ARTIKEL PENELITIAN
Artikel dengan judul “Hubungan Stigma Masyarakat Dengan Kesiapan Keluarga Menghadapi Kepulangan Pasien Gangguan Jiwa di Ruang Rawat Inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang” yang disusun oleh: Nama
: Dessy Dwi Cahyaningrum
NIM
: 010214A016
Program Studi
: Keperawatan
Artikel ini telah dikonsulkan dan disetujui oleh dosen pembimbing utama skripsi Program Studi Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo Ungaran.
Ungaran,
Februari 2016
Pembimbing Utama
Rosalina, S.Kp., M.Kes NIDN. 0621127102
HUBUNGAN STIGMA MASYARAKAT DENGAN KESIAPAN KELUARGA MENGHADAPI KEPULANGAN PASIEN GANGGUAN JIWA DI RUANG RAWAT INAP RSJD DR. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG Dessy Dwi Cahyaningrum*), Rosalina**), Joyo Minardo***) *) Mahasiswa Program Studi Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo Ungaran **) Staf Pengajar Program Studi Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo Ungaran ***) Staf Pengajar Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo Ungaran ABSTRAK Keberhasilan perawatan pasien gangguan jiwa di rumah sakit dapat siasia jika tidak diteruskan di rumah, sehingga diperlukan kesiapan keluarga untuk merawat pasien di rumah agar pasien tidak mengalami kekambuhan. Salah satu faktor yang mempengaruhi kesiapan keluarga dalam menghadapi kepulangan pasien adalah adanya stigma bahwa penderita gangguan jiwa merupakan orang yang berbahaya dan gangguan jiwa merupakan penyakit yang memalukan bagi anggota keluarga dan orang terdekat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan stigma masyarakat dengan kesiapan keluarga menghadapi kepulangan pasien gangguan jiwa di ruang rawat inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang. Penelitian ini merupakan penelitian Deskriptif Korelasi dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua keluarga pasien rawat inap di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang sejumlah 172 orang. Sampel yang diambil sejumlah 64 orang dengan teknik quota sampling. Alat ukur untuk mengumpulkan data menggunakan kuesioner. Analisis data menggunakan uji Chi Square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara stigma masyarakat dengan kesiapan keluarga menghadapi kepulangan pasien gangguan jiwa di ruang rawat inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang dengan p-value 0,011 < 0,05. Disarankan bagi pihak Rumah Sakit untuk dapat berperan aktif dalam memberikan bimbingan dan informasi bagi keluarga pasien, agar keluarga memiliki kesiapan yang baik dalam merawat pasien di rumah.
Hubungan Stigma Masyarakat Dengan Kesiapan Keluarga Menghadapi Kepulangan Pasien Gangguan Jiwa di Ruang Rawat Inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang
Page 1
ABSTRACT
The success of mental disorder patient care at hospital can be useless if it is not continued at home, so it is required family readiness to care the patient at home, so that patient does not experience relapsing. One of factor influencing family readiness in facing patient’s return is a stigma that mental disorder patient is dangerous person and mental disorder is the embarrassing disease for family member and closest person. The objective of this research is to identify the correlation between public’s stigma and family readiness in facing mental disorder patient’s return at inpatient room of Dr. Amino Gondohutomo Local Mental Hospital, Semarang. This research was descriptive correlation research with cross sectional approach. Population of this research were all families of patient at Dr. Amino Gondohutomo Local Mental Hospital, Semarang as many as 172. Sample taken was 64 with quota sampling technique. Measuring instrument to collect data used questionnaire. Data analysis used Chi Square test. Result of research indicates that there is significant correlation between public’s stigma and family readiness in facing mental disorder patient’s return at inpatient room of Dr. Amino Gondohutomo, Local Mental Hospital, Semarang with p-value 0,011 < 0,05. It is suggested for Hospital to be able to take role actively in giving guidance and information to patient’s family, so that family has good readiness in caring patient at home. Keywords
: Public’s Stigma, Family Readiness, Mental Disorder Patient.
