Anotasi Hukum
Dugaan Tindak Pidana Penodaan Agama oleh Basuki Tjahaja Purnama
Oleh:
AKPI (Asosiasi Kebhinnekaan dan Perdamaian Indonesia)
ASOSIASI KEBHINNEKAAN DAN PERDAMAIAN INDONESIA 2016
Sekretariat: Jl. Teluk Etna IX/Kav.158 No.12 Malang – Indonesia 65126 Telp. 0341-4351937, Email:
[email protected]
1. Referensi objek anotasi Rekaman audio-video dari URL: https://www.youtube.com/watch?v=dkeOkOmd6_Y, terakhir diakses pada tanggal 10 Nopember 2016. Durasi 47 menit, 14 detik (selanjutnya disebut Video) 2. Posisi Kasus a. Kontekstualitas Kasus 1) Acara
: Dialog antara Basuki Tjahaja Purnama (selanjutnya disebut BTP) sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan warga Kabupaten Kepulauan Seribu dalam rangkaian kegiatan sosialisasi Program Kerjasama Pemprov DKI Jakarta dengan Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta (STP Jakarta) terkait pemberdayaan nelayan melalui budidaya ikan laut dengan skema investasi.1
2) Waktu
: Selasa, 27 September 20162
3) Venue
: Pulau Pramuka, Kabupaten Kepulauan Seribu3
4) Para pihak : BTP dan Pejabat Pemprov DKI, Bupati dan Pejabat Kabupaten Kepulauan Seribu, Warga Nelayan Kabupaten Kepulauan Seribu4 5) Tema
: Pemberdayaan ekonomi nelayan Kabupaten Kepulauan Seribu melalui budidaya ikan laut dengan skema investasi.5
b. Isu hukum 1) Apakah dalam kegiatan yang dilakukan oleh BTP sebagai Gubernur DKI Jakarta a quo terdapat peristiwa hukum yang diduga di dalamnya terdapat perbuatan penistaan atau penodaan agama? 2) Bagaimana aplikabilitas Pasal 156a KUHP jo. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dalam kasus a quo? 3. Pembahasan a. Dugaan adanya perbuatan penistaan terhadap agama Islam khususnya Al-Quran oleh BTP dalam kasus a quo didasarkan pada argumentasi yang pada pokoknya atau setidak-tidaknya sebagai berikut:
1
http://megapolitan.kompas.com/read/2016/10/18/12405661/bisnis.ahok.di.kepulauan.seribu http://megapolitan.kompas.com/read/2016/10/18/12405661/bisnis.ahok.di.kepulauan.seribu 3 http://megapolitan.kompas.com/read/2016/09/27/11203491/di.kepulauan.seribu.ahok.kembali.sampaikan.ke.wa rga.jangan.pilih.saya. 2
4
https://www.youtube.com/watch?v=dkeOkOmd6_Y
5
http://megapolitan.kompas.com/read/2016/09/27/11203491/di.kepulauan.seribu.ahok.kembali.sampaikan.ke.wa rga.jangan.pilih.saya. 1
Sekretariat: Jl. Teluk Etna IX/Kav.158 No.12 Malang – Indonesia 65126 Telp. 0341-4351937, Email:
[email protected]
1)
Bahwa kutipan pernyataan BTP dalam kasus a quo yaitu: “...jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saja, yakan. Dibohongin pakai surat al Maidah 51, macem-macem itu. Itu hak bapak ibu jadi bapak ibu persaan naggak bisa pilih nih karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya...” dianggap sebagai pernyataan yang menempatkan kandungan surah al-Maidah ayat 51 yang berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin adalah sebuah kebohongan, dan karenanya hukumnya haram dan termasuk penodaan terhadap Al-Quran. Selain itu, menyatakan bohong terhadap ulama yang menyampaikan dalil surah al-Maidah 51 tentang larangan menjadikan nonmuslim sebagai pemimpin adalah penghinaan terhadap ulama dan umat Islam.6
2)
Bahwa surah al-Maidah 51 secara jelas melarang seluruh umat Muslim untuk memilih pemimpin dari golongan orang-orang kafir sehingga pernyataan BPT yang menyebutkan bahwa “Di Bohongi oleh Surat Al-Maidah ayat 51” merupakan sebuah tindakan interfensi BTP terhadap ayat Al-Quran dan tafsirannya karena jelas-jelas BPT bukan seorang Muslim. Sehingga perbuatan intervensi tersebut dinilai telah menistakan ajaran-ajaran pokok agama Islam yang terkandung dalam Al-Quran.7
