ISSN: 2337 – 795X
ARYA SUMERTHA Perencanaan Pemanfaatan Potensi Daerah Yang Berwawasan Lingkungan, Dan Berbasis Kearifan Hukum Lokal I NYOMAN ALIT PUSPADMA
Pengaturan Hak Atas Tanah Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Ditinjau Dari Prinsip Konsistensi PUTU BAGIAARTA Pemberlakuan sistem Self Assessment Terhadap Wajib Pajak Ditinjau dari Asas Keseimbangan Dan Manfaat I MADE WIDNYANA Pengaruh Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan KUHP SIMON NAHAK
Pidana Dan Pemidanaan Yang Berorientasi Efek Jera Dalam Industri Pariwisata I MADE SEPUD Terorisme Dan Implikasi Tindak Pidana Terorisme Terhadap Perkembangan Pariwisata Bali IK. RAI SETIABUDHI Korupsi Mengoropsi: Dari Perspektif Budaya
i. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. i-i
Susunan Redaksi Jurnal Hukum - Prasada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Warmadewa
Penanggungjawab :
Dr.I Made Suwitra, S.H.,M.H (Ketua Prodi MIH Unwar)
Dewan Editor :
1. Dr. I Nyoman Putu Budiartha, S.H.,M.H.
(KETUA)
2. I Ketut Kasta Arya Wijaya, S.H.,M.H 3. I Ketut Selamet, S.E.,M.Si
(SEKRETARIS) (BENDAHARA)
ANGGOTA :
1. 2. 3. 4. 5.
Dr. Simon Nahak, S.H.,M.H Dr. I Nyoman Sukandia, S.H.,M.H Dr. IB.Putu Kumara Adi Adnyana, S.H.,M.H Dr. I Putu Bagiaartha, S.H.,M.H Dr. I Nyoman Alit Puspadma, S.H.,M.Kn.
Tata Usaha :
1. Ni Ketut Yeni, S.E 2. Ni Nyoman Astiti Asih, S.H.,M.H 3. A.A. Gede Rama Kumara Sekretariat : Program Pascasarjana Universitas Warmadewa Denpasar Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Jl. Terompong No.24 Tanjung Bungkak Denpasar (80235) Gedung G, Tlp.(0361)223858 Fax.235073, Hp. 081338658407 Kontak E-Mail :
1.
[email protected] 2.
[email protected]
ISSN: 2337-795X (International Standard Serial Number)
Daftar Isi ii DAFTAR ISI SUSUNAN REDAKSI....................................................................
i
DAFTAR ISI ................................................................................
ii
PENGANTAR REDAKSI ...............................................................
iii
ARYA SUMERTHA Perencanaan Pemanfaatan Potensi Daerah Yang Berwawasan Lingkungan, Dan Berbasis Kearifan Hukum Lokal……………………………………………….. I NYOMAN NURJAYA Kearifan Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Lingkungan Hidup : Persepektif Antropologi Hukum………………………………………………………….
PUTU BAGIAARTA Pemberlakuan sistem Self Assessment Terhadap Wajib Pajak Ditinjau dari Asas Keseimbangan Dan Manfaat………………………………………………………… I MADE WIDNYANA Pengaruh Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan KUHP……………………… SIMON NAHAK
Pidana Dan Pemidanaan Yang Berorientasi Efek Jera Dalam Industri Pariwisata ............................................................................................. I MADE SEPUD Terorisme Dan Implikasi Tindak Pidana Terorisme Terhadap Perkembangan Pariwisata Bali ........................................................................................ IK. RAI SETIABUDHI Korupsi Mengoropsi: Dari Perspektif Budaya…………………………………………
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................... BIODATA PENULIS .................................................................... PEDOMAN PENULISAN ............................................................... JURNAL HUKUM – PRASADA Semesteran ini diterbitkan oleh Program Studi Magister (S-2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Warmadewa sebagai media komunikasi dan pengembangan ilmu. Jurnal terbit setiap bulan September dan Maret. Redaksi menerima naskah artikel laporan penelitian, dan artikel konseptual resensi buku sepanjang relevan dengan misi redaksi (daya selingkung agraria dan investasi). Naskah yang dikirim minimal 15 halaman maksimal 20 halaman diketik 1,5 spasi dilengkapi abstrak bahasa Inggris dan bahasa Indonesia serta biodata penulis. Redaksi berhak mengubah naskah sepanjang tidak mempengaruhi substansi tulisannya.
iii. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. iii-iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sanghyang Widhi Wasa karena berkat-Nyalah Jurnal Hukum - Prasada Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Warmadewa Edisi Kedua (Nomor 2 Volume 1) dapat diterbitkan sesuai dengan jadwal penerbitan. Penerbitan Jurnal Hukum - Prasada, Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Warmadewa Edisi Kedua ini memuat 7 (tujuh) artikel berbagai bidang ilmu hukum. Edisi kali ini Arya Sumerta akan memaparkan pandangan dan analisisnya yang berkaitan dengan “Perencanaan Pemanfaatan Potensi Daerah Yang Berwawasan Lingkungan, Dan Berbasis Kearifan Hukum Lokal” Dari pemaparan artikelnya dikatakan bahwa pengaturan tata ruang kabupaten/kota yang berdasarkan otonomi daerah, dalam memanfaatkan sumber daya alam di daerah wajib berdasarkan atas cara-cara perlindungan lingkungan hidup dan nilai-nilai kearifan masyarakat lokal. Kemudian dilanjutkan dengan ulasan mengenai pengaturan hak-hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) ditinjau dari prinsip konsistensi yang dikupas oleh I Nyoman Alit Puspadma yang memang membidangi Hukum Agraria (Pertanahan). Putu Bagiarta akan membahas Pemberlakuan sistem Self Assessment Terhadap Wajib Pajak Ditinjau dari Asas Keseimbangan Dan Manfaat. I Made Widnyana akan memaparkan analisanya yang berkaitan dengan Pengaruh Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan KUHP. Simon Nahak akan menyajikan tulisannya yang membahas masalah Pidana Dan Pemidanaan Yang Berorientasi Efek Jera Dalam Industri Pariwisata, serta I Made Sepud mengkaji Terorisme Dan Implikasi Tindak Pidana Terorisme Terhadap Perkembangan Pariwisata Bali kemudian sebagai penutup dari Edisi penerbitan ini akan di ungkap permasalahan di bidang tindak korupsi dengan mengangkat judul artikelnya Korupsi Mengoropsi: Dari Perspektif Budaya yang di sajikan oleh I Ketut Rai Setiabudhi. Demikian pengantar dalam penerbitan edisi Kedua Tahun 2014 Jurnal Hukum Prasada, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Warmadewa Denpasar, semoga bermanfaat dan dapat menambah wawasan bagi dunia pendidikan khususnya pendidikan hukum di Indonesia. Selamat membaca. Redaksi,
Arya Sumerta. Perencanaan… 1 Perencanaan Pemanfaatan Potensi Daerah Yang Berwawasan Lingkungan, Dan Berbasis Kearifan Hukum Lokal1 Arya Sumertha2
Abstract Land usage for citizens on large cities is urgently increasing. The Limited amount of land forced the government to think about how life can take place by making development plans for city buildment. The authority of the government in realizing the state is already set on Protection Act and the Environmental Management Act No. 32 of 2009. One consideration about the establishment of the law, is that the environmental quality has been diminishing and threaten the survivability of humans and other beings. So, we need protection and environmental management seriously and consistently by all means. Protection Act and Environmental Management provide guidance for any environmental managers about how to plan, use, control, maintaining, and monitoring the environment based on a combination of aspects of environmental, social, and economic development strategies to ensure the integrity of environment’s safety, ability, well-being and quality of life for present and future generations to come. Keynote: The Develofpment Plans Of Environmental, Local Potensial, Local Genius. Abstrak Pemanfaatan lahan bagi kepentingan kehidupan ekonomi semakin mendesak dalam kehidupan manusia di kota-kota besar. Terbatasnya lahan memaksa pemerintah untuk memikirkan bagaimana kehidupan dapat berlangsung dengan melakukan pembangunan yang berencana. Kewenangan pemerintah dalam mewujudkan hak menguasai negara telah menetapkan Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan yakni UU NO. 32 Tahun 2009. Salah satu pertimbangan dibentuknya undang-undang tersebut yakni, bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan prikehidupan manusia dan makhluk hidup lainya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kehidupan. Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup, memberikan pedoman bagi setiap pengelola lingkungan tentang bagaimana melakukan: perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan dan pengawasan lingkungan yang tetap berbasis pada upaya memadukan aspek lingkungan hidup, social, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan yang akan datang. Kata kunci: Perencanaan Pengelolaan lingkungan hidup, Potensi daerah, Kearifan Lokal 1 Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Regional, Perencanaan wilayah Kota Yang Berwawasan Lingkungan dan Berbasis Kearifan Lokal,diselenggarakan oleh Program Pascasarjana
Universitas Warmadewa,Pada tanggal 10 Juli 2013 di Program Pascasarjana Universitas Warmadewa, Denpasar,Bali. 2 Dosen Tetap Hukum Administrasi, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Jl. Pulau Bali,No.1 Denpasar, Bali
2. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 I. PENDAHULUAN Cita-cita luhur dalam kehidupan bernegara memberikan arah yang jelas dalam menentukan tujuan-tujuan yang hendak akan dicapai oleh pengurus negera. Begitu pula bagi Negara Indonesia arah negara telah ditetapkan pada alinea ke-empat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dinyatakan antara lain: “... untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social, maka...”3 Konsekuensi hukum bahwa, pemerintah wajib melaksanakan kegiatan yang berorientasi kesejahteraan rakyat tidak semata mata hanya mengurus urusan pemerintahan saja. Salah satu tugas Pemerintah yakni menyelenggarakan penataan ruang yang dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pernyataan ini ditegaskan oleh para pendiri negara dengan melakukan pengaturan pada Pasal 33 Ayat (3) UUD Negara RI 1945 yakni: “bumi, dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Makna menguasai negara bukan berarti negara memiliki tetapi melakukan pengaturan terhadap sumber daya alam. Hal ini dipertegas lagi pada: 1. Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA ) : Hak menguasai dari Negara termaksud dalam Ayat 1 memberi wewenang untuk: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
3
Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945
Arya Sumerta. Perencanaan… 3 b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa 2. Pasal 2 Ayat (3) Wewenang yang bersumber pada Hak Mengusai dari negara tersebut pada Ayat (2) Pasal ini dipergunakan untuk mendapatkan sebesarbesar kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.4 Dari ketentuan di atas negara sebagai organisasi kekuasaan mengatur dari membuat peraturan, menyelenggarakan, persediaan dan pemeliharaan dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam terkandung di dalamnya, serta menentukan dan mengatur hak-hak apa saja yang dikembangkan dari hak menguasai negara. Dalam kaitan dengan hak menguasai tersebut salah satu tindakan pemerintah adalah dengan melakukan penataan terhadap peruntukan bumi, air dan ruang angkasa dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang (UUPR) yang selanjutnya diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Kehadiran Undang-undang Penataan Ruang merupakan induk dan payung bagi penentuan norma khusus yang berlaku pada suatu tempat atau yang berlaku untuk sebagian masalahnya (sektoral). Disebutkan demikian karena terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengertian ruang, yang memberikan juga kewenangan bagi Pemerintah daerah untuk melakukan pengaturan yang meliputi:5
4
A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, CV.Mandar Maju, Bandung, 1993. Hlm.38 5 Ateng Syafrudin, Penataan Ruang Kehidupan Tantangan Bagi Pemerintah di Daerah, Makalah untuk diskusi Panel Mahasiswa Fakultas Hukum UNPAR, Bandung,1993.Hlm 4.
4. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 a. b. c. d.
Undang-undang Gangguan Undang Pokok Agraria Undang-undang pengairan Undang-undang Lingkungan/Undang-undang dan Pengelolaan Lingkungan e. Undang-undang Kehutanan f. Undang-undang Tentang Jalan
Perlindungan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintah antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota maka salah satu urusan wajib yang dilaksanakan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota adalah penataan
ruang,
sehingga
masing-masing
kabupaten/kota
dan
provinsi
berwenang untuk membentuk pengaturan tataruang di wilayahnya dengan mempertimbangkan pemerintahan
yang
bahwa urusan dibagi
tata ruang adalah
bersama
antara
termasuk
tingkatan
urusan
dan/susunan
pemerintahan. Pelaksanaan urusan pemerintahan daerah tentu sangat berbeda antara pemerintah daerah satu dengan yang lainnya karena kondisi sumber daya alam, dan kemampuan sumberdaya manusia dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan mensejahterakan masyarakatnya. Upaya menuju kesejahteraan rakyat salah satu ditempuh
melalui
otonomi daerah, sehingga cara ini menjadikan pilihan guna mempercepat proses pelayanan masyarakat menuju masyarakat yang adil dan sejahtera. Pernyataan ini dipertegas Rondinelli dan Cheema dalam definisnya bahwa: “Otonomi daerah adalah proses pelimpahan wewenang perencanaan, pengambilan keputusan/pemerintahan dari pemerintah pusat kepada organisasi unit-unit pelaksana daerah, kepada organisasi semi-otonum dan parastatal ataupun kepada pemerintah daerah atau organisasi non pemerintah”.6 6
Mas’ud Said, Arah Baru Otonomi Di Indonesia, UMM Press.Malang, 2008. Hlm.5
Arya Sumerta. Perencanaan… 5 Dengan otonomi daerah maka pemerintah daerah akan berwenang mengatur, mengurus urusan pemerintahan, dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam system Negara kesatuan Republik Indonesia. Perjalanan otonomi daerah sebagai hasil reformasi dari sisi pengaturan terdapat pada Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
yang selanjutnya diganti
dengan Undang-undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sejak saat itu Pemerintah daerah memiliki kewenangan yang besar untuk perencanaan,
merumuskan, melaksanakan,
serta
mengevaluasi
kebijakan
program pembangunan yang sesuai dengan keperluan dan tuntuan masyarakat setempat. Ini berarti Pemerintah daerah tidak hanya sekedar sebagai pelaksana operasional kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan dan ditentukan pusat seperti sebelumnya tetapi telah menjadi agen penggerak pembangunan di daerah. Sebagai suatu konsekuensi otonomi daerah, maka masyarakatnya sendiri akan dengan mudah dan cepat dapat melakukan penilaian tentang apapun yang dibuat oleh pemerintah daerah terutama kebijakan terkait dengan adanya pendapatan atau sisi ekonomi. Permasalahan baru timbul apakah dalam pelayanan public termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam di daerah, pemerintah daerah/kota telah memformulasikan atau menata lebih
baik
berdasrkan
dan melaksanakan kebijakannya kearah yang
perunangan
berlaku
atau
justru
sebaliknya
6. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 memutarbalikkan kondisi masyarakat menuju lebih buruk atau bagaimanakah cara mengatur rencana wilayah Kota yang berbasis lingkungan dan kearifan lokal? II. UPAYA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LINGKUNGAN HIDUP Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pada hakekatnya merupakan pedoman pengaturan bagi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Unsur perencanaan ruang merupakan hal terpenting karena dari ketentuan tersebut dapat melakukan seleksi pada semua kegiatan yang berhubungan dengan ruang yakni tempat manusia dan makhluk hidup lainya melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Makna ruang merupakan wadah atau tempat atau lingkungan
jika dikaitkan
dengan Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan adalah: kesatuan ruang, dengan semua benda, daya keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.7 Wilayah juga didefinisikan sebagai bagian permukaan bumi yang memiliki kesamaan berdasarkan unsur tertentu yang dipilih, juga dapat dilihat sebagai ruang huni dan ruang kegiatan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan alamnya. Pada umumnya interaksi manusia dengan lingkungan alamnya adalah dalam kegiatan ekonomi, menurut Sadono Sukirno, wilayah sebagai ruang ekonomi dibedakan menjadi tiga pengertian wilayah :8
7
8
Undang-undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1 point 1.
Sadono Sukirno, Beberapa Aspek Dalam Persoalan Pembangunan Daerah, Lembaga Penerbit UI, Jakarta, 1976, dalam Edi Mulyadi, Kerangka Elemen dan Citra Wilayah, Tarsito, Bandung, 1993. Hlm.3-7.
Arya Sumerta. Perencanaan… 7 1. Wilayah sebagai ruang kegiatan ekonomi yang berlangsung dalam berbagai pelosok ruang yang sifatnya sama, wilayah ini sering dinamakan sebagai homogenus region. Penekanan pada
adanya
persamaan sifat-sifat tertentu. 2. Wilayah ekonomi adalah, ruang yang dikuasai oleh satu atau beberapa pusat kegiatan. Dalam hal ini sering disebut wilayah modal. 3. Wilayah suatu ekonomi ruang yang berada di bawah suatu administrtasi tertentu, misalnya provinsi, kabupaten dan desa. Terkait dengan makna wilayah dalam tata ruang dikaitan dengan jenis wilayah
tersebut
ruang”yakni
maka
keadaan
cenderung
geografis
untuk
yang
membahas
berada
dalam
“wilayah
ekonomi
lingkungan
hukum
administrasi tertentu atau kewenangan pemerintah baik provinsi maupun kabupaten. Selanjutnya istilah wilayah dalam Perlindungan dan pengelolaan lingkungan identik dengan ekoregion yakni, wilayah geografis yang memiliki kesamaan iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas system alam dan lingkungan hidup.9 Jenis wilayah tertentu berakibat perlunya adanya suatu keharusan pengaturan (atura hukum) di wilayah tersebut untuk mewujudkannya dan sangat tergantung
pada
obyek
wilayah/perwilayahan
apa
yang
(regionalisasi)
hendak
diatur.
didefinisikan
Menurut
sebagai
Glasson
usaha
untuk
menentukan batas wilayah yang biasanya lebih besar daripada struktur pemerintah loKal, dengan maksud untuk mengefektifkan dan mengefisiensikan pemerintahan dan perencanaan, baik lokal maupun nasional dan tuntutan perwilayahan berasal dari tiga golongan yakni,
9
Undang-undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1 point 29
8. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 1. golongan yang menghendaki desentralisasi, 2. golongan yang menghedaki reorganisasi pemerintah lokal, 3. golongan yang menginginkan adanya system perencanaan tata guna tanah yang lebih efisien.10 Wilayah perencanaan, merupakan gabungan wilayah formal dan wilayah fungsional,
sehingga
sifatnya
mencerminkan
keduanya.
Pada
wilayah
perencanaan terdapat kegiatan terhadap wilayah tersebut sehingga merupakan perpaduan antara kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dalam rangka menyelesaikan masalah regional. Kegiatan perencanaan dan pelaksanaan rencana pembangunan terdapat skal makro maupun mikro melalui pembangunan di wilayah, sub wilayah, kawasan, sektor, sarana-prasarana dan sebagainya.11 Wilayah pembangunan merupakan hal terpenting dalam studi wilayah karena terdapat tahapan yaitu, pengenalan, penelaahan, peramalan, dan perencanaan wilayah yang didukung oleh informasi dan strategi kewilayahan. Istilah “tekhnis perencanaan” sering disamakan dengan “kawasan”, kata “Zone” dan kata” park”. Berdasarkan Kep.Men No. 640/KPRS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota bahwa kawasan merupakan suatu wilayah yang batasnya ditentukan berdasarkan pengamatan fungsi tertentu. Jadi dalam wilayah terdapat kawasan-kawasan tertentu. Aspek perencanan ruang, merupakan hal penting karena perencanaan akan menjadi dasar penataan. Perencanaan merupakan proses mengumpulkan
10
Glasson, Terjemahan Paul Sihotang Pengantar Perencanaan Regional, LPEUI, Jakarta,
11
Melville
1977
C.
Branch,
Terjemahan
Bambang
Hari
Konprenhensif, Gadjah Mada Univ, Press, Yogjakarta, 1995. Hlm 15
Wibisono,
Perencanaan
Kota
Arya Sumerta. Perencanaan… 9 informasi, membuat rekumendasi, dan melakukan tindakan yang didahului dengan analisis untuk mempelajari situasi dan mencapai kesimpulan yang rasional berkaitan dengan kebutuhan ruang, sasaran, dan arahan yang terbaik. Dengan kata lain dalam perencanaan terdapat tahapan berpikir yakni, analisis data, kebijaksanaan berdasar pengetahuan, rancangan (desain) yakni rumusan sajian rencana. Sebuah perencanaan dalam sisi hukum administrasi negara memerlukan kajian karena berdampak pada masyarakat luas hal ini dikuatkan Prajudi Atmosudirjo yang menyatakan, bahwa rencana adalah seperangkat tindakan–tindakan terpadu dengan tujuan agar terciptalah suatu keadaan yang tertib bilamana tindakan tersebut dituangkan dalam satu keputusan administrasi negara yang bersifat perbuatan hukum (rechtshandeling) sehingga tercipta akibatakibat hukum administrasi negara yang mengikat para warga masyarakat yang bersangkutan kepada pihak penguasa satu sama yang lainnya untuk memastikan supaya tertib keadaan yang dikehendaki benar-benar tercapai.12 Aspek pemanfaatan ruang, sebagai unsur dalam perencanaan ruang, segi pemanfaatan menjadi bahasan penting karena akan berdampak pada rusaknya sumberdaya alam. Pemanfaatan bersinonim pada, guna, faedah, atau fungsi. Pemanfaatan sendiri bermakna sebagai suatu upaya yang mendatangkan hasil guna sesuai dengan yang diinginkan atau direncanakan. Terkait dengan ruang, pemanfaatan berdasarkan pendekatan wilayah fungsionil yang membagi menjadi kawasan budidaya dan kawasan lindung berdasarkan tingkatan kedalaman tinjauan pemanfaatan.13
12
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrsi Negara, Ghalia Indonesia,Jakarta,1981, Hlm.96
13
A.P Parlindungan, Op.Cit, Hlm.11
10. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 Hak atas ruang mencakup hak atas kualitas ruang yang ditentukan oleh terwujudnya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan pemanfaatan ruang yang mengindahkan faktor-faktor daya dukung lingkungan seperti; struktur tanah, siklus tanah, siklus hidologi, siklus udara, dan fungsi lingkungan. Aspek Pengendalian Pemanfaatan Ruang dapat dilakukan dengan kegiatan
pengawasan
dan
penertiban
terhadap
pemanfaatan
ruang.
Pemanfaatan ruang akan sesuai dengan rencana tata ruang jika dilakukan dengan dengan pengendalian pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang. Pengawasan sendiri sebagai usaha untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam tata ruang. Penertiban adalah untuk mengambil tindakan agar rencana tersebut terwujud, dan mengambil tindakan terhadap semua pelanggaran ataupun kejahatan yang dilakukan. Penetapan RTRW ke dalam bentuk Peraturan daerah berdasarkan atas kewenangan daerah provinsi dan Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan ataupun menangani urusan wajib sebagaimana yang diatur ada pada Pasal 13 Ayat (1) junto Pasal 14 Ayat (1) Undang-undnag Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerinthan Daerah. Dalam kedua ketentuan tersebut dinyatakan bahwa: “Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota yang antara lain meliputi: perencanan, pembanfaatan dan pengawasan tata ruang” Jadi Perda RTRW merupakan bentukan pemanfaatan ruang bagi setiap kegiatan pembangunan daerah. RTRW daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi acuan bagi pemerintah daerah yang bersangkutan untuk mengarahkan lokasi dan pemmanfaatan ruang dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfatan ruang di daerah tersebut, yang sekaligus menjadi
Arya Sumerta. Perencanaan… 11 dasar dalam memberikan rekumendasi oleh pemerintah daerah setempat. Secara legalitas pengaturan tentang perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang merupakan urusan wajib dan kewenangan daerah berdasarkan atas Undang-undang Pemerintahan daerah dan pembagian urusan antara pusat dan daerah. Berdasarkan hak menguasai dari Negara Pada Pasal 33 ayat (3) dan (4) yang kemudian diturunkan kepada pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota untuk menata wilayah di daerah setempat, memiliki tujuan yang sama yakni mewujudkan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Dalam mewujudkan kemakmuran rakyat tentu akan dilakukan pemanfaatan dengan mengelolan sumber daya alam sehinga dapat menghasilkan nilai ekonomi. Adapun perekonomian
yang
diselenggarakan
dikehendaki
berdasarkan
atas
adalah
perekonomian
demokrasi
ekonomi
nasional dengan
yang prinsip
kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Secara umum pengaturan tentang hubungan hukum antara orang dengan bumi (sumber daya alam) diatur pada ketentuan Pasal 14 Ayat (1) Undangundang Pokok Agraria bahwa, “Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia membuat suatu
rencana umum
mengenai persediaan, peruntukan
dan
penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dengan mengacu pada keadaan daerah masing-masing”. Perencanaan pemanfaatan sumber daya alam diperlukan karena tidak semua kandungan potensial yang ada di bumi dapat diperbarui atau bersifat
12. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 sangat terbatas, sehingga jika tidak diatur akan memungkinkan pemborosan pemanfaatan dan sangat berbahaya bagi konsep pembangunan berkelanjutan. Kepedulian akan sumber daya alam pada lingkungan hidup oleh Pemerintah terpikirkan setelah adanya pertemuan-pertemuan yang dilakukan bangsa di Eropa yang diawali dengan adanya Konperensi PBB tentang Lingkungan Hidup Tanggal 5-16 Juni 1972 yang diselenggaran di Stockholm selalu meneriakkan akan bencana alam pencemaran oleh negara maju
yang diakibatkan oleh
kesalahan pengelolaan lingkungan. Deklarasi Stockholm membentuk satu organisasi yang membawahi pembangunan pada negara-negara berkembang yakni United Nations Emvironment Programe (UNEP) telah jelas menggariskan hubungan lingkungan dengan pembangunan, jika pada negara maju terdapat peringatan” hentikan pertumbuhan” ( the limits to growth) sebaliknya negara berkembang
sedang
melakukan
pembangunan,
sehingga
pada
negara
berkembang berlaku salah satu prinsip Deklarasi Stockholm yang menetapkan, bahwa negara-negara berkembang wajib menyusun perencanaan pembangunan dengan memperhitungkan lingkungan hidup ( eco-development) Pemerintah kemudian mengadopsi deklarasi tentang lingkungan hidup dengan melakukan pengaturan tentang Pengelolaan lingkungan mulai
dari
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982, dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
kemudian terakhir Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Keberadaan undang-undang lingkungan, merupakan jawaban dari kewajiban negara yang sedang melakukan pembangunan, dan merupakan perintah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 terutama, Pasal 28H yakni,”Setiap orang berhak hidup
Arya Sumerta. Perencanaan… 13 sejahtera lahir dan bathin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Ini berarti Pemerintah wajib mewujudkan lingkungan yang sehat bagi kesehatan warganya seperti dipertegas lagi pada tujuan perlindungan dan pengeloaan yaitu, antara lain menjamin keselamatan, kesehatan dan kehidupan manusia serta menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup melalui keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup dengan mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana. Kemudian alasan berikutnya, bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Undang-Undang
Perlindungan
Dan
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
mengatur bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup terdapat kegiatan meliputi: perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui tahapan: inventarsasi, penetapan wilayah ekoregion dan penyusunan Rencana Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). Inventarisasi lingkungan dilaksanakan untuk mendapatkan data dan informasi secara tepat tentang sumber daya alam yang meliputi: potensi dan ketersediaan, jenis yang dimanfaatkan, bentuk penguasaan, pengetahuan pengelolaan, bentuk kerusakan, dan konflik serta penyebab konflik yang timbul
14. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 akibat pengelolaan sumber daya alam. Inventarisasi lingkungan hidup terdapat pada skala tingkat nasional, tingkat kepulauan dan tingkat wilayah ekoregion. Penetapan wilayah ekoregion oleh menteri setelah berkoordinasi dengan instansi terkait berdasarkan atas inventarisasi lingkungan hidup yang diperoleh pada tingkat nasional dan tingkat pulau. Penetapan wilayah ekoregion diperoleh dengan mempertimbangkan adanya unsur kesamaan tentang: karatersitik bentang alam, daerah aliran sungai, iklim, flora dan fauna, social budaya, ekonomi,
kelembagaan
inventarisasi
lingkungan
masyarakat
dan
di
wilayah
tingkat
hasil
inventarisasi
ekoregion
sedangkan
dilakukan
untuk
menentukan daya dukung dan daya tampung serta cadangan sumber daya alam. Setelah terpenuhi data inventarisasi dan penetapan wilayah ekoregion maka baik pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten selanjutnya menyusun Rencana Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). Pada kabupaten /kota dalam penyusunan RPPLH wajib berdasarkan : 1. RPPLH provinsi 2. Inventarisasi tingkat pulau/kepulauan 3. Inventarisasi tingkat ekoregion RPPLH kabupaten/kota disusun dengan kewenangan bupati/wali kota dan dalam peraturan daerah kabupaten/kota dengan memperhatikan: keragaman karakter dan fungsi ekologis, sebaran penduduk, sebaran potensi sda, kearifan lokal, partisipasi masyarakat dan perubahan iklim. Sesungguhnya rencana perlidungan dan pengelolaan lingkungan hidup di dalamnya memuat rencana tentang: a. Pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam b. Pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan
Arya Sumerta. Perencanaan…15 c. Pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam d. Adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan RPPLH merupakan pegangan bagi setiap pihak berkaitan dengan pemanfaatan lingkungan dan bagi daerah yang belum memilikinya pemanfaatan sumber daya alam didasarkan atas daya tampung dan daya dukung lingkungan yang diatur dalam peraturan pemerintah. Tahap
paling
penting
dalam
menyelamatkan
lingkungan
adalah
bagaimana mengendalikan kegiatan/pengelolaan sehingga dapat mencegah pencemaran dam kerusakan lingkungan. Langkah pengedalian lingkungan meliputi; pencegahan, penanggulangan dan pemulihan. Jika diamati sifat pengedalian, pencegahan adalah yang paling di depan untuk menyeleksi kegiatan lingkungan. Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas: a. KLHS (Kajian lingkungan hidup strategis) b. Tata ruang c. Baku mutu lingkungan d. Criteria baku kerusakan lingkungan hidup e. Amdal f.
UKL-UPL
g. Perizinan h. Instrument ekonomi lingkungan hidup i.
Peraturan berbasis lingkungan hidup
j.
Anggaran berbasis lingkungan hidup
16. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 k. Analisis risiko lingkungan hidup l.
