Apakah Mahasiswa “Matre” Membeli Barang Tabu? Pengaruh Jenis Barang dan Tipe Relasi Terhadap Jumlah Uang yang Dibayarkan dan Tingkat Kegeraman Moral Dengan Moderasi Tingkat Materialisme Annabelle Wenas dan Harry Susianto Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia E-mail :
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan moderasi tingkat materialisme pada pengaruh jenis barang dan tipe relasi terhadap jumlah uang yang bersedia dibayarkan dan tingkat kegeraman moral. Variasi jenis barang adalah tabu dan reguler, dan variasi tipe relasi adalah communal sharing dan market pricing. Partisipan dari penelitian adalah 145 mahasiswa dari Fakultas Psikologi dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sesuai dengan prediksi, tingkat materialisme memoderasi pengaruh jenis barang terhadap jumlah uang yang bersedia dibayarkan dan tingkat kegeraman moral. Partisipan dengan tingkat materialisme tinggi (materialis) bersedia membayarkan uang yang lebih banyak dan menunjukan tingkat kegeraman moral yang lebih rendah pada transaksi jenis barang tabu dibanding partisipan dengan tingkat materialisme rendah. Namun tingkat materialisme tidak terbukti memoderasi pengaruh tipe relasi terhadap jumlah uang yang bersedia dibayarkan dan tingkat kegeraman moral. Analisis tambahan yang dilakukan membuktikan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara jumlah uang yang bersedia dibayarkan dan tingkat kegeraman moral. Kata kunci : Pertukaran tabu, model relasional, materialisme, uang yang bersedia dibayarkan, kegeraman moral
Pendahuluan Uang merupakan medium pertukaran dalam kehidupan sehari-hari. Melalui uang kita dapat membeli makanan, pakaian, rumah, dan berbagai hal lainnya. Namun sampai dimanakah batas pertukaran uang? Apakah uang dianggap dapat membeli segalanya? Pro kontra penutupan Gang Dolly merupakan salah satu ilustrasi mengenai perdebatan batasan pertukaran uang. Pemerintah Surabaya telah menutup kawasan prostitusi terbesar di Asia Tenggara ini pada Juni 2014 (JakartaGlobe, 2014). Keberadaan Gang Dolly berlawanan dengan ajaran Islam yang dianut 87,18% warga Indonesia (BPS, 2010). Selain melanggar ajaran agama, prostitusi juga melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 296 yang melarang keberadaan pihak yang sengaja memudahkan perbuatan cabul. Namun protes justru dilakukan oleh beberapa pekerja di Gang Dolly terkait usaha penutupan kawasan prostitusi ini. Salah satu pekerja seks komersial (PSK) menolak penutupan Gang Dolly karena menganggap kompensasi yang ditawarkan Pemerintah Surabaya tidak sebanding dengan penghasilannya (Merdeka, 2014). Di sisi lain, dukungan diterima dari beberapa elemen masyarakat Surabaya yang tergabung dalam aksi pro penutupan Dolly (Tempo, 2014).
Apakah mahasiswa…, Annabelle Karyanti Amor Wenas, FPsi UI, 2014
Berdasarkan fenomena ini dapat disimpulkan bahwa terdapat dua pihak yang menetapkan batasan pertukaran uang yang berbeda. Sebagian menolak keberadaan pertukaran uang dengan aktivitas yang melanggar nilai, sebagian lainnya justru mendukung. Keberadaan Gang Dolly dan fenomena “wani piro” merupakan sebagian ilustrasi dari samarnya batasan pertukaran uang. Terdapat beberapa pihak yang tetap patuh terhadap batasan pertukaran uang, dan juga pihak yang berpikir sebaliknya. Justifikasi nilai moral untuk mengabaikan batasan pertukaran uang ini disebut dengan “taboo trade-offs” atau pertukaran tabu. Pertukaran tabu memiliki banyak bentuk, dari penjualan organ tubuh sampai ganja. Menurut Fiske dan Tetlock (1997) individu dalam budaya menentukan tabu atau tidaknya pertukaran berdasarkan nilai objek yang dipertukarkan. Pertukaran dianggap tabu apabila objek yang dinilai sakral ditukarkan dengan objek sekuler. Nilai sakral ini secara umum ditentukan oleh ajaran agama dan hukum yang berlaku. Karena fokus pada skripsi ini adalah pertukaran antara objek bernilai sakral dengan uang, selanjutnya penulis akan menggunakan terminologi “transaksi tabu”. Terdapat dua perspektif dari transaksi