b. Bahwa untuk menjawab tentang ada atau tidaknya tindakan BTP yang diduga telah menista Agama Islam sebagai suatu perbuatan pidana maka perlu sejak awal dilakukan identifikasi tentang ada atu tidaknya peristiwa hukumnya untuk dipisahkan juga dari peristiwa nonhukumnya (peristiwa sosial). Jika memang ditemukan peristiwa hukumnya maka selanjutnya perlu dilakukan kategorisasi berdasarkan karakter dan jenis peristiwa hukumnya, apakah termasuk dalam ranah hukum pidana, hukum administrasi, atau hukum perdata. Hal ini diperlukan untuk menentukan konsekuensi atau akibat hukumnya dari suatu peristiwa hukum yang telah teridentifikasi. c. Bahwa yang dimaksud dengan peristiwa hukum menurut R. Soeroso (2006) adalah peristiwa-peristiwa yang mempunyai karakter sebagai berikut: 1) Suatu rechtsfeit atau suatu kejadian hukum; 2) Suatu kejadian biasa dalam kehidupan sehari-hari yang akibatnya diatur oleh hukum; 6
Pendapat dan Sikap Keagamaan Majelis Ulama Indonesia, 11 Oktober 2016 Legal Opinion Kantor Konsultasi dan Bantuan Hukum Pengurus Pusat Persatuan Islam (KKBH PP Persis) atas Pidato Ahok di Kepulauan Seribu September 2016, 10 Oktober 2016. Sumber: http://persis.or.id/legal-opinion-kkbh-pp-persis-atas-pidato-ahok-di-kepulauan-seribu-maret-2016/ 7
2
Sekretariat: Jl. Teluk Etna IX/Kav.158 No.12 Malang – Indonesia 65126 Telp. 0341-4351937, Email:
[email protected]
3) Suatu perbuatan dan tingkah laku subjek hukum yang membawa akibat hukum, karena hukum mempunyai kekuatan mengikat bagi subyek hukum atau karena subyek hukum itu terikat oleh kekuatan hukum; 4) Suatu peristiwa di dalam masyarakat yang akibatnya diatur oleh hukum. Tidak semua peristiwa mempunyai akibat hukum, jadi tidak semua peristiwa adalah peristiwa hukum. Sudikno Mertokusumo (2005) secara sistematis memberikan pengertian tentang peristiwa hukum sebagai berikut: 1) Pada hakikatnya adalah kejadian, keadaan, atau perbuatan orang atau subjek hukum yang oleh hukum dihubungkan dengan akibat hukum; 2) Peristiwa hukum berupa kejadian adalah suatu peristiwa yang terjadi bukan karena perbuatan manusia melainkan kejadian alamiah yang menimbulkan akibat hukum seperti kelahiran yang menimbulkan hubungan hukum antara anak dan orang tua. Demikian juga dengan peristiwa kematian yang merupakan kejadian alamiah yang memutus hubungan hukum si meninggal dan di sisi lain menimbulkan hak waris bagi ahli warisnya. 3) Peristiwa hukum berupa keadaan adalah peristiwa yang juga terjadi bukan karena perbuatan manusia melainkan semata-mata karena keadaan yang berjalan begitu saja secara alamiah seperti bertambahnya umur atau usia sehingga pada waktu tertentu memberikan hak hukum berupa kedewasaan secara hukum bagi seseorang. Hal serupa juga terjadi pada peristiwa lampaunya waktu atau daluarsa yang menimbulkan akibat hukum baik berupa hak (acquisitief) maupun pembebasan dari suatu perikatan (extinctief). 4) Peristiwa hukum berupa perbuatan subjek hukum dapat dibagi lagi menjadi peristiwa hukum yang terjadi karena perbuatan hukum dan yang terjadi karena perbuatan subjek hukum lainnya. Perbuatan hukum sendiri diartikan sebagai perbuatan subjek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki oleh subjek hukum. Unsur-unsur perbuatan hukum terdiri dari kehendak dan pernyataan kehendak yang sengaja ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum. 5) Peristiwa hukum yang terjadi karena perbuatan subjek hukum lainnya menekankan adanya peran hukum untuk timbulnya suatu akibat hukum yang terlepas dari kehendak subjek hukum. Perbuatan subjek hukum lainnya ini tidak ada kehendak dan pernyataan kehendak untuk menimbulkan akibat hukum. Dengan kata lain, akibat hukum yang timbul sama sekali tidak tergantung pada kehendak si pelaku.