Audit lingkungan hidup
m. Instrument lain sesuai kebutuhan Dalam penyelamatan lingkungan semua instrument pencegahan di atas satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) memuat kajian tentang: a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembengunan b. perkiraan mengetahui dampak dan risiko lingkungan hidup c. kinerja layanan/jasa ekonomi d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim f.
tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati
KLHS sebagai pengendali lingkungan hidup wajib dimuat dalam rencanat tata ruang wilayah, rencanan pembangunan jangka panjang dan rencana pembangunan jangka menengah guna menghasilkan pemanfaatan lingkungan terintegritasi . Perizinan sebagai pengendali lingkungan mempunyai fungsi terakhir dalam menyeleksi setiap kegiatan terhadap sumber daya alam. Fungsi izin mengingatkan bagi pemerintah harus sangat berhati-hati dalam menerbitkan izin lingkungan. Kewenangan pemerintah terkait dengan lingkungan didasarkan Pasal 36 (1) UUPPLH bahwa,” setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan”. UUPPLH merinci lebih lanjut bahwa kegiatan yang wajib amdal adalah kegiatan yang berdampak penting
Arya Sumerta. Perencanaan… 17 terhadap lingkungan hidup. Adapun dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan lingkungan dikaitkan dengan: a. besarnya jumlah penduduk terkena dampak b. luas wilayah penyebaran c. intensitas lamanya dampak d. banyaknya komponen terkena dampak e. sifat komulatif f.
berbalik atau tidak berbaliknya
g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan Sedangkan kegiatan yang tergolong berdampak penting bersyarat amdal adalah: a. pengubahan bentuk dan bentang alam b. eksploitasi sumber daya alam terbarui/tidak c. potensial menimbulkan pencemaran, pemborosan dan kemerosotan SDA d. proses dan kegiatan yang menghasilkan terganggunya lingkungan alam, lingkungan buatan serta lingkungan social budaya e. proses dan hasil yang mengganggu pelestarian konservasi f.
interodukasi jenis makhluk hidup
g. bahan proses menggunakan bahan hayati non hayati h. mempunyai resiko tinggi i.
penerapan tehnologi berpotensi berpengaruh terhadap lingkungan hidup.
Selain kegiatan yang tergolong seperti di atas maka sebagai langkah pencegahan digunakan UKL-UPL (Upaya pengeloaan lingkungan dan Upaya
18. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 pemantauan lingkungan). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan disebutkan, Izin lingkungan adalah “izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat memperoleh izin usaha dan/kegiatan”. Penyusunan UKL-UPL dan Amdal yang dipergunakan sebagai alasan permohonon izin kegiatan lingkungan wajib menyusun berdasarkan, rencana detil tata ruang kabupaten/kota atau tat ruang kawasan strategis kabupaten/kota. Apabila ternyata rencana usaha tidak sesuai dengan tata ruang maka UKL-UPL tidak diperiksa dan wajib dikembalikan. Perencanaan tata ruang kota juga sebaiknya memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal, karena untuk mencegah benturan-benturan kegiatan dalam pemanfaatan lingkungan dengan nilai budaya masyarakat setempat. Berdasarkan hasil penelitian pemerhati lingkungan bahwa masyarakat lokal di Asia dan Amerika latin, memiliki kapasitas budaya, sistem pengetahuan dan tekhnologi, religi, tradisi, serta modal sosial (social capital) seperti etika, dan kearifan lingkungan, norma-norma dan institusi hukum untuk mengelola sumber daya alam secara bijaksana dan berkelanjutan.14 Nilai kearifan lokal bagi bangsa Indonesia diakui dengan pemahaman Bhineka Tunggal Ika pada lambang negara, burung Garuda.
Salah satu nilai
local adalah hidupnya budaya yang beranekaragan di Negeri ini, sehingga dalam hal penataan ruang pusat telah memberikan otonomi kepada daerah untuk mengaturnya. Daerah setempat diberikan ruang untuk menata pemanfaatan 14 N.Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya alam dalam Perspektif Antropologi Hukum, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2008, Hlm.175
Arya Sumerta. Perencanaan… 19 tanah/wilayah tetentu bersama-sama dengan pengakuan hak-hak masyarakat yang mendukung negara kesatuan. Lebih jauh Nurjaya mengatakan, bahwa kehidupan ekologi akan memposisikan kepentingan dari pemilik modal dan tehnologi oleh negara maju (citra masyarakat modern) berhadapan dengan masyarakat tradisional (citra masyarakat trdisional) sehingga masyarakat tradisional bekerja dengan magis-kosmis yaitu menempatkan lingkungan /sumber daya alam sebagai sesuatu terpisah dengan manusia tetapi saling mempengaruhi, untuk itu lingkungan wajib tetap dijaga karena terdapt ketergantungan. Lingkungan harus diberlakukan dan dimanfaatkan secara bijaksana dan bertanggung jawab sesuai daya dukung ( carrying capacity) dan kemampuannya agar tidak menimbulkan bencana bagi kehidupan manusia. III.PENUTUP Pengaturan tata ruang kabupaten/kota yang berdasarkan otonomi daerah, dalam memanfaatkan sumber daya alam di daerah wajib berdasarkan atas cara-cara perlindungan lingkungan lingkungan hidup dan nilai-nilai kearifan masyarakat lokal, dengan demikian perlahan-lahan terdapat upaya untuk mengendalikan kepentingan otonomi demi terciptanya lingkungan yang lestari guna mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
20. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 DAFTAR PUSTAKA A.P Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1993 -------------------------, Tanya Jawab Hukum Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1994.S -------------------------, Komentar Atas Undang-undang Penataan Ruang, Mandar Maju, Bandung, 1993 Bagirmanan, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah, menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1994 I Gde Pantja Astawa, Problematik Hukum Otonomi Daerah di Indonesia, Alumni, Bandung, Alumni, Bandung, 2008. I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Perspektif Antropologi Hukum, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2008 Karl R.Popper, terjemahan Alfons Taryadi, Efistemologi Pemecahan Masalah, PT.Gramedia, Jakarta, 1989. Mas’ud, Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia, UMM Press. Malang, 2008 Paul Sihotang (terjemahan), Pengaturan Rencana Regional, LPEUI, Jakarta, 1977 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012, tentang Izin Lingkungan
I Nyoman Alit Puspadma. Pengaturan… 21 Pengaturan Hak Atas Tanah Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Ditinjau Dari Prinsip Konsistensi I Nyoman Alit Puspadma1
Abstract The main source of Basic Agricultural Law (BAL) is customary law. Therefore various Land Rights (LR) are set in the BAL, consequently LR is also the major sources of customary law. BAL determines eight LR or even more, given the provisions of Article 16 paragraph (1) h which gives the opportunity for it. In line with it, there are two problems raised, namely: 1) How BAL and customary law regulates LR? 2) How is the setting of LR based on the BAL viewed from the principle of consistency? This study uses statutory approach, concepts and analytical approaches, the legal form of the BAL material and GR 40/1996, books and dictionaries. Conclusions obtained: a) BAL set eight individual LR or even more, while the customary law regulates two individual LRs, b) LR concept in the BAL is consistent with customary law; the principle of LR in BAL is consistent with customary law, whereas LR institutions in the BAL exceed LR set in customary law. Keywords: BAL, Customary Law, Land Rights, Consistency. Abstrak Sumber utama UUPA adalah hukum adat. Oleh karena macam-macam HAT diatur dalam UUPA, dengan sendirinya HAT juga bersumber utama pada hukum adat. UUPA menentukan delapan HAT bahkan bisa lebih, mengingat ketentuan Pasal 16 ayat (1) h memberi peluang untuk itu. Terkait dengan itu, ada dua permasalahan yang didapat, yaitu: 1) Bagaimanakah UUPA dan hukum adat mengatur HAT? 2) Bagaimanakah pengaturan hak-hak atas tanah menurut UUPA tersebut bila ditinjau dari prinsip konsistensi? Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan analitik, dengan bahan hukum berupa UUPA dan PP 40/1996, buku-buku serta kamus bahasa. Simpulan yang didapat: a) UUPA mengatur delapan HAT indivudual bahkan bisa lebih, sedangkan hukum adat mengatur dua HAT individual; b) konsep HAT dalam UUPA konsisten dengan hukum adat; asas HAT dalam UUPA konsisten dengan hukum adat, sedangkan lembaga-lembaga HAT dalam UUPA melebihi jumlah HAT yang diatur dalam hukum adat. Kata kunci: UUPA, Hukum Adat, Hak Atas Tanah, Konsistensi.
1
Dosen Tetap Kontrak Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Warmadewa, Jln. Terompong No. 24, Tanjung Bungkak, Denpasar Telp/fax: 03618445788 HP: 087861550342, flexi 0361-7916621 Email:
[email protected]
22. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sumber hukum tanah nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (LN. 1960 – 104, TLN. 2043), selanjutnya disebut UUPA, adalah hukum adat. Hal tersebut tercantum dalam Konsideran Berpendapat hurup a UUPA, yang menyatakan: bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam pertimbanganpertimbangan di atas perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Selain itu, ketentuan Pasal 5 UUPA juga menyatakan sebagai berikut: Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undangundang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Lebih lanjut ditegaskan dalam Penjelasan Umum angka III (1) alinia kedua UUPA, sebagai berikut: Dengan sendirinya hukum agraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum dari pada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistis dan masyarakat swapraja yang feodal. Menurut Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, “Sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional adalah hukum adat”. 2 Lebih lanjut Boedi
2
Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, 2008, Kewenangan Pemerintah di Bidang
Pertanahan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm: 15.
I Nyoman Alit Puspadma. Pengaturan… 23 Harsono menyatakan, dengan mengambil hukum adat sebagai sumber utama berarti, bahwa hukum tanah nasional (HTN) menggunakan konsepsi, asas-asas dan lembaga-lembaganya hukum adat, dengan peraturan-peraturannya yang berbentuk hukum perundang-undangan disusun menurut sistemnya hukum adat.3 Bertolak dari ketentuan dan pendapat-pendapat tersebut di atas, khususnya pendapat Boedi Harsono, maka hukum agraria nasional, khususnya hukum tanah dan dalam tulisan ini khusus mengenai hak atas tanah (HAT), bersumber utama dari hukum adat. Oleh karena hak-hak atas tanah bersumber dari hukum adat, maka baik konsepsi, maupun asas-asas, serta lembagalembaga HAT yang diatur dalam hukum tanah nasional bersumber utama dari hukum adat. 1.2. Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang masalah tersebut di atas, dapatlah dirumuskan permasalahannya sebagai berikut: 1. Bagaimanakah UUPA dan hukum adat mengatur hak-hak atas tanah? 2. Bagaimanakah pengaturan hak-hak atas tanah menurut UUPA tersebut bila ditinjau dari prinsip konsistensi? II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hak-hak Atas Tanah Menurut UUPA Selama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini ada dan selama bangsa Indonesia ini ada, maka selama itu pula seluruh bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk ruang yang terdapat di atas 3 Boedi Harsono, 2007, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas Trisakti, Jakarta, hlm: 6.
24. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 permukaan bumi sebatas tidak ditentukan sebagai ruangan yang bebas menurut hukum Internasional, adalah merupakan hak bangsa Indonesia. Hak bangsa Indonesia atas seluruh bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk ruang yang ada di atas permukaan bumi tersebut adalah merupakan kekayaan nasional Indonesia, yang bersatu sebagai suatu bangsa yaitu bangsa Indonesia. Dengan menggunakan kata ‘seluruh’ dalam kalimat tersebut di atas, menunjukkan bahwa tidak ada bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya berikut ruang yang terdapat di atas permukaan bumi tersebut yang terletak di wilayah NKRI yang tidak dimiliki dan tidak dikuasai oleh bangsa Indonesia. Dengan menggunakan kata ‘selama’ dalam kalimat tersebut di atas, tercermin bahwa hubungan antara bangsa Indonesia dengan seluruh bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya beserta ruang yang terdapat di atas permukaan bumi tersebut yang terdapat dalam wilayah NKRI adalah merupakan hubungan yang bersifat abadi. Hubungan yang bersifat abadi antara bangsa Indonesia dengan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk ruang yang ada di atas permukaan bumi tersebut termakna dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) UUPA. Menurut Boedi Harsono, ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUPA tersebut dimaknai sebagai Hak Bangsa Indonesia (selanjutnya disebut hak bangsa).4 Hak bangsa adalah merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk ruang yang ada di atas permukaan bumi tersebut. Demikian pula halnya dengan tanah, maka hak
4
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, cetakan kesembilan edisi revisi, hlm: 230.
I Nyoman Alit Puspadma. Pengaturan… 25 bangsa atas tanah adalah merupaka hak penguasaan atas tanah yang tertinggi.5 Karena hak bangsa atas tanah merupakan hak penguasaan yang tertinggi, maka hak-hak atas tanah yang lain, termasuk hak ulayat dan hak-hak individual atas tanah, secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa tersebut.6 Hak bangsa atas seluruh tanah yang terdapat dalam wilayah NKRI tersebut menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUPA adalah merupakan kekayaan nasional. Kata ‘kekayaan’ menunjukkan adanya hubungan keperdataan, yaitu kepunyaan, artinya seluruh tanah yang terdapat dalam wilayah NKRI adalah kepunyaan bangsa Indonesia secara bersama-sama. Menurut Boedi Harsono: “Hubungan kepunyaan menurut artinya yang asli memberi wewenang untuk menguasai sesuatu sebagai empu-nya, artinya sebagai tuan-nya”,7 artinya sebagai pemilik. Bangsa Indonesia merupakan pemilik atas seluruh tanah yang terdapat dalam wilayan NKRI, sehingga dalam hal ini hak bangsa beraspek perdata. Selain beraspek perdata, hak bangsa atas tanah juga beraspek publik. Hal tersebut dapat dimaknai dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUPA, yang menyatakan, bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
5
Ibid. Baca juga Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria: Kajian Konprehensif, Kencana, Jakarta, hlm: 77-78. 6
Boedi Harsono, 2003, loc cit, hlm: 230-231.
7
Boedi Harsono, 2003, loc cit. hlm: 232.
26. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 merupakan sumber utama kehidupan bangsa Indonesia, sehingga tanah harus dikelola dengan baik agar tidak saja dapat memenuhi kehidupan masa sekarang, tetapi juga dapat memenuhi kehidupan masa yang akan datang, atau dapat memenuhi kehidupan dari generasi ke generasi. Oleh karena tanah merupakan sumber kehidupan dari generasi ke generasi atau lintas generasi, maka tanah harus dikelola dengan baik. Tugas untuk mengelola tanah yang berkaitan dengan mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama tersebut, menurut sifatnya termasuk bidang hukum publik (beraspek publik).8 Tugas mengelola seluruh tanah yang terdapat dalam wilayah NKRI diserahkan kepada Negara. Hal tersebut diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undangundang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang menyatakan: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan tersebut selanjutnya dituangkan kembali dalam Pasal 2 UUPA. Khusus mengenai hak menguasai dari Negara, diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, yaitu: (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa. c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UUPA, khususnya ketentuan Pasal 2 ayat (2) b, maka ditentukanlah macam-macam HAT, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UUPA, khususnya ayat (1) sebagai berikut:
8
Boedi Harsono, 2003, loc. cit. hlm: 233.
I Nyoman Alit Puspadma. Pengaturan… 27 Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya bermacam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badanbadan hukum. Lebih lanjut mengenai HAT diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, yaitu: a) hak milik; b) hak guna usaha; c) hak guna bangunan; d) hak pakai; e) hak sewa; f) hak membuka tanah; g) hak memungut hasil hutan; h) hal-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undangundang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53. Dengan demikian UUPA menentukan lebih dari delapan HAT, yang terdiri dari: 1) hak milik, 2) hak guna usaha, 3) hak guna bangunan, 4) hak pakai, 5) hak sewa, 6) hak membuka tanah, 7) hak memungut hasil hutan, 8) hak-hak lainnya diluar hak yang bersifat sementara (HAT yang bersifat sementara seperti: pembebanan hak, yaitu: Hak Tanggungan, Hak Guna Bangunan/Hak Pakai Di Atas Tanah Hak Milik). Delapan HAT yang dimaksud adalah terdiri dari tujuh HAT yang telah ditentukan dalam UUPA tersebut di atas, dan hak-hak lain yang ditetapkan dengan undang-undang. Karena ketentuan Pasal 16 ayat (1) h menyebutkan ‘hak-hak lain’, yang berarti jamak, sehingga terdapat kemungkinan hak-hak lain tersebut terdiri lebih dari satu HAT. Sehingga tidak tertutup kemungkinan HAT yang ditentukan oleh UUPA dapat lebih dari delapan HAT. 2.2. Hak-hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat Konsep hak milik atas tanah menurut hukum adat di Indonesia, terkait erat dengan tanah adalah komunalistik, dengan semangat gotong royong dan
28. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 kekeluargaan diliputi suasana religius. Tanah merupakan tanah bersama dalam satu kelompok teritorial atau genealogik, hak-hak perorangan (individual) atas tanah bersumber dari hak bersama tersebut. Hal tersebut ditegaskan oleh Boedi Harsono, sebagai berikut: Hukum Tanah Adat yang murni berkonsepsi komunalistik, yang mewujudkan semangat gotong-royong dan kekeluargaan, yang diliputi suasana religius. Tanah merupakan tanah bersama kelompok teritorial atau genealogik. Hakhak perorangan atas tanah secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bersama tersebut. Oleh karena itu, biarpun sifatnya pribadi, dalam arti penggunaannya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, berbeda dengan hak-hak dalam Hukum Tanah Barat, sejak kelahirannya sekaligus dalam dirinya sudah terkandung unsur kebersamaan. Yang dihaki dengan hak-hak individual tersebut adalah sebagian dari tanah bersama, yang dalam kepustakaan disebut tanah ulayat.9 Sifat hukum adat adalah dinamis, maka hukum adat mudah menerima pengaruh dari luar sepanjang masyarakat hukum adat tersebut menerimanya. Demikian pula halnya dengan hukum tanah adat, sangat mudah menerima pengaruh dari luar. Hal tersebut sesuai dengan peryataan Boedi Harsono, sebagai berikut: Biarpun demikian, sebagai hukum yang hidup, Hukum Tanah Adat tidak luput dari pengaruh masyarakat lingkungan tempat berlaku dan bertumbuhnya. Masyarakat Hukum Adat itu pun pada gilirannya juga mengalami pengaruh dari masyarakat dan suasana sekelilingnya juga mengalami pengaruh dari masyarakat modern yang kapitalistik dan masyarakat swapraja yang feodal. Karena itu, pada kenyataannya Hukum Tanah Adat yang berlaku sudah tidak seluruhnya murni lagi.10 Konsep hak milik atas tanah dalam hukum adat adalah bersifat komunal, dengan mengakui hak individu yang bersumber dari hak kumunal tersebut. Sehingga dalam hukum adat, walaupun seseorang memiliki hak milik atas tanah, tetapi hak milik tersebut tetap merupakan bagian dari hak komunal dalam 9
Boedi Harsono, 2003, loc.cit., hlm. 62.
10
Boedi Harsono, 2003, loc.cit.
I Nyoman Alit Puspadma. Pengaturan… 29 komunitas masyarakat hukum adat setempat. Menurut Supomo seperti yang dikutip Oloan Sitorus: Di dalam Hukum Adat manusia bukan individu yang terasing yang bebas dari segala ikatan dan semata-mata mengingat keuntungan sendiri, melainkan adalah anggota masyarakat. Di dalam Hukum Adat, yang primer bukanlah individu, melainkan masyarakat. Karena itu, menurut tanggapan Hukum Adat, kehidupan individu adalah kehidupan yang terutama diperuntukkan buat mengabdi kepada masyarakat. Dalam pada itu, maka hak-hak yang diberikan kepada individu adalah berkaitan dengan tugasnya dalam masyarakat. 11 Konsep hukum adat yang dikemukakan Supomo tersebut menempatkan hak bersama merupakan hal yang utama, baru kemudian dari hak bersama tersebut timbul hak individu. Hak bersama terletak di atas hak individu, hak komunal (ulayat) terletak di atas hak individu. Setiap tanah yang terdapat dalam lingkungan masyarakat hukum adat “dipandang sebagai tanah bersama”,12 yang “merupakan pemberian/anugrah dari suatu kekuatan gaib, bukan dipandang sebagai sesuatu yang diperoleh secara kebetulan atau oleh karena kekuatan daya upaya masyarakat adat tersebut”. 13 Berdasarkan pemahaman atas konsepsi di atas, maka differensiasi Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT) menurut Hukum Adat terdiri atas: Hak Ulayat (hak komunal) dan hak-hak individual atas tanah. Hak Ulayat merupakan HPAT yang tertinggi dalam Hukum Adat. Dari Hak Ulayat, karena proses individualisasi dapat lahir hak-hak perorangan (hak individual).14
11 Oloan Sitorus, 2004, Kapita Selekta Perbandingan Hukum Tanah, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, hlm: 21. 12
Ibid.
13
Ibid.
14
Ibid.
30. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 Menurut Herman Soesangobeng, sebagaimana dikutip oleh Olosan Sitorus, bahwa hak individu atas hak Ulayat lahir melalui proses perhubungan penguasaan yang nyata atas tanah. Timbulnya HAT diawali dari pemilihan lahan berdasarkan Hak Wenang Pilih, dilanjutkan dengan pemberitahuan kepada kepala masyarakat adat dan pemasangan tanda-tanda larangan, maka lahirlah Hak Terdahulu. Selanjutnya setelah hutan dibuka dan lahannya digarap serta diolah, maka lahirlah Hak Menikmati. Setelah Hak Menikmati berlangsung cukup lama dan penggarapan lahan dilakukan secara terus menerus, maka berubah menjadi Hak Pakai. Akhirnya setelah penguasaan dan pemakaian itu berlangsung sangat lama sehingga terjadi pewarisan kepada generasi berikutnya, maka Hak Pakai itu berubah menjadi Hak Milik.15 Berdasarkan paparan tersebut di atas, maka HAT individual menurut hukum adat berdiri di atas hak ulayat dan timbulnya melalui proses yang bertingkat-tingkat. Diawali dengan Hak Wenang Pilih, selanjutnya timbul Hak Terdahulu/Hak Didahulukan, diikuti dengan timbulnya Hak Menikmati, setelahnya timbul Hak Pakai dan terakhir timbul Hak Milik. Jadi menurut hukum adat, HAT individual yang tertinggi adalah hak milik. Hak milik, hak pakai dan hak-hak lainnya tersebut merupakan bagian dari hak ulayat, dengan kata lain semua HAT individual meenurut hukum adat berdiri di atas hak ulayat. 2.3. Prinsip Konsistensi Menurut W.J.S. Poerwadarminta, prinsip berarti asas (kebenaran yang jadi pokok dasar orang berpikir, bertindak, dan sebagainya. 16 Asas artinya sama dengan dasar atau alas.17
15
Loc. cit. Hlm: 24.
16
W.J.S. Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
17
Op. cit. hlm: 63.
hlm: 911
I Nyoman Alit Puspadma. Pengaturan… 31 Kata ‘konsistensi’ berasal dari kata ‘konsisten’ yang merupakan kata sifat. Kata konsisten berubah menjadi konsistensi yang mengakibatkan kata sifat berubah menjadi kata keadaan. Menurut W.J.W. Poerwadarminta, konsisten berarti tetap, selaras, sesuai.18 Dengan pengertian itu, maka kata konsisten itu berarti bersifat tetap atau bersifat selaras atau bersifat sesuai, sehingga kata konsistensi berarti dalam keadaan tetap atau dalam keadaan selaras atau dalam keadaan sesuai. Berdasarkan uraian tersebut di atas, yang dimaksud prinsip konsistensi dalam tulisan ini adalah ‘berasaskan keadaan yang selaras’ atau ‘berasaskan keadaan yang sesuai’. Selarasnya atau sesuainya antara pikiran dan perbuatan. III. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif. Pada penelitian ini dikhususkan terhadap konsistensi dari UUPA dalam pengaturan hak-hak atas tanah yang bersumber utama dari hukum adat. Terkait dengan itu, penelitian ini menggunakan metode pendekatan perundangundangan (statute approach), yaitu suatu pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani,19 pendekatan konsep (conceptual approach), yaitu suatu pendekatan dengan memahami unsur-unsur abstrak yang ada dalam peraturan perundang-undangan. “Konsep hukum adalah konsep konstruktif dan
18
19
Op. cit. hlm: 611.
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hl:. 93.
32. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 sistematis yang digunakan untuk memahami sebuah aturan hukum”,20 dan pendekatan analitik (analytical approach), digunakan untuk mendapatkan hasil yang akurat terhadap penelitian hukum normatif. Menganalisis artinya mencari hakekat, makna yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan secara konseptual, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktek. Menurut Johnny Ibrahim: Maksud utama analisis terhadap bahan hukum adalah mengetahui makna yang dikandung oleh iltilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundangundangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan putusan-putusan hukum. Hal itu dilakukan melalui dua pemeriksaan. Pertama, sang peneliti berusaha memperoleh makna baru yang terkandung dalam aturan hukum yang bersangkutan. Kedua, menguji istilahistilah hukum tersebut dalam praktik melalui analisis terhadap putusanputusan hukum.21 Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, berupa UUPA, PP 40/1996 dan hukum adat khususnya mengenai hak-hak atas tanah, bahan hukum sekunder berupa buku-buku yang berisikan tentang pengertian hak-hak atas tanah menurut UUPA dan hukum adat, serta bahan hukum tersier, berupa kamus bahasa Indonesia. Penganalisisan dilakukan dengan cara interpretasi hukum dan deskriptif analitik. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaturan Hak Atas Tanah Menurut UUPA Telah diuraika di atas, bahwa HAT tertinggi di Indonesia adalah Hak Bangsa yang termuat dalam Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) UUPA. Oleh karena HAT tertinggi adalah hak bangsa, maka seluruh HAT lain yang ada, termasuk hak
20
Bernard Arief Sidharta, 2008, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, cetakan kedua, hlm: 154. 21 Johnny Ibrahim, 2008, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, Cetakan Keempat, hlm: 310.
I Nyoman Alit Puspadma. Pengaturan… 33 ulayat dan hak individual berdiri di atas hak bangsa tersebut. Hak bangsa adalah merupakan hak komunal yang tertinggi, yang meliputi seluruh wilayah NKRI. Sehingga hak komunal dari masyarakat hukum adat lokal yang ada dalam wilayah NKRI, seperti hak masyarakat hukum adat (hak komunal) di Bali, berdiri di atas hak bangsa tersebut. Hak bangsa atas tanah bermakna, bahwa setiap jengkal tanah yang terdapat dalam wilayah NKRI merupakan hak dari bangsa Indonesia secara bersama-sama (komunal), sehingga seluruh Warganegara Indonesia (WNI) adalah merupakan pemilik bersama atas seluruh tanah yang ada dalam wilayah NKRI. Berdasarkan hak bangsa, seorang WNI salah satu suku di Papua yang tinggal di Papua adalah juga merupakan pemilik dari tanah yang ada di Aceh, demikian pula sebaliknya. Oleh karena banyaknya pemilik atas tanah yang ada dalam wilayah NKRI (tanah merupakan milik bersama), sehingga menimbulkan kesulitan dalam pengaturannya. Untuk menghindari kesulitan dalam pengaturan tersebut, maka bangsa Indonesia menyerahkan penguasaan atas tanah kepada Negara Indonesia. Penyeraran pengaturan tanah kepada Negara tersebut dikenal dengan Hak Menguasai dari Negara (HMN) dan diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 jo Pasal 2 UUPA. Berdasarkan HMN tersebut, maka diaturlah macam-macam HAT yang boleh dimiliki oleh orang, baik sendiri maupun secara bersama-sama dengan orang lain. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, selanjutnya Pasal 16 UUPA menentukan nama dari HAT tersebut, yaitu: 1) hak Milik, 2) hak Guna Usaha, 3) hak Guna Bangunan, 4) hak Pakai, 5) hak Sewa, 6) hak Membuka Tanah, 7) hak Memungut Hasil Hutan, dan 8) hak-hak lainnya yang ditentukan dengan undang-undang.
34. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 Pengaturan tentang difinisi, subjek, timbulnya, sampai dengan hapusnya hak Milik diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 UUPA, hak Guna Usaha diatur dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 34 UUPA, hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 UUPA, hak Pakai diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 UUPA, hak Sewa diatur dalam Pasal 44 dan 45 UUPA dengan judul Hak Sewa Untuk Bangunan, sedangkan hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan digabung dan diatur dalam satu pasal, yaitu Pasal 46 UUPA. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) h UUPA, yang menyatakan: hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang, ternyata tidak ditemukan undangundang mengenai HAT termaksud, yang ada hanyalah Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah (LN. 1996 – 58, TLN. 3643) selanjutnya disebut PP 40/1996. Pasal 1 ayat (2) PP 40/1996 menyebutkan: Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Menyimak difinisi Hak Pengelolaan (HPL) adalah merupakan pelimpahan sebagian kewenangan pelaksanaan dari HMN, maka HPL bukanlah merupakan HAT yang beraspek hukum privat, melainkan beraspek hukum publik. HMN berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUPA, memberi wewenang kepada Negara untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah, menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum atara orang-orang dengan tanah, serta menentukan dan
I Nyoman Alit Puspadma. Pengaturan… 35 mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum mengenai tanah. Berdasarkan difinisi HPL seperti tersebut di atas, maka pemegang HPL tidak berhak untuk menjual ataupun menjaminkan tanahnya tersebut kepada pihak lain, akan tetapi pemegang HPL berhak memberikan sebagian atau seluruh tanahnya tersebut kepada pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan digunakan untuk keperluan tertentu pula. Biasanya pemegang HPL memberikan hak Guna Bangunan (HGB) dengan jangka waktu maksimal tiga puluh tahun kepada pihak lain (WNI atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia), apabila tanah tersebut digunakan untuk keperluan bangunan (bangunan kantor, toko, maupun rumah), atau memberikan hak Pakai dengan jangka waktu maksimal duapuluh lima tahun kepada pihak lain (WNI, Warganegara Asing/WNA, badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia), apabila tanah tersebut digunakan untuk keperluan pertanian (WNI), maupun untuk keperluan bangunan rumah atau kantor (WNA atau badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia).22 Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapatlah disimak bahwa pengaturan HAT menurut UUPA dimulai dari hak bangsa sebagai hak yang tertinggi. Oleh karena bangsa Indonesia terdiri dari banyak orang yang menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya, maka bangsa Indonesia menyerahkan kekuaasaannya atas tanah kepada Negara Indonsia, yang disebut dengan Hak Menguasai dari Negara (HMN). Dengan HMN ini Negara Indonesia melalui Pemerintah mempunyai wewenang untuk mengatur dan menentukan hak-hak atas tanah
22
Baca Pasal-Pasal: 19, 21, 25,39, 41, 45, PP 40/1996.
36. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 yang dapat dimiliki oleh orang (subyek hak). Selanjutnya ditentukanlah hak atas tanah yang dapat dipunyai subyek hak atas tanah, yaitu: 1) hak Milik, 2) hak Guna Usaha, 3) hak Guna Bangunan, 4) hak Pakai, 5) hak Sewa, 6) hak Membuka Tanah, 7) hak Memungut Hasil Hutan, dan 8) hak-hak lain, yang untuk sementara ini hanya ada hak Pengelolaan. Dari pengertian ini dapatlah disimpulkan, bahwa menurut UUPA HAT individual berdiri di atas hak bangsa. Sehingga dengan demikian setiap HAT individual tidak akan ada apabila tidak ada hak bangsa. 4.2 Pengaturan Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat Telah diuraikan di atas, bahwa timbulnya HAT menurut hukum adat yang dikemukakan oleh Herman Soesangobeng, diawali dengan hak ulayat. Hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat biasanya berupa suatu kawasan tanah hutan yang terletak di sekitar tempat perkampungan masyarakat hukum adat tersebut tinggal. Selanjutnya seorang anggota masyarakat hukum adat tersebut memilih sebidang tanah yang berada di dalam kawasan hukum adatnya, setelah dia menentukan tanahnya, selanjutnya diberi tanda batas dan memberitahukan kepada tetua adatnya. Setelah dia membeir tanda batas dan memberitahukan kepada tetua adatnya, selanjutnya dia membuka dan mengolah tanah tersebut. Setelah tanah tersebut diolah secara terus menerus dan berkesinambungan, akhirnya tanah tersebut diwariskan kepada anak cucunya. Berdasarkan paparan tersebut di atas, maka HAT individual menurut hukum adat berdiri di atas hak ulayat dan timbulnya melalui proses yang bertingkat-tingkat. Diawali dengan Hak Wenang Pilih, yaitu seseorang memilih sebidang tanah yang akan digarapnya, selanjutnya timbul Hak Terdahulu/Hak
I Nyoman Alit Puspadma. Pengaturan… 37 Didahulukan,
yaitu
tanah
yang
telah
dipilihnya
tersebut
diberi
tanda
batas/larangan dan memberitahukannya kepada tetua adat. Setelah itu diikuti dengan timbulnya Hak Menikmati, yaitu hak Membuka dan Mengolah tanah, setelahnya timbul Hak Pakai, yaitu pengolahan tanah secara tetap dan terus menerus, dan terakhir timbul Hak Milik, yaitu setelah tanah tersebut diwariskan. Dengan demikian, menurut hukum adat HAT individual berdiri di atas hak komunal/ulayat, dengan macam-macam HAT sebagai berikut: 1) Hak Wenang Pilih, 2) Hak Terdahulu/Hak Didahulukan, 3) Hak Menikmati, 4) Hak Pakai, dan 5) Hak Milik. 4.3 Pengaturan Hak Atas Tanah Menurut UUPA Ditinjau dari Prinsip Konsistensi Sumber utama UUPA adalah hukum adat, oleh karenanya demi memenuhi prinsip konsistensi maka baik konsepsi, asas-asas, maupun lembaga-lembaga HAT menurut UUPA selayaknya bersumber utama dari hukum adat. Konsepsi HAT menurut hukum adat adalah, bahwa HAT tertinggi adalah hak komunal, yaitu hak bersama dari segenap anggota masyarakat hukum adat. Hak komunal pengaturannya berada di tangan tetua adat, dan hak komunal tersebut
beraspek
hukum
publik,
karena
tetua
adat
yang
memegang
kewenangan atas hak komunal tersebut, hanya berwenang memberikan atau menolak memberikan hak individual kepada anggota masyarakat hukum adat. HAT individual diakui keberadaannya, hanya saja HAT individual tersebut berdiri di atas hak komunal. Artinya, tanpa adanya hak komunal maka hak individual tidak akan ada. HAT individual inilah yang beraspek hukum privat, karena HAT individual ini dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pemegang haknya.
38. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 Hukum adat menurut Supomo seperti yang dikutip Oloan Sitorus, adalah sebagai berikut: Di dalam Hukum Adat manusia bukan individu yang terasing yang bebas dari segala ikatan dan semata-mata mengingat keuntungan sendiri, melainkan adalah anggota masyarakat. Di dalam Hukum Adat, yang primer bukanlah individu, melainkan masyarakat. Karena itu, menurut tanggapan Hukum Adat, kehidupan individu adalah kehidupan yang terutama diperuntukkan buat mengabdi kepada masyarakat. Dalam pada itu, maka hak-hak yang diberikan kepada individu adalah berkaitan dengan tugasnya dalam masyarakat.23 Bertolak dari pendapat Supomo tersebut, asas yang terkandung dalam HAT individual bukanlah untuk memberikan keuntungan kepada si pemegang hak
semata,
melainkan
memberikan
masyarakat hukum adat tersebut.
keuntungan
juga
kepada
anggota
Masyarakat yang didahulukan, setelah itu
baru individu. Jadi HAT individu tidak akan mungkin menghilangkan kepentingan masyarakat hukum adat terhadap tanah tersebut. Hak-hak atas tanah atas tanah individual menurut hukum adat timbul karena adanya proses individualisasi dari HAT komunal. Proses individualisasi dari HAT komunal menjadi HAT individual tersebut, selain melalui beberapa tahapan juga membutuhkan waktu yang lama. Proses tersebut diawali dengan Hak Wenang Pilih, selanjutnya timbul Hak Terdahulu/Hak Didahulukan, setelahnya timbul Hak Menikmati, dialnjutkan dengan timbulnya Hak Pakai dan terakhir timbul Hak Milik. Proses individualisasi HAT menurut hukum adat agar menjadi Hak Milik terjadi melalui lintas generasi, karena Hak Milik baru terjadi apabila tanah telah diwarisi oleh ahli waris dari pemegang Hak Pakai. Dengan demikian lembaga-lembaga HAT menurut hukum adat hanyalah Hak Pakai dan Hak Milik, karena hanya Hak Pakai dan Hak Milik beraspek hukum privat, sedangkan Hak Wenang Pilih, Hak Terdahulu/Hak Didahulukan, maupun Hak Menikmati belum merupakan HAT individual. 23
Oloan Sitorus, op. cit. hlm. 21.
I Nyoman Alit Puspadma. Pengaturan… 39 Hak Wenang Pilih belum merupakan HAT, karena Hak Wenang Pilih baru merupakan hak untuk memilih tanah yang akan diindividualisasi oleh subyek hak. Hak Wenang Pilih hanya merupakan pemilihan tanah yang akan diindividualisasi oleh subyek hak. Hak Terdahulu/Hak Didahulukan juga belum merupakan HAT, karena subyek hak hanya memiliki hak didahulukan (preferen) dari subyek hak lainnya atas tanah tertentu, sehingga subyek hak yang memiliki Hak Terdahulu/Hak Didahulukan tersebut memiliki hak utama/didahulukan dari subyek hak lainnya untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut. Demikian pula halnya dengan Hak Menikmati. Dengan Hak Menikmati subyek hak hanya dapat menikmati hasil dari tanah yang dikuasainya. Apapun hasil dari tanah tersebut, merupakan
hak
dari
pemegang
Hak
untuk
menikmati
atau
memanfaatkan/menggunakan/mengambil hasil dari tanah tersebut. Berbeda dengan Hak Pakai dan Hak Milik. Subyek hak Pakai, dapat mengolah tanah tersebut untuk mendapatkan hasil sesuai yang dibutuhkannya. Sehingga dengan demikian pemegang hak pakai mempunyai keinginan untuk selalu memelihara tanah tersebut dan menambah kesuburannya guna memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Setelah pengolahan tanah hak pakai tersebut dilakukan secara terus menurut oleh pemegan haknya, bahkan berlanjut sampai dia meninggal dunia dan tanah tersebut tetap diolah oleh ahli warisnya, maka timbulah Hak Milik. Jadi ahli waris dari subyek hak pakai tersebut mendapatkan Hak Milik atas tanah tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapatlah disimak bahwa lembaga HAT individual menurut hukum adat adalah hak Pakai dan hak Milik. Hak Pakai maupun hak Milik adalah HAT individual yang beraspek privat.
40. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 Konsepsi HAT menurut UUPA, bahwa HAT yang tertinggi adalah Hak Bangsa. HAT individual diakui keberadaannya, akan tetapi HAT individual tersebut berdiri di atas Hak Bangsa. Dengan demikian tanpa adanya Hak Bangsa tidak akan ada HAT individual. Hak Bangsa dapat beraspek hukum publik dan dapat juga beraspek hukum privat. Hak Bangsa atas tanah tersebut dalam penguasaannya diserahkan kepada Negara dan Negara melalui Pemerintah melaksanakan tugas penguasaan tersebut dan disebut dengan Hak Menguasai dari Negara (HMN). Berdasarkan HMN tersebut pemerintah mempunyai wewenang untuk: mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan atas tanah, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan tanah, serta menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah. Karena wewenang pemerintah dalam HMN ini bersifat mengatur saja, maka wewenang tersebut hanya beraspek hukum publik dan tidak memiliki aspek hukum privat. Seluruh tanah yang terdapat dalam wilayah NKRI adalah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, sehingga seluruh tanah tersebut merupakan kekayaan nasional. Karena merupakan kekayaan nasional, maka seluruh WNI wajib memelihara keberadaannya, sehingga tanah di NKRI tidak saja dapat memenuhi kebutuhan bagi generasi sekarang, namun juga dapat memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang. Singkatnya agar tanah dapat bermanfaat dari generasi ke generasi atau lintas generasi. Selain itu, oleh karena tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, maka sebagaimana sifatnya Tuhan
I Nyoman Alit Puspadma. Pengaturan… 41 akan memberikan karunia kepada semua orang, sehingga tanah tersebut didahulukan untuk bermanfaat bagi semua orang, baru kemudian bermanfaat bagi pribadi pemilik haknya. Mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribagi tersebut tercermin dalam ketentuan Pasal 6 UUPA, yang menyatakan: Semua hak atas tanah berfungsi sosial. Lebih jauh dijelaskan dalam Penjelasan Umum II angka (4) UUPA, yang menyatakan: Dasar yang keempat diletakkan dalam pasal 6, yaitu bahwa: Semua hak atas tanah mempunyai fungsi social. Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara. Bertolak dari Penjelasan Umum II angka (4) UUPA tersebut, jelaslah bahwa HAT individual tidak akan menghilangkan kepentingan masyarakat luas terhadap tanah tersebut. Hak-hak atas tanah menurut UUPA adalah: 1) hak Milik, 2) hak Guna Usaha, 3) hak Guna Bangunan, 4) hak Pakai, 5) hak Sewa, 6) hak Membuka Tanah, 7) hak Memungut Hasil Hutan, dan 8) HPL. Dengan demikian lembaga HAT menurut UUPA berjumlah delapan macam, dengan mengingat ketentuan Pasal 16 ayat (1) h UUPA, jumlah tersebut dapat bertambah. V. PENUTUP 5.1 Simpulan Setelah membaca uraian dalam Hasil dan Pembahasan tersebut di atas, maka dapatlah ditarik simpulan sebagai berikut:
42. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 a. UUPA memiliki delapan macam HAT, bahkan kemungkinan bisa lebih. Adapun hak-hak atas tanah menurut UUPA adalah: 1) hak Milik, 2) hak Guna Usaha, 3) hak Guna Bangunan, 4) hak Pakai, 5) hak Sewa, 6) hak Membuka Tanah, 7) hak Memungut Hasil Hutan, dan 8) Hak Pengelolaan. Sedangkan menurut hukum adat, HAT terdiri dari dua macam, yaitu hak Pakai dan hak Milik. b. Dari sudut konsep HAT, UUPA konsisten dengan hukum adat. Hanya bedanya kalau hukum adat mengakui HAT individual berdiri di atas hak Komunal, sedangkan UUPA mengakui HAT individual berdiri di atas Hak Bangsa. Dari sudut asas HAT, UUPA konsisten dengan hukum adat, yaitu bahwa HAT individual tidak menghilangkan kepentingan umum. Dari sudut lembaga HAT, UUPA kurang konsisten, karena kalau menurut hukum adat HAT individual hanya terdiri dari dua macam hak, yaitu hak Pakai dan hak Milik, sedangkan UUPA memiliki delapan HAT individual bahkan mungkin bisa lebih. 5.2 Saran Demi memenuhi prinsip konsistensi, selayaknya UUPA hanya mengatur dua macam HAT seperti yang diatur dalam hukum adat, yaitu hak Pakai dan hak Milik. Hak Milik hanya diberikan kepada WNI, sedangkan hak Pakai dapat diberikan kepada WNI dan selain WNI termasuk badan hukum dan badan hukum sosial/keagamaan, serta perwakilan Negara sahabat, dengan jangka waktu selama tanah tersebut dipergunakan untuk keperluan tertentu. Sedangkan mengenai kegunaannya harus sesuai dengan Tata Ruang setempat. Konsep HAT dan asas HAT yang diatur UUPA telah memenuhi prinsip konsistensi, sehingga layak dipertahankan. Lembaga-lembaga HAT yang diatur
I Nyoman Alit Puspadma. Pengaturan… 43 UUPA tidak memenuhi prinsip konsistensi, sehingga layak untuk ditinjau kembali. Untuk memenuhi prinsip konsistensi, maka lembaga-lembaga HAT individual dalam UUPA sebaiknya mengikuti pengaturan dalam hukum adat. DAFTAR PUSTAKA Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008. Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, cetakan kedua, 2008. Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas Trisakti, Jakarta, 2007. ____________, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, cetakan kesembilan edisi revisi, 2003. Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, Cetakan Keempat, 2008. Oloan Sitorus, Kapita Selekta Perbandingan Hukum Tanah, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, 2004. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2008. Urip Santoso, Hukum Agraria: Kajian Konprehensif, Kencana, Jakarta, 2012. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2006. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (LN. 1960 – 104, TLN. 2043). Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah (LN. 1996 – 58, TLN. 3643).
44. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 Pemberlakuan Sistem Self Assessment Terhadap Wajib Pajak Ditinjau Dari Asas Keseimbangan Dan Manfaat Putu Bagiaarta1
Abstract The main functions of the Directorate General of Tax are to collect state revenue through imposing taxes based on budget and based on regulation. Should it is critically observed the implementation of those two functions seem ambivalent which is the Directorate General of Tax must secure the state revenue as much as what have been targeted on the one hand but on the other hand it must control the regulation so as it will not interfere the business development and it must even provide benefits. The illustration is like boxing with one hand tied. In addition, self assessment system is applied to the society in order for the tax payer to meet the state obligations, namely to independently count, calculate, pay and report their obligation in the Annual Taxation Notification (SPT) and the tax payer does not need to wait for the issuance of the Taxation Assessment Notice (SKP). The review of those two functions are discussed by raising two issues, namely what kind of balance that is applied to the tax payer and how the basic benefit that is in accordance with the basic needs of the society should be not only shared to the tax payer but also shared to the whole community. Keywords: Tax Law, Budgetair, Regulerent And Self Assessment. Abstrak Fungsi utama Direktorat Jenderal Pajak, menghimpun penerimaan negara melalui pajak berbasis anggaran dan regulasi. Mencermati pengembanan 2(dua) fungsi tersebut terkesan ambivalen, yakni harus mengamankan penerimaan negara sebesar target sekaligus mengatur regulasi agar tidak menganggu perkembangan usaha bahkan harus bermanfaat, ilustrasinya ibarat “bertinju dengan sebelah tangannya diikat”. Sementara itu masyarakat dalam memenuhi kewajiban kenegaraannya berlaku sistem self assessment, yakni wajib pajak diberi kepercayaan secara mandiri menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan kewajibannya melalui Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan tidak perlu menunggu diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP). Tinjauan kedua fungsi tersebut dibahas dengan mengungkap dua isu, keseimbangan yang bagaimana diberlakukan terhadap wajib pajak dan bagaimana seharusnya manfaat dasar yang sesuai dengan kebutuhan pokok masyarakat tidak terbatas kepada wajib pajak saja, tetapi masyarakat keseluruhan. Kata kunci : Hukum Pajak, Bugetair, Regulerent dan Self Assessment.
1 Dosen Tetap Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana, Universitas Warmadewa, Jl. Terompong No. 24 Tanjung Bungkak, Denpasar-Bali.
Putu Bagiaarta. Pemberlakuan… 45 I. PENDAHULUAN Melalui pembaruan sistem perpajakan nasional diintrodusir konsepsi self
assessment lawan kata dari official assessment yang mulai dicanangkan pada Tangal 1 Januari 1984. Sistem yang dicanangkan tersebut sesungguhnya Tahun 1967 sudah dipraktekkan untuk pengenaan pajak berdasarkan Ordonansi PPd 1944 (Pajak Pendapatan) terhadap pungutan yang pada waktu itu disebut Menghitung
Pajak Sendiri
(MPS)
dan
Menghitung
Pajak Orang
(MPO)
sebagaimana dijelaskan H. Rochmat Soemitro bahwa …”mulai Tahun 1967 sistem
sefl assessment diintroduksikan di Indonesia, tetapi hanya untuk menghitung pajak pendapatan yang harus dibayar oleh wajib pajak sendiri
setiap bulan
(MPS)… selanjutnya sistem self assessment ini belum diterapkan oleh semua Negara-negara maju, Nederland umpamanya, yang merupakan Negara asal pajak-pajak Indonesia dan Jepang, belum menerapkan sistem self assessment, dan masih menggunakan Surat Ketetapan Pajak Sementara, Surat Ketetapan Pajak Rampung, dan Surat Ketetapan Pajak Tambahan.” Meskipun
pembaharuan
sistem
2
diperkenalkan
tetapi
jiwa
dari
kegotongroyongan melalui pembayaran pajak dengan 2(dua) fungsi yakni
bugetair dan regulerent masih tetap dianut untuk mengisi anggaran negara, demikian juga teori daya pikul dan teori daya beli masih tetap relevan untuk diberlakukan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Berkenaan dengan sistem perpajakan nasional ini ditinjau dari perspektif kepercayaan, bahwa terkandung maksud penghargaan oleh negara kepada warga negaranya, khususnya wajib pajak agar berlaku jujur atas kewajiban kenegaraan untuk membayar pajak,
2
Rochmat Soemitro, 1998, Asas dan dasar perpajakan 2, Refika Aditama, Bandung, hal. 13
46. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 sedangkan negara bersifat pasif atas kewajiban yang dilaksanakan warganya melalui tatacara pemenuhan kewajiban sebagaimana diatur dalam ketentuan perpajakan. Arti kata self assessment
adalah menghitung dan menetapkan sendiri
besarnya pajak yang terutang, dan membayar pajak tersebut sebelum memasukkan Surat Pemberitahuan Masa/Tahunan (SPT).3 Konsekwensi dari perubahan sistem tersebut sangatlah mendasar ditinjau dari corak dan cirinya karena sebelum sistem ini diperkenalkan berlakulah sistem pajak rampung yaitu wajib pajak menunggu diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh Direktorat Jenderal Pajak. Adapun corak dan ciri dari sistem pengenaan tersebut dapat
dipahami
melalui
dasar
pertimbangan
perubahan
Undang-undang
Perpajakan Nasional dari sistem official assessment ke self assessment sebagai berikut : -
bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta wajib pajak secara langsung dan bersama-sama melaksanakan
kewajiban
perpajakan
yang
diperlukan
untuk
pembiayaan negara dan pembangunan nasional. -
tanggung
jawab
atas
kewajiban
pelaksanaan
pajak,
sebagai
pencerminan kewajiban di bidang perpajakan, berada pada anggota masyarakat wajib pajak sendiri. -
Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan fungsinya
berkewajiban
melakukan
pembinaan,
penelitian
dan
pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan yang dihitung, disetor dan dilaporkan wajib pajak.
3
Ibid, hal.13
Putu Bagiaarta. Pemberlakuan… 47 Searah dengan maksud dan tujuan pemberlakukan sebagaimana diatur dalam norma hukum pajak khususnya dalam sistem self assessment dalam implementasinya yang paling ideal adalah apa yang dituangkan dalam peraturan perpajakan mengejawantah sedemikian rupa sehingga pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan apa yang diharapkan, mengingat pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dilaksanakan secara berkelanjutan dengan tujuan untuk mewujudkan suatu keadaan masyarakat yang adil dan makmur merata secara material dan spiritual. Untuk mewujudkan tujuan tersebut salah satu sarana pembiayaan menjadi begitu penting dan pembiayaan tersebut dari waktu ke waktu semakin meningkat, sebab pembangunan itu sendiri membutuhkan biaya yang besar, sementara itu penerimaan negara yang berasal dari sumber-sumber minyak bumi dan gas alam tidak dapat diandalkan terus menerus karena cenderung tidak bisa diperbaharui. Jaminan dari keberhasilan pemberlakukan sistem self assessment agar pengamanan target yang ditetapkan memenuhi harapan, maka selain sistem yang diperkenalkan tersebut pemerintah juga berupaya melalui terobosan lain salah satunya yang dilaksanakan adalah dengan cara meningkatkan pendapatan negara melalui optimalisasi penerimaan pajak. Optimalisasi yang dilaksanakan pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak adalah penggalian potensi melalui ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan terhadap jenis-jenis pajak, baik pajak langsung maupun pajak tidak langsung dengan prinsip transparansi, profesional, keadilan, kepastian, dan efektifvitasnya masih perlu disempurnakan, sebab pada kenyataannya sistem self assessment ini bila dikaitkan dengan prinsip-prinsip tersebut di atas kurang memperhatikan asas keseimbangan
48. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 terutama dalam konteks yang oleh Adam Smith disebut equality mengandung arti bahwa keadaan yang sama atau orang yang berada dalam keadaan yang sama harus diberlakukan yang sama atau lazim disebut nondiscrimination sebagaimana dikutip oleh oleh Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu.4
Untuk
mempertegas asas keseimbangan ini agar pemberlakuan sistem self assessment berjalan
efektif
E.R.A.
Seligman
mengemukakan
bahwa
prinsip-prinsip
pemungutan pajak yaitu fiscal, administrative, dan ethical. Dalam kaitannya dengan pemungutan pajak dikatakan prinsip ethical terdapat persamaan pengertian dengan equality Adam Smith yang meliputi uniformity dan universality … yaitu menggambarkan kesamaan perlakuan terhadap para pembayar pajak.5 Demikian juga pemahaman Ruslan Saleh dengan mengutip Van Apeldoorn tentang sifat etis dari hukum “…sesuatu yang bersifat ethis dan karenanya ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan yang berifat ethis pula.”6 Pemahaman demikian mempertegas bahwa hukum bukan saja sifatnya logis, sekaligus mengandung etika. Asas keseimbanggan sebagaimana dikutip di atas mengandung makna yang sama bila perlakuan dimaksud tidak semata-sama untuk antar dan intern wajib pajak saja, tetapi secara mutatis mutandis juga harus diberlakukan kepada fiskus (aparat perpajakan) melalui ketentuan yang diatur dalam Undang-undang perpajakan. Dengan demikian dalam perspektif akademis terdapat ketidak seimbangan perlakuan untuk wajib pajak yang telah memenuhi kewajiban 4
Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, 2006, Perpajakan, Konsep, Teori dan Isu, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 56 5
Ibid, hal.57.
6 Roeslan Saleh, 1979, Penjabaran Pancasila Dan Undang-undang Dasar 1945 Dalam Perrundang-undangan. Aksara Baru, Jakarta, hal. 25.
Putu Bagiaarta. Pemberlakuan… 49 dengan sistem self assessment seharusnya fiskus secara responsive menerbitkan pengakuan dengan merespon baik dalam bentuk menerima dengan benar ataukah menyatakan belum sepenuhnya wajib pajak melaporkan berdasarkan keadaan yang sebenarnya. Untuk mempertegas isu sebagaimana dideskripsikan dalam pendahuluan ini, maka akan dipaparkan dan dianalisis pada halaman berikutnya dengan mengemukakan dua isu yakni : 1. Bagaimanakah keseimbangan sistem self assessment dengan fungsi
bugetair ? 2. Bagaimanakah
manfaat
sistem
self assessment
dengan
fungsi
regulerent? II. KESEIMBANGAN SISTEM SELF ASSESSMENT DENGAN FUNGSI
BUGETAIR
Undang-undang perpajakan baik hukum pajak formil maupun materil tidak diketemukan pasal yang eksplisit menyebutkan terminologi self assessment, bukan berarti tidak terdapat ketegasan pengaturan sistem tersebut, kamudian bukan
berarti
wajib
pajak
tidak
terikat
dalam
memenuhi
kewajiban
perpajakannya. Wajib pajak tetap terikat untuk menghitung, memperhitungkan dan melaporkan kewajibannya berdasarkan Undang-undang. Disini berlakulah ajaran materil bahwa utang pajak timbul karena Undang-undang/bukan karena perjanjian, menurut Rochmat Soemitro bahwa Pajak sebenarnya adalah utang, yaitu utang anggota masyarakat kepada masyarakat. Utang menurut pengertian hukum adalah perikatan (verbintenis). Perikatan adalah istilah hukum yang perlu dipahami maknanya. Ilmu Hukum membahas timbulnya dan hapusnya perikatan
50. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 (utang pajak), membahas daluwarsa, membahas preferensi utang, paksa, sita, peradilan, pelanggaran, dan sebagainya.7 Sejalan dengan uraian tersebut di atas, guna memahami makna dari kewajiban wajib pajak yang telah memenuhi proses dan prosedur mulai dari menghitung, memperhitungkan dan melaporkan dengan sarana SPT telah menjadi pasti kewajiban tersebut sebagaimana dikehendaki ketentuan Undangundang Perpajakan dan tidak perlu menunggu sampai diterbitkannya ketetapan pajak oleh fiskus berupa Surat Ketetapan Pajak (SKP). Berdasarkan teori kepastian hukum Van Apeldorn bahwa “pertama, kepastian hukum berarti dapat ditentukan hukum apa yang berlaku untuk masalah-masalah konkrit. Dengan dapat ditentukan masalah-masalah konkrit, pihak-pihak yang berperkara sudah dapat
mengetahui
sejak
awal
ketentuan-ketentuan
apakah
yang
akan
dipergunakan dalam sengketa tersebut. Kedua, kepastian hukum berarti perlindungvan hukum, dalam hal ini pihak yang bersengketa dapat dihindarkan dari kesewenang-wenangan penghakiman.8 Merujuk kepastian dalam ajaran Van Apeldorn tersebut di atas terkait dengan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), wajib pajak yang telah memenuhi kewajibannya menjadi tidak pasti oleh karena SPT tersebut tidak direspon oleh fiskus. Dalam peristiwa hukum tersebut wajib pajak dalam posisi yang sesungguhnya belum menerima kepastian, meskipun kewajibannya telah dipenuhi berdasarkan Undang-undang, hal ini bisa terjadi karena tidak terdapat
7
Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan, Bandung, Refika Aditama, hal. 1. 8 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, hal. 59-60.
Putu Bagiaarta. Pemberlakuan… 51 kewajiban fiskus untuk secara responsive menerbitkan surat pemberitahuan bahwa kewajibannya telah dilakukan dengan benar, kecuali SPT tersebut ternyata dilaporkan tidak benar berdasarkan Pasal 12 ayat (3) UU Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan bahwa “Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dipaparkan dan dianalisa bahwa wajib pajak tatkala laporannya melalui SPT sudah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya seharusnya direspon fiskus yang menyatakan bahwa SPT wajib pajak
sudah
benar.
Sebaliknya
fiskus
akan
menerbitkan
SKP
apabila
mendapatkan data yang menyatakan bahwa laporan SPT wajib pajak tidak benar (terjadi tindakan sepihak/perlakuan yang tidak proporsional). Disinilah isu hukum yang dikemukakan dalam permasalahan adanya perlakuan yang tidak seimbang sebagai mana konsep equality, uniformity dan universality …seharusnya diberlakukan kepada siapapun untuk menggambarkan kesamaan perlakuan terhadap para pembayar
pajak dan
juga terhadap fiskus. Mencermati
permasalahan ini fiskus dalam bertindak memang betul dilengkapi instrumen kebebasan bertindak, dikenal dengan freies ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga dan mempertimbangkan sesuatu.
9
Betul asas ini menghendaki kebebasan dalam bertindak, tetapi kebebasan tersebut tidak semestinya tanpa batas agar wewenang yang diberikan tidak
9
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, RajaGrafindo Persada, hal. 177.
52. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 disalahgunakan menjadi tindakan yang sewenang-wenang, karena itulah kekuasaan itu harus dibatasi agar tidak terjadi abuse of power sebab pada dasarnya sebagaimana dikatakan Lord Acton bahwa power tends to corrupt,
absolutely power is corruptly.10 Oleh karena itu untuk menghindari abuse of power sudah selayaknya pelayanan fiskus dalam
implementasinya kepada
masyarakat tidak terlepas dari keterbukaan dengan mengingat larangan
detournement de pouvoir sebagai asas umum pemerintahan yang layak dipandang pula aturan bahwa suatu wewenang tidak boleh digunakan untuk tujuan lain selain untuk tujuan ia diberikan.11 Memahami aneka maksud kutipankutipan di atas baik secara implisit maupun eksplisit dalam peraturan perundangundangan perpajakan terutama fungsi bugetair sebagai instrumen yang berbasis anggaran untuk mengisi kas negara, maka asas keseimbangan perlakuan terhadap wajib pajak jangan diabaikan sebab wajib pajak bukannya objek tetapi subjek. Dengan demikian perlakuan seimbang kepada wajib pajak berdasarkan konsepsi uniformity dan universality yang lazim disebut nondiscrimination perlu diakomodir dalam peraturan perundang-undangan untuk disempurnakan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat guna menjamin kepastian hukum nyata, dalam hal ini fiskus sebagai pejabat publik harus responsif untuk menerbitkan semacam Surat Pemberitaan tentang penghitungan, penyetoran dan pelaporan bahwa kewajiban SPT telah dilakukan dengan benar.
10
Ibid, hlm. 6
11 Philipus M.Hadjon, dkk., 1995, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, hal. 277.
Putu Bagiaarta. Pemberlakuan… 53
III. MANFAAT
SISTEM
REGULERENT
SELF
ASSESSMENT
DENGAN
FUNGSI
Membahas permasalahan dengan mengemukakan manfaat pajak dalam konteks fungsi regulerent merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi
bugetair.
