APLIKASI PENDIDIKAN US}U
Abstrak: Ilmu us}u>l fiqh adalah salah satu bidang ilmu keislaman yang penting dalam memahami syari’ah Islam dari sumber aslinya, alQur’an dan Sunnah. Melalui ilmu us}u>l fiqh dapat diketahui kaidahkaidah, prinsip-prinsip umum syari’ah Islam, cara memahami suatu dalil dan penerapannya dalam kehidupan manusia. Untuk memahami syari’ah Islam yang dibawah Rasulullah saw., para ulama us}u>l fiqh mengemukakan dua bentuk pendekatan, yaitu melalui pendekatan kaidah-kaidah kebahasaan dan melalui pendekatan masqasid alSyari’ah (tujuan syara’ dalam menetapkan hukum).
Kata-kata Kunci: Aplikasi, Usul Fiqh, Syari’ah Pendahuluan Al-Qur’an al-Karim yang diwahyukan Allah swt. Kepada Nabi Muhammad saw. dan umatnya adalah merupakan suatu pedoman untuk mencapai ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kemudian al-Qur’an itu dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw. dengan kata-kata dan perbuatannya. Kata-kata dan perbuatan Nabi inilah disebut dengan Sunnah. Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman pokok masih banyak memerlukan penjelasan untuk memahaminya. Ayata-ayat dan Sunnah Nabi Muhammad saw. banyak mempunyai pengertian yang bersifat umum dan susah untuk untuk dimengerti tanpa ditahsiskan. Disinilah pentingnya us}u>l fiqh sebagai salah satu ilmu-ilmu keislaman yang mempunyai metode, peraturan dan kaidah-kaidah yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam memahami dan menetapkan hukum-hukum syari’at sebagaimanayang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw. *
Hamzah K., Dosen Tetap STAIN Palopo, pangkat/jabatan Pembina Utama Muda (IV/c)/Lektor Kepala
106
Volume 12, Nomor 2, Juni 2010
107
Kajian tentang pengetahuan agama Islam pada dasarnya membicarakan dua hal pokok. Pertama, tentang apa yang harus diyakini umat Islam dalam kehidupannya. Pengetahuan tenatng ini disebut dengan “aqidah”. Kedua, tentang apa yang harus diamalkan umat Islam dalam kehidupannya. Pengetahuan tentang ini disebut dengan ilmu “syari’at”. (Amir Syarifuddin, 1999:IX). Ilmu syari’at itu pada dasarnya mengandung dua hal pokok. Pertama, tentang materi perangkat ketentuan yang harus dilakukan seorang muslim dalam usaha mencari kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Prangkat materi itu disebut “Fiqh”. Kedua, tentang cara, usaha dan ketentuan dalam menghasilkan materi fiqh disebut dengan “Us}u>l Fiqh”. Dengan demikian us}u>l fiqh merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan agama Islam. Us}u>l fiqh dipelajari sejalan dengan mempelajari fiqh dan diajarkan sejalan dengan pelajaran fiqh. Us}u>l fiqh merupakan mata pelajaran pokok dalam ilmu pengetahuan agama Islam. Karena itu, ia diajarkan dalam setiap lembaga pendidikan keagamaan (Islam) mulai tingkat Ibtidaiyah sampai ke perguruan Tinggi. Khususnya di jenjang Perguruan Tinggi Agama Islam (IAIN, STAIN dan PTAIS) menurut kurikulum yang ditetapkan oleh Departemen Agama, us}u>l fiqh diberikan pada semua Fakultas dan setiap jurusan dengan perbedaan bobot SKS nya. Ini berarti bahwa setiap mahasiswa IAIN, STAIN dan PTAIS harus mempelajari us}u>l fiqh meskipun kadar