Aqidah Islam VS Murji’ah
Segala puji hanya milik Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah tercinta, Muhammad bin Abdullah, segenap keluarga, para sahabat dan umatnya yang setia.
Orang-orang Arab sebelum Islam dan sewaktu Islam mulai datang, semuanya mengerti kedua istilah ini, yaitu al-Ilah dan ar-Rabb. Kedua patah kata atau kedua istilah tersebut, mereka pergunakan dalam percakapan sehari-hari dan pandai juga mempergunakannya.
Arti yang terkenal oleh bangsa Arab pada masa wahyu Ilahi itu bergema, lambat-laun berubah, terisolir dan terbatas dengan berbagai dalih, terjemah dan tafsir yang kabur. Ini disebahkan tiga faktor: (1) Ketidak-murninya bahasa Arab. (2) Generasi-generasi yang menerima waris Islam, tidak diwarisi pengertian tentang bahasa Arab itu, sebagaimana dimengerti oleh nenek-moyang mereka, kaum jahiliah yang begitu luas pengertian mereka tentang bahasa Arab itu. (3) Penjajahan kafir baik secara militer, secara ekonomi, secara fikrah, maupun secara dien semenjak menjelang robohnya kekhilafahan Islam.
Karena tiga faktor itulah, maka ahli bahasa Arab dan ahli Agama Islam menafsirkan kebanyakan kata-kata dalam al-Quran menurut kefahaman kaum mutaakhir, tidak menurut kefahaman kaum jahiliah yang luas dan murni itu. Sebagai contoh: - Kata al-llah, disenyawakan dengan kata patung-patung berhala dan sebagainya. - Kata ar-Rabb. disenyawakan dengan kata pemelihara, pendidik dan sebagainya. - Kata ad- Dien, disenyawakan dengan kata religion. - Kata Taghut, disenyawakan dengan syaitan atau berhala.
Penafsiran dan pengertian tersebut, menyulitkan orang mencapai tujuan dan maksud alQuran yang sebenarnya. Apabila al-Quran melarang mempertuhankan selain Allah, maka
yang ditinggalkan hanyalah patung-patung berhala. Dengan demikian yakinlah mereka telah mentaati larangan al-Quran itu. Padahal mereka masih mempertuhan lain-lainnya kecuali patung-patung berhala dalam artikata taghut yang luas itu.
Apabila diperingatkan al-Quran, bahwa Allah adalah ar-Rabb, disambut dengan pernyataan bahwa tidak pernah terlintas di benak kami untuk menganggap siapapun sebagai pemelihara dan penjamin keinginan kami selain Allah Ta’ala, Dengan demikian menurut kefahaman mereka telah memenuhi tuntutan tauhid itu. Akan tetapi kenyataannya, banyak di antara mereka tunduk pada Rububiyah (Kekuasaan) yang lain bila ditinjau dari sudut yang lain daripada arti Pengasuh, Pemelihara dan Penjamin.
Apabila diseru al-Quran, “Sembahlah Allah dan tinggalkanlah taghut itu”, maka sambutan mereka ialah, kami tidak menyembah berhala, dan mengutuk si syaitan. Yang kami sembah hanyalah Allah dengan khusyu’. Dengan demikian mereka yakin telah melaksanakan seruan al-Quran tadi. Padahal mereka menggantungkan diri dan nasib pada banyak taghut yang tidak berbentuk batu atau kayu pahatan (berhala).
Begitu juga faham kebanyakan orang tentang ad-Dien. Mereka mengaku sebagai muslim, akan tetapi, apabila diteliti akan nyatalah bahwa kebanyakan mereka tidak mengikhlaskan diri untuk Allah dalam melaksanakan tuntutan Islam sebagai Dinullah yang luas artinya itu.
Karena kabur pandangannya tentang tauhid, maka tanpa sadar dia memperbanyak tuhan, memperbanyak ilah dan rabb dalam kelakuannya sehari-hari. Ia terombang-ambing oleh situasi, ia tidak sadar tiap hari ber-ibadah kepada manusia lain. Tanpa sadar, bahwa dia telah melanggar batas-batas tauhid dan terjerumus ke dalam jurang kemusyrikan. Dan alangkah marah meradangnya, sekiranya anda tegur, bahwa dia telah keluar dari Islam, yakni
murtad.
Keluar
dari
Dinullah,
atau
dari
Kalimatullah
karena
telah
mempersekutukan Allah, memperbanyak tuhan sebagai sekutu-sekutu Allah dalam Uluhiyah dan Rububiyah-Nya itu. Semua itu disebabkan kekaburannya memahami arti atau maksud dari kata Ilah dan Rabb itu sebagaimana mestinya. Harapan kami, setelah
selesai membaca ini semua, maka insyaallah anda akan paham mengapa Bilal disiksa, Rasulullah dan pengikutnya diejek, diolok-olok, dihina, diancam, dikejar-kejar, sebagian dibunuh dst. Ini semua karena pembesar jahiliah khawatir kehilangan kedudukan dan kekuasaan yang biasa mereka nikmati turun-temurun. Dan mereka khawatir masyarakat lebih patuh dan hanya mau taat mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam saja.
Penjelasan Tentang Siapakah Murji’ah itu
Sebutan Murji’ah itu mengacu kepada tiga konotasi: - Pertama, yang mereka sebut irja’ dalam iman terhadap qadar, yang terdiri dari aliranaliran Qodariyah dan Mu’tazilah. - Kedua, yang mereka sebut irja’ dalam iman dan (berpaham) Jabariyyah dalam ‘amal seperti madzhab Jahmiyyah. - Ketiga, yang disebut dengan Murji’ah tetapi bukan Jabariyyah dan Qodariyyah. Mereka terdiri dari berbagai firqoh, seperti; Yunusiyyah, Ghossaniyyah, Tsaubaniyyah, Tumaniyyah dan Marisiyyah.
Mereka disebut dengan Murji’ah adalah karena mereka mengakhirkan (menyingkirkan) amal dari iman.
Kata irja’ maknanya adalah ta’khir (mengakhirkan). Dalam kata-kata Arjiatuhu dan arja’tuhu, maksudnya adalah akhkhortuhu (saya mengakhirkannya).
Murji’ah dalam hal iman ada dua macam : Pertama; Ghulatul Murji’ah yakni Murji’ah Mutakallimin (ahli kalam) Kedua; Murji’ah Fuqaha’ (ahli fiqih)
Adapun murji’ah mutakallimin, maka Jahm bin Shofwan dan para pengikutinya telah mengatakan: Iman itu cukup dengan tasdiq (pembenaran) di dalam hati dan mengetahuinya. Mereka tidak menjadikan amalan sebagai bagian dari iman. Mereka beranggapan bahwa seseorang bisa menjadi mu’min yang sempurna imannya hanya
dengan hatinya, meskipun ia menghina Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa dan rasulNya, memusuhi wali-wali Allah, memberikan loyalitas kepada musuh-musuh Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa, menghancurkan masjid dan meninggalkan isi mushaf-mushaf dan kaum mukminin puncak penghinaan yang luar biasa, sementara itu mereka memuliakan orang-orang kafir setinggi-tingginya. Mereka berkata, “Ini semua adalah maksiat yang tidak merusakkan keimanan yang ada di dalam hatinya, akan tetapi ia melakukan semua ini sedangkan bathinnya tetap beriman kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa.”
Mereka (Murji’ah) berkata, “Dijatuhkannya vonis kufur kepada seseorang di dunia hanyalah karena ucapan-ucapan yang menjadi tanda kekafiran”.
Kekafiran menurut mereka hanyalah satu tingkat saja, yaitu kejahilan. Iman dalam pandangan mereka juga hanya satu tingkat, yaitu pengetahuan (ilmu) baik hatinya mendustakan atau membenarkanya. Sesungguhnya mereka berselisih apakah tasdiqul qolbi (membenarkan dengan hati) itu merupakan entitas lain dari ilmu ataukah ia suatu entitas yang sama. Dan meskipun pendapat ini adalah pendapat yang paling rusak tetapi tetap digunakan untuk mendefinisikan iman. Dan banyak tokoh-tokoh ahli kalam dari madzhab Murji’ah menyatakannya. Tetapi oleh tokoh salaf seperti Waki’ bin al-Jarrah, Ahmad bin Hanbal, Abu ‘Ubaid dan lain-lainnya telah mengkafirkan orang yang berpendapat seperti ini. Mereka menyatakan, “Iblis dinyatakan kafir dengan nash AlQur’an. Di dikafirkan karena istikbar (kesombongan) dan serta sikap penolakan terhadap perintah untuk sujud (menghormati) kepada Adam, bukan karena ia mendustakan khabar dari Allah. Begitu juga Fir’aun dan kaumnya dinyatakan kafir berdasarkan nash alQur’an. Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman: ووا وا أ ً وًا Dan mereka mengingkarinya Karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. (TQS. an-Naml:14) Nabi Musa as berkata kepada Fir’aun :
رب ا! ات وارض#ء إ#& * أ)ل ه+ !
Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mushaf-mushaf itu kecuali tuhan yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti bukti yang nyata (TQS AlIsra’:102) Ini adalah kata-kata Nabi Musa ash-Shadiq al-Mashduq (yang benar dan dibenarkan) kepada Fir’aun. Maka, ayat ini menunjukkan bahwa Fir’aun itu telah mengetahui bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa telah menurunkan ayat-ayat ini, meskipun dia adalah makhluk Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa yang paling besar pembangkangan dan sikap aniayanya karena keburukan keinginan dan tujuannya, bukan karena ketidak tahuanya. Allah Ta’ala berfirman ,* آن/ ءه إ0 1 أءه و231 * 45 678 1 ً79 أه:7 ارض و0; < إن ;ن ,1 !ا
Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah dengan menindas segolongan dari mereka, membunuh anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka, sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan (TQS Al-Qashas: 4)
Dan begitu juga, Allah telah berfirman tentang orang-orang Yahudi ;ن أءه71 آ/;71 ?>ه ا!=ب,13!ا
Orang-orang yang telah kami beri kitab mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak anak mereka sendiri (TQS Al-Baqarah:146) Dan begitu juga kaum musyrikin yang telah disebut oleh Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa ونB1 Cت ا1D , !E! ا,=!@ و3=1 # A;
“Sesungguhnya mereka bukan mendustakan kamu akan tetapi orang orang yang zalim itu mengingkari ayat ayat Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa (TQS Al-An’am 33)
Dan adapun Murji’ah Fuqoha’, yaitu orang-orang yang mengatakan bahwa iman itu adalah tashdiqul qolbi (membenarkan di dalam hati) dan ucapan di dalam lisan, sedang amal bukan bagian darinya.
Di antara mereka ada beberapa ahli fiqih dari Kufah dan ahli ibadahnya. Pandangan mereka tidak sama dengan pandangan Jahm. Mereka mengakui bahwa seseorang itu tidak akan menjadi mu’min bila tidak menyatakan keimananya ketika dia mampu melakukannya. Mereka pun mengetahui bahwa Iblis, Fir’aun dan lain-lainnya adalah kafir meskipun hati mereka membenarkan keberadaan Allah. Ya, bila tidak memasukkan amalan hati dalam definisi iman maka sepantasnya kalau memegang pendapat Jahm. Mereka juga tidak berpendapat bahwa iman bisa bertambah dan berkurang karena amal. Namun mereka mengatakan bahwa bertambahnya iman itu terjadi sebelum sempurnanya tasyri’, maksudnya setiap kali Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa menurunkan ayat maka ia wajib membenarkanya. Dengan demikian, tashdiq (pembenaran) ini akan bergabung dengan tashdiq yang telah ada sebelumnya, itulah yang dimaksud bertambahnya iman. Akan tetapi setelah sempurnanya ayat-ayat yang Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa turunkan, menurut mereka, iman tidak lagi bertingkat tingkat, tetapi iman manusia seluruhnya sama. Imannya as-sabiqun al-awalun seperti Abu Bakar dan Umar adalah sama dengan iman manusia yang paling durjana seperti al-Hajaj, Abu Muslim alKhurasani dan lain-lainya.
Pada masa kita ini banyak terjadi irja’ , baik dikalangan orang orang awam ataupun di kalangan santri.
Diantara irja’ yang terjadi pada orang awam adalah ucapan mereka yang masyhur “iman itu di hati” atau kata mereka “iman adalah keyakinan” lalu mereka tidak memperhatikan amal, mereka mengabaikannya atau menyepelekanya dengan dalih sudah cukup dengan kebaikan hati dan yang penting niatnya .
Adapun irja’ yang terjadi di kalangan kaum santri atau juru dakwah, inilah yang hendak kita diskusikan di dalam tulisan ini. Pada umumnya irja’ tersebut bukan terletak dalam mendifinisikan iman, karena mereka telah mendifinisikannya dengan difinisi yang benar. Mereka mengatakan, “Iman adalah ucapan dengan lesan, keyakinan dengan hati, dan amalan dengan anggota tubuh”. Atau mereka katakan, Iman adalah ucapan dan amalan”. Definisi iman yang mereka katakan ini adalah pendapat ahlussunah.
Namun ketika mereka menerapkan definisi tersebut di dalam realita dan khususnya dalam menerapkan nawaqidhul iman (pembatal keimanan) anda bahwa akan melihat, dimensi amal yang mereka tetapkan dalam definisi iman itu dikesampingkan, bahkan dimensi tersebut nyaris dinafikan.
Ya memang mereka –atau mayoritas di antara mereka– mengatakan bahwa iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan ma’siat. sebagaimana di katakan oleh ahlussunah. Tetapi seluruh dosa-dosa, menurut mereka, hanyalah mengurangi kesempurnaan iman saja, dan tidak ada dosa-dosa yang bisa menggugurkan pokok keimanan, kecuali pada satu keadaan saja yaitu, bila perbuatan dosa itu disertai dengan pengingkaran atau istihlal (penghalalal) atau keyakinan. Begitulah mereka memandang perbuatan dan dosa-dosa secara mutlak, padahal nabi Shallallahu Alaihi Wassalam telah menjelaskan di dalam sabda beliau; C ا# إ/! إ# :لO [( 7;ي )أر3*! ]و ا8;N; [(ً ) ي3*! ا41 روا0; ]و4F79 ن7F وG8 ن1Hا ة1 ه0 أY1Z ,* , ! ن” روا\ * وأ[ب ا1H ا,* 4F79 وا!ء،R1S! ا, اذى45*وأده إ. “Iman itu ada tujuh puluh sekian cabang [dan dalam riwayat at-Tirmidzi dikatakan “pintu”] sedang yang paling utama [dalam riwayat at-Tirmidzi “yang paling tinggi”] adalah ucapan laa ilaaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan sedangkan malu itu satu cabang dari iman” (HR Muslim dan Ashab as-Sunan, dari Abu Hurairah).
Tidak seluruh cabang dan pintu iman itu memiliki kedudukan yang sama. Cabang Laa ilaha illallah tidak sama dengan cabang malu atau menyingkirkan kotoran dari jalan.
Ada di antara cabang-cabang itu yang ketiadaannya hanya akan mengurangi kadar keimanan saja, seperti malu. Dan ada di antaranya yang ketiadaannya akan menggugurkan iman, seperti Laa ilaha illallah. Maksudnya kalau saya tidak menyingkirkan duri di jalan, anda tidak boleh menuduh saya tidak beriman. Anda baru boleh menuduh saya tidak beriman bila saya mengangkat tuhan lain selain Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa (melanggar Laa ilaha illallah baik melalui perbuatan, perkataan maupun hati).
Khawarij dan kaum ghulat mukaffiroh menjadikan ketiadaan salah satu cabang iman sebagai hal yang menggugurkan pokok keimanan. Kemudian datang murjiatul ashr (murjiah kontemporer) –sebagai antitesa terhadap kaum ghulat mukaffirah– mereka menjadikan lenyapnya seluruh cabang iman hanya sekedar mengurangi kadar keimanan, dan tidak ada satupun tindakan yang bisa menghilangkan atau menggugurkan pokok keimanan kecuali bila hal itu berkaitan dengan pembangkangan atau keyakinan. Dan kedua kelompok itu adalah sama…sesat .
Adapun ahlul haq, pengikut al-firqoh an-najiyah dan ath-thoifah al- mansuroh, maka mereka bersikap tawassuth (pertengahan) dalam persoalan iman dan kafir. Menurut mereka cabang-cabang iman itu ada yang mempengaruhi kesempurnaan iman, tidak akan menghilangkan pokok keimanan.
Dan ini terbagi mejadi dua bagian; Pertama, cabang yang tergolong penyempurna iman dalam kategori mustahab. Dan kedua; cabang yang tergolong penyempurna iman dalam kategori wajib. Dan ada juga di antara cabang-cabang iman yang bisa menghilangkan dan menggugurkan pokok keimanan.
Dengan demikian cabang-cabang iman itu, menurut mereka iman, terbagi menjadi tiga macam;
* Cabang iman yang termasuk kamalul iman mustahhah (penyempurna iman dalam kategori mustahab), yaitu cabang iman yang hanya dianjurkan untuk mengamalkannya dan tidak ada ancaman bagi orang yang meninggalkannya. * Cabang yang termasuk kamalul iman wajib (penyempurna iman dalam kategori wajib), yaitu cabang iman yang ada ancaman dari Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa bagi mereka yang menyepelekannya tetapi tidak sampai pada ancaman kekafiran * Cabang yang termasuk ashlul iman, yaitu cabang-cabang iman yang bisa menggugurkan keimanan karena ketiadaannya.
Ahlul haq tidak membuat buat dalam menentukan macam-macam cabang iman ini, melainkan berdasarkan kepada dalil syar’i serta nash dari Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa atau Rosul-Nya Shallallahu Alaihi Wassalam. :ةF! ]ا.. * # ! إ# @F32].
“Maha suci Engkau, tidak ada pengetahuan bagi kami kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami” (TQS al-Baqarah:32) .
Dan sikap irja’ yang paling mirip dengan murji’ah kontemporer dalam persoalan iman dan kufur, itu adalah Murji’ah Muraisiyyah: Murji’ah Baghdad pengikut Bisyir bin Ghiyats al-Muraisi yang mendefinisikan iman dengan, “sesungguhnya Iman adalah tashdiq dengan hati dan lesan, sedangkan kufur itu adalah juhud (pembangkangan) dan ingkar. Oleh karena itu dia menyatakan bahwa sujud kepada berhala itu bukanlah kekafiran akan tetapi hanya merupakan tanda-tanda kekafiran.
