Aplikasi i-Sky Innovation Untuk Pemantauan Tanaman Padi Sidik Mulyono Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Wilayah, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi email:
[email protected] Abstrak: Perkembangan emisi gas rumah kaca telah menimbulkan peningkatan suhu di permukaan bumi, yang berdampak pada mencairnya es di kutub, meningkatnya curah hujan, kejadian cuaca ekstrim, serta pergeseran musim. Selain faktor alam, perubahan iklim (climate change) ini juga dipicu oleh pertumbuhan populasi global dan pertumbuhan industri, yang dapat mengancam ketahanan pangan dunia. Pertanian merupakan salah satu sektor yang paling rentan terhadap perubahan iklim ini. Berbagaimacam upaya telah dilakukan agar aktifitas pertanian dapat berkesinambungan (climate-smart agriculture), sehingga mampu meningkatkan produktifitas pertanian, beradaptasi, mengurangi pengaruh gas rumah kaca, dan meningkatkan ketahanan pangan nasional. Di Indonesia, perubahan iklim ini telah mengubah musim tanam menjadi lebih pendek, serta menimbulkan ancaman kegagalan panen akibat musim kemarau yang berkepanjangan serta serangan hama dan penyakit. Dalam makalah ini akan dibahas upaya adaptasi perubahan iklim melalui pembangunan model prediksi kebutuhan air dan pupuk sawah padi dengan aplikasi teknologi inderaja. Model ini menggunakan prinsip siklus fenologi tanaman padi yang diperoleh dari nilai normalized difference vegetation index (NDVI) citra satelit Moderate Resolution Imaging Spectradiometer (MODIS) dipadukan dengan metode heuristik yang disebut dengan i-Sky (eye in the sky) innovation atau inovasi mata di langit. Dengan inovasi ini memungkinkan kita dapat mengetahui sedini mungkin dampak perubahan iklim, seperti kegagalan panen. Informasi yang diperoleh dari model prediksi ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pengambil kebijakan di daerah dalam mengantisipasi kondisi terburuk dampak dari perubahan iklim. Kata kunci: perubahan iklim, teknologi inderaja, MODIS, NDVI
1. Latar Belakang Perubahan iklim (climate change) telah menyebabkan terjadinya kekacauan pola musim, khususnya di Indonesia. Cuaca yang tidak menentu membuat para petani sulit dalam memperkirakan waktu untuk mengelola lahan dan memanen. Perpaduan antara meningkatnya suhu rata-rata dengan siklus hidrologi yang terganggu, menyebabkan musim kemarau menjadi lebih panjang dan musim hujan menjadi lebih pendek tetapi dengan intensitas tinggi, serta mengakibatkan berkurangnya kelembaban tanah. Akibatnya akan timbul berbagai ancaman bencana bagi sektor pertanian. Ancaman bencana yang paling sering merugikan sektor pertanian adalah hidrometeorologi (banjir, kekeringan dan angin puting beliung), yang berdampak serius terhadap lingkungan, produktivitas pertanian dan ketahanan pangan nasional. Karena pertanian merupakan salah satu sektor yang paling rentan terhadap perubahan iklim ini, maka sektor ini perlu melakukan berbagaimacam upaya agar aktifitas pertanian 1
dapat berkesinambungan (climate-smart agriculture), sehingga mampu meningkatkan produktifitas pertanian, beradaptasi, mengurangi pengaruh gas rumah kaca, dan meningkatkan ketahanan pangan nasional. Perubahan iklim akan berdampak pada pergeseran musim, yakni semakin singkatnya musim hujan namun dengan curah hujan yang lebih besar. Sehingga, pola tanam juga akan mengalami pergeseran. Disamping itu kerusakan pertanaman terjadi karena intensitas curah hujan yang tinggi yang berdampak pada banjir dan tanah longsor serta angin. Di sisi lain, penentuan jadwal penanaman padi pada umumnya dipengaruhi oleh faktor alam, seperti kondisi cuaca, suhu udara, dan ketersediaan air. Akan tetapi, khusus di Indonesia, faktor alam tersebut tidak menjadi acuan utama untuk menentukan jadwal penanaman padi, melainkan tergantung dari jadwal aliran irigasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah untuk setiap wilayah, yaitu dengan menerapkan sistem golongan air. Selain itu, jadwal penanaman padi juga dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat kearifan lokal para petani setempat. Kondisi seperti ini mengakibatkan pola tanam padi di Indonesia menjadi bersifat kompleks, karena jadwal kalender tanam untuk setiap daerah berbeda, bahkan di satu daerah yang samapun sering terjadi perbedaan jadwal tanam yang sangat signifikan. Hal ini dapat terdeteksi dengan mudah melalui pengenalan fenologi tanaman padi di setiap lokasi (Gambar 1 (a) dan (b)). Oleh karena itu, kompleksitas ini menjadi kendala dalam memperoleh informasi yang benar yang dapat digunakan untuk melakukan analisis secara kuantitatif, termasuk dalam menentukan luas baku sawah di Indonesia. Gambar ini juga sekaligus membuktikan bahwa salah satu dampak dari perubahan iklim adalah terjadinya pergeseran jadual tanam untuk setiap musim yang sama di area yang sama.