Pentingnya
regulerent
untuk
dibahas
karena
negara
dalam
menjalankan fungsi mengatur pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mengatur kebijaksanaan perekonomian, maknanya adalah agar warga negara hanya mengkonsumsi berlandaskan pada kepentingan yang bermanfaat saja. Hal ini sejalan dengan ajaran utilitarian Jeremy Bentham bahwa the great
happinies for the greatest number, yakni tujuan hukum adalah memberi sebanyak mungkin bahagia pada sebanyak mungkin orang (mewujudkan semata-mata yang berfaedah dan effektif).12 Dari uraian tersebut di atas dalam kaitan dengan self assessment tersedia pilihan bagi wajib pajak untuk menyesuaikan konsumsinya berdasarkan manfaat, dan tidak didasarkan atas konsumeristis belaka. Disinilah letak tugas penting
negara
untuk
sanggup
mengendalikan
konsumsi
masyarakat
berdasarkan regulerent sehingga regulasi-regulasi yang diterbitkan tidak kontra produktif dengan fungsi yang berbasis anggaran semata. Sebagimana beberapa kali dikemukakan sebelumnya bahwa wajib pajak ditempatkan pada posisi yang sangat terhormat, yaitu bukan lagi dijadikan objek melainkan ditempatkan sebagai subjek, sehingga dipercaya penuh untuk sanggup me-manage prilaku individu dalam mengkonsumsi barang dan jasa dan bebas memilih profesi masing-masing. Selanjutnya fungsionalisasi fiskus dalam menjalankan regulerent
12
Rudy T. Erwin, 1990, Tanya Jawab Filsafat Hukum, Jakarta, hal. 3-4
54. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 lebih pada melaksanakan pembinaan, melaksanakan bimbingan dan mengawasi agar regulasi yang dibuat berlandaskan “… utilitarianistik melihat gunanya patokan-patokan yang didasarkan pada keuntungan, kesenangan dan kepuasan manusia”.13 Pendekatan
manfaat
atas
prilaku
konsumtif
wajib
pajak
untuk
mengkonsumsi barang dan jasa merupakan pembahasan dalam ruang lingkup pajak tidak langsung yakni Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN) dalam hal ini pengenaan pajaknya tidak terpengaruh oleh keadaan subjektif subjek pajak, artinya setiap orang yang mengkonsumsi barang dan jasa tidak terbatas apakah yang bersangkutan sudah ber-Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau yang belum ber-NPWP, tegasnya tidak
membedakan
gender,
usia
dan
penghasilan,
prinsipnya
tatkala
membutuhkan barang dan jasa sudah terkena PPN. Diantara sistem self
assessment dan fungsi regulerent terletak makna hakiki kebebasan dan makna pembatasan dari segi regulasi. Dengan kalimat lain, kedua-duanya dapat dibedakan tatapi tidak dapat dipisahkan. Analisa yang dapat dikemukakan disini adalah dengan mencontohkan tarif yang dikenakan terhadap objek PPN berlaku dua macam yaitu 0% dan 10%. Setiap penerbitan buku-buku pelajaran baik hasil penelitian yang dipublikasikan maupun kajian-kajian akademis melalui jurnal dikenakan tarif 0%. Untuk barang dan jasa lainnya selain dengan kriteria yang tidak dikecualikan, dikenakan tarif 10%. Rationya adalah semestinya setiap orang akan lebih memilih tarif yang 0% tetapi pada kenyataannya hanya sedikit masyarakat memilih tujuan membeli buku dibandingkan dengan tujuan membeli 13 Antonius Cahyadi dan E.Fernando M.Manulang, 2007, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta, hal. 62.
Putu Bagiaarta. Pemberlakuan… 55 barang untuk kepentingan lahiriah. Misalnya ilustrasi melalui media masa seseorang diberitakan membeli mobil mewah sedangkan yang bersangkutan belum memiliki rumah yang memadai sehingga mobilnya harus diparkir di pinggir jalan, padahal yang bersangkutan membeli barang yang berkwalifikasi terkena Pajak Penjualan Barang Mewah. Pertanyaannya sudah atau belum mampukah fungsi regulerent mengendalikan tujuan konsumtif masyarakat.
Pada tahap
inilah kesanggupan selektif terjadi pada masyarakat hukum wajib pajak, itu merupakan pilihan bebas dalam sebuah ajaran nilai subjektif yakni law of
deminising return. Ajaran ini menghendaki “nilai kegunaan terhadap sesuatu” yang dalam konteks ini hendak mensitir komentar Prof, Dr. Adriani bahwa “jika kita melihat pungutan pajak sebagai gejala masyarakat yang selamanya menunjukkan bentuk yang bermacam-macam, tetapi pajak itu juga merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan yang berlainan.”14 Dengan merujuk pemaparan dan ilustrasi tersebut di atas, meskipun masih terdapat kurang optimalnya fungsi
regulerent sehubungan dengan sistem self assessment, maka regulasi yang dimaksudkan bukan hanya sebatas dalam bentuk kaidah tertulis, tetapi dalam pelaksanaannya terus disempurnakan melalui fungsionalisasi fiskus dalam membina, membimbing dan mengawasi pelaksanaan regulasi perpajakan agar semakin sadar masyarakat wajib pajak dalam memilih dan memilah barang dan jasa kena pajak.
14 Subiyakto Indra Kusuma, 1988, Mengenal Dasar-dasar Perpajakan, Surabaya, Usaha Naional-Surabaya, hal. 43
56. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 IV. PENUTUP Setelah dilakukan pemaparan, pemahaman dan analisa berdasarkan pembahasan dalam halaman-halaman tersebut dimuka yaitu terhadap dua isu, maka dalam bab penutup ini dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Perlakuan yang seimbang berlandaskan konsepsi nondiscrimination harus dituangkan dalam bentuk kaidah tertulis dimuat dalam peraturan perundang-undangan
untuk
disempurnakan
sesuai
dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat guna menjamin kepastian hukum nyata, yakni fiskus sebagai pejabat publik harus responsif untuk menerbitkan
semacam
Pemberitaan
kepada
wajib
pajak
bahwa
penghitungan, penyetoran dan pelaporan pajaknya melalui SPT telah dilakukan dengan benar. 2. Meskipun ratio wajib pajak masih berkisar pada tahap dimensi koqnitif dalam mengkonsumsi barang dan jasa kena pajak, namun demikian dalam memahami manfaat regulerent
harus disertai dengan dimensi
afektif dan konatif agar bisa berjalan simultan sehingga kesanggupan selektif terjadi pada masyarakat hukum wajib pajak, sejalan dengan ajaran nilai subjektif yakni law of deminising return, yang menghendaki nilai kegunaan terhadap sesuatu yang dibeli ataupun yang dikonsumsi haruslah betul-betul bermanfaat bagi yang bersangkutan.
Putu Bagiaarta. Pemberlakuan… 57 DAFTAR PUSTAKA Antonius Cahyadi dan E Fernando M. Manulang, 2007, Pengantar ke Filsafat Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Bohari H., 1993, Pengantar Hukum Pajak, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Djafar Saidi, Muhammad, 2007, Pembaharuan Hukum Pajak, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Moeljo Hadi, 1994, Dasar-dasar Penagihan Pajak Negara, RajaGrafindo, Jakarta. Philipus M Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafisndo, Jakarta. Rochmat Soemitro, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Refika Aditama, Bandung. , 1998, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Refika Aditama, Bandung. , 1990, Asas dan Dasar Perpajakan 3, Eresco, Bandung. , 1991, Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak di Indonesia, Eresco, Bandung. , 1991, Pajak Ditinjau Dari Segi Hukum, Eresco, Bandung. Rudy T. Erwin, 1990, Tanya Jawab Filsafat Hukum, Rineka Cipta, Roeslan Saleh, 1979, Penjabaran Pancasila Dan Undang-undang Dasar 1945 Dalam Perundang-undangan, Aksara Baru, Jakarta. Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, 2006, Perpajakan, Konsep,Teori dan Isu, Kencana Prenada Group, Jakarta. Subiyakto Indra Kusuma, 1988, Mengenal Dasar-dasar Perpajakan, Usaha Nasional Surabaya, Surabaya. Sudikno Mertokusumo,1993, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Untung Sukardji, 1994, Pajak Pertambahan Nilai Indonesia, Wawasan Jaya Aneka Kreasi, Jakarta. Widi Widodo, dkk., 2010, Moralitas, Budaya dan Kepatuhan Pajak, Alfabeta, Bandung Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
58. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 Pengaruh Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) I Made Widnyana1
Asbtrct The customary criminal law still exists and adheres to date in most of the indigenous and tribal people in Indonesia. Its existence is even supported and acknowledged by many laws and regulations. In terms of the renewal of the criminal law especially the prevailing Criminal Code in Indonesia which has been enforced since 1918 which is until now has experienced a lot of partial changes that is in line with current development and globalization. The overall changes of the Criminal Code started from 1963 and it was continued until the Draft Criminal Code Year 2009/2010 was released. The Draft Criminal Code has adopted some (Balinese) customary criminal acts such as “Lokika Sanggraha” as stipulated in Article 359 of Wetboek Adi Agama (Article 487 sub e), cohabiting (Article 485 of the Draft Criminal Code) and “gamia gamana”/incest (Article 487 of the Draft Criminal Code), destruction of places of worship (Article 348 of the Draft Criminal Code) and criminal act of stealing sacred religious objects or objects used for religious purposes or archaeological objects (Article 603 of the Draft Criminal Code).
Keywords : Customary Criminal Law, Exist, Renewal Of Criminal Law, Draft Criminal Code Asbtrak Hukum pidana adat tetap eksis dan ditaati hingga saat ini disebagian masyarakat hukum adat di Indonesia, bahkan keberadaannya didukung dan diakui eksistensinya oleh berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam rangka pembaharuan hukum pidana khususnya KUHP yang sudah berlaku di Indonesia sejak tahun 1918 hingga kini sudah banyak mengalami perubahan secara parsial sejalan dengan perkembangan zaman dan arus globalisasi. Perubahan KUHP secara total telah dimulai sejak 1963 dan berkelanjutan sampai keluarnya RUU KUHP 2009/2010. Dalam RUU KUHP telah diadopsi beberapa delik adat (Bali) seperti, lokika sanggraha sebagaimana ditentukan dalam Pasal 359 Wetboek Adi Agama (Pasal 483 sub e), kumpul kebo (Pasal 485 RUU KUHP) dan gamia gamana/incest (pasal 487 RUU KUHP), perusakan tempat ibadah (Pasal 348 RUU KUHP) dan tindak pidana pencurian benda suci keagamaan atau benda yang dipakai untuk kepentingan keagamaan atau benda purbakala (Pasal 603 RUU KUHP). Kata Kunci : Hukum Pidana Adat, Eksis, Pembaharuan Hukum Pidana, RUU KUHP
1
Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Bhayangkara Jaya Jakarta dan Guru Besar Luar Biasa Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Warmadewa Denpasar. Jl. Darmawangsa I No. 1 Kebayoran Baru Jakarta 12140 Telp: (021) 7267655, 7231948-Fax : (021) 7267657 Jl. Raya Perjuangan, Marga Mulya, Bekasi Utara Telp : (021) 88955882 – Fax. (021) 88955871 website: www.ubharajara.ac.id
I Made Widnyana. Pengaruh… 59 I. PENDAHULUAN Hukum adat termasuk Hukum Pidana Adat merupakan hukum asli yang hidup dan eksis dalam masyarakat di wilayah Nusantara sejak lama. Dalam perjalanan waktu, hukum asli tersebut berturut-turut mendapat pengaruh dari agama Hindu pada abad ke 7, agama Islam pada abad ke 14, agama Kristen dan bangsa asli terutama Belanda pada abad ke 17. Sejak saat itu, hukum asli tersebut mendapat pengaruh dan mengadopsi unsur-unsur agama yang masuk dan mengakar di daerahnya. Hukum asli yang sudah meresapi unsur agama ini terus berkembang dan berlaku yang oleh Snouck Hurgronje pada tahun 1893 disebut sebagai hukum adat (adatrechi) untuk menggambarkan “folk law” yang berlaku di Hindia Belanda (Indonesia). Kemudian setelah van Vollenhoven datang di Hindia Belanda, istilah hukum adat (adatrecht/adat law) dipandang sebagai hukum positif yang berlaku dan mengikat bagi masyarakat adat yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Kemudian hukum adat yang berlaku tersebut dikelompokkan menjadi 19 lingkaran hukum adat.
The team adat-law (adatrecht) was used for the first time in 1893 by Snouck Hurgronjeto describe Indoensian folk law2 selanjutnya dikatakan : Van Vollenhoven, who is without a doubt one of the most authoritative sources in the matter, describes adat law as ‘a body of rules of behavior for natives and Foreign Orientals, which on the one hand are enforced by sanction (therefore “law”) and on the other hand uncodified (therefore “adat”). Initially by ‘sanction’ he meant a more or less ‘official sanction’ by some institution with authority to punish, later however Van Vollenhoven modified this definition to include “recommendation’ and ‘disapproval’ as sanctions.3
2
Roelof H. Haveman, 2001, The Legality of Adat Criminal Law In Modern Indonesia, PT. Tatanusa, Jakarta, page 5. 3
Ibid
60. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 Eksistensi hukum pidana adat dapat diketahui dari masih dilaksanakan, diikuti dan ditatati oleh masyarakat adat dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu juga telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, Ketetapan MPR-RI Nomor II/MPR/1999, Ketetapan MPR-RI Nomor III/MPR/2000, yang pada intinya menentukan masih eksisnya hukum tidak tertulis. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan
Kehakiman
jo.
Undang-Undang No.
35 Tahun
1999
sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, dalam beberapa pasalnya (Pasal 14 ayat 1, 23 ayat 1, 27 ayat 1) terdapat ketentuan yang dapat dijadikan dasar bagi hukum pidana adat. Dalam beberapa kali Seminar Hukum Nasional, telah pula menghasilkan berupa resolusi, kesimpulan dan laporan, yang tetap mengakui hukum tidak tertulis disamping hukum tertulis. Dari uraian di atas tampak jelas bahwa pengembangan dan pembangunan hukum nasional bersumber dan harus digali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law) agar hukum nasional di masa yang akan datang mampu mencerminkan nilai-nilai sosial, budaya, dan susunan masyarakat Indonesia. II.PEMBAHARUAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) Jika ditinjau dari segi ilmu hukum pidana, pembaharuan KUHP (materi hukum pidana) dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, pembaharuan dengan cara parsial, yakni dengan cara mengganti bagian demi bagian dari kodifikasi hukum pidana. Dan kedua, pembaharuan dengan cara universal, total
I Made Widnyana. Pengaruh… 61 atau menyeluruh, yaitu pembaharuan dengan mengganti total kodifikasi hukum pidana. Pembaharuan KUHP secara parsial/tambal-sulam yang dilakukan Indonesia adalah antara lain melalui beberapa peraturan perundang-undangan, seperti : 1. UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (merubah nama WvSNI menjadi WvS/KUHP, perubahan beberapa pasal dan kriminalisasi delik pemalsuan uang dan kabar bohong). 2. UU Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan menambah jenis pidana pokok berupa pidana tutupan). 3. UU Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin kepada Dokter dan Dokter Gigi (menambah kejahatan praktek dokter). 4. UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI. 5. UU Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP (memperberat ancaman pidana Pasal 359, 360, dan memperingan ancaman pidana Pasal 188). 6. UU Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP (merubah vijf en twintig gulden dalam beberapa pasal menjadi dua ratus lima puluh rupiah). 7. UU Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam KUHP dan dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 (hukuman denda dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatkan lima belas kali). 8. UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Pedoman Agama (penambahan Pasal 156a). 9. UU Nomor 7 Tahun 1974 Penertiban Perjudian (memperberat ancaman pidana bagi perjudian (Pasal 303 ayat (1) dan Pasal 542) dan memasukkannya Pasal 542 menjadi jenis kejahatan (Pasal 303 bis). 10. UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (memperluas ketentuan berlakunya hukum pidana menurut tempat (Pasal 3 dan 5) penambahan Pasal 95a, 95b, dan 95c serta menambah Bab XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan). 11. UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara (menambah kejahatan terhadap keamanan negara Pasal 107 af). Dalam pada itu, usaha pembaharuan KUHP secara menyeluruh/total dimulai dengan adanya rekomendasi hasil Seminar Hukum Nasional I, pada
62. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta yang menyerukan agar rancangan kondifikasi hukum pidana nasional secepat mungkin diselesaikan. Kemudian pada tahun 1964 dikeluarkan konsep KUHP pertama kali, diikuti dengan konsep KUHP 1968, 1971/1972, Konsep Basaroedin (Konsep BAS) 1977, Konsep 1979, Konsep 1982/1983, Konsep 1984/1985, Konsep 1986/1987, Konsep 1987/1988, Konsep 1988/1990, Konsep 1991/1992 yang direvisi sampai 1997/1998. Terakhir kali konsep KUHP dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan perundang-undangan R.I. pada tahun 1999/2000. Rancangan KUHP 1999/2000 ini telah masuk di DPR RI untuk dibahas dan disahkan, namun kemudian disempurnakan lagi hingga keluarnya RUU KUHP tahun 2009/2010. Selanjutnya, mengkaji Rancangan KUHP secara total dan komprehesif jelas membutuhkan waktu dan tenaga pemikiran yang ekstra keras. Dilihat dari segi pembuatannya saja, para pakar hukum di Indonesia telah membuat Raancangan KUHP sebanyak 12 kali (termasuk revisinya) selama 46 tahun (sejak tahun 1964 s.d. 2010). Pasal-pasal dalam konsep terakhir tahun 2010 juga membengkak menjadi 977 pasal. Sedangkan KUHP sekarang (WvS) “hanya” berjumlah 569 Pasal. Dalam rangka pembentukan KUHP Nasional yang baru, Andi Zainal Abidin mengatakan bahwa Hukum Adat Pidana dapat memberikan bahan-bahan yang dianggap perlu sesuai dengan Pasal 32 UUD 1945 dan GBHN 1983. Selanjutnya dikatakan bahwa Hukum Adat Pidana penting pula dipelajari, oleh karena menurut Undang-Undang Darurat 1951 No. 1 (Lembaran Negara 1951 No. 9), dibekas wilayah Pengadilan Adat di Indonesia masih tetap diakui berlaku di daerah tersebut, dengan catatan, bahwa asas-asas Hukum Adat Pidana dan
I Made Widnyana. Pengaruh… 63 sanksi adat tidak boleh ditetapkan lagi. Sanksi yang harus digunakan ialah sanksi delik yang serupa atau mirip yang terdapat di dalam KUHP. III. TINDAK PIDANA ADAT (BALI) YANG MASUK KE DALAM RUU KUHP Dalam RUU KUHP ada beberapa tindak pidana (delik) adat Bali yang dirumuskan didlam pasal-pasalnya, baik yang menyangkut delik susila (lokika sanggraha, kumpul kebo dan gamia gamana/incest) maupun delik yang berhubungan dengan harta benda (perusakan tempat ibadah, pencurian bendabenda suci keagamaan). 1. Tindak Pidana (delik) yang menyangkut kesusilaan a. Lokika Sanggraha Pengertian yuridis dari Lokika Sanggraha dapat ditemui pada Kitab Adi Agama yang di dalam Pasal 359 dikatakan :
“”Malih Lokika Sanggraha, loeir ipoen djanma mededemenan, sane moewani tan neherrang demen ipoen, dening djrih patjang kasisipang,, awanan ipoen ngererehang daje, soebajan iloeh kasanggoepin, wastoe raoeh ring pepadoean tungkas paksane, sane loeh ngakoe kesenggam, sane moeani ngelisang mepaksang oetjapang dewek ipoen keparikosa atoek iloeh, jan asapoenika patoet tetes terangang pisan, jan djakti imoewani menemenin wenang ipoen kasisipang dande oetama ehasa 24.000, poenika mawasta Lokika Sanggaraha, oetjapang sastr. (terjemahan bebas : “Lagi Lokika Sanggrah misalnya orang bersenggama, si laki-laki tidak setia akan cintanya, karena takut akan dipersalahkan, maka mencari daya upaya, syarat-syarat si wanita disanggupi, kemudian si wanita menyatakan dirinya dipaksa disetubuhi dan si laki-laki dengan cepat mengaku diperkosa oleh si wanita, kalau demikian halnya sepatutnyalah diusut kejelasannya, dan kalau benar si laki-laki yang berbuat patutlah dihukum denda sebesar 24.000 uang kepeng”)
Dengan demikian, pengertian Lokika Sanggraha dapat dikatakan sebagai suatu delik adat yang berupa seorang laki-laki bersenggama dengan seorang perempuan di luar perkawinan dengan janji akan mengawini, tetapi ternyata tidak dikawini. Jadi merupakan delik formil.
64. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 Di dalam perkembangan kehidupan kemasyarakatan praktek pengadilan di Bali, unsur-unsur dari ketentuan Pasal 359 Kitab Adi Agama tersebut ditambah lagi dengan unsur kehamilan. Dengan demikian telah terjadi perkembangan arti
Lokika Sanggraha, karena ketentuan aslinya (Kitab Adi Agama) hanya menyebutkan adanya hubungan cinta (hubungan seksual), tanpa mensyaratkan adanya kehamilan. Penambahan syarat (unsur) kehamilan dalam praktek peradilan dapat dimengerti berdasarkan pertimbangan : 1. Kalau kita hanya mendasarkan atas adanya hubungan persetubuhan saja seperti yang diatur dalam Pasal 359 Kitab Adi Agama maka akan mengalami kesulitan di dalam pembuktiannya. 2. Seorang perempuan pada umumnya baru akan mengadukan/melaporkan permasalahannya setelah adanya akibat yaitu kehamilan dan/atau bahkan setelah lahirnya anak. Hingga kini di dalam praktek peradilan di daerah Bali,
Lokika Sanggraha dipandang sebagai delik materiil, yaitu delik yang baru dianggap “voltooid” (sepenuhnya terlaksana) dengan timbulnya akibat yang dilarang dalam hal ini adanya kehamilan. Disamping sebagai delik materiil, Lokika Sanggraha juga merupakan delik aduan (klacht delict) yaitu delik yang baru ada sejak adanya pengaduan baik dari korban dan/atau dari pihak keluarga korban. Lebih tugasnya adanya delik aduan yang relatif sebab pengaduan hanya dilakukan oleh orang tertentu yaitu orang yang mendapatkan kehamilan. Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksud dengan “Lokika
Sanggraha”
sebagaimana
dirumuskan
didalam
Kitab
Adi
Agama
serta
I Made Widnyana. Pengaruh… 65 perkembangan pandangan masyarakat dan praktek peradilan di Daerah Bali adalah hubungan cinta antara seorang pria dengan seorang wanita yang sama sama belum terikat perkawinan, dilanjutkan dengan hubungan seksual atas dasar duka sama suka karena adanya janji si pria untuk mengawini si wanita, namun setelah si wanita hamil si pria memungkiri janji untuk mengawini si wanita dan memutuskan hubungan cintanya tanpa alasan yang sah. Dengan demikian, unsur-unsur dari Lokika Sanggraha adalah : 1. Adanya hubungan cinta (pancaran) antara seorang pria dengan seorang wanita yang sama-sama belum terikat perkawinan. 2. Antara pria dan wanita yang sedang bercinta tersebut telah terjadi hubungan seksual yang didasarkan atas suka sama suka. 3. Si pria telah berjanji akan mengawini si wanita. 4. Hubungan seksual yang telah dilakukan menyebabkan si wanita menjadi hamil. 5. Si pria memungkiri janji untuk mengawini si wanita tanpa alasan. Delik adat lokika sanggraha (delik materiil) sebagaimana diterapkan dalam praktek pengadilan selama ini di Bali tidak dijumpai di dalam rumusan Pasal RUU KUHP. Namun delik adat lokika sanggraha sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 359 Wetboek Adi Agama (delik formil) mirip dengan rumusan Pasal 483 sub e yang berbunyi : Pasal 483 sub e RUU KUHP menentukan : Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun, laki-laki dengan perempun yang masing-masing tidak terikat dengan perkawinan yang sah melakukan persetubuhan. Di dalam penjelasan Pasal 483 RUU KUHP dikatakan bahwa ketentuan ini mengatur mengenai tindak pidana permukahan, dengan tidak membedakan
66 JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 antara mereka yang telah kawin dan yang belum kawin. Begitu pula tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan dalam melakukan tindak pidana tersebut. b. Kumpul Kebo Kumpul kebo ialah seorang laki-laki dengan seorang perempuan hidup bersama dalam satu rumah dan mengadakan hubungan seksual, seperti layaknya suami istri, tetapi mereka belum dalam ikatan perkawinan. Sebenarnya istilah populer yang disebut kumpul kebo ini, tidak hanya menjadi monopoli masyarakat Bali, tetapi sudah merupakan istilah yang sudah dikenal di seluruh tanah air, yang merupakan perbuatan seperti diuraikan di atas. Bedanya, mungkin kalau di daerah Bali perbuatan ini disamping merupakan perbuatan yang asusila, juga dipandang dapat mengganggu keseimbangan kosmis, sehingga dipandang oleh masyarakat adat sebagai perbuatan yang patut dilarang dan pelakunya dapat dikenai sanksi adat. Istilah kumpul kebo ini dapat dipadankan dengan istilah asing, seperti :
“samen leven”’ “living in nonmatrimonial union”; “conjugal union”, atau “cohabitation”.
Walaupun
kumpul
kebo dipandang oleh sebagian
besar
masyarakat Indonesia sebagai perbuatan tercela, namun dalam KUHP yang berlaku saat ini, yang berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) zaman Hindia Belanda, kumpul kebo tidak dinyatakan sebagai perbuatan yang dapat dipidana.4 Dalam perkembangan penyusunan Konsep KUHP Nasional, perbuatan kumpul kebo ini kemudian dijadikan tindak pidana, yaitu sejak Konsep Tahun 1977 yang disusun oleh Tim Basaruddin (dikenal dengan Konsep BAS) sampai 4 Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, hal. 93
I Made Widnyana. Pengaruh… 67 konsep terakhir (2000). Dalam Konsep 2000 edisi 2002, tindak pidana kumpul kebo ini dirumuskan dalam Pasal 422 dan dalam Konsep 2004 dirumuskan dalam Pasal 486.5 Selanjutnya dalam Konsep RUU KUHP Tahun 2009/2010, tindak pidana kumpul kebo ini dirumuskan dalam Pasal 485. Pasal 485 RUU KUHP, menentukan “Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipandang pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II”. Penjelasan Pasal 485 mengatakan bahwa : ketentuan ini dalam masyarakat dikenal dengan istilah “kumpul kebo”. c. Gamia Gemana
Gamia gemana ialah delik adat yang berupa larangan hubungan seksual antara orang-orang yang masih ada hubungan keluarga dekat baik menurut garis lurus maupun ke samping. Jadi, pengertian Gamia Gemana sama dengan incest. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, juga mengatur larangan perkawinan antara orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dekat. Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, merumuskan perkawinan dilarang antara dua orang : a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas; b. Berhubungan darah dalam garis keturunan yang menyamping yaitu antara saudara, antara seorng dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menentu dan ibu/bapa tiri; d. Berhubungan susuan, yaitu orang susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan; e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang; f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. 5
Ibid
68. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 Kini, tindak pidana adat Gamia Gemana tersebut sudah diatur dalam Pasal 487 RUU KUHP (2009/2010). Pasal 487 RUU KUHP, menentukan sebagai berikut : (1) Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang tersebut anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke sampig derajat ketiga, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun. (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa tindak pidana yang diatur dalam ketentuan ini dikenal dengan “perbuatan sumbng ( incest)”. 2. Tindak Pidana Adat Mengenai Benda Suci Keagamaan Sebagaimana telah diuraikan, tindak pidana adat mengenai benda suci keagamaan dapat berupa merusak dan pencurian benda suci keagamaan. Yang dimaksud dengan benda-benda suci ialah “benda-benda yang telah disucikan dengan suatu upacara menurut agama Hindu, yang digunakan sebagai stana (pralingga) Sang Hyang Widhi Waca atau dipergunakan sebagai alat-alat didalam upacara keagamaan”. Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa benda-benda suci adalah benda yang bersih menurut pengertian keagamaan. Artinya, setelah benda itu diupacarai barulah benda itu dapat dikatakan sebagai benda suci yang dipakai sebagai alat untuk menghubungkan diri dengan Sang
Hyang Widhi. Sebelum ada upacara terhadap benda tersebut maka benda itu tak akan mempunyai nilai kesucian, sebab upacara itu mempunyai fungsi yang sangat penting didalam proses penyucian benda tersebut.
I Made Widnyana. Pengaruh… 69 Putusan Pengadilan terhadap kedua jenis tindak pidana adat ini, hingga kini oleh masyarakat kurang dirasakan memberikan keadilan dan perlindungan, karena berdasarkan perundang-undangan pidana kita dewasa ini, terhadap perbuatan-perbuatan pidana tersebut oleh Pengadilan hanya bisa dikualifisir sebagai delik biasa. Seperti halnya pencurian terhadap benda-benda suci keagamaan, Pengadilan hanya mempertimbangkan unsur-unsur pencuriannya saja dan nilai-nilai materiil dari barang yang dicuri. Kalau ditinjau dari nilai yang bersifat materiil saja kadang-kadang benda-benda keagamaan tersebut tidak seberapa besar harganya, tetapi apabila kita tinjau dari sifat magis religiusnya atau
nilai
immateriilnya,
maka
benda-benda
suci
keagamaan
tersebut
mempunyai nilai yang sangat tinggi bahkan mungkin tidak ternilai harganya. Di samping itu, apa yang telah menjadi harapan dari masyarakat agar kejahatan yang berhubungan dengan agama dan kehidupan beragama kini telah menjadi kenyataan, karena telah dirumuskan dalam RUU KUHP (2009/2010) yaitu dalam Bab VII (Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama), Bagian Kedua (Tindak Pidana terhadap Kehidpan Beragama dan Sarana Ibadah), Paragraf 2 (Perusakan Tempat Ibadah (Pasal 348 RUU KUHP yang menentukan bahwa : “Setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”. Di dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa merusak, membakar atau menodai (mengotori) bangunan atau benda ibadah merupakan perbuatan yang tercela, karena sangat menyakiti hati umat yang bersangkutan, oleh karena itu patut dipidana. Untuk dapat dipidana berdasarkan ketentuan dalam Pasal ini,
70. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 perbuatan tersebut harus dilakukan dengan melawan hukum. Perusakan dan pembakaran harus dilakukan dengan melawan hukum. Sedangkan ketentuan mengenai “pencurian benda-benda suci keagamaan” diatur dalam Bab XXV (Tindak Pidana Pencurian), Pasal 603 RUU KUHP (2009/2010) yang menentukan : “Setiap orang yang mencari benda suci keagamaan atau benda yang dipakai untuk kepentingan keagamaan atau benda purbakala, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”. Ini menunjukkan bahwa pemerintah melalui Tim Penyusun RUU KUHP, benar-benar telah memperhatikan aspirasi yang hidup dalam masyarakat, memperhatikan hukum tidak tertulis yang masih hidup ( the living law) dan diikuti oleh masyarakat yang merupakan pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia, sebagaimana pula ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) RUU KUHP, yaitu sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsabangsa. Dengan demikian jelaskan bahwa delik-delik adat Lokika Sanggraha (dalam arti formil), kumpul kebo dan Gamia Gamana, demikian pula pencurian bendabenda suci
keagamaan,
perusakan
tempat-tempat ibadah, tetap
diakui
eksistensinya baik oleh masyarakat maupun oleh pengadilan. Ini menunjukkan betapa besar pengaruh hukum pidana adat dalam rangka pembaharuan hukum pidana Indonesia. Tindak pidana adat baik yang menyakut kesusilaan (Lokika Sanggraha dalam arti formil, Kumpul Kebo, Gamia Gamana) dan tindak pidana adat yang berhubungan dengan agama dan kehidupan beragama (pencurian benda-benda
I Made Widnyana. Pengaruh… 71 suci keagamaan, pencurian dan/atau perusakan tempat-tempat suci keagamaan) telah mendapat tanggapan dan perhatian yang positif dari pemerintah (c.q. Pembentuk U.U.). Selanjutnya, dalam pembahasannya lebih lanjut nanti diharapkan para wakil-wakil rakyat di DPR, mempunyai sudut pandang yang sama, yaitu tetap memperhatikan rumusan pasal-pasal yang tersebut dalam RUU KUHP. IV. PENUTUP Sebagai penutup dari uraian singkat di atas, disampaikan kesimpulan dan saran-saran, sebagai berikut : 1. Simpulan Pembaharuan KUHP (materi hukum pidana) dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, pembaharuan dengan cara parsial, yaitu dengan cara mengganti bagian demi bagian dari kodifikasi hukum pidana. Dan kedua, pembaharuan dengan cara universal, total atau menyeluruh, yakni pembaharuan dengan mengganti total kodifikasi hukum pidana. Hukum Pidana Adat mempunyai pengaruh yang signifikan dalam rangka pembaharuan
hukum
pidana,
karena
keberadaan
hukum
pidana
adat
mempengaruhi pembentukan hukum pidana nasional khususnya dalam rangka pembentukan KUHP Nasional. Hal ini dapat diketahui dari : 1. Dimasukkannya beberapa jenis tindak pidana adat yang berlaku di daerah Bali, seperti tindak pidana adat Lokika Sanggraha, Kumpul Kebo dan Gamia
Gamana (incest) ke dalam konsep KUHP. 2. Dirumuskannya tindak pidana (delik) pencurian dan perusakan atas bendabenda suci keagamaan dan tempat beribadah.
72. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 2. Saran Beberapa tindak pidana adat yang dikenal dari daerah Bali yang sudah dirumuskan dalam RUU KUHP seperti tindak pidana adat Lokika Sanggraha (Pasal 483 sub e), Kumpul Kebo (Pasal 485) dan Gamia Gemana (Pasal 487), serta tindak pidana pencurian benda-benda suci keagamaan atau bend yang dipakai untuk beribadah (Pasal 603) dan perusakan tempat ibadah atau benda yang dipakai untuk beribadah (Pasal 348), hendaknya tetap dipertahankan dengan alasan-alasan sebagai berikut : 1.
Tindak pidana atau perbuatan pidana ini tidak hanya dikenal di daerah Bali, tetapi pengertian dan unsur-unsurnya juga dikenal di daerah lain.
2.
Untuk adanya keadilan dan kepastian hukum, sebab hingga saat ini masih banyak pelaku perbuatan pidana tersebut di daerah lain, tidak terjangkau oleh hukum pidana positif karena hukum adat daerah tersebut tidak mengenalnya lagi.
3.
Mengingat masyarakat bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang mengenal adat istiadat serta pandangan keagamaan yang kuat, tentu akan mempunyai
sudut
pandang
yang
sama,
bahwa
perbuatan
tersebut
merupakan perbuatan melawan hukum dan tercela yang patut diberi sanksi demi adanya keadilan dan kepastian hukum. 4.
Untuk
adanya kodifikasi
dan
unifikasi
hukum
pidana, sebagaimana
diamanatkan oleh GBHN, dengan memperhatikan hukum dan kesadaran hukum yang hidup/berkembang dalam masyarakat.
I Made Widnyana. Pengaruh… 73
DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku Andi Zainal Abidin, 1987, Azas-azas Hukum Pidana Bagian Pertama, Alumni Bandung. Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Goesti Poetoe Djelantik, en Ida Bagoes Oka, Wetboek “Adi Agama” Oud Balisch
Wetboek Op Last Van Den Residant Van Bali En Lombok In Het HoogBalisch Vertald, Batavia Landsdrukkerij, 1900.
Goesti Poetoe Djelantik, Wetboek “Agama” In Het Hoog-Balisch En Maleisch Vertaald, Herzien en Verbeterd door H.J.E.F. Schwartz, Batavia Landsdrukerij, 1918.
Wetboek ”Koetara Agama” In Het Hoog – Balisch En Maleisch Vertaald, Herzien en Verbeterd door H. J.E.F. Schwartz, Batavia Landsdrukerij, 1918.
Haveman, Roelof H. 2002, The Legality of Adat Criminal Law in Modem Indonesia, PT. Tatanusa, Jakarta. I Made Widnyana, 1989, Lokika Sanggraha Dalam Pembentukan KUHP Nasional, diterbitkan oleh Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar. K. Wacik, Saleh, 1980, Seminar Hukum Nasional 1963-1979, Ghalia Indonesia, Jakarta. Peraturan Perundang-undangan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta, 2009/2010. No. 1/Drt/1951, tentang Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilanpengadilan Sipil.
Undang-Undang
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman jo. Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004. Makalah, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Majalah Hukum, Bahan Kuliah, Hasil Penelitian
74. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137
Departemen Kehakiman, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Hasil Seminar Hukum Nasional VI, 25-29 Juli 1994 di Jakarta, 1994. Fakultas Hukum Universitas Udayana, Jurusan Hukum Pidana, Laporan Penelitian
Inventarisasi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri Denpasar dan Pengadilan Negeri Gianyar Tahun 1985, dan Pengadilan Negeri Amlapura, Klungkung, Bangli, Tabanan, Negara dan Singaraja tahun 1987.
Fakultas Hukum UNUD bekerjasama dengan ASPEHUPIKI Pusat, Laporan
Seminar Nasional Relevansi Hukum Pidana Adat dan Implementasinya dalam Hukum Pidana Nasional, Denpasar, 1994.
I Made Winyana, Eksistensi Delik Adat Dalam Pembangunan, Orasi Pengukuhan disampaikan dihadapan Sidang Terbuka Saat Universitas Udayana saat peresmian penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Udayana di Denpasar, Selasa 21 Juli 1992. Tjok Raka Dherana dan I Made Widnyana, Agama Hindu dan Hukum Pidana Nasional, Prasarana dalam Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, Diselenggarakan dalam Rangka Kerjasama BPHN dengan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, pada tanggal 17 – 19 Maret 1975.
Simon Nahak. Pidana… 75 Pidana Dan Pemidanaan Yang Berorientasi Efek Jera 1 Dalam Industri Pariwisata Simon Nahak2
Abstract Crime and punishment in the criminal law contains a provision that criminal sanctions are formulated in various forms of legislation are well laid out according to the draft Criminal Law (Penal Code ) and criminal aspects of the tourism sector specifically regulated in the Law of the Republic of Indonesia Number 10 of 2009 on tourism. The nature of the criminal law is essentially used as a tool or a final remedy (ultimum remedium) to provide a deterrent to any person convicted of a criminal act intentionally or unintentionally, whether criminal acts committed in a structured, spontaneous, and because of the need. Any person convicted of a criminal act or a crime or criminality in tourism should be a criminal act for any errors be responsible everyone. Against the criminal acts must be prevented and preventive pre - umptif then advance through preventive and repressive form of criminal sanctions and threatened punishment as stipulated in the provisions of the Criminal Justice Act, the criminal provisions in the Tourism Act and the penal system according to Article 10 of the Code of Penal determine" the penalties are, the principal penalties, the death penalty, imprisonment, fines. Additional penalties: revocation of some specific rights, deprivation of certain goods, the judge's verdict" Keywords:Crime and Punishment in the Aspects of Tourism Abstrak Pidana dan pemidanaan dalam hukum Pidana yang memuat ketentuan berupa sanksi pidana diformulasikan dalam berbagai bentuk Peraturan Perundang-undangan baik diatur menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun khusus aspek pidana bidang kepariwisataan diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Sifat hukum pidana pada hakekatnya dipergunakan sebagai alat bantu atau upaya hukum terakhir (ultimum remedium) untuk memberikan efek jera kepada setiap orang yang terbukti melakukan perbuatan pidana dengan sengaja ataupun tanpa sengaja, baik perbuatan pidana yang dilakukan secara terstruktur, spontan, maupun karena kebutuhan. Setiap orang yang terbukti 1
Makalah dipresentasikan dalam rangka sebagai Narasumber Seminar Regional Bali Refleksi Akhir Tahun 2013, Pidana dan Pemidanaan Yang Berorientasi Efek Jera dalam Industri Pariwisata, kerjasama Koran Nusa Dua Post dengan Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Warmadewa di Kampus Universitas Warmadewa, Rabu, 11 Desember 2013 2
Dosen Tetap Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Warmadewa Denpasar, Jln. Terompong No. 24 Tanjung Bungkak Denpasar Tlp (0361) 223858, Email: simonnahak
[email protected].
76. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 melakukan perbuatan pidana atau kejahatan atau kriminalitas bidang pariwisata harus bertangungjawab perbuatan pidana atas kesalahan setiap orang. Terhadap perbuatan pidana harus dicegah pre-umptif dan preventif terlebih dahulu barulah melalui pencegahan represif berupa Sanksi pidana dan pemidanaan sebagaimana diatur dan diancam dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, ketentuan pidana dalam Undang-Undang Kepariwisataan serta sistem pemidanaan menurut Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menentukan “hukuman-hukuman ialah, hukuman-hukuman pokok, hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan, hukuman denda. Hukuman-hukuman tambahan: pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang tertentu, pengumuman putusan hakim”. Kata Kunci : Pidana dan Pemidanaan dalam Aspek Kepariwisataan I.
PENDAHULUAN
“Berilah aku hakim yang baik, Jaksa yang baik serta Polisi yang baik, maka dengan hukum yang buruk sekalipun akan memperoleh hasil yang lebih baik (Prof. Taverne)”.
“Berilah aku hakim yang baik, Jaksa yang baik, Polisi yang baik, Advokat yang baik, penguasa eksekutif yang baik, pemegang kekuasaan legislatif yang baik, pengusaha yang baik, serta masyarakat yang sadar dan taat hukum, maka dengan hukum yang buruk sekalipun akan memperoleh hasil yang lebih baik” (Dr. Simon Nahak,SH.MH.)3
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin asas persamaan di depan hukum (equality before the law), sehingga Negara bertugas untuk memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh warga Negara yang berdomisili di wilayah hukum Negara Republik Indonesia harus dilaksanakan
untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang kuat dalam
Negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, demokratis, dan berdasarkan hukum. Hal tersebut dapat didasari argumentasi yuridis bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandamen sebagai konstitusi Negara Kesatuan RI telah menjamin persamaan di depan hukum, sehingga penegak hukum wajib menegakan hukum
3
Ibid., hal.3
Simon Nahak. Pidana… 77 secara adil, benar, dan pasti tanpa diskriminatif yakni tidak membedakan kaum pria, wanita, golongan, etnis, kelompok, suku, agama maupun wisatawan asing di wilayah hukum Negara Kesatuan RI, khususnya wisatawan yang datang berkunjung di Bali. Negara kesatuan Republik Indonesia dibangun oleh para pendiri Negara dengan tujuan sebagaimana diatur dalam alinea ke-4 Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan : “... untuk
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah dan untuk memajukan kesejhateraan umum...” berdasarkan dasar Negara Pancasila. Demi mewujudkan tujuan Negara tersebut maka Negara hukum Republik Indonesia ada karena: adanya wilayah, rakyat/penduduk, pemerintah/penguasa dan ada wisatawan asing yang berkunjung di wilayah hukum Negara RI, khususnya Bali pulau Dewata sebagai salah satu tempat wisatawan yang ramai dikunjungi, untuk mendatangkan devisa bagi Negara, khususnya pulau Bali. Tujuan Negara sebagaimana diatur dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (disingkat UUD NRI 1945) tersebut, maka terhadap perilaku jahat setiap orang terhadap warga Negara asing harus ditanggulangi. Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara menulis bahwa : “Perubahan-perubahan yang berlangsung cepat di Negara kita...., diiringi dengan berbagai krisis yang kadang-kadang mencemaskan. Salah satu yang mencemaskan tersebut adalah maraknya kejahatan (kriminalitas), baik yang bersifat kekerasan (violence) maupun non-kekerasan (non-violence). Media massa tidak pernah sepi memberitakan peristiwa kejahatan yang terjadi hampir merata di seluruh tanah air. Banyaknya informasi mengenai berbagai tindak kejahatan yang mengelilingi hidup kita sehari-hari, lambat laun dapat memupuk imunitas perasaan kita terhadap kejahatan. Kita menjadi terbiasa dengannya. Apabila keadaan ini terus berlarut-larut, bisa jadi kita tidak peka lagi, apakah kita sendiri masih tetap berada jalur yang benar”.4 4 Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, 2001, Ketika Kejahatan Berdaulat, sebuah Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiologi, Penerbit Peradaban, Jakarta.
78. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 Pendapat tersebut ketika dibaca secara historis disadari bahwa kejahatan itu ada dengan setua usia manusia itu ada. Pada mulanya manusia dilahirkan baik adanya, namun dalam perkembangan hidupnya terdapat perubahan-perubahan yang mempengaruhi hidup dan kehidupan manusia itu sendiri. Kriminalitas yang merusak citra pariwisata Bali, harus ditanggulanggi terhadap siapa pelaku, tanggung jawab pelaku, sanksi dan pemidanaan bagi pelaku kejahatan (kriminalitas) tersebut. Berdasarkan pengantar yang melatarbelakangi uraian tersebut, maka timbul beberapa pertanyaan permasalahan hukum (legal issue) antara lain: 1. Apa yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan? 2. Bagaimana kualifikasi jenis-jenis perbuatan kejahatan terhadap Pariwisata di Bali? 3. Bagaimana tanggung jawab, sanksi dan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan Pariwisata di Bali? II. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEJAHATAN Negara RI didirikan dengan tujuan sesuai amanat pembukaan UUD NRI tahun 1945 dan Pasal 28 batang tubuh UUD NRI tahun 1945, maka Negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan hukum terhadap berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, Pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah daerah, yang dibangun berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Kepaiwisataan merupakan keseluruhan kegiatan yang terkait dengan Pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan Negara serta interaksi antara wisatawan dan
Simon Nahak. Pidana… 79 masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Pengusaha (vide Pasal 1 ayat (4) UU RI No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan) Argumentasi
hukum
(legal
reasoning)
tersebut,
maka
penulis
berpandangan bahwa Negara wajib hukumnya untuk memberikan perlindungan hukum (legal protect) terhadap setiap wisatawan mancanegara yang berkunjung di Bali agar dapat melaksanakan kegiatan kepariwisataan yang berfungsi memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan devisa Negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, maka para wisatawan asing memilki Hak Asasi Manusia yang harus dilingdungi hukum oleh Negara dalam hal ini Pemerintah Daerah Bali. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan yang telah dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2009 Lembaran Negara RI tahun 2009 No. 11 tentang Kepariwisataan Pasal 20 menentukan setiap wisatawan memperoleh: a. b. c. d. e. f.
Informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata Pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar Perlindungan hukum dan keamanan Pelayanan kesehatan Perlindungan hak pribadi, dan Perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang beresiko tinggi
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa setiap orang berkewajiban untuk memberikan informasi yang benar, bukan informasi yang menyesatkan terhadap seluruh wisatawan yang adalah orang yang melakukan wisata di Bali, memberikan pelayanan yang standar, memberikan perlindungan hukum dan keamanan bukan melakukan kejahatan atau memberikan ketidak nyamanan, Pemerintah dan Pmerintah daerah wajib memberikan pelayanan kesehatan,
80. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 memberikan perlindungan hak pribadi dan perlindungan asuransi. Terhadap setiap wisatawan yang berkunjung ke Bali. Kejahatan dibaca dari segi filsafat ilmu, maka pemakalah membaca dalam aspek ontologisme bahwa “kejahatan pada hahekatnya adalah perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang sejak lahir karena manusia pada dasarnya dilahirkan dengan sifat dan karakter dasar bawaan jahat/baik atau
baik/jahat, dalam
filsafat Hindu Bali dikenal (Rua Bineda)”, sehingga kejahatan merupakan perbuatan yang anti social dan bertentangan dengan norma baik itu norma agama, sosial maupun norma hukum. Kejahatan dalam dimensi ilmu pengetahuan, maka P. Topinard seorang ahli dari Perancis, berhasil menciptakan istilah “criminologi” sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan yang berusaha untuk mencari sebab-sebab serta mengatasinya. P. Topinard menulis bahwa “timbulnya suatu kejahatan selain faktor intern seperti hobby, pembawaan, juga disebabkan adanya faktor ekstern seperti ekonomi, sosial dan seterusnya”. Mr. W.A Bonger menulis bahwa “kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti soSial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari Negara berupa penderitaan”. JE. Sahetapy menulis bahwa “kejahatan adalah tidak lain dan tidak bukan hanyalah suatu penanaman belaka yang diberikan oleh pemerintah selaku pihak yang berkuasa yang dalam pelaksanaannya dibebankan kepada pundak hakim untuk memberikan penilaian/pertimbangan apakah suatu persoalan yang diajukan kepadanya adalah perbuatan pidana atau bukan”.5
5 Sahetapy JE, Cs. 1982,, Kausa Kejahatan dan beberapa Analisa Kriminologi, Penerbit CV Rajawali, Jakarta, hal.108
Simon Nahak. Pidana… 81 Kejahatan dibaca dari segi religious maka B. Bosu, menulis bahwa “dalam Kitab suci perjanjian Lama dilukiskan bahwa kejahatan itu timbul sejak Adam dan Hawa berbuat dosa di taman Firdaus, oleh karena mereka telah memetik dan memakan buah yang terlarang Tuhan/Yahwe. Akibatnya mereka mendapat hukuman pengusiran dari taman itu serta kehilangan kebahagiaan hidupnya serta dikenai hukuman kematian fisik”.6 R. Soesilo membedakan pengertian “Kejahatan ditinjau dari segi Yuridis dan Sosiologis”.
Ditinjau segi Yuridis pengertian kejahatan adalah suatu
perbuatan/tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang”.7 Pengertian yuridis tersebut menegaskan bahwa untuk dapat menilai apakah perbuatan itu bertentangan dengan undang-undang, maka peraturan dan perundang-undang itu haruslah dibentuk/diformulasikan terlebih dahulu, sebelum adanya perbuatan pidana, hal tersebut selain untuk mencegah adanya tindakan sewenang-wenang dari pihak penguasa, juga agar dapat memberikan keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum. Asas dalam ilmu hukum pidana disebut
sebagai “Nullum de lictum nulla poena siane proviea”, sebagai karakter hukum pidana dikenal asas legalitas, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menentukan: “Tiada suatu perbuatan boleh dijatuhi hukuman selain berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang telah dibentuk sebelumnya”. Contoh pembentukan/formulasi yuridis, Pasal 338 KUHP menentukan: “Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain dipidana karena 6
Bosu B, 1982, Sendi-Sendi Kriminologi, Penerbit Usaha Nasional, Surabaya, hal. 18
7 Sosilo R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor.
82. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 pembunuhan biasa, dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun”, demikian juga ketentuan pidana tentang pembunuhan berencana, pencurian, penjambretan, pemerkosaan, teroris, penyerobotan hak, pemalsuan, Korupsi, Narkoba, pengrusakan fasilitas umum, penipuan dan pengelapan, dll baik diatur dalam KUHP, Undang-Undang Kepariwisataan, Korupsi, Terorisme, UndangUndang Narkoba, Bab XI Ketentuan Pidana, Pasal 113-136 UU RI No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian atau dalam Bab XV Ketentuan Pidana, Pasal 64 ayat (1) dan (2) UU RI No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan telah diatur terlebih dahulu mengenai sanksi pidana dan pemidanaan terhadap pelaku dan tanggung jawab pidana yang merusak citra Pariwisata. Kejahatan dalam segi sosiologis “kejahatan artinya perbuatan atau tingkah-laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan ketentraman dan ketertiban”. Berdasarkan
pengertian
kejahatan
dalam
aspek
filsafat,
ilmu
pengetahuan, yuridis dan sosiologis, maka faktor-faktor penyebab kejahatan antara lain: Daerah, Faktor bawaan, Faktor lingkungan, Faktor ekonomi, Faktor social, Faktor budaya, Faktor Politik, Faktor Hukum. III.KUALIFIKASI JENIS PERBUATAN KEJAHATAN PARIWISATA DI BALI Bentuk kualifikasi berupa jenis-jenis pidana di Indonesia diuraikan bahwa jenis pembagian perbuatan pidana, dibagi dalam Pelanggaran yaitu perbuatan pelaku tindak pidana tanpa sengaja dan Kejahatan yaitu perbuatan pelaku tindak pidana dengan sengaja. Menurut sistem Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (disingkat KUHP) dibagi atas Kejahatan ( misdrijven) dan pelanggaran
Simon Nahak. Pidana… 83 (overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini, tidak ditentukan dengan nyatanyata dalam suatu pasal KUHP tetapi sudah dianggap demikian adanya, dan ternyata antara lain dari Pasal 4,5,39,45 dan 53 buku ke-1. Buku II mengatur tentang Kejahatan dan Buku III mengatur tentang Pelanggaran. Pasal 4 KUHP menentukan “setiap orang, baik warga Negara Indonesia, maupun warga Negara asing yang berbuat kejahatan sebagaimana termaksud dalam pasal ini, meskipun di luar wilayah Indonesia, dapat dikenakan ketentuan-ketentuan pidana Indonesia” . Moeljatno menulis bahwa, “Menurut M.v.T (Smidt 1 halaman 63 dan seterusnya) pembagian atas dua jenis didasarkan atas perbedaan prinsipil, dikatakan bahwa kejahatan adalah rechtsdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah wetsdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian”.8 Pendapat Moeljatno tersebut, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana membagi atas dua jenis. Pertama kejahatan dalam bahasa Belanda
rechtsdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, tetapi telah dirasakan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Kedua Pelanggaran dalam bahasa (wetsdelicten),
Belanda
yaitu
perbuatan-perbuatan
yang
sifat
melawan
hukumnya baru dapat diketahui setelah ada undang-undang yang mengatur demikian. Moeljatno menulis bahwa, selain daripada sifat umum bahwa ancaman pidana bagi kejahatan adalah lebih berat daripada pelanggaran, maka dapat dikatakan bahwa:
8
hal. 78
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta,
84. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 1. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja. 2. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang diperlukan di situ, harus dibuktikan oleh Jaksa, sedangkan jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak usah. Berhubung dengan itu kejahatan dibedakan pula dalam kejahatan yang dolus dan culpa. 3. Percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana (Pasal 54). Juga pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60). 4. Tenggang kadaluarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan tersebut masing-masing adalah satu tahun dan dua tahun. 5. Dalam hal perbarengan (concursus) cara pemidanaan berbeda buat pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang enteng lebih mudah daripada pidana berat (Pasal 65, 66, 70).9 Pendapat Moeljatno tersebut menjelaskan bahwa ancaman hukuman terhadap kejahatan lebih berat dari pelanggaran sebab pidana penjara hanya diancamkan
kepada
kejahatan
saja,
terhadap
kejahatan
Jaksa
harus
membuktikan bentuk kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan, kejahatan dibedakan dolus dan culpa, sedangkan terhadap pelanggaran tidak perlu dibuktikan karena mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana, tenggang waktu kadaluarsa terhadap pelanggaran lebih pendek dari kejahatan dan sistem pemidanaan terdapat perbedaan antara pelanggaran dan kejahatan. Moeljatno selanjutnya menulis bahwa, “perbuatan pidana, selain daripada dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, biasanya dalam teori dan praktik dibedakan pula antara lain: 1. Delik dolus dan delik culpa, bagi delik dolus dan culpa diperlukan adanya kesengajaan, misalnya Pasal 338 KUHP “dengan sengaja menyebabkan matinya orang lain”, sedangkan pada delik culpa orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya Pasal 359 KUHP dapat dipidananya orang yang menyebabkan matinya orang lain karena kealpaannya. 2. Delik commissionis dan delikta commissionis. Yang pertama adalah delik yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (Pasal 362), menggelapkan (Pasal 372), menipu (pasal 378). Kedua adalah delik yang
9
Ibid, hal. 81
Simon Nahak. Pidana… 85 terdiri dari tidak melakukan sesuatu pada hal mestinya berbuat. Misalnya delik dirumuskan dalam Pasal 164 : mengetahui suatu permufakatan jahat (samenspanning) untuk melakukan kejahatan yang disebut dalam pasal itu, pada saat masih ada waktu untuk mencegah kejahatan, tidak segera melaporkan kepada instansi yang berwajib atau orang yang terkena. Pasal 224: tidak mengindahkan kewajiban menurut undangundang sebagai saksi atau ahli. Adapula yang dinamakan delikta commissionis peromissionem commissa, yaitu delik-delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat dilakukan dengan tidak berbuatan, misalnya seorang ibu yang merampas nyawa anaknya dengan jalan: tidak memberi makan pada anak itu. 3. Delik biasa dan delik yang dikualifikasi (dikhususkan), delik yang belakangan adalah delik biasa ditambah dengan unsur-unsur lain yang memberatkan acaman pidananya. Contoh Pasal 362 adalah pencurian biasa dan Pasal 363 adalah pencurian yang dikualifikasi, yaitu karena cara melakukannya diwaktu ada kebakaran atau dengan beberapa orang, maupun karena objeknya adalah hewan. Pasal 351 KUHP adalah penganiayaan biasa sedangkan Pasal 353, 354, 355, dan 356 KUHP adalah penganiayaan yang dikualifikasi, karena mungkin cara objeknya, maupun akibatnya, adalah lebih khusus daripada dalam penganiayaan biasa. 4. Delik menerus dan tidak menerus, perbuatan yang dilarang menimbulkan keadaan yang berlangsung terus. Misalnya Pasal 333 KUHP, yaitu orang yang merampas kemerdekaan orang lain secara tidak sah (wederrechtelijke vrijheids-beroving). Keadaan yang dilarang itu berjalan terus menerus sampai si korban dilepas atau mati…”. 10 Uraian kualifikasi/jenis perbuatan pidana yang membedakan pelanggaran berupa perbuatan tanpa sengaja dan kejahatan berupa perbuatan dengan sengaja, menurut Moeljatno tersebut, dalam hubungannya dengan tindak pidana dalam aspek kepariwisataan maka culpa dan dolus diatur dalam Bab Ketentuan Pidana Kepariwisataan. Kualifikasi kejahatan dan pelanggaran sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan pariwisata di Bali sangat perlu dilakukan karena penerapan sanksi pidana tidak hanya melalui hukuman pidana kurungan, penjara dan denda melainkan terdapat hukuman atau sanksi administrasi berupa pembayaran bunga dan denda administrasi, sanksi administrasi biasanya dikenakan terhadap 10
Ibid, hal. 82-84
86. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 pelanggaran secara administrasi, sedangkan sanksi pidana dikenakan terhadap pelaku yang terbukti lalai dan sengaja ( culpa dan dolus) melanggar UndangUndang. H. Bambang Purnomo menulis bahwa: “perkembangan hukum pidana seperti konsep hukum pidana dan penyelenggaraan penegakan hukum pidana mengembangkan “scientific justice”, and scientific treatment of the criminal” dalam rangka mencapai wujud “procise justice”. Perkembangan hukum pidana ( open oriented) dalam penyelenggaraannya membawa konsekuensi yaitu (1) dalam hal-hal tertentu harus dapat menerima kenyataan-kenyataan sosial/kemanfaatan sosial masuk pada penyelenggaraan penegakan hukum pidana, dan (2) mengharuskan pula rasa tanggung jawab masyarakat dalam kehidupan bersama menempatkan kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah dengan menggunakan alat sanksi hukum pidana sehingga dapat dikembangkan “administrative penal law” berupa sanksi pidana dalam lingkup hukum administrasi”.11 Pemakalah memperhatikan bahwa selain kualifikasi jenis-jenis kejahatan berupa kejahatan yang dilakukan dengan sengaja ( dolus) dan tanpa sengaja (culpa), dalam perkembangan ilmu hukum pidana perbuatan jahat berupa, kejahatan terstruktur (by structur/system), by accident, dan kebutuhan (by
need). Contoh perbuatan pidana terhadap orang asing, berupa: 1. Perbuatan Kekerasan : merampas kemerdekaan orang lain hingga meninggal dunia,
pemerkosaan,
pencurian
dengan
kekerasan,
penjambretan,
penganiayaan, pengrusakan, terorisme, dll 2. Perbuatan tanpa kekerasan: pemalsuan, penipuan, penggelapan, korupsi, Narkoba, pencurian, pencucian uang (money laundering), Penyuapan, dll
11 H. Bambang Poernomo, Bahan Penataran Dosen Sanksi Pidana Dalam Hukum Administrasi, makalah penataran, tanpa tahun, hal. 2
Simon Nahak. Pidana… 87
IV. TANGGUNG JAWAB, SANKSI DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU KEJAHATAN PARIWISATA DI BALI Tanggung jawab pidana aspek pariwisata dalam dimensi ilmu hukum pidana Indonesia yang secara positif diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah tanggung jawab pidana berdasarkan asas personalitas yakni; tanggung jawab setiap orang atas kesalahan yang dilakukan karena melanggar norma-norma ketentuan pidana. Moeljatno menulis bahwa “pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana menurut pendapat Moeljatno; apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan? Sebab asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah tidak dapat dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir rea).12 Sedangkan,C.S.T. Kansil mengutip bahwa ajaran kesalahan atau schuld-
leer dalam hukum pidana mengandung arti bahwa seseorang itu dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya karena adanya hubungan kejiwaan dengan perbuatan seseorang.13 Dalam hukum pidana sulit untuk diartikan schuld itu, karena pengertian schuld (kesalahan) dapat dipandang menjadi 2 (dua) arti, yaitu :14 a.
schuld in social ethische zin (kesalahan dalam arti sosial etis), artinya hubungan jiwa antara seseorang yang melakukan perbuatan itu yang dapat dipertanggungjawabkan kesalahannya.
b.
Pendapat Van Hamel : jiwa yang sehat yang dapat dipertanggungjawabkan itu harus mempunyai syarat – syarat; Dapat memahami perbuatannya dan akibat dari perbuatan itu;
12
Moeljatno. Op.Cit., hal. 153.
13
Kansil C.S.T., 2007, Hukum Pidana, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hal. 130.
14
Ibid.
88. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 Menginsafkan dan mengerti bahwa perbuatannya itu dilarang oleh masyarakat; Bebas menentukan kehendak. Pendapat Simons : syarat – syarat jiwa yang sehat yaitu ; a) bahwa ia menginsafi perbuatan itu dilarang; b) ia dapat tentukan perbuatanya. Pendapat Memorie Van Toelichting (MvT) : seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya karena ; 1) ia tidak menginsafi akan perbuatannya yang dilakukan; 2) ia tidak bebas menentukan perbuatannya.15 Dasar dari schuld adalah : situasi kesadaran jiwa. Dengan demikian unsur yang pokok dalam hukum pidana. Jika orang yang bodoh, gila, orang yang dipaksakan melakukan perbuatan pertanggungjawabannya tidak normal, bisa saja bebas orang itu.16
Schuld in stafrechttelijke zin (kesalahan dalam arti bertentangan dengan hukum), artinya schuld dalam pengertian “hukum pidana” terbagi di dalam 2 bagian : 1) schuld dalam arti opzet (sengaja/dolus); 2) schuld dalam arti alpa (kelalaian/culpa).17
Opzet dapat diterjemahkan dengan sengaja. Dalam hukum pidana opzet merupakan salah satu unsur dari delik. Inti dari pada opzet dalam KUHP tidak jelas. Oleh karena itu pemecahannya dicari dalam doktrin yaitu ada 2 teori : 1) de wiltheorie, teori kehendak, pasti terjadi; kesengajaan itu merupakan yang ditujukan kepada suatu perbuatan yang dilarang/yang diharuskan oleh undang – undang;
15
Ibid, hal.131.
16
Ibid.