tabu. Pertama, transaksi tabu terjadi apabila objek bernilai sakral ditukarkan dengan uang. Kedua, transaksi tabu terjadi saat menerapkan peraturan pertukaran dari relasi MP ke relasi non-MP (CS, AR, dan EM). Oleh karena itu stimulus jenis barang tabu dan reguler pada penelitian akan disesuaikan dengan kehidupan mahasiswa yang merupakan tujuan partisipan penelitian. Lalu tipe relasi yang digunakan hanya CS dan MP karena keduanya memiliki peraturan transaksi yang paling bertolak belakang. Melalui kontrol jenis barang dan tipe relasi ini diharapkan dapat sesuai dengan karakteristik transaksi tabu dan reguler. Sehingga jenis barang tabu dapat menyebabkan tingkat kegeraman moral yang lebih tinggi dibandingkan transaksi reguler. Kemudian willingness to pay (WTP) atau jumlah uang yang dibayarkan akan lebih rendah pada jenis barang tabu dibandingkan reguler, namun lebih tinggi pada relasi CS dibandingkan MP. Penelitian transaksi tabu perspektif pertama melakukan pengukuran tingkat kegeraman moral, sedangkan perspektif kedua melakukan pengukuran WTP. Namun bagaimana dengan hubungan diantara keduanya? Mengapa penulis memilih untuk mengukur keduanya? Transaksi tabu seharusnya menyebabkan tingkat kegeraman moral yang tinggi. Namun penulis tidak menutup kemungkinan bagi individu yang merespon transaksi tabu dengan tingkat kegeraman moral yang rendah. Untuk meninjau lebih lanjut tingkat kegeraman moral yang rendah maka dilakukanlah pengukuran WTP. Melalui WTP diharapkan dapat diperoleh gambaran yang lebih tajam mengenai penerimaan individu terhadap transaksi tabu. Belum terdapat penelitian sebelumnya yang dapat menjawab mengenai hubungan kedua variabel.
Apakah mahasiswa…, Annabelle Karyanti Amor Wenas, FPsi UI, 2014
Oleh karena itu tingkat kegeraman moral dan WTP diukur secara independen dalam penelitian ini. Penelitian ini selanjutnya ingin menjawab pertanyaan mengenai apakah tingkat materialisme menjadi faktor dibalik perbedaan tingkat kegeraman moral dan WTP individu berdasarkan jenis transaksi. Karena menurut penulis ada satu alasan utama yang mendasari individu untuk melakukan transaksi tabu khususnya di Indonesia. Alasan tersebut adalah pencarian keuntungan material. Hal ini menunjukan indikasi adanya tingkat materialisme yang tinggi dibalik pelakunya. Proposisi ini mengacu pada fenomena yang telah dibahas sebelumnya dan pembahasan Richins & Dawson (1992; Richins, 2004) mengenai individu dengan materialisme tinggi atau yang disebut dengan “materialis”. Menurutnya materialis cenderung menilai kehidupan berdasarkan akumulasi kepemilikannya. Harta benda yang dimiliki menjadi hal yang utama dalam menentukan kesuksesan dan kepuasan hidup bagi materialis. Richins (2004) memandang materialisme sebagai nilai yang dapat berubah. Tingkat materialisme tinggi menyebabkan penilaian individu mengenai transaksi yang dianggap tabu bergeser dan menjadi lumrah untuk dilakukan. Berdasarkan hal tersebut penulis memprediksi bahwa tingkat materialisme dapat menjelaskan perbedaan tingkat kegeraman moral dan WTP individu terhadap transaksi tabu. Pada skripsi ini penulis ingin menguji pengaruh jenis transaksi yang didasarkan pada variabel jenis barang dan tipe relasi terhadap tingkat kegeraman moral dan WTP. Selanjutnya penulis ingin mengetahui apakah perbedaan tingkat kegeraman moral dan WTP terhadap jenis transaksi disebabkan oleh moderasi tingkat materialisme. Pengukuran respon pada skripsi ini dibagi menjadi dua. Pertama, mengacu pada penelitian Tetlock, Kristel, Elson, Green, dan Lerner (2000) yang menjadikan tingkat kegeraman moral sebagai variabel terikat. Kedua, pengukuran respon dilakukan dengan cara melihat jumlah uang yang bersedia dibayarkan (WTP) pada transaksi (McGraw & Tetlock, 2005). Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menjadikan materialisme sebagai moderator pengaruh jenis transaksi dan tipe relasi terhadap tingkat kegeraman moral dan WTP. Tinjauan Pustaka Teori Model Relasional (Fiske, 1992) Pembahasan mengenai “relational model theory” atau teori model relasional mengacu pada Fiske (1992). Fiske yang merupakan ahli dalam ranah ilmu antropologi, memulai meneliti model relasi tersebut melalui studi etnografi ke suku Mossi di Burkina Faso, Afrika