(a)
(b) Gambar 1. Kompleksitas pola tanam yang terlihat dari ketidakteraturan fenologi tanaman padi di Kabupaten (a) Karawang dan (b) Indramayu (Sidik Mulyono, 2015)
2
i-Sky (eye in the sky) Innovation merupakan salah satu dari 107 inovasi Indonesia yang memperoleh penghargaan dari Business Innovation Center (BIC) tahun 2015, yaitu inovasi baru dalam melakukan prediksi maupun pemantauan pertumbuhan tanaman padi berbasis data besar penginderaan jauh (remote sensing big data technology) atau disingkat menjadi inderaja, baik dengan resolusi temporal tinggi maupun resolusi spasial tinggi, yang dipadukan dengan metode heuristik secara cepat dan akurat, dalam rangka menghadapi tantangan kompleksitas pertanian di Indonesia akibat perubahan iklim,. Dengan memanfaatkan variabel spektral dari data besar inderaja tersebut, dapat dilakukan prediksi produksi panen padi di seluruh lahan persawahan Indonesia yang lebih cepat, tepat, handal, serta mudah digunakan pada tingkat operasional, dibanding dengan metode konvensional di atas. Selain itu, informasi yang dihasilkan berupa prediksi fase tumbuh tanaman padi ini sangat bermanfaat untuk mengetahui kapan panen akan berlangsung, sehingga dari informasi tersebut pemerintah dapat mengatur suatu sistem strategi antisipasi penyiapan air irigasi, bibit tanaman, pupuk, persediaan beras serta sistem penyaluranya secara nasional. Teknologi ini sudah divalidasi dengan data lapangan, dan menghasillkan akurasi sebesar 89,58%.
2. i-Sky innovation untuk pemantauan tanaman padi Satelit remote sensing di angkasa, sebagai mata di langit (eye in the sky) memberikan informasi tentang intensitas pantulan cahaya matahari di muka bumi yang ditunjukkan dalam nilai reflektansi cahaya dengan rentang panjang gelombang mulai dari cahaya tampak hingga (visible light) hingga cahaya dekat infra merah (near infra red light). Nilai reflektansi ini akan berbeda untuk setiap objek di bumi, dengan demikian informasi ini dapat digunakan untuk mengenali objek padi sekaligus memantau pertumbuhan padi. Yaitu dengan menggunakan indeks kehijauan atau NDVI (normalized difference vegetation index) dalam kurun waktu tertentu, maka akan diperoleh kurva kosinus terbalik yang menunjukkan pola fenologi tanaman padi.
