269
Aplikasi bakteri probiotik untuk peningkatan sintasan ... (Muharijadi Atmomarsono)
APLIKASI BAKTERI PROBIOTIK UNTUK PENINGKATAN SINTASAN DAN PRODUKSI UDANG WINDU DI TAMBAK Muharijadi Atmomarsono, Muliani, dan Bunga Rante Tampangallo Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129 Maros, Sulawesi Selatan 90512 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi bakteri probiotik terhadap peningkatan sintasan dan produksi udang windu di tambak dengan padat penebaran tokolan 8 ekor/m2. Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menggunakan 9 petak tambak berukuran 250 m2 dilakukan di ITP Marana, Maros. Tiga perlakuan yang dicobakan adalah A) Kombinasi BL542+BR883+MY1112+MR55+BT950 selama penelitian; B) Pergiliran probiotik BT951 bulan I, MY1112 bulan II, BL542 bulan III; C) Kontrol (tanpa probiotik). Masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Penelitian dilaksanakan selama 90 hari. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa sintasan dan produksi udang windu tertinggi dicapai pada perlakuan pergiliran probiotik B (66,35% dan 448,7 kg/ha/90 hari), diikuti perlakuan probiotik A (50,05% dan 298,7 kg/ha/90 hari). Sintasan dan produksi udang windu terendah pada perlakuan tanpa probiotik (39,8% dan 228,7 kg/ ha/90 hari). Rendahnya sintasan dan produksi udang windu pada percobaan ini disebabkan oleh menurunnya kualitas air tambak, terutama salinitas yang mencapai 56 ppt, kandungan BOT di atas 30 mg/L, dan kandungan oksigen terlarut (DO) yang seringkali di bawah 1 mg/L pada pagi hari.
KATA KUNCI:
bakteri probiotik, sintasan, produksi, udang windu
PENDAHULUAN Sejak tahun 1990-an budidaya udang windu di tambak mengalami berbagai kasus kematian udang, baik akibat lingkungan perairan yang kurang mendukung maupun adanya serangan penyakit bakterial (terutama Vibrio harveyi) maupun viral (MBV, YHV, HPV, dan WSSV). Kasus ini terjadi di Indonesia (Atmomarsono et al., 1993; Atmomarsono, 2004) maupun di negara-negara lain, seperti Thailand (Jiravanichpaisal et al., 1994; Wongteerasupaya et al., 1995; Chanratchakool & Limsuwan, 1998; Pasharawipas et al., 1998; Ruangpan et al., 1998; Sukhumsirichart et al., 1998), Taiwan (Kou et al., 1998; Lo et al., 1998; Peng et al., 2001), Filipina (Lavilla-Pitogo et al., 1990; 1992; Albaladejo et al., 1998; Loh et al., 1998), India (Karunasagar, 2003; Vaseeharan et al., 2003), Australia (Spann et al., 1995), Jepang (Itami et al., 1998; Kono et al., 2004). Jenis bakteri vibrio penyebab penyakit “luminescent vibriosis” menurut Lightner et al. (1992) dikenal dengan nama bakteri kunang-kunang, yaitu bakteri yang bercahaya pada kondisi gelap (tanpa cahaya). Sumber bakteri Vibrio spp. dalam tambak dapat berasal dari air laut, benur yang digunakan ataupun sedimen tambak itu sendiri. Boer et al. (1993) melaporkan bahwa induk yang berasal dari laut positif membawa bakteri bercahaya, sehingga dapat menular pada benur (larva) dan akhirnya terbawa masuk ke dalam tambak. Hasil pemantauan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau didapatkan bahwa di Sulawesi Selatan ditemukan 25 spesies bakteri Vibrio spp. pada tambak pembesaran udang windu yang diisolasi dari air, sedimen, dan organisme perairan (Nurhidayah et al., 2000). Selain karena serangan bakteri vibrio (V. harveyi), penyebab utama lain kematian udang di tambak adalah karena serangan virus WSSV (White Spot Syndrome Virus) yang menimbulkan penyakit bintik putih pada karapaks. Metode pencegahan dan penanggulangan penyakit pada udang windu dengan menggunakan obat-obatan dan antibiotik telah banyak dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri (Karunasagar et al., 1994; Chanratchakool et al., 1995). Meskipun metode ini cukup efektif, namun sangat tidak dianjurkan karena adanya bahaya residu obat-obatan dan antibiotik pada organisme budidaya dan bahkan beberapa jenis antibiotik yang sering digunakan dalam penanggulangan penyakit udang windu sudah dilarang oleh pemerintah. Pencegahan penyakit udang windu melalui pengelolaan limbah budidaya udang menggunakan tandon dan biofilter juga telah dirintis beberapa tahun lalu dan sampai sekarang masih terus dikembangkan untuk lebih menyempurnakan metode yang telah
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
270