Dan itu karena Murji’ah masa kita ini tidak memandang bahwa di sana ada kufur amali, yang menyebabkan keluar dari Islam, kecuali bila amal itu disertai dengan keyakinan, juhud, atau istihlal. Jika terpenuhi syarat-syarat itu, menurut mereka, barulah tindakan itu menyebabkan kekafiran. Ketentuan yang sama berlaku untuk masalah penghinaan terhadap Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa, sujud kepada berhala, atau tasyri’ (membuat hukum atau perundang-undangan) di samping syari’at Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa atau memperolok-olok agama Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Semua tindakan itu
bukanlah kekafiran dengan sendirinya, namun ia adalah tanda yang menunjukan bahwa pelakunya meyakini kekafiran. Jadi kekafiran itu adalah keyakinan, pengingkaran atau istihlal (penghalalan).
Banyak orang tak sadar masuk ke pemahaman Murji’ah karena kebablasan menggeneralisir hadits di bawah ini. Mereka berpikir keIslaman seseorang dianggap batal penyebabnya cuma satu: karena hatinya / keyakinannya saja. Sedangkan aqidah Islam menjelaskan bahwa batalnya keIslamanan bisa karena perkataan atau perbuatan tertentu. Kasus dalam hadits ini berbeda, orang ini baru masuk Islam dan belum melakukan perbuatan atau perkataan yang menggugurkan keIslaman, sehingga wajib dihukumi Muslim – adapun isi hatinya diserahkan kepada Allah – : Usamah berkisah, "Suatu kali Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam mengutus kami dalam sebuah sariyah (pasukan perang). Maka kami menyerang sebuah tempat di juhainah. Aku menangkap seseorang saat itu ia langsung mengucapkan, 'lailaha illallah' namun aku tetap membunuhnya. Peristiwa ini menyisakan keraguan dalam diriku lalu kulaporkan kepada Rasulullah Beliau bertanya, 'Kenapa engkau tetap membunuhnya padahal dia telah mengucapkan syahadat... ? Aku menjawab, 'Ya Rasulullah dia mengucapkan hal itu karena takut dibunuh." Beliau menjawab, 'Kenapa engkau tidak membelah dadanya agar kamu tahu apakah ia jujur mengucapkannya atau tidak... ?" Beliau tetap saja mengulangi pernyataan tadi, sampai aku berandai-andai, kalau saja aku baru masuk Islam saat itu." (HR. Muslim) Imam An-Nawawiy rahimahullah berkata, "...Yaitu 'kamu hanya dibebani untuk menghukumi seseorang berdasarkan apa yang nampak darinya dan sesuai dengan apa yang nampak dari lisannya, sedangkan perkara bathin kamu tidak memiliki wewenang untuk menilainya..." Senada dengan itu adalah Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anhu mengatakan dalam Hadits Riwayat Bukhari: “Sesungguhnya orang-orang dahulu dihukumi berdasarkan wahyu pada zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga Rasulullah dapat mengetahui orang-orang munafiq dengan wahyu. Sekarang wahyu sudah putus, dan kami menghukumi kalian berdasarkan apa yang nampak dari kalian”.
Maksud hadits di atas, orang yang dibunuh tadi secara lahirnya adalah Muslim. Dan sebagaimana yang kita ketahui orang yang baru saja masuk Islam, itu suci (tidak memiliki dosa). Sehingga tidak boleh dibunuh hanya karena dugaan belaka.
Namun berhati-hatilah… Tidak semua tindakan kafir akan menyebabkan pelakunya otomatis menjadi kafir. Tapi bisa jadi orang yang melakukan tindakan kafir bisa dikafirkan secara langsung. Kedua perkara ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Oleh karena itu sikap hati-hati sangat dituntut dalam mengkafirkan pribadi tertentu. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam bersabda, "Jika seseorang berkata kepada saudaranya 'wahai kafir'maka kekafiran itu akan kembali ke salah seorang dari mereka berdua." (HR. Bukhari, no. 6103) Imam al-Ghozali berkata, "...Sesungguhnya menghalalkan darah dan harta seseorang yang masih sholat menghadap kiblat dan mempersaksikan syahadat "Tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah" adalah sebuah kesalahan. Kesalahan dalam membiarkan hidup seribu orang kafir, lebih baik daripada salah dalam menumpahkan darah seorang muslim. (Al-Iqtishod fil I’tiqod, 223-224) Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, "Wajib bagi mereka yang ingin menyelamatkan dirinya untuk tidak asal berbicara berkenaan dengan perkara ini kecuali berdasarkan ilmu dan keterangan dari Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Berhati-hatilah dalam menghukumi keluarnya seseorang dari Islam dengan hanya bersandar pada pemahaman dan logikanya semata.” (Ad-Durar As-Sunniyah, X/374) Berhati-hati dalam mengkafirkan seseorang bukan berarti tidak mengkafirkan sama sekali. Tetapi jika syarat takfir sudah terpenuhi maka 'hukum orang kafir berlaku pada orang yang berbuat kafir . Imam asy Syaukani rhm berkata, "Wajib bagi kaum muslimin untuk tidak menghukumi seseorang kafir kecuali kepada orang yang jelas-jelas melaksanakan kekufuran dengan sukarela. Dan membatasi (tidak memperluas) kaidah di atas sesuai dengan maksudnya, inilah yang benar dan tidak tersembunyi lagi (jelas) ...(Assail al Jarror, IV/578-579) Jadi meskipun kita tahu…paham…apa itu pembatal keimanan, apa penyebab kekafiran, untuk keamanan akherat kita, jangan sampai kita lantas disibukkan dengan mengkafirkan orang lain yang belum pasti kekafirannya. Lebih utama ilmu pengetahuan tersebut kita
gunakan untuk mengukur diri kita masing-masing dan keluarga dekat kita agar terhindar dari pembatal keimanan dan kekafiran. Atau kita dakwahkan kepada orang-orang yang siap untuk menerima kebenaran, supaya hal ini bisa disampaikan kepada orang lain lagi.
Kembali ke Murji’ah… Dengan pandangan itu mereka telah membuka pintu keburukan lebar-lebar terhadap ummat Islam. Pintu keburukan itu akan dimasuki oleh kaum atheis, zindiq dan orangorang yang suka mencela agama Allah tanpa merasa bersalah. Kaum Murji’ah kontemporer tersebut tunduk ke hadapan para thaghut dan membela mereka dengan suybhat-syubhat yang sama sekali tidak pernah terlintas di benak para thagut itu, bahkan mereka belum pernah mendengar syubhat seperti itu. Para thaghut itu tidak akan mendapatkan tentara yang tulus membela mereka dan mejadi benteng kebatilan mereka seperti kaum murji’ah kontemporer itu.
Oleh sebab itu, sebagian salaf berkata tentang irja’ “Murji’ah itu adalah dien yang menyenangkan para raja”. Sebagian yang lain berkata tentang fitnah murji’ah, “Ia lebih aku takutkan atas ummat ini daripada fitnah khowarij”. Dan mereka berkata “Khawarij lebih kami terima udzurnya dari pada Murji’ah”.
Ucapan ini tentu bukan asal-asalan, tetapi merupakan ucapan yang benar. Sikap ghuluw (ekstrem) dan penyimpangan yang terjadi pada kaum khawarij dilatarbelakangi oleh sikap marah mereka saat larangan-larangan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa dilanggar, sebagaimana pengakuan mereka. Adapun murji’ah, kelompok mereka telah membuka pintu bagi terjadinya pelanggaran terhadap batasan-batasan syara’, ketidaktaatan terhadap ketentuan-ketentuan
Islam,
serta
membuka
pintu
kemurtadan
dalam
rangka
mempermudah orang orang kafir dan melebarkan jalan bagi kaum zindiq.
Sungguh masa kita ini telah menyaksikan berbagai bantahan terhadap yang sangat banyak khawarij kontemporer dan tehadap orang-orang yang ghuluw dalam takfir (pengkafiran) sehingga di toko-toko buku penuh sesak dengan buku-buku dan karya
ilmiah dalam masalah tersebut. Dan kebanyakan kajian tentang persoalan tersebut sangat kuat menekankan penolakannya sehingga cenderung mengabaikan aspek obyektifitasnya.