Gambar 2. Pendekatan kurva fenologi dalam mendeteksi fase tumbuh tanaman padi Gambar 2 menjelaskan kedudukan dari masing-masing fase tumbuh tanaman padi pada kurva fenologi menggunakan data citra satelit secara runtun waktu. Garis hijau, merah, dan ungu pada gambar ini masing-masing menunjukkan profil NDVI, turunan pertama dari profil NDVI, dan turunan kedua dari profil NDVI. Metode yang digunakan adalah algoritma 3
heuristik berbasis indeks spektral (SHM-5) untuk mendeteksi 5 fase tumbuh utama tanaman padi, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Untuk dapat membangun metode heuristik ini, diperlukan data citra MODIS 250 m dalam runtun waktu tertentu. Mengingat siklus tanaman padi di Indonesia adalah sekitar 120 hari, dan dengan mempertimbangkan perbedaan jadwal tanam sekitar ±20%, maka runtun waktu yang ideal untuk digunakan dalam deteksi fase tumbuh padi adalah sebanyak 1,4 kali dari masa siklus tanam, yaitu 168 hari. Dengan demikian jumlah runtun waktu data MODIS untuk komposit 8 harian yang diperlukan adalah sebanyak 21 set. Pertama-tama dihitung nilai NDVI dari citra MODIS sebanyak 21 set ini dengan menggunakan persamaan (1). (1) dimana masing-masing adalah nilai reflektansi permukaan dari pita red dan near infrared, yang terdapat di dalam citra MODIS 250m. Setelah terbentuk kurva runtun waktu NDVI, kemudian kedua kurva tersebut dihaluskan menggunakan metode penghalusan Savizki-Golay dengan polinomial pangkat 4. Kurva NDVI yang telah dihaluskan kemudian dimasukkan ke dalam algoritma SHM-5 untuk mendeteksi fase tumbuh tanaman padi. Hasil pendeteksian fase tumbuh ini disimpan ke dalam bentuk data kubik. Dalam hal ini seluruh data diolah menggunakan program IDL, dan seluruh hasil disimpan ke dalam format band sequential (BSQ), dengan demikian seluruh hasil dapat ditampilkan berdasarkan runtun waktu yang diharapkan.
Gambar 3. Algoritma SHM-5 untuk mendeteksi 5 fase tumbuh tanaman padi 4
Adapun penjelasan untuk lima fase tumbuh tanaman padi adalah sebagai berikut. a.
Fase Persiapan Lahan (plowing stage) Biasanya pada fase ini, para petani melakukan persiapan lahan dengan cara mengairi sawah, membersihkan gulma, dan meratakan permukaan tanah dengan cara membajak. Oleh karena itu, pada fase ini objek didominasi oleh air dan lumpur, dan diindikasikan dengan nilai turunan pertama dari profil EVI bernilai negatif.
b.
Fase Vegetatif (vegetative stage) Fase ini diawali dengan proses pemindahan bibit padi dari persemaian ke lahan sawah, lalu diikuti dengan pertumbuhan anakan dan pertumbuhan tunas hingga daun merimbun menutupi seluruh permukaan sawah, sehingga objek air dan tanah sudah tidak terlihat lagi, yang diindikasinya dengan nilai turunan pertama dari profil EVI bernilai positif.
c.
Fase Reproduktif (reproductive stage) Fase ini ditandai dengan aktifitas reproduksi tanaman padi, yaitu batang yang mulai mengandung malai, diikuti dengan keluarnya malai dari dalam batang hingga berbunga, yang diindikasikan dengan nilai turunan pertama dari profil EVI bernilai positif.
d.
Fase Pematangan (ripening stage) Bunga padi yang telah keluar berkembang menjadi bulir padi yang mengandung saripati beras, diikuti oleh proses pelayuan daun dan menguning, dan turunan pertama profil EVI berubah menjadi negatif. Fase ini akan berakhir ketika bulir padi sudah mulai mengeras.
e.
Fase Panen dan Pasca Panen (harvesting & post harvested stage) Fase panen akan terjadi saat bulir padi mulai matang dan mengeras, serta daun hampir menguning seluruhnya, yaitu posisi titik ini dekat dengan titik minimum turunan pertama dari profil NDVI, atau nilai NDVI yang berada antara 0.4 dan 0.5. Karena masa panen ini cukup singkat, maka kejadian ini akan jarang terekam oleh citra MODIS 500 m dengan komposit 8 harian. Oleh karena itu, fase panen digabung dengan fase pasca panen.
Hasil pendeteksian lima fase tumbuh tanaman padi menggunakan algoritma SHM-5 ini telah divalidasi terhadap data hasil pengamatan lapangan. Hasil validasi pendeteksian fase tumbuh tanaman padi terhadap data pengamatan lapangan ini dibuat ke dalam bentuk confusion matrix 5x5 (Tabel 1) dan nilai akurasi kappa mencapai 89.58%. Tabel 1. Confusion matrix untuk validasi algoritma SHM-5 Field Campaign
hm of
SHM-5
Algorit
A
B
C
D
E
1
29
3
0
1
0
2
1
25
1
0
0
5
3
0
2
26
1
0
4
0
0
1
20
1
5
0
0
0
7
5
6
Gambar 4. Deteksi fase tumbuh tanaman padi menggunakan algoritma SHM-5 untuk segmen Indramayu
7
Gambar 5. Deteksi fase tumbuh tanaman padi menggunakan algoritma SHM-5 untuk segmen Karawang
4. Algoritma untuk Mendeteksi Lahan Sawah Dari penelitian sebelumnya tentang pendeteksian lahan sawah, Son et al. (2014), Khobkhun et al. (2013), dan Gumma et al. (2011) melakukan pendeteksian lahan sawah (1 kali panen, 2 kali panen, dan 3 kali panen) dan objek non sawah dengan menggunakan fenologi NDVI secara runtun waktu selama 46 rangkaian citra MODIS (setara dengan setahun), yaitu dengan mengidentifikasi jumlah puncak kurva NDVI yang muncul dalam kurun waktu setahun tersebut dengan pola tanam yang hampir seragam. Pada sub-bab sebelumnya, telah dibahas algoritma untuk menentukan fase tumbuh tanaman padi menggunakan SHM-5. Dengan menggunakan fenologi runtun waktu tertentu, maka algoritma heuristik ini juga dapat digunakan untuk menentukan sawah. Prinsip dasar penentuan objek sawah adalah dengan memeriksa keberadaan seluruh fase berturut-turut dalam suatu fenologi runtun waktu 168 hari (8 hari x 21 set citra). Apabila dalam satu piksel dalam kurun waktu tersebut terdapat seluruh fase tumbuh (vegetatif, reproduktif, pematangan, panen, dan pengolahan lahan), maka piksel tersebut diindikasikan sebagai sawah. Sementara itu, yang membedakan sawah irigasi dan sawah tadah hujan adalah fase penggenangan air pada saat persiapan lahan yang tidak terdapat pada sawah tadah hujan. Algoritma pendeteksian sawah dapat dilihat pada Gambar 6. Secara visual dapat dijelaskan dalam Gambar 7 untuk contoh objek sawah dan Gambar 8 untuk contoh objek bukan sawah. Untuk keperluan eksperimen, digunakan 21 set citra MODIS 500 m dari tanggal 15 April 2010 sampai dengan 22 September 2010 untuk beberapa kabupaten yang mewakili sentra produksi beras di provinsi Jawa Barat. Hasil pendeteksian sawah di 10 kabupaten ini lalu divalidasi menggunakan tabel luas baku sawah tahun 2010 dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian yang telah dipaduserasikan dengan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) (Tabel 2), hasil validasi ditunjukkan pada Gambar 9, 10, dan 11.