yang berbeda. Mata Kuliah us}u>l fiqh yang diberikan mahasiswa di Perguruan Tinggi Agama Islam, setelah diamati dan diteliti belum cukup memadai untuk mengantarkan mahasiswa memahami dan menggunakan us}u>l fiqh sebagaimana yang diharapkan. Di sejumlah negara, terutama di Indonesia, studi tentang us}u>l fiqh belum mendapat perhatian yang memadai di perguruan-perguruan agama, bahkan di perguruan tinggi. Studi hukum Islam lebih banyak ditekankan pada penguasaan hukum fiqh dari buku-buku klasik, sementara metode bagaimana suatu hukum dirumuskan kurang mendapat perhatian. Para pengikut mazhab, seperti mazhab Syafi’i di Asia tenggara tampaknya lebih cenderung bertaklid hanya kepada fiqh hasil ijtihad pendiri mazhabnya dibandingkan dengan mencari tahu bagaimana jalan pikirannya sehingga mazhab itu terbentuk. Mereka belum banyak mempelajari apalagi mendalami metode Imam Syafi’i dalam membentuk mazhabnya. Oleh karena itu, wajar bila di Indonesia misalnya kitab alUmm karya Imam Syafi’i di bidang fiqh lebih dikenal di kalangan umat
108
Volume 12, Nomor 2, Juni 2010
Islam di bandingkan dengan karya monumentalnya “al-Risalah” dalam bidang metodologi hukum Islam (us}u>l fiqh). Kosekuensinya terdapat kesenjangan di kalangan umat Islam ketika mereka didesak kebutuhan melakukan ijtihad, pada sisi lain metologi bagaimana melakukan ijtihad tersebut dalam menetapkan hukum kurang mendapat perhatian. (Satria Efendi, 1996:117). Sementara umat Islam selalu dituntut untuk melakukan ijtihad terhadap masalah-masalah baru yang muncul di tengah-tengah masyarakat muslim akibat perkembangan dan kemajuan yang dialami oleh masyarakat Islam dalam dunia modern ini. Pada hal dalam melakukan ijtihad untuk menetapkan dan mendapatkan hukum diperlukan metodologi ijtihad (us}u>l fiqh) agar hukum yang dihasilkan tidak keluar dari garis-garis yang telah ditetapkan oleh syara’. Hakekat Us}u>l Fiqh Hakekat us}u>l fiqh adalah tercermin dari makna atau pengertian us}u>l fiqh. Kata us}u>l fiqh dapat dilihat dari dua aspek, yaitu Us}u>l Fiqh kata majemuk (murakkab) dan Usul Fiqh sebagai istilah ilmiah. Aspek pertama, us}u>l fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata us}u>l dan fiqh. Kata us}u>l bentuk jamak dari As}l secara etimologi diartikan sebagai fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi maupun bukan. (Raachamt Syafe’i, 1999:17). Adapun menurut istilah syara’ us}u>l atau as}l mempunyai beberapa arti di antaranya : 1. Dalil, yakni landasan hukum 2. Aqidah, yakni dasar atau fondasi sesuatu 3. Rajih, yakni yang terkuat. Adapun kata Fiqh secara etimologi berarti pemahaman mendalam yang membutuhkan pengerahan potensi akal. (Nasrun Haroen, 1996:2). Sedang menurut syara’ fiqh ialah mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang terperinci. Defenisi ini menunjukkan bahwa fiqh dipandang sebagai ilmu yang berusaha menjelaskan hukum-hukum agar dapat diamalkan oleh umat manusia dalam kehidupannya, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Aspek kedua, adalah us}u>l fiqh sebagai salah satu bidang ilmu terdapat beberapa definisi baik di kalangan ulama Syafi’iyyah maupun Jumhur ulama.