Sementara itu, jarang sekali kita menemukan orang yang menulis tentang fenomena irja’ secara detail dengan penulisan yang baik, terutama sikap irja’ kontemporer dan para penganutnya, serta memberikan peringatan terhadap syubhat mereka sebagaimana peringatan terhadap syubhat khawarij
Mudah-mudahan tulisan bisa memenuhi kebutuhan terhadap kajian tentang persoalan ini. Atau setidaknya menjadi pionir yang bisa mendorong ahlul ilmi untuk menuangkan tulisannya tentang persalan ini, dalam rangka menjelaskan al-haq dan membongkar kepalsuan al-bathil beserta syubhat-syubhat yang diada-adakan, yang mencoreng kebenaran yang nyata. Dan saya memohon kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa agar kiranya, dengan tulisan ini, Dia berkenan membuka telinga yang tuli, mata yang buta dan hati yang tertutup. Dan saya berharap Dia menjadikannya sebagai perbuatan yang tulus karena wajah-Nya yang mulia. Segala puji bagi Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa diawal dan di akhir…
Penafsiran Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam Mengenai Syahadat Tauhid Di antara kesesatan dan pengkaburan yang dihembuskan para pemuka Murji’ah (*) kepada umat adalah bahwa syahadat tauhid, menurut mereka, terbatas hanya pada ucapan saja. Bagi kita yang sudah paham siapa itu Murji’ah, maka tidak kesulitan untuk mengetahui bahwa pemuka agama liberal itu adalah penganut Murji’ah. Entah mereka sadar atau tidak. Mereka gambarkan kepada orang-orang bahwa siapa saja yang telah mengucapkan – sekadar mengucapkan saja — syahadat laa ilaaha illallaah cukuplah itu sebagai tiket untuk masuk surga dan menghukuminya sebagai orang beriman, tidak peduli apa pun perbuatan yang mereka lakukan! (* baca juga tulisan “Pemersatu thaghut, pemuka agama, koruptor ...di milis ini)
Mereka berdalil dengan hadits "al-bithagah" dan hadits-hadits lainnya yang secara lahiriah menyimpulkan bahwa orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah adalah
seorang muslim dan menjadi calon penghuni surga. Mereka mencomot dalil-dalil semaunya tanpa dikompromikan dengan dalil-dalil lain yang menjelaskan maksud syahadat tauhid dan kriteria pengucapnya yang bisa dihukumi sebagai orang beriman dan menjadi calon penghuni surga!
Ini merupakan pelecehan terhadap amanah yang mengharuskan kita untuk mengambil semua nash-nash syar'i yang berhubungan dengan masalah yang sedang dibahas. Oleh karena itu ketika membahas syahadat tauhid, janji, dan ancaman, hendaklah dikumpulkan semua nash-nash syar'i yang terkait dengan tema yang sedang dibahas, mana yang rinci dan mana yang masih global, karena sebagiannya akan menafsirkan sebagian yang lain. Penafsiran terbaik terhadap maksud Sang Pembuat Syariat adalah penafsiran sebagian nash syar'i dengan sebagian yang lain."
Penjelasannya adalah sebagai berikut: Terdapat dalam hadits shahih bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
"Islam dibangun di atas lima pondasi: bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak di-sembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah dan puasa di bulan Ramadhan. " (Muttafaq `Alaih)
Para pemuka Murji’ah cepat-cepat berkomentar, "Hadits ini adalah dalil yang membuktikan bahwa apabila seseorang mengakui syahadat laa ilaaha illallaah dan Muhammad Rasulullah, maka ia telah memenuhi tuntutan dan melaksanakan kewajiban. Di atasnyalah kami membangun pendapat kami dan dakwah(? Mendakwahkan paham Murji’ah?)
Maka kami jawab, "Janganlah engkau terburu-buru, bukan begitu caranya hukum-hukum
disimpulkan. Kalian memahami sebagian nash sesuai keinginan hawa nafsu kalian, sedangkan terhadap dalil-dalil yang tidak sesuai dengan hawa nafsu kalian, kalian memejamkan mata. Dalam kondisi semacam ini, mestinya kalian melihat hadits-hadits lain yang menjelaskan maksud dari syahadat laa ilaaha illallaah dan Muhammad Rasulullah tersebut." Terdapat hadits yang lain dan mirip, bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
"Islam dibangun di atas lima perkara: mentauhidkan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan haji. "(HR. Muslim)
Coba perhatikan, dan bandingkan dengan hadits sebelumnya bagaimana kalimat "bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah" dirubah dan diganti dengan kalimat "mentauhidkan Allah" yang maksudnya sama dengan syahadat laa ilaaha illallaah. Termasuk konsekwensi tauhid yang dimaksud dalam nash ini adalah mengesakan Allah Ta'ala dalam ber-ibadah dan kufur kepada setiap tuhan dan sembahan selainNya (ilah dan atau rabb yang lain). Maksud ini lebih diperjelas oleh nash berikut.
"Islam dibangun di atas lima perkara: beribadah hanya kepada Allah dan kufur kepada selain-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah dan berpuasa di bulan Ramadhan. "(HR. Muslim) Cobalah perhatikan, bagaimana Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
menafsirkan
"bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah" yang disebut dalam nash yang bermasalah menurut para ulama Murji’ah — dengan penafsiran "mentauhidkan Allah ", kemudian dijelaskan lebih lanjut dengan :"beribadah hanya kepada Allah dan kufur kepada selain-Nya”. Definisi thaghut sendiri adalah setiap apa yang di-ibadah-i (di-sembah*) selain Allah. (* lihat arti ibadah dalam tulisan “Pahami Dulu Makna Ibadah, Baru Berpolitik!)
Berpijak dari sini maka kami katakan, "Siapa saja yang bersyahadat (bersaksi) bahwa "tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah" sesuai dengan penafsiran Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, yakni mengesakan Allah dalam beribadah dan kufur kepada setiap apa yang disembah selain-Nya, maka ia telah bersyahadat sesuai dengan yang dikehendaki dan telah melaksanakan kewajiban. Apabila syahadatnya sesuai dengan penafsiran Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam maka syahadatnya akan bermanfaat dan menyelamatkannya, sedangkan apabila syahadatnya tidak sesuai dengan penafsiran Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, maka ia tertolak dan dikembalikan kepada orang yang mengucapkannya, karena syahadat semacam itu tidak akan bernilai dan tidak pula berbobot apa-apa." Begitu pula sabda beliau:
Artinya : Islam itu ialah engkau akan menyembah Allah, dan tidak menyekutukan-Nya akan sesuatu, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang diwajibkan, berpuasa Ramadhan dan berhaji ke Baitul Haram (Masjidil Haram dan sekitarnya). (HR Bukhari – Muslim)
Hak Allah dan Hak Manusia
Artinya: Maka sesungguhnya hak Allah terhadap para hamba-Nya adalah agar menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya akan sesuatu. Sedangkan hak para hamba dari Allah ialah Dia tidak akan menyiksanya terhadap mereka yang tidak mempersekutukannya akan sesuatu. (HR. Bukhari – Muslim)
Kemudian mengenai sabda beliau:
"Siapa yang bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak di-sembah (di-ibadah-i*) kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, maka Allah mengharamkannya masuk neraka."(HR. Muslim) (* lihat arti ibadah dalam tulisan “Pahami Dulu Makna Ibadah, Baru Berpolitik!)
Para pemuka agama Murji’ah juga mengomentari hadits ini, "Ini dalil bahwa siapa yang mengucapkan dua kalimat syahadat maka ia akan masuk surga dan haram masuk neraka!!"
Kami katakan kepada mereka, "Sesungguhnya laa ilaaha illalaah memiliki syarat-syarat dan batasan —yang dijelaskan dalam nash-nash dan hadits-hadits lain— yang harus diperhatikan, diambil, dan diamalkan isinya. Dan orang yang mengucapkannya —yang dijanjikan akan masuk surga— harus menjaga syarat-syarat dan batasan tersebut pada dirinya, jadi bukan hanya sekadar mengakui sebagaimana dijelaskan oleh nash-nash tersebut."
Di antara batasan-batasan dan syarat-syarat laa ilaaha illallaah itu yaitu: 1. Sabda Rasulullah :
"Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaaha illallaah dan kufur kepada setiap yang disembah selain Allah, darah dan hartanya haram (terjaga) dan perhitungannya di sisi Allah. " (HR. Bukhari) Laa ilaaha illallaah dibatasi dengan syarat kufur kepada setiap yang disembah selain Allah (kufur kepada thaghut).
2. Sabda Rasulullah :
"Barangsiapa yang mati dan dia mengetahui bahwa tiada ilah yang berhak di-ibadah-i kecuali Allah, dia masuk surga. " (HR. Ahmad dan Thabrani, Shahih Al-Jami’ : 35) Laa ilaaha
illailaah
dibatasi
dengan
syarat
ilmu
dan
mengetahui
makna
serta
konsekwensinya. (* lihat arti ibadah, arti ilah dan konsekwensinya dalam tulisan “Pahami Dulu Makna Ibadah, Baru Berpolitik!)
3. Sabda Rasulullah :
"Tidaklah ada seseorang yang bersyahadat bahwa tiada ilah yang berhak di-ibadah-i kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah dengan dilandasi kejujuran dari hatinya kecuali Allah pasti mengharamkannya masuk neraka. "(HR. Muslim) Salah satu makna kejujuran adalah sama antara perkataan dan perbuatan, tidak jujur adalah lain di ucapan lain lagi di perbuatan / tindakan.
4. Sabda Rasulullah :
"Bergembiralah dan berikan kabar gembira kepada orang yang hidup setelah kalian, siapa pun yang bersyahadat bahwa tiada ilah yang berhak di-ibadah-i kecuali Allah dengan
jujur terhadapnya, dia pasti masuk surga. " (H R. Bukhari) Ditambah lagi syarat jujur dan ikhlas yang menafikan sikap mendustakan dan kemunafikan.
5. Sabda Rasulullah :
"Tidaklah ada seorang hamba yang mengatakan laa ilaaha illallaah kemudian dia mati
dalam keadaan itu (berpegang kepada laa ilaaha illallaah) kecuali pasti akan masuk surga " (HR. Muslim) Dia harus mengakhiri hidupnya dengan tetap memegang tauhid.
