuk memastikan mana di atas ketiga teori tersebut yang dianut dalam
hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, khsususnya menyangkut hukum pembuktian. Sebab, dalam hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia hingga saat ini, yang masih menggunakan warisan peninggalan pemerintah kolonial Belanda, yaitu sistem HIR dan RBg, terkandung baik corak/unsur teori pembuktian negatif maupun teori pembuktian positif. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang beban pembuktian. Asas beban pembuktian tercantum dalam Pasal 163 HIR, Pasal 283 RBg dan Pasal 1865 KUH Perdata. Dalam pasal-pasal tersebut ditentukan bahwa pihak yang mengatakan mempunyai hak atau menyebutkan suatu peristiwa untuk menegakkan haknya atau
membentuk hak orang lain harus membuktikan adanya hak atau
peristiwa tersebut. Abdulkadir Muhammad memerinci ketentuan tentang beban pembuktian dalam pasal-pasal HIR dan RBg di atas sebagai berikut:
Pihak yang menyatakan mempunyai hak harus membuktikan haknya itu penggugat yang mengatakan mempunyai hak, maka penggugatlah
yang
dibebani pembuktian terlebih dahulu.
Pihak yang menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya harus membuktikan adanya peristiwa tersebut. Apabila yang menyebutkan peristiwa itu penggugat, dia harus membuktikannya, beban pembuktian ada pada penggugat. Tetapi, apabila yang menyebutkan tergugat, beban pembuktian ada pada tergugat. 520
Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h. 112-113.
243
Pihak yang menyebutkan suatu peristiwa untuk membantah hak orang lain harus
membuktikan
adanya
peristiwa
tersebut.
Apabila
pihak
yang
menyebutkan peristiwa itu penggugat, maka beban pembuktian ada pada penggugat. Tetapi apabila pihak yang menyebutkan peristiwa itu tergugat, maka beban pembuktian ada pada tergugat.521 Demikian juga menurut Efa Laela Fakhriah, berdasarkan asas pembagian beban pembuktian pada prinsipnya dalam perkara perdata penggugatlah pertamatama yang dibebani pembuktian oleh hakim barulah kemudian diberi kesempatan pada tergugat untuk melakukan pembuktian balik.522 Selanjutnya menurut Efa Laela Fakhriah dalam perkembangannya asas ini tidak dapat diterapkan terhadap setiap sengketa perdata. Dalam kasus-kasus tertentu seperti misalnya sengketa lingkungan hidup, sengketa kesalahan profesi medis asas ini tidak dapat diterapkan. Dalam hal ini sistem pembuktian yang berlaku adalah sistem pembuktian terbalik dengan asas tanggung jawab langsung atau tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability).523 Pertanyaan kemudian timbul, bagaimanakah jika ketentuan tentang asas atau prinsip beban pembuktian di atas dihubungkan dengan gugatan perwakilan (class action) dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan? Apakah ketentuan dan prosedur di atas masih relevan? Sebagaimana diketahui, berdasarkan ketentuan Pasal 91 UUPLH, untuk kasus-kasus kerugian yang timbul karena atau disebabkan oleh pencemaran dan/atau
521
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., h. 117. Efa Laela Fakhriah I, Op. Cit., h. 37. 523 Ibid. 522
244 kerusakan lingkungan, masyarakat diberi hak untuk mengajukan gugatan perwakilan kelompok. Pasal 91 UUPPLH menyatakan: (1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. (2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum serta jenis tuntutan diantara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Telah menjadi pendapat yang diterima umum, bahkan universal, sebagaimana dikatakan oleh Mas Achmad Santosa, bahwa untuk kasus-kasus pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang melibatkan masyarakat sebagai korbannya, tidak relevan lagi jika gugatan diajukan secara individual atau orang-seorang. Dalam kasus-kasus demikian, gugatan akan lebih bermanfaat jika diajukan secara perwakilan dalam bentuk gugatan gelompok.524 Setidak-tidaknya ada tiga manfaat dari keberadaan dan pemanfaatan gugatan perwakilan pada umumnya, khususnya dalam hal ini untuk bidang hukum lingkungan, yaitu: Pertama, proses berperkara bersifat ekonomis (judicial enocomy) dengan gugatan class action berarti mencegah pengulangan (repetition) gugatan-gugatan serupa secara individual. Tidaklah ekonomis bagi Pengadilan apabila harus melayani gugatan-gugatan sejenis secara individual (satu persatu). Manfaat ekonomis juga ada pada diri Tergugat, sebab dengan class action Tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya untuk melayani gugatan masyarakat korban.
524
Mas Achmad Santoso II, Op. Cit., h. 80-81.
245 Kedua, akses pada keadilan (acces to justice). Apabila diajukan secara individual, maka hal tersebut mengakibatkan beban bagi calon Penggugat sering kali beban semacam itu menjadi hambatan bagi seseorang untuk memperjuangkan haknya di Pengadilan. Terlebih lagi apabila biaya gugatan yang kelak akan dikeluarkan tidak sebanding dengan tuntutan yang akan diajukan. Melalui prosedur class action. Kendala yang bersifat ekonomis dapat diatasi dengan cara para korban menggabungkan diri bersama dengan Class Members lainnya dalam satu gugatan. Ketiga, perubahan sikap perilaku pelanggaran (behavior modification) memberi akses yang lebih luas pada pencari keadilan untuk mengajukan gugatan dengan cara cost effeciency. Akses class action ini berpeluang mendorong perubahan sikap dari mereka yang berpotensi merugikan
kepentingan masyarakat luas.
Peluang semacam ini kita sebut peluang menumbuhkan detterent effect (efek penjera).525 Sementara itu, sebagaimana telah berkali-kali disinggung pada uraian sebelumnya, UUPPLH menganut prinsip tanggung jawab langsung, atau yang oleh UUPPLH disebut tanggung jawab mutlak. Pasal 88 UUPPLH menyatakan: Setiap orang yang tindakannya, usahanya dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa pembuktian unsur kesalahan. Jika ketentuan Pasal 88 dihubungkan dengan Pasal 91 UUPPLH maka berarti bahwa masyarakat yang menderita kerugian yang disebabkan oleh tindakan, usaha, dan/atau kegiatan seseorang yang menggunakan B3, menghasilkan atau mengelola limbah B3, atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup dapat 525
Mas Achmad Santoso II, Loc. Cit.
246 mengajukan gugatan perwakilan terhadap orang tersebut dan orang itu bertanggung mutlak untuk memberikan ganti kerugian tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Jadi, berbeda dengan asas atau prinsip yang dianut dalam HIR, RBg dan KUH Perdata – yang menganut asas atau prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on fault liability) di mana penggugat wajib membuktikan adanya unsur kesalahan pada pihak tertugat, sehingga beban pembuktian ada pada pihak penggugat–UUPLH “membebaskan” pihak penggugat dari kewajiban itu untuk membuktikan adanya unsur kesalahan itu. Dengan kata lain, tatkala masyarakat mengajukan gugatan perwakilan atas kerugian yang mereka derita yang disebabkan oleh adanya tindakan, usaha, dan/atau kegiatan seseorang yang menggunakan B3, menghasilkan atau mengelola limbah B3, atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup, mereka dibebaskan dari beban pembuktian. Namun yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah menyangkut persyaratan dan tata mengajukan gugatan perwakilan dimaksud. Inilah yang tidak diatur dalam UUPPLH secara jelas dan rinci. Menurut Paulus Effendi Lotulung, class action atau gugatan perwakilan ini adalah permasalahan hukum yang benar-benar merupakan konstruksi baru yang dikembangkan dalam bidang hukum lingkungan di Indonesia melalui UUPPLH.526 Diakui pula bahwa permasalahan atau problem pokok dari gugatan perwakilan (class action) di Indonesia adalah unsur-unsur atau elemen-elemen apakah yang harus dipenuhi sebagai persyaratan untuk mengajukan gugatan class action.527
526
Paulus Effendi Lotulung, Penegakan Hukum Lingkungan Dalam UndangUndang No. 23 Tahun 1997, Ditinjau dari Aspek Hukum Perdata, h. 10. 527 Ibid, h. 11.
247 Penjelasan
Pasal 37 ayat (1) UUPPLH hanya menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan hak mengajukan gugatan perwakilan dalam ayat ini, adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah yang besar yang dirugikan atas persamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Tidak disebutkan persyaratan maupun prosedur atau tata cara pelaksanaan gugatan perwakilan itu. Indro Sugianto, yang melakukan kajian terhadap gugatan class action pada peradilan tingkat federal Amerika, Australia, dan Ontario (Canada), menyebutkan ada empat persyaratan bagi class action: (a) Numerousity yang berarti kelas jumlahnya sangat banyak. (b) Commonality yang berarti adanya persamaan tentang hukum dan fakta antara wakil kelas dengan anggota kelas. (c) Typicality yang berarti adanya kesamaan tipe tuntutan yang diajukan kelas. (d) Adequate of representative yang berarti wakil kelas memiliki kelayakan, kejujuran, dan kecakapan untuk melindungi kepentingan kelas.528 Namun, penjelasan ini masih bersifat teoretik dan umum sehingga tetap tidak menjawab kekosongan persyaratan dan prosedur pengajuan gugatan perwakilan di Indonesia. Kekosongan itu kemudian diatasi oleh Mahkamah Agung dengan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun
2002
tentang Acara
Gugatan Perwakilan Kelompok. Dalam Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung ini ditentukan bahwa gugatan dapat diajukan dengan mempergunakan tata cara gugatan perwakilan kelompok, jika:
528
Indro Sugianto, 2013, Class Action, Setara Pres, Malang, h. 124-125.
248 a. Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan. b. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa atau dasar hukum yang digunakan yang
bersifat substansial serta terdapat kesamaan jenis tuntutan diantara
wakil kelompok dengan anggota kelompoknya. c. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya. d. Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya. Selanjutnya, dalam Pasal 3-nya ditentukan bahwa gugatan perwakilan kelompok harus memuat, antara lain: a. Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok. b. Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, alaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu. c. Keterangan anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitannya dengan kewajiban melakukan pemberitahuan. d. Posita dari seluruh kelompok, baik wakil kelompok maupun anggota kelompok, yang teridentifikasi maupun yang tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan terinci.
249 e. Dalam suatu gugatan perwakilan dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda. f. Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian. Dikembangkannya gugatan perwakilan sebagai peranata baru dalam sistem peradilan perdata di Indonesia, yang sebelumnya hanya dikenal dalam sistem hukum negara-negara Anglo Saxon, sangat bermanfaat bagi masyarakat luas, khususnya dalam memberi pelindungan hukum bagi rakyat kecil yang secara ekonomis lemah biaya dan lemah pengetahuan dalam hal mengajukan tuntutan ganti kerugian ke Pengadilan. Manfaat demikian tidak mungkin diperoleh dari sistem peradilan perdata yang dikembangkan lewat HIR, RBg dan KUH Perdata – bukan saja karena tidak mengenal mekanisme gugatan perwakilan, sehingga setiap gugatan mesti diajukan secara orang seorang, tetapi juga karena HIR, RBg dan KUH Perdata, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, menganut asas atau prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan. Contoh nyata dari hal yang disebut terakhir adalah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 134/Pdt.G/1997/PN.JAK.SEL., tentang Pemadaman Aliran Listrik di Jawa dan Bali 13-4-1997. Putusan ini adalah putusan tentang gugatan perwakilan yang diajukan oleh sekelompok warga yang mengajukan
250 tuntutan ganti kerugian yang timbul akibat pemadaman listrik di Jawa dan Bali tanggal 13 April 1997. Dalam pertimbangan hukum putusan tersebut, antara lain, dikatakan bahwa gugatan perwakilan diterapkan manakala undang-undang secara jelas menyebutkan. Penggugat telah menyitir putusan-putusan negara asing yang mengabulkan gugatan perwakilan. Hal ini tidaklah dapat dipakai acuan untuk mengabulkan gugatan perwakilan di Indonesia. Sebab menurut hukum acara perdata di Indonesia, yang pada dasarnya menganut sistem hukum Eropa Kontinental, sama sekali tidak mengenal bentuk hukum Anglo Saxon tersebut. Dalam pertimbangan hukum putusan itu juga dikatakan bahwa menurut Pasal 123 HIR ditentukan gugatan haruslah diajukan oleh orang yang bersangkutan atau oleh orang yang berkepentingan dan bukan orang lain. Seandainya gugatan diajukan oleh orang lain maka harus ada surat kuasa khusus yang diharuskan dipakai dalam persidangan. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan
tersebut,
gugatan
Penggugat
yang
mengatasnamakan dan mewakili masyarakat konsumen listrik adalah bertentangan dengan Pasal 123 HIR jo SEMA No. 2 Tahun 1959 tanggal 29-1-1959 sehingga gugatan tersebut haruslah dinyatakan tidak dapat diterima atau N.O. (Niet Ontvankelijk Verklaard).