3
Sekretariat: Jl. Teluk Etna IX/Kav.158 No.12 Malang – Indonesia 65126 Telp. 0341-4351937, Email:
[email protected]
d. Bahwa dalam kasus a quo menyangkut analisis peristiwa hukum maka yang dimaksud dengan subjek hukum selayaknya adalah BTP yang merupakan pejabat negara yaitu Gubernur DKI yang sedang melakukan kegiatan dialog dengan warga Kabupaten Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. Aktifitas BTP a quo sebagai pejabat tata usaha negara tentu pertama kali perlu dilihat dari perspektif hukum administrasi yaitu apakah dalam kegiatan tersebut telah terjadi suatu peristiwa hukum atau tidak. e. Bahwa berdasarkan video, BTP dalam kegiatan tersebut secara hukum administrasi belum melakukan perbuatan hukum (rechtshandelingen) baik yang berdimensi privat maupun publik. BTP secara hukum administratif hanya melakukan sebatas kegiatan dialog sosialisasi program budidaya ikan laut melalui skema investasi tanpa membuat suatu perjanjian keperdataan terkait rencana kerjasama keperdataan tersebut (privaatrechtelijke handeling). Dengan demikian secara hukum administrasi dalam kasus a quo belum muncul suatu akibat hukum karena apa yang dilakukan oleh BTP merupakan perbuatan administrasi yang menurut E. Urtrect (1960) digolongkan sebagai bukan perbuatan hukum (feitelijke handelingen). f. Bahwa yang menjadi masalah kemudian adalah adanya dugaan perbuatan pidana seperti yang dijelaskan dalam poin (3.a) yang dilakukan oleh BTP melalui ujaran atau tindak tutur dalam proses diskusi sebagaimana ada dalam video pada Menit 18’.33” – 20’.20” yaitu “... Jadi bapak ibu gak usah khawatir, ini kan pemilihan dimajuin, jadi kalo saya tidak terpilihpun bapak-ibu, saya berhentinya oktober 2017, jadi kalau program ini kita jalankan dengan baikpun, bapak ibu masih sempat panen sama saya sekalipun saya tidak terpilih jadi gubernur. Ya saya ingin cerita ini supaya bapak ibu semangat, jadi ga usah pikiran, aaah nanti kalo ga kepilih pasti ahok programnya bubar, enggak saya sampai oktober 2017, jadi jangan percaya sama orang kan bisa aja hati kecil bapak ibu gak bisa pilih saya, dibohongi pakai surat al Maidah 51 macam-macam itu (hahaha- penonton tertawa). Itu hak bapak ibu ya. Jadi kalau bapak ibu perasaan gak bisa pilih ni karena saya takut masuk neraka,dibodohin gitu ya, gakpapa karena itu panggilan pribadi bapak ibu, program ini jalan saja, jadi bapak ibu ga usah merasa gak enak, dalam nuraninya gak bisa pilih Ahok, gak suka ama ahok, tapi programnya gw kalo terima, gw ga enak dong ama dia utang budi, jangan kalo bapa ibu punya perasaan gak enak nanti mati pelan-pelan kena stroke. Anggap, bukan anggap, ini semua hak bapak ibu sebagai warga DKI, kebetulan saya Gubernur mempunyai program ini, jadi tidak ada hubungannya dengan perasaan Bapak/Ibu mau pilih siapa. Ya, saya kira itu. Kalo yang benci sama saya jangan emosi terus dicolok. Waktu 4
Sekretariat: Jl. Teluk Etna IX/Kav.158 No.12 Malang – Indonesia 65126 Telp. 0341-4351937, Email:
[email protected]
pemilihan terus colok foto saya, wah jadi kepilih lagi saya (hahaha). Kalau benci sama saya coloknya berkali-kali, kalo sekali fatal kepilih, silahkan kalau ada pertanyaan...” g. Bahwa perbuatan pidana yang menjadi dugaan telah dilakukan oleh BTP adalah penodaan atau penistaan terhadap Al-Quran dan penghinaan terhadap ulama sebagaimana menjadi objek pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (selanjutnya disebut PNPS 1/65) jo. Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). h. Bahwa penilaian terhadap aplikabilitas PNPS 1/65 jo. Pasal 156a KUHP terhadap Kasus a quo perlu mendapat pengujian terlebih dahulu secara mendasar dari prinsip hukum pidana tentang perbuatan pidana. Secara prinsip, Moeljatno (2008) menjelaskan perbuatan pidana sebagai berikut: 1) Bahwa perbuatan pidana (criminal act) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dengan disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Larangan pidana tersebut ditujukan kepada perbuatan yaitu yang berupa suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan seseorang, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Eratnya keterkaitan antara larangan pidana dan ancaman pidana berimplikasi pada tidak bisa dipisahkannya keterkaitan antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian tersebut. 