ada (Atmomarsono et al., 1995; Chanratchakool et al., 1995; Muliani et al., 1998; Gunarto et al., 2003). Namun demikian hasilnya belum sesuai yang diharapkan dan berbagai kasus penyakit di tambak masih terus terjadi. Salah satu alternatif dalam upaya penanggulangan penyakit pada komoditas perikanan adalah pemanfaatan bakteri probiotik yang bersifat non patogen dan memiliki kemampuan menghambat dan membunuh bakteri patogen, serta menghambat komunikasi antar sel-sel bakteri sehingga tidak terjadi korum sensing yang dapat menyebabkan timbulnya sifat patogen (Suwanto, 2003), dapat berfungsi sebagai bakteri pengurai dan penetralisir kualitas air, serta memungkinkan sebagai makanan di dalam perairan. Sumber-sumber bakterisida dan bakteri probiotik yang telah diteliti antara lain air dan sedimen laut, karang, air, dan sedimen tambak, serta daun mangrove (Tjahyadi et al., 1994; Rosa et al., 1997; Haryanti et al., 2000; Muliani et al., 2003; 2004). Pada budidaya udang windu dan vaname secara intesif mutlak memerlukan bakteri probiotik untuk mempertahankan agar kualitas airnya tetap bagus. Menurut Poernomo (2004), ada beberapa alasan penggunaan probiotik di antaranya adalah untuk membersihkan dasar tambak dari timbunan kotoran udang, sisa pakan, serta bangkai udang, klekap, dan plankton dalam budidaya udang intensif (padat tebar 20–40 PL/m2 untuk udang windu atau 80–100 PL/m2 untuk udang vaname). Meskipun kotoran ini dibersihkan setiap hari, namun tetap saja banyak tertimbun di dasar tambak. Hal ini akan menyebabkan terjadinya pembusukan terutama dalam kondisi anaerob sehingga akan menghasilkan gas beracun seperti H 2S, NH 3, dan NO 2. Jika hal ini terjadi, gas beracun tersebut selain dapat menyebabkan udang mudah stres dan terserang penyakit viral dan bakterial, juga pada konsentrasi yang tinggi dapat meracuni secara langsung udang yang dipelihara. Banyaknya produk probiotik di pasaran seringkali menimbulkan permasalahan tersendiri, karena pada umumnya pembudidaya kurang memahami dengan jelas cara penggunaanya. Komposisi jenis, waktu aplikasi, serta dosis yang tepat seringkali tidak dicantumkan dengan jelas, sehingga pembudidaya menggunakannya secara tidak tepat. Menurut Wang et al. (1999), bahwa fungsi paling penting penggunaan probiotik adalah mempertahankan kestabilan kualitas air tambak dengan menurunkan kandungan bahan organik, amoniak, gas hidrogen sufida, dan gas-gas beracun lainnya. Selain itu, probiotik juga mencegah terjadinya blooming alga sehingga dapat menjaga kestabilan nilai pH dalam tambak, menurunkan kadar BOD, dan menjaga ketersediaan oksigen bagi pertumbuhan udang. Suatu fungsi yang cukup penting yang sebaiknya dimiliki oleh probiotik yang digunakan adalah dapat menekan perkembangan patogen dalam tambak seperti Vibrio harveyi dan virus. Menurut Poernomo (2004), bahwa probiotik yang diaplikasikan ke dalam tambak harus mampu hidup di dalam tambak, mampu tumbuh dan berkembang biak, serta dapat berfungsi/bekerja aktif pada bidang masing-masing sesuai yang diharapkan. Beberapa keuntungan dalam penggunaan bakteri probiotik untuk pencegahan penyakit udang antara lain: 1) Lebih aman daripada berbagai bahan kimia; 2) Tidak terakumulasi dalam rantai makanan; 3) Adanya proses reproduksi yang dapat mengurangi pemakaian berulang; 4) Organisme sasaran jarang yang menjadi resisten terhadap agen probiotik dibandingkan dengan resistensinya terhadap bahan kimia atau antibiotik; 5) Dapat dipakai secara bersama-sama dengan cara proteksi yang telah ada. Pemanfaatan bakteri probiotik asal tambak yang dikombinasikan dengan bakteri asal laut dan mangrove, diharapkan dapat lebih efektif dalam mengatasi persoalan penyakit yang timbul pada budidaya udang. Hasil penelitian tahun 2006 menunjukkan, bahwa kombinasi lima isolat bakteri probiotik (1 dari laut + 2 dari mangrove + 2 dari tambak) dari 8 isolat yang diuji (BL542, BR883, BR931, MY1112, MR55, PR1080, BT950, dan BT951) mampu meningkatkan sintasan dan produksi udang windu di tambak. Hasil penelitian tahun 2008 (Atmomarsono et al ., 2008) menunjukkan, aplikasi lima jenis bakteri secara sekaligus ataupun pergiliran dapat meningkatkan sintasan dan produksi udang windu di tambak. Informasi komposisi jenis bakteri probiotik yang tepat masih diperlukan dalam rangka memperbaiki kualitas air tambak, sehingga organisme patogen tidak berkembang dan sintasan udang windu maupun produksinya dapat meningkat. METODOLOGI Penelitian ini dilakukan di instalasi tambak percobaan Marana, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP), Maros dengan menggunakan 9 petak tambak beton berukuran 250 m2 yang diaerasi
271
Aplikasi bakteri probiotik untuk peningkatan sintasan ... (Muharijadi Atmomarsono)