4.5 Penemuan Hukum Formil Berkenaan Dengan Asas Tanggung Jawab Langsung Dalam Gugatan Perwakilan (Class Action) Berdasarkan seluruh uraian di atas tampak bahwa sesungguhnya sepanjang berkenaan dengan bidang hukum materiil dapat dikatakan tidak ada kendala teoretik dalam penemuan hukum oleh hakim, termasuk dalam perkara-perkara gugatan perwakilan. Meskipun di dalam sejumlah kasus terdapat gugatan-gugatan perwakilan dalam masalah lingkungan yang dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
251 verklaard), hal itu bukanlah didasarkan atas alasan bahwa hakim menolak melakukan penemuan hukum melainkan lebih pada alasan tidak atau belum adanya hukum acara yang mengatur tentang prosedur beracara dalam gugatan perwakilan bidang lingkungan yang dalam hukum materiilnya menganut prinsip tanggung jawab langsung. Sehingga, yang menjadi pertanyaan kemudian (yang sekaligus merupakan isu utama dari disertasi ini), apakah fungsi hakim untuk melakukan penemuan hukum itu hanya terbatas pada penemuan hukum materiil? Atau, secara a contrario, apakah hakim dilarang atau tidak boleh melakukan penemuan hukum dalam bidang hukum formil atau hukum acara? Sebagaimana diketahui, fungsi hukum formil atau hukum acara adalah untuk menegakkan hukum materiil. Oleh karena itu, keberadaan hukum formil bersifat mutlak. Sebab, tanpa hukum formil atau hukum acara, ketentuan yang terdapat dalam hukum materiil akan menjadi sia-sia karena tidak dapat dijelmakan atau diwujudkan dalam praktik. Hal yang sama tentu juga berlaku dalam bidang hukum lingkungan, dalam hal ini yang berkenaan dengan penerapan prinsip tanggung jawab langsung dalam gugatan perwakilan. Dikarenakan yang menjadi isu dalam disertasi ini adalah mengenai aspek perdata dari penegakan hukum lingkungan (materiil) sebagaimana diatur dalam UUPPLH, maka pertanyaannya, apakah hakim dapat melakukan penemuan hukum dalam bidang hukum acara perdata untuk menegakkan prinsip tanggung jawab langsung dalam gugatan perwakilan sebagaimana diatur dalam UUPPLH? Bertolak dari pernyataan Sudikno Mertokusumo yang menyatakan bahwa hukum acara perdata bukanlah sekadar pelengkap tapi mempunyai kedudukan yang penting dalam melaksanakan atau menegakkan hukum perdata materiil, sebab tidak ada gunanya ada hukum perdata materiil apabila tidak dapat dilaksanakan atau
252 direalisir529 maka, secara teoritis, tidak dapat diterima jika ada pendapat yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh melakukan penemuan hukum formil atau hukum acara. Sebab, hal itu, di satu pihak, akan bertentangan dengan tugas hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan dan, di pihak lain, juga bertentangan asas ius curia novit yang melarang hakim menolak mengadili suatu perkara dengan alasan tidak ada hukum yang mengaturnya. Apalagi yang menjadi isu dalam hubungan ini berkenaan dengan hak konstitusional yaitu hak atas lingkungan hidup yang sehat yang secara tegas disebutkan dalam Konstitusi (UUDNRI 1945). Namun, dengan menyadari sepenuhnya bahwa hukum acara, termasuk hukum acara perdata, adalah dwingen recht yang secara imperatif mengikat hakim dan bertujuan mencegah tindakan eigenrichting, maka dalam menemukan jawaban atas pertanyaan di atas (penemuan hukum oleh hakim dalam bidang hukum acara) haruslah dilakukan dengan hati-hati dan cermat. Untuk itu, analisis tentang penemuan hukum oleh hakim dalam bidang hukum acara atau hukum formil ini akan ditinjau dari berbagai perspektif, yaitu: 1. dari perspektif tugas hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan; 2. dari perspektif asas-asas umum dalam Hukum Acara Perdata; 3. dari
perspektif
penguatan
prinsip-prinsip
dasar
perilaku
hakim
(strengthening basic principles of judicial conduct) atau yang lebih dikenal sebagai Bangalore Principles; dan 4. dari perspektif pembaharuan hukum (aspek futuristik)
529
Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h. 5.
253 1. Penemuan Hukum Formil (Hukum Acara) dilihat dari Perspektif Tugas Hakim dalam Menegakkan Hukum dan Keadilan Penemuan hukum formil penting untuk dilihat dari perspektif tugas hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan karena UUDNRI 1945, Pasal 24 ayat (1), menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan ini lebih dipertegas lagi dalam UU Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 1 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Ketentuan ini diturunkan dari ketentuan dalam UUDNRI 1945, Pasal 24 ayat (1) yang mengatakan, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Dengan penegasan ini berarti, tugas hakim bukanlah sekadar menegakkan hukum, apalagi sekadar menegakkan undang-undang, melainkan juga menegakkan keadilan. Sehingga, jika dikaitkan dengan Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan, “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadili” maka ketentuan ini haruslah ditafsirkan secara luas sehingga mencakup pula hukum formil atau hukum acara. Artinya, ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman di atas haruslah dibaca bahwa hakim dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan
254 memutus suatu perkara dengan dalih bahwa hukum acaranya tidak ada atau kurang jelas. Selain itu, dalam hubungannya dengan isu disertasi ini, jika tidak ditafsirkan demikian justru akan menjadi aneh. Sebab, logikanya, dalam keadaan ketiadaan hukum materiil saja, hakim dilarang untuk menolak mengadili suatu perkara, apalagi jika hukum materiilnya ada dan jelas? Dalam konteks ini tepatlah motto yang terpampang di badan-badan pengadilan Inggris yang mengatakan “Berikan aku hakim yang baik, meski di tanganku ada hukum yang buruk.” 530 Pesan moral yang hendak disampaikan motto tersebut jelas, yaitu bahwa setiap hakim yang akan memimpin sidang atau menangani perkara ia tidak boleh kalah oleh hukum yang didalamnya terdapat kekurangan, ada pasal-pasal yang kabur atau norma-norma yang berkatagori lemah dan mengundang banyak penafsiran. Bahkan, bukan tidak mungkin, suatu produk hukum (undang-undang) begitu diberlakukan ternyata menyimpan kekurangan fundamental, yang hanya bisa diatasi oleh hakim-hakim punya keberanian memosisikan kalau dirinya bukan mulut Undang-Undang (la bauche de laloi) tetapi sosok yang dibebani kewajiban berkreasi atau melahirkan norma-norma untuk menutup kevakuman.531 Pemahaman di atas juga sejalan dengan pandangan J.A. Pontier tentang penemuan hukum. Menurut Pontier, penemuan hukum pada masa kini berbeda dibandingkan pada masa kejayaan aliran Legisme. Dalam melakukan penemuan hukum, hakim tidak lagi secara kaku hanya terikat pada undang-undang melainkan
530
H. Abdul Wahid dan H. Moh. Muhibbin, 2009, Etika Profesi Hukum, Rekonstruksi Citra Peradilan di Indonesia, Bayu Media Publishing, Malang, h. 253. 531 Ibid, h. 254.
255 diakui adanya kemajemukan dalam sudut pandang dan landasan pemahaman yang dipergunakan hakim. Hal itu, menurut Pontier, berkait dengan pengakuan bahwa hakim memiliki peran atau kontribusi tersendiri dalam pembentukan putusan-putusan hukum dan tidak lagi dipandang sebagai pejabat yang hanya menerapkan undangundang saja.532 Hakim, dalam melakukan penemuan hukum, tidak hanya dipengaruhi oleh keterkaitan hakim dengan hukum melainkan juga keterkaitan hakim pada fakta.533 Setiap sengketa hukum (rechtsstrijd) sekaligus merupakan sengketa kepentingan (belangenstrijd). Dalil ini melandasi pikiran bahwa tiap aturan hukum yang dirumuskan secara umum didasarkan pada suatu penimbangan (tindakan menimbang-nimbang) kepentingan individual dan/atau kolektif.534 Berdasarkan argumentasi sebagaimana diuraikan di atas, dilihat dari sudut pandang tugas hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan, sulit untuk diterima argumentasi yang menyatakan gugatan perwakilan dalam penegakan hukum lingkungan tidak dapat diterima dengan alasan di samping karena gugatan demikian hanya dikenal di negara-negara Anglo-Saxon juga karena belum ada hukum acaranya, sebagaimana dikemukakan dalam pertimbangan hukum sejumlah putusan yang telah penulis singgung pada uraian sebelumnya. Sebab, masalahnya atau isu hukumnya bukanlah perihal “asal-usul” gugatan perwakilan melainkan perihal adanya kenyataan hukum di mana ada suatu norma hukum materiil yang mengatur tentang sesuatu (c.q. prinsip tanggung jawab langsung dalam UUPPLH berkenaan dengan gugatan perwakilan) namun belum ada hukum formil atau hukum acaranya.
532
J.A. Pontier, Op. Cit., h. 49. J.A. Pontier, Loc. Cit. 534 J.A. Pontier, Op. Cit., h. 41. 533
256 Namun di sini hakim sama sekali tidak mempertimbangkan, bahkan tidak menyinggung, mengapa ia tidak hendak melakukan penemuan hukum formil. Padahal, jelas ada perintah undang-undang bahwa hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara dengan alasan tidak ada hukum yang mengatur. Artinya, sebelum menyatakan gugatan tidak dapat diterima, setidak-tidaknya hakim harus menerangkan dalam pertimbangan hukum putusannya bahwa, menurut pendiriannya, kewajiban untuk menemukan hukum sebagaimana diperintahkan oleh UU Kekuasaan Kehakiman hanyalah berlaku dalam konteks hukum materiil. Dengan tidak menyinggung sama sekali kewajiban untuk melakukan penemuan hukum sebagaimana diperintahkan oleh UU Kekuasaan Kehakiman tersebut dapat diartikan bahwa hakim dalam putusan itu sama sekali mengabaikan unsur keadilan, yang menurut Konstitusi (c.q. Pasal 24 ayat (1) UUDNRI 1945) merupakan unsur melekat yang harus ada dalam setiap putusan hakim. Tentu menjadi pertanyaan besar kemudian, apakah gugatan terhadap kasuskasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan (yang terhadapnya oleh undangundang diberlakukan prinsip tanggung jawab langsung) akan selamanya dikalahkan oleh pertimbangan prosedural dengan mengabaikan besarnya perasaan keadilan yang tercederai? Sebab, tatkala hakim memutus bahwa perkara itu dinyatakan tidak dapat diterima, pelaku pencemaran dan/atau perusakan lingkungan (tergugat) tetap melenggang bebas berkat “bantuan” hakim yang lebih mengutamakan pergulatan prosedural tinimbang substansi. Dengan kata lain, melalui putusannya itu, hakim juga secara tidak
langsung
“membantu” terjadinya pelanggaran terhadap
257 konstitusional warga negara – dalam hal ini hak atas lingkungan yang sehat – yang dilakukan oleh pencemar dan/atau perusak lingkungan. Tak seorang pun membantah bahwa gugatan perwakilan berasal dari atau mula-mulai dikenal di negara-negara common law. Namun, tatkala hal itu telah diadopsi ke dalam norma undang-undang maka ia telah menjadi bagian dari sistem perundang-undangan. Karena itu menjadi wajib hukumnya bagi hakim untuk mewujudnyatakannya dalam praktik manakala kondisi atau keadaan yang menjadi syarat pemberlakuannya secara materiil telah terpenuhi, yaitu dengan telah terjadinya perusakan dan/atau pencemaran lingkungan. Uraian di atas menunjukkan dengan nyata bahwa prinsip tanggung jawab langsung dalam gugatan perwakilan di bidang lingkungan, selama belum ada hukum formil atau hukum acaranya, baru akan dapat ditegakkan manakala berada di tangan hakim yang visioner-progresif, sebagaimana dikatakan oleh Binsar M. Gultom, yaitu hakim yang mampu memadukan semangat common law dan civil law dalam praktik. Maksudnya, tugas hakim adalah untuk menyelesaikan perkara. Oleh karena itu, seorang hakim dalam memutus suatu perkara manakala dalam undang-undang tidak jelas diatur ketentuan tentang perkara itu maka ia (hakim) harus berani keluar menerobos kekakuan sistem civil law itu.535 Uraian di atas juga menunjukkan bahwa tatkala hakim menolak melakukan penemuan hukum dalam bidang hukum acara, lebih-lebih tanpa membuat argumen yang mendalam tentang hal itu, ia sesungguhnya telah mengingkari fungsinya sebagai pengadil, ia tidak lebih dari sekadar corong undang-undang. Sebab, akibat
535
Binsar M. Gultom, Op. Cit., h. 51.