Volume 12, Nomor 2, Juni 2010
109
Ulama Sya’fi’iyyah mendefinisikan us}u>l fiqh ialah mengetahui keadaan orang yang menggunakannya. (al-Allamah al-Bannani, 1402 H/1992 M.: 25). Defenisi ini menggambarkan bahwa yang menjadi obyek kajian para ulama us}u>l fiqh adalah dalil-dalil yang bersifat ijmali (global), seperti kehujjahan ijma’ dan qiyas. Us}u>l fiqh juga membahas bagaimana cara mengistinbatkan hukum dari dalil-dalil, seperti kaidah mendahulukan hadis mutawatir dari hadis ahad dan mendahulukan nas dari zahir. Dibahas pula syarat-syarat orang yang menggali hukum dari dalil-dalil, yaitu para mujtahid dan seluk-beluknya untuk bisa melakukan ijtihad dan juga persoalan taklid. Sedangkan us}u>l fiqh menurut Jumhur Ulama yang terdiri dari ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah ialah, mengetahui kaidahkaidah kulli (umum) yang dapat digunakan untuk mengistinbatkan hukumhukum syara’ yang bersifat amaliah melalui dalil-dalilnya yang rinci. Melihat definisi tersebut telah menekankan bahwa us}u>l fiqh adalah bagaimana menggunakan kaidah-kaidah umum. Dari kaidah-kaidah umum ini terkandung hukum-hukum rinci yang tidak terhitung jumlahnya. Ahli us}u>l fiqh tidak mempersoalkan dalil dan kandungannya secara rinci, melainkan membahas dalil-dalil kulli. Dalam rangka menetapkan kaidah-kaidah kulli, diperlukan keahlian khusus. Untuk itu pembahasan tentang mujtahid secara otomatis sudah termasuk dalam definisi tersebut, tanpa harus mengungkapkannya secara tegas. Para ulama us}u>l fiqh menyimpulkan bahwa us}u>l fiqh adalah mengetahui dalil-dalil syara’ yang menyangkut persoalan aqidah, ibadah, muamalah, uqubah dan akhlak. Pengetahuan tentang dalil-dalil pada gilirannya dapat diamalkan, sesuai dengan kehendak syara’ (Allah dan Rasulnya). Oleh sebab itu para ulama us}u>l fiqh menyatakan bahwa us}u>l fiqh bukan merupakan tujuan melainkan sebagai sarana untuk mengetahui hukum-hukum Allah pada setiap kasus sehingga dapat dipedomani dan diamalkan sebaik-baiknya. Dengan demikian, yang menjadi tujuan sebenarnya adalah mempedomani dan mengamalkan hukum-hukum Allah yang diperoleh melalui kaidah-kaidah us}u>l fiqh tersebut. Latar Belakang Munculnya Us}u>l Fiqh Setelah Rasulullah wafat dan pengembangan Islam diteruskan oleh para sahabatnya, Islam semakin bertambah meluas dan bangsa Arab
110
Volume 12, Nomor 2, Juni 2010
bergaul dengan bangsa-bangsa lain, banyaklah peristiwa-peristiwa baru yang muncul dari segala lapangan kehidupan yang memerlukan ketentuanketentuan hukumnya, sementara tidak ditemukan penjelasannya secara eksplisit di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Seiring dengan itu para sahabat ahli hukum Islam tersebar diberbagai daerah kekuasaan Islam yang saling berbeda budaya, ini mempengaruhi para sahabat dalam menetapkan hukum. Akibatnya dalam kasus yang sama hukum di suatu daerah dapat berbeda dengan daerah lainnya. Perbedaan hukum ini berawal dari perbedaan cara pandang dalam menetapkan hukum pada kasus tersebut. (Nasrun Haroen, 1996:8). Para tabi’in melakukan ijtihad di berbagai daerah Islam. Di Madinah muncul beberapa fatwa dalam berbagai persoalan baru, sebagaimana yang dikemukakan Said Ibn Musyayyab. Di Iraq muncul alQamah Ibn Waqqas dan Ibrahim al-Naka’i. Di Basrah muncul pula Hasan Basri. Penetapan hukum yang dilakukan mereka saling berbeda yang satu melihat dai sudut maslahat sementara yang lain menetapkan hukum melalui qiyas. (Nasrun Haroen, 1996:9). Demikian juga terjadi perbedaan sengit di antara ahlu Hadits atau ahlu al-Ra’yi. Semakin berani pula sebagian orang yang bukan ahli agama menjadikan hujjah sesuatu yang bukan hujjah. Dan sebaliknya mereka mengingkari sesuatu yang justru sebagai hujjah. Semakin banyak pula orang melakukan ijtihad yang kapasitas ilmu dan kemampuannya diragukan oleh banyak orang. Semua ini memotivasi disusunnya batasan-batasan dan bahasan-bahasan mengenai dalil syari’ah dan syarat-syarat ataupun cara menggunakannya dalil-dalil tersebut.