dengan blower super charge. Penelitian ini dilakukan pada musim kemarau selama tiga bulan (Agustus– November 2009). Penelitian di set dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan, yaitu A) Kombinasi bakteri probiotik A (BL542 + BR883 + MY1112 + MR55 + BT950); B) Pergiliran bakteri probiotik BT951 pada bulan I, MY1112 bulan II, BL542 bulan III; dan (C) Kontrol (tanpa pemberian probiotik). Hewan uji yang digunakan berupa tokolan udang windu PL–42 yang sebelumnya telah diuji dengan PCR (tidak terinfeksi WSSV) sebanyak 8 ekor/m2. Pemberian bakteri probiotik dilakukan setiap minggu yang dimulai satu minggu sejak penebaran tokolan udang windu hingga panen (sekitar tiga bulan). Bakteri probiotik tersebut sebelumnya difermentasi selama 4–5 hari dengan campuran biakan murni bakteri probiotik dalam Nutrient Broth (100 mL), tepung ikan 200 g, dedak halus 500 g, yeast 50 g, dan molase 250 g (sekitar 187,5 mL), serta air tambak 10 L (yang telah dimasak dan didinginkan kembali). Campuran fermentasi probiotik ini digunakan untuk tiga petak tambak yang masing-masing memiliki volume air sekitar 200 m3. Selama pemeliharaan di tambak, udang diberi pakan komersial dengan jumlah pakan 50% total biomassa/hari pada awal penebaran dan menurun hingga 2% pada minggu terakhir. Pengamatan total bakteri (TPC), total vibrio (TBV), kualitas air (pH, salinitas, oksigen terlarut, alkalinitas total, bahan organik total, nitrit, nitrat, dan amoniak) dilakukan setiap dua minggu sekali. Pemantauan kemungkinan serangan WSSV dilakukan secara morfologis maupun dengan menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction). Jumlah total bakteri (total plate count) dalam air media pemeliharaan udang diamati dan dihitung tiap dua minggu dengan cara menumbuhkan pada cawan petri berisi media tryptic soy agar (TSA). Sedangkan jumlah Vibrio spp. (TBV) dalam air media pemeliharaan diamati dan dihitung tiap dua minggu dengan menggunakan cawan petri berisi thiosulphate citrate bile salt sucrose agar (TCBSA). Pengamatan pH, salinitas, dan kandungan oksigen terlarut (DO) langsung di lapangan. Pengamatan DO selama 24 jam dilakukan dua kali selama periode penelitian untuk mengetahui kondisi kritis mutu air pada waktu tertentu (terutama sekitar jam 5–7 pagi). Pengukuran alkalinitas total dan BOT dilakukan di laboratorium dengan metode titrasi, sedangkan pengukuran mutu air lainnya (amoniak, nitrit, dan nitrat) dengan menggunakan spektrofotometer. Perubahan mutu air akibat perlakuan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan grafik dan tabel. Sintasan dan produksi udang windu pada akhir penelitian (minggu XIII) dianalisis ragamnya setelah dilakukan transformasi data, dan diuji lanjut dengan uji wilayah ganda Duncan pada P<0,10 untuk mengetahui perlakuan komposisi probiotik yang terbaik (Steel & Torrie, 1981). HASIL DAN BAHASAN Kualitas Air Bahan Organik Total (BOT) Kandungan BOT pada semua perlakuan adalah relatif tinggi (di atas 30 mg/L). Penggunaan bakteri probiotik (perlakuan A dan B) nampaknya kurang mampu mencegah peningkatan bahan organik dalam air tambak. Hal ini diduga karena salinitas air tambak yang terus meningkat hingga di atas 50 ppt, di mana pada salinitas tinggi pakan yang diberikan kepada udang cenderung hanya digunakan untuk pemeliharaan badan saja, sehingga udang kurang bisa tumbuh dan terjadi peningkatan bahan organik dalam air (hingga 49 mg/L pada minggu ke-12) (Tabel 1). Secara keseluruhan kandungan bahan organik total (BOT) dalam air tambak penelitian jauh lebih tinggi daripada yang disarankan Madeali et al. (2009), yaitu sebaiknya tidak boleh melebihi 20 mg/L. Kandungan BOT yang melebihi 20 mg/L selain dapat memicu perkembangbiakan bakteri Vibrio spp. juga memungkinkan virus (terutama WSSV) untuk menyerang udang yang lemah akibat berbagai stressor. Kandungan amoniak (NH3) Pada dasarnya yang terukur pada saat penetapan kandungan amoniak dalam air adalah total ammonium nitrogen (TAN), sedangkan nilai kandungan amoniak dihitung berdasarkan pH, suhu, dan salinitas air (Boyd, 1990). Kandungan amoniak pada aplikasi probiotik A dan B (Tabel 2) pada dua minggu pertama cukup tinggi (0,02–0,03 mg/L), diduga karena probiotik yang baru diaplikasikan
272
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
belum berfungsi dengan baik. Namun pada sampling berikutnya terus mengalami penurunan hingga akhir penelitian. Sedangkan pada kontrol (tanpa aplikasi probiotik) kandungan amoniak yang telah menurun hingga minggu ke–8 mengalami peningkatan kembali pada minggu ke–10 (0,0105 mg/L). Secara umum kandungan amoniak (NH3) dalam air tambak selama penelitian masih pada kondisi yang cukup layak untuk kehidupan udang windu yang dibudidayakan. Tabel 1 Kandungan BOT (mg/L) air tambak selama penelitian aplikasi probiotik di tambak Marana, Maros dengan padar penebaran tokolan udang windu 8 ekor/m2 TRT
1
2
3
4
5
6
7