258 penolakannya secara tidak langsung untuk melakukan penemuan hukum dalam bidang hukum formil atau hukum acara itu, hakim yang bersangkutan sesungguhnya telah mengingkari kewajibannya yang diperintahkan oleh undang-undang untuk menemukan hukum. Pada saat yang sama, sebagai akibat dari sikapnya itu, hakim yang bersangkutan juga telah mengabaikan tugasnya untuk menegakkan keadilan sebagai fungsi yang bersifat melekat dalam hakikat kekuasaan kehakiman, sebagaimana ditegaskan oleh UUDNRI 1945. Akhirnya penting untuk ditekankan bahwa berwenangnya hakim melakukan penemuan hukum formil (hukum acara) juga dapat dijelaskan dari hakikat yang terkandung dalam pengakuan terhadap kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka (the independence of the judiciary). John Bell mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka itu terkandung makna merdeka atau bebas dari intervensi politik (freedom from political interference) dan merdeka atau bebas untuk menegakkan keadilan (freedom to do justice).536 Dalam konteks “merdeka atau bebas untuk menegakkan keadilan” itulah landasan argumentasi penemuan hukum formil oleh hakim itu dapat ditemukan. Sebagaimana dikatakan oleh Lord Denning, seorang hakim Inggris yang sangat terkenal: My root belief is that the proper role of the judge is to do justice between parties before him. If there any rule of law wich impairs the doing of justice, then it is the province of the judge to do all that he legitimately can to avoid that rule – or even to change it – so as to do justice in the instant case before him. He need not wait for legislation to intervene, because that can never be of any help in the instant case. I would empasise, however, the word legimately : the judge is himself subject to the law and must abide it.537 (Kepercayaan dasar saya bahwa tugas utama dari seorang Hakim adalah untuk memberikan keadilan diantara para pihak. Jika ada suatu peraturan 536 537
John Bell dalam I Dewa Gede Palguna, Op. Cit., h. 100. John Bell dalam I Dewa Gede Palguna, Loc. Cit.
259 hukum yang menceridai terwujudnya keadilan, maka merupakan kewajibannya untuk melakukan apapun yang masuk dalam kewenangannya untuk menghindarinya atau bahkan mengubah peraturan tersebut. Sehingga dapat memberikan keadilan pada kasus yang sedang ditangani. Seorang Hakim tidak harus menunggu intervensi dari badan legislatif karena akan susah untuk menyelesaikan kasus di depan mata. Saya harus menegaskan, bahwa hakim harus tetap memperhatikan ”legitimasi” tindakannya bahwa hakim itu sendiri harus taat pada hukum). 2. Penemuan Hukum Formil (Hukum Acara) Dilihat dari Perspektif Asas-asas Umum dalam Hukum Acara Perdata Setelah menganalisis penemuan hukum formil oleh hakim dari perspektif tugas hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan, berikut akan dilakukan analisis tentang penemuan hukum formil oleh hakim dari perspektif asas-asas hukum yang secara umum berlaku dalam hukum acara perdata. Analisis dari perspektif ini penting dilakukan dengan asumsi bahwa hakim tidak dilarang melakukan penemuan hukum formil sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan asas-asas hukum yang secara umum berlaku dalam hukum acara perdata. Secara umum, asas-asas hukum ialah dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum yang mengandung nilai-nilai moral dan etis yang merupakan pentunjuk arah bagi pembentukan hukum yang memenuhi nilai-nilai filosofis yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran, nilai-nilai sosiologis yang sesuai dengan nilai budaya yang berlaku di masyarakat dan nilai yuridis yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.538 Seterusnya menurut H. Moh Koesnoe, asas hukum sebagai suatu pokok ketentuan atau ajaran yang berdaya cukup menyeluruh terhadap segala persoalan 538
Khudzaefah Dimyati, 2010, “Teorisasi Hukum”, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia Tahun 1945-1990, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 208.
260 hukum didalam masyarakat yang bersangkutan dan berlaku sebagai dasar dan sumber materiil ketentuan hukum yang diperlukan.539 Sedangkan menurut Paul Scholten, asas hukum ialah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan perundangundangan dan putusan-putusan hakim.540 Sementara itu, hukum acara perdata ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. Secara lebih konkrit menurut Sudikno Mertokusumo dikemukakan bahwa hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari putusannya.541 Dalam konteks demikian maka hakim terikat dan secara imperatif tunduk kepada hukum formil yang dipakai sebagai dasar hukum dalam memeriksa perkara perdata di pengadilan. Bagi hakim, keharusan taat terhadap hukum acara juga lahir dari tuntutan etika profesi yang mengharuskan hakim untuk bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara.542 Namun, di pihak lain, dalam kaitannya dengan isu disertasi ini, ternyata ada kekosongan hukum dalam hukum formil (hukum acara), sehingga dalam hal ini hakim dihadapkan pada situasi dilematis. Di satu pihak, ia (hakim) harus menegakkan hukum yang telah ditegaskan dalam hukum materiil, yaitu dalam hal ini ketentuan dalam UUPPLH
539
Khudzaefah Dimyati, Op. Cit., h. 207. Bruggink, Op. Cit., h. 119. 541 Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h. 2. 542 Sukrawardi K. Lubis, 2012, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 540
h. 76.
261 yang mengatur tentang penerapan prinsip tanggung jawab langsung dalam gugatan perwakilan, sedangkan di lain pihak ia harus taat kepada hukum formil (hukum acara) yang ternyata belum ada ketentuannya. Tetapi kekosongan yang dimaksud di sini adalah kekosongan aturan hukum formil positif, bukan kekosongan asas-asas hukum. Oleh karena itu, dengan bertolak dari pengertian asas-asas hukum sebagaimana diuraikan di atas, sesungguhnya seorang hakim tidaklah dilarang untuk melakukan penemuan hukum formil sepanjang ia taat kepada asas-asas hukum yang berlaku umum dalam hukum acara perdata. Dengan kata lain, hakim dalam melakukan penemuan hukum formil, haruslah memperhatikan asas-asas hukum. Sebab, berdasarkan uraian di atas, asas-asas hukum mengandung nilainilai moral dan etis yang merupakan petunjuk bagi hakim dalam pembentukan hukum yang berisikan nilai-nilai filosofis, keadilan dan kebenaran di samping nilai-nilai sosiologis dan nilai-nilai yuridis. Dalam hukum acara perdata, terdapat sejumlah asas hukum yang senantiasa harus dipegang secara sungguh-sungguh oleh hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perdata yang dihadapkan kepadanya. Asas-asas tersebut adalah: a. Asas “mendengar pihak-pihak yang berperkara” (audi et alteram partem). Artinya, hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya harus mendengar semua pihak yang berperkara.
262 b. Asas Hakim bersifat menunggu Iudex ne procedet ex officio : tuntutan hak dalam perkara perdata yang mengajukan ialah pihak yang berkepentingan, sedang hakim hanya menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya (Pasal 118 HIR, 142RBg). c. Hakim dilarang menolak untuk memeriksa dan mengadili sekalipun hukum tidak mengatur atau tidak jelas. Larangan untuk memeriksa perkara disebabkan anggapan Hakim tahu hukum (ius curia novit). d. Hakim pasif : ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada Hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak bukan oleh Hakim. e. Sifat terbukanya persidangan atau sidang terbuka untuk umum. Tujuan dari asas ini ialah memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dan menjamin objektivitas putusan Hakim. f. Asas Verhandlung Maxime. Asas dalam hukum acara perdata ialah kewajiban dari ke-2 belah pihak yang berperkara untuk membuktikan dalil-dalilnya. g. Putusan harus disertai alasan-alasan Alasan-alasan sebagai dasar mengadili ialah sebagai pertanggung jawaban hakim dari putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan putusannya objektif. h. Beracara perdata dikenakan biaya, kecuali para pihak yang tidak mampu dapat beracara secara prodeo dengan surat keterangan dari polisi dan dalam praktik oleh kepala desa / lurah
263 i.
Asas kuasa (HIR, RBg) tidak mewajibkan tapi menurut RV (BRV) hukum acara perdata golongan Eropa wajib memakai seorang kuasa.
j.
Asas obyektivitas : Hakim dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan harus obyektif tidak dibenarkan subyektif / memihak.
k. Susunan persidangan Majelis dalam memeriksa perkara asasnya Majelis sekurang-kurangnya 3 orang Hakim dan dikenal asas Hakim tunggal apabila perkara itu ringan dan pembuktiannya tidak sulit. l.
Asas sederhana, cepat dan biaya murah (trilogi peradilan). Sederhana menunjuk pada proses tidak berbelit-belit, cepat menunjuk pada waktu yaitu lancarnya proses persidangan, biya murah dapat dipikul oleh para pencari keadilan.
m. Asas Ultra Ne Petita, asas yang membatasi Hakim sehingga Hakim hanya boleh mengabulkan sesuai yang dituntut. Hakim dilarang mengabulkan lebih daripada yang dituntut penggugat. Asas ini juga membatasi Hakim terikat pada alat bukti yang syah (preponderance of evience) n. Asas beban pembuktian : Untuk kepastian hukum maka tiap putusan Hakim yang telah dijatuhkan harus selalu dianggap benar dan sah kecuali jika ada putusan yang lebih tinggi yang membatalkannya (asas res yudicata proveri tate habetur). Res yudicate proveri tate habetur (serupa tapi tak sama). Resjudicate jus facit inter partes (putusan Hakim menimbulkan hak antara para pihak yang berperkara). Res judicate pro peritate accipitur (isi dari suatu putusan hakim sebagai benar).
264 Dengan mencermati seluruh asas hukum yang berlaku dalam hukum acara perdata sebagaimana diuraikan di atas, tampak bahwa tidak terdapat halangan apa pun bagi hakim jika hendak melakukan penemuan dalam bidang hukum formil atau hukum acara, dalam hal ini hukum acara perdata yang hendak diberlakukan dalam rangka melaksanakan prinsip tanggung jawab langsung dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan pada gugatan perwakilan. Dalam hal ini, penemuan hukum formil yang dilakukan oleh hakim guna penerapan asas tanggung
jawab
langsung
dalam
gugatan
perwakilan
tersebut
hakim
memperhatikan rasa keadilan dari masyarakat sebagai pihak korban dalam menuntut ganti rugi akibat pencemaran yang mengandung limbah B3 dan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Di sini hakim, karena tuntutan tugasnya untuk menegakkan hukum dan keadilan, melakukan penemuan hukum formil ini untuk melindungi masyarakat yang lemah. Dalam hal ini hakim berpegang pada prinsip bahwa ketiadaan kemampuan masyarakat, baik secara teknologi maupun finansial, tidak boleh menghalangi akses mereka kepada keadilan (access to justice), lebih-lebih jika hal itu menyangkut hak yang dijamin keberaaan, perlindungan, dan pemenuhannya oleh Konstitusi (UUD 1945) yaitu hak atas lingkungan yang sehat.
3. Penemuan Hukum Formil (Hukum Acara) Dilihat dari Perspektif Basic Principles of Judicial Conduct (Banglore Principles) Selanjutnya, setelah menganalisis penemuan hukum formil oleh hakim dilihat dari perspektif asas-asas hukum yang berlaku dalam hukum acara perdata, menjadi penting dan relevan pula untuk melakukan analisis dari perspektif Basic
265 Principles of Judicial Conduct atau yang lebih dikenal sebagai Prinsip-prinsip Bangalore (Bangalore Principles). Prinsip-prinsip yang diatur dalam Bangalore Principles ini merupakan prinsip-prinsip yang telah diakui secara universal dan diterima sebagai kode perilaku hakim (codes of judicial conduct). Analisis dari perspektif ini dilakukan dengan maksud untuk menemukan jawaban apakah penemuan hukum formil oleh hakim itu bertentangan atau melanggar kode perilaku hakim yang berlaku secara universal sebagaimana diatur dalam Bangalore Principles tersebut? Hal ini penting ditekankan karena langsung berkenaan dengan etika profesi. Sebagaimana dikatakan Agus Santoso, hakim harus menjunjung tinggi etika profesi mengingat wilayah kerja hakim secara fungsional di pengadilan adalah melaksanakan dan menggali keadilan serta berusaha mengatasi hambatan dan rintangan untuk dapat dicapainya peradilan yang dikehendaki undang-undang.543 Bangalore Principles mengemukakan nilai-nilai yang diperlukan bagi tingkah
laku
kekuasaan
kehakiman,
prinsip-prinsip
dan
aplikasi
atau
penerapannya.544 Bangalore Principles berisi 6 (enam) prinsip penting yang mengatur tentang kode etik hakim yang dihasilkan dalam konferensi internasional di Bangalore tahun 2001 yaitu : 1. Prinsip Independensi; 2. Prinsip Ketidakberpihakan; 3. Prinsip Integritas; 4. Prinsip Kesopanan atau Kesusilaan; 5. Prinsip Persamaan; dan 6. Prinsip Kompetensi dan Ketekunan. Keenam prinsip
543
Agus Santoso, 2012, Hukum, Moral dan Keadilan, Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 100-101. 544 Ibid, h. 163-164.