2) Perbuatan pidana mempunyai unsur atau elemen sebagai berikut: (a). Perbuatan, yaitu akibat dari suatu kelakuan yang dilarang oleh hukum terdiri dari kelakuan dan akibat; (b). Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, yaitu hal ikhwal mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan hal ikhwal mengenai di luar diri si pelaku. (c). Keadaan tambahan yang memberatkan pidana atau unsur-unsur yang memberatkan pidana; (d). Unsur melawan hukum yang objektif; dan (e). Unsur melawan hukum yang subjektif. i. Bahwa yang menjadi persoalan adalah adanya dugaan penistaan atau penodaan agama oleh BTP dalam kasus a quo maka ketentuan hukum yang relevan adalah Pasal 156a KUHP yang mempunyai rumusan aturan sebagai berikut:
5
Sekretariat: Jl. Teluk Etna IX/Kav.158 No.12 Malang – Indonesia 65126 Telp. 0341-4351937, Email:
[email protected]
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari rumusan di atas maka dapat dirumuskan delik alternatif sebagai berikut: 1) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan yang pada pokoknya bersifat permusuhan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; 2) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; 3) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan yang pada pokoknya bersifat penyalahgunaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; 4) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat penyalahgunaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; 5) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan yang pada pokoknya bersifat penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; 6) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; 7) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa; 8) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum melakukan perbuatan dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
6
Sekretariat: Jl. Teluk Etna IX/Kav.158 No.12 Malang – Indonesia 65126 Telp. 0341-4351937, Email:
[email protected]
j. Bahwa dari rumusan delik pada poin (i) di atas maka dapat ditentukan unsur-unsur delik atau perbuatan pidananya sebagai berikut: 1) Barang siapa dengan sengaja di muka umum; 2) Mengeluarkan perasaan: a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, atau b) yang pada pokoknya bersifat penyalahgunaan, atau c) yang pada pokoknya bersifat penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, atau d) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa; atau 3) Melakukan perbuatan: a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, atau b) yang pada pokoknya bersifat penyalahgunaan, atau c) yang pada pokoknya bersifat penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, atau d) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa; maka 4) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun. k. Bahwa terhadap kasus a quo kemudian dapat dilakukan penilaian akan derajat pemenuhan unsur-unsur delik pidana berdasarkan Pasal 156a KUHP sebagai berikut: 1) Barang siapa dengan sengaja di muka umum; Bahwa BTP merupakan subjek hukum yang mempunyai kecakapan secara hukum yang dalam kasus a quo senyatanya berdialog dengan masyarakat Kabupaten Kepulauan Seribu secara sadar dan terbuka dengan dapat dilihat dan didengar oleh khalayak ramai. Dengan demikian unsur ”barang siapa dengan sengaja di muka umum” sudah terpenuhi. 2) Mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; Tindak laku BTP sebagai subjek hukum dalam kasus a quo adalah berupa pemberian ujaran-ujaran secara lisan pada pendengar yaitu masyarakat dan para pihak terkait dalam forum dialog. Ujaran-ujaran lisan BTP tersebut sebagaimana terekam dalam video merupakan manifestasi dari tindak mengeluarkan perasaaan atau lebih tepatnya pikiranpikirannya dan bukan merupakan perbuatan fisik yang menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu yang berakibat pada terbentuknya atau berubahnya secara fisik suatu objek tertentu. Materi ujaran BTP mulai pada menit pertama sampai terakhir secara umum membahas tentang kebijakan Pemprov DKI Jakarta terkait kerjasamanya dengan STP Jakarta untuk memberdayakan
nelayan
di
Kabupaten
Kepulauan
Seribu
melalui
program