Batasan-batasan ini dan juga yang lainnya tidak mungkin disembunyikan ketika berbicara tentang laa ilaaha illallaah dan kriteria yang akan memberi manfaat bagi orang mengucapkannya. Batasan lainnya adalah :
Artinya : Dari Abu Ayyub Khalid bin Zaid al-Anshari r.a. : Bahwa seorang laki-laki berkata: “Ya Rasulullah, beritahukanlah aku akan amalan (perbuatan) yang dapat memasukkan aku ke dalam surga”. Maka Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menjawab: “Beribadatlah kepada Allah, dan janganlah kamu menyekutukan pada Allah akan sesuatu, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat dan bersilaturrahmi (mengunjungi famili dan teman). (HR. Bukhari –Muslim)
Dan ini juga batasan yang sangat jelas :
Artinya : Barangsiapa yang mati dengan tidak menyekutukan pada Allah akan sesuatu maka ia akan memasuki jannah. Dan barangsiapa yang mati menyekutukan dengan Allah akan sesuatu maka ia akan memasuki neraka. (HR. Muslim)
Insyaallah bersambung…
Aqidah Islam VS Murji’ah Bagian 2
Dua Hal Yang Diminta Islam Dari Pemeluknya
Jadi yang diminta oleh Islam itu ada dua, yaitu menyembah Allah Ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun. Tidak menyekutukan-Nya inilah yang sering dilalaikan oleh manusia. ... ً`ْ 9 َ /ِ ِ ْ ِآُاc ْ >ُ # َ َو/َ ّ!ُواْ اFُ ْ وَا Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun...(TQS. An-Nisaa : 36)
Paham Murji'ah muncul lagi bersamaan dengan kemunculan ulama penguasa, yaitu saat sistem monarki lahir di Timur Tengah, sistem demokrasi dan sistem khilafah lenyap. Di sini, terjadi pemisahan antara penguasa dan Al-Qur'an.
Akidah menyimpang ini secara ringkas bisa digambarkan bahwa iman adalah pembenaran dengan hati dan pernyataan dengan lisan saja. Para penganut Murji’ah ini
tidak memasukkan amal dari bagian makna iman. Mereka berkata: Iman adalah pembenaran di hati dan tidak ada perkataan atau perbuatan yang akan membahayakan iman. Barang siapa yang mengucapkan kalimat syahadat "laa ilaaha illallaah" kami hukumi Islam, tanpa peduli apa yang ia katakan atau perbuat setelahnya.
Mereka mengesampingkan semua kaidah nawaqidhul iman (hal-hal yang membatalkan iman) yang diterangkan oleh Al-Qur'an, Sunnah, dan statemen-statemen fuqaha yang tepercaya.
Jadi kalau iman itu dibangun oleh tiga hal (diyakini dalam hati, diucapkan oleh lesan dan diamalkan dalam perbuatan), maka sebaliknya: batalnya keimanan itu bisa karena salah satu hal tadi. Semisal dalam hati tidak yakin bahwa Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam adalah Rasulullah, maka imannya batal. Atau semisal mengatakan bahwa dirinya Nabi (bisa membuat syariat, ini harus begini..begitu), maka perkataan dirinya adalah nabi itu adalah pembatal keimanan. Apalagi mengatakan dirinya adalah Tuhan (berarti berhak menentukan syariat untuk diikuti oleh manusia). Demikian juga halnya yang dengan perbuatannya ia menuhankan dirinya sebagaimana dijelaskan dalam QS. AtTaubah : 31 dsb.
Ibnu Asakir, meriwayatkan melalui jalur An-Nadhar bin Syumail, berkata, "Saya masuk ke tempat Al-Ma'mun, lalu dia bertanya, 'Bagaimana kabarmu pagi ini, wahai Nadhar?' Saya menjawab, `Baik-baik saja, wahai Amirul mukminin.' Dia bertanya lagi, 'Apakah Murji'ah itu?' Saya menjawab, `Murji'ah adalah agama yang menyesuaikan para raja. Mereka mendapatkan kekayaan dunia dengan agama dan mengurangi agama mereka.' AlMakmun berkata, 'Kamu benar'."
Definisi Riddah (Kemurtadan) Riddah adalah keluar dari dien Islam menuju kekafiran: atau memutuskan Islam dengan kekafiran. Allah berfirman:
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (TQS. Al-Baqarah: 217) Sedangkan, al-murtad adalah orang yang kafir setelah dia Islam, baik dengan ucapan, perbuatan, keyakinan, atau dengan keraguan. Definisi riddah dari empat madzab dan yang lainnya, semua berkisar pada arti di atas. Karena, kekafiran kadang terjadi karena perbuatan lisan (ucapan), atau karena perbuatan anggota badan (perbuatan), atau perbuatan hati (keyakinan atau keraguan), yang semuanya bisa terjadi dengan sangat cepat, tidak sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang [Lihat Kasysyaf Al-Qanna, karangan Syaikh Manshur Al-Bahuti, VI/ 167 – 168] Seorang yang berwudhu pun bisa murtad antara wudhu dan shalatnya, dan seorang muadzin pun bisa murtad ketika sedang mengumandangkan adzan untuk shalat. Abu Bakr Al-Hisni Asy-Syafi’I dalam buku Kifayah Al-Akhyar berkata, “Definisi riddah menurut syar’i adalah keluar dari Islam menuju kekafiran dan memutuskan Islam. Terkadang itu terjadi dengan lisan, perbuatan dan keyakinan. Pada ketiga penyebab itu, setiapnya terdapat permaslahan yang hampir – hampir tidak terbatas.
Para ulama membatasi penyebab kekafiran pada tiga hal; ucapan, perbuatan, dan keyakinan; sebagian menambahkan : keraguan. Ini untuk membedakan antara keraguan dan keyakinan, meskipun keduanya adalah pebuatan hati. Tetapi, keyakinan adalah sesuatu yang menancap kuat, sedangkan keraguan adalah sesuatu yang tidak menancap dengan kuat. Maka barangsiapa kedustaannya terhadap Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam menancap kuat di hatinya berarti ia kafir karena keyakinan, dan barangsiapa ragu, antara mempercayai dan mendustakan Rasulullah, berarti dia kufru syakk (kafir karena keraguan). Dengan adanya pengetahuan apa – apa yang menyebabkan kafir atau murtad, maka dia bisa segera bertaubat atau memperbarui keislamannya. Dan celakalah bagi orang – orang murtad jika dia tidak menegetahui bahwa dirinya murtad, sehingga dia tetap dalam kekafirannya. Inilah risalah yang menerangkan salah satu sebab terjadinya kemurtadan : menyekutukan Allah Ta’ala terutama karena ucapan, ataupun perbuatan.
Para fuqaha kerajaan dan penguasa mengambil paham Murji’ah tersebut hingga para ulama peneliti mengistilahkan paham Murji'ah sebagai agama (keyakinan) yang disukai para raja. Walaupun, para penguasa tersebut terang-terangan mengatakan ketidakcocokan hukum syariah untuk zaman sekarang! Walau mereka mengangkat pelindung dari musuhmusuh Allah! Walau mereka berperang dan memberangkatkan tentara untuk berperang di bawah panji-panji Yahudi dan Nashrani untuk membunuh muslimin. Atau satuan-satuan khusus untuk memburu dan menjagal muslim yang menyimpang tanpa adanya pengadilan dan pembuktian. Dan walau ... walau... yang lain.
Aliran Murji’ah ini mau bersikap longgar kepada raja di bumi, namun tidak mau bertenggang kepada Raja langit dan bumi, serta isinya.
Tidak ada justifikasi lain bagi fenomena kelompok ini ketika mereka memilih dunia politik dan aktivitas demokrasi, kecuali dengan menggolongkan mereka sebagai bagian dari al-mala' (kroni-kroni). Sebab, mereka akan masuk ke dalam parlemen (institusi yang membuat hukum selain hukum Allah) dan masuk pemerintahan (institusi yang menerapkan hukum selain hukum Allah). Lantas, bagaimana mereka kemudian mengafirkan orang yang murtad, sedangkan mereka sudah masuk dalam golongan, sekutu, dan kroninya?
Lalu apa solusinya? Solusinya adalah dengan tidak masuk ke dalam institusi-institusi tersebut…atau dengan menyatakan keislaman orang murtad tersebut! Dan ternyata mereka lebih memilih yang mudah dan enak, yaitu menyatakan keislaman si murtad yang menantang Allah dengan perang dan permusuhan, serta mencabut hak paling khusus Allah berupa uluhiyah.
Dalam hadits disebutkan:"Barang siapa mendatangi pintu-pintu penguasa, dia terfitnah" (HR Tirmidzi: 3356). "Tidaklah seorang hamba yang semakin dekat kepada penguasa kecuali ia semakin jauh dari Allah." (HR Ahmad: 9071).
Secara sederhana, begitulah faktanya. Para politikus Murji'ah yang berada di pintu-pintu penguasa itu telah terkena fitnah dan sangat jauh dari dasar-dasar syariah Allah. Secara bahasa sangat jelas, kata uftutina (terkena fitnah) berasal dari kata fatana, yaftinu. Pelakunya adalah fattan (yang memfitnah) dan maftun (yang difitnah).
Sebab kedua atau interpretasi kedua dari fenomena Murji'ah politik, adalah akibat ancaman hukuman dari penguasa yang serupa dengan Fir’aun.