17
Ibid, hal.130
Simon Nahak. Pidana… 89 2) de voorstellingtheorie; teori perkiraan, harapan belum terjadi, bahwa orang hanya memperkirakan/mengharapkan terwujudnya suatu perbuatan tetapi akibat dari perbuatan tersebut tidak secara pasti terwujud , karena itu teori perkiraan/harapan.18 Berdasarkan uraian kedua teori tersebut, maka selain kedua teori itu, terdapat 3 (tiga) teori yang dapat mengukur niat atau kehendak itu, yaitu : a) Determinisme berpendapat; seseorang manusia kehendaknya itu sudah ditentukan oleh suatu pengaruh baik dari dirinya maupun pengaruh lingkungannya/avialisinya. b) Indeterminisme berpendapat; kehendak seseorang tidak ditentukan oleh keadaan yang sudah ada tetapi ditentukan oleh dirinya sendiri. c) Neo determinisme berpendapat seseorang memang dipengaruhi oleh dirinya/kehendak akal sehatnya. Oleh karena itu seseorang itu bagian dari masyarakat. Seseorang itu harus menjaga ketertiban masyarakat bersama.19 Pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum adalah subyek hukum (legal subject), sebagai pembawa atau penyandang hak dan kewajiban dalam hubungan – hubungan hukum, di mana subyek hukum dapat merupakan orang
atau
natuurlijkpersoon
(menselijkpersoon)
dan
bukan
orang
(rechtspersoon). Rechtspersoon biasa disebut badan hukum yang merupakan
persona ficta atau orang yang diciptakan oleh hukum sebagai persona. Dalam tindak pidana di bidang pariwisata sebagai pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana merupakan suatu perbuatan setiap orang yang di dalamnya terdapat subyek hukum orang dan subyek hukum badan hukum. Contoh
orang
yang
merusak
tempat
pariwisata,
badan
hukum
yang
mencemarkan lingkungan sehingga merusak pariwisata alam. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pariwisata maka pemakalah berpandangan bahwa teori tanggungjawab pidana terhadap
18
Ibid, hal.134
19
Ibid.
90. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 pelaku tindak pidana pariwisata
adalah merupakan “teori tanggung jawab
berdasarkan kesalahan (liability based on fault atau culpability )”. Pembentukan hukum pidana tentang sistem pemidanaan (Pemberian Sanksi Pidana) terhadap pelaku tindak pidana pariwisata pada saat sekarang merupakan produk legislasi didasarkan pada politik kriminal atau kebijakan hukum pidana.
Istilah “Kebijakan hukum pidana”, atau sering pula dikenal
dengan istilah “penal policy”; “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”. 20 Uraian politik pidana tersebut, menegaskan bahwa istilah hukum Pidana mengandung beberapa arti, atau lebih tepat jika dikatakan bahwa hukum pidana itu dapat dipandang dari beberapa sudut, Pertama dari sudut hukum pidana dalam arti subjektif dan dari sudut hukum pidana dalam arti objektif. Hukum pidana dalam arti objektif atau disebut dengan ius poenale yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarannya diancam dengan hukum. Ius Poenale dapat dibagi dalam hukum pidana materiil dan pidana formil. Hukum pidana materiil berisikan peraturan-peraturan tentang: a. Perbuatan-perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman ( strafbaar geiten); b. Siapa-siapa yang dapat dihukum, atau dengan kata lain mengatur pertangungan jawab terhadap hukum pidana; c. Hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang atau juga disebut hukum penitentiair.21 Hukum pidana formil, ialah sejumlah peraturan yang mengandung caracara Negara mempergunakan haknya untuk melaksanakan hukuman. Banyak
20
Barda Nawawi Arief, 1996, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana penjara, Universitas Diponegoro, Semarang, hal.3 21 Siswanto Sunarso, 2009, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik Studi Kasus Prita Mulyasari, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 88-89
Simon Nahak. Pidana… 91 sarjana menyebut hukum pidana materiil disebut juga hukum pidana in
abstracto, yaitu yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk pengaturan sanksi pidana secara umum dan secara khsusus yang berhubungan dengan kejahatan yang mengusik bidang pariwisata, pengaturan sanksi pidananya diatur dalam Ketentuan Pidana Umum dan Pidana khusus (KUHP, UU RI kepariwisataan, Narkoba, Keimigrasian). Pengaturan
rumusan
sanksi
pidana
Kepariwisataan
berdasarkan
ketentuan tersebut diatas, dalam sistem hukum positif dewasa ini diatur dalam Bab XV Ketentuan Pidana Pasal 64 menentukan:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melawan hukum merusak fisik daya tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10 .000.000,- (sepuluh miliyar rupiah). (2) Setiap orang karena kelalaiannya dan melawan hukum, merusak fisik, atau mengurangi nilai daya tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5 .000.000,- (lima miliar rupiah) Frase rumusan pengaturan sanksi pidana di bidang kepariwisataan dalam perubahan kedua pada saat sekarang, nampak jelas bahwa sejak awal Politik hukum pembentukan Pidana dalam Pemidanaan bidang kepariwisataan telah dirumuskan mengenai sanksi pidana terhadap seitap orang yang dengan sengaja..., yang dalam rumusannya mengutamakan sanksi pidana penjara terlebih dahulu, dan/atau pidana denda, rumusan yang bersifat kumulatif dan alternatif. Uraian tersebut merumuskan bahwa untuk membuktikan pelaku tindak pidana di bidang Kepariwisataan diadakan Pemeriksaan bukti permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang Kepariwisataan.
92. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 Pemberian pidana (pemidanaan) pada tahap aplikasi dan eksekusi dalam sistem hukum positif dewasa ini, maka terhadap pelaku tindak pidana bidang Kepariwisataan
pada
saat
sekarang
mengacu
pada
Undang-Undang
Kepariwisataan, terhadap pelaku tindak pidana yang berkaitan dengan bidang Kepariwisataan dipidana penjara dan/atau denda. Sanksi pidana bidang Kepariwisataan secara concreto dan in concreto terhadap Pelaku Tindak Pidana di bidang Kepariwisataan dalam aspek sistem pemidanaan maka Muladi menulis bahwa: “Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang sering diartikan pula sebagai “hukuman”, sehingga pemidanaan dapat pula diartikan sebagai penghukuman. Hukuman seringkali diartikan sebagai penderitaan yang diberikan kepada seseorang yang telah melanggar suatu aturan dan menimbulkan derita atau nestapa.22 Moeljatno menulis bahwa, “Hukuman adalah istilah yang diberikan sebagai akibat hukum karena melanggar suatu norma hukum. Istilah pidana merupakan pengkhususan dari kata hukuman, hukum pidana yang berlaku sekarang di Indonesia sekarang ini ialah hukum pidana yang telah dikodifikasi, yaitu sebagian terbesar dan aturan-aturannya telah disusun dalam satu Kitab undangundang (wetboek), yang dinamakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menurut suatu sistem tertentu23 Pendapat tersebut menegaskan bahwa aturan-aturan pidana yang ada di luar wetboek ini, seperti sanksi Pidana dalam Undang-Undang Kepariwisataan sepanjang tidak mengatur lain, masih tunduk kepada sistem yang dipakai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hal mana ternyata diatur dalam Pasal 103 KUHP, menentukan “Ketentuan-ketentuan dalam Bab 1 s.d. Bab VIII dan buku ke-1 (aturan-aturan umum), juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh
22
Muladi, 2004, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, hal. 32.
23
Moeljatno, Op.Cit., hal.17
Simon Nahak. Pidana… 93 aturan-aturan dalam perundang lain diancam dengan pidana kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang. Hukum pidana dikodifikasi dalam wetboek, hal ini belum terlihat di semua Negara. Terutama di Negara-negara Angelsaks (Inggris, Amerika, Australia dan Singapura), Negara-negara tersebut memiliki pokok hukum pidana berdasarkan
Commonlaw (hukum adat) dan statutalaw, yaitu aturan-aturan hukum yang tertulis dalam undang-undang. Wirdjono Prodjodikoro menulis bahwa: “Hukuman merupakan istilah yang konvensional maka beliau mencari sesuatu istilah konvensional, yaitu pidana. Dengan demikian dapat dibedakan antara pidana dengan hukuman. Pidana berarti hal yang dipidanakan yaitu yang oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seseorang oknum sebagai hal yang tidak dirasakan. Hal ini selain berhubungan dengan suatu keadaan, seorang yang bersangkutan bertindak kurang baik sedangkan hukuman adalah suatu pembalasan yang tersirat dalam kata pidana. 24 Uraian tersebut menunjukkan bahwa sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia, merupakan hukuman atau pidana yang dijatuhkan harus terlebih dahulu tercantum dalam undang-undang pidana. Adanya ketentuan pidana yang mengatur mengenai perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan yang membedakan antara hukuman dengan pidana. Suatu pidana dijatuhkan berdasarkan ketentuan undang-undang hukum pidana, sedangkan hukuman merupakan sanksi atas pelanggaran suatu ketentuan hukum dan dapat meliputi kejadian sehari-hari. Tetapi antara hukuman dan pidana tetap mempunyai persamaan, yaitu keduanya timbul berdasarkan tata nilai (value), perbuatan baik
24 Wirdjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Ketiga Refika Aditama, Bandung, hal. 76.
94. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 dan tidak baik, perbuatan sopan dan tidak sopan, perbuatan yang diperbolehkan dan yang dilarang, dan seterusnya.
25
Pengaturan sanksi pidana di dalam pandangan masyarakat, orang yang telah dikenakan pidana seolah-olah mendapat cap, bahwa orang tersebut dipandang sebagai orang yang jahat, yang tidak baik atau tercela. Pidana tidak hanya enak dirasa pada waktu dijalani, tetapi sesudah orang yang menjalani pun masih merasakan akibatnya yang berupa cap oleh masyarakat, bahwa ia pernah berbuat jahat. Cap ini di dalam ilmu pengetahuan disebut stigma, dan kalau ini tidak hilang, maka ia seolah-olah dipidana seumur hidup. E. Utrecht menulis bahwa: “Akibat yang ditimbulkan dari pemidanaan terhadap seseorang dapat mempengaruhi kehidupan pribadinya. Oleh karena kewenangan dalam penjatuhan pidana merupakan suatu kewenangan yang sangat penting, maka timbul suatu pertanyaan siapa yang berhak untuk menjatuhkan pidana yang merupakan penderitaan itu”.26 Lamintang P.A.F, menulis bahwa: perkataan pemidanaan adalah sinonim dengan
perkataan
hukuman.
Lamintang
P.A.F.,
selanjutnya
menulis,
“penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan atau memutuskan tentang hukumnya.27 Pendapat tersebut menunjukkan, bahwa menetapkan hukum untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini, berkisar pada hukum pidana, maka istilah
hal. 64. 27
49.
25
Ibid.
26
Utrecht E., 1986, Rangkaian Sari Kuliah, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya,
Lamintang P.A.F., 1984, Hukum Penitensier di Indonesia, Penerbit Armico, Bandung, hal.
Simon Nahak. Pidana… 95 tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, khususnya pidana di bidang Kepariwisataan, yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Natanga Surbakti menulis bahwa pengertian pemidanaan atau pemberian pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yakni : 1.
Pemidanaan dalam arti abstrak (pemidanaan in abstracto) Hukum pidana menciptakan tata tertib di dalam masyarakat melalui pemberian pidana secara abstrak, artinya dengan ditetapkannya di dalam undang-undang perbuatan-perbuatan tertentu sebagai perbuatan yang dilarang disertai ancaman pidana, atau dengan ditetapkannya perbuatan-perbuatan tertentu sebagai tindak pidana di dalam undangundang.
2. Pemidanaan dalam arti konkrit (pemidanaan in concreto) Hukum pidana menciptakan tata tertib atau ketertiban melalui pemidanaan dalam arti konkrit, yakni bilamana setelah suatu undangundang pidana dibuat dan diberlakukan ternyata ada orang yang melanggarnya, maka melalui proses peradilan pidana orang tersebut dijatuhi pidana. Kendati demikian, tujuan akhir dari penjatuhan pidana atau pemberian pidana itu tetap di dalam koridor atau kerangka untuk mewujudkan tujuan hukum pidana. Ini berarti bahwa penjatuhan pidana atau pemberian pidana sebenarnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan hukum pidana.28 Pendapat tersebut menjelaskan tujuan pidana dan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana di bidang Kepariwisataan walaupun menjadi persoalan yang cukup dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan atau tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana adalah pencegahan tingkah laku yang anti sosial,
ataukah
tujuan
pemidanaan
dalam
bidang
Kepariwistaan
untuk
mengembalikan keharmonisan antara pelaku dengan korban, sehingga tidak mengusik citra pariwisata sampai ke luar negeri, karena kejahatan bidang
28 Natanga Surbakti, 2005, Problematika Penegakan Hukum UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Makalah, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Surakarta, hal. 12.
96. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 pariwisata juga merusak dan mengganggu iklim investasi penanaman modal di Bali. Tujuan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana bidang pariwisata adalah untuk memberikan efek jera kepada Pelaku tindak pidana berupa pidana penjara dan/atau denda, serta untuk mengembalikan keharmonisan demi menjaga citra pariwisata terhadap pemberian pidana oleh badan yang berwenang (tahap aplikasi sebagai kebijakan yudisial) dan pelaksanaan pidana oleh
instansi
yang
berwenang
(tahap
eksekusi
sebagai
kebijakan
eksekutif/administrasi). Sanksi hukum pidana janganlah digunakan untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan/membahayakan namun khusus perumusan sanksi hukum pidana dalam bidang pariwisata yang bersifat ultimum remedium atau premeium
remedium secara tegas penggunaannya harus diperhatikan dari aspek ekonomi dan finansial berupa pendapatan devisa sebesar-besarnya bagi penerimaan Negara. Pemakalah berpandangan bahwa Politik hukum Pidana tentang Sanksi dan Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Bidang Pariwisata berorientasi sanksi dan pemidanaan berdasarkan teori keadilan retributif (retributive justice) dan keadilan retoratif (restorative justice). Yakni keadilan yang diterapkan melalui sistem peradilan pidana dan keadilan yang diterapkan melalui non-penal atau mediasi penal. Sistem pemidanaan adalah berupa hukuman ( punishment) dan penghargaan (rewards).
Simon Nahak. Pidana… 97 III. PENUTUP 1. Simpulan 1) Kejahatan ditinjau dari aspek filsafat, ilmu pengetahuan, yuridis dan sosiologis, maka faktor-faktor penyebab kejahatan antara lain: Daerah, Faktor bawaan, Faktor lingkungan, Faktor ekonomi, Faktor sosial, Faktor budaya, Faktor Politik, Faktor Hukum. 2) Bentuk kualifikasi perbuatan pidana berupa perbuatan kesengajaan dan tanpa
sengaja,
perbuatan
terstruktur,
spontan,
kebutuhan
serta
perbuatan dengan kekerasan yakni; merampas kemerdekaan orang lain hingga meninggal dunia, pemerkosaan, pencurian dengan kekerasan, penjambretan, penganiayaan, pengrusakan, terorisme, Perbuatan tanpa kekerasan:
pemalsuan,
penipuan,
penggelapan,
korupsi, Narkoba,
pencucian uang (money laundering), Penyuapan. 3) Tanggung jawab pidana, Sanksi pidana dan pemidanaan adalah terhadap pelaku kejahatan setiap orang, dan badan hukum, sanksi pidana dan pemidanaan berdasarkan teori keadilan retributif ( retributive justice) melalui proses peradilan pidana berupa pidana penjara dan/atau denda yang berorientasi untuk memberikan efek jera kepada pelaku pidana bidang Kepariwisataan, sistem pemidanaan tersebut mengacu pada Buku Pertama Bab II Hukuman-Hukuman, Pasal 10 KUHP menentukan “hukuman-hukuman ialah, hukuman-hukuman pokok, hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan, hukuman denda. Hukumanhukuman tambahan: pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang tertentu, pengumuman putusan hakim.
98. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137
2. Saran
Keadilan restoratif (restorative justice) pidana berupa pemidanaan secara non-penal atau mediasi penal untuk mengembalikan keharmonisan hubungan kemanusiaan antara korban dengan pelaku, sehingga tidak merusak citra Pariwisata Pulau Bali hingga ke luar negeri.
DAFTRA BACAAN Bambang Poernomo H, Bahan Penataran Dosen Sanksi Pidana Dalam Hukum Administrasi, makalah penataran, tanpa tahun Barda Nawawi Arief, 1996, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana penjara, Universitas Diponegoro, Semarang Bosu B, 1982, Sendi-Sendi Kriminologi, Penerbit Usaha Nasional, Surabaya. Kansil, C.S.T., 2007, Hukum Pidana, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta. Lamintang P.A.F., 1984, Hukum Penitensier di Indonesia, Penerbit Armico, Bandung. Muladi, 2004, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung. Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Natanga Surbakti, 2005, Problematika Penegakan Hukum UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Surakarta : Makalah, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Surakarta. Sahetapy JE, Cs., 1982, Kausa Kejahatan dan beberapa Analisa Kriminologi, Penerbit CV Rajawali, Jakarta. Siswanto Sunarso, 2009, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik Studi Kasus Prita Mulyasari, Rineka Cipta, Jakarta. Sosilo R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentarkomentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor. Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, 2001, Ketika Kejahatan Berdaulat, sebuah Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiologi , Penerbit Peradaban, Jakarta. Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Ketiga Refika Aditama, Bandung.
Simon Nahak. Pidana… 99
Utrecht E., 1986, Rangkaian Sari Kuliah, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (s. 1915-732) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1981 tentang Penyuapan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Republik Kepariwisataan
Indonesia
Nomor
10
Tahun
2009
Tentang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 terakhir dengan perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
100. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 Terorisme Dan Implikasi Tindak Pidana Terorisme Terhadap Perkembangan Pariwisata Bali I Made Sepud1
Abstract Terrorism is a systematic action against the law in the hope of destroying the position of the nation and state which are dangerous to body, soul, moral, material, and the freedom of people or creating public damages or situational terror or feeling of fear to people in a wider context, so that there occurs a destruction of vital and strategic objects, main needs of the people, environment, moral, civilization, state confidentialities, culture, education, economy, technology, industry, public or international facilities. Terrorists’ attack on the 11th September 2001 (Black Tuesday), bomb explosion in the J. W Marriot on the 5th of August 2003, Bali Bomb Tragedy at the Sari Club and Paddy’s Club Kuta, Legian Bali on 12 th October 2002, have reminded us of the threats of the world peace and security, which always emerge accidentally. Terrorists who exploded bombs in Mosques, Churches, markets, hotels, tourists’ places or crowds of people, so terrorism expect fear amid the community to the extent that terrorism includes extraordinary crime. Keywords: Terrorism, Extraordinary Crime Abstrak Terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedudukan bangsa dan negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap obyekobyek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum atau fasilitas internasional. Serangan terorisme pada tanggal 11 September 2001 Black Tuesday), ledakan Bom di J.W Mariot tanggal 5 Agustus 2003, Tragedi Bom Bali di Sari Club paddy’s Club Kuta, Legian, Bali 12 Oktober 2002, telah mengingatkan akan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan dunia yang selalu muncul tidak terduga. Terorisme yang meledakan bom di Mesjid, Gereja, pasar, hotel, tempat wisata atau kerumunan orang, maka terorisme tersebut mengharapkan rasa takut di tengah-tengah masyarakat, sehingga terorisme termasuk dalam extra ordinary crime (kejahatan luar biasa). Kata Kunci: Terorisme, Kejahatan Luar Biasa 1 Dosen Tetap Fakultas Hukum dan Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Warmadewa, Denpasar. Jl. Terompong No. 24, Tanjung Bungkak, Denpasar-Bali.
I Made Sepud. Terorisme… 101 I.
PENDAHULUAN Pariwisata sudah diakui sebagai industri terbesar
berbagai
indikator
seperti
sumbangan
terhadap
abad ini, dilihat dari
pendapatan
dunia
dan
penyerapan tenaga kerja. Karena berbagai karakteristiknya, pariwisata telah menjadi sektor andalan di dalam pembangunan ekonomi berbagai negara. Pariwisata bukan saja menyangkut soal ekonomi, sebagai sektor yang multisektoral, pariwisata tidak berada pada ruang hampa melainkan ada dalam suatu sistem yang besar, yang komponennya saling terkait antara yang satu dengan yang lain dengan berbagai aspeknya, termasuk aspek sosial, budaya, lingkungan, politik, keamanan dan sebagainya. Bali merupakan destinasi pariwisata yang sangat terkenal, serta memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perekonomian Bali. Trend peningkatan penerimaan devisa terus berlanjut, kendatipun sempat mengalami pertumbuhan negatif pada tahun-tahun tertentu karena berbagai faktor seperti pada tahun 2002 karena terjadi peristiwa Bom Bali I, wabah Sars, tragedi Marriot Jakarta, wabah flu burung tahun 2003.2 Kepariwisataan merupakan keseluruhan bagian yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta dengan masyarakat setempat,
interaksi antara wisatawan
sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah
daerah dan pengusaha. Sbeagaamna diatur dalam Pasal 1 ayat (4) UndangUndang Nomor No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
2
Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2002,Statistik Pariwisata Bali, hal, 18.
102. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 Tersirat
makna
dalam
undang-undang
tersebut,
negara
wajib
memberikan perlindungan hukum (legal protect) terhadap wisatawan yang berkunjung ke Bali, sehingga para wisatawan merasa nyaman dan aman dalam berwisata di Bali. Keamanan merupakan hal yang penting dalam menciptakan daya tarik bagi para wisatawan yang datang berkunjung ke Bali, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2009, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No.11, tentang Kepariwisataan pasal 20 menentukan setiap wisatawan memperoleh: 1. 2. 3. 4. 5.
Informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata. Pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar. Pelayanan kesehatan. Perlindungan hak pribadi, dan Perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang berisiko tinggi.
Salah satu isu keamanan yang paling menakutkan dalam
bidang
pariwisata adalah masalah terorisme. Sebagaimana yang diungkapkan oleh J.E Sahetapy, “mengapa bangsa yang
katanya berbudaya, berbudi luhur, ramah
tamah, sopan santun, religius, tolong menolong dan gotong royong ini berubah menjadi bangsa atau masyarakat yang homo homini lupus, anarkis brutal dalam hampir seluruh bidang kehidupan dan strata.3 Ungkapan itu memiliki deskripsi kehidupan bangsa
Indonesia yang
faktanya gampang melakukan kekerasan dan melakukan tindakan anarkisme yang berdampak terhadap terjadinya dan meluasnya pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pandangan ini menjadi sulit terbantah tatkala Indonesia dilanda
3
J.E. Sahetapy, Abdul Wahid, 2003, Kegiatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan
hukum, Refika Aditama, Bandung, hal. V.
I Made Sepud. Terorisme… 103 aksi kekerasan berbentuk peledakan bom seperti tragedi Bali dan Hotel Marriot Jakarta.4 Dari latar belakang di atas dapat dirumsukan masalah sebagai berikut: 1. Apa yang menjadi penyebab terjadinya kejahatan terorisme? 2. Bagaimanakah pemidanaan kejahatan terorisme serta implikasinya terhadap perkembangan pariwisata Bali? II. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEJAHATAN TERORISME Teror telah hadir dan menjelma dalam kehidupan sebagai momok, sebagai virus ganas dan monster yang menakutkan yang sewaktu-waktu dan tidak dapat diduga bisa menjelmakan terjadinya “prahara nasional dan global”, termasuk mewujudkan
tragedi
kemanusiaan,
pengebirian
martabat
bangsa
dan
penyejarahan tragedi atas Hak Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi Manusia (HAM) kehilangan eksistensinya dan tercerabut kesucian atau kefitrahannya di tangan pembuat teror yang telah menciptakan kebiadaban berupa aksi animalisasi (kebinatangan), sosial, politik, budaya dan ekonomi. Teror memang sebuah kata yang berarti usaha menciptakan ketakutan, kengerian, atau kekejaman oleh seseorang, kelompok atau golongan.5 Ketika teror telah hadir dan menyeruak dalam realitas berarti aksi teror telah menjelma dalam berbagai wujud serta cara yang demikian akrab dengan kehidupan manusia yang mengisi agenda sejarah kebiadaban manusia. Memang faktanya, teror bukan sesuatu hal yang aneh dan asing lagi. Teror telah terjadi di manamana dan kapan saja. Teror telah menjadi penyakit yang akrab dan melekat 4
Ibid.
5
Forum Keadilan, 2002, tanggal 29 Nopember, hal. 5.
104. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 dalam bangunan kehidupan
bernegara. Misalnya, penegak hukum yang
merupakan representasi rakyat dalam melindungi dan menegakkan hak asasi manusia (HAM) dewasa ini telah dibuat sibuk mencermati (mengantisipasi), melacak, dan menangani berbagai kasus teror dan kekerasan kolektif yang sepertinya sangat sulit mencapai titik mini, alisasi, apalagi titik akhir. Aksi teror tersebut jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan martabat bangsa, dan norma-norma agama. Teror telah menunjukkan gerakan nyatanya sebagai tragedi atas hak asasi manusia. Eskalasi dampak destruktif yang ditimbulkan telah atau lebih banyak menyentuh multidimensi kehidupan manusia. Jati diri manusia, harkat sebagai
bangsa beradab, dan cita-cita dapat hidup
berdampingan dengan bangsa lain dalam misi mulia “kedamaian
universal”
mudah dan masih dikalahkan oleh aksi teror. Karena demikian akrabnya aksi teror ini digunakan sebagai salah satu pilihan manusia, akhirnya teror bergeser dengan sendirinya sebagai “terorisme”. Artinya terorisme
ikut ambil bagian
dalam kehidupan berbangsa ini untuk menunjukkan potret lain dari dan di antara berbagai jenis dan ragam kejahatan, khususnya kejahatan kekerasan, kejahatan terorganisir, dan kejahatan yang tergolong luar biasa ( extra ordinary crime).6 Tragedi bom di Sari Club dan Peddy’s Club Kuta Legian Bali 12 Oktober 2002 adalah teror yang layak digolongkan sebagai kejahatan terbesar di Indonesia dari serangkaian teror yang ada. Tragedi ini adalah sebuah bukti nyata bahwa teror adalah aksi yang sangat keji yang tidak memperhitungkan, tidak memperdulikan dan sungguh-sungguh mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Manusia yang tidak tahu menahu akan maksud, misi atau tujuan pembuat teror telah menjadi korban 6 Romli Atmasasmita, 2002, Masalah Pengaturan Terorisme dan Perspektif Indonesia, BPHN, hal. 58.
I Made Sepud. Terorisme… 105 tak berdosa (innocent victim). Rakyat tidak berdosa hanya menjadi ongkos kebiadaban manusia yang dimenangkan dan disupremasikan aksi teror yang terjadi di Legian Bali itu mengingatkan publik pada kejahatan Black Tuesday selasa kelabu yaitu peristiwa pengeboman yang telah menghancurkan simbol negara adikuasa Amerika Serikat berupa Menara World Trade Center (WTC) dan simbol pertahanan
Pentagon. Publik global menarik benang merah bahwa
tragedi Bali dan kasus WTC Amerika Serikat adalah produk gerakan kelompok terorisme yang bermaksud merusak kedamaian global, menghancurkan nilai-nilai peradaban, dan mendegradasi hak-hak asasi manusia (HAM)7 Terorisme perhatian
merupakan suatu fenomena modern dan telah menjadi fokus
berbagai organisasi internasional, berbagai kalangan
dan negara.
Ketika kekuatan imperialisme, rasisme dan zionisme mulai mempropagandakan dan memasukkan terminologi terorisme ke dalam perbincangan politik dan berbagai bidang lainnya, maka kaum tersebut telah mencampuradukkan dengan sengaja dua fenomena
yang berbeda secara substansial, yaitu krimianlitas
terorisme dan perjuangan perlawanan suatu bangsa dalam menentukan nasibnya sendiri.8
Hal ini telah menimbulkan bias dalam metode penanganan masalah
terorisme. Termasuk definisi terorisme itu sendiri, makna, organisasi-organisasi, bentuk-bentuk operasi, sebab-sebab yang berada di balik munculnya suatu aksi tertentu dan perencanaan penanganan terorisme ini. Kapolri Dai Bactiar 9 menyatakan bahwa pemahaman soal terorisme di berbagai negara memang masih
belum
sama,
sebab
masing-masing negara
7
Kompas, 24 Nopember 2002, hal, 7.
8
Haitsam, 2002, Siapa Teror Dunia, Jakarta Pustaka, hal. 15.
9
Kompas, 2 April 2002.
memaknai
terorisme
106. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 tergantung pada kepentingannya masing-masing. Meski demikian ada satu aspek yang bisa dipahami, bahwa terorisme itu faktanya lebih bermodus sebagai pelanggaran atas hak-hak asasi manusia (HAM) karena apa yang dilakukan oleh terorisme
bukan
hanya
melanggar
hukum,
tetapi
juga
merusak
dan
menghancurkan kedamaian hidup manusia. Ada hak hidup yang dirampas, ada ketakutan besar yang dihadirkan, atau siksaan fisik maupun psikologis yang diwujudkan. Kasus ledakan Bomdi JW Mariot (6 Agustus 2003) yang menewaskan belasan orang dan luka-luka puluhan orang juga makin membenarkan bahwa di samping persoalan teror itu tergolong sebagai ancaman serius bangsa dan dunia, juga di sisi lain dampaknya sangat terasa bagi kehidupan masyarakat. Masyarakat akhirnya dicekam ketakutan. Siapa tidak takut dan terusik kedamaiannya kalau sewaktu-waktu nyawanya bisa melayang dan tubuh hancur berantakan di
tangan pelaku terorisme. Kondisi masyarakat yang dicekam
ketakutan ini sama dengan ternodai hak asasinya, yang idealnya kehidupan bebas dan damainya dari ancaman dan perilaku yang bermodus merugikannya dapat dinikmati. Masyarakat beradab pada zaman modern sekarang ini tidak ada yang membenarkan aksi apapun yang tergolong terorisme. Secara singkat bisa dikatakan bahwa terorisme merupakan sebuah bentuk kekerasan langsung atau tidak langsung yang dikenakan pada sasaran yang tidak sewajarnya mendapat perlakuan kekerasan tersebut, dan dengan aksi tersebut dimaksudkan agar terjadi rasa takut yang luas di tengah-tengah masyarakat.10
10
Koesno Adi, 2003, Kajian Perubahan Regulasi Penanggulangan Kejahatan Terorisme, Makalah disampaikan dalam Work Shop 2 tanggal 28-30 Januari, Malang: Pusat Pengembangan Otoda, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, hal, 3.
I Made Sepud. Terorisme… 107 Ada pendapat yang menyebut, bahwa terorisme lahir dan tumbuh dari rasa kekecewaan, akibat perlakuan tidak adil yang berlansgung lama dan kelihatan tidak ada harapan perubahan. Dengan demikian, terorisme tidak dapat diidentikkan dengan perbuatan yang bermofit agama melainkan lebih bermuatan politik.