pemberdayaan ikan laut dengan skema investasi. Tidak ada satu pun ditemukan ujaran
7
Sekretariat: Jl. Teluk Etna IX/Kav.158 No.12 Malang – Indonesia 65126 Telp. 0341-4351937, Email:
[email protected]
BTP selama dialog yang secara eksplisit maupun implisit yang bersifat permusuhan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, khususnya Islam. Permusuhan yang mempunyai kata dasar musuh dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: mu·suh n 1 lawan (berkelahi, bertengkar, berperang, berjudi, bertanding, dsb); seteru: walaupun tubuhnya kecil, ia dapat mengalahkan -- nya yg tinggi besar; dahulu -- , sekarang menjadi kawan; 2 bandingan, imbangan, tandingan: barang ini tidak ada -- nya; 3 sesuatu yg mengancam (kesehatan, keselamatan); yg merusakkan: penyakit itu merupakan -- rakyat di daerah ini; hama wereng merupakan – tanaman padi; -- bebuyutan musuh lama; musuh turun-temurun; -- dl selimut ki musuh di kalangan sendiri; -- masah berbagai-bagai musuh;ber·mu·suh v 1 musuh-memusuhi; berlawanan (berlaku spt musuh dng musuh): kedua pihak selalu -; mendamaikan kedua suku yg -; 2 saling memusuhi; ber·mu·suh·an v bermusuh; me·mu·suhi v bermusuh kpd; menjadi musuh; melawan (menentang dsb); membenci: masih ada negara yg - kita; per·mu·suh·an n perihal bermusuhan; perseteruan.8 Demikian juga dengan ujaran BTP dalam kasus a quo di antara menit 18’.33” – 20’.20” dalam video yaitu “... Jadi bapak ibu gak usah khawatir, ini kan pemilihan dimajuin, jadi kalo saya tidak terpilih pun Bapak/Ibu, saya berhentinya oktober 2017, jadi kalau program ini kita jalankan dengan baikpun, bapak ibu masih sempat panen sama saya sekalipun saya tidak terpilih jadi gubernur. Ya saya ingin cerita ini supaya bapak ibu semangat, jadi ga usah pikiran, aaah nanti kalo ga kepilih pasti ahok programnya bubar, enggak saya sampai oktober 2017, jadi jangan percaya sama orang kan bisa aja hati kecil bapak ibu gak bisa pilih saya, dibohongi pakai surat al Maidah 51 macam-macam itu (hahaha- masyarakat peserta diskusi tertawa). Itu hak bapak ibu ya. Jadi kalau bapak ibu perasaan gak bisa pilih ni karena saya takut masuk neraka,dibodohin gitu ya, gakpapa karena itu panggilan pribadi bapak ibu, program ini jalan saja, jadi bapak ibu ga usah merasa gak enak, dalam nuraninya gak bisa pilih Ahok, gak suka ama ahok, tapi programnya gua kalo terima, gua ga enak dong ama dia utang budi, jangan kalo bapa ibu punya perasaan gak enak nanti mati pelan-pelan kena stroke. Anggap, bukan anggap, ini semua hak Bapak/Ibu sebagai warga DKI, kebetulan saya Gubernur mempunyai program ini, jadi tidak ada hubungannya dengan perasaan Bapak/Ibu mau pilih siapa. Ya, saya kira itu. Kalo yang benci sama saya jangan emosi terus dicolok.
8
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php 8
Sekretariat: Jl. Teluk Etna IX/Kav.158 No.12 Malang – Indonesia 65126 Telp. 0341-4351937, Email:
[email protected]
Waktu pemilihan terus colok foto saya, wah jadi kepilih lagi saya (hahaha). Kalau benci sama saya coloknya berkali-kali, kalo sekali
fatal kepilih, silahkan kalau ada
pertanyaan...” secara substantif juga tidak terkandung sifat permusuhan terhadap agama Islam. Untuk memperjelas makna dari ujaran di atas maka dapat dilakukan parafrasis sebagai berikut: “BTP meminta pada nelayan peserta dialog untuk tidak mengkhawatirkan keberlanjutan dari program pemberdayaan ikan laut dengan skema investasi karena faktor pemilihan gubernur di Jakarta pada tahun 2017 yang memungkinkan BTP tidak menjabat lagi sebagai Gubernur DKI Jakarta. Apa pun hasil Pemilukada maka BTP masih tetap dapat bersentuhan dengan program ini hingga masa jabatan gubernurnya berakhir yaitu pada Oktober 2017. BTP menyatakan adanya kemungkinan bahwa para peserta diskusi dalam menggunakan hak pilihnya pada Pemilukada DKI Jakarta 2017 tidak memilih dia yang disebabkan karena suara hatinya telah dipengaruhi melalui pembohongan yang menggunakan Surat al-Maidah ayat 51 yang disertai dengan pembodohan yang menggunakan ancaman sanksi masuk neraka. BTP juga menekankan kebebasan bagi para peserta diskusi untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pemilukada DKI Jakarta tanpa terpengaruh perasaan hutang budi padanya atas program budidaya ikan laut melalui skema investasi. Bahkan BTP menekankan perlunya konsistensi secara teknis pencoblosan di bilik suara bagi para peserta diskusi jika memang tidak akan memilih dia dalam Pemilukada DKI Jakarta”. Jelas bahwa dalam ujaran-ujaran BTP di atas tidak ada seruan-seruan baik secara eksplisit maupun implisit yang dapat dikategorikan sebagai usaha untuk mengajak orang lain atau mengekspresikan pikiran-pikiran BTP sendiri yang pada pokoknya bersifat permusuhan terhadap agama Islam. 3) Mengeluarkan