266 tersebut selanjutnya dielaborasi lebih jauh sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini:545 2002 Bangalore Principles of Judicial Conduct (UN ECOSOC 2006/23) Nilai 1 Value 1 Independensi Independence Principle Prinsip Judicial independence is a Independensi peradilan merupakan prerequisite to the rule of law and a prasyarat bagi tegaknya aturan fundamental guarantee of a fair hukum dan jaminan mendasar trial. A judge shall therefore uphold pengadilan yang adil. Oleh karena and exemplify judicial independence itu seorang hakim harus memegang in both its individual and teguh dan memberikan contoh institutional aspects. kemandirian peradilan baik secara individu maupun aspek kelembagaan. 1.1. A judge shall exercise the 1.1. Seorang hakim harus judicial function independently menjalankan fungsi peradilan on the basis of the judge's secara independen dalam dasar assessment of the facts and in penilaian hakim tentang fakta accordance with a dan sesuai dengan pemahaman conscientious understanding of yang teliti mengenai hukum, the law, free of any extraneous bebas dari pengaruh asing, influences, inducements, bujukan, tekanan, ancaman atau pressures, threats or gangguan, langsung atau tidak interference, direct or indirect, langsung, dari pihak mana pun from any quarter or for any atau untuk alasan apapun. reason. 1.2. A judge shall be independent in 1.2 Seorang hakim harus independen relation to society in general dalam kaitannya dengan and in relation to the particular masyarakat pada umumnya dan parties to a dispute that the dalam hubungannya dengan judge has to adjudicate. pihak-pihak tertentu yang bersengketa yang harus diadili oleh hakim yang bersangkutan. 1.3. A judge shall not only be free 1.3. Seorang hakim tidak hanya from inappropriate connections harus bebas dari hubungan yang with, and influence by, the tidak patut dengan, dan 545
Prinsip #, 2002, Bangalore Principles of Judicial Conduct (Resolusi UN. Ecosoc 2006/23, “Strengthening Basic Principles of Judicial Conduct”, Annek), http://www.unodc.org/pdf/corruption_judicial_res_c.pdf, tanpa halaman, diakses Rabu, 23 April 2014.
267 executive and legislative branches of government, but must also appear to a reasonable observer to be free therefrom.
dipengaruhi oleh, cabangcabang kekuasaan eksekutif dan legislatif, tetapi juga harus tampak di mata seorang pengamat yang wajar bahwa ia benar-benar bebas dari cabangcabang kekuasaan tersebut.
1.4. In performing judicial duties, a 1.4. Dalam menjalankan tugas judge shall be independent of peradilan, hakim harus judicial colleagues in respect of independen dari rekan peradilan decisions that the judge is dalam hal keputusan bahwa obliged to make independently. hakim wajib untuk membuat mandiri. 1.5. A judge shall encourage and 1.5 Seorang hakim harus uphold safeguards for the mendorong dan menegakkan discharge of judicial duties in pengamanan untuk pelaksanaan order to maintain and enhance tugas peradilan dalam rangka the institutional and operational mempertahankan dan meningindependence of the judiciary. katkan independensi institusional dan operasional peradilan. 1.6. A judge shall exhibit and 1.6. Seorang hakim harus promote high standards of menunjukkan dan judicial conduct in order to mempromosikan standar tinggi reinforce public confidence in peradilan melakukan dalam the judiciary, which is rangka untuk memperkuat fundamental to the maintenance kepercayaan publik peradilan, of judicial independence. yang merupakan dasar untuk pemeliharaan independensi peradilan Nilai 2 Value 2 Ketidakberpihakan Impartiality Principle Prinsip Impartiality is essential to the Ketidakberpihakan sangat penting proper discharge of the judicial untuk pelaksanaan kuasa peradilan. office. It applies not only to the Ini berlaku tidak hanya untuk decision itself but also to the process keputusan itu sendiri tetapi juga by which the decision is made. untuk proses dimana keputusan dibuat. 2.1. A judge shall perform his or her 2.1. Seorang hakim harus menjudicial duties without favour, jalankan tugas hukumnya tanpa bias or prejudice. mendukung, bias atau prasangka
268 2.2. A judge shall ensure that his or 2.2. Seorang hakim harus menjamin her conduct, both in and out of bahwa perilakunya, baik di court, maintains and enhances dalam maupun di luar the confidence of the public, the pengadilan, memelihara dan legal profession and litigants in meningkatkan kepercayaan the impartiality of the judge and publik, profesi hukum dan of the judiciary. pihak-pihak yang berperkara akan ketidakberpihakan hakim dan pengadilan . 2.3. A judge shall, as far as is 2.3. Seorang hakim, sejauh yang reasonable, so conduct himself dapat diterima akal, harus or herself as to minimize the berperilaku sedemikian rupa occasions on which it will be guna meminimalkan necessary for the judge to be kesempatan yang karena disqualified from hearing or perilaku itu menyebabkan deciding cases. hakim yang bersangkutan didiskualifikasi dari tugas memeriksa atau memutuskan kasus 2.4. A judge shall not knowingly, 2.4. Seorang hakim tidak boleh while a proceeding is before, or dengan sengaja, sedangkan could come before, the judge, persidangan adalah sebelum, make any comment that might atau bisa datang sebelumnya, reasonably be expected to affect hakim, membuat komentar yang the outcome of such proceeding mungkin diperkirakan mungkin or impair the manifest fairness mempengaruhi hasil of the process, nor shall the persidangan tersebut atau judge make any comment in merusak keadilan nyata dari public or otherwise that might proses, juga harus hakim affect the fair trial of any membuat komentar di depan person or issue. umum atau yang mungkin mempengaruhi pengadilan yang adil dari setiap orang atau masalah. 2.5. A judge shall disqualify himself 2.5. Seorang hakim harus or herself from participating in mendiskualifikasi dirinya dari any proceedings in which the berpartisipasi dalam setiap judge is unable to decide the proses di mana hakim tidak matter impartially or in which it dapat memutuskan materi
269 may appear to a reasonable observer that the judge is unable to decide the matter impartially. Such proceedings include, but are not limited to, instances where: (a) The judge has actual bias or prejudice concerning a party or personal knowledge of disputed evidentiary facts concerning the proceedings; (b) The judge previously served as a lawyer or was a material witness in the matter in controversy; or (c) The judge, or a member of the judge's family, has an economic interest in the outcome of the matter in controversy; provided that disqualification of a judge shall not be required if no other tribunal can be constituted to deal with the case or, because of urgent circumstances, failure to act could lead to a serious miscarriage of justice. Value 3 Integrity Principle Integrity is essential to the proper discharge of the judicial office. 3.1. A judge shall ensure that his or her conduct is above reproach in the view of a reasonable observer. 3.2. The behaviour and conduct of a judge must reaffirm the people's
memihak atau di mana ia mungkin tampak masuk akal pengamat bahwa hakim tidak dapat memutuskan masalah ini tidak memihak. Proses tersebut termasuk, namun tidak terbatas pada, contoh di mana : (a) Hakim memiliki Bias aktual atau prasangka tentang suatu pihak atau pengetahuan pribadi yang disengketakan fakta pembuktian mengenai proses; (b) Hakim sebelumnya menjabat sebagai pengacara atau merupakan saksi penting dalam hal kontroversi; atau (c) Hakim, atau anggota keluarga hakim, memiliki kepentingan ekonomi dalam hasil materi di kontroversi; asalkan diskualifikasi seorang hakim tidak wajib jika tidak ada pengadilan lain dapat dibentuk untuk menangani kasus atau karena keadaan mendesak, kegagalan untuk bertindak bisa menyebabkan serius miscarriage of justice. Nilai 3 Integritas Prinsip Integritas sangat penting untuk pelaksanaan kekuasaan peradilan 3.1. Seorang hakim harus menjamin bahwa tindakan-nya berada di luar celaan menurut pandangan pengamat yang wajar. 3.2. Perilaku dan tata laksana hakim harus menegaskan kembali
270 faith in the integrity of the judiciary. Justice must not merely be done but must also be seen to be done.
Value 4 Propriety Principle Propriety, and the appearance of propriety, are essential to the performance of all of the activities of a judge. 4.1. A judge shall avoid impropriety and the appearance of impropriety in all of the judge's activities. 4.2. As a subject of constant public scrutiny, a judge must accept personal restrictions that might be viewed as burdensome by the ordinary citizen and should do so freely and willingly. Inparticular, a judge shall conduct himself or herself in a way that is consistent with the dignity of the judicial office.
4.3. A judge shall, in his or her personal relations with individual members of the legal profession who practise regularly in the judge's court, avoid situations that might reasonably give rise to the suspicion or appearance of favouritism or partiality.
kepercayaan masyarakat terhadap integritas lembaga peradilan. Keadilan tidak harus hanya dapat dilakukan semata tetapi juga harus secara niatan maksud dan tujuan. Nilai 4 Kesopanan Prinsip Kepatutan, dan munculnya kesopanan, sangat penting untuk kinerja semua aktivitas seorang hakim. 4.1. Seorang hakim harus menghindari ketidakpantasan dan terlihatnya hal-hal tak pantas dalam semua kegiatan hakim. 4.2. Sebagai subjek yang tunduk pada pengawasan publik secara terus menerus, seorang hakim harus menerima pembatasan pribadi yang mungkin dipandang sebagai beban olehwarga biasa dan harus melakukannya dengan bebas dan sukarela. Khususnya, hakim harus melakukan dirinya sendiri dengan cara yang konsisten dengan martabat jabatan peradilan. 4.3. Seorang hakim harus, dalam hubungan pribadinya dengan individu anggota profesi hukum yang berlatih secara teratur di pengadilan hakim, menghindari situasi yang mungkin cukup menimbulkan kecurigaan atau penampilan pilih kasih atau memihak.