8
Gambar 6. Algoritma pendeteksian lahan sawah irigasi (teknis dan non-teknis) dan sawah tadah hujan
Gambar 7. Contoh objek sawah yang dideteksi menggunakan algoritma SHM-5
9
Gambar 8. Contoh objek bukan sawah yang dideteksi menggunakan algoritm
Tabel 2. Luas baku sawah berdasarkan data Pusdatin Kementerian Pertanian dan BPN tahun 2010 Luas Sawah (Ha) Irigasi Non Irigasi
1
Karawang
99,625
4,592
Total luas sawah (ha) 104,217
2
Subang
84,350
7,642
91,991
3
Indramayu
113,176
5,591
118,767
4
Sumedang
16,953
13,405
30,358
5
Majalengka
36,513
14,449
50,962
6
Sukabumi
14,364
40,974
55,338
7
Tasikmalaya
13,422
30,519
43,941
8
Cirebon
53,506
766
54,272
9
Cianjur
29,535
36,698
66,233
Garut
23,316
22,527
45,843
No
10
Kabupaten
Tabel 3. Luas baku sawah hasil algoritma SHM-5 Luas Sawah (Ha) No
Kabupaten
Total luas sawah (ha)
100,600
Tadah hujan 20,275
74,825
28,525
103,350
Indramayu
10,5050
34,475
139,525
4
Sumedang
2,250
5,950
8,200
5
Majalengka
4,850
21,675
26,525
1
Karawang
2
Subang
3
Irigasi
120,875
10
6
Sukabumi
7
Tasikmalaya
8 9 10
11,050
7,850
18,900
4,725
11,325
16,050
Cirebon
31,875
12,775
44,650
Cianjur
18,525
19,650
38,175
Garut
12,500
10,225
22,725
R2 = 0.9526 RMSE = 20828.6
Gambar 9. Hasil validasi baku sawah irigasi
R2 = 0.2011 RMSE = 27114.3
Gambar 10. Hasil validasi baku sawah non irigasi
11
R2 = 0.9570 RMSE = 33001.4
Gambar 11. Hasil validasi baku sawah total Dari gambar tersebut diketahui bahwa akurasi pendeteksian sawah irigasi, sawah non irigasi, dan total sawah menggunakan algoritma SHM-5 masing-masing adalah 95.26%, 20.11%, 95.70%, dengan nilai galat masing-masing adalah 20828.6 ha, 27114.3 ha, dan 33001.4 ha. Pendeteksian sawah irigasi menggunakan algoritma ini terlihat sangat baik, akan tetapi pendeteksian sawah non-irigasi ini terlihat masih rendah akurasinya. Hal ini dapat disebabkan citra MODIS yang digunakan adalah resolusi spasial 250x250 m2 atau setara dengan 6.25 ha sawah, sedangkan kebanyakan sawah non-irigasi di pulau Jawa tidak memiliki luas seperti itu untuk setiap lokasi, sehingga citra MODIS tidak mampu mendeteksi sawah non-irigasi dengan tepat. Di sisi lain, pendeteksian untuk sawah pada umumnya dapat dilakukan dengan baik menggunakan algoritma SHM-5 ini, walaupun untuk memperoleh nilai sesungguhnya di lapangan, perlu dikalibrasi secara linier dengan persamaan berikut ini. (2) dimana dan menunjukkan prediksi luas sawah di lapangan dan deteksi luas sawah menggunakan algoritma SHM-5.
5. Kesimpulan i-Sky Innovation merupakan inovasi baru dalam melakukan prediksi maupun pemantauan pertumbuhan tanaman padi berbasis data besar penginderaan jauh, yang dipadukan dengan metode heuristik secara cepat dan akurat, dalam rangka menghadapi tantangan kompleksitas pertanian di Indonesia akibat perubahan iklim. Dengan memanfaatkan variabel spektral dari data besar inderaja tersebut, dapat dilakukan prediksi produksi panen padi di seluruh lahan persawahan Indonesia, serta sekaligus dapat mendeteksi sawah terkini. Dibanding dengan metode konvensional, metode ini sangat efektif karena tidak membutuhkan operator di lapangan, lebih cepat, tepat, handal, serta mudah digunakan pada tingkat operasional. Selain itu, informasi yang dihasilkan berupa prediksi fase tumbuh tanaman padi ini sangat bermanfaat untuk mengetahui kapan panen akan berlangsung, 12
sehingga dari informasi tersebut pemerintah dapat mengatur suatu sistem strategi antisipasi penyiapan air irigasi, bibit tanaman, pupuk, persediaan beras serta sistem penyaluranya secara nasional. Adapun keunggulan dari teknologi ini adalah sebagai berikut: a. Cepat dan akurat Pengamatan dapat dilakukan sekaligus dalam cakupan area yang sangat luas, dan hasil prediksi telah divalidasi menggunakan data lapangan. Selain itu jumlah fase tumbuh padi ini terbagi ke dalam 5 kelas, sehingga prediksi waktu panen lebih dapat dipertanggung-jawabkan. b. Handal Selama ini, kendala yang paling utama dalam pemanfaatan citra satelit adalah tutupan awan, yang dapat mengakibatkan kesalahan fatal dalam analisis. Karena inovasi ini menggunakan teknik penghalusan di dalam pembentukan kurva fenologi, maka pengaruh awan dapat diabaikan dan tetap dapat menghasilkan prediksi panen yang akurat. c. Sekaligus mendeteksi sawah terkini Dengan teknik khusus, dari informasi fase tumbuh ini dapat diperoleh informasi lahan sawah terkini. d. Konsisten Karena metode prediksi yang digunakan adalah menggunakan pendekatan profil fenologi, maka hasil prediksi untuk setiap waktu akan terjamin konsisten secara urutan fase tumbuh.
Gambar 12. i-Sky innovation i-Sky innovation ini selain dimanfaatkan untuk pertanian padi, juga dapat digunakan untuk memantau komoditas pertanian lainnya, seperti pertanian jagung, kedelai; perkebunan kayu, sawit, teh, kakao, dll. Turunan dari informasi fase tumbuh ini adalah berupa informasi 13
mengenai kebutuhan air irigasi, pupuk, dan bibit dalam waktu dekat, sehingga mampu menghadapi tantangan perubahan iklim secara cepat. Informasi lainnya adalah berupa waktu panen serta potensi produksi mendatang, serta prediksi gagal panen melalui pendeteksian fenologi tanaman padi.
Daftar Pustaka Sidik Mulyono, Aplikasi Data Penginderaan Jauh untuk Deteksi Fase Tumbuh Padi dengan Metode Heuristik dan Prediksi Panen Padi dengan Pembelajaran Mesin, Disertasi Doktor Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2015 Sidik Mulyono, M. Sadly, M. Ivan Fanany, T. Basaruddin, A New Heuristic Decision Tree and Time-invariant Detection of Paddy Growth Stages from MODIS Data, Journal of Theoritical and Applied Information Technology 2015 Sidik Mulyono, Harisno, Mahfudz Amri, M. Ivan Fanany, T. Basaruddin, Kernel-based Regularized Learning for Time-Invariant Detection of Paddy Growth Stages from MODIS Data, Asian Conference on Intelligent Information and Database Systems 2015 Business Innovation Center, Indonesia 107 Innovations, ISBN: 978 – 602 – 95290 – 6 – 7, Edisi 1 2015 N.T. Son, Chi-Farn Chen, Cheng-Ru Chen, Huynh-Ngoc Duc, Ly-Yu Chang, A PhenologyBased Classification of Time-Series MODIS Data for Rice Crop Monitoring in Mekong Delta, Vietnam, Remote Sensing Open Access 2014, 6, 135-156; doi:10.3390/rs6010135 Murali Krishna Gumma, Andrew Nelson, Prasad S. Thenkabail, and Amrendra N. Singh, Mapping rice areas of South Asia using MODIS multitemporal data, Journal of applied remote sensing 053547-1, Vol. 5, 2011 Boonyasith Khobkhun, Akara Prayote, Preesan Rakwatin, and Natasha Dejdumrong, Rice phenology monitoring using PIA time series MODIS imagery, 10th International conference computer graphics, Imaging and visualization, 2013 Arief Anshory Yusuf & Herminia Francisco, Climate Change Vulnerability Mapping for Southeast Asia, Economy and Environment Program for Southeast Asia 2009. Gerald C. Nelson, Mark W. Rosegrant, Jawoo Koo, Richard Robertson, Timothy Sulser, Tingju Zhu, Claudia Ringler, Siwa Msangi, Amanda Palazzo, Miroslav Batka, Marilia Magalhaes, Rowena Valmonte-Santos, Mandy Ewing, and David Lee, CLIMATE CHANGE Impact on Agriculture and Costs of Adaptation, International Food Policy Research Institute Washington, D.C. 2009
14