Hal
itu
dikemukakan
dalam
seminar
tentang
terorisme
yang
diselenggarakan Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia (LPSI) di Jakarta.11 Menurut rohaniawan Franz Magnis-Suseno bahwa secara etis terorisme harus ditolak mentah-mentah, karena aksinya menghantam secara acak orangorang. Terorisme harus ditindak sampai habis yang tentu saja dengan cara-cara proporsional. Tidak ada alasan etis yang sah yang meringankan kejahatan terorisme. Menrutu etika, hanya ada empat konteks dimana kekerasan terhadap orang lain dapat dibenarkan, yakni orang yang membela diri, perang, kekerasan yang perlu dilakukan alat negara dalam menegakakn hukum, serta hukuman yang diberikan negara.12 Sementara itu dari sudut pandang Islam, Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta (IAIN) Syarif Hidayatullah, Azymardi Azra, mengatakan, terorisme sebagai kekerasan politik sepenuhnya bertentangan dengan etos kemanusiaan Islam. Islam mengajarkan etos kemanusiaan yang sangat menekankan kemanusiaan
universal.
Islam
menganjurkan
umatnya
untuk
berjuang
mewujudkan perdamaian, keadilan dan kehormatan. Akan tetapi, perjuangan itu haruslah tidak dilakukan dengan cara kekerasan atau terorisme. Setiap
11
Romly Atmasasmita, 2003, Pemberantasan Terorisme dari Aspek Pidana Internasional, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dan Kebijakan Kriminal, Kejahatan Terorisme pada tanggal 20-22 Mei, Surabaya, Fakultas Hukum, hal. 3. 12
Harian Kompas, 2 November 2002.
108. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 perjuangan untuk keadilan harus dimulai dengan premis bahwa keadilan adalah konsep universal yang harus diperjuangkan dan dibeli setiap manusia.13 Azyumardi menambahkan, Islam memang menganjurkan dan memberi justifikasi kepada muslim untuk berjuang, berperang (harb) dan menggunakan kekerasan (qital) terhadap para penindas, musuh-musuh Islam, dan pihak luar yang menunjukkan sikap
bermusuhan,
atau tidak mau hidup berdampingan
secara damai dengan Islam dan kaum muslimin.14 Akan tetapi Islam tidak membenarkan menjadikan orang yang tidak berdosa sebagai korban atau ongkos perjuangan. Hak hidup manusia harus ditempatkan dalam posisi tertingginya sebagai hak yang wajib dihormati dan dijaga dari berbagai bentuk ancaman yang berusaha mengganggu atau merusaknya. Pembenaran terhadap cara-cara yang mengakibatkan nyawa manusia melayang sama dengan menghalalkan terjadinya tragedi pelanggaran HAM. Serangan terorisme pada 11 September 2001 dengan cara menubrukkan pesawat sipil dengan sasaran dua gedung utama, WTC dan Pentagon di AS menjadi tragedi kemanusiaan terbesar abad ini. Meski sudah lama berlalu peristiwa itu, tetapi akan tetap dan terus dicatat oleh sejarah sebagai bagian dari kejahatan di tingkat dunia ( global crime) atas kelangsungan kehidupan kemanusiaan modern. Manusia modern yang sering memposisikan dirinya sebagai manusia terpelajar, ternyata harus menerima kenyataan tragis tentang kebiadaban yang patut digolongkan memasuki, berasal dari barangkali sudah berada di “rumah sendiri”.
13
Ibid.
14
Ibid.
I Made Sepud. Terorisme… 109 Tragedi
11 September
dan tragedi
12 Oktober
Legian
Bali
telah
mengingatkan akan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan dunia yang selalu muncul secara tidak terduga dan eksplosif.
Terorisme dapat terjadi
kapanpun di setiap negara di dunia sebagai sumber dan akibat dari pengaruh globalisasi di zaman yang serba canggih dan modern saat ini. Logis jika ada tuntutan mengenai perlunya kewaspadaan dari berbagai pihak khususnya pihak aparat keamanan, untuk bertindak secara seksama terhadap fenomena yang muncul. Tidak ada sautu jaminan bahwa negara yang menyebut organisasi atau sistem keamanan yang canggih lantas aman dari gangguan terorisme. Amerika Serikat yang menyebut dirinya sebagai simbol kekuatan tercanggih di bidang persenjataan dan keamanan negara dari serangan pihak asing, ternyata harus menerima realitas memalukan
dan sekaligus memilukan dari kejahatan
terorisme. Memalukannya, serangan teroris itu menunjukkan kalau sebenarnya Amerika Serikat masih kalah canggih dan pintar dibandingkan dengan terorisnya. Simbol kemajuan Amerika Serikat di bidang ekonomi seperti WTC dan pertahanan-pertahanan negara seperti Pentagon dibuat “terhina” (hancur) oleh teroris. Sedangkan memilukannya, kasus teroris ini telah menjatuhkan martabat Amerika Serikat sebagai polisi dunia, yang gagal melindungi atau mengayomi hak-hak asasi manusia (HAM). Kasus itu merupakan salah satu bukti, bahwa problem penegakan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Amerika Serikat yang menyebut dirinya sebagai negara yang harus dijadikan paradigma penegakan hak asasi manusia (HAM) masih gagal menjaga “rumahnya” sendiri. Amerika Serikat masih sebagai negara yang rawan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan kategori berat
110. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 kalau tidak dikatakan sebagai negara yang sebenarnya di ‘rumahnya’ sendiri menyimpan potensi besar dan penyakit-penyakit perilaku yang niscaya dapat menggiring pada terwujudnya pelanggaran HAM. Di dalam negeri (Indonesia), ledakan bom berkekauan tinggi yang terjadi di Jalan Legian (Kuta, Bali) Manado dan Makasar telah serta merta menghentakkan perhatian bangsa. Menghentak sekaligus menggelisahkan segenap masyarakat karena saat ini negara dan masyarakat tengah mengalami atau terancam persoalan kriminalitas besar-berat, yakni mudahnya bom diledakkan dengan dalih sebagai jihad atau strategi pertarungan atau perjuangan, dan pelampiasan ambisi, serta pemenuhan target-target eksklusif, sehingga nyawa manusia menjadi tidak berarti karena dapat begitu mudahnya dirampas bahkan nyawa orang banyak yang sebenarnya tidak mengerti persoalan apa-apa di balik motif peledakan bom tersebut. Rangkaian peledakan bom yang terjadi dalam waktu terakhir ini seakan mengedepankan suatu fakta bahwa terorisme sedang bekerja di dalam “rumah” kita bukan di luar “pintu rumah” kita. Terorisme bukan saja akan mengancam tetapi telah mengancam. Fakta peledakan yang terjadi di Legian Bali merupakan bukti bahwa sebuah jaringan terorisme telah masuk dalam wilayah negara Indonesia dan mengancam stabilitas keamanan negara. Jaringan terorisme yang memiliki kekuatan finansial dan sistem pengorganisasian yang canggih dan luar biasa hebat sepertinya berada di balik peristiwa peledakan bom tersebut. Sistem pengorganisasian dalam kejahatan teroris barangkali dapat dikatakan sebagai jaringa paling canggih, ibarat mata rantai yang sulit diputus, sehingga logis jika negara yang
I Made Sepud. Terorisme… 111 tingkat stabilitas
sosial-keamanannya rawan seperti Indonesia ini sangat
potensial untuk dijadikan “sarang teroris” Terorisme telah memporak-porandakan kepastian hidup sehari-hari. Teroris memproduksi ketakutan, mengobarkan kecemasan, memastikan kreativitas dan nilai-nilai yang memanusiawikan manusia bangsa Indonesia atau bangsa manusia siapapun dan manapun tidak mengelakan dari realitas dentuman di Bali yang demikian horrible. Sebuah katartis sangat pahit. Sesudah dentuman orang tidak mungkin melarikan diri dari persepsi dangkal tentang hidup sendiri. Orang tidak mungkin berkoar-koar tentang konsep kebangsaan dengan mengedapankan budaya senyum dan keramahan. Terorisme tidak mendadak. Tidak terjadi dalam sehari. Pelaku terorisme tidak bodoh. Melainkan disiplin, tekun, jitu dalam sasaran. Mereka berlatih, bermotivasi kokoh. Mereka selalu berupa jaringan, kelompok, tim, pasukan, mafia, komando. Atau apalah namanya, yang jelas organisasinya rapi15 Terorisme bukanlah wacana, melainkan gerakan. Bukan sekedar menyebar ketakutan, tetapi juga meluluh lantakan peradaban. Terorisme itu action bukan faham.16 Setiap action memiliki motivasi, kompensasi perjuangan, dan filosofi tindakan. Motivasi terorisme yang dahsyat yakni in the name of religion (atau demi agama Allah). Tidak ada motivasi lain yang lebih indah dari “hidup dan mati untuk agama”. Kompensasi perjuangannya langsung berkaitan dengan pahala surga atau kematian sendiri (seandainya diapun harus mati) dikamuflasekan dengan kenikmatan tiada tara di surga. Dengan demikian tidak ada ruang
15
Harian Kompas, 20 September 2002, hal. 2.
16
Harian Kompas, 20 Oktober 2002, hal. 1.
112. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 kebimbangan atau kesangsian untuk menajalankan tugas kematian. Kematian dianggap sebagai bagian dari kenikmatan
yang akan diraih. Sedangkan
bagaimana dengan kematian orang lain? tidak menjadi soal. Justru inilah “filosofi” tindakan ampuh jaringan teroris, ada misi, aksi dan organisasi yang rapi, serta ada korban yang dijadikan sebagai sasaran antara, termasuk ada negara yang dijadikan sebagai “rumah” bagi teroris. Memang sangat sulit menangani masalah terorisme, apalagi di negara Indonesia yang beragam dengan berbagai budaya dan agama, maka untuk menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa, hendaknya tidak saling menuduh antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya. hal ini menyebabkan terjadi sentiment negatif terhadap kelompok tertentu dan tidak terjadi suatu kelompok tertentu menjelekkan dan menuduh kepada kelompok lain di balik peledakan bom tersebut. Masyarakat harus memberikan kesempatan kepada pihak penegak hukum untuk mengungkap dan menangani siapa di balik peristiwa peledakan bom tersebut. Peristiwa
peledakan bom yang terjadi
tersebut merupakan suatu kejahatan terhadap kemanusiaan yang pelakunya dapat diproses secara hukum positif bahkan hukum internasional dan dapat diseret ke Mahkamah Internasional.17 terorisme biasanya mempunyai organisasi yang rapi fanatisme, dan militansi yang tinggi dari anggotanya. Terorisme mempunyai
tujuan
tertentu,
dilakukan
terselubung.
17
Harian Kompas, 17 Oktober 2002, hal. 4.
dengan
penuh
kerahasiaan
dan
I Made Sepud. Terorisme… 113 III. PENINDAKAN
KEJAHATAN
TERORISME
DAN
IMPLIKASINYA
TERHADAP PARIWISATA BALI Dengan terjadi peledakan bom di Bali dan Manado dan berbagai tempat lainnya telah mendorong pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang
(Perpu)
guna
mengisi
kekosongan
hukum
(rechtsvacuum) tentang penindakan kejahatan terorisme. Pemerintah bahkan langsung menerbitkan dua Perpu, yakni Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Kasus Peledakan Bali. Pemerintah menerbitkan Perlu (sekarang sudah disahkan menjadi undangundang) guna pemberantasan tindak pidana terorisme yang sejak awal telah mengundang kontroversi dari berbagai pihak dan kalangan entah dari kalangan akademis, praktisi, politisi dan pakar-pakar lain khususnya pakar hukum. Hal itu bisa dilihat dengan adanya kekhawatiran sementara pihak bahwa perangkat hukum dalam penindakan terhadap kejahatan terorisme, sekalipun diperlukan, akan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan ( abose of power) bagi pemegang kekuasaan tertentu. Sementara pihak lain ada yang berpendapat bahwa dengan adanya Undang-Undang Nomor 12/drt/1951 yang ditetapkan menjadi UndangUndang Nomor 1/1991 tentang Senjata Api, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan
KUHP sudahlah cukup, sehingga tidak diperlukan lagi perangkat
hukum yang bersifat khusus dalam penindakan kejahatan terorisme. Ada indikasi kelemahan
Perpu
No.
1
dan
2
tahun
2002
tentang
Terorisme
dan
Penanganannya, itu ketika Perpu tersebut disahkan menjadi UU. Di samping Perpu tersebut, juga adanya pengajuan draft amandemen atas UU yang baru
114. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 disahkan itu menunjukkan bahwa eksistensi secara yuridis normatif masih perlu dikaji lebih lanjut. Berbagai kekhawatiran dan pendapat tentang tidak diperlukannya perangkat hukum guna mengisi kekosongan hukum dalam penindakan kejahatan terorisme sesungguhnya tidak perlu terjadi. Jika semua pihak memahami dan menyadari sedemikian
seriusnya
masalah
kejahatan
terorisme
dan
akibat
yang
ditimbulkannya, sementara perangkat hukum yang mengatur pemberantasan dan penindakannya secara khusus belum ada. Kejahatan terorisme tidak dapat disamakan dengan kejahatan biasa. Selain kejahatan itu dilakukan secara sistematis profesional dengan dan melalui jaringan yang terorganisir yang berskala regional maupun internasional, memiliki tujuan politik atau
idiologi
dengan cara menimbulkan rasa takut, panik dan chaos di masyarakat, sampai dengan jatuhnya banyak korban yang tewas dan luka-luka atas masyarakat yang tidak berdosa. Kejahatan terorisme juga didukung oleh motivasi yang kuat dari pelakunya yang secara khusus juga sudah memperhitungkan kondisi hukum di suatu negara dan implementasinya selama ini. Terorisme dengan meledaknya bom seperti yang terjadi di Bali dan Manado atau di beberapa tempat di tanah air beberapa waktu silam, seperti yang terjadi di BEJ (Bursa Efek Jakarta), Mesjid Istiqlal dan di beberapa gereja dan Makasar tidaklah dapat disamakan dengan tindak pidana biasa yang diatur di dalam KUHP, sekalipun secara subsansial tindakannya memiliki kesamaan dalam kejahatan yang membahayakan bagi keamanan umum bagi orang atau barang, tetapi secara esenisal tindakan terorisme tersebut bukan hanya membahayakan keamanan umum, tetapi telah memakan banyak korban nyawa manusia yang
I Made Sepud. Terorisme… 115 tidak sedikit, bahkan telah menimbulkan rasa takut, panik, dan chaos dalam masyarakat sampai pada hancurnya perekonomian nasional. Sementara itu sekalipun larangan kepemilikan senjata api (senpi) atau bahkan peledak (hendak) tanpa hak telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12/drt/1951 dan Kejahatan Manusia Sebagai Pelanggaran HAM telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, bukan berarti
perangkat hukum tentang pemberantasan dan penindakan terhadap
kejahatan terorisme tidak diperlukan, mengingat esensinya yang sedemikian luas dan kompleks memerlukan pengaturan secara khusus (lex spesialis). Rusak berantakannya negeri ini, atau setidaknya jatuhnya martabat bangsa ini akibat kejahatan terorisme telah secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pikiran-pikiran badan legislatif untuk ambil bagian dalam kejahatan terorisme melalui produk peraturan perundang-undangan. Menurut Gayus
Lumbuan
dengan
adanya perangkat
hukum
dalam
penindakan terorisme, kekhawatiran akan disalahgunakan oleh aparat pemegang kekuasaan tertentu atau untuk mengikuti kehendak dan kepentingan suatu golongan, tidaklah beralasan untuk tetap membiarkan adanya kekosongan hukum (rectsvacuum) tentang pemberantasan terorisme. Karena UU yang mengatur tentang pemberantasan dan penindakan terorisme akan dapat dipakai sebagai standar operasi (standart operating procedures) di samping diperlukan adanya kepastian
hukum dalam penindakan terorisme di mana semua pihak
yang terkait dalam penindakan kejahatan terorisme dapat melakukannya dengan mantap secara profesional.18
18
Kompas, 19 Oktober 2002, hal. 5.
116. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 Bila seseorang (teroris) meledakan sebuah bom di Mesjid, Gereja, pasar, hotel, tempat wisata, atau kerumunan orang, maka terorisme yang meledakan bom tersebut mengharapkan segera suasana ketakutan di tengah-tengah masyarakat. Semakin takut perasaan masyarakat, maka semakin berhasil gerakan terorisme. Sebab bagian dari alat
dan tujuan mereka adalah untuk
menakuti dan peledakan adalah sebagai sasaran antara. Peledakan dijadikan alat untuk merusak “atap rumah”, merawankan atau membocorkan konstruksi negara. Ketika negara sudah bocor, maka tinggal meneruskan langkah selanjutnya: mewujudkan misi sejati. Jadi chaos di tengah masyarakat merupakan kondisi yang sangat didambakan oleh kalangan teroris, baik untuk memecah keutuhan aparat keamanan maupun menciptakan kondisi yang tidak menentu dan menakutkan. Indriyanto Seno
menyatakan terorisme sudah menjadi bagian dari extra
ordinary crime yang berarti suatu kejahatan kekeraan yang berdimensi khusus atau berbeda dengan kejahatan kekerasan lainnya yang sering disebut kejahatan kebiadaban
di
era
manusia/orang-orang
keberadaan yang
tidak
karena berdosa.19
kejahatan Sesuai
itu
mengorbankan
dengan
karakteristik
kejahatan terorisme yang mana menggunakan kekerasan dalam operandinya. Dan akibat dari kejahatannya dapat merusak sistem perekonomi, integritas negara, penduduk sipil yang tidak berdosa serta fasilitas umum lain dalam konteks melawan hukum yang signifikan sekali. Karena itu, pelaku teror berlindung sebagai pelaku delik politik atau political purpose yang dilakukan dengan purpose of violence di mana tindakan dimaksudkan untuk membuat
19
Kompas, 29 Oktober 2002, hal. 3.
I Made Sepud. Terorisme… 117 shock atau intimidasi kepada governmental authority atau yang berakibat pada
public by innocent, berlaklah prinsip ekstradibilitas. Hal ini sejalan dengan Pasal 1 ECST bahwa delik yang dikategorikan sebagai act of teror bukanlah sebagai pelaku delik politik, dan karenanya dapat dilakukan tindakan ekstradisi. Terorisme harus disepakati sebagai musuh global. Di Indonesia dalam situasi yang masih bergejolak, aksi terorisme dapat saja muncul. Jika ini terjadi, di tempat-tempat vital dan strategis termasuk tempat ibadah yang
menjadi
sasaran serangan terorisme. Seperti yang dikatakan oleh Hery Sucipto salah satu hal
yang
dapat
dipertimbangkan
bagi
pemberantasan
terorisme
ialah
memberikan hukuman yang sangat berat oleh pemerintah suatu negara terhadap pelaku kejahatan terorisme. Metode ini diharapkan jelas komitmen yang ingin dicapai, yaitu dengan hukuman yang berat para pelaku yang telah atau akan melakukan menjadi takut untuk melaksanakan aksinya.20 Sejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945, maka negara Republik Indonesia, adalah negara kesatuan yang berlandaskan hukum dan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memelihara kehidupan yang aman, damai dan sejahtera serta ikut secara aktif memelihara perdamaian dunia. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah wajib memelihara dan menegaskan kedaulatan dan melindungi tiap warga negara nya dari setiap ancaman atau tindakan destruktif baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.21
20
Kompas, 5 Oktober 2002, hal. 1.
21
Bali Post, 25 Nopember 2002, hal. 5
118. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 Terorisme merupakan kejahatan terhadap peradaban dan merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan tiap negara. Karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap
keamanan,
perdamaian
dunia
serta
merugikan
kesejahteraan
masyarakat, sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan. Dengan demikian, hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dinjunjung tinggi. Komitmen masyarakat internasional dalam mencegah dan memberantas terorisme sudah wijdukan dalam berbagai konvensi internasional yang menegaskan bahwa terorisme merupakan kejahatan yang mengancam perdamaian dan keamanan umat manusia. Atas dasar itu, seluruh anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk di Indonesia wajib mendukung dan melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk dan menyerukan seluruh anggota PBB untuk mencegah dan memberantas terorisme melalui pembentukan peraturan perundang-undangan nasional negaranya. Terorisme bukan hanya kejahatan yang mengancam dan merusak keamanan dan
keutuhan suatu bangsa dan negara, tetapi juga merusak tatanan dan
kedamaian masyarakat internasional. Harmonisasi global dapat terkoyak karena bisa jadi masing-masing negara saling mencurigai dan mengecam negara yang lain, karena ada di antara tersangka atau pelakunya berasal dari negara tersebut. Misalnya ketika pelaku-pelaku teroris atau tersangka teroris adalah warga negara Indonesia, tentulah yang ikut digugat adalah Indonesia ini negara macam apa? Misalnya adanya kekhawatiran kalau Indonesia disebut-sebut tidak aman bagi investor asing dan wisatawan mancanegara merupakan sautu gugatan yang sebenarnya memposisikan Indonesia sebagai “rumah” yang tidak aman, yang
I Made Sepud. Terorisme… 119 tidak bisa menjamin keamanan dan keselamatan warga asing: Indonesia sebagai negara hukum belum bisa disambut sebagai “rumah” yang benar-benar bisa mewujdukan kedamaian bagi warga asing. Dengan kondisi ini, maka wajar kalau kemudian muncul stigma kalau persaudaraan kebangsaan ikut terganggu. Negara ini ikut dikucilkan secara langsung maupun tidak dari pergaulan masyarakat internasional. Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia merupakan kebijakan dan langkah antisipatif yang bersifat proaktif yang dilandaskan kepada kehatihatian dan bersifat jangka panjang. alasannya, pertama, masyarakat Indonesia adalah masyarakat multietnik dengan beragam agama ( pluralism agama) yang resmi diakui pemerintah dan mendiami ratusan ribu pulau yang tersebar di seluruh wilayah nusantara serta ada yang letaknya berbatasan dengan negara lain. Kedua, dengan karakteristik masyarakat Indonesia tersebut seluruh komponen bangsa Indonesia berkewajiban memelihara dan meningkatkan kewaspadaan menghadapi segala bentuk kegiatan yang merupakan tindak pidana terorisme yang bersifat internasional. Ketiga, konflik-konflik yang terjadi akhir-akhir ini sangat merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara
serta
merupakan
yang
kemunduran
peradaban,
dan
dapat
dijadikan
tempat
berkembang suburnya tindak pidana terorisme yang bersifat internasional, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun yang dilakukan oleh orang asing.22 Terorisme menjadi istilah yang sangat rentan untuk disalahtafsirkan atau dikontaminasi
22
secara
interpretatif
Kompas, 5 Maret 2002, hal. 7.
sesuai
kepentingan
pihak-pihak
yang
120. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 memandangnya. Sebuah kejadian mungkin dapat disebut sebuah tindakan terorisme oleh pihak lain namun mungkin juga dianggap sebagai tindakan mempertahankan diri, memperjuangkan hak, memperjuangkan ketidakadilan global, perlakuan
dehumanisasi global negara-negara besar dan kuat kepada
negara-negara lemah, atau bahkan yang sangat populer sebagai sebuah misi suci (jihad) sebagaimana dijelaskan oleh Juergensmeyer dalam Teror atas Nama Tuhan (teror in the Mind of God).23 Rupanya hal serupa (teror atas nama Tuhan) juga terjadi pada diri para tersangka peledakan bom Bali. Amrozi dan Mulas misalnya terkesan santai dan tenang, bahkan selalu tersenyum seolah mereka tidak melakukan kesalahan sama sekali. Mereka meyakini bahwa apa yang mereka lakukan
bukanlah
sebuah tindakan terorisme, melainkan sebuah usaha memperjuangkan nasib umat Islam yang selalu ditindas dan diperlakukan tidak adil. Mereka yakin bahwa apa yang mereka lakukan adalah jihad sebagaimana diperintahkan oleh agama yang dipeluknya. Jika dipahami secara jernih kejahatan terorisme merupakan hasil dari akumulasi beberapa faktor, bukan hanya faktor psikologis tetapi juga ekonomi, politik, agama, sosiologi
dan masih banyak lagi yang lain. Karena itu terlalu
simplitik kalau menjelaskan suatu tindakan terorisme hanya berdasar satu penyebab saja misalnya psikologis. Konflik etnik, agama, dan ideologi, kemiskinan tekanan modernisasi, ketidakadilan politik, kurangnya saluran komunikasi dana, tradisi kekejaman, lahirnya kelompok-kelompok revolusioner, kelemahan dan ketidakmampuan pemerintah, erosi kepercayaan daripada rezim, 23 Juergensmeyers, 2002, Teror atas Nama Tuhan (teror in the Mind of God), Jakarta, Nizam Pres, hal. 9.
I Made Sepud. Terorisme… 121 dan perpecahan yang begitu mendalam di antara pemerintahan dan elit politik juga menjadi penyebab lahirnya terorisme24 seseorang berubah dari berpotensi sebagai seorang teroris
melalui suatu proses yakni psikologis, filosofis dan
politik. Masih menurut kedua pakar di atas jika model agresi secara fisiologis saraf relistik, maka tidak ada dasar bagi argument bahwa terorisme dapat dilenyapkan jika penyebab sosiopolitik dilenyapkan.
IV. PENUTUP Mengacu latar belakang terjadinya tindak kejahatan terorisme, merupakan hasil dari akumulasi beberapa faktor, bukan hanya faktor psikologis tetapi juga ekonomi, politik, agama, sosiologi, konflik etnis, idiologi, kemiskinan, erosi kepercayaan dari pada rezim, tekanan modernisasi, persepi orang begitu mendalam di antara pemerintahan dan elit poltiik juga menjadi penyebab lahirnya terorisme. Kejahatan terorisme yang merupakan kejahatan beridiologi serta merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa ( extra ordinary crime) harus ditindak secara luar biasa dengan menggunakan azas retroaktif /asas hukum berlaku surut) menggunakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, didasarkan pada azas “ius cogenes” dan asas hostis humani generis serta asas aut punier aut dedere (tiada kejahatan tanpa hukuman). Kejahatan terorisme menimbulkan akibat atau pengaruh terhadap perkembangan pariwisata khususnya Bali sebagai daerah pariwisata yang sangat membutuhkan
rasa keamanan dan
kenyamanan
terhadap
wisatawan yang datang ke Bali seperti kasus Bom Bali I dan 2 yang terjadi di Legian, Kuta Bali tanggal 12 Oktober 2012. 24
Kompas, 5 Oktober 2002, hal. 2.
122. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 DAFTAR PUSTAKA I Gede Pitana, 2005, Sosiologi Pariwisata, Kajian Sosiologis Terhadap Struktur, Sistem dan Dampak-dampak Pariwisata, Andi, Yogyakarta. Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2002,Statistik Pariwisata Bali. J.E. Sahetapy, Abdul Wahid, 2003, Kegiatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan hukum, Refika Aditama, Bandung. Forum Keadilan, 2002, tanggal 29 Nopember. Romli Atmasasmita, 2002, Masalah Pengaturan Terorisme dan Perspektif Indonesia, BPHN. Haitsam, 2002, Siapa Teror Dunia, Jakarta Pustaka. Koesno Adi, 2003, Kajian Perubahan Regulasi Penanggulangan Kejahatan Terorisme, Makalah disampaikan dalam Work Shop 2 tanggal 28-30 Januari, Malang: Pusat Pengembangan Otoda, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya. Romly Atmasasmita, 2003, Pemberantasan Terorisme dari Aspek Pidana Internasional, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Hakikat dan Kebijakan Kriminal, Kejahatan Terorisme pada tanggal 20-22 Mei, Surabaya, Fakultas Hukum. Juergensmeyers, 2002, Teror atas Nama Tuhan (teror in the Mind of God) , Jakarta, Nizam Pres.
IK. Rai Setiabudhi. Korupsi… 123 Korupsi Mengoropsi: Dari Perspektif Budaya IK. Rai Setiabudhi1
Abstract Corruption is part of the dark sides of the Indonesian mentality. Corruption is a malignant disease that undermines the health of the community. It is just like cancer that step by step kills the human life. When corruption is considered as a culture it creates two different points of views. There are those who claim that corruption is a culture but some are opposed to the statement. However, based on the philosophy studies corruption is not a culture because it is in sharp contrast with the values and elements of the culture itself. Indeed, hereditary corrupt mentality is not ingrained in the very nature of the human conscience. Basically, corrupt mentality is created by hedonism such as consumer culture, laziness, the desire of getting great income without hardworking, and etc. In fact, people in general have integrity, have adherence to religious teachings, have the intention of hard work, have a sense of responsibility, have a sense of shame, guilt, and etc. Everyone should strive to those values in order to obtain happiness. Therefore the “culture of corruption” must be confronted with the culture of obedience to the faith, having high integrity, having good morals and ethics which can be exemplified by everyone. The leaders of this republic should be the good example for their people instead of doing collective corruption. Keywords : Corruption, Culture Perspective Abstrak Korupsi merupakan bagian dari sisi gelap mental Bangsa Indonesia. Korupsi adalah penyakit ganas yang menggrogoti kesehatan masyarakat, seperti penyakit kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia. Korupsi dianggap sebagai kebudayaan tetap menjadi kenyataan yang melahirkan dua pandangan berbeda. Ada pihak yang menyatakan bahwa tindakan korupsi merupakan sebuah budaya, dan ada juga yang menentang. Namun kajian secara filosofis, korupsi bukanlah sebuah kebudayaan, karena korupsi sangat bertentangan dengan nilai dan unsur kebudayaan itu sendiri. Sesungguhnya mentalitas korup yang turun temurun, mendarah daging bukanlah sifat hakiki yang ada dalam hati nurani manusia. Mentalitas korup pada dasarnya tercipta oleh mentalitas yang hedonism, seperti budaya konsumtif, santai, penghasilan besar tanpa kerja keras, dan lain-lain. Padahal sesungguhnya manusia pada umumnya memiliki integritas, taat ajaran agama, kerja keras, tanggung jawab, punya rasa malu, rasa bersalah dan lain-lain. Setiap orang harus mengusahakan nilai tersebut untuk memperoleh kebahagiaan. 1 Guru Besar dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (
[email protected])
124. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 Oleh karena itu “budaya korupsi” harus dilawan dengan budaya taat pada agama, integritas tinggi, moral dan etika yang baik, yang bisa diteladani oleh setiap orang. Terutama para pemimpin di republik ini harus memberi keteladanan pada rakyatnya, bukan justru ramai-ramai korupsi, apalagi yang namanya korupsi berjamaah. Kata Kunci : Korupsi, Perspektif Budaya I. PENDAHULUAN
Inspirasi judul tulisan ini khususnya kata ‘mengoropsi’ saya ambil dari sebuah judul buku tentang ‘Korupsi Mengoropsi Indonesia: sebab, Akibat dan Prospek Pemberantasan’ yang ditulis atau diedit oleh Wijayanto dan Ridwan Zachrie,
diterbitkan
oleh
PT.
Gramedia
Pustaka
Utama,
Jakarta.