271 4.4. A judge shall not participate in 4.4. Seorang hakim tidak boleh the determination of a case in berpartisipasi dalam penentuan which any member ofthe judge's kasus di mana setiap anggota family represents a litigant or is keluarga hakim mewakili associated in any manner with penggugat atau tidak terkait the case dengan cara apapun dengan kasus ini. 4.5. A judge shall not allow the use 4.5. Seorang hakim tidak akan of the judge's residence by a mengizinkan penggunaan member of the legal profession kediaman hakim oleh anggota to receive clients or other dari profesi hukum untuk members of the legal profession. menerima klien atau lainnya anggota profesi hukum. 4.6. A judge, like any other citizen, 4.6. Seorang hakim, seperti warga is entitled to freedom of lainnya, berhak atas kebebasan expression, belief, association berekspresi, keyakinan, and assembly, but, in exercising berserikat dan berkumpul, such rights, a judge shall tetapi, dalam menjalankan hakalways conduct himself or hak tersebut, hakim harus selalu herself In such a manner as to melakukan dirinya sendiri preserve the dignity of the dalam sedemikian rupa untuk judicial office and the menjaga martabat kantor impartiality and independence peradilan dan imparsialitas dan of the judiciary. independensi peradilan. 4.7. A judge shall inform himself or 4.7. Seorang hakim harus herself about the judge's memberitahukan dirinya tentang personal and fiduciary financial hakim kepentingan keuangan interests and shall make pribadi dan fidusia dan wajib reasonable efforts to be membuat upaya yang wajar informed about the financial untuk memperoleh informasi interests of members of the tentang kepentingan keuangan judge's family. anggota keluarga hakim. 4.8. A judge shall not allow the 4.8. Seorang hakim tidak akan judge's family, social or other membiarkan keluarga hakim, relationships improperly to sosial atau lainnya hubungan influence the judge's judicial tidak benar untuk conduct and judgement as a mempengaruhi perilaku hakim judge. hakim dan penilaian sebagai hakim
272 4.9. A judge shall not use or lend the 4.9. Seorang hakim tidak akan prestige of the judicial office to menggunakan atau advance the private interests of meminjamkan prestise peradilan the judge, a member of the kantor untuk memajukan judge's family or of anyone else, kepentingan pribadi hakim, nor shall a judge convey or anggota keluarga hakim atau permit others to convey the orang lain, dan tidak akan impression that anyone is in a hakim menyampaikan atau special position improperly to mengizinkan orang lain untuk influence the judge in the menyampaikan kesan bahwa performance of judicial duties. ada yang di khusus posisi benar untuk mempengaruhi hakim dalam kinerja tugas peradilan 4.10. Confidential information 4.10. Informasi rahasia yang acquired by a judge in the diperoleh oleh seorang hakim judge's judicial capacity shall di hakim kapasitas hukum not be used or disclosed by tidak boleh digunakan atau the judge for any other diungkapkan oleh hakim purpose not related to the untuk tujuan lain yang tidak judge's judicial duties berkaitan dengan tugas-tugas peradilan hakim 4.11. Subject to the proper 4.11. Sesuai dengan kinerja performance of judicial yangtepat dari tugas peradilan, duties, a judge may: hakim mungkin : (a) Write, lecture, teach and (a) Menulis, kuliah, mengajar participate in activities dan berpartisipasi dalam concerning the law, the kegiatan mengenai legal system, the hukum, sistem hukum, administration of justice administrasi peradilan atau or related matters; hal-hal terkait; (b) Appear at a public hearing (b) Muncul pada sidang before an official body umum sebelum badan concerned with matters resmi peduli dengan hal relating to the law, the yang berkaitan dengan legal system, the hukum, sistem hukum, administration of justice administrasi peradilan atau or related matters; hal-hal terkait; (c) Serve as a member of an (c) Mengabdi sebagai anggota official body, or other suatu badan resmi, atau government commission, lainnya komisi committee or advisory pemerintah, komite atau
273 body, if such membership badan penasehat, jika is not inconsistent with the seperti keanggotaan tidak perceived impartiality and bertentangan dengan political neutrality of a ketidakberpihakan judge; or dirasakan dan netralitas (d) Engage in other activities politik hakim ; atau if such activities do not (d) Terlibat dalam kegiatan detract from the dignity of lain jika kegiatan tersebut the judicial office or tidak mengurangi martabat otherwise interfere with kantor peradilan atau the performance of mengganggu pelaksanaan judicial duties. tugas peradilan. 4.12. A judge shall not practise law 4.12. Seorang hakim tidak boleh while the holder of judicial melakukan praktek hukum office. sedangkan melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam waktu bersamaan. 4.13. A judge may form or join 4.13. Seorang hakim bisa associations of judges or membentuk atau bergabung participate in other dengan asosiasi hakim atau organizations representing the berpartisipasi dalam interests of judges. organisasi lain yang mewakili kepentingan hakim 4.14. A judge and members of the 4.14. Seorang hakim dan anggota judge's family shall neither keluarga hakim tidak akan ask for, nor accept, any gift, meminta untuk, atau bequest, loan or favour in menerima, hadiah apapun, relation to anything done or hibah, pinjaman atau bantuan to be done or omitted to be dalam kaitannya dengan done by the judge in apapun yang dilakukan atau connection with the yang harus dilakukan atau performance of judicial dihilangkan untuk dilakukan duties. oleh hakim dalam sehubungan dengan pelaksanaan tugas peradilan 4.15. A judge shall not knowingly 4.15. Seorang hakim tidak boleh permit court staff or others dengan sengaja mengizinkan subject to the judge's staf pengadilan atau orang lain influence, direction or tunduk pada hakim pengaruh, authority to ask for, or accept, arah atau kewenangan untuk
274 any gift, bequest, loan or favour in relation to anything done or to be done or omitted to be done in connection with his or her duties or functions.
4.16. Subject to law and to any legal requirements of public disclosure, a judge may receive a token gift, award or benefit as appropriate to the occasion on which it is made provided that such gift, award or benefit might not reasonably be perceived as intended to influence the judge in the performance of judicial duties or otherwise give rise to an appearance of partiality.
Values 5 Equality Principle Ensuring equality of treatment to all before the courts is essential to the due performance of the judicial office 5.1. A judge shall be aware of, and understand, diversity in society and differences arising from various sources, including but not limited to race, colour, sex, religion, national origin, caste, disability, age, marital status, sexual orientation, social and
meminta, atau menerima, hadiah, warisan, pinjaman atau bantuan dalam kaitannya dengan apa-apa dilakukan atau akan dilakukan atau dihilangkan harus dilakukan sehubungan dengan nya atau tugas atau fungsinya. 4.16. Sesuai dengan hukum dan persyaratan hukum publik pengungkapan, hakim dapat menerima token hadiah, penghargaan atau keuntungan sebagai sesuai dengan kesempatan yang dibuat ketentuan bahwa seperti hadiah, penghargaan atau keuntungan mungkin tidak cukup dianggap sebagai dimaksudkan untuk mempengaruhi hakim dalam kinerja peradilan tugas atau menimbulkan penampilan memihak Nilai 5 Persamaan Prinsip Memastikan kesetaraan perlakuan kepada semua di hadapan pengadilan adalah penting untuk kinerja dari kekuasaan peradilan 5.1. Seorang hakim harus menyadari, dan memahami, keragaman masyarakat dan perbedaan yang timbul dari berbagai sumber, termasuk namun tidak terbatas pada ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, asal-usul kebangsaan,
275 economic status and other like causes ("irrelevant grounds").
5.2. A judge shall not, in the performance of judicial duties, by words or conduct, manifest bias or prejudice towards any person or group on irrelevant grounds. 5.3. A judge shall carry out judicial duties with appropriate consideration for all persons, such as the parties, witnesses, lawyers, court staff and judicial colleagues, without differentiation on any irrelevant ground, immaterial to the proper performance of such duties.
kasta, kecacatan, usia, status perkawinan, orientasi seksual, sosial dan status ekonomi dan penyebab lainnya seperti ("alasan yang tidak relevan "). 5.2. Seorang hakim tidak boleh, dalam elaksanaan tugas yudisial, oleh kata-kata atau perilaku, bias nyata atau prasangka terhadap setiap orang atau kelompok dengan alasan yang tidak relevan. 5.3. Seorang hakim harus menjalankan tugas peradilan dengan pertimbangan yang tepat untuk semua orang, seperti para pihak, saksi, pengacara, staf pengadilan dan rekan peradilan, tanpa diferensiasi pada setiap alasan yang tidak relevan, tidak material terhadap kinerja yang tepat dari tugas tersebut.
5.4. A judge shall not knowingly 5.4. Seorang hakim tidak boleh permit court staff or others dengan sengaja mengizinkan subject to the judge's influence, staf pengadilan atau orang lain direction or control to tunduk pada hakim pengaruh, differentiate between persons arah atau kontrol untuk concerned, in a matter before membedakan antara orang yang the judge, on any irrelevant bersangkutan, dalam hitungan ground. sebelum menilai, pada setiap alasan yang tidak relevan 5.5. A judge shall require lawyers in 5.5. Seorang hakim harus proceedings before the court to mensyaratkan pengacara dalam refrain from manifesting, by proses di pengadilan untuk words or conduct, bias or prejudice based on irrelevant
menahan diri dari mewujudkan, dengan kata-kata atau
276 grounds, except such as are legally relevant to an issue in proceedings and may be the subject of legitimate advocacy.
melakukan, bias atau prasangka berdasarkan alasan yang tidak relevan, kecuali seperti secara hukum relevan dengan masalah dalam proses dan mungkin menjadi subjek yang sah advokasi.
Value 6 Competence and diligence Principle Competence and diligence are prerequisites to the due performance of judicial office.
Nilai 6 Kompetensi dan ketekunan Prinsip Kompetensi dan ketekunan merupakan prasyarat untuk pelaksanaan kekuasaan peradilan.
6.1. The judicial duties of a judge 6.1. Tugas yudisial hakim take precedence over all other diutamakan daripada semua activities. lainnya kegiatan . 6.2. A judge shall devote the judge's 6.2. Seorang hakim harus professional activity to judicial mengabdikan kegiatan duties, which include not only profesional hakim untuk tugas the performance of judicial peradilan, yang meliputi tidak functions and responsibilities in hanya kinerja peradilan fungsi court and the making of dan tanggung jawab di decisions, but also other tasks pengadilan dan pembuatan relevant to the judicial office or keputusan, tetapi juga tugasthe court's operations. tugas lain yang relevan ke kantor peradilan atau operasi pengadilan. 6.3. A judge shall take reasonable 6.3. Seorang hakim harus steps to maintain and enhance mengambil langkah-langkah the judge's knowledge, skills yang masuk akal untuk and personal qualities mempertahankan dan necessary for the proper meningkatkan pengetahuan, performance of judicial duties, keterampilan, dan kualitas taking advantage for that pribadi hakim yang diperlukan purpose of the training and untuk baiknya kinerja tugasother facilities that should be tugas peradilan, mengambil made available, under judicial keuntungan untuk tujuan control, to judges. pelatihan dan fasilitas lainnya
277
6.4. A judge shall keep himself or herself informed about relevant developments of international law, including international conventions and other instruments establishing human rights norms. 6.5. A judge shall perform all judicial duties, including the delivery of reserved decisions, efficiently, fairly and with reasonable promptness 6.6. A judge shall maintain order and decorum in all proceedings before the court and be patient, dignified and courteous in relation to litigants, jurors, witnesses, lawyers and others with whom the judge deals in an official capacity. The judge shall require similar conduct of legal representatives, court staff and others subject to the judge's influence, direction or control.