PENDAHULUAN Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berfikir (cognitive), kemauan (volition), emosi (affective), tindakan (psychomotor). Kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Keabnormalan tersebut yaitu: gangguan jiwa (neurosa) dan sakit jiwa (psikosa). Keabnormalan terlihat dalam berbagai macam gejala yang terpenting diantaranya adalah: ketegangan (tension), rasa putus asa dan murung,
gelisah, cemas, perbuatan-perbuatan yang terpaksa (convulsive), hysteria, rasa lemah, tidak mampu mencapai tujuan, takut, pikiran-pikiran buruk (Yosep dan Titin, 2014). Berdasarkan hasil studi pendahuluan data dari rekam medik RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang jumlah pasien masuk gangguan jiwa pada bulan Juli, Agustus, dan September 2015 adalah 345, 351 dan 339 pasien. Sedangkan untuk jumlah pasien keluar pada bulan Juli, Agustus, dan September 2015
Hubungan Stigma Masyarakat Dengan Kesiapan Keluarga Menghadapi Kepulangan Pasien Gangguan Jiwa di Ruang Rawat Inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang
Page 2
adalah 335, 335 dan 322 pasien (Pencatatan Rekam Medis RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang, 2015). Program perencanaan pulang merupakan bagian penting dari program pengobatan klien yang dimulai dari segera setelah klien masuk rumah sakit. Hal ini merupakan suatu proses yang menggambarkan usaha kerjasama antara tim kesehatan, keluarga, klien dan orang yang penting bagi klien (Yosep dan Titin, 2014). Keluarga merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi perjalanan penyakit, kekambuhan dan prognosisnya, sehingga keluarga mempunyai peranan yang penting di dalam pemeliharaan atau rehabilitasi anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa (Simatupang, 2010). Keluarga memegang suatu peranan yang bersifat mendukung selama masa penyembuhan dan pemulihan klien. Apabila dukungan semacam ini tidak ada, maka keberhasilan penyembuhan/ pemulihan sangat berkurang (Friedman, 2014). Kesiapan keluarga dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu faktor eksternal (budaya dan stigma). Budaya berpengaruh pada perlakuan terhadap gangguan jiwa (pemberian nama dari gangguan jiwa, perlakuan selama sakit, perlakuan setelah sakit dan menentukan penyebab dari gangguan). Sedangkan stigma, merupakan keyakinan atau kepercayaan yang salah. Untuk faktor internal (motivasi dan pengalaman individu). Motivasi adalah tujuan keluarga membawa pasien ke rumah sakit. Pengalaman individu yaitu pengalaman keluarga dalam menangani anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa sebelum dibawa ke rumah sakit. Penulis tertarik untuk membahas tentang kesiapan keluarga dalam menghadapi kepulangan pasien terutama pada pengaruh dari stigma masyarakat. Stigma masyarakat yang muncul antara lain stigma positif dan negatif. Stigma positif yang dimunculkan oleh masyarakat yaitu bahwa orang yang menderita gangguan jiwa itu juga manusia yang berhak hidup normal, jadi apabila ada tetangga yang menderita gangguan jiwa, sebaiknya segera diobati atau dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa. Sedangkan untuk stigma negatif yaitu masyarakat cenderung menganggap orang dengan kelainan mental atau gangguan jiwa sebagai sampah sosial (Sulistyorini, 2013). Dari fenomena di atas, peneliti ingin meneliti tentang hubungan stigma masyarakat dengan kesiapan keluarga menghadapi kepulangan pasien gangguan jiwa di ruang rawat inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain penelitian non eksperimental bersifat Deskriptif Korelatif. Menggunakan desain penelitian cross sectional/ potong lintang adalah jenis penelitian yang menekankan pada waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan dependen hanya dilakukan satu kali pada saat yang sama. Dimana peneliti ingin mengetahui hubungan antara stigma masyarakat dengan kesiapan keluarga dalam menerima kepulangan pasien di
Hubungan Stigma Masyarakat Dengan Kesiapan Keluarga Menghadapi Kepulangan Pasien Gangguan Jiwa di Ruang Rawat Inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang
Page 3
ruang rawat inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang.
tentang gangguan jiwa dalam kategori negatif, sejumlah 35 orang (54,7%). 2.
HASIL PENELITIAN ANALISA DATA ANALISA UNIVARIAT 1.
Stigma Masyarakat Gangguan Jiwa
tentang
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Stigma Masyarakat tentang Gangguan Jiwa pada Pasien di Ruang Rawat Inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang. Stigma Masyarakat Negatif Positif Jumlah
Frekuensi Persentase (%) 35 54,7 29 45,3 64 100,0
Kesiapan Keluarga Menghadapi Kepulangan Pasien Gangguan Jiwa
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kesiapan Keluarga Menghadapi Kepulangan Pasien Gangguan Jiwa di Ruang Rawat RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang. Kesiapan Keluarga Kurang Cukup Baik Jumlah
Frekuensi 25 18 21 64
Persentase (%) 39,1 28,1 32,8 100,0
Berdasarkan tabel 2, dapat diketahui bahwa sebagian besar keluarga merasa kurang siap menghadapi kepulangan pasien gangguan jiwa, yaitu sejumlah 25 orang (39,1%).