perasaan
atau
perbuatan
yang
pada
pokoknya
bersifat
penyalahgunaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; Unsur delik berupa penyalahgunaan terhadap suatu agama dalam kasus a quo mempunyai aspek kritis pada pemaknaan penyalahgunaan agama. Penyalahgunaan agama yang dikualifikasi dalam Pasal 156a tidak dijelaskan secara rinci pengertiannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penyalahgunaan yang berasal dari kata salah guna yang diartikan sebagai: sa·lah gu·na, me·nya·lah·gu·na·kan v melakukan sesuatu tidak sebagaimana mestinya; menyelewengkan: orang yg suka mementingkan 9
Sekretariat: Jl. Teluk Etna IX/Kav.158 No.12 Malang – Indonesia 65126 Telp. 0341-4351937, Email:
[email protected]
kepentingan
pribadinya
cenderung
untuk
-
kekuasaan
yg
dimilikinya;
pe·nya·lah·gu·na·an n proses, cara, perbuatan menyalahgunakan; penyelewengan: kekayaan yg diperolehnya adalah hasil – jabatannya. Jadi elemen penting dari penyalahgunaan adalah adanya penggunaan sesuatu yang disalahgunakan tidak sesuai dengan peruntukan awalnya. Ujaran BTP dalam kasus a quo yang menyinggung, bukan mengutip, Surat Almaidah ayat 51 yaitu“...Ya saya ingin cerita ini supaya bapak ibu semangat, jadi ga usah pikiran, aaah nanti kalo ga kepilih pasti ahok programnya bubar, enggak saya sampai oktober 2017, jadi jangan percaya sama orang kan bisa aja hati kecil bapak ibu gak bisa pilih saya, dibohongi pakai surat al Maidah 51 macam-macam itu (hahaha- masyarakat peserta diskusi tertawa). Itu hak bapak ibu ya. Jadi kalau bapak ibu perasaan gak bisa pilih ni karena saya takut masuk neraka,dibodohin gitu ya, gakpapa karena itu panggilan pribadi bapak ibu, program ini jalan saja,...”. Dalam konteks ujaran tersebut jelas bahwa BTP tidak menggunakan Surat al-Maidah ayat 51 seperti mengutipnya dengan cara membaca kutipan ayatnya, menerjemahkannya, dan menafsirkannya sesuai dengan kehendaknya. BTP hanya mengasumsikan bahwa ada posibilitas orang lain yang menggunakan Surat al-Maidah ayat 51 untuk membohongi dan membodohi masyarakat, dan BTP tidak memberikan bukti-bukti atau keterangan lebih lanjut kepada masyarakat tentang ujaran asumtifnya tersebut. Namun demikian, BTP dalam ujaran tersebut memang menyebutkan Surat al-Maidah ayat 51 untuk mendukung anggapannya bahwa dalam proses Pemilukada DKI Djakarta 2017 dimungkinkan adanya orang yang menggunakan Surat al-Maidah ayat 51 sebagai sarana atau alat politik untuk tidak memilih dia sebagai gubernur karena agamanya yang bukan Islam. Apakah tindakan BTP ini sebagai bentuk penyalahgunaan agama khususnya Al-Quran yang memenuhi kriteria unsur delik penyalahgunaan agama dalam Pasal 156a KUHP? Hal ini dikembalikan lagi tentunya pada pengertian penggunaan AlQuran itu sendiri dan apakah memang BTP memenuhi kualifikasi perbuatan penggunaan itu sendiri. Menggunakan sendiri menurut dalam KBBI diartikan sebagai: “meng·gu·na·kan v memakai (alat, perkakas); mengambil manfaatnya; melakukan sesuatu dng: tidak boleh ~ kekerasan;. Dalam konteks kegiatan yang dilakukan oleh BTP dalam kasus a
quo tujuan utama dari dialog tersebut adalah terkait sosialisasi program pemberdayaan ikan laut melalui skema investasi bagi nelayan Kabupaten Kepulauan Seribu. Secara umum, tentu penggunaan ujaran “...jadi jangan percaya sama orang kan bisa aja hati 10
Sekretariat: Jl. Teluk Etna IX/Kav.158 No.12 Malang – Indonesia 65126 Telp. 0341-4351937, Email:
[email protected]
