Aplikasi Perangkat Lunak Perpustakaan di Perpustakaan Perguruan Tinggi Negeri Pada Tahun 1990an : Kasus Dynix Sulistyo-Basuki *
1. Pengantar Komputer merupakan gawai baru bagi perpustakaan Indonesia. Perpustakaan Indonesia mulai menggunakan komputer sekitar pertengahan tahun 1970an, dimulai ketika Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional (PDIN LIPI) membuat katalog induk berbantuan komputer dengan menggunakan komputer milik Dep. Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik. Kegiatan tersebut kemudian diikuti oleh perpustakaan lain sejak tahun 1980an dan masih berlangsung hingga sekarang. Munculnya komputer serta aplikasi teknologi informasi i pada perpustakaan banyak berpengaruh pada kepustakawanan. Maka muncullah kegiatan komputerisasi fungsi perpustakaan dengan menggunakan berbagai perangkat lunak. Salah satu perangkat lunak tersebut adalah Dynix yang digunakan di perpustakaan perguruan tinggi negeri (selanjutnya disingkat PTN) mulai awal tahun 1990an. Makalah ini bertujuan menguraikan aplikasi Dynix pada berbagai perpustakaan PTN beserta hasil dan kendala yang dihadapi. *
Guru Besar pada Program Studi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia
2. Metode pengumpulan data Untuk keperluan makalah ini, pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan pustakawan, dan kunjungan lapangan langsung ke berbagai perpustakaan PTN yang ada di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Irian Jaya, Nusa Tenggara Barat serta berbagai dokumen. 3. Sejarah singkat Dynix Dynix merupakan perangkat lunak yang dikembangkan di Amerika Serikat pada awal tahun 1980an. Perangkat lunak tersebut mulanya menggunakan sistem operasi PICK (kini sudah versi pada UNIX) dan dirancang sebagai sistem terpadu mengakses berkas bibliografi bersama. Dynix dapat dijalankan pada sejumlah besar perangkat keras, dari sebuah PC dengan satu atau dua terminal hingga ke minikomputer besar yang mampu melayani sampai 500 terminal. Mula-mula Dynix dijual di AS kemudian ke Inggeris dan mulai tahun 1986 dijual di luar AS dan berhasil dengan baik di Australia dan New Zealand. Perkembangan pesat dari Dynix terlihat pada tinjauan tahunan Library Annual, yang menyebutkan Dynix mulai dari sebuah perusahaan kecil hingga menduduki pemasang sistem automasi perpustakaan peringkat teratas selama 4 tahun berturut-turut. Pada tahun 1992 diambil alih oleh Ameritech dari AS. 4.Penggunaan Dynix di perpustakaan PTN Pada tahun 1987 dalam sebuah pertemuan di Jakarta, Satuan Tugas Pengembangan Perpustakaan Perguruan 1
Tinggi (selanjutnya disingkat Satgas) memutuskan bahwa perangkat lunak yang akan digunakan di perpustakaan PTN adalah Micro CDS/ISIS buatan Unesco (selanjutnya disingkat CDS ISIS) dengan menggunakan format Indomarc atau Indonesian Machine Readable Catalogue. Keputusan tersebut tidak pernah dituangkan secara resmi namun disebarluaskan melalui berbagai pertemuan. Sebagai hasil keputusan tersebut maka perpustakaan PTN mulai menggunakan CDS ISIS yang dapat diperoleh melalui PDIILIPI ataupun Asian Institute of Technology (AIT) di Bangkok seharga US $70. Sejak tahun 1987 berbagai perpustakaan PTN mulai mencoba CDS ISIS termasuk juga lembaga pendidikan pustakawan. Hasilnya ialah banyak perpustakaan menyimpan data bibliografis di komputer dengan menggunakan CDS ISIS sehingga pada akhir dasawarsa 80an, beberapa perpustakaan PTN telah memiliki pangkalan data (database) bibliografi. Pada tahun 1990, di lingkungan Ditjen Pendidikan Tinggi dimulai Proyek Pengembangan Prasarana Pendidikan Tinggi yang didanai oleh pinjaman Bank Dunia. Salah satu prasarana yang ditingkatkan adalah perpustakaan termasuk pustakawannya. Untuk melaksanakan kegiatan tersebut dibentuklah Unit Kerja Koordinasi Perpustakaan (UKKP) dengan tugas antara lain melaksanakan program pelatihan semua aspek automasi ii Proyek Bank Dunia untuk pengembangan perpustakaan PTN dilaksanakan dalam 2 tahap, masing-masing dikenal sebagai first dan second slice. Proyek VISI PUSTAKA Volume 6 Nomor 2 – Desember 2004
tersebut berakhir pada tahun 1996/1997 sehingga timbul pertanyaan bagaimana keadaan Dynix seusai proyek berakhir. Hal itulah salah satu tujuan penulisan makalah ini. Salah satu kegiatan UKKP ialah pengembangan pangkalan data bibliografi yang isinya mencakup koleksi seluruh perpustakaan PTN di Indonesia. Waktu itu jumlah PTN masih 49 buah kini meningkat menjadi 52 buah. Untuk memulai mengisi pangkalan data, diadakan pelatihan staf perpustakaan. Materi perpustakaan ialah CDS ISIS dengan format Indomarc. Bagi beberapa perpustakaan, hal ini merupakan pengulangan karena beberapa perpustakaan telah terbiasa menggunakan CDS ISIS sementara bagi yang lain masih merupakan hal baru. Bersamaan dengan mulainya penguasaan CDS ISIS, UKKP mengajukan usulan tentang automasi perpustakaan. Salah satu unsur dalam automasi perpustakaan ialah pengadaan perangkat lunak. Seorang konsultan untuk Ditjen Pendidikan Tinggi bernama Dr John Ashford mengajukan spesifikasi perangkat lunak yang akan dibeli. Dalam proses selanjutnya terpilihlah Dynix walaupun tidak jelas bagaimana dan mengapa Dynix dipilih untuk perpustakaan PTN. Salah satu penawar yaitu VTLS terlambat mengajukan penawaran sehingga manajer untuk Indonesia diganti. Setelah Dynix ditetapkan sebagai perangkat lunak resmi yang akan digunakan di perpustakaan PTN, dimulailah persiapan pengadaan perangkat keras, perangkat lunak dan pelatihan staf perpustakaan. iii Adapun modul yang ditawarkan Dynix untuk perpustakaan di Indonesia ialah: (1) Modul pengkatalogan (cataloging module), merupakan jantung Dynix. Modul ini mengendalikan, membuat, mengubah dan menelusur semua cantuman terpasang (online records) termasuk berkas berkas resmi atau authoriy list yang digunakan untuk menentukan nama pengarang perorangan, badan korporasi dan pertemuan. Ketepatan dan efisiensi seluruh sistem tergantung pada seberapa jauh modul pengkatalogan dioperasikan. (2) Modul katalog akses publik terpasang atau On-line Public Access Catalogue (OPAC) module. OPAC merupakan modul untuk menelusur terpasang bagi pemakai yang memungkinkan pemakai mengakses katalog perpustakaan dalam jarak jauh sebatas jaringan lokal. Pemakai dapat menelusur menurut nama pengarang, judul, seri, subjek baik berdasarkan abjad maupun kata kunci; atau menelusur VISI PUSTAKA Volume 6 Nomor 2 – Desember 2004
menurut nomor panggil (call number), ISBN (International Standard Book Number), ISSN (International Standard Serial Number) atau catatan isi. (3) Modul pengadaan atau Acquisition Module. Entri yang masuk ke modul ini dicocokkan dengan cantuman (record) yang sudah dibuat untuk modul Pengkatalogan. Modul ini berfungsi memesan, mengirim klaim, pembatalan pemesanan, penerimaan dan penagihan, pembayaran, pembuatan berkas penjaja (vendor), berkas desiderata. (4) Modul kontrol terbitan berseri atau Serials control module. Fungsi utama modul ini mencakup check-in”, “routing”, klaim, pembatalan langganan majalah, penjilidan, laporan dan statistik dan akuntansi. Modul ini juga memungkinkan interface (antar muka) dengan katalog induk majalah. (5) Modul sirkulasi atau Circulation module. Modul ini digunakan untuk kegiatan peminjaman mampu mencatat nama peminjam, buku yang dipinjam, tanggal kembali, peringatan keterlambatan buku, pembuatan surat peringatan, denda keterlambatan
5. Pelaksanaan di perpustakaan PTN 5.1. Penggunaan di perpustakaan Dynix yang dibeli UKKP terdiri atas 2 modul, yaitu modul pengkatalogan dan sirkulasi. Modul pengkatalogan dibagikan kepada 49 perpustakaan PTN sedangkan modul sirkulasi dibagikan kepada 12 PTN penyelenggara program pascasarjana. Proyek Bank Dunia yang berkaitan dengan pengembangan perpustakaan dilaksanakan dalam 2 tahap (slice). Setelah proyek tersebut selesai pada tahun 1997 berdasarkan survei tampaklah bahwa aplikasi Dynix tidaklah sebagaimana diinginkan (Tabel 1).
lunak
Tabel 1 Dynix
Penggunaan perangkat versi PC Modul
2
Pengkatalogan di UPT Perpustakaan PTN (1998/1999) #
Nama perguruan tinggi
1.