Interpretasi ketiga adalah setan dan bisikan-bisikannya. Demikianlah, di antara bisikan Iblis, cambukan algojo yang keji, dan mencari kursi di parlemen yang hina, lahirlah fikih baru yang busuk. Di antara ketiga sebab itu pula, fuqaha penguasa dan dai yang menyimpang duduk-duduk di dalam institusi-institusi pemerintah. Inna lillahi wa inna ilaihi raajiuun.
Selain itu, ada murji'ah jenis lain, yaitu murji'ah ulama munafik yang menyembunyikan hukum yang diturunkan Allah, padahal ia tahu tindakan itu salah. Mereka juga menjualdan mengganti syariah Allah, padahal ia paham tindakan itu salah. Semua itu dilakukan hanya karena kilauan emas yang diberikan penguasa dan sifat rakus mereka. Allah berfirman, "Fir'aun menjawab: Ya, kalau demikian, sesungguhnya kamu sekalian benarbenar akan menjadi orang yang didekatkan (kepadaku)'." (TQS. Asy-Syu'ara: 42). Anda sendiri tahu, kafirnya orang yang mengaku dirinya nabi. Kenapa? Karena ia melanggar syahadat, dan membawa syariat baru. Lalu bagaimana dengan orang yang menganggap dirinya tuhan? Meskipun ia tidak mengucapkan, namun dari perbuatannya membuat syariat baru sudah cukup sebagai bukti. Ketahuilah, membuat syariat hanyalah wewenang milik Allah Ta’ala.
Murji'ah jenis ini sudah begitu jelas dan tidak perlu didiskusikan lagi. Firman Allah telah memberitahukan kepada kita akan para pelakunya, "Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang
mendustakan ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim." (TQS. Al-jumu'ah: 5)
Lebih jelas lagi dalam firman-Nya, "Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab). Kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda). Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir." (TQS. Al-A'raf: 175-176).
Bentuk Menyekutukan Allah Adalah Melakukan Kebalikan Dari Ayat-ayat Berikut:
Muslim berarti tunduk, menyerah patuh kepada hukum-hukum Sang Maha Pemimpin, yaitu Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin
selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran
(daripadanya). (TQS Al-A’raaf 7:3) Tafsir Jalalain dalam tanda kurung (…) : Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu (yakni Al-Quran) dan janganlah kamu mengikuti (maksudnya jangan kamu menjadikan) selain-Nya (selain Allah) sebagai pemimpin-pemimpin (yang kamu taati untuk bermaksiat kepada Allah). Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dengan memakai ta atau ya; yakni mengambil pelajaran darinya. Lafaz tazakkaruun dibaca dengan mengidgamkan ta asal ke dalam zal. Menurut suatu qiraat dibaca tazkuruun. Sedangkan huruf ma adalah tambahan, yang diadakan untuk mengukuhkan makna sedikit, sehingga artinya menjadi amat sedikit).
“…Hukmu (keputusan) itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia…” (TQS Yusuf 12:40)
“…dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukmih (keputusan)” (TQS Al-Kahfi 18:26)
Jangan sampai kita termasuk orang yang “mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya”, atau “menyembah selain Dia” (mengibadahi selain Dia) atau “menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukmih (keputusan)”. Na’udzubillahi min dzaalik..!
Alam semesta ini memiliki Raja Dari Segala Raja, Penguasa Dari Segala Penguasa, yaitu Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Ia-lah yang harus kita takuti, cintai dan patuhi.
“yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan(Nya),…” (TQS Al-Furqaan 25:2)
“Dan katakanlah: "Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya...” (TQS Al-Israa’ 17:111) Ibnu Jarir telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Muhammad ibnu Ka’ab Alquraziy yang telah menceritakan bahwa sesungguhnya orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, mengatakan bahwa Allah mempunyai seorang anak. Dan orang-orang Arab mengatakan; “Kami penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu kecuali sekutu (berhala) yang Kamu miliki, sedangkan dia (sekutu itu) tidak mempunyai milik”. Dan orang-orang Sabi’in dan orang-orang Majusi mengatakan: “Seandainya tidak ada penolong-penolongNya, niscaya Allah akan terhina”. Maka turunlah firmanNya: “Dan katakanlah: "Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya...” (TQS Al-Israa’ 17:111)
Umar r.a. pernah berkhutbah di hadapan para sahabat, “Kaum-kaum itu telah berlalu dan tidak ada lagi yang dimaksudkan oleh Kitabullah itu melainkan diri kalian.” Umar r.a. mengingatkan bahwa khitab-khitab yang ada dalam Al-Quran bukan hanya ditujukan kepada kaum sebelumnya, namun berlaku juga kepada dirinya dan para sahabat Rasul lainnya. Dengan demikian, khitab, cerita yang Allah berikan dalam Kitab-Nya juga ditujukan kepada setiap muslim yang membacanya.
Jadi kembali ke asbabun nuzul Al-Israa’ 111 di atas, penyakit aqidah yang selalu menimpa manusia kapan pun dan di mana pun adalah: menyekutukan Allah! Perhatikan dari riwayat di atas, Yahudi itu menyembah Allah, tapi menyekutukan. Nasrani itu mengakui Allah sebagai Tuhan, tapi menyekutukan juga. Orang Arab juga mengakui adanya Allah, tapi menyekutukan juga dst. Saat ini manusia menyekutukan Allah dalam hal tasyri (membuat syariat). Sebagai contoh yang asing adalah dalam Islam, orang tidak bebas memeluk agama, karena bila murtad maka ia harus dibunuh. Kemudian kedudukan warga negara muslim dan kafir berbeda; muslim tidak dihukum karena membunuh orang kafir yang menghina Islam, selama ia bisa membuktikan penghinaan tersebut (semisal banyak saksi).
Perhatikan wahai saudaraku… Sesungguhnya, Al-Quran adalah cahaya dan petunjuk dan Al-Quran berisikan permisalan yang bertaburan pada setiap surat dan ayatnya. Kilauan “mutiara permisalan” yang ada di dalamnya seakan-akan hadir dan begitu nyata dalam kehidupan kita. Sehingga bagi orang yang hatinya hidup, pendengarannya tidak tuli, dan matanya tidak buta, Allah akan memudahkan baginya untuk mengambil pelajaran. “Sungguh, benar-benar dalam kisahkisah mereka terdapat ibrah bagi orang-orang yang memiliki mata hati (ulul albab).” (TQS. Yusuf : 111)
Kebanyakan manusia berpikir bahwa Islam hanya memerintahkan umatnya agar melakukan ibadah-ibadah tertentu saja. Di sinilah bahayanya. Yang benar adalah Islam memerintahkan umatnya agar melakukan ibadah-ibadah tertentu saja dan JANGAN mempersekutukan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa! Ini supaya keIslaman seseorang
tidak menjadi batal, alias murtad tanpa sadar. Banyak sekali ayat yang menjelaskan hal ini. Antara lain adalah firman-Nya (yang artinya) : Katakanlah (Hai Muhammad): "Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya". (TQS. Al-Jin : 20)
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah Millah Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan (TQS. An-Nahl : 123)
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (TQS. Az-Zumar : 65)
Dan nampaknya yang paling tak disadari manusia adalah sesuai paragraf – paragraf di bawah. Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman : /ُ َ َFْ ُ َ ُه# f ِإ/َ ِإ!َـ# f ًاZ ِ ُواْ ِإ!َـ ً وَاFُ 7ْ َ !ِ # f َ َو*َ ُأ ِ*ُواْ ِإ1َ ْ*َ , َ ْ ا2 َ ِ َ !ْ وَا/ِ ّ!ن ا ِ دُو,h* ًََْ َ ُ ْ َأرFَْ َر ُهْ َو ُرهFZ ْ ُواْ َأ3e َ >f ا ن َ ُ ِآc ْ 1ُ f َ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (TQS. At -Taubah : 31)
Ketika ayat ini dibacakan dihadapan shahabat ‘Adiy Ibnu Hatim, asalnya beliau ini Nasrani sedang beliau datang kepada Rasul dalam keadaan masih Nasrani. Dan ketika mendengar ayat ini dengan vonis-vonis di atas, maka ‘Adiy Ibnu Hatim berpikir: Kami (maksudnya: dia dan orang-orang Nasrani) tidak pernah shalat, sujud kepada alim ulama kami, atau kepada pendeta kami, lalu kenapa Allah memvonis kami musyrik, kami melanggar Laa ilaaha illallaah dst. Jadi dalam benak ‘Adiy Ibnu Hatim bahwa yang namanya kemusyikan itu adalah shalat, sujud atau memohon kepada selain Allah.
Sehingga mereka tidak mengetahui bahwa yang mereka lakukan selama ini adalah kemusyrikan, mereka heran… sebenarnya apa kemusyrikan yang dilakukan dan bagaimana bentuknya sehingga kami disebut telah mentuhankan alim ulama ? Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Bukankah orang – orang alim dan para rahib kalian itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan lalu kalian ikutikutan menghalalkannya?, bukankan mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan kemudian kalian juga mengharamkannya?”, lalu ‘Adiy berkata: “Ya !”, maka Rasul berkata: “Itulah bentuk peribadatan (orang nasrani) terhadap mereka”
Masih ingatkan mengenai khutabah Umar r.a. ? Umar r.a. pernah berkhutbah di hadapan para sahabat, “Kaum-kaum itu telah berlalu dan tidak ada lagi yang dimaksudkan oleh Kitabullah itu melainkan diri kalian.” Umar r.a. mengingatkan bahwa khitab-khitab yang ada dalam Al-Quran bukan hanya ditujukan kepada kaum sebelumnya, namun berlaku juga kepada dirinya dan para sahabat Rasul lainnya. Dengan demikian, khitab, cerita yang Allah berikan dalam Kitab-Nya juga ditujukan kepada setiap muslim yang membacanya.