kecil bapak ibu gak bisa pilih saya, dibohongi pakai surat al Maidah 51 macam-macam itu (hahaha- masyarakat peserta diskusi tertawa). Itu hak bapak ibu ya. Jadi kalau bapak ibu perasaan gak bisa pilih ni karena saya takut masuk neraka,dibodohin gitu ya,...“ adalah untuk tujuan sosialisasi tersebut. Khusus untuk ujaran tersebut nampak jelas digunakan dengan cara menyebut oleh BTP sebagai bagian dari sarana untuk meyakinkan masyarakat peserta diskusi akan jaminan keberlanjutan program bila dikaitkan dengan fenomena Pemilukada DKI Jakarta. Jadi inti permasalahan dalam kutipan ujaran BTP di atas adalah soal kebenaran asumsinya tersebut yang digunakan untuk mendukung argumentasinya tentang adanya dugaan akan terjadinya politisasi agama dalam Pemilukada DKI Jakarta 2017. Secara formal, BTP dalam posisi tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang menggunakan Surat Al-Maidah ayat 51 pada saat diskusi tersebut yaitu dengan secara langsung membaca, menerjemahkan, menafsirkan, dan mensyiarkan Surat Al-Maidah ayat 51 (aspek materiil) pada masyarakat dalam acara tersebut untuk digunakan demi tujuantujuan terkait Pemilukada (penyalahgunaan). Bahkan apabila dilihat secara utuh berdasarkan tujuan utama yang terbaca dalam parafrase yang telah dibuat pada poin k.2) maka tidak terdapat benang merah yang menunjukkan adanya luaran yang menjadi pembuktian akan telah terjadinya penyalahgunaan dalam penyebutan Surat Al-Maidah ayat 51 oleh BTP. 4) Mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang pada pokoknya bersifat penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; Sebagaimana telah dijelaskan pada poin k.2) dan k.3) bahwa BTP tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai pembacaan, penafsiran, pengajaran, maupun syi’ar terhadap kandungan atau materi dari Al-Qur’an Surat Almaidah ayat 51. Pada putusan pengadilan terkait penodaan agama seperti kasus Tajul Muluk dan Lia Eden selalu dikaitkan dengan aktifitas yang menyangkut materi ajaranajaran atau prinsip-prinsip dalam Islam dan proses pengajaran maupun syi’ar-nya secara umum dalam masyarakat9. Pun juga dalam ujaran-ujaran BTP dalam kasus a quo tidak terdapat penghinaan terhadap suatu ajaran tertentu dalam Al-Quran maupun ajaran-
9
Putusan Kasus Tajul Muluk: a) Putusan Pengadilan Negeri Sampang No. 69/Pid.B/2012/PN.Spg, tertanggal 11 Juli 2012; b) Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1787 K/PID/2012, tertanggal 3 Januari 2013; dan c) Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 481/PID/2012/PT.SBY, tertanggal 10 September 2012
11
Sekretariat: Jl. Teluk Etna IX/Kav.158 No.12 Malang – Indonesia 65126 Telp. 0341-4351937, Email:
[email protected]
ajaran utama lainnya secara umum dalam agama Islam. Dengan demikian tidak ada unsur tindak tutur BTP yang dapat dikategorikan sebagai penodaan terhadap agama Islam khususnya kita suci Al-Quran. 5) Mengeluarkan perasaan atau perbuatan dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahwa tidak ada satu indikator pun dari tindak tutur BTP dalam kasus a quo yang mengarah pada upaya-upaya agar para peserta diskusi untuk tidak menganut agama apa pun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. l. Bahwa keberadaan Pasal 156a KUHP merupakan bagian dari upaya maksimum (ultimum remedium) dalam rangka perlindungan dan pencegahan adanya penyalahgunaan dan/atau penodaan agama sebagaimana diatur dalam PNPS 1/65. Menimbang Pasal 2 PNPS 1/65 bahwa perlindungan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan dan/atau penodaan agama sesungguhnya lebih mengedapankan mekanisme administratif bertahap mulai dari penerbitan surat perintah, peringatan keras, hingga ancaman pembubaran organisasi jika pelaku pelanggaran adalah suatu lembaga bukan perseorangan. Sehingga wajar jika ketentuan pidana dalam Pasal 3 dan 4 PNPS 1/65 merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) apabila penyelesaian dengan mekanisme administratif mengalami kegagalan. m. Bahwa jika pun terhadap BTP atas tindak tuturnya dalam kasus a quo ditimpakan dugaan telah melakukan perbuatan penistaan atau penodaan agama maka mekanisme administratif bertahap sebagaimana dijelaskan dalam poin (n) seharusnya tetap menjadi prioritas. Hal ini juga mengingat BTP juga merupakan pejabat publik yang mempunyai hubungan secara hierarkhis dengan pemerintah pusat yaitu sebagai wakil presiden di daerah. Hal ini tentu memperkuat alasan untuk memberikan prioritas terhadap penyelesaian secara administratif dibandingkan dengan mekanisme pemidanaan dengan menggunakan ketentuan Pasal 156a KUHP. n. Bahwa