(Abd. Wahhab Khallaf, 1996:9). Akibatnya muncul tiga kelompok ulama, yaitu Madrasah al-Iraq, Madrasah al-Kufah dan Madrasah al-Madinah. Penamaan ini menunjukkan perbedaan cara dan metode yang digunakan menggali hukum. Kemudian Madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Kufah dikenal dengan sebutan al-Ra’yi, sedangkan Madrasah al-Madinah dikenal Madrasah al-Hadis. (Nasrun Haroen, 1996:9). Pertentangan-pertentangan para ulama menetapkan hukum menyebabkan para ulama atau ahli hukum Islam menyusun suatu disiplin ilmu yang mereka namakan us}u>l fiqh, yaitu kaidah-kaidah yang wajib diikuti oleh setiap mujtahid dalam istinbat} hukum. Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan dua orang itu mula-mula menulis Us}u>l Fiqh, namun kitabnya sedikitpun tidak ada yang sampai di tangan pada generasi berikutnya. (Hudari Bik, 1980:395).
Volume 12, Nomor 2, Juni 2010
111
Kitab us}u>l fiqh yang mula-mula ditulis sampai ketangan generasi berikutnya ialah al-Risalah karangan Imam Muhammad Idris al-Syafi’i (Imam Syafi’i) yang mengantarkan Imam Syafi’i diakui oleh para ahli hukum Islam sebagai orang yang mula-mula menyusun ilmu us}u>l fiqh. Dalam kitab al-Risalah dibicarakan tentang : a. Al-qur’an dan keterangannya; b. Al-sunnah dan kedudukannya dengan rangkaiannya dalam alQur’an; c. Nasikh dan mansukh; d. Hadis Riwayat perseorangan (khabar wahid); e. Ijma’; f. Qiyas; g. Ijtihad; h. Istih}sa>n; i. Perbedaan pendapat Setelah Imam Syafi’i menulis kitab al-Risalah banyaklah ulama mengikuti jejaknya, sehingga muncullah berbagai kitab-kitab us}u>l fiqh sampai sekarang. Usul fiqh tersusun sebagaimana bentuknya yang sempurna menjadi salah satu disiplin ilmu nanti pada abad II Hijriah. (Iskandar Usman, 1994:108). Seiring dengan munculnya ilmu-ilmu keislaman yang lainnya. Jika diteliti secara mendalam, sebeanarnya ada beberapa motivasi yang mendorong ulama-ulama pada masa ini menyusun us}u>l fiqh antara lain ialah : 1. Bertambah luasnya kekuasaan Islam dan pergaulan bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain membuat timbulnya berbagai masalahmasalah baru yang perlu ketentuan hukumnya. Pada hal tidak terdapat hukumnya secara eksplisit dalam al-Qur’an dan Sunnah. 2. Tersebarnya ulama diberbagai daerah kekuasaan Islam dan masingmasing melakukan ijtihad untuk menentukan hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Akibatnya sering terjadi perbedaan pendapat para ulama pada kasus yang sama dalam daerah yang berbeda. 3. Banyaknya perbedaan pendapat dan metode melakukan ijtihad mendorong para ulama mujtahid untuk menyusun suatu patron menjadi acuan dalam melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum agar perbedaan tersebut dapat diperkecil. 4. Banyak orang melakukan ijtihad dan mengeluarkan fatwa yang menurut penilaian orang ilmu dan keahliannya diragukan, sehingga
112
Volume 12, Nomor 2, Juni 2010