6.7. A judge shall not engage in conduct incompatible with the diligent discharge of judicial duties.
yang harus tersedia, di bawah kontrol yudisial, hakim . 6.4. Seorang hakim harus menjaga dirinya sendiri informasi tentang Perkembangan hukum internasional yang relevan, termasuk internasional konvensi dan instrumen lain menetapkan hak asasi manusia norma . 6.5. Seorang hakim harus melakukan semua tugas peradilan, termasuk pengiriman keputusan reserved, efisien, adil dan dengan ketepatan wajar. 6.6. Seorang hakim hams menjaga ketertiban dan sopan santun dalam semua proses sebelum pengadilan dan bersabar, bermartabat dan sopan dalam kaitannya untuk berperkara, juri, saksi, pengacara dan IainIain dengan siapa Penawaran hakim dalam kapasitas resmi. Hakim harus mensyaratkan serupa pelaksanaan perwakilan hukum, staf pengadilan dan lain-lain tunduk hakim pengaruh, pengarahan atau kontrol 6.7. Seorang hakim tidak boleh terlibat dalam perilaku yang tidak sesuai dengan tugas peradilan
Secara umum, prinsip-prinsip dalam Bangalore Principles tersebut telah diadopsi ke dalam Etika Profesi Hakim di Indonesia, sebagaimana dapat dilihat dalam Keputusan Bersama Mahkamah Agung dengan Ketua Komisi Yudisial RI No. 047/KMA/SKB/IV/2009 dan No. 02/SKB/P.KY/IV/2009 meskipun rumusannya tidak persis sama. Prinsip-prinsip yang sama, dengan penyesuaian
278 di sana-sini, juga diadopsi dalam Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi Republik Indonesia yang dikenal dengan Sapta Karsa Utama. Hal ini berarti universalitas prinsip-prinsip yang dituangkan dalam Bangalore Principles tersebut diakui dan diterima oleh badan-badan peradilan di Indonesia. Jika dilihat dari prinsip-prinsip yang tertuang dalam Bangalore Principles tersebut, seorang hakim yang melakukan penemuan hukum formil atau hukum acara tidaklah melanggar atau bertentangan dengan kode etik dan kode perilaku hakim yang telah diterima secara universal. Bahkan, secara implisit, sesungguhnya terdapat keharusan bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum formil manakala ketiadaan hukum formil tersebut menghalangi hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk menegakkan hukum dan keadilan yang menjadi prasyarat tegaknya hukum (rule of law), sebagaimana tertuang dalam Value 1 (Independence). Dikatakan terdapat keharusan sebab tanpa melakukan penemuan hukum formil, hakim tak mungkin menegakkan aturan hukum (materiil) yang menjadi tuntutan dari prinsip Independence ini. Seorang hakim tidak pula dapat dikatakan telah melanggar prinsip yang terkandung dalam Value 2 (Impartiality) jika ia melakukan penemuan hukum formil. Sebab, substansi nilai yang terkandung dalam prinsip ini menuntut hakim untuk bersikap tidak berpihak kepada salah satu pihak dalam perkara. Sehingga, jika dihubungkan dengan isu hukum dalam disertasi ini, hakim justru akan dengan mudah dinilai lebih berpihak kepada pelaku pencemaran dan/atau perusakan lingkungan (yang notabene, dalam banyak kasus, adalah perusahaanperusahaan dengan modal besar) jika ia menolak memeriksa, mengadili, dan
279 memutus suatu kasus yang menuntut penerapan prinsip tanggung jawab langsung dalam gugatan perwakilan dengan alasan tidak ada hukum acara atau hukum formilnya. Kebutuhan bahwa hakim dituntut melakukan penemuan hukum formil juga sangat relevan dengan Value 3 (Integrity) yang menuntut hakim untuk memiliki integritas yang tidak tercela dan terjaganya keyakinan masyarakat akan integritas lembaga peradilan. Hakim yang begitu saja menolak mengadili suatu perkara karena alasan tidak ada hukum acara yang mengaturnya padahal ia tahu substansi perkara tersebut secara tegas diatur dalam hukum materiil dan menyangkut kepentingan orang banyak, seperti menjadi isu disertasi ini, akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Sebab, masyarakat akan menjadi berpikir, jangankan untuk menegakkan keadilan terhadap hal-hal yang tidak atau belum diatur dalam hukum materiil, terhadap hal-hal yang sudah jelas diatur dalam hukum materiil pun hakim ternyata begitu saja menolak mengadilinya dengan alasan tidak ada hukum hukum formil atau hukum acaranya. Perbuatan melakukan penemuan hukum formil oleh hakim juga tidak bertentangan dengan prinsip kepantasan atau kesopanan sebagaimana disebutkan dalam Value 4 (Propriety). Seorang hakim sama sekali tidak tepat untuk dikatakan tidak sopan atau tidak pantas karena ia berikhtiar melakukan melakukan upaya untuk menegakkan hukum dan keadilan yang menjadi tugasnya, yaitu dalam hal ini melakukan penemuan hukum formil. Sebaliknya,
280 hakim yang melakukan upaya demikian justru layak mendapatkan apresiasi dan pujian. Selanjutnya, prinsip yang terkandung dalam Value 5 (Equality) yang menuntut hakim untuk memperlakukan pihak-pihak dalam perkara secara sama atau setara. Dengan melakukan penemuan hukum formil terhadap suatu kasus yang ketentuannya sudah jelas diatur dalam hukum materiil, seorang hakim sama sekali tidak dapat dikatakan telah melanggar prinsip ini. Sebab, dalam kaitan dengan isu disertasi ini, penemuan hukum formil yang dilakukan oleh hakim untuk menegakkan prinsip tanggung jawab langsung dalam gugatan perwakilan yang ketentuannya telah diatur dalam hukum materiil (c.q. UUPPLH), yang di dalamnya tercakup pembebanan pembuktian kepada pihak pelaku perusakan/dan atau pencemaran lingkungan,
hal itu bukanlah
dikarenakan hakim telah berlaku tidak setara atau tidak sama kepada para pihak melainkan karena ketentuan hukum positiflah yang menentukan demikian. Maksudnya, beralihnya beban pembuktian kepada tergugat (c.q. pelaku perusakan dan/atau pencemaran lingkungan) bukanlah karena kemauan hakim melainkan karena ketentuan undang-undang selaku hukum materiil yang mengatur soal itu. Jadi, bukan hukum formilnya (yang “ditemukan” oleh hakim) yang “memindahkan” beban pembuktian itu melainkan hukum materillnya. Terakhir, penemuan hukum formil oleh hakim juga tidak bertentangan dengan prinsip yang terkandung dalam Value 6 (Competence and Diligence). Justru tindakan hakim melakukan penemuan hukum formil untuk mengadili
281 kasus yang belum ada hukum acaranya harus dinilai sebagai tingginya kompetensi dan kompetensi hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan.
4. Penemuan Hukum Formil dilihat dari Perspektif Pembaharuan Hukum (Aspek Futuristik) Setelah melakukan analisis terhadap penemuan hukum formil oleh hakim dari berbagai perspektif sebagaimana diuraikan dalam sub-sub bab angka 1 sampai dengan angka 4 di atas, penting pula untuk dilakukan analisis mengenai soal ini dari perspektif pembaruan hukum. Sebab, substansi yang menjadi isu hukum dalam disertasi ini mengandung unsur pembaruan hukum. Pembaruan hukum tersebut adalah diadopsinya prinsip tanggung jawab langsung
pada
gugatan perwakilan dalam bidang hukum lingkungan (c.q. UUPPLH) yang pada mulanya hanya dikenal di negara-negara Anglo-Saxon. Hal ini menandakan bahwa politik hukum kita, khususnya dalam bidang hukum lingkungan, memiliki semangat futuristik (berpandangan ke depan). Sayangnya, semangat futuristik yang terdapat dalam UUPPLH tersebut (sebagai hukum materiil) tidak diikuti oleh semangat yang sama dalam bidang hukum formilnya. Akibatnya, dalam praktik terjadi kendala yang terutama disebabkan oleh masih kuatnya pandangan atau pendirian konservatif hakim yang menganggap ketentuan yang bersemangat futuristik dalam UUPPLH itu tidak dapat diwujudkan dalam praktik karena belum ada hukum acara yang mengaturnya. Padahal, jika mau, sesungguhnya tidak terdapat hambatan bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum formil guna menegakkan ketentuan hukum materiil dalam UUPPLH tersebut, sebagaimana telah diuraikan pada analisis sebelumnya. Karena itulah, untuk
282 melengkapi analisis dari berbagai perspektif di atas, analisis dari perspektif pembaruan hukum atau perspektif futuristik ini menjadi relevan dilakukan. Sebagaimana dimaklumi, hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia hingga saat ini adalah hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg yang merupakan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda, yang dalam beberapa hal dirasakan sudah tidak mampu lagi memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat. Dikaitkan dengan tuntutan perubahan masyarakat menurut Ehrlich explains that the basis of free decision lies in the fact that no rule is just for all times.Consequently, a great bulk of rules of decision are determined by the changing social conditions to which they are applied.
546
Ehrlich menjelaskan
bahwa dasar dari free decision terletak pada fakta bahwa tidak ada aturan yang dapat adil setiap saat. Oleh karenanya, sejumlah besar putusan ditentukan oleh perubahan kondisi sosial dimana putusan tersebut di pergunakan. Kantorowicz presents two forms of law, namely, formal and free. Formal law is that which has completed a definite process of formation or interpretation. Free law is that which has not completed these processes.
547
Kantorowicz menyatakan terdapatnya dua
bentuk hukum, yaitu, formal dan free. Hukum formal adalah hukum yang telah menyelesaikan suatu proses pasti yang berisikan proses pembuatan dan proses interpretasi. Sedangkan, free law adalah hukum yang belum melalui proses hukum pasti tersebut.
546
Ehrlich dalam Sinha, Surya Prakash, Jurisprudence Legal Philosophy in a Nutshell, West Publishing, h. 234 547 Kantorowicz dalam Sinha, Surya Prakash, Jurisprudence Legal Philosophy in a Nutshell, West Publishing, h. 235
283 Di samping itu, selain yang diatur dalam HIR dan RBg, terdapat pula ketentuan hukum acara perdata diatur secara tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak selamanya sesuai antara yang satu dan yang lain. Keadaan demikian kerapkali menimbulkan ketidakpastian hukum karena terhadap suatu hal dapat berlaku dua atau lebih ketentuan hukum acara yang berbeda-beda. Sementara itu, di sisi lain, banyak perkembangan baru yang tidak ada pengaturannya
dalam
peraturan
perundang-undangan
sehingga
terdapat
kekosongan hukum, satu di antaranya adalah prinsip tanggung jawab langsung dalam gugatan perwakilan yang menjadi disertasi ini. Dalam pandangan seorang hakim yang progresif, hal itu seharusnya dapat mendorong hakim melakukan penemuan hukum formil untuk mengisi kekosongan hukum tersebut sehingga akhirnya ketentuan hukum materiil yang ada dapat ditegakkan melalui proses peradilan. Sikap progresif demikian bagi seorang hakim bukanlah tidak ada landasan teorinya melainkan dapat ditemukan dalam ajaran atau aliran penemuan hukum bebas (frierechtsbewegung). Menurut ajaran atau aliran ini, sebagaimana dikutip oleh Valerine J.L. Kriekhoff dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar tetap ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hakim diberi kebebasan untuk tidak secara ketat terikat kepada undang-undang. Tugas utama seorang hakim, menurut ajaran atau aliran ini, bukanlah menerapkan undangundang melainkan menciptakan pemecahan atau penyelesaian hukum terhadap
284 suatu peristiwa konkrit sehingga peristiwa-peristiwa serupa di kemudian hari dapat diselesaikan dengan baik.548 Dengan pernyataan di atas bukanlah berarti bahwa menurut ajaran atau aliran penemuan hukum bebas ini hakim atau pengadilan tidak terikat pada undang-undang melainkan bahwa undang-undang tidak memegang peranan utama tetapi hanya sebagai alat bantu bagi hakim untuk mendapatkan pemecahan atau penyelesaian yang tepat menurut hukum terhadap suatu kasus yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian menurut undang-undang.549 Karena, menurut ajaran ini, hakim mempunyai tugas menciptakan hukum bukan sekadar menerapkan undang-undang.550 Dengan kata lain, yang menjadi penekanan ajaran atau aliran ini adalah bahwa hakim harus menyelesaikan atau memecahkan masalah, bukan membiarkan masalah yang dihadapkan kepadanya tanpa penyelesaian. Untuk itu ia (hakim) tidak perlu secara ketat terikat kepada undang-undang. Pernyataan “tidak perlu secara ketat terikat pada undang-undang” ini, menurut penulis, dapat diartikan secara luas. Maksudnya, pernyataan itu berarti bahwa seorang hakim, dalam menghadapi kasus yang diajukan kepadanya, harus senantiasa berangkat dari sikap menyelesaikan masalah. Persoalan apakah terhadap masalah itu telah
548
Valerine J.L. Kriekhoff, 1997, Autonomic Legislation sebagai Sumber Hukum Formal dalam Penelitian Hukum, Pidato yang diucapkan pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap Madya pada Fakultas Hukum U.I., Sabtu 25-10-1997, Jakarta, h. 4. 549 Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Edisi Ketiga, Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo IV), h. 158. 550 Lihat Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 1995, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 149.
285 ada undang-undang yang mengaturnya atau tidak, itu soal lain, yaitu soal yang akan diselesaikannya melalui penemuan hukum. Dengan bertolak dari sikap atau pendirian demikian maka bagi seorang hakim yang berpandangan progresif atau futuristik, tidak terdapat hambatan apa pun baginya untuk melakukan penemuan hukum formil. Sebaliknya, justru melalui penemuannya dalam bidang hukum formil tersebut terhadap suatu kasus ia berharap akan memberikan pegangan bagi hakim-hakim lain jika berhadapan dengan kasus yang sama. Dilihat dari perspektif yang lebih luas, ajaran ini sesungguhnya mengandung pandangan futuristik karena meletakkan dasar bagi penyelesaian masalah-masalah serupa yang kemungkinan terjadi di kemudian hari. Sikap atau pendirian hakim yang bertolak dari ajaran atau aliran penemuan hukum bebas (frierechtsbewegung) ini juga sejalan dengan tuntutan perubahan perilaku suatu bangsa yang sedang berada dalam proses pembangunan. Sebagaimana dikatakan oleh pakar sosiologi hukum, Satjipto Rahardjo, pembangunan membawa masuk nilai-nilai baru yang antara lain berpengaruh terhadap proses penegakan hukum. Hal itu menuntut hakim untuk kreatif sekaligus inovatif dalam menghadapi kasus-kasus yang timbul dari proses pembangunan tadi.551 Hakikat pembangunan adalah perubahan dan perubahan ini menghendaki masyarakat untuk berbuat atau bertingkah laku secara baru. Sementara itu, salah satu cara untuk melembagakan perubahan tersebut ialah melalui perombakan sistem hukum yang lama menjadi baru.552 Salah satu masalah penting yang akan
551
Satjipto Rahardjo, 2011, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,Yogyakarta, h. 139. 552 Ibid.