Apakah mahasiswa…, Annabelle Karyanti Amor Wenas, FPsi UI, 2014
Barat (Fiske, 1990). Ia menemukan pola interaksi yang muncul berulang-ulang di setiap tingkat kehidupan sosial yang digolongkan ke empat tipe relasi, yaitu communal sharing (CS), authority ranking (AR), equality matching (EM), dan market pricing (MP). Menurut Fiske (1992), Individu pada umumnya memiliki orientasi untuk berhubungan satu sama lain, dan dalam membangun hubungan berkomitmen pada tipe relasi. Individu merasa bertanggung jawab sekaligus memaksa individu lain untuk mematuhi tipe relasi. Teori model relasional (Fiske, 1992) menjelaskan empat tipe relasi dasar sebagai struktur kognitif yang berfungsi untuk merencanakan interaksi sosial. Selain itu tipe relasi juga berfungsi untuk memahami dan mengevaluasi perilaku sosial, serta koordinasi interaksi sosial. Pada relasi CS, kelompok individu memperlakukan semua anggota secara setara. Mereka memberi semampu mereka, dan dengan bebas mengambil sesuai kebutuhan dari persediaan. Apa yang didapatkan tidak tergantung dari kontribusi yang diberikan, melainkan semata-mata karena keanggotaan saja. Kemudian pada tipe relasi AR, terdapat urutan linear yang menentukan posisi atasan dan bawahannya. Atasan wajar untuk berlaku sesuai kehendak atau menerima hadiah dari bawahan. Sebaliknya, bawahan menerima perlindungan dan rasa aman yang menjadi tanggung jawab atasan. Selanjutnya pada tipe relasi EM Individu secara berkala memperhatikan ketidakseimbangan di sekitarnya. Oleh karena itu mereka berusaha melakukan timbal balik untuk memperoleh keseimbangan. Usaha tersebut dilakukan dengan cara saling memberi dan menerima objek yang bernilai setara. Tipe relasi terakhir adalah MP, dimana Individu cenderung berorientasi pada rasio. Pembayaran atau transaksi dapat dilakukan pada relasi ini didasarkan pada proporsi yang diterima sebagai fungsi mekanisme pasar. Empat tipe relasi tersebut beroperasi saat individu saling melakukan pertukaran objek (Fiske, 1992). Sacred Value Protection Model (Tetlock, 2000) Tipe relasi merupakan acuan bagi individu untuk menentukan cara berinteraksi dengan individu lain. Melalui interaksi tersebut individu terus berusaha untuk menjaga “sacred value” atau nilai sakral dari pengaruh nilai duniawi. Berdasarkan Tetlock, Kristel, Elson, Green, dan Lerner (2000) nilai sakral adalah: Sacred value can be defined as any value that a moral community implicitly or explicitly treats as possessing infinite or transcendental significance that precludes comparisons, trade-offs, or indeed any other mingling with bounded or secular values (hal. 853). Nilai sakral berfungsi untuk menjaga publik dari kontaminasi moral yang dapat terjadi akibat perbuatan dan pemikiran terlarang. Individu terus-menerus berusaha untuk menjaga identitas dirinya dengan cara menjaga nilai sakral yang dipercayainya.
Apakah mahasiswa…, Annabelle Karyanti Amor Wenas, FPsi UI, 2014
Ancaman terhadap nilai sakral menyebabkan individu berusaha untuk melindungi identitas diri dan publik dari kontaminasi moral dengan cara mengekspresikan “moral outrage” dan melakukan “moral cleansing” (Tetlock, 2000). “Moral outrage” atau kegeraman moral adalah reaksi kognitif, afektif, dan konasi terhadap pelanggaran nilai sakral. Kegeraman moral dan “moral cleansing” atau pembersihan moral berfungsi untuk memastikan kembali kesetiaan individu agar tetap kembali berperilaku sejalan dengan nilai sakral yang sebelumnya dipertimbangkan atau telah dilanggar. Baik kegeraman moral maupun pembersihan moral merupakan proses coping individu yang disebut dengan Sacred Value Protection Model (SVPM). Pertukaran Tabu (Fiske & Tetlock, 1997) Awal penelitian terkait transaksi tabu dimulai oleh Foa (1971; Foa & Foa, 2012)
mengenai
economic
“interpersonal
resource”.