jika tidak disusun suatu acuan yang wajib dipedomani kepada seluruh mujtahid dikhawatirkan menimbulkan kerusakan dalam agama. Aplikasi Us}u>l Fiqh Dalam Memahami Syari’ah Islam Ilmu us}u>l fiqh adalah salah satu bidang ilmu keislaman yang penting dalam memahami syari’ah Islam dari sumber aslinya, al-Qur’an dan Sunnah. Melalui ilmu us}u>l fiqh dapat diketahui kaidah-kaidah, prinsip-prinsip umum syari’ah Islam, cara memahami suatu dalil dan penerapannya dalam kehidupan manusia. Untuk memahami syari’ah Islam yang dibawah Rasulullah saw., para ulama us}u>l fiqh mengemukakan dua bentuk pendekatan, yaitu melalui pendekatan kaidah-kaidah kebahasaan dan melalui pendekatan masqasid al-Syari’ah (tujuan syara’ dalam menetapkan hukum). (Nasrun Haroen, 1996:11). Pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan adalah untuk mengetahui dalil-dalil Amm, khas, mutlak, mukayyad, mujmal, mubayyan, muradif, musytarak, muhkam, mufassir, mutasyabih, nas}, zahir, nasikh, mansukh, amar, nahy, musykil, khafi, dan sebagainya. Dalam kaidahkaidah kebahasaan ini dikemukakan cara-cara menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan secara zahir, sehingga seluruh dalil yang ada dalam alQur’an dan Sunnah dapat dipahami serta diamalkan. Persoalan hukum dalam pendekatan ini terkait langsung dengan nas} (al-Qur’an dan Sunnah). Selanjutnya pendekatan Maqas}id al-Syari’ah, penekanannya terletak pada upaya menyingkap dan menjelaskan hukum dari suatu kasus yang dihadapi melalui perimbangan maksud-maksud syara’ dalam menetapkan hukum. Teori yang digunakan untuk menyingkap dan menjelaskan hukum dalam berbagai kasus yang tidak ada nas} secara khusus dapat diketahui melalui metode ijtihad, yakni ijma’, qiyas, istih}sa>n, istis}lah, istihsab, urf, zari’ah, syar man qablana, dan mazhab zahabi. Pada hakikatnya inti dari maqas}id al-syari’ah adalah kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, berbagai metode yang digunakan untuk menyingkap dan menjelaskan hukum pada setiap kasus yang tidak ada nas}nya, harus berorientasi kepada kemaslahatan umat.
Volume 12, Nomor 2, Juni 2010
113
Kedua pendekatan yang digunakan dalam memahami syari’ah Islam di atas, dibahas dalam ilmu us}u>l fiqh. Untuk itu para ahli us}u>l fiqh membuat berbagai kaidah, prinsip-prinsip dasar, dan metode yang dapat digunakan dalam menyingkap dan menjelaskan suatu hukum. Seseorang yang ingin memahami dalil syara’, baik berupa ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis Rasulullah saw. haruslah mengetahui secara baik kaidah-kaidah us}u>l fiqh. Dalam kaitan ini, para ahli us}u>l fiqh menyatakan, us}u>l fiqh adalah kaidah-kaidah yang digunakan untuk memahami hukum-hukum syara’, sebagai pegangan dan pedoman dalam memberi fatwa dan berijtihad. Di samping itu usul fiqh juga merupakan media dalam menerapkan hukum syara’ yang telah digali melalui berbagai metode usul fiqh. Satria Efendi mengutip pendapat Imam Abu Ishak al-Syatibi (w. 790 H). Pakar usul fiqh Maliki mengemukakan bahwa mempelajari ilmu us}u>l fiqh merupakan sesuatu yang daruri (pokok), karena melalui ilmu inilah dapat dipahami kandungan dan makna setiap dalil syara’ sekaligus menerapkannya. Menurut al-syatibi, dalam menggali suatu hukum dari dalil syara’, seorang mujtahid di samping berijtihad langsung kepada nas} juga berijtihad dalam menerapkan hukum yang telah dihasilkan itu pada kenyataan yang ada. oleh sebab itu menurutnya, seorang mujtahid dalam menghadapi suatu kasus yang harus dicarikan hukumnya, harus melakukan dua kali ijtihad. Ijtihad pertama, adalah ijtihad istinbati, yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menerapkan ketentuan hukum yang telah dihasilkan dari nas} tersebut.