Universitas Syiah Kuala
Situasi penggunaan Dynix Tidak digunakan
2. 3.
IKIP Medan Universitas Sumatera Utara
Tidak digunakan Tidak digunakan
4. 5. 6. 7. 8.
Universitas Riau IKIP Padang ASKI Padang Panjang Universitas Andalas Universitas Jambi
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
9.
Universitas Sriwijaya
Tidak digunakan
10. 11.
Universitas Bengkulu Universitas Lampung
Tidak digunakan Tidak digunakan
12.
Universitas Terbuka
Tidak berjalan dan tidak digunakan
13, 14.
IKIP Jakarta Universitas Indonesia
Tidak digunakan Operasional
15.
Institut Pertanian Bogor
Tidak digunakan
16. 17. 18. 19.
IKIP Bandung ASTI Bandung Universitas Padjadjaran Institut Teknologi Bandung
Tidak digunakan Tidak digunakan Tidak digunakan Semioperasional
20. 21.
IKIP Semarang Universitas Jenderal Soedirman
Tidak digunakan Tidak digunakan
22.
Universitas Diponegoro
Tidak digunakan
23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
IKIP Yogyakarta Universitas Gadjah Mada Institut Seni Indonesia STSI Surakarta Universitas Sebelas Maret Universitas Airlangga Institut Teknologi 10 Nopember
Tidak digunakan Tidak digunakan Tidak digunakan Tidak digunakan Tidak digunakan Tidak digunakan Tidak digunakan
30. 31.
IKIP Surabaya Universitas Brawijaya
Tidak digunakan Tidak digunakan
3
digunakan digunakan digunakan digunakan digunakan
Keterangan Membuat sendiri (tailormade) berdasarkan Dbase Menggunakan CDS ISIS bantuan IPB
Menggunakan SIPISIS* Menggunakan SIPISIS Menggunakan SIPISIS Mengembangkan sistem ing-griya (inhouse system) CDS ISIS Digunakan hanya untuk Perpustakaan Pusat sedangkan perpustakaan lain menggunakan CDS ISIS Pemasukan data menggunakan CDS ISIS dan Dynix, namun penelusuran menggunakan SIPISIS
Hanya untuk pemasukan data Menggunakan SIPISIS Menggunakan sistem ing-griya(in-house system)
Menggunakan ISIS Dalam
CDS-
rencana
VISI PUSTAKA Volume 6 Nomor 2 – Desember 2004
menggunakan SIPISIS 32. 33.
IKIP Malang Universitas Negeri Jember
Tidak digunakan Tidak digunakan
34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Universitas Tanjungpura Universitas Lambung Mangkurat Universitas Mulawarman Universitas Palangkaraya Universitas Udayana STSI Denpasar Universitas Mataram
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
41.
Universitas Nusa Cendana
Tidak digunakan
42. 43.
Universitas Hasanuddin IKIP Ujung Pandang
Tidak digunakan Tidak digunakan
44.
Universitas Tadulako
Tidak digunakan
45.
Universitas Halueoleo
Tidak digunakan
46.
Universitas Sam Ratulangi
Tidak digunakan
47. 48. 49.
IKIP Manado Universitas Pattimura Universitas Cenderawasih
Tidak digunakan Tidak digunakan Tidak digunakan
digunakan digunakan digunakan digunakan digunakan digunakan digunakan
Keterangan: *SIPISIS adalah program terpadu yang dibuat oleh IPB berbasis CDS ISIS versi 3.08
5.2. Temuan lain Dari Tabel 1 diperoleh temuan sebagai berikut; Pertama, Dynix praktis tidak berjalan di semua perpustakaan PTN penerima perangkat lunak tersebut (Tabel 1). Dari 49 perpustakaan PTN yang menerima Dynix untuk pengkatalogan, hanya 1 perpustakaan (UKKP yang akan diserahkan ke UPT Perpustakaan UI) yang berjalan atau hanya 2%, selebihnya sama sekali tidak berjalan. Dengan kata lain 98% proyek Dynix yang dipasang di perpustakaan PTN sama sekali tidak berjalan. Bahkan bila dikaitkan dengan tujuan penggunaan Dynix, perpustakaan tempat Dynix semi-operasional pun dapat dikatakan tidak berjalan karena semula Dynix akan digunakan sepenuhnya di UPT Perpustakaan. Dengan demikian tujuan aplikasi Dynix tidak mencapai sasaran. Di samping modul pengkatalogan, Proyek tersebut juga menyerahkan 3 modul lain, masing-masing ialah modul untuk OPAC (Online Public Access Catalogue), pengadaan dan sirkulasi bagi perguruan tinggi yang diserahi tugas yang menyelenggarakan
Menggunakan SIPISIS
Menggunakan SIPISIS Menggunakan SIPISIS CDS-ISIS dan SINAS Menggunakan SIPISIS Menggunakan SIPISIS Menggunakan SIPISIS Menggunakan SIPISIS
Menggunakan SIPISIS Pusat Layanan Disiplin Ilmu (Pusyandi) (Tabel 2). Untuk perguruan tinggi negeri bukan penyelenggara Pusyandi hanya memperoleh 1 modul yaitu modul pengolahan (pengkatalogan) yang berharga US $21.000 (harga 1993), selebihnya harus dipesan oleh masing-masing perpustakaan. Untuk PTN yang menyelenggarakan Pelayanan Disiplin Ilmu (Pusyandi, Discipline Service Center) dibagikan 2 modul yaitu modul untuk “network” dan pengolahan data bibliografis. Sekadar ilustrasi, perpustakaan seperti ITB, IPB, IKIP Jakarta, Universitas Hasanuddin, Sam Ratulangie, Tadulako dan banyak perpustakaan PTN lainnya tidak lagi mengoperasikan Dynix. Dynix yang setengah berjalan berarti bahwa perpustakaan menyimpan data bibliografi pada perangkat lunak CDS ISIS dan Dynix, namun untuk penelusuran menggunakan CDS ISIS.
TABEL 2 PERPUSTAKAAN PTN PUSAT LAYANAN VISI PUSTAKA Volume 6 Nomor 2 – Desember 2004
4
DISIPLIN ILMU PEMAKAI MODUL NETWORK* Bidang ilmu yang Status modul network dilayani Dynix 1 Institut Pertanian Bogor Pertanian, biologi Tidak berjalan (hard disk server disimpan, workstation digunakan untuk CDS ISIS 2 Universitas Indonesia Linguistik, bahasa, ilmu Berjalan hanya di UKKP informasi dan saja perpustakaan 3 Institut Teknologi Teknologi Tidak berjalan Bandung 4 IKIP Bandung Pendidikan tidak termasuk Tidak berjalan pendidikan kesenian 5 Universitas Gadjah Ilmu hukum, ekonomi, Berjalan yang berada di Mada sosial perpustakaan Fak. Sospol 6 Institut Kesenian Kesenian Tidak berjalan Indonesia 7 Universitas Airlangga Kedokteran Tidak berjalan *Masing-masing menerima 3 modul hal yang sulit dilakukan malahan mungkin menganggap tidak masuk akal karena tidak Kedua, masih ada perpustakaan PTN yang semua perpustakaan PTN memiliki anggaran mengoperasikan Dynix namun fungsinya besar. terbatas. Sebagai contoh perpustakaan FE Kelima, pangkalan data UKKP yang berada di UGM, FISIPOL UGM kini masih Kampus UI Depok dewasa ini memuat sekitar mengembangkan pangkalan data bibliografi; 400,000 entri. Jumlah ini sebenarnya masih namun sayangnya data tersebut tidak dapat berada di bawah sasaran karena koleksi 52 diakses karena untuk mengakses perpustakaan PTN diduga berkisar antara memerlukan modul tersendiri. Untuk 600,000 - 700,000 judul, itupun sudah membuat pangkalan data bibliografi dengan asumsi bahwa banyak buku ajar digunakan modul pengkatalogan, namun untuk program sarjana memiliki sifat untuk penelusuruan menggunakan modul tumpang tindih artinya digunakan di manaOPAC yang tidak disediakan untuk keperluan mana, belum mencakup koleksi skripsi, tesis tersebut. dan disertasi serta laporan penelitian yang Ketiga, ada