Berdasarkan tabel 1, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden merasa stigma masyarakat
ANALISA BIVARIAT Tabel 3 Hubungan Stigma Masyarakat dengan Kesiapan Keluarga Menghadapi Kepulangan Pasien Gangguan Jiwa di Ruang Rawat Inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang. Kesiapan Keluarga Stigma Kurang Cukup Masyarakat f % f % Negatif 18 51,4 11 31,4 Positif 7 24,1 7 24,1 Total 25 39,1 18 28,1 Berdasarkan uji Chi Square diperoleh nilai korelasi 2 = 9,104
p2 Baik Total value f % f % 6 17,1 35 100 9,104 0,011 15 51,7 29 100 21 32,8 64 100 dengan p-value 0,011. Oleh karena 2 = 9,104 > 5,991 dan p-value 0,011 <
Hubungan Stigma Masyarakat Dengan Kesiapan Keluarga Menghadapi Kepulangan Pasien Gangguan Jiwa di Ruang Rawat Inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang
Page 4
0,05, maka disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara stigma masyarakat dengan kesiapan keluarga menghadapi kepulangan pasien gangguan jiwa di ruang rawat inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang.
PEMBAHASAN Gambaran Stigma Masyarakat tentang Gangguan Jiwa pada Pasien di Ruang Rawat Inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa keluarga merasa stigma masyarakat tentang gangguan jiwa dalam kategori negatif, sejumlah 35 orang (54,7%). Persentase keluarga yang menyatakan bahwa masyarakat di lingkungannya menganggap pasien dengan gangguan jiwa tidak dapat disembuhkan sebanyak 57,8%. Sedangkan keluarga yang menyatakan bahwa masyarakat sekitar memberikan label/ sebutan tertentu kepada penderita gangguan jiwa sebanyak 60,9%. Pada pernyataan lain, keluarga menyatakan bahwa masyarakat menganggap pasien dengan gangguan jiwa merupakan orang yang menjijikkan, kotor dan bau, masyarakat juga menganggap pasien dengan gangguan jiwa lebih baik dikurung, karena akan mengganggu orang lain. Hal ini disebabkan banyak dari masyarakat yang beranggapan bahwa orang dengan gangguan jiwa merupakan aib dari sebuah keluarga. Banyak dari masyarakat yang merasa jijik atau tidak mau berkumpul dengan orang gangguan jiwa, sehingga pada kenyataannya masyarakat seringkali mengucilkan orang dengan gangguan jiwa dan banyak pula yang merasa
takut karena orang dengan gangguan jiwa dianggap berbahaya dan tidak sedikit pula yang takut tertular. Sebagaimana disampaikan oleh Prasetyo (2009) bahwa dimanapun orang dengan gangguan jiwa memijakkan kakinya, dia selalu mendapat stigma negatif. Banyak orang dengan gangguan jiwa yang menjadi gelandangan di jalan-jalan karena keluarganya tidak mampu mengurusnya hampir selalu menjadi bahan ejekan, cemoohan, dicaci maki, bahkan dalam beberapa kasus diludahi, dilempari batu, dan disuruh pergi. Pada pernyataan lain, yaitu sebanyak 45,3% keluarga mengatakan bahwa masyarakat menganggap pasien gangguan jiwa merupakan penyakit yang disebabkan karena guna-guna. Hal ini ditunjang oleh pernyataan Hawari (2014) bahwa banyak masyarakat yang masih berpendapat bahwa gangguan jiwa bukan merupakan penyakit yang dapat disembuhkan secara medis. Mereka berpendapat bahwa gangguan jiwa akibat dilanggarnya larangan (tabu), guna-guna, teluh, santet, kemasukan setan, kemasukan roh jahat (evil spirit), kutukan (curse) dan lain sejenisnya yang berlandaskan keyakinan supranatural. Stigma negatif dari masyarakat terhadap pasien dengan gangguan jiwa juga terbentuk karena kurang mengertinya masyarakat terhadap pasien gangguan jiwa, seharusnya pasien dengan gangguan jiwa harus dilindungi dan didukung oleh masyarakat agar bisa sembuh dan kembali normal. Namun, kenyataannya hal tersebut menyebabkan banyak dari masyarakat yang menganggap pasien gangguan jiwa merupakan sampah sosial dan bahkan perlu dikurung agar
Hubungan Stigma Masyarakat Dengan Kesiapan Keluarga Menghadapi Kepulangan Pasien Gangguan Jiwa di Ruang Rawat Inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang
56
Page 5
tidak menimbulkan gangguan di masyarakat. Penilaian tersebut muncul karena pasien gangguan jiwa tidak memiliki ketrampilan atau kemampuan untuk berinteraksi dan bahaya yang mungkin dapat ditimbulkannya (Varamitha, 2014). Gambaran Kesiapan Keluarga Menghadapi Kepulangan Pasien Gangguan Jiwa di Ruang Rawat Inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana disajikan pada tabel 2 menunjukkan bahwa keluarga merasa kurang siap menghadapi kepulangan pasien gangguan jiwa, yaitu sejumlah 25 orang (39,1%). Prosentase keluarga yang merasa terbebani karena harus melanjutkan pengobatan dan perawatan pasien di rumah sebanyak 64,1%. Karena sebagian besar dari keluarga memiliki pekerjaan swasta, yaitu sebanyak 68,8%. Keluarga seharusnya berperan penting dalam menentukan cara atau asuhan yang diperlukan pasien selama di rumah (Yosep dan Sutini, 2014). Prosentase 64,1% keluarga juga menyatakan tidak meminumkan obat secara teratur, karena khawatir akan timbul efek samping obat, seperti lidah kaku dan tangan gemetaran. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan 25-50% pasien pulang dari rumah sakit tidak meminum obat secara teratur (Nasir dan Muhith, 2010). Banyak keluarga yang kurang siap ini disebabkan karena banyak dari keluarga pasien gangguan jiwa yang merasa malu jika keluarganya ada yang terkena gangguan jiwa, mereka juga takut kalau anggota keluarga gangguan
jiwa tersebut memberikan akibat buruk terhadap keluarga atau tetangganya seperti takut jika pasien menyerang atau menyakiti orang lain, takut kalau diganggu dan diolok-olok oleh anakanak. Hubungan Stigma Masyarakat dengan Kesiapan Keluarga Menghadapi Kepulangan Pasien Gangguan Jiwa di Ruang Rawat Inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang Berdasarkan uji Chi Square diperoleh nilai korelasi 2 = 9,104 dengan p-value 0,011. Oleh karena pvalue 0,011 < 0,05, maka disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara stigma masyarakat dengan kesiapan keluarga menghadapi kepulangan pasien gangguan jiwa di ruang rawat inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang. Stigma masyarakat yang negatif mengakibatkan kurang siapnya keluarga dalam menghadapi kepulangan pasien gangguan jiwa. Sebaliknya, stigma masyarakat yang positif mengakibatkan lebih siapnya keluarga dalam menghadapi kepulangan pasien. Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa keluarga yang merasa bahwa stigma masyarakat negatif sebagian besar kurang siap dalam menghadapi kepulangan pasien gangguan jiwa, sejumlah 18 responden (51,4%). Hal ini karena stigma dan anggapan negatif dari masyarakat membuat keluarga merasa tidak nyaman dan bertambah khawatir serta takut jika pasien gangguan jiwa ini tinggal bersama, hal ini tentu memicu keluarga menjadi kurang siap untuk menerima kembali keluarganya yang
Hubungan Stigma Masyarakat Dengan Kesiapan Keluarga Menghadapi Kepulangan Pasien Gangguan Jiwa di Ruang Rawat Inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang
Page 6
sakit jiwa ini dan lebih memilih untuk menempatkannya di Rumah Sakit Jiwa. Hasil penelitian di atas juga didukung oleh pernyataan Prasetyo (2009) bahwa berkait dengan proses pengobatan pada masalah kesehatan jiwa, ada anggapan keliru (stigma) di masyarakat, antara lain bahwa gangguan jiwa tidak bisa disembuhkan, merupakan penyakit keturunan dan kutukan. Sehingga anggapan keliru dari masyarakat ini akan menghambat keinginan dan kesiapan keluarga untuk merawat pasien. Hal tersebut juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Purwanto (2015) bahwa stigma yang beredar di tengah masyarakat berpengaruh pada keluarga dalam memperlakukan anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. Keluarga merupakan bagian dari suatu sistem komunitas. Sehingga apa yang terjadi pada suatu keluarga dapat dipengaruhi oleh masyarakat sekitar, begitu pula sebaliknya (Efendi dan Makhfudli, 2009). Hasil penelitian di atas juga didukung oleh pernyataan Prasetyo (2009) bahwa berkait dengan proses pengobatan pada masalah kesehatan jiwa, ada anggapan keliru (stigma) di masyarakat, antara lain bahwa gangguan jiwa tidak bisa disembuhkan, merupakan penyakit keturunan dan kutukan. Sehingga anggapan keliru dari masyarakat ini akan menghambat keinginan dan kesiapan keluarga untuk merawat pasien. Pada kasus-kasus gangguan jiwa, tindakan ini pada akhirnya membangun prejudice tanpa dasar yang mengarah pada usaha-usaha mendiskriminasikan penderita gangguan jiwa dalam banyak hal, seperti tindakan kekerasan,
diskriminasi di tempat kerja dan sekolah (Buckles, 2008). Kurangnya pengetahuan akan kesehatan jiwa di kalangan umum memang tidak dipungkiri sebagai sebab utama terhadap perlakuan tidak adil yang diterima para penderita gangguan jiwa (Smith dan Casswell, 2010). Perlakuan tidak adil ini tidak hanya berakibat pada klien tetapi juga keluarganya. Sedangkan, keluarga sangat berperan dalam menentukan cara atau asuhan yang diperlukan klien di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit dapat sia-sia jika tidak diteruskan di rumah karena dapat mengakibatkan klien harus dirawat kembali (kambuh) (Nasir dan Muhith, 2010). Oleh karena itu, jika keluarga mendapat stigma negatif dari masyarakat akan berakibat ketidaksiapan keluarga pada pemulangan pasien gangguan jiwa, sehingga fungsi dan peran keluarga dalam merawat pasien di rumah tidak bisa berjalan dengan baik. Agar pasien dapat kembali normal, dibutuhkan dukungan keluarga karena keluarga merupakan sistem yang terutama sebagai pendukung bagi klien setelah pulang dari rumah sakit jiwa. Menurut Nasir dan Muhith (2010) pentingnya peran serta keluarga dalam klien gangguan jiwa dapat dipandang dari berbagai segi, yaitu: keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan “institusi” pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap, dan perilaku. Individu menguji coba perilakunya di dalam keluarga, dan umpan balik keluarga mempengaruhi individu dalam mengadopsi perilaku tertentu.
Hubungan Stigma Masyarakat Dengan Kesiapan Keluarga Menghadapi Kepulangan Pasien Gangguan Jiwa di Ruang Rawat Inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang
Page 7
Keterbatasan Penelitian Penelitian ini tidak terlepas dari adanya keterbatasan-keterbatasan cakupan penelitian. Peneliti mengalami beberapa keterbatasan, karena adanya variabel lain yang mempengaruhi hasil penelitian ini, yaitu adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi kesiapan keluarga menghadapi kepulangan pasien. Diantaranya faktor eksternal (budaya) dan faktor internal (motivasi dan pengalaman individu). Kesimpulan Sebagian besar responden merasa stigma masyarakat tentang gangguan jiwa dalam kategori negatif, sejumlah 35 orang (54,7%). Sebagian besar keluarga merasa kurang siap menghadapi kepulangan pasien gangguan jiwa, yaitu sejumlah 25 orang (39,1%). Ada hubungan yang signifikan antara stigma masyarakat dengan kesiapan keluarga menghadapi kepulangan pasien gangguan jiwa di ruang rawat inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang dengan pvalue 0,011 < 0,05. Saran Bagi keluarga pasien, agar keluarga memiliki kesiapan yang baik dalam merawat pasien di rumah, bagi tenaga kesehatan diharapkan dapat berperan aktif dalam memberikan bimbingan dan informasi bagi keluarga pasien, agar keluarga memiliki kesiapan yang baik dalam merawat pasien di rumah dan bagi masyarakat diharapkan dapat meningkatkan pengetahuannya, agar masyarakat dapat berpikir dan berpandangan positif pada klien dengan gangguan jiwa dan tidak memberikan stigma negatif, yang mana klien juga manusia yang berhak sembuh dan hidup normal.
DAFTAR PUSTAKA Amalia, L. 2009. Kesiapan Keluarga Menghadapi Kepulangan Pasien Rawat Inap Gangguan Jiwa (Studi Kasus Pada Keluarga Pasien Rawat Inap Gangguan Jiwa di Rumah sakit Jiwa Dr. Amino Gondohutomo). Astuti, L. F. 2005. Kesiapan Keluarga pada Pemulangan Pasien dengan Gangguan Jiwa di RS grhasia propinsi DIY. Bucles, dkk. 2008. Beyond Stigma and Discrimination: Challenges for social Work Practice in Psychiatric Rehabilitation and Recovery, Journal of Social Work in Disability & Rehabilitation Vol. 7. Chaplin, J.P. 2011. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali Press. Efendi, Ferry dan Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas. Jakarta: Salemba Medika. Friedman, M, dkk. 2014. Buku Ajar Keperawatan Keluarga: Riset, Teori dan Praktek Edisi ke-5. Alih bahasa Achir Yani dkk. Jakarta: EGC. Hawari,
D. 2014. Skizofrenia Pendekatan Holistik (BPSS) Bio-Psiko-Sosial-Spiritual. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Hidayat, A.A. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika.
Hubungan Stigma Masyarakat Dengan Kesiapan Keluarga Menghadapi Kepulangan Pasien Gangguan Jiwa di Ruang Rawat Inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang
Page 8
Huda, N. 2013. Tingkat Pemahaman Keluarga Terhadap Perencanaan Pemulangan Klien Gangguan Jiwa Yang Dirawat di Kelas I dan IP Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau. Larson, J. E. and Corrigan, P. W. 2008. The Stigma of Families With Mental Illness. Lestari, Weny dan Yurika F W. 2014. Stigma dan Penanganan Penderita Gangguan Jiwa Berat Yang Dipasung. Maramis, W. F. dan Albert A. Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press. Martinsusilo. 2007. Kepemimpinan Situasional. Diakses dari http:/www.edymartin.wordpre ss.com/ pada tanggal 28 Oktober 2015. Nasir, A dan Abdul Muhith. 2011. Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa Pengantar dan Teori. Jakarta: Salemba Medika. Noorkasani, dkk. 2007. Sosiologi Keperawatan. Jakarta: EGC. Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam. 2013. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Nursalam dan Efendi, Pendidikan keperawatan. Salemba Medika.
F.
2008. dalam Jakarta:
O’Brien,
Patricia G. 2014. Keperawatan Kesehatan Jiwa Psikiatrik: Teori dan Praktik. Alih Bahasa Nike B S dkk. Jakarta: EGC.
Padila. 2011. Buku Ajar Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Nuha Medika. Pencatatan Rekam Medis RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah. 2015. Prasetyo, dkk. 2009. Jurnal HAM: OMDK dan Pemenuhan HAM. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Purwanto. 2015. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Riyadi, S. dan Teguh Purwanto. 2013. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu. Simatupang, M. 2010. Hubungan Pengetahuan Keluarga tentang Perilaku Kekerasan dengan Kesiapan Keluarga dalam Merawat Pasien di Rumah sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan. Siswanto. 2013. Hubungan Kunjungan Keluarga dengan Kesiapan Pasien Pulang di Rumah sakit Jiwa di Jawa Tengah. Smith, A and Casswell, C. 2010. Stigma and Mental Illness: Investigating attitudes of Mental Health and NonMental Health Professionals and Trainees, Journal of Humanistic Counselling,
Hubungan Stigma Masyarakat Dengan Kesiapan Keluarga Menghadapi Kepulangan Pasien Gangguan Jiwa di Ruang Rawat Inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang
Page 9
Education and Development Vol. 49. Stuart, G. W. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Alih Bahasa Kapoh, R. P dan Yudha, E. K. Jakarta: EGC. Sulistyorini, N. 2013. Hubungan Pengetahuan Tentang Gangguan jiwa Terhadap Sikap Masyarakat Kepada Penderita Gangguan Jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Colomadu 1. Supardi,
S. dan Rustika. 2013. Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta: Trans Info Media.
Syaharia, A. R. H. 2008. Stigma Gangguan Jiwa Perspektif Kesehatan Mental Islam. Yosep, I. dan Titin Sutini. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama. Varamitha, S. 2014. Stigma sosial pada Keluarga Miskin dari Pasien Gangguan Jiwa. Videbeck, S. L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC. Wasis. 2008. Pedoman Riset Praktis untuk Profesi Perawat. Jakarta: EGC.
Hubungan Stigma Masyarakat Dengan Kesiapan Keluarga Menghadapi Kepulangan Pasien Gangguan Jiwa di Ruang Rawat Inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang
Page 10