(Satri Efendi M. Zein, 1996:118). Hubungan antara ijtihad istinbati dan ijtihad tatbiqi akan lebih jelas lewat contoh di bawah ini : Dalam sebuah kasus hadis Rasulullah saw. melarang menjual buahbuahan di pohon yang masih muda belum dapat dipastikan akan masak. Melalui ijtihad istinbati dapat diketahui bahwa pelarangan itu didasarkan pada kekhawatiran buah-buahan itu rusak sebelum masak, yang mengakibatkan pihak pembeli mengalami kerugian. Namun kekhawatiran seperti itu tidak ada lagi jika teknologi canggih bidang pertanian mampu mewujudkan sistem pemeliharaan yang lebih baik, sehingga buah-buahan muda itu dijamin akan masak. Di sini ijtihad itu benar, maka dalam kondisi demikian, larangan yang terdapat dalam hadis Nabi tersebut tidak lagi relevan. Kesimpulan seperti ini secara metodologis hanya dapat diterapkan pada hukum-hukum yang dapat dilacak secara pasti illat hukumnya. Sedang dalam ibadah murni umat harus menerima rumusan seadanya.
114
Volume 12, Nomor 2, Juni 2010
Metodologi hukum Islam (us}u>l fiqh) yang mengatur dua bentuk ijtihad di atas dengan pendekatan kebahasaan dan maqas}id al-syari’ah telah terasa kebutuhannya sejak dari masa awal Islam sampai sekarang. Oleh sebab itu ilmu us}u>l fiqh merupakan ilmu yang sangat penting untuk diketahui dan dipahami dalam rangka menggali dan menerapkan hukum-hukum syara’, sehingga apa yang diinginkan dari hukum itu dapat tercapai. Perkembangan dunia dewasa ini semakin maju disetai dengan era globalisasi yang semakin meningkat dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, seperti bidang kedokteran, telekomonikasi, kedirgantaraan, transportasi, hukum, ekonomi telah membawa pengaruh yang sangat besar.(Umar Shihab, 1996:3). Perkembangan dunia yang semakin maju diakibatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memunculkan berbagai persoalan baru di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat Islam sebagai suatu bagian yang tak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan baru yang berkembang dalam masyarakat, terutama jika dikaitkan dengan persoalanpersoalan yang menyangkut kedudukan hukum suatu persoalan. Persoalan baru yang status hukumnya sudah jelas dan tegas yang dinyatakan dalam al-Qur’an maupun hadis tidak akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Islam. Akan tetapi persoalan yang belum jelas kedudukan hukumnya dalam kedua sumber pokok (al-Qur’an dan Sunnah), menuntut para ulama untuk memberikan solusi dan jawaban yang cepat dan tepat. Dengan kondisi yang demikian para ulama diperlukan untuk melakukan ijtihad. Tentu ia melakukan ijtihad tidak melepaskan diri dari metodologi ijtihad atau us}u>l fiqh. Perkembangan teknologi kedirgantaraan pada masa kini membuat manusia pulang pergi ke angakasa luar dan tinggal berbulan-bulan bahkan tahunan, seperti yang pernah terjadi pada astronot Unisoviet tinggal di angkasa selama 3 tahun. Dengan bahan makanan hanya makan sebutir kapsul bisa bertahan berhari-hari. Kesemuanya ini bisa berimplikasi kepada persoalan hukum Islam. Seandainya seorang astronot muslim yang taat menjalangkan agamanya, maka terjadi beberapa persoalan pelaksanaan ajaran Islam yang muncul. Misalnya apakah boleh makan sahur dan berbuka puasa dengan memakan sebuah kapsul ? Satu kapsul bisa bertahan 1 hari. Bagaimana cara melaksanakan salat ? Bagaimana arah kiblat ? bagaimana menentukan waktu-waktu salat ?