Insyaallah bersambung…
Aqidah Islam VS Murji’ah Bagian 3
Contoh Kemusyrikan Yang Lain Lihat juga yang dicap sebagai orang musyrik QS Al-An ‘aam: 121 tapi sebelumnya baca dulu riwayat ini : Dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan Al Hakim dengan sanad yang shahih: “Orang-orang Quraisy datang kepada Rasul: “Hai Muhammad, kambing mati siapa yang membunuhnya ?”, beliau berkata: “Allah yang mematikannya”, lalu mereka berkata: “Kambing yang kalian sembelih kalian katakan halal, sedangkan kambing yang disembelih Allah dengan Tangan-Nya yang mulia dengan pisau dari emas (maksudnya
bangkai) kalian katakan haram ! berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah”. Dan ucapan ini adalah bisikan atau wahyu syaitan kepada mereka dan ketahuilah: “Jika kamu menuruti mereka (ikut setuju dengan hukum dan aturan mereka yang bertentangan dengan hukum dan aturan Allah) sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. Dalam hal ini ketika orang mengikuti hukum yang bertentangan dengan aturan hukum Allah disebut musyrik, padahal hanya dalam satu hal saja, yaitu penghalalan bangkai. Sedangkan orang yang membuat hukumnya disebut syaitan, dan hukum tersebut pada dasarnya adalah wahyu syaitan atau bisikan syaitan, kemudian digulirkan oleh wali-wali syaitan dari kalangan manusia, dan orang yang mengikuti hukum-hukum tersebut disebut sebagai orang musyrik…!
Tafsir Ibnu Katsir
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orangorang yang musyrik” (TQS Al-An ‘aam: 121)
iْ ُ ُ ُه7ْ 5 َ َوِإنْ َأj “dan jika kamu menuruti mereka”, yaitu dalam memakan bangkai
iَ ِآُنc ْ ُ !َ ْ=ُ f ِإj “sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” Demikian pula apa yang dikemukakan oleh Mujahid, adh-Dhahhak dan beberapa orang dari kalangan salaf.
Firman Allah:
iْ ُ ُ ُه7ْ 5 َ َوِإنْ َأj iَ ِآُنc ْ ُ !َ ْ=ُ f ِإj “dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” Artinya, Jika kalian berpaling dari perintah, dan Syariat Allah bagi kalian, kepada ucapan selain dari-Nya, lalu kalian mendahulukan ucapan selain dari-Nya itu, maka yang demikian itu merupakan perbuatan syirik. Seperti Firman-Nya:
ًََْـ َ ُ ْ َأرFَـ َ ُهْ َو ُر ْهFZ ْ ُواْ َأ3e َ >f اj iِ/f!ن ا ِ دُو,h* “Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb (tuhan) selain Allah (TQS. At-Taubah: 31) Mengenai penafsiran ayat ini, at-Tirmidzi telah meriwayatkan dari Adi bin Hatim, bahwa dia berkata: “Ya Rasulullah, mereka itu tidak menyembah mereka (orang-orang alim dan para rahib).” Maka beliau Shallallahu Alaihi Wa Sallam pun menjawab: “Tidak demikian, sesungguhnya orang – orang alim dan para rahib menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal bagi mereka, lalu mereka mengikuti orang – orang alim dan para rahib itu, maka yang demikian itu merupakan penyembahan kepada orangorang alim dan para rahib tersebut. (Sumber : Tafsir Ibnu Katsir)
Kembali ke salah satu hadits pada pembahasan di depan, Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam bersabda: "Barangsiapa yang mati dan dia mengetahui bahwa tiada ilah yang berhak di-ibadah-i kecuali Allah, dia masuk surga. " (HR. Ahmad dan Thabrani, Shahih Al-Jami’ : 35)
Kebanyakan orang berpikir bahwa dengan bersyahadat mengakui bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa adalah ilah atau rabb sudah menjamin masuk surga, tak peduli setelah itu apa pun yang ia perbuat dan melakukan perbuatan yang menyebabkan kekafiran. Kalau pendapat ini benar, maka perhatikan terjemahan ayat-ayat berikut ini. Kalau pendapat bahwa sekedar mengetahui Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa sebagai tuhan sudah cukup membawa ke surga, maka mereka seharusnya juga berpendapat bahwa iblis masuk surga...maka perhatikan dialog Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa dengan iblis yang diabadikan dalam kitab suci Al-Quran.
Iblis berkata: "Ya Tuhanku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan". (TQS. Shaad : 78)
Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, (TQS. Shaad : 82)
Berkata iblis: "Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan (TQS. Al-Hijr : 36)
Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah". (TQS. Al-A’raf : 12)
Kita tahu bahwa iblis adalah kafir, dan masuk neraka, meskipun ia mengakui dan meyakini bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa adalah tuhannya, namun ia tidak mau mengikuti perintahnya, sehingga dimasukkan ke nereka. Maka sungguh aneh manusia yang menganggap syahadat itu tidak bisa batal meskipun ia melakukan ucapan atau perbuatan kekafiran.
Bahkan orang nasrani pun juga menganggap mereka hanya menyembah satu tuhan, bukan tiga. Karena anggapan mereka tiga dalam satu. Mereka berkeyakinan Allah mempunyai putra, tetapi tuhan mereka bukan tiga tapi satu. Apakah karena mereka juga percaya kepada Allah lantas mereka juga akan masuk surga? Tentunya tidak bukan? Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah". Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling? (TQS. At Taubah : 30)
Orang-orang Yahudi berkata : "Uzair itu putera Allah" Orang-orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah"... mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu Orang-orang Demokrasi berkata : “Suara rakyat adalah suara tuhan”... mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Yaitu orang-orang kafir dari Yunani atau barat.
Semoga Allah merahmati Sayyid Quthb ketika mengatakan, "Akan tetapi, problematika terbesar yang tengah dihadapi gerakan-gerakan Islam dewasa ini tergambar dengan adanya sekelompok orang yang berasal dari keturunan kaum Muslimin, tinggal di wilayah yang sebelumnya pernah menjadi negara Islam, di mana agama Allah pernah berkuasa di sana dan syariat-Nya diberlakukan di dalamnya.
Namun kemudian, negeri ini dan sekelompok orang tersebut menanggalkan hakikat Islam, meskipun mereka masih memakai nama Islami. Tiba-tiba mereka mengingkari elemen-elemen penegak Islam, baik pada elemen akidah maupun realita, meskipun mereka mengaku masih meyakini Islam sebagai agamanya. Islam adalah bersyahadat bahwa tiada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah. Syahadat ini dimanifestasikan dengan meyakini bahwa hanya Allah-lah yang mampu mencipta dan mengatur alam semesta, hanya Allah-lah titik tujuan para budak / hamba dalam melaksanakan ritual ibadah dan seluruh aktivitas hidupnya. Hanya Allah-lah sumber para hamba menerima
berbagai syariat dan tunduk kepada hukum-Nya dalam seluruh urusan hidupnya.
Siapa yang belum bersyahadat dengan pengertian seperti ini, ia dianggap belum bersyahadat dan belum masuk Islam. Negeri mana pun yang belum terrealisasi di dalammya syahadat laa ilaaha illallaah dengan pengertian seperti ini, berarti itu adalah Negeri yang belum tunduk kepada agama Allah dan belum masuk Islam.
Dewasa ini, ada sekelompok orang yang namanya memakai nama kaum Muslimin, berasal dari keturunan kaum Muslimin, dulu tempat tinggalnya pernah menjadi negara Islam, tetapi pada hari ini, mereka bukanlah sekelompok orang yang bersyahadat laa ilaaha illallaah dengan pengertian di atas dan tempat tinggalnya bukan negara yang tunduk kepada agama Allah sesuai dengan pengertian di atas. Inilah persoalan terberat yang tengah dihadapi gerakan-gerakan Islam di negara tersebut, terutama dengan sekelompok orang tersebut.
Persoalan terpelik yang dialami gerakan-gerakan Islam ini adalah kegelapan, kekaburan, dan ketidak-jelasan yang menyelimuti pengertian laa ilaaha illallaah dan Islam dalam satu sisi serta pengertian syirik dan jahiliyyah dalam sisi yang lain.
Persoalan terpelik lainnya adalah adanya kesamaran dan ketidakjelasan jalan kaum Muslimin serta orang-orang shalih dari jalan orang-orang musyrik. Bercampur-aduknya tanda dan simbol, terkaburkannya nama dan sifat, serta ketersesatan yang tidak jelas batas dan persimpangan jalannya!
Musuh-musuh gerakan Islam hari ini dapat mengendus celah kelemahan ini, sehingga mereka terus berusaha memperlebar lubangnya, melelehkan semangatnya, mengaburkan intinya dan mencampur-adukkan dengan ajaran lainnya; sampai-sampai jika ada yang menyuarakan kalimat kebenaran dengan terang-terangan, ia akan langsung dituduh dengan berbagai tuduhan keji ... suka mengkafirkan kaum Muslimin!