problem inti dari tindak tutur BTP dalam kasus a quo adalah bukan terkait permusuhan, penyalahgunaan, dan penodaan agama; melainkan terkait tindak tutur asumtif yang mendalilkan tanpa uraian bukti atau alasan tentang kemungkinan akan adanya penggunaan Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 51 oleh suatu pihak untuk kepentingan politik sehingga masyarakat tidak memilih BTP dalam Pemilukada DKI Jakarta 2017. Tindakan BTP dalam hal ini memang kurang bijaksana dan patut sebagai pejabat publik yang sedang berdiskusi dengan warganya sehingga menimbulkan polemik yang bersinggungan dengan sentimen keagamaan dalam masyarakat secara luas yang dapat dikategorikan sebagai 12
Sekretariat: Jl. Teluk Etna IX/Kav.158 No.12 Malang – Indonesia 65126 Telp. 0341-4351937, Email:
[email protected]
konflik sosial yang belum disertai kekerasan (non-violent social conflict). Sebagai konflik sosial, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penyelesaian Konflik Sosial, maka upaya damai melalui pranata sosial dan adat menjadi langkah pertama sebelum memilih upaya-upaya melalui sistem peradilan. o. Bahwa lembaga sosial keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) memegang peranan penting untuk meredam konflik sosial akibat munculnya dugaan adanya perbuatan penistaan agama Islam oleh BTP dalam kasus a quo. MUI secara kelembagaan telah mempunyai prosedur tentang Pedoman Identifikasi Aliran Sesat yang dapat menjadi best practice juga dalam menangani kasus a quo yaitu berupa prosedur sebagai berikut10: 1) Sebelum penetapan kesesatan suatu aliran atau kelompok (dalam kasus a quo adalah penodaan atau penistaan agama Islam) terlebih dahulu dilakukan penelitian dengan mengumpulkan data, informasi, bukti dan saksi bila ada, tentang faham, pemikiran dan aktifitas kelompok atau aliran tersebut oleh Komisi Pengkajian 2) Dilakukan pengkajian lebih dulu terhadap pendapat para Imam Madzhab dan para ulama / ahli berkaitan dengan hal yang dijadikan pemikiran serta hal yang menjadi aktifitas kelompok atau aliran itu (dalam kasus a quo tindak tutur BTP) oleh Komisi Pengkajian 3) Dilakukan pemanggilan terhadap pimpinan aliran atau kelompok ( dalam kasus a quo adalah pemanggilan terhadap BTP) dan saksi ahli untuk melakukan tahqiq dan tabayyun atas berbagai data, informasi dan bukti yang didapat tentang pemikiran dan aktifitas aliran atau kelompok itu sekaligus taushiyah bila memang salah agar yang bersangkutan meninggalkan pemikiran dan paham serta aktifitas yang salah dan kembali kepada jalan yang benar oleh Komisi Pengkajian 4) Hasil dari kegiatan sebagaimana tersebut pada poin 1, 2 dan 3 di atas selanjutnya disampaikan kepada Dewan Pimpinan 5) Bila dipandang perlu Dewan Pimpinan menugaskan Komisi Fatwa untuk membahas dan mengeluarkan fatwa.
10
Hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI tentang Pedoman Idenfitikasi Aliran Sesat, 6 Nopember 2007 13
Sekretariat: Jl. Teluk Etna IX/Kav.158 No.12 Malang – Indonesia 65126 Telp. 0341-4351937, Email:
[email protected]
4. Kesimpulan a. Bahwa terkait tindak tutur BTP dalam kasus a quo tidak terdapat perbuatan hukum administrasi (rechtshandelingen) maupun perbuatan pidana (criminal act) sehingga tidak menimbulkan akibat hukum; b. Bahwa adanya dugaan terhadap perbuatan penistaan atau penodaan agama Islam oleh BTP dalam kasus a quo tidak memiliki kecukupan bukti sehingga tidak memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 156a KUHP jo. UU 1/PNPS/65. 5. Rekomendasi a. Bahwa karena ketiadaan alat bukti permulaan yang cukup terhadap dugaan adanya perbuatan penodaan atau penistaan agama Islam oleh BTP dalam kasus a quo maka sudah seharusnya terkait kasus a quo tidak diteruskan ke tahap penyidikan ; b. Bahwa terhadap permasalahan konflik sosial non-kekerasan yang telah terjadi akibat tindak tutur BTP dalam kasus a quo sebaiknya diselesaikan dengan menggunakan pendekatan sosial atau non-hukum dengan mengefektifkan lembaga sosial kegamaan yang telah ada secara partisipatoris, demokratis, adil dan damai.
Malang, 14 Nopember 2016
Muktiono, SH., M.Phil. Associate
AAA. Nanda Saraswati, SH., MH. Associate
Ranitya Ganindha, SH., MH. Associate
Setiwan Wicaksono, SH., M.Kn. Associate
CP: Muktiono (081334178971) 14