A B C
35,40 34,81 33,17
35,39 33,17 35,16
31,88 34,99 35,38
36,03 33,05 34,34
35,23 32,78 39,20
37,51 38,49 34,80
46,58 49,94 46,21
Keterangan: A = Kombinasi bakteri probiotik (BL542+BR883+MY1112+MR55+BT950) B = Pergiliran bakteri probiotik (BT951 bulan I, MY1112 bulan II, BL542 bulan III) C = Kontrol (tanpa bakteri probiotik)
Tabel 2. Kandungan amoniak (NH3) (mg/L) air tambak selama penelitian aplikasi probotik ditambak Marana, Maros dengan padat penebaran 8 ekor/m2 TRT
1
2
3
4
5
6
7
A B C
0,0263 0,0302 0,0240
0,0299 0,0103 0,0086
0,0008 0,0007 0,0010
0,0010 0,0011 0,0008
0,0137 0,0072 0,0026
0,0016 0,0018 0,0105
0,0017 0,0015 0,0015
Keterangan: A = Kombinasi bakteri probiotik (BL542+BR883+MY1112+MR55+BT950) B = Pergiliran bakteri probiotik (BT951 bulan I, MY1112 bulan II, BL542 bulan III) C = Kontrol (tanpa bakteri probiotik)
Kandungan nitrit (NO2) Tabel 3 menunjukkan bahwa secara umum kandungan nitrit pada semua perlakuan masih relatif stabil (hanya sedikit mengalami peningkatan). Kandungan nitrit selama penelitian (0,0007–0,3605 mg/L) masih cukup layak untuk kehidupan udang windu. Relatif tingginya kandungan nitrit pada minggu kedua (sampling kedua) di petak tambak perlakuan kombinasi bakteri probiotik A (0,3605 mg/L) menunjukkan, bahwa bakteri probiotik tersebut belum bekerja dengan sempurna. Namun pada sampling berikutnya minggu keempat telah terjadi penurunan kandungan nitrit hingga 0,0215 mg/L pada perlakuan tersebut. Sebaliknya terjadi pada aplikasi probiotik B (sistem pergiliran), di mana pada minggu keempat justru mengalami peningkatan hingga 0,1269 mg/L, namun terus menurun kembali hingga akhir penelitian (0,0007 mg/L). Kandungan nitrit pada kontrol pada akhir Tabel 3. Kandungan nitrit (NO2) (mg/L) air tambak selama penelitian aplikasi probiotik di tambak Marana, Maros dengan padat penebaran 8 ekor/m2 TRT
1
2
3
4
5
6
7
A B C
0,0153 0,0485 0,0432
0,3605 0,0074 0,0708
0,0215 0,1269 0,0376
0,0677 0,0256 0,0202
0,0511 0,0265 0,0481
0,0735 0,0190 0,0252
0,0248 0,0007 0,0077
Keterangan: A = Kombinasi bakteri probiotik (BL542+BR883+MY1112+MR55+BT950) B = Pergiliran bakteri probiotik (BT951 bulan I, MY1112 bulan II, BL542 bulan III) C = Kontrol (tanpa bakteri probiotik)
273
Aplikasi bakteri probiotik untuk peningkatan sintasan ... (Muharijadi Atmomarsono)
penelitian (0,0077 mg/L) lebih tinggi daripada perlakuan pergiliran bakteri probiotik (BT951 bulan I, MY1112 bulan II, dan BL542 bulan III). Hal ini menunjukkan, bahwa aplikasi bakteri probiotik mampu mengendalikan peningkatan kandungan nitrit dalam air tambak, sehingga mutu air tambak menjadi lebih baik bagi kehidupan udang yang dibudidayakan. Kandungan nitrat (NO3) Pada Tabel 4 terlihat bahwa konsentrasi nitrat mengalami fluktuasi dan cenderung mengalami peningkatan. Kandungan nitrat pada awal penelitian berkisar antara 0,057–0,063 mg/L pada awal penelitian mengalami peningkatan menjadi antara 0,83–1,10 mg/L pada akhir penelitian (Tabel 4). Kandungan nitrat dalam air tambak pada akhir penelitian yang cenderung lebih tinggi pada perlakuan dengan probiotik (A dan B), yaitu masing-masing 1,10 dan 0,90 mg/L dibandingkan pada kontrol (0,83 mg/L) menunjukkan, bahwa bakteri probiotik yang diaplikasikan telah berfungsi dengan baik untuk membantu proses perombakan nitrit menjadi nitrat apabila kandungan oksigen terlarut (DO) cukup tersedia. Kandungan oksigen terlarut pada perlakuan probiotik A berkisar antara 1,3–5,7 mg/ L, sedangkan pada perlakuan pergiliran probiotik B berkisar antara 1,7–5,9 mg/L. Kandungan nitrat yang berlebih pada akhirnya akan dimanfaatkan untuk pertumbuhan nabati perairan (fitoplankton dan alga lainnya). Tabel 4. Kandungan nitrat (NO3) (mg/L) air tambak selama penelitian aplikasi probiotik di tambak Marana, Maros dengan padat penebaran 8 ekor/m2 TRT
1
2
3
4
5
6
7
A B C
0,0574 0,0636 0,0622
0,2942 0,0392 0,0776
0,0149 0,0098 0,0441
0,0925 0,0792 0,1022
0,1416 0,1448 0,0969
0,0209 0,0183 0,0203
11,000 0,9000 0,8333
Keterangan: A = Kombinasi bakteri probiotik (BL542+BR883+MY1112+MR55+BT950) B = Pergiliran bakteri probiotik (BT951 bulan I, MY1112 bulan II, BL542 bulan III) C = Kontrol (tanpa bakteri probiotik)
Suhu air, pH, salinitas, alkalinitas total, dan oksigen terlarut Tabel 5 memperlihatkan kisaran parameter kualitas air (suhu, pH, salinitas, alkalinitas total, dan kandungan oksigen terlarut) selama penelitian pengujian aplikasi bakteri probiotik di tambak udang Tabel 5. Nilai kisaran suhu air, pH, kandungan oksigen terlarut (DO), salinitas, dan alkalinitas total air pada masing-masing petak tambak penelitian aplikasi bakteri probiotik di tambak Marana, Maros dengan padat penebaran 8 ekor/m2 (Agustus–November 2009) TRT