286 ditemui dalam proses perombakan sistem hukum itu adalah masalah penegakan hukum. Hal ini penting ditekankan dalam kaitan dengan pembicaraan tentang penemuan hukum sebab, sebagaimana dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, mempermasalahkan penegakan hukum untuk pembangunan memberi kesempatan pada kita untuk : 1. Mengkaji kemampuan prosedur yang selama ini dilaksanakan dalam penegakan hukum untuk menghadapi perubahan-perubahan masyarakat. 2. Mendorong kita untuk meninjau kembali susunan nilai-nilai dan kepentingankepentingan yang selama ini dijaga oleh hukum termasuk dalam penegakannya. 3. Mengenali karakteristik penegakan hukum dalam masa pembangunan serta memikirkan desain penegakan hukum yang memadai untuk dijalankan dalam masa pembangunan.553 Dengan mencermati tiga hal penting yang ditekankan oleh Satjipto Rahardjo di atas, ketiganya sangat relevan jika dikaitkan dengan penemuan hukum formil oleh hakim, terutama jika dikaitkan dengan isu hukum yang menjadi pokok bahasan disertasi ini. Pertama, seluruh uraian pada bab ini telah membuktikan bahwa prosedur yang dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum lingkungan keperdataan, khususnya yang berkait dengan penegakan prinsip tanggung jawab langsung dalam gugatan perwakilan, ternyata tidak mampu menjawab tuntutan perubahan. Hal itu dibuktikan oleh banyaknya putusan pengadilan yang menyatakan gugatan perwakilan (yang di dalamnya tersangkut
553
Ibid, h. 144.
287 penerapan prinsip tanggung jawab langsung) tidak dapat diterima karena (sematamata) belum ada hukum acara yang mengaturnya. Kedua, putusan-putusan pengadilan yang memutuskan tidak dapat diterimanya gugatan perwakilan (yang di dalamnya tersangkut penerapan prinsip tanggung jawab langsung) juga memaksa kita untuk meninjau kembali susunan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang selama ini dijaga oleh hukum, termasuk dalam penegakannya. Artinya, dalam kaitan dengan isu hukum yang menjadi pokok bahasan disertasi ini, diadopsinya prinsip tanggung jawab langsung dan gugatan perwakilan dalam UUPPLH menunjukkan telah terjadinya perubahan dalam hal nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang dijaga dan (hendak) ditegakkan oleh hukum. Hal itu semestinya dipahami betul oleh seorang hakim. Oleh karena itu, sejalan dengan ajaran hukum bebas, hakim seharusnya terdorong untuk menegakkan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang dibawa oleh diterima prinsip tanggung jawab langsung dan gugatan perwakilan dalam UUPPLH sehingga ia (hakim) tidak merasa terhalangi oleh apa pun untuk melakukan penemuan hukum formil. Ketiga, putusan-putusan pengadilan yang memutuskan bahwa gugatan perwakilan (yang di dalamnya terkandung prinsip tanggung jawab langsung) dinyatakan tidak dapat diterima karena belum ada hukum acara yang mengaturnya dengan sendirinya menunjukkan karakteristik penegakan hukum yang lebih menampakkan peran hakim hanya sebagai corong atau mulut undang-undang. Hal itu jelas menunjukkan perlunya segera dilakukan pembaruan desain dalam penegakan
hukum
lingkungan,
khususnya
penegakan
dalam
aspek
288 keperdataannya, yaitu dengan melakukan pembaruan dalam hal hukum acaranya. Namun, sampai pembaruan dimaksud berhasil diwujudkan, tampak nyata adanya kebutuhan mendesak untuk mengisi kekosongan dalam bidang hukum acara tersebut melalui penemuan hukum oleh hakim. Dengan menunjuk pada contoh-contoh putusan pengadilan yang berkenaan dengan penegakan hukum lingkungan tidaklah mengherankan jika ada pendapat yang mengatakan bahwa sampai saat ini pengadilan masih belum berperan dalam penyelesaian sengketa lingkungan dan pada saat yang sama pemahaman terhadap hukum lingkungan pun belum memuaskan.554 Sementara itu, salah satu dampak dari pembangunan terhadap lingkungan, jika tak dijaga oleh sistem hukum yang baik, adalah rusaknya atau tercemarnya lingkungan yang berakibat sangat mengerikan terhadap kelangsungan kehidupan.555 Oleh karena itu, tepatlah apa yang dikatakan oleh law reform (pembaharuan hukum) dalam bidang hukum acara perdata dewasa ini bukan hanya relevan melainkan sangat urgen dan tidak bisa ditunda-tunda lagi.556 Dalam perspektif pembaharuan hukum seharusnya segera dilakukan karena hukum acara perdata dalam HIR dan RBg tersebut sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum berkembang seperti kebutuhan keadilan yang diinginkan oleh masyarakat akibat pencerminan dan perusakan lingkungan hidup
554
Siti Sundari Rangkuti, Op. Cit., h. 377. Heryanto Polar, 2008, Pencemaran dan Toksilogi Logam Berat, Rineka Cipta, Jakarta, h.12. 556 Bambang Sutiyoso, 2010, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Bambang Sutiyoso II), h. 107. 555
289 yang mengandung limbah B3 sesuai dengan asas tanggung jawab langsung (strict liability) masyarakat tidak perlu lagi dibebani kewajiban membuktikan kesalahan pencemar, tapi pencemarlah yang harus membuktikan dirinya tidak bersalah (pembuktian terbalik).
290 BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Berdasarkan seluruh uraian pembahasan tentang kedua permasalahan yang menjadi isu hukum utama disertasi ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 5.1.1 Bahwa hakikat asas tanggung jawab langsung yang secara historis konseptual mula-mula dikembangkan di negara-negara Anglo Saxon dan lahir dari kasus Rylands vs Fletzer di Inggris. Secara prinsip hakikat asas tanggung jawab langsung juga dapat ditemukan dalam sifat hakikat Hukum Adat Bali yang menekankan pada pemeliharaan keseimbangan kosmis, yang tidak sematamata didasarkan pada adanya kesalahan dan/atau kerugian. Asas ini dapat dikembangkan untuk mewujudkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum dalam menyelesaikan kasus-kasus akibat perbuatan manusia yang berdampak besar, luas, dan tidak dapat dihitung kerugiannya terhadap keseimbangan kehidupan manusia dan lingkungan hidupnya. Namun demikian pengembangan penerapan asas ini dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan di Indonesia masih bersifat terbatas pada kegiatan usaha yang menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dan menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. 5.1.2 Berdasarkan doktrin hukum, kewenangan hakim untuk menemukan hukum diturunkan dari ajaran "ius curia novit” yang mempraanggapkan hakim 290
291 sebagai pihak yang tahu hukum dan karenanya ia (hakim) dilarang menolak mengadili suatu perkara dengan alasan tidak ada hukumnya. Kewajiban hakim untuk menemukan hukum tersebut tidaklah terbatas bidang hukum materiil melainkan juga mencakup bidang hukum formil (dalam hal ini, hukum acara perdata yang berkenaan dengan penegakan hukum lingkungan), namun dengan tetap terikat pada asas-asas hukum acara yang berlaku umum, khsusnya dalam bukum acara perdata, kode etik dan perilaku hakim yang berlaku secara universal. Hal itu juga berlaku dalam penerapan asas tanggung jawab langsung dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan melalui gugatan perwakilan.
5.2 Saran-saran Sejalan dengan kesimpulan terhadap kedua masalah yang menjadi pokok bahasan disertasi ini sebagaimana diuraikan di atas, ada beberapa butir saran yang dapat disampaikan, yaitu: 5.2.1 Kepada pembentuk Undang-Undang (DPR dan Presiden), berkenaan dengan penegakan hukum lingkungan keperdataan disarankan agar mengintegrasikan asas tanggung jawab langsung dalam penyusunan produk hukum lingkungan keperdataan maupun penegakannya, mengingat esensi asas tanggung jawab langsung adalah pemulihan keseimbangan kosmis yang tidak semata-mata didasarkan pada adanya kesalahan dan/atau kerugian sehingga dapat menyelesaikan persoalan lingkungan hidup keperdataan secara cepat dan menjamin keadilan, kepastian serta kemanfaatan untnk umat manusia beserta
292 lingkungan hidupnya. Dengan demikian hak setiap orang akan lingkungan hidup yang baik dan sehat yang dijamin oleh Konstitusi benar-benar dapat ditegakkan dalam praktek. 5.2.2 Kepada para hakim, dalam mengadili perkara gugatan perwakilan di bidang hukum lingkungan keperdataan dengan berdasar pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan ajaran ius curia novit, disarankan untuk berani mengisi kekosongan Hukum Acara Perdata dalam menegakkan asas tanggung jawab langsung dalam bidang hukum lingkungan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH). Hakim tidak perlu menunggu sampai pembentuk undang-undang mengundangkan hukum acara baru untuk menegakkan asas tanggung jawab langsung tersebut, sebab hakim sendiri karena jabatannya memiliki kewenangan untuk melakukan penemuan hukum dalam bidang hukum acara, dalam hal ini hukum acara perdata dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan.
293 DAFTAR PUSTAKA
I. Buku A. Sonny Keraf, 2002, Etika Lingkungan, Kompas Jakarta. Abdul Muktie Fadjar, 2013, Membangun Negara Hukum yang Bermartabat, Cet. I, Setara Press, Malang. Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Abdurrahman, 1990, Pengantar Hukum Lingkungan, Citra Aditya Bakti, Bandung. Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata, Edisi I, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 87. Ade Maman Suherman, 2012, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Civil Law, Common Law, Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Agus Santoso, 2012, Hukum, Moral dan Keadilan, Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Prgressif, Cet. I, Sinar Grafika, Jakarta. Amzal Bahktiar, 2012, Filsafat Ilmu, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Andi Hamzah, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta. Andre Ata Ujan, 2009, Membangun Hukum Membela Keadilan, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta. Antonius Cahyadi dan Fernando M. Manullang, 2011, Pengantar ke Filsafat Hukum, Kencana Prenada Media Groups, Jakarta. Bahder Johan Nasution, 2011, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Cet. I, Mandar Madju, Bandung. Bambang Setiyoso, 2012, Metode Penemuan Hukum, UII Press Yogyakarta. ----------, 2010, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta.
293
294 ----------, 2012, Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, Cet. ke-4, 2012, VII Press Yogyakarta. Barda Nawawi Arief, 2008, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Bernad L. Tanya, dkk., 2010, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Cet. III, Yogyakarta. Binsar M. Gultom, 2012, Pandangan Kritis Seorang Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Brian Z. Tamanaha, 2004, On The Rule Of Law History, Politics, Theory, Cambridge University Press, New York. Budiono Kusumohamidjoyo, 2011, Filsafat Hukum, Problematik Ketertiban yang Adil, Mandar Madju, Bandung. Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice, Department of Public Information of the United Nations, New York. Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 1995, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Djohansjah, 2008, Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, Kesaint Blanc, Jakarta. Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum, Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum, Laks Bang Justitia, Surabaya. Ehrlich dalam Sinha, Surya Prakash, Jurisprudence Legal Philosophy in a Nutshell, West Publishing. E. Utrecht, 1994, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya. ----------, 1965, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Edisi Fotografi. Efa Laela Fakhriah, 2011, Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Perdata, Alumni Bandung. Fuad Ihsan, 2010, Filsafat Ilmu, Rineka Cipta, Jakarta. H. Abdul Wahid dan H. Moh. Muhibbin, 2009, Etika Profesi Hukum, Rekonstruksi Citra Peradilan di Indonesia, Bayu Media Publishing, Malang. H. M. Agus Santoso, 2012, Hukum, Moral, Keadilan, Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
295 H. Sadjijono, 2011, Bab-bab Pokok Hukum Administrasi, Cet. II, Laksbang Pressindo, Yogyakarta. H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Cet. I, Rajawali Pers, Jakarta. ----------, 2014, Perbandingan Hukum Perdata Comparative Civil Law, Cet. I, Raja Grafindo Persada, Jakarta. H.M. Efran Helmi Juni, 2012, Filsafat Hukum, Pustaka Setia, Bandung. Heru Prijanto, 2011, Hukum Pencemaran Minyak di Laut, Cet. I, Banyumedia Publishing, Malang. Heryanto Polar, 2008, Pencemaran dan Toksilogi Logam Berat, Rineka Cipta, Jakarta. I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran Hukum dan Argumentasi Hukum (Legal Reasoning and Legal Argumentation Introduction). Cet. I, Bali Age, Denpasar. ----------, 2010, Hukum Konstitusi, Problematik Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD NRI 1945, Edisi Revisi, Setara Press, Malang. ----------, 2013, Filsafat Hukum, Dimensi Tematis dan Historis, Setara Press, Malang. I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-hak Konstitusional Warga Negara, Cet. Pertama, Sinar Grafika, Jakarta. ----------, tanpa tahun, “Perkembangan Pemikiran Filsafat Hukum (Aliran-aliran Dalam Filsafat Hukum)”, Pasca Sarjana UNUD, Denpasar. I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Sistem Hukum Perijinan Berwawasan Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Cet. I, Bandung. I Nyoman Sirtha, 2007, Peran Hukum Adat Dalam Pelestarian Lingkungan Hidup Daerah (Dalam Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidu), UPT. Universitas Udayana, Denpasar. I Wayan Ardika dan Ni Luh Sutjiati Beratha, tanpa tahun, Perajin pada Masa Bali Kuno Abad IX-XI Masehi, Fakultas Sastra Universitas Udayana.