perpustakaan yang masih termasuk kelompok grey literature. menyimpan data bibliografi berbasis Dynix Keenam, entri yang dimasukkan mencakup namun tidak menambahnya lagi; lokasi perpustakaan PTN. Namun pengelola perpustakaan tersebut menggunakan melupakan kenyataan bahwa di Indonesia perangkat lunak lain biasanya CDS ISIS. Hal masih ada perpustakaan PTN yang menganut ini banyak dijumpai di perpustakaan PTN. sistem desentralisasi sehingga lokasi yang Keempat, banyak pustakawan PTN diberikan kurang dapat digunakan. Sebagai contoh perpustakaan UI diberi kode lokasi UI menunggu-nunggu bagaimana perkembangan selanjutnya. Pustakawan juga namun tidak menyertakan kode fakultas mengharapkan ada kelanjutan Dynix, sehingga pangkalan data yang ada tidak dapat membantu pemakai dalam menelusur misalnya penambahan modul OPAC, terbitan berseri, sirkulasi., pengadaan. koleksi UI. Dalam situasi seperti di atas, mungkin Pimpinan perguruan tinggi negeri masih timbul pertanyaan mengapa hal tersebut memikirkan tentang kelanjutan Dynix karena mereka telah melampau titik tak kembali terjadi. Berdasarkan survei, maka hanya satu perpustakaan yang mengoperasikan Dynix (point of no return). Di satu perangkat keras yaitu UPT Perpustakaan Universitas dan perangkat lunak Dynix sudah tersedia, paling sedikit modul pengolahan, namun Indonesia, satu perpustakaan bersifat semioperasional dalam arti menggunakan untuk membeli modul lain memerlukan perangkat lunak Dynix dan CDS ISIS untuk biaya. Bila sebuah modul berharga US $10,000 maka untuk pengadaan modul penyimpanan data namun untuk penelusuran menggunakan CDS ISIS. pengadaan, OPAC dan sirkulasi memerlukan Lainnya sama sekali tidak beroperasi dan biaya sekitar $ 60,000 atau hampir Rp60,000,000 (asumsi US $ =Rp10,000) Bagi ada dugaan bahwa pada perpustakaan yang tidak diperoleh data adalah sama sekali tidak banyak rektor PTN, penyediaan uang sebesar itu hanya untuk perpustakaan merupakan beroperasi. Bila dilihat dari persentase, maka #
Perguruan tinggi
5
VISI PUSTAKA Volume 6 Nomor 2 – Desember 2004
hanya kurang 2% penerima perangkat lunak Dynix yang beroperasi, 12% semioperasional dan sisanya sama sekali tidak beroperasi. Dengan demikian dapat bahwa penerapan Dynix untuk keperluan rumah tangga perpustakaan PTN gagal. 6. Sebab kegagalan Dynix Bila melihat angka operasional Dynix di perpustakaan PTN bahwa kurang dari 10% yang beroperasi maka dapat disebutkan bahwa proyek tersebut gagal. Adapun kegagalan tersebut terjadi karena berbagai faktor seperti: (i) Ketidaksiapan pengelola dalam hal alih teknologi. Masalah sumber daya manusia (SDM) merupakan kendala utama di perpustakaan PTN. Dalam menghadapi aplikasi teknologi informasi, tidak semua perpustakaan PTN memiliki SDM yang cukup dalam arti tersedia pustakawan yang memahami komputer. Tenaga yang bekerja di perpustakaan tidak semuanya pernah memperoleh pendidikan formal kepustakawanan serta hanya sedikit yang memiliki pustakawan bergelar Sarjana Ilmu Perpustakaan. Untuk mengatasi kekurangan SDM, Ditjen Pendidikan Tinggi melalui Proyek Pengembangan Prasarana Perguruan Tinggi mengirim calon atau wakil dari perpustakaan PTN untuk program Master. Tidak semua yang dikirim adalah pustakawan, ada pula dosen, yang seusai pendidikan master harus bekerja kembali di perpustakaan atau membantu tugas perpustakaan (bagi dosen). Dalam kenyataannya tidak semua dosen yang lulus sekembali mereka dari luar negeri lalu melaksanakan kontrak kerja bahkan ada tenaga yang lulus Master sama sekali tidak mau membantu perpustakaan. Pengenalan komputer sendiri di kalangan perpustakaan PTN belum merata sehingga ada staf yang sudah terbiasa dengan komputer, ada pula yang sama sekali asing dengannya. Maka ketika perpustakaan PTN menerima perangkat keras terjadi ketidaksiapan sikap akan teknologi informasi. (ii) Perubahan yang mendadak dari CDS/ISIS ke Dynix. Satgas mengeluarkan pedoman pada tahun 1987 bahwa perangkat lunak resmi untuk perpustakaan PTN adalah Micro CDS/ISIS (selanjutnya disebut CDS ISIS) dengan format Indonesian Machine Readable Catalogue (selanjutnya disingkat Indomarc). Dengan keluarnya keputusan VISI PUSTAKA Volume 6 Nomor 2 – Desember 2004