Suhu air (°C)
pH air
DO (mg/L)
Salinitas (ppt)
Alkalinitas total (mg CaCO3 eq./L)
A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3
29,2–31,1 29,3–31,1 29,0–31,6 29,3–31,2 29,3–31,2 29,0–30,9 29,2–31,0 29,1–31,2 29,4–31,1
7,7–8,3 7,5–8,7 7,5–8,3 7,8–8,5 7,5–8,5 7,9–8,5 7,3–8,5 7,7–8,5 7,5–8,2
1,3–5,7 1,7–5,0 1,7–5,3 1,7–5,9 1,7–4,8 2,4–5,5 1,6–5,4 2,3–5,5 0,5–5,7
41–47 36–50 40–45 42–47 41–50 43–51 41–53 41–56 40–45
86,2–155,0 90,2–176,4 86,1–155,5 94,1–143,5 105,8–142,5 78,4 -155,0 94,1–155,0 86,2–129,6 99,4–133,9
Keterangan: A = Kombinasi bakteri probiotik (BL542+BR883+MY1112+MR55+BT950) B = Pergiliran bakteri probiotik (BT951 bulan I, MY1112 bulan II, BL542 bulan III) C = Kontrol (tanpa bakteri probiotik)
274
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
windu dengan padat penebaran 8 ekor/m2. Secara keseluruhan, kisaran suhu air pada semua petakan tambak (29,0°C–31,6°C) masih berada pada kisaran yang layak untuk kehidupan udang windu di daerah tropis. Kisaran pH air pada semua petakan tambak (7,3–8,7) juga masih aman untuk kehidupan udang. pH air yang relatif stabil ini didukung oleh tingginya alkalinitas total air tambak yang lebih sering di atas 80 mg CaCO3 equivalent/L. Nilai alkalinitas total ini masih cukup layak sesuai yang direkomendasikan oleh Atmomarsono (2004). Salah satu petakan tambak (B3) pernah sekali mengalami penurunan alkalinitas total hingga 78,4 mg/L. Hal ini dapat membahayakan udang, karena penurunan alkalinitas hingga jauh di bawah 100 mg/L pada musim panas dapat mempengaruhi terjadinya goncangan pH air yang pada akhirnya dapat menyebabkan udang mudah stres. Pada Tabel 5 juga terlihat, bahwa salinitas air tambak secara keseluruhan kurang layak untuk kehidupan udang windu, yaitu hampir pada semua petakan tambak mencapai di atas 40 ppt, bahkan pada petak tambak C2 mencapai 56 ppt. Salinitas air yang tinggi dan diikuti oleh suhu air yang relatif hangat dapat menyebabkan kebutuhan oksigen bagi udang meningkat untuk keperluan pernafasan, katabolisme, maupun untuk osmoregulasinya. Hal ini dapat menyebabkan udang malas makan, atau kalaupun makan, maka pelet yang dimakannya hanya untuk keperluan pemeliharaan badan saja, sedangkan sebagian besar menjadi timbunan limbah organik di dasar tambak. Oleh karena itu, wajar bila kandungan bahan organik terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu (Tabel 1). Peningkatan limbah organik tersebut pada dasarnya juga dapat menyebabkan turunnya kandungan oksigen terlarut secara lebih cepat untuk proses perombakannya. Oleh karena itu, wajar apabila kandungan oksigen terlarut (DO) sekitar jam 06.00 WITA kadang mencapai 0,5 mg/L pada petak tambak C3 dan pada semua petakan tambak juga kurang layak untuk kehidupan udang windu (< 3 mg/L). Mengingat bahwa kandungan oksigen terlarut merupakan faktor kunci keberhasilan suatu budidaya udang, maka hal inilah yang menjadi pertimbangan utama kenapa udang windu terpaksa harus dipanen pada umur 90 hari walaupun ukurannya masih relatif kecil (bobot rataratanya masih < 10 g/ekor). Populasi Bakteri Total bakteri dalam air dan sedimen tambak Total bakteri (TPC) dalam air pemeliharaan udang windu selama penelitian disajikan pada Tabel 6. Pada Tabel 6 terlihat bahwa total bakteri dalam air dari awal hingga akhir penelitian mengalami fluktuasi cukup tinggi, yaitu 105–109 CFU/mL. Pada akhir penelitian, kandungan bakteri total pada kontrol (2,2x107 CFU/mL) lebih tinggi daripada kandungan bakteri total pada perlakuan kombinasi probiotik A (2,4x106 CFU/mL) dan terendah pada perlakuan pergiliran bakteri probiotik B (1,5x106 CFU/mL). Kandungan bakteri total (TPC) dalam sedimen selama penelitian relatif stabil (107–1010 CFU/g) (Tabel 7). Hal ini wajar saja mengingat bakteri dalam sedimen memang tidak mengalami goncangan berarti, sehingga relatif stabil secara jumlah totalnya, walaupun secara komposisi mungkin saja mengalami perubahan jenis yang dominan. Pada akhir penelitian, jumlah total bakteri (TPC) pada sedimen pada petak tambak yang tidak diberi probiotik (kontrol) lebih rendah (5,6x107 CFU/g) daripada Tabel 6. Total plate count bakteri (TPC) dalam air tambak pada aplikasi probiotik di tambak udang windu tambak Marana, Maros dengan padat penebaran 8 ekor/m2 (log CFU/mL) TRT
1
2
3
4
5
6
7
A B C
6,699 9,523 9,525
9,531 9,531 9,693
6,108 7,224 7,983
8,179 6,573 7,287
5,000 6,125 6,437
8,836 8,111 6,213
6,374 6,186 7,350
Keterangan: A = Kombinasi bakteri probiotik (BL542+BR883+MY1112+MR55+BT950) B = Pergiliran bakteri probiotik (BT951 bulan I, MY1112 bulan II, BL542 bulan III) C = Kontrol (tanpa bakteri probiotik)