Volume 12, Nomor 2, Juni 2010
115
Bahkan Jepang sekarang sementara giat-giatnya mengadakan penelitian, ia bercita-cita ingin membuat hotel di angkasa sebagai tempat rekreasi bangsa Jepang dan bangsa-bangsa di dunia pada musim-musim libur. Kesemuanya ini bisa memunculkan masalah-masalah baru yang berimplikasi pada hukum Islam atau syari’ah Islam. Namun sebagai seorang muslim tidak perlu khawatir, karena dengan menguasai dan memahami metodologi ijtihad (us}u>l fiqh) secara baik dan benar, hal tersebut semuanya bisa diselesaikan dan dijawab dengan sebaik-baiknya. Penutup Usul fiqh adalah salah satu ilmu-ilmu keislaman yang digunakan untuk mengetahui dalil-dalil syara’ dan cara menggunakannya dan mengetahui orang-orang yang menggunakan dalil-dalil tersebut, demikian pula dengan cara-cara mengistinbatkan hukum. Usul fiqh sangat penting untuk diketahui dan dipahami, karena dengan usul fiqh dapat memahami maksud syari’ah yang terdapat dalam nas} (al-Qur’an dan Sunnah) secara baik. Pemahaman tersebut baik dari segi kebahasaan maupun dari segi maqas}id al-syari’ah. Dari segi kebahasaan di antaranya meliputi Amm, Zahir, Nas}, Mufassar, Muhkam, Mutasyabih. Adapun pemahaman dari segi maqas}id al-Syari’ah antara lain meliputi ; Ijma’, Qiyas, Istih}sa>n, Istis}lah, Istihsab, Zari’ah, Urf, Syar man qablana dan Mazhab Sahabi. Usul fiqh dapat mengatur para mujtahid dan syarat-syarat yang bisa berijtihad, memberikan acuan atau patron untuk melakukan ijtihad agar hasil ijtihadnya tidak keluar dari maqas}id al-Syari’ah atau kehendak syara’. Daftar Rujukan Al-Bannani, al-Allamah. 1402 H./1992 M. Hasyiyah al-Bannani ‘ala Syarh al-Mahalli ‘ala Matn Jam’I al-jawani. Jilid I. Beirut: Dar alFikr. Bik, Hudari. 1980. Tarikh al-Tasyri’ al-Islami. Terjemahan Muhammad Zuhri dengan judul Sejarah Pembinaan Hukum Islam. Indonesia: Dar al-Ihya.
116
Volume 12, Nomor 2, Juni 2010
Efendi, Satri. 1996. Metodologi Hukum Islam, dalam Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press. Haroen, Nasrun. 1996. Us}u>l Fiqh. Cet. I; Jakarta: Logos Publishing House. Khallaf, Abd. Wahhab. 1996. Ilmu Us}u>l Fiqh. Terjemahan Noer Iskandar al-Baisary dan Muhammad Tolehan Masnoer dengan judul Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Usul Fiqh). Cet. I; PT. Raja Grafindo Persada. Shihab, Umar. 1996. Hukum Islam dan Transpormasi Pemikiran. Cet. I; Semarang: Toha Putra. Syafe’I, Rachmat. 1999. Ilmu Us}u>l Fiqh. Cet. I; Bandung: Loggos Publishing House. Syarifuddin, Amir. 1999. Us}u>l Fiqh. Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Usman, Iskandar.1994. Istih}sa>n dan Pembaharuan Hukum Islam. Cet. I; jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.