Persoalan Islam dan kufur menjadi persoalan yang (seakan-akan) keputusan finalnya
harus dikembalikan kepada kebiasaan dan istilah-istilah yang sudah difahami orangorang umum, bukan kepada firman Allah dan sabda Rasul-Nya.
Sungguh, Islam yang benar bukanlah Islam yang berada dalam benak orang-orang yang telah tertipu dengan ajaran "cair" ini. Islam sudah sangat gamblang. Islam adalah syahadat laa ilaaha illallaah dengan pengertian yang sudah diuraikan di atas. Siapa yang tidak bersaksi sebagaimana pengertian tersebut dan siapa yang melaksanakannya tidak sebagaimana pengertian tersebut, maka vonis Allah dan Rasul terhadapnya adalah bahwa ia termasuk orang kafir, zalim, fasikdan jahat. (akhir kutipan dari Sayyid Quthb) (Fie Zhilalil Qur’an: 1106)
Islam secara garis besar adalah terdiri dari aqidah dan syariat. Kalau di paragraf-paragraf atas adalah lebih banyak tentang aqidah, maka paragraf-paragraf di bawah lebih banyak mengenai syariat.
Mencampur Antara Yang Haq dan Batil
Jangankan hukum buatan manusia, kitab (suci) umat lain saja diperintahkan agar dibuang! Padahal di kitab itu ada syariat-syariat dari Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam menegur Umar r.a, ketika ia membaca alQur’an dan Taurat secara berganti-ganti untuk memperbandingkan, kata beliau Shallallahu Alaihi Wassalam pada sahabatnya itu : “Buanglah itu! Demi DZAT yg jiwa Muhammad berada ditangan-NYA, seandainya Musa as masih hidup sekarang, maka tidak halal baginya kecuali harus mengikutiku, akulah penghulu para nabi dan akulah penutup para nabi..” (HR Ahmad, III/387, di-hasan-kan oleh Albani dlm AlIrwa’ VI/34 & Al-Misykah I/38)
Ibnu Katsir dalam tafsirnya (Tafsir Al-Qur’anul Azhim) mengatakan :..Dan Ilyasiq adalah sebuah kitab yang berisi hukum – hukum yang diambil dari berbagai syariat seperti Yahudi, Nasrani, ajaran Islam dan yang lain. Dan di dalamnya banyak hukum
yang mereka ambil murni dari pemikiran dan hawa nafsu. Lalu hukum-hukum tersebut menjadi syariat yang dianut di kalangan mereka yang lebih mereka utamakan daripada menggunakan hukum dari Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam. Maka barangsiapa melakukan hal itu dia telah kafir, dan wajib diperangi sampai dia kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya sehingga dia tidak memutuskan perkara baik sedikit maupun banyak dengan selainnya.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Siapa yang meninggalkan syariat paten yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah penutup para nabi, dan dia malah merujuk hukum kepada yang lainnya berupa hukum – hukum (Allah) yang sudah dinasakah (dihapus), maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang berhukum kepada Ilyasa / Ilyasiq dan lebih mengedepankannya atas hukum Allah? Siapa yang melakukannya maka dia kafir dengan Ijma kaum muslimin [Al-Bidayah Wan Nihayah: 13 / 119]
Vonis Kafir Bagi Orang Yang Keluar Dari Hukum Allah َم ُ ُِن ٍ ْ َ ً ْ ُ َِّ ا ِ ُ َ ْ َ أ ْ َ ه ِ !" ِ َ ُْنَ َو ِ َ$ْ ا% َ ْ& ُ 'َ َأ Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (TQS. Al Maidah : 50)
Ayat ini merupakan penutup ayat-ayat tentang peristiwa orang-orang Yahudi yang merubah hukum Allah terhadap muhshan yang berzina. Ibnu Katsir berkata mengenai ayat tersebut: "Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa yang mengandung segala kebaikan yang melarang segala kejelekkan dan berpaling kepada yang lain yang berupa pemikiran, hawa nafsu dan istilah-istilah buatan manusia tanpa bersandar kepada syariat, sebagaimana hukum yang digunakan oleh orang-orang jahiliyah yang berupa kesesatan dan kebodohan yang mereka buat berdasarkan pemikiran dan hawa nafsu mereka. Dan sebagaimana hukum yang digunakan Tartar yang berupa politik kerajaan yang diambil dari raja mereka
Jenghis Khan yang membuat Ilyasiq (Al-Yasiq) untuk mereka. Dan Ilyasiq adalah sebuah kitab yang berisi hukum – hukum yang diambil dari berbagai syariat seperti Yahudi, Nasrani, ajaran Islam dan yang lain. Dan di dalamnya banyak hukum yang mereka ambil murni dari pemikiran dan hawa nafsu. Lalu hukum-hukum tersebut menjadi syariat yang dianut di kalangan mereka yang lebih mereka utamakan daripada menggunakan hukum dari Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam. Maka barangsiapa melakukan hal itu dia telah kafir, dan wajib diperangi sampai dia kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya sehingga dia tidak memutuskan perkara baik sedikit maupun banyak dengan selainnya. Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman (yang artinya): Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki" Artinya: yang mereka harapkan dan yang mereka inginkan sedangkan dari hukum Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa mereka berpaling. "Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi kaum yang yakin"
(Tafsir Ibnu Katsir)
Di sini Ibnu Katsir menerangkan bahwa vonis kafir itu jatuh bagi orang yang keluar dari hukum Allah dan berpaling kepada pemikiran manusia, dalam hal ini beliau memberikan dua contoh, salah satunya adalah orang-orang jahiliyah dan yang satu lagi adalah bangsa Tartar, kemudian menyatakan hukum itu berlaku umum yaitu dengan mengatakan: "...Maka barangsiapa melakukan hal itu dia kafir...". Dan beliau tidak mengatakan: Barangsiapa meyakini hal itu atau; Barangsiapa juhuud (ingkar) terhadap hukum Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa, karena meskipun sikap tersebut mukaffir (menyebabkan kafir) akan tetapi menggantungkan kekafirannya berarti mengesamping-kan manaathul hukmi (sebab munculnya sebuah hukum) yang terdapat dalam firman Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa yang artinya : "Dan barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir. " Sedangkan manaath yang terdapat dalam ayat ini adalah sengaja meninggalkan hukum Allah dan menggunakan hukum yang lain.
Vonis Tidak Beriman Bagi Orang Yang Keluar Dari Hukum Allah
Di dalam Al Quran dijelaskan bahwa setiap perkara yang diperselisihkan wajib dikembalikan kepada al-Quran dan as-Sunnah. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS an-Nisa’ [4]: 59). Menurut Ibnu Katsir ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang tidak berhukum merujuk kepada Al Quran dan as-Sunnah dan merujuk pada keduanya dalam perkara yang diperselisihkan maka ia tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir (Tafsir Ibnu Katsir, vol. 2 hal, 346). Hal senada dinyatakan oleh al-Khazin bahwa ulama ayat ini menjadikan ayat ini sebagai dalil orang-orang yang tidak meyakini wajibnya taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mengikuti sunnah dan hukum yang berasal dari Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam bukanlah orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir (Tafsir al-Khazin vol.2 hal.120)
Ibnul Qayyim berkata dalam kitabnya Thariqul Hijrataian halaman 542 dalam thabaqah yang ketujuh-belas, “Islam adalah mentauhidkan Allah dan beribadah kepadaNya tanpa menyekutukan-Nya sedikit pun, beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta mengikuti apa yang dibawanya. Maka bila seorang hamba tidak membawa ini, berarti dia bukan seorang muslim; jika dia bukan orang kafir mu’anid (membangkang) maka dia adalah orang kafir yang jahil dan tidak mu’anid (membangkang). Namun, ketidakmembangkangan itu tidak mengeluarkan mereka dari status sebagai orang – orang kafir.”
Menutup perjumpaan kali ini, Allah berfirman yang artinya,
Sesungguhnya orang-orang kafir dan (yang) menghalangi manusia dari jalan Allah serta memusuhi Rasul setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, mereka tidak dapat memberi mudharat kepada Allah sedikitpun. Dan Allah akan menghapuskan (pahala) amal-amal mereka. (TQS. Muhammad : 32)
Dan firman-Nya: Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (TQS. 2 : 257)
...zhulumati ila alnnuuri... Oleh karena itu, Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa menyebutkan kata an-nuur (cahaya) dalam bentuk tunggal dan menyebutkan kata azh – zhulumat (kegelapan) dalam bentuk jama’, karena kebenaran itu hanyalah satu sedangkan kekufuran mempunyai jenis yang beragam dan semuanya adalah bathil.
Teriring salam dan do’a bagi para ‘ulama dan du’at Tauhid, Yang selalu menggelorakan semangat penegakkan Tauhid dan Jihad Di seluruh penjuru dunia, - semoga Allah menjaga mereka – Semoga Allah memenangkan para mujahidin atas musuh – musuhnya Di setiap tempat dan semoga Allah melindungi mu’minin yang lemah Dari penindasan kaum kuffar di seluruh penjuru bumi, Aamiin...
Akhir kata kalau ada yang tersinggung, atau ada kesalahan mohon dimaafkan. Wallahu a’lam
Wassalamu ‘alaikum wr. wb. Wirawan
Diolah dari berbagai sumber.