275
Aplikasi bakteri probiotik untuk peningkatan sintasan ... (Muharijadi Atmomarsono) Tabel 7. Total plate count bakteri (TPC) pada sedimen tambak pada aplikasi probiotik di tambak udang windu Marana, Maros dengan padat penebaran 8 ekor/m2 (log CFU/g) TRT
1
2
3
4
5
6
7
A B C
8,355 9,713 9,234
10,825 10,669 10,540
7,494 7,708 9,553
6,847 8,525 8,526
8,316 7,355 7,368
10,386 8,963 9,826
9,523 9,524 7,746
Keterangan: A = Kombinasi bakteri probiotik (BL542+BR883+MY1112+MR55+BT950) B = Pergiliran bakteri probiotik (BT951 bulan I, MY1112 bulan II, BL542 bulan III) C = Kontrol (tanpa bakteri probiotik)
jumlahnya pada dua perlakuan aplikasi probiotik (3,3x109 CFU/g).). Hal ini menunjukkan terjadinya perubahan jumlah dan komposisi bakteri dalam petak tambak yang diberi perlakuan probiotik. Dengan demikian aplikasi bakteri probiotik mampu menstabilkan kualitas air tambak melalui perbaikan komposisi jenis bakteri yang ada. Total Vibrio spp. pada air dan sedimen tambak Total Vibrio spp. (TBV) dalam air pemeliharaan udang windu selama penelitian ditunjukkan pada Tabel 8. Pada Tabel 8 terlihat bahwa kandungan total Vibrio spp. dalam air tambak pada semua perlakuan masih cukup aman untuk udang windu (101–103 CFU/mL). Atmomarsono et al. (1993) melaporkan bahwa kandungan Vibrio spp. yang dianggap membahayakan dalam air tambak apabila telah melebihi 103 CFU/mL. Data total Vibrio spp. dalam sedimen tambak selama penelitian disajikan pada Tabel 9. Pada Tabel 9 terlihat bahwa total Vibrio spp. (TBV) dalam sedimen tambak mengalami sedikit fluktuasi antara 102–105 CFU/g. Kandungan TBV ini walaupun cukup tinggi, namun masih cukup aman untuk udang windu, karena kurangnya Vibrio spp. yang berpendar dalam sampel sedimen yang diperiksa. Kandungan Tabel 8. Total bakteri vibrio (TBV) dalam air tambak pada aplikasi probiotik di tambak udang windu Marana, Maros dengan padat penebaran 8 ekor/m2 (log CFU/mL) TRT
1
2
3
4
5
6
7
A B C
2,611 2,560 2,446
2,326 1,921 2,365
2,758 2,680 2,546
2,546 3,336 2,796
2,279 2,542 2,582
3,122 3,056 2,58
2,712 2,664 2,686
Keterangan: A = Kombinasi bakteri probiotik (BL542+BR883+MY1112+MR55+BT950) B = Pergiliran bakteri probiotik (BT951 bulan I, MY1112 bulan II, BL542 bulan III) C = Kontrol (tanpa bakteri probiotik)
Tabel 9. Total bakteri vibrio (TBV) pada sedimen tambak pada aplikasi probiotik di tambak udang windu Marana, Maros dengan padat penebaran 8 ekor/m2 (log CFU/g). TRT
1
2
3
4
5
6
7
A B C
4,656 5,069 4,395
3,457 2,783 3,047
4,083 3,705 4,441
4,138 3,507 4,179
3,899 4,474 3,944
4,571 4,565 4,37
3,044 3,425 3,433
Keterangan: A = Kombinasi bakteri probiotik (BL542+BR883+MY1112+MR55+BT950) B = Pergiliran bakteri probiotik (BT951 bulan I, MY1112 bulan II, BL542 bulan III) C = Kontrol (tanpa bakteri probiotik)
276
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
TBV yang cenderung meningkat pada sedimen tambak kontrol menunjukkan kurangnya bakteri lain yang mampu menekan perkembangbiakan bakteri Vibrio spp. Secara umum rasio TBV/TPC pada sedimen tambak kontrol mengalami peningkatan yang lebih tinggi daripada rasio TBV/TPC pada petak tambak dengan aplikasi probiotik. Hal ini menunjukkan, bahwa peluang terjadinya kasus penyakit udang di tambak kontrol (tanpa probiotik) lebih tinggi daripada di tambak dengan aplikasi probiotik A atau B. Keragaman bakteri yang lebih variatif jenisnya merupakan indikator bahwa perairan tersebut masih tergolong bagus, sedangkan adanya dominasi bakteri tertentu (terutama jumlah bakteri Vibrio harveyi) yang meningkat menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan mutu air, sehingga udang lebih rentan terhadap serangan patogen tertentu. Sintasan dan Produksi Udang Windu Tabel 10 memperlihatkan sintasan dan produksi udang windu pada akhir penelitian aplikasi probiotik. Pada tabel tersebut terlihat, bahwa rata-rata sintasan dan produksi udang windu tertinggi pada perlakuan pergiliran bakteri probiotik B (66,35% dan 448,7 kg/ha/90 hari), diikuti oleh perlakuan kombinasi bakteri probiotik A (50,05% dan 298,7 kg/ha/90 hari), serta terendah pada kontrol C (39,8% dan 228,7 kg/ha/90 hari). Hasil ini menunjukkan, bahwa aplikasi kombinasi bakteri probiotik A (BL542+BR883+MY1112+MR55+BT950) mampu meningkatkan sintasan 26% dan produksi 31% lebih tinggi dibandingkan pada kontrolnya. Sedangkan aplikasi pergiliran bakteri probiotik B (BT951 pada bulan I, MY1112 bulan II, BL542 bulan III) terbukti mampu meningkatkan sintasan 67% dan produksi 96% lebih tinggi dibandingkan pada kontrolnya. Secara keseluruhan sintasan dan produksi udang windu pada penelitian