tersebut maka perpustakaan PTN disarankan CDS ISIS untuk pengolahan data bibliografi. Ketidak siapan pengelola dalam menerima teknologi informasi baru terjadi antara lain dalam penerimaan perangkat lunak. Bila pada tahun 1987 menyatakan bahwa perangkat lunak resmi perpustakaan PTN adalah CDS ISIS maka dalam waktu kurang dari 4 tahun keputusan tersebut diubah dengan menggantikannya dengan Dynix. Pada hal dalam waktu itu belum semua staf perpustakaan menguasai sepenuhnya CDS ISIS sehingga ketika beralih ke perangkat lunak lain, ketidaksiapan menimpa banyak staf perpustakaan PTN. Pustakawan menghadapi kekakuan karena data yang sudah tersimpan pada program CDS ISIS tidak selalu dapat dikonversi menjadi data yang terbacakan oleh Dynix. (iii) Kurangnya pelatihan UKKP melakukan pelatihan, mula-mula dengan CDS ISIS kemudian dengan Indomarc. selanjutnya pelatihan Dynix. Namun pelatihan ini tidak diikuti dengan kajian pasca pelatihan tentang seberapa jauh materi pelatihan terserap oleh peserta serta bagaimana penerapannya di daerah. Ada upaya dari pihak proyek untuk menggali pengalaman dari rekan di Malaysia yang terlebih dahulu menggunakan Dynix. Upaya itu dilakukan dengan melaksanakan kunjungan kerja [sic] sebanyak 30 pustakawan PTN namun dengan waktu praktek sekitar 2 hari tentunya tidak banyak yang diperoleh oleh pustakawan Indonesia terkecuali pemborosan uang yang sebenarnya merupakan pinjaman dari Bank Dunia (iv) Penyebaran modul yang kurang sesuai dengan kebutuhan. Modul yang dibagikan ke semua perpustakaan PTN adalah modul pengkatalogan. Modul ini tidak dilengkapi dengan kemampuan mencetak katalog, semua data bibliografi langsung disimpan di pangkalan data. Namun banyak daerah mengalami pemadaman listrik sehingga bila listrik mati, pemakai tidak dapat melakukan penelusuran. Seharusnya, pengembangan pangkalan data bibliografi dilakukan secara paralel sehingga bila semua data bibliografi sudah dimuat di pangkalan data, baru proses pembuatan kartu dihentikan digantikan dengan katalog tersimpan di komputer. (v) Terlalu berorientasi pada pengadaan perangkat keras 6
Dynix dibeli dalam rangka kegiatan Pengembangan Sarana Pendidikan Tinggi dengan pinjaman dari Bank Dunia. Dengan adanya pinjaman tersebut, maka pengadaan Dynix dimasukkan sebagai bagian sebuah proyek. Salah satu sifat proyek ialah ketepatan waktu dan anggaran. Karena itu proyek harus mengadakan Dynix sesuai dengan jadwal waktu dan anggaran yang tersedia dengan sedikit memikirkan bagaimana penyerapan perangkat tersebut oleh perpustakaan. (vi) Adanya kesenjangan antara spesifikasi yang diminta oleh proyek dengan spesifikasi yang disediakan oleh penjaja (vendor). Tidak jelas apakah spesifikasi yang diminta Ditjen Pendidikan Tinggi dilaksanakan sepenuhnya oleh penjaja (vendor) ataukah spesifikasi yang diajukan oleh pihak pembeli kurang memenuhi keperluan perpustakaan. Salah satu contoh ialah modul pengkatalogan yang dibeli tidak didesain untuk mencetak kartu katalog padahal kartu katalog masih diperlukan di perpustakaan sejalan dengan automasi pengkatalogan; bila sudah sepenuhnya automasi berjalan baru pembuatan kartu katalog dihentikan. Pembaca hendaknya ingat bahwa Library of Congress telah lama menjalankan kegiatan automasi pengkatalogan (mulai tahun 1970an) namun pembuatan kartu katalog baru sepenuhnya dihentikan pada tahun 1985. (vii) Jasa purnajual penjual Dynix. Pengguna Dynix tersebar di seluruh Indonesia sesuai dengan penyebaran geografi PTN. Bila pustakawan mengalami kesulitan, tidak ada yang diajak diskusi. Bila terjadi kemacetan, semua pertanyaan diajukan ke Jakarta (penjaja Dynix atau UKKP). Bila pertanyaan belum terjawab maka pertanyaan dirujuk ke Adelaide sehingga memerlukan waktu panjang. iv Kesulitan ini bertambah karena penjual Dynix yaitu PT Infodata sudah dilikuidasi sehingga timbul pertanyaan siapa yang bertanggung jawab atas jasa purnajual Dynix sesudah proyek berakhir v .