296 I. N. Nurjaya, 2008, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Perspektif Antropologi Hukum, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. Ian Curry. Summer, et.al., Juli 2010, Research Skills Instruction for Lawyers, School of Law Uttracht university, Nijmegea. Ida Bagus Wyasa Putra, 2003, Hukum Lingkungan Internasional, Perspektif Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, Cet. I. Indro Sugianto, 2013, Class Action, Setara Pres, Malang. J.A. Pontier, 2001, Penemuan Hukum Rechtvinding (terjemahan B. Arief Sidharta), Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Katolik Parhyangan, Bandung. J.J.H Bruggink, alih Bahasa B. Arief Sidharta, 2011, Refleksi tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. James R. Mac Ayeal, The Comprehensive Environmental Reponse, Compensation, and Liability act : the Correct Paradigm of Strict Liability on The Problem of Individual Causation. Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Cet. Kedua, 2012, Konstitusi Press (Konpress), Jakarta. Jimly Asshiddiqie, 2009, Green Constitution Nuansa Hijau UUD NRI 1945, Rajawali Press, Jakarta. ----------, 2012, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Cet. Kedua, Sinar Grafika, Jakarta. ----------, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. John Rawls, 1995, A Theory of Justice Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Johny Ibrahim, 2012, Metode Penelitian Hukum Normatif, Cet. Keenam, Bayu Media Publishing, Malang. Kalyani Robbins, Poved With Good Intention: The Fote of Strict Liability Under the Migratory Bird Treaty Act : 6. Kantorowicz dalam Sinha, Surya Prakash, Jurisprudence Legal Philosophy in a Nutshell, West Publishing. Khudzaefah Dimyati, 2010, “Teorisasi Hukum”, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia Tahun 1945-1990, Genta Publishing, Yogyakarta.
297 Koesnadi Hardjasoemantri, 2006, Hukum Tata Lingkungan, Edisi VIII, Cet. XIX, Gajah Mada University Press, Jogyakarta. Lawrence M. Friedman, 2001, American Law an Introduction (Hukum Amerika Sebuah Pengantar), Penerjemah Wishnu Basuki, PT. Tata Nusa, Jakarta, Indonesia. Lie Oen Hock, Jurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, Pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Luar Biasa dalam Ilmu Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masjarakat Universitas Indonesia, Djakarta, 19 September 1959. Lilik Mulyadi, 2012, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi, Cet. II, Alumni Bandung. ----------, 2009, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata Indonesia, Teori, Praktek, Teknik Membuat dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung. M. Yahya Harahap, 2008, Hukum acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta. Marhaeni Ria Siombo, 2007, Hukum Lingkungan Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, Gramedia Pustaka utama, Jakarta. Mas Achmad Santosa, 1997, Penerapan Asas Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) di Bidang Lingkungan Hidup, ICEL, Jakarta. ----------, 1997, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan (Class Action), ICEL. Michael Bogdan, 2010, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Cet. I, Nusa Media, Bandung. Mochtar Kusumaatmadja dan Arief B. Sidharta, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Buku I, Alumni, Bandung. Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung. ----------, 1982, Pengantar Hukum Internasional, Buku I-Bagian Umum, Binacipta, Bandung. ----------, 1986, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung. ----------, 1999, Pengantar Hukum Internasional, Putra Abardin.
298 ----------, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung. ----------, 2010, Dekonstruksi Hukum, Ekplorasi Teks dan Model Pembacaan, Genta Publishing, Yogyakarta. ----------, 2012, Teori Hukum Pembangunan, Edisi Pertama, Episteme Institute, Jakarta. Mohammad Taufik Makarao, 2011, Aspek-aspek Hukum Lingkungan, Indeks, Jakarta. Muhamad Erwin, 2011, Filsafat Hukum, Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Munir Fuady, 2010, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, Citra aditya Bakti, Bandung. N.E. Algra, dkk, 1983, Kamus Istilah Hukum Forchema Andreae Belanda Indonesia, Bina Cipta, Bandung. N.E. Algra, dkk., 1983, Cet. I, Mula Hukum, Beberapa Bab Mengenai Hukum dan Ilmu Untuk Pendidikan Hukum Dalam Pengantar Ilmu Hukum, Binacipta, Bandung. N.H.T. Siahaan, 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Erlangga, Jakarta. Neil MacCormick dalam Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Noer Fauzi, dkk, 2000, Otonomi Daerah Sumber Daya Alam Lingkungan, Lavera Pustaka Utama, Yogyakarta. Nomenson Sinamo, 2010, Hukum Administrasi Negara, Jala Permata Aksara, Jakarta. ----------, 2014, Filsafat Hukum, dilengkapi dengan Materi Etika Profesi Hukum, Permata Aksara, Jakarta. Novy Purwanto, “Transformasi Nilai Filsafat Tri Hita Karana Dalam Perda No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali 2009-2029”, Disertasi, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang. O. Notohamidjojo, 1975, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta Pusat.
299 Otong Rosadi, 2012, Quo Vadis Hukum Ekologi dan Keadilan Sosial, Dalam Perenungan Pemikiran (Filsafat) Hukum, Cet. I, Tafa Media, Yogyakarta. Otto Soemarwoto, 2008, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Cet. Ke-11, Penerbit Jambatan, Bandung. Paul Scholten dalam Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta. Paulus Effendi Lotulung, Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997, Ditinjau dari Aspek Hukum Perdata. Peter de Cruz, 2010, Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law dan Socialist Law, Cet. I, Nusa Media, Bandung. Peter Mahmud Marzuki I, 2006, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta. ----------, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakartah. 282. Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Cet. I, Peradaban, Surabaya. Purwoto S. Ganda Subrata, 1991, Tugas Hakim Indonesia, Dalam Penemuan Hukum dan Pemecahan Hukum, Reader III, Tim Pengakjian Hukum, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta. R. Soepomo, 2000, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta. R. Soeroso, 1999, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta. Radbruch, The Legal Philosophies of Lask, Radbruch and Dabin, 1950, Cambridge Massachusetts, Harvard University Press. Rahmadi Usman, 2003, Pembaharuan Hukum Lingkungan Nasional, Cet. I, Citra Aditya Bakti, Bandung. Rhona KM Smith, dkk, 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta. Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, Cet. 7, Grafindo Persada, Jakarta. Risalah Resmi Rancangan Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang UUPPLH, MPR-DPR, Jakarta.
300 Romli Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progressif, Cet. Pertama, Genta Publishing, Jogyakarta. Saefullah Wiradipradja, 1989, Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional, Cet. I, Liberty, Yogyakarta, h. 19. Sarjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, 1979, Perihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung. Satjipto Rahardjo, 2011, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,Yogyakarta. Sidharta, 2013, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta. Siti Sundari Rangkuti, 2000, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi II, Airlangga University Press, Surabaya. Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali, Jakarta. Sonny Keraf, 2010, Etika Lingkungan Hidup, Kompas, Jakarta. Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Edisi Ketiga, Liberty, Yogyakarta. ----------, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat, Cet. I, Liberty, Yogyakarta. ----------, 2009, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Edisi Kedua, Cet. Keenam, Liberty Yogyakarta. ----------, 2012, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta. Sukrawardi K. Lubis, 2012, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta Suparto Wijoyo, 2005, Refleksi Mata Rantai Pengaturan Hukum Pengelolaan Lingkungan Secara Terpadu, Cet. I., Airlangga University Press, Surabaya. ----------, 1999, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Settlement of Environmental Disputes), Airlangga University Press, Surabaya. Supriadi, 2010, Hukum Lingkungan Indonesia Sebuah Pengantar, Cet. 3, Sinar Grafika, Jakarta. Suwardi Endraswara, 2012, Filsafat Ilmu, Caps, Yogyakarta.
301 Syahrul Machmud, 2012, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Cet. I, Graha Ilmu, Yogyakarta. ----------, 2012, Problematika Penerapan Delik Formil Dalam Perspektif Penegakan Hukum Pidana Lingkungan di Indonesia, Mandar Maju, Bandung. Syamsuharya Bethan, 2008, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Dalam Aktivitas Industri National, Sebuah Upaya Penyelematan Lingkungan Hidup dan Kehidupan Antar Generasi, Alumni, Bandung. Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2012, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Ter Haar Bzn, 1991, Terjemahan K.Ng. Soebekti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta. The Liang Gie, 1991, Pengantar Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta. Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum, Cet. 3, Kanisius, Yogyakarta, h. 64. Tjok Istri Putra Astiti, 2007, Awig-awig Sebagai Sarana Pelestarian Lingkungan Hidup (Dalam Kearifan Lokal Pengelolaan Lingkungan Hidup), UPT Universitas Udayana, Denpasar. Valerine J.L. Kriekhoff, 1997, Autonomic Legislation sebagai Sumber Hukum Formal dalam Penelitian Hukum, Pidato yang diucapkan pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap Madya pada Fakultas Hukum U.I., Sabtu 2510-1997, Jakarta. Yappika (dalam Noer Fauzi dkk), 2000, Otonomi Daerah Sumber Daya Alam Lingkungan, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta. II. Internet-Internet Depri, 2014, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Kasus Lumpur Lapindo, Available at : http://jurnalsrigunting.com/tag/kasus-lumpur-lapindo, Diakses 13 Juni 2014. Dikutip dari http://myslawlibrary.wordpress.com/2013/06/05/kasus-lindenbaumcohen-1919, diunduh tanggal 29 Oktober 2014. Edy Purwo Saputro, 2004, Bersikap Arif atas Kasus Teluk Buyat, Available at : http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file%3Ffile%3Ffile%3Ddigital/ blob/F15002/Bersikap%2520Arif%2520atas%2520Kasus%2520Teluk%2520
302 Buyat-Ml.htm&sa=U&ei=zXmaU8uRKYT58QWj4KgAw&ved=0CB4QfjA COB4&usg=AFQjCNHKcwhlgE-GZgYQim8iNegguTerA, diakses 13 Juni 2014. Efa Laela Fakhriah, Sistem Pembuktian Terbuka Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata Secara Litigasi http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads /2012/05/pustakaunpad sistem pembuktian pdt, tanpa halaman, diakses tgl 21-4-2014, (selanjutnya disebut Efa Laela Fakhriah II). http.w.w.w.imo.org/about/conventions/listofconventions/pages/internationalconven tion-on-civil-liability-for-oil-pollution-damage-%28CLC%29. aspx, diakses tgl 26 oktober 2012. http//untreaty.un.org/cod/avl/hafbeetmhwd/beetmhwd.htm. diakses tgl. 26-10-2012. http://www.occd-nea.org/Law/nl paris conv.html. diakses tgl. 28 oktober 2012. Masnellyarti Hilman, 2014, Ribuan Ton Limbah Berisiko, Available at : http://www.kemenperin.go.id/artikel/3185/Ribuan-Ton-Limbah-Berisiko, Diakses : 13 Juni 2014. Mimin Dwi Hartono, Hak Asasi Lingkungan Hidup, http. www.unisosdem.org/article detail. php.?aid=6343&coid=1&ca--,1 of 2 diakses tanggal 14-3-2014. Prinsip #, 2002, Bangalore Principles of Judicial Conduct (Resolusi UN. Ecosoc 2006/23, “Strengthening Basic Principles of Judicial Conduct”, Annek), http://www.unodc.org/pdf/corruption_judicial_res_c.pdf, tanpa halaman, diakses Rabu, 23 April 2014. Rika Erawaty dan Siti Kotijah, Hukum Masyarakat atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat (Society Rights of a Fine and Healthy Environment, http//dianweb.org/sehat/AD15.HTM. Diakses tanggal 4-3-2014.
III. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001, Nomor 134. Hukum Acara Perdata yang berlaku HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui STB 1848 No. 16. STB 1941 No. 44 berlaku di Jawa dan Manusia dan berlaku luar Jawa dan Madura Trechtsreglemen Buitengewesten (RBg atau Reglemen Daerah Seberang STB. 1927 No. 227. Reglement of de Burgerlijk Rechtsvordering, Hukum Acara Perdata Golongan Eropa STB 1847 No. 52, 1849 No. 63.
303 Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3886). Undang-Undang Republik Indonesia No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076). Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5234). Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Lembaran Negara Tahun 2012 No. 48. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok ditetapkan di Jakarta pada Tanggal 26 April 2002.