ini masih relatif rendah bila dibandingkan hasil penelitian sebelumnya (Atmomarsono, 2008) (Tabel 10). Hal ini dimungkinkan karena salinitas air yang kurang layak (hingga 56 ppt) dan kandungan oksigen terlarut (DO) yang seringkali di bawah 3 mg/L (Tabel 5). Selain itu, juga disebabkan oleh waktu pemeliharaan yang hanya 90 hari saja, mengingat kurang layaknya kualitas air pada musim kemarau, termasuk alkalinitas total yang kadang turun hingga di bawah standar yang layak untuk kehidupan udang windu (80 mg CaCO3 eq./L pada musim penghujan atau 100 mg CaCO3 eq./L pada musim kemarau) seperti dilaporkan Atmomarsono (2008). Tabel 10.Sintasan dan produksi udang windu pada aplikasi probiotik di tambak Marana, Maros dengan padat penebaran tokolan udang 8 ekor/m2 (Agustus–November 2009) TRT (Perlakuan)
Sintasan (%)
Produksi (kg/ha/90 hari)
Bobot rataan (g)
A1 A2 A3 A B1 B2 B3 B C1 C2 C3 C
57,60 50,45 42,10 50,05 70,10 78,85 50,10 66,35 44,65 39,50 35,25 39,80
294,0 312,0 290,0 298,7 450,0 596,0 300,0 448,7 258,0 160,0 268,0 228,7
6,38 7,73 8,61 7,57 8,02 9,45 7,49 8,32 7,22 5,06 9,50 7,26
Probiotik dibandingkan kontrol (%) Sintasan
Produksi
126
131
167
196
100
100
Keterangan: A = Kombinasi bakteri probiotik (BL542+BR883+MY1112+MR55+BT950) B = Pergiliran bakteri probiotik (BT951 bulan I, MY1112 bulan II, BL542 bulan III) C = Kontrol (tanpa bakteri probiotik)
277
Aplikasi bakteri probiotik untuk peningkatan sintasan ... (Muharijadi Atmomarsono)
KESIMPULAN 1. Sintasan dan produksi tertinggi dicapai oleh perlakuan pergiliran probiotik B (66,35% dan 448,7 kg/ha/90 hari), sedangkan sintasan dan produksi terendah pada kontrol (39,8% dan 228,7 kg/ha/90 hari). 2. Aplikasi pergiliran probiotik B (BT951 pada bulan I, MY1112 bulan II, BL542 bulan III) mampu meningkatkan sintasan 67% dan produksi 96% lebih tinggi dibandingkan pada kontrolnya. 3. Aplikasi kombinasi bakteri probiotik A (BL542+BR883+MY1112+MR55+BT950) mampu meningkatkan sintasan 26% dan produksi 31% lebih tinggi dibandingkan pada kontrolnya. 4. Relatif lebih rendahnya sintasan dan produksi udang windu pada penelitian ini diduga karena kualitas air yang kurang mendukung (salinitas hingga 56 ppt, DO seringkali < 1 mg/L, alkalinitas total kadang < 80 mg CaCO3 eq./L, BOT > 30 mg/L), dan masa pemeliharaan yang lebih singkat (90 hari). DAFTAR ACUAN Albaladejo, J.D., Tapay, L.M., Migo, V.P., Alfafara, C.G., Somga, J.R., Mayo, S.L., Miranda, R.C., Natividal, K., Magbanua, F.O., Itami, T., Matsumura, M., Nadala, E.C.B., & Loh, P.C. 1998. Screening for shrimp viruses in the Philippines. p. 252-253. In Flegel, T.W. (Ed.). Advances in shrimp biotechnology. National Center for Genetic Engineering and Biotechnology, Bangkok. Atmomarsono, M. 2004. Pengelolaan kesehatan udang windu Penaeus monodon di tambak. Aquacultura Indonesiana, 5(2): 73–78. Atmomarsono, M. 2008. Aplikasi bakteri probiotik dalam budidaya udang di tambak. p. 441–446. Dalam Permadi, A., Sipahutar, Y.H., Saifurridjal, Basith, A., Sugriwa, E., Siregar, A.N., Thaib, E.A., Purwanto, Sanofa, V. (Eds). Prosiding Seminar Nasional Perikanan 2008. Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Atmomarsono, M., Muliani, & Ismawati, S. 1995. Prospek penggunaan tandon pada Budidaya udang windu. Makalah disajikan pada “Aplikasi Paket Teknologi di Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian (IPPTP) Wonocolo, Surabaya 2-4 Juli 1995, 10 hlm. Chanratchakool, P., & Limsuwan, C. 1998. Application of PCR and Formalin treatment to prevent White Spot Disease in Shrimp. p. 287–289. In Flegel, T.W. (Ed.). Advances in shrimp biotechnology. National Center for Genetic Engineering and Biotechnology, Bangkok. Devaraja, T.N., Otta, S.K., Shubha, G., Karunasagar, I., Tauro, P., Karunasagar, I. 1998. Immunostimulation of shrimp through oral administration of Vibrio bacteria and yeast glucan. In Flegel, T.W. (Ed). Advances in shrimp biotechnology. Bangkok. National Center for Genetic Engineering and Biotechnology, hlm. 167–170. Gunarto, Muslimin, & Muliani. 2004. Kualitas air (NO3-N, PO4-P, NH4-N, BOT) dan total Vibrio sp. dalam budidaya udang windu sistem resirkulasi. hlm. 156–164. Dalam Irianto, A., Sukardi, P., Budhi, T.P., Sukanto, Rokhmani, Santoso, S. Prosiding Pengendalian Penyakit Pada Ikan dan Udang Berbasis Imunisasi dan Biosecurity. Seminar Nasional penyakit Ikan dan Udang IV. Purwokerto, 18–19 Mei 2004. Indonesia. Haryanti, Sugama, K., Tsumura, S., & Nishijima, T. 2000. Vibriostatic bacterium isolated from seawater: Potentiality as probiotic agent in the rearing of Penaeus monodon larvae. Ind. Fish. Res. J. 6: 26– 32. Jiravanichpaisal, P., Miyazaki, T., Limsuwan, C. 1994. Histopathology, biochemistry, and pathogenicity of Vibrio harveyi infecting black tiger prawn Penaeus monodon. J. Aqua. Anim. Health, 6: 27–35. Lavilla-Pitogo, C.R., Baticados, L.L., Cruz Lacierda E.R., & de la Pena, L.D. 1990. Occurence of luminous bacterial diseases of Penaeus monodon larvae in the Philippines. Aquaculture, 91: 1–13. Lavilla-Pitogo, C.R., Albright, L.J., Paner, M.G., & Sunaz, N.A. 1992. Studies on the source of luminescent Vibrio harveyi in Peneaus monodon hatcheries. p. 157–164. In Shariff, I.N., Subasinghe, R.P., & Arthur, R.J. (Eds.), Diseases in Asia Aquaculture. Fish Health Section Asian Fisheries Society, Manila. Philippines. Lightner, D.V., Bell, T.A., Redman, R.M., Mohley, L.L., Atividad, J.M., Rukyani, A., & Poernomo. 1992. A
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
278
review of some major diseases of economic significance in Penaeid prawns/shrimps of the Americas and Indopacific. p. 57–80. In Shariff, M., Subasinghe, R.P., & Arthur, J.R. (Eds), Diseases in Asian Aquaculture I. Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila, Philippines. Madeali, M.I., Atmomarsono, M., Muliani, & Tompo, A. 2009. Pengaruh konsentrasi bahan organik total (BOT) terhadap patogenesitas bakteri Vibrio alginolyticus pada udang windu. 6 hlm. Dalam Djumanto, Dwiyitno, Chasanah, E., Heruwati, E.S., Irianto, H.E., Saksono, H., Yusuf, I.B.L., Basmal, J., Murniyati, Murwantoko, Probosunu, N., Rosmawaty, P., Rustadi, & Ustadi (Eds). Prosiding Seminar Nasional Tahunan VI. Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2009. Jilid II Bioteknologi Perikanan. UGM, Yogyakarta. Muliani, Atmomarsono, M., & Madeali, M.I. 1998. Pengaruh penggunaan kekerangan sebagai biofilter terhadap kelimpahan dan komposisi jenis bakteri pada budidaya udang windu (Penaeus monodon) dengan sistem resirkulasi air. J. Pen. Perik. Indonesia, 3: 54–61. Muliani, Suwanto, A., & Hala, Y. 2003. Isolasi dan karakterisasi bakteri asal laut Sulawesi untuk biokontrol penyakit vibriosis pada larva udang windu (Penaeus monodon Fab.). Hayati, 10: 6–11. Muliani, Nurbaya, Atmomarsono, M., & Tompo, A. 2004 Eksplorasi Bakteri tambak dari Tanaman Mangrove Sebagai Bakteri Probiotik Pada Budidaya Udang Windu Penaeus monodon. Laporan hasil Penelitian. Balai Riset perikanan Budidaya Air Payau, 18 hlm. Nurhidayah, Atmomarsono, M., & Madeali, M.I. 1999. Penyebaran Bakteri Vibrio di Pertambakan Udang Windu Sulawesi Selatan. hlm. 214–219. Dalam Suparno, Widodo, J., Sudradjat, A., Poernomo, A., Heruwati, E.S., & Sumantadinata, K. (Eds). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan 1999/2000. Sukamandi, 21–22 September 2000. Pasharawipas, T., Sriurairatana, S., Direkbusarakom, S., Donayadol, Y., Thaikua, S., Ruangpan, L., & Flegel, T.W. 1998. Luminous Vibrio harveyi associated with tea brown gill syndrome in black tiger shrimp. In Flegel, T.W. (Ed). Advances in shrimp biotechnology. BIOTEC. The National Center for Genetic Engineering and Biotechnology, Thailand, p. 213–216. Rosa, D., Zafran, Taufik, I., & Girsang, M.A. 1997. Pengendalian Vibrio harveyi secara biologis pada larva udang windu (Penaeus monodon): I. Isolasi Bakteri Penghambat. J. Pen. Perik. Indonesia, 3: 1– 10. Ruangpan, L. 1998. Luminous bacteria associated with shrimp mortality. p. 205–211. In Flegel, T.W. (Ed). Advances in shrimp biotechnology. National Center for Genetic Engineering and Biotechnology, Bangkok. Steel, R.G.D. & Torrie, J.H. 1981. Principles and Procedures of statistics. Abiometrical Approach (2nd edition). International Student Edition. McGraw-Hill International Book Company, 633 pp. Suwanto, A., Yogiara, Suryanto, D., Tan, I., & Puspitasari, E. 2000. Selected protocols. Training Course on Advances in Molecular Biology Techniques to Assess Microbial Diversity. Bogor, 28 pp. Tjahjadi, M.R., Angka, S.L., & Suwanto, A. 1994. Isolation and evaluation of marine bacteria for biocontrol of luminous bacterial diseases in tiger shrimp larvae (Penaeus monodon Fab.). Aspac. J. Mol. Biol. Biotechnol., 2: 347–352. Vaseeharan, B., Jayakumar, R., & Ramasamy, P. 2003 PCR-base detection of white spot syndrome virus in cultured and captured crustaceans in India. Lett Appl Microbiol., 37: 443–447. Wongteerasupaya, C., Sriurairatana, S., Vickers, J.E., Akrajamorn, A., Boonsaeng, V., Panyim, S., Tassanakajon, A., Withyachumnarnkul, B., & Flegel, T.W. 1995. Yellow-head virus of Penaeus Yuhana, M. 1999. Analisis profil DNA genom sejumlah isolat Vibrio berpendar asal perairan laut dan tambak udang di Indonesia. Tesis Program Pascasarjana, Insitut Pertanian Bogor.