Kata
‘mengorupsi’ menurut pikiran saya, bahwa korupsi di Indonesia sudah melekat dengan kautnya dan terus merambah ibarat penyakit kanker yang sulit disembuhkan. Ibarat besi yang sudah karatan, sehingga bila tidak cepat dibatasi akan jadi rapuh. Demikian halnya dengan korupsi di Indonesia, bila tidak memiliki komitmen yang serius dalam menanggulangi, maka negara akan semakin rapuh dimakan koruptor. Dengan kondisi seperti itu, masyarakat sering mengatakan
bahwa
korupsi
di
Indonesia
sudah
membudaya.
Padahal
pernyataan itu sungguh kurang tepat, karena istilah budaya mestinya harus berkonotasi positif, sebab budaya adalah pembinaan nilai serta direalisasikan untuk mewujudkan cita-cita hidup manusia (sesuatu yang diterima untuk kepentingan bersama). Ada paradoks yang begitu jelas terlihat berkaitan dengan kehendak kuat untuk melakukan pemberantasan korupsi dan membudayakan anti korupsi, yaitu di satu sisi berbagai aktivitas berkaitan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi telah dilakukan berbagai cara baik komitmen (yuridis) dari
IK. Rai Setiabudhi. Korupsi… 125 pemerintah maupun masyarakat, namun di sisi lain sikap dan perilaku koruptif tetap merasa lela bahkan meningat terus, baik secara horizontal (lembaga yurikatif, eksekutif maupun legislatif) maupun secara vertikal (dari tingkat pusat sampai ke seluruh pelosok daerah di seluruh tanah air). Dari data yang dikeluarkan Transparency International masih menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup ketiga terbesar di dunia, setelah Nigeria dan Kamerun, termasuk juga negara terkorup di kawasan Asia Tenggara, hanya sedikit lebih baik dari Myanmar dan Bangladesh. Namun sejak adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mengalami kenaikan dari 1.7 menjadi 3.2 di akhir tahun 2013. Kenaikan ini sangat lambat, sehingga kita akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk membebaskan Indonesia dari korupsi. Fakta di atas telah sangat menghambat upaya bangsa kita untuk membangun masyarakat adil, makmur dan sejahtera sebagaimana yang diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Praktek korupsi juga telah menurunkan harkat dan martabat bangsa kita di mata bangsa-bangsa lain di dunia. Bagaimana tidak, akibat terjadinya
korupsi
angka
kemiskinan
menjadi
sangat
memprihatinkan.
Berdasarkan kriteria Internasional (Internasional Labour Organization tidak kurang
dari 66,3% atau sekitar 129, 6
juta orang dari seluruh penduduk
Indonesia dalam kondisi kemiskinan (edi Suharto, 2006:136). Kondisi terakhir sesuai standar nasional, angka kemiskinan justru naik dari 13,,3% menjadi sekitar 16%.
126. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 Banyak kasus besar kroupsi yang telah merampok uang rakyat yang belum dapat diselesaikan, seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sering diplesetkan artinya menjadi “Bencana Luar Biasa Indonesia”. Kasus ini selain menyangkut dana yang spektakuler di mana jumlah angka resminya Rp 144,5 triliun, namun bila dihitung dengan bunga, denda dan obliogasi rekap jumlah seluruhnya menjadi Rp 650 triliun. Hal ini sangat berpengaruh besar terhadap utang luar negeri yang kini telah melebihi Rp 2000 triliun. Kondisi ini telah jauh melampaui Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN). Dari jumlah anggaran itu, sekitar 40,60% dikeluarkan untuk penagdana barang dan jasa. Dan menurut Bank Dunia, 40-50% dari pengadaan barang dan jasa itu mengalami kebocoran atau dikorupsi. Demikian pula kasus-kasus money
politic dan proyek-proyek besar seperti hasil survey internal Kementrian BUMN yang dipimpin Dahlan Iskan yang sangat mengejutkan. Karena 70% perusahaan pemerintah ini mendapatkan proyek dengan cara illegal (interaksi korupsi), artinya hanya 30% terindikasi korupsi. Selama masalah struktural korupsi di Indonesia belum bisa dijawab oleh agenda reformasi, korupsi akan terus merusak demokrasi, memandulkan hukum, melanggengkan birokrasi yang korup dan lain-lain. ikhtiar melawan korupsi harus terus dicariakan jalan elwat studi ilmiah dan praktek yang cerdas. Memberantas korupsi harus dengan penuh semangat idealisme dan dengan ilmu pengetahuan, strategi dan sistematis, sebagaimana semangat para pejuang untuk meraih kemerdekaan2.
2 Wijayanto dan Ridwan Zachrie, 2009, Koropsi Mengorupsi Indonesia: Sebab Akibat dan Prospek Pemberantasan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.1.
IK. Rai Setiabudhi. Korupsi… 127 Begitu parahnya kondisi korupsi di negeri ini yang telah berlangsung terus dari generasi ke generasi, sehingga banyak orang menyatakan bahwa korupsi di Indonesia telah membudaya. Sesungguhnya menurut hemat saya bahwa kebudayaan itu harus berkonotasi positif. Tetapi korupsi, jelas itu negatif. Namun karena korupsi terus merajalela yang berdampak sangat buruk bagi masyarakat, masyarakatpun menjadi sangat kecewa dan berujung pada kemarahan sosial sehingga sering dikatakan bahwa korupsi sudah membudaya di Republik Indonesia. apakah maksud kebudayaan itu (korupsi) tidak bisa dilawan? Sehingga tidak ada lagi istilah atau kesan bawha korupsi sudah membudaya. Itulah masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini selanjutnya.
II. PENGETAHUAN KORUPSI
a. Korupsi Korupsi berasal dari Bahasa Latin corruptive yang berawal dari kata
corruptus berarti busuk, rusak atau dalam bentuk kata kerja corrumpere (Bahasa latin kuno) yang
berarti menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Istilah ini
diserap ke dalam bahasa di Eropah, seperti di Inggris menjadi corruption atau
corrupt. Di Prancis disebut Corruptions dan di Belanda disebut Corruptie. Kemudian di Indonesia disebut dengan istilah korupsi. Syeh Husein Alatas, melihat
pengertian korupsi dari aspek sosiologis, dimana terjadinya krouspi
apabila seseorang (dalam lingkup kekuasaan dan kewenangannya) menerimqa pemberian yang disodorkan oleh seseorang dengan maksud mempengaruhi agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan sipemberi.
128. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 Termasuk pula perbuatan menawarkan pemberian uang atau hadiah lainnya yang dapat mempengaruhi keputsan.3 Menurut Mubyarto yang mengutip pendapat dari Theodore M. Smith bahwa pengertian korupsi pada dasarnya dapat memberi warna sesuai dengan hukum positif. Oleh karena itu rumusan pengertian korupsi tidak ada yang sama pada setiap negara sebab sangat bergantung pada tekanan atau perhatian dari pembentuk undang-undang. Suatu hal yang pasti, bahwa korupsi sangat berkaitan dengan masalah sosial, sifat dan keadaan yang busuk, penyelewengan kekuasaan penempatan keluarga, kelompok atau golongan ke dalam lingkup dinas,
atau
kekuasaan4.
Lembaga
Swadaya
Masyarakat
Transparency
International merumuskan korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politis maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Selanjutnya dari aspek yuridis, berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup
unsur-unsur:
perbuatan
melawan
hukum;
penyalahguanan
kewenangan, kesempatan atau sarana; memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; merugikan keuangan negara atau merusak perekonomian negara; memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan); penggelapan dalam jabatan; pemerasan dalam jabatan; ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara 3
negara);
menerima
gratifikasi
(bagi
pegawai
Ibid, hal. 7.
4 Setiabudhi, IK. Rai. 2010, Ruang Gerak Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pemberantasan Korupsi, Udayana University Press, Denpasar, hal.4
IK. Rai Setiabudhi. Korupsi… 129 negeri/penyelenggara negara). Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi poltiis adalah penyalahguanan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Terhadap perbuatan tersebut dapat dijatuhkan hukuman paling kurang empat tahun dan sampai dengan hukuman mati. Dengan demikian secara umum korupsi dapat dikatakan sebagai tindakan seseorang atau pejabat publik untuk mengambil sesuatu (uang) secara illegal yang bukan haknya. Tindakan itu justru merugikan pihak lain atau umum (negara) atau uang yang bersumber dari rakyat perekonomian yang berakibat
sehingga dapat merusak
bertambahnya kemiskinan. Pejabat atau siapa
saja yang melakukan korupsi sesungguhnya dia atau mereka sangat mengetahui perbuatannya itu illegal atau tidak sah atau haram, akan tetapi dia atau mereka dilatarbelakangi
oleh
ketamakan,
loba,
rakus
atau
keinginannya
untuk
membahagiakan dirinya atau kelompoknya secara mudah dan cepat. b. Kebudayaan Sesungguhnya kebudayaan memiliki beranekaragam pengertian bergantung pada sudut pandang masing-masing individu untuk menemukan sebuah pemahaman. Budayawan Umar Kayam menulis bahwa kebudayaan adalah cara suatu
masyarakat
menjawab
tantangan
yang
dihadapkan
kepadanya.
Kebudayaan bukan hanya produk dari berfikir dan berbuat, tetapi juga cara berpikir dan cara berbuat itu sendiri, khususnya untuk mengatasi masalah yang dihadapinya. Jadi kebudayaan adalah proses dialektik masyarakat dengan realitas
kehidupan
dan
untuk
kehidupan yang dihadapi.5
5
www.uin-suka.ac.id, 2012:1
memberikan jawaban
atas
permasalahan
130. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 Kebudayaan
akan mewarnai setiap masyarakat, karena kebudayaan
mencakup bidang yang melandasi tingkah laku manusia. Walaupun setiap masyarakat mempunyai kebudayaan beranekaragam, namun setiap kebudayaan mempunyai sifat dan hakikat yang berlaku umum. Yakni kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari tingkah laku manusia; kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisi kewajiban-kewajiban yang diterima atau bahkan bisa ditolak oleh masyarakat. Wujud dari kebudayaan dapat berupa ide atau gagasan, dapat berupa tindakan atau perilaku manusia dalam masyarakat dan dapat berupa benda-benda hasil karya manusia. Dalam kehidupan sehari-hari ketiga wujud kebudayaan ini tidak dapat dipisahkan. Para ahli filsafat menulis, bahwa kebudayaan memiliki aspek normatif dan pembinaan nilai serta realisasi cita-cita hidup manusia. Kebudayaan pada hakekatnya melekat dalam hakekat dan eksistensi dari manusia itu. Jadi ada pembinaan nilai yang dipelihara. Lebih lanjut disebutkan bawha kebudayaan juga mencerminkan sifat esensi dari manusia yang melampaui batas-batas ruang dan waktu, sehingga tidak terikat pada sejarah dan tempat6. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara filosofis, sesungguhnya nilai-nilai yang khas dari manusia
merupakan inti dari kebudayaan. Nilai-nilai yang diperjuangkan dan
dipertahankan oleh manusia menjadi sebuah kebudayaan, baik secara personal maupun kelompoknya. Jadi kebudayaan dalam arti filosofis sangat luas dan mulia yang mana ada suatu cita-cita dibaliknya yang ingin diwujudkan untuk kebaikan. Dalam dunia ilmu hukum ada yang disebut dengan budaya hukum, yang merupakan kunci dari berbagai sistem hukum yang ada. Oleh karena itu, budaya
6
F.Andi 2010:1.www.perkantasjatim.org.
IK. Rai Setiabudhi. Korupsi… 131 hukum
mencakup
ketentuan-ketentuan
hukumnya
dan
bentuk
dari
penegakannya. Kedua hal ini akan mempengaruhi sikap dan perilaku manusia dalam kaitan persepsi mereka terhadap hukum. Kenyataannya dalam praktek penegakan hukum sudah terbiasa masyarakat yang berurusan dengan hukum mereka lebih suka bertransaksi dengan penegak hukum yang menangani perkaranya, sehingga hukum telah dianggap sebagai suatu komoditi yang dapat diperjual belikan. Hal ini merupakan suatu kenyataan yang sangat pahit dalam dunia hukum karena masalah hukum dilandasi oleh hukum ekonomi yaitu adanya “the law of supply and demand”. Berdasarkan definisi-definisi kebudayaan di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan nilai-nilai hidup manusia dan norma-norma dalam masyarakat yang terungkap dalam simbol-simbol, tata hukum, gaya hidup dan lain-lain. Tingkah laku itu biasanya ditampilkan secarak has dari individu tertentu maupun untuk kelompok tertentu. Atau secara singkat budaya adalah segala hasil kreativitas umat manusia. Karena itu setiap hasil kreativitas umat manusia adalah sebuah kebudayaan, dapat berbentuk pikiran (ide), perilaku, benda dan juga ada yang disebut budaya hukum, yang umumnya dirawat diperlihara untuk kebaikan. Sebab dibalik itu ada cita-cita mulia yang ingin diwujudkan. III. APAKAH KORUPSI DAPAT DISEBUT SEBAGAI BUDAYA?
Korupsi telah mewabah dan ada di mana-mana. Korupsi bukan hanya soal pejabat publik yang menyalahgunakan jabatannya, tetapi juga soal orang, setiap orang, yang menyalahgunakan keuddukannya untuk mendapatkan uang dengan mudah. Korupsi dapat terjadi bila ada peluang dan keinginan dalam waktu
132. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 bersamaan (kejahatan = kesempatan x niat). Korupsi dapat mulai dari mana saja, seperti suap ditawarkan pada seorang pejabat, atau seorang pejabat minta (atau bahkan dengan memeras) uang komisi atau pelicin, dan lain sebagianya. Orang yang melakukan suap karena menginginkan sesuatu yang bukan haknya. Dan penyuap menginginkan agar seorang pejabat mau mengabaikan aturan demi keuntungan pribadi atau kelompoknya. Menurut Denny Indrayana (2008), banyaknya penguasa yang merangkap sebagai pengusaha telah menjadi momok menakutkan bagi keberadaan negara Indonesia. Sebab korupsi kian massif dan sangat sistematis ketika penguasa merangkap sebagai pengusaha. Ada perselingkuhan antara penguasa dengan pengusaha yang akan menjadi akar akbar korupsi.7 Korupsi dapat terjadi bila terdapat monopoli kekuasaan (M). Ditambah dengan kewenangan yang tidak terbatas (D), lalu dikurangi dengan tanggung jawab (A) yang sering ditulis dengan rumus X = (M+D)-A8. Berbagai upaya untuk mencegah dan memberantas korupsi sejak Indonesia merdeka sampai saat ini telah dilakukan. Namun korupsi tetap jalan terus bahkan sejak reformasi semakin berkembang, pelakunya bermuka badak, tak kenal rasa malu. Bahkan
pejabat atau elit politik yang seharusnya memberikan contoh,
justru melakukan korupsi. Seperti menteri, gubernur, bupati/walikota, anggota DPR-RI/DPRD, pejabat birokrasi, perbankan, beacukai, pajak dan lain-lain. Anehnya mereka yang melakukan korupsi justru orang-orang yang berpenghasialn besar. Seperti 7
kasus yang tertangkap tangan oleh KPK akhir-
Nur Kholis Anwar, Bali Post: 11 Juni 2012.
8 Robert Klitgaar, 2002, Penuntun Pembernatasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal.26.
IK. Rai Setiabudhi. Korupsi… 133 akhir ini yaitu pegawai bea cukai, pajak. Padahal jajaran Departemen Keuangan gajinya telah disesuaikan serta pemberian remunasi (tunjangan kerja) sejak 1 Juli 2007. Besarnya bervariasi dari Rp 1,3 juta untuk golongan I sampai dengan Rp 46,96 juta bagi pejabat eselon I. Demikian pula misalnya kenaikan tunjangan hakim sebesar 300% mulai 1 April 2008. Namun praktek mafia peradilan tetap saja terjadi. Keadaan ini didukung juga oleh kebiasaan masyarakat yang lebih suka menghubungi penegak hukum yang menangani perkaranya di luar sistem peradilan. Selo Sumardjan (sosiolog), menulis bahwa korupsi merupakan bagian dari sisi gelap mental Bangsa Indonesia. korupsi adalah penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan masyarakat, seperti penyakit kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia. Pendapat sosiolo tersebut seakan relevan dengan kenyataan yang ada saat ini, mengingat begitu meluas dan derasnya perilaku korup di Indonesia. Korupsi seorang-olah menjadi budaya yang terbangun dengan rapi dan sistematis serta sulit untuk dihilangkan. Budaya korupsi ini telah memporak-porandakan republik ini. Karena perilaku korup telah merampok kas atau uang negara sehingga rakyat miskin dan melarat. Kalau demikian halnya apakah korupsi dapat dikatakan sebagai suatu kebudayaan? Franz Magnis-Suseno mengemukakan hubungan antara korupsi dan nilainilai budaya. Korupsi dapat dicari penyebabnya dalam nilai-nilai budaya tradisional yang berkembang di masyarakat. Selanjutnya ditulis dua nilai budaya yang menunjang terjadinya korupsi yaitu personalistik dan rasa kekeluargaan, dan pengaruh feodalisme. Nilai personalistik dan feodalisme tertanam kuat dalam kebudayaan masyarakat tertentu maka konsekuensinya kebiasaan (korupsi) yang
134. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137 ada dalam
masyarakat itu
akan tertanam kuat dan sulit untuk dihilangkan 9.
Demikian pula dengan kebiasaan bertransaksi dengan aparat (oknum) penegak hukum bilamana berurusan dengan masalah hukum. Kebudayaan juga bercirikan turun-temurun dari satu geenrasi ke generasi. Kebudayaan adalah hasil bersama yang melibatkan banyak generasi sebagai pendukung dan pengembangnya. Korupsi di Indonesia telah berlangsung sejak berdirinya bangsa Indonesia. Saat ini korupsi semakin merajalela meskipun telah terjadi alih generasi
baru yaitu reformasi. Justru kondisinya tambah parah.
Dengan demikian dapat dikatakan korupsi merupakan “warisan kebudayaan”? yang terus melekat berlanjut ke generasi berikutnya. Banyak pakar berpendapat, bahwa bentuk-bentuk kebudayaan memiliki nilai yang sangat relatif. Bukan saja yang mengandung hal-hal yang positif dan membangun hidup yang bermanfaat, akan tetapi juga mengandung unsur-unsur negatif yang merugikan dan bahkan menghancurkan kehidupan masyarakat. Keinginan untuk memperoleh keuntungan yang besar secara melwan hukum yang dilakukan secara terus-menerus, seperti koruptor, merupakan unsur kebudayaan yang sangat negatif. Karena korupsi akan berakibat fatal dari masyarakat, bangsa dan negara. Di sinilah makna dari suatu kebudayaan yang mempunyai dua sisi. Yaitu sisi positif dan negatif. Budaya positif tentu yang mampu mendorong kemajuan dan membantu kehidupan manusia. Budaya ini harus dipelihara terus oleh manusia atau masyarakat. Di lain pihak ada budaya negatif yang menghancurkan kehidupan manusia, seperti budaya judi sabung ayam, minuman-minuman keras, budaya carok di Madura, budaya sanksi
9
F.Andi, 2010:1 www.perkantasjatim.org.
IK. Rai Setiabudhi. Korupsi… 135 “kasepekan” di Bali adalah budaya negatif yang kemungkinan tidak disadari oleh pelakunya. Di zaman modern sekarang ini, semua orang ingin hidup yang lebih baik dan diperoleh dengan mudah dan gampang. Korupsi didasarkan pada sebuah mentalitas untuk memperoleh kekayaan yang berlimpah dengan mudah dan gampang dalam waktu cepat (maling atimpuh). Mentalitas instan seperti ini merupakan produk dari kebudayaan modern. Manusia memperoleh segala sesuatu dengan mudah dan cepat. Apakah boleh dikatakan bahwa korupsi merupakan sebuah produk dari kebudayaan modern? Tentu tidak, karena negara-negara yang maju dan modern interaksi korpsinya sangat kecil, sehingga indeks persepsi korupsinya sangat tinggi. Sesungguhnya mentalitas korup yang turun temurun, mendarah daging bukanlah sifat hakiki yang ada dalam hati-nurani manusia. Mentalitas korup pada dasarnya tercipta oleh mentalitas yang hedonism, seperti budaya konsumtif, santai, penghasilan besar tanpa kerja keras dan lain-lain. Padahal sesungguhnya manusia pada umumnya memiliki integritas, taat ajaran agama, kerja keras, tanggung jawab, punya rasa malu, rasa bersalah
dan lain-lain. Setiap orang
harus mengusahakan nilai tersebut untuk memperoleh kebahagiaan. Oleh karena itu ‘budaya korupsi’ harus dilawan dengan budaya taat pada agama, integritas tinggi, moral dan etika yang baik, yang bisa diteladani oleh setiap orang. Terutama para pemimpin di republik ini harus memberi keteladanan pada rakyatnya, bukan justru ramai-ramai korupsi, apalagi yang namanya korupsi berjamaah.
136. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 1-137
IV. PENUTUP Korupsi dianggap sebagai kebudayaan tetap menjadi kenyataan yang melahirkan dua pandangan berbeda. Ada pihak yang menyatakan bahwa tindakan korupsi merupakan sebuah budaya, dan ada juga yang menentang. Kalau dilihat kebudayaan mempunyai dua sisi, yaitu sisi negatif dan positif, jelas korupsi merupakan kebudayaan negatif. Walaupun demikian, banyak kalangan yang menyatakan bahwa korupsi dilihat sebagai sebuah kebudayaan, karena unsur kebudayaan di antaranya sebagai sebuah tingkah laku yang terus-menerus diwariskan dari generasi ke generasi, sebuah kebiasaan yang terus-menerus terpelihara dalam masyarakat baik secara pribadi maupun kelompok. Namun saya tetap berpendapat bahwa secara filosofis, korupsi bukanlah sebuah kebudayaan, karena korupsi
sangat bertentangan dengan nilai dan unsur
kebudayaan itu sendiri. Justru korupsi harus dilawan dengan budaya taat pada agama, integritas tinggi, moral dan etika yang baik, yang bisa diteladani oleh setiap orang. Terutama
para pemimpin, haus memberi keteladanan pada
rakyatnya, bukan justru ramai-ramai korupsi, apalagi yang namanya korupsi berjamaah. Tidak saja dari aspek itu saja, korupsi harus dilawan dengan penegakan dan penjatuhan hukuman yang berat bagi pelaku seperti halnya di Cina, Hongkong, Korea Selatan dan lain-lain. di samping itu, pendidikan anti korupsi terus dilakukan agar budaya anti korupsi dapat tumbuh semakin kuat pada generasi mendatang.
IK. Rai Setiabudhi. Korupsi… 137 DAFTAR PUSTAKA Edi Suharto, 2006, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial , Refika Aditama, Bandung. Furmensius Andi, 2010, Korupsi Sebagai Sebuah Budaya? (Sebuah Telaah Filosofis atas Fenomena Korupsi di Indonesia), www.perkantasjatim.org. Robert Klitgaar, 2002, Penuntun Pembernatasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Setiabudhi, IK. Rai. 2010, Ruang Gerak Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pemberantasan Korupsi, Udayana University Press, Denpasar. Wijayanto dan Ridwan Zachrie, 2009, Koropsi Mengorupsi Indonesia: Sebab Akibat dan Prospek Pemberantasan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Harian Kompas, 26 Juni 2012: Harian Bali Post, 11 Juni 2012. www.perkantasjatimorg, www.uin-suka.ac.id
138. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 138-138
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Mitra Bestari yang telah membantu melakukan penilaian tentang kelayakan substansi dari artikel yang dimuat dalam jurnal hukum – Prasada, Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Warmadewa Denpasar, seri penerbitan perdana yaitu : Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar Prof. Dr. I Wayan Parsa, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar Prof. Dr. Sudarsono, S.H.,M.S Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Prof. Dr. I Made Weni, S.H.,M.S Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang Prof.Dr. I Putu Gelgel, S.H.,M.Hum Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Ilmu Agama Universitas Hindu Indonesia Denpasar Dr. I Nyoman Sukandia, S.H.,M.H. Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Warmadewa Denpasar Dr. I Gusti Anom Kerti, S.H.,M.Kn. Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Warmadewa Denpasar
Denpasar, Maret 2014
Redaksi
Biodata Penulis… 139 BIODATA PENULIS Arya Sumertha, Dosen Tetap Hukum Administrasi, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Jl. Pulau Bali,No.1 Denpasar, Bali, Tlp. 08164707969. Alit Puspadma, Dosen Tetap Kontrak Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Warmadewa, Jln. Terompong No. 24, Tanjung Bungkak, Denpasar, Telp/fax: 0361-8445788 HP: 087861550342, flexi 0361-7916621 Email:
[email protected] Putu Bagiaarta, Dosen Tetap Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana, Universitas Warmadewa, Jl. Terompong No. 24 Tanjung Bungkak, Denpasar-Bali, tlp. 08123812472. I Made Widnyana, Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Bhayangkara Jaya Jakarta dan Guru Besar Luar Biasa Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Warmadewa Denpasar. Jl. Darmawangsa I No. 1 Kebayoran Baru Jakarta 12140 Telp: (021) 7267655, 7231948-Fax : (021) 7267657 Jl. Raya Perjuangan, Marga Mulya, Bekasi Utara Telp : (021) 88955882 – Fax. (021) 88955871 website: www.ubharajara.ac.id Simon Nahak, Dosen Tetap Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Warmadewa Denpasar, Jln. Terompong No. 24 Tanjung Bungkak Denpasar Tlp (0361) 223858, E-mail: simonnahak
[email protected]. I Made Sepud, Dosen Tetap Fakultas Hukum dan Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Warmadewa, Denpasar. Jl. Terompong No. 24, Tanjung Bungkak, Denpasar-Bali. Telp. 087861956222 IK. Rai Setiabudhi, Guru Besar dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana, Jl. Pulau Bali No. 1 Denpasar, Telp. 08164707969
140. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 2 VOL. 1 MARET 2014. 140-140 PEDOMAN PENULISAN NASKAH JURNAL HUKUM - PRASADA Substansi artikel : Artikel dapat berupa hasil penelitian, kajian normatif, studi empiris, sebagai hasil pengembangan ilmu hukum dari berbagai bidang ilmu hukum dengan daya selingkung agraria dan Investasi. Artikel belum pernah dipublikasikan atau tidak sedang dalam pertimbangan untuk dipublikasikan pada media lain. Sistematika artikel : Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan sistematika : hasil penelitian, judul, nama penulis dan alamat lembaga penulis, abstrak dan kata kunci, pendahuluan, Metode penelitian, hasil dan pembahasan, simpulan, dan daftar pustaka; Selain hasil penelitian, judul, nama penulis dan alamat lembaga penulis, abstrak dan kata kunci, Pendahuluan, Pembahasan, Simpulan, dan daftar pustaka. Tulisan berbentuk narasi, tanpa penomoran, data tabel diupayakan seminim mungkin dan tanpa kolom (baris saja). Judul : ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, tidak lebih dari 12 kata, singkat dan jelas menggambarkan isi pokok tulisan. Nama penulis: tanpa gelar disertai alamat lengkap, lembaga penulis dan nomor telepon, atau HP, E-mail, untuk memudahkan korespondensi. Abstrak : ditulis dalam bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris; tidak lebih dari 200 kata, dalam satu paragraf ; memuat latar belakang permasalahan, metode penelitian, hasil dan pembahasan (untuk hasil penelitian); serta simpulan. Kata kunci : ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris; terdiri dari tiga sampai delapan kata; memuat istilah2, konsep2, atau kata-kata penting dari tulisan. Pendahuluan : berisi latar belakang dan permasalahan. Metode penelitian : menurut uraian jenis penelitian, pendekatan masalah, metode pengumpulan, pengolahan dan analisis. Hasil dan Pembahasan : (boleh digabung). Memuat data, informasi, dan hasil analis. Simpulan : memuat intisari pembahasan dari permasalahan serta menjawab tujuan. Daftar Pustaka : memuat acuan primer yang mutakhir (75% mengacu kepada pustaka 10 tahun terakhir), dan disusun menurut alfabetis secara kronologis.; 1. BUKU ; nama pokok dan inisial pengarang (koma), tahun terbit (titik), judul buku (ditulis miring) (titik); 2. Tulisan dalam buku ; nama pokok dan inisial pengarang (koma), tahun terbit (titik), judul tulisan (titik), inisial dan nama editor (titik), judul buku (ditulis miring) (titik), tempat penerbit (titik dua), nama penerbit (titik); 3. Tulisan dalam jurnal ; nama pokok dan inisial pengarang (koma), judul tulisan (ditulis miring) (titik), Singkatan nama jurnal (titik), Volume – nomor- bulan dan tahun terbit (titik); 4. Tulisan dalam pertemuan ilmiah ; nama pokok dan inisial pengarang (koma), judul tulisan (ditulis miring) (titik), nama pertemuan (titik), tempat pertemuan (titik), waktu pertemuan (titik). Penulisan kutipan : kutipan menggunakan cara catatan kaki atau foot note. Catatan memuat nama pengarang buku, judul buku, (Kota buku diterbitkan, Penerbit, tahun), dan halaman buku yang dikutip. Judul buku ditulis miring. Sedangkan untuk judul artikel, makalah, tesis, dan disertasi, ditulis dalam tanda petik tanpa cetak miring. Catatan kaki dimulai setelah ketukan keenam (sama dengan mulainya alinea), jika catatan kaki lebih dari satu baris, maka baris kedua dan seterusnya ditulis dari awal margin kiri halaman. Hal yang dikutip diawali dan diakhiri dengan tanda (“). Jika kutipan lebih dari tiga baris, maka hal yang dikutip harus ditulis dengan satu spasi dan ketikan dimulai setelah ketukan keempat. Contoh : penulisan catatan kaki : 12Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta, Rajawali Pers, 1995), hlm. 117 13Adami Chazzawi, Hukum Pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi, (Malang, Bayu Media, 2007), hlm. 76 Penyerahan artikel : artikel dikirimkan sejumlah dua eksemplar naskah asli beserta soft copynya di dalam CD. Ditulis dengan menggunakan kertas A4, sepasi ganda, huruf time new roman, font 12, dan panjang artikel 15-20 halaman. Artikel dikirimkan ke sekretariat redaksi Jurnal Hukum - Prasada d.a. : Pascasarjana Universitas Warmadewa, Jl. Terompong No. 24 Tanjung Bungkak Denpasar (80235) telepom 0361 223858 (hunting), E-mail :
[email protected] Dan
[email protected] Catatan : 1. Redaksi berhak menolak pemuatan artikel yang tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam petunjuk penulisan atau berdasarkan hasil penelahaan mitra bestari. 2. Untuk menjaga konsistensi jumlah artikel dan jumlah halaman masing2 nomor penerbitan, pemuatan artikel dilakukan berdasarkan pada urutan prioritas penerimaan artikel. 3. Artikel yang diterima menjadi hak lembaga penerbit, dan artikel yang tidak dimuat tidak akan dikemablikan kecuali ada persetujuan sebelumnya. 4. Artikel harus sudah masuk redaksi paling lambat bulan April untuk penerbitan edisi Juli, dan bulan oktober untuk edisi januari.