Penelitian
and ini
berfokus pada pertukaran enam jenis sumber yaitu cinta, jasa, produk, uang, informasi, dan status. Keenam sumber tersebut berada dalam enam koordinat yang memiliki lokasi berbeda berdasarkan karakteristik
pertukarannya.
Semakin
dekat letak koordinat sumber dengan koordinat sumber lainnya, maka semakin mudah pertukarannya. Hal ini didasari oleh studi ketiga Foa (1971) yang bertujuan untuk mengetahui sumber mana yang paling diinginkan dalam konteks pertemanan. Sebanyak 160 partisipan menerima enam skenario yang berbeda, hal yang berbeda dari setiap skenario adalah manipulasi sumber yang diterima dari teman. Berdasarkan studi ini diketahui bahwa cinta (23%) adalah sumber yang paling diinginkan untuk diterima sebagai balasan, terlepas dari apapun sumber yang diberikan kepada partisipan oleh teman. Hal ini berlaku sebaliknya untuk uang (9%). Walaupun tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai tabu atau tidaknya transaksi, hasil penelitian ini menunjukan bahwa karakteristik objek mempengaruhi pertukaran. Objek akan mudah ditukarkan apabila mempunyai karakteristik yang mirip, dibandingkan berbeda. Contohnya uang akan sulit ditukarkan dengan cinta, tetapi mudah ditukarkan dengan produk. Kesimpulan dari penelitian Foa (1971) ini dapat menjelaskan bahwa objek bernilai sakral
Apakah mahasiswa…, Annabelle Karyanti Amor Wenas, FPsi UI, 2014
akan sulit ditukarkan dengan objek bernilai sekuler. Hal ini disebabkan karena kedua objek memiliki karakteristik yang berbeda, dan pertukarannya dinilai sebagai transaksi yang tabu (Fiske & Tetlock, 1997). Ancaman terhadap nilai sakral tidak terjadi apabila “trade-offs” atau transaksi dianggap lazim untuk dilakukan. Sebaliknya, manusia cenderung untuk menilai transaksi yang tidak lazim sebagai sesuatu yang salah. Tidak lazim yang dimaksudkan disini adalah tidak sering terjadi−biasanya karena berlawanan dengan nilai agama, hukum, atau memang tidak ada peraturan yang jelas dan disepakati mengenai transaksi tersebut. Sebagai contoh misalnya pada umumnya tidak diketahui berapa banyak Rupiah yang harus diberikan untuk dapat membeli ginjal. Tidak ada standar harga untuk organ tubuh manusia tersebut karena dianggap sakral dan tidak seharusnya diperjualbelikan. Sedangkan saat ke minimarket, dengan mudah individu dapat memberikan Rp2000 untuk membeli sebotol air mineral karena sudah ada standar harga yang jelas untuk produk tersebut. Transaksi yang berlawanan dengan nilai agama serta hukum merupakan ancaman terhadap nilai sakral. Transaksi yang mengancam nilai sakral inilah yang disebut dengan transaksi tabu (Fiske & Tetlock, 1997). Skripsi ini menggunakan dua perspektif pembahasan transaksi tabu dalam Fiske dan Tetlock (1997). Perspektif pertama menjelaskan transaksi tabu sebagai transaksi sosial yang melanggar nilai normatif dari bentuk-bentuk hubungan tertentu dalam nilai moral. Sedangkan perspektif kedua menjelaskan tabu atau tidak-nya transaksi juga ditentukan tipe relasi asal objek transaksi. Apabila objek yang dipertukarkan itu berasal dari tipe relasi yang bukan hanya berbeda, tetapi tidak mempunyai tolak ukur perbandingan yang sama, maka transaksi tersebut dapat dianggap tabu oleh pihak yang terlibat dalam transaksi. Tetlock, Kristel, Elson, Green dan Lerner (2000) telah melakukan penelitian berdasarkan perspektif pertama, sedangkan McGraw dan Tetlock (2005) melakukan penelitian berdasarkan perspektif kedua. Materialisme (Richins, 2004) Penelitian Richins (1994) membuktikan bahwa tingkat materialisme menentukan makna pribadi yang dianggap penting atas kepemilikan objek. Namun apakah kepemilikian objek menentukan kebahagiaan dari individu dengan materialisme tinggi? Penelitian Millar dan Thomas (2009) selanjutnya akan dibahas untuk menjawab pertanyaan tersebut. Materialisme pada penelitian tersebut merupakan variabel yang memoderasi hubungan aktivas rekreasi dan kebahagiaan. Aktivitas rