One… - Deshi –
Angin yang semilir, bergerak dalam diam, malu-malu menelusup masuk melalui jendela kamar yang memang di biarkan terbuka oleh sang pemilik. Jam dinding yang bertengger indah di sisi sebelah kiri dinding kamar, yang menjadi saksi atas setiap kejadian yang terjadi di kamar ini, menujukkan pukul 8 pagi. Aku menggeliat malas, kurentangkan kedua tanganku ke atas dan tanpa sengaja menyentuh wajahnya. Aku tertegun. Kupandangi wajah itu, wajah yang sudah menghiasi harihariku
6
bulan
terakhir
ini.
Aku
susuri
kesempurnaan yang ada padanya dengan kedua mataku. Wajahnya yang putih, mulus, tanpa
bekas apapun, hidungnya yang mancung berdiri dengan bentuk yang ramping. Matanya, dan bibirnya yang tipis, berwarna pink muda alami, aku
selalu
se-terpukau
ini
setiap
kali
memandangnya. Ya Tuhan, apa kau menciptakan makhluk setampan ini hanya untuk menggodaku? Menggoda setiap kaum hawa yang ada di muka bumi? Jika memang benar itu tujuannya, maka aku yakin, aku telah tergoda. Sepenuhnya tergoda dan jatuh ke kubangan dosa. Rutukku. “Apa kamu sudah puas memandangiku, nona?” aku tertegun, aku tidak tahu kalau memandangi seseorang secara instens seperti ini bisa membuatnya terbangun. Sedikit menyesal karena membangunkannya, aku berbisik “Maaf” di telinganya, dan mulai bangun dari tempat tidur. "Apa begitu sulit untuk memulai hidup dengan seorang fotografer?" tanyanya saat aku
mulai
mengenakan
kemeja
putihnya
yang
kebesaran di tubuhku. Aku hanya tersenyum mendengarnya. " Jika begitu sulit, kamu bisa pergi dariku. Dan
aku
akan
tetap
disini,
menunggumu
menerima lamaran pernikahanku", lanjutnya menatap kosong ke langit-langit apartemennya yang berwarna putih bersih tanpa debu ataupun tumpukan sarang laba-laba di sudutnya, aku kadang bertanya, bagaimana bisa apartemen L selalu bersih saat dia begitu sibuk dan tidak pernah sempat membersihkannya, tapi dia selalu menjawabnya
dengan
senyuman,
sampai
akhirnya aku tahu sendiri kalau setiap hari, ada seorang bibi tua yang datang ke apartemennya untuk membersihkan, melakukan laundry dan untuk masak meskipun lebih sering makanan itu tertinggal basi di atas meja karena si pemilik jarang berada di rumah.
"L, aku sudah mengatakannya padamu, aku belum siap, hubungan ini terlalu absurd buatku, yah...aku rasa ini belum cukup kuat untuk menjadi landasan membangun sebuah rumah tangga. Bagaimana pun, masih sangat ambigu buat aku menerima kalau akhirnya kamu yang akan jadi suamiku. Seorang pria yang lebih muda dariku…" kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku. Aku menggigit bibir bawahku, menyesal dengan apa yang baru saja aku katakan pada L. Aku tak bergeming dari posisiku, aku masih membelakanginya. Ini untuk kesekian kalinya dia membahas masalah ini, setelah kupikir-pikir sebenarnya lucu sekali, pertama kali aku dilamar dalam hidupku oleh seseorang yang lebih muda setahun dariku, setelah kami…yup, menghabiskan malam bersama. "Ambigu katamu? Hah...setelah berkalikali menghabiskan malam denganku, kamu masih
belum bisa menerimaku menjadi suamimu? Dan memangnya kenapa dengan umur? Di jaman seperti sekarang ini, orang-orang tidak lagi melihat umur seseorang untuk menikahi orang itu. Yang paling penting adalah kemapanan dan kesiapannya untuk membangun sebuah rumah tangga. Apa sejauh ini menurutmu aku belum siap? Aku kurang mapan? Aku mungkin tidak bisa di bandingkan dengan konglomerat di negeri ini, tapi aku bisa memberikanmu apapun yang kamu minta. Mobil, rumah, emas, liburan ke luar negeri…" dia mendesah, L adalah seseorang yang biasanya tidak banyak bicara, dalam hubungan ini, aku adalah pihak yang cerewet dan L adalah pihak yang selalu menerima apapun yang dikatakan oleh pihak yang cerewet, tapi setiap kali membahas mengenai pernikahan, selalu terjadi situasi sebaliknya, dia menjadi pihak cerewet dengan semangatnya yang menggebu-
gebu dan aku menjadi pihak si pendiam, tapi bukan berarti aku akan menerima apapun yang dikatakannya
soal
pernikahan,
tidak
akan
semudah itu! Jadi, aku hanya bisa diam mendengarkannya terus berceloteh mengenai pernikahan. Bukannya aku tak menghiraukannya atau tak mencintainya, aku hanya ragu. Keraguan biasa yang akan dialami oleh setiap wanita terhadap orang yang akan menjadi teman hidupnya, dan aku rasa, hal itu adalah hal yang wajar. Lagi pula, hubungan kami ini masih seumur jagung. 6 bulan! Dan dia sudah memikirkan mengenai pernikahan? Aku menarik nafas, menyiapkan kata-kata apa lagi yang harus aku gunakan untuk menolaknya kali ini. Yah, menolaknya.
Tidak seperti wanita lain yang menjalani sebuah hubungan untuk kemudian mengakhirinya dengan sesuatu yang di sebut pernikahan, aku hanya menjalani hubungan ini apa adanya, membiarkannya mengalir seperti air. Tanpa berharap ada banyak riak yang tercipta di tengah perjalanannya menuju hilir. “Apa tidak bisa kamu melepaskan aku kali ini?” tanyaku hati-hati mengingat L sangat sensitive
dengan
pembahasan
mengenai
pernikahan. Aku tidak punya kata-kata istimewa untuk di ucapkan kali ini.