(viii) Keterikatan
pada perangkat keras tertentu yang menyulitkan manakala ada gangguan. Perangkat lunak maupun perangkat lunak yang digunakan untuk Dynix terikat pada komputer Data General yang diberikan bersama-sama untuk perpustakaan PTN. Bilamana komputer tersebut mengalami gangguan maka data
7
yang ada tidak dapat dipindahkan ke jenis komputer lain. Juga jaringan yang digunakan bukanlah jaringan LAN biasa semacam Novell melainkan jaringan yang terikat pada perangkat keras tertentu (dedicated), demikian pula card serta kabelnya. (ix) Ketidakjelasan menyangkut biaya pemeliharaan (maintenance cost). Dynix merupakan perangkat lunak beserta perangkat keras (komputer merek Data General) yang diserahkan oleh UKKP kepada perpustakaan PTN. Setelah proyek selesai maka biaya pemeliharaan harus ditanggung sepenuhnya oleh PTN yang bersangkutan sementara PTN masih mengharapkan bantuan dari proyek. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi pimpinan PTN. (x) Penambahan komputer (work station) untuk menjalankan modul Dynix yang sudah dimiliki perpustakaan PTN memerlukan biaya tambahan. Pada saat 1 US $ sama dengan Rp2400, penambahan 1 workstation memerlukan biaya (fee) sebesar Rp6.000.000,- padahal saat krisis ekonomi menghantam Indonesia (1998) 1 US dollar sudah di atas Rp10.000,bahkan sampai Rp16,000,- Sebagai contoh perpustakaan USU sudah memiliki sekitar 20 work stations. Bila perpustakaan USU memiliki modul OPAC maka perlu lisensi penggunaan modul OPAC Dynix sebesar Rp120.000.000,-! Karena kendala lisensi tersebut maka banyak perpustakaan PTN yang tetap bertahan dengan menggunakan CDS ISIS walaupun tidak secanggih Dynix namun tidak memerlukan biaya tambahan untuk penambahan workstation. Penambahan work station untuk program CDS ISIS hanya menyangkut perangkat keras bukannya fee seperti Dynix. Dalam situasi seperti itu maka penggunaan Dynix di perpustakaan PTN sudah mencapai point-of-no-return sehingga merupakan dilema bagi pimpinan perguruan tinggi maupun UPT Perpustakaan. Pimpinan PTN harus segera mengambil keputusan apakah melanjutkan Dynix atau tidak. Pimpinan PTN dalam hal ini tentunya mengharapkan masukan dari UPT Perpustakaan. namun pihak pustakawan sendiri masih bingung dengan keberadaan Dynix. Kalau melihat modul yang tersedia belum lengkap, terkecuali pada pelaksana Pusyandi, maka untuk membeli modul lain (pengadaan, penelusuran terpasang, sirkulasi, terbitan berseri) dengan harga rata-rata $10,000 per modul, maka VISI PUSTAKA Volume 6 Nomor 2 – Desember 2004
diperlukan biaya sekitar $30,000 untuk tiga modul atau sekitar Rp300,000,000. dengan asumsi 1 US $ sama dengan Rp 10,000. Melihat angka sedemikian besar maka besar kemungkinan banyak pimpinan PTN berpikirpikir mengeluarkan uang sebanyak 300 juta rupiah hanya untuk perpustakaan padahal sudah merupakan rahasia umum bahwa tidak semua pimpinan PT menaruh banyak perhatian terhadap keberadaan perpustakaan. Dalam hal demikian besar kemungkinan pimpinan PTN mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan Dynix dan menyerahkan pelaksanaan automasi perpustakaan sepenuhnya ke tangan pustakawan dengan menggunakan perangkat lunak yang ada yang sudah operasional misalnya CDS ISIS yang lebih dipahami pustakawan. Bila keputusan tersebut diambil, maka penggunaan Dynix di Indonesia merupakan biaya yang mahal karena sudah dikeluarkan milyaran rupiah untuk pengadaan perangkat lunak, perangkat keras namun pada akhirnya tidak dapat digunakan. Padahal uang itu semua merupakan pinjaman Bank Dunia yang harus dibayar oleh pemerintah RI atau menggunakan istilah yang sedang populer, hutang akibat kegagalan Dynix harus dibayar oleh anak cucu kita. Bila pimpinan PTN mengambil keputusan melanjutkan Dynix, mungkin karena adanya faktor nonteknis atau tekanan ekstern, maka perlu anggaran besar untuk pengadaan modul, pelatihan serta penyediaan perangkat lunak yang mampu mengkonversi data CDSISIS ke Dynix. Biaya yang dikeluarkan untuk kelanjutan Dynix akan berdampak pada pengurangan anggaran belanja untuk pengadaan buku dan majalah padahal selama ini banyak pemakai mengeluh kurangnya buku dan majalah mutakhir di perpustakaan perguruan tinggi. Jelas situasi demikian tidak menguntungkan justru pada saat negara menghadapi kritis moneter. Apapun keputusan yang diambil, penggunaan Dynix di perpustakaan PTN merupakan pengalaman pahit dan berharga bagi pustakawan, pimpinan PTN maupun birokrat di Ditjen Pendidikan Tinggi. 7. Penutup Perangkat lunak Dynix yang diperuntukkan bagi perpustakaan perguruan tinggi negeri melalui proyek yang dibiayai pinjaman Bank Dunia merupakan kegagalan total karena hanya 2 dari 49 perpustakaan perguruan tinggi yang masih melaksanakan Dynix. Adapun sebab kegagalan aplikasi perangkat lunak tersebut ialah ketidaksiapan pengelola perpustakaan terutama sumber daya yang VISI PUSTAKA Volume 6 Nomor 2 – Desember 2004
berkaitan dengan aplikasi komputer di perpustakaan, perubahan yang terlalu mendadak dari Micro CDS ISIS ke Dynix, kurangnya pelatihan dari pihak proyek, perangkat keras yang membatasi aplikasi penggunaan perangkat lunak, jasa purna-jual yang tidak baik akibat berbagai faktor, modul yang tidak sesuai dengan kebutuhan perpustakaan. Keadaan ini membawa dilema bagi pimpinan perguruan tinggi maupun pustakawan perguruan tinggi negeri, apakah melanjutkan aplikasi Dynix dengan konsekwensi masih memerlukan pembiayaan yang besar atau kembali ke Micro CDS ISIS dengan akibat terjadi penghamburan milyaran rupiah dalam pengadaan perangkat keras dan lunak serta biaya pendidikan dan pelatihan serta kunjungan kerja ke Malaysia. 8. Pasca Catatan Pada tahun 2000an tercatat 3 perpustakaan PTN yang menggunakan Dynix versi terkini (2.00 ke atas) yang dibeli setelah perhitungan yang matang. Sampai kini ketiga perpustakaan tersebut yaitu perpustakaan Universitas Jember, Universitas Brawijaya dan Universitas Lampung masih mengoperasikan Dynix versi baru sementara versi lama pemberian UKKP sudah ditinggalkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa proyek automasi memerlukan perencanaan yang baik, pemikiran yang matang, komitmen semua pihak serta kebijakan “top down” tidak selalu sesuai dengan kondisi setempat. i
Teknologi informasi ialah teknologi pengadaan, pengolahan, penyimpanan, temu balik dan penyebaran informasi tekstual, numerik, audio, citra terutama dengan menggunakan komputer dan telekomunikasi berbasis mikroelektronik ii John Ashford, Utami Hariyadi and Tina T. Nanny, An automated union catalogue for higher education in Indonesia: design studies for Katalog Induk Perguruan Tinggi (n.p.:1991), hal. 2 iii Periksa berbagai laporan UKKP. iv Hal ini terungkap sewaktu penyajian Dynix dalam Temu Ilmiah Teknologi Informasi, diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Informasi, Perpustakaan dan Kearsipan, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, di Depok pada bulan Nopember 1996. Bandingkan dengan tulisan John Ashford, “Libraryautomation system,” dalam Laporan Pertemuan Pengembangan Perpustakaan Perguruan Tinggi Negeri, Yogyakarta, 1991. iv Ketika makalah ini ditulis terbetik berita bahwa sedang berlangsung negosiasi antara Dynix dengan sebuah perusahaan konsultasi komputer di Jakarta namun hingga awal tahun 1998 belum ada berita lanjut bersamaan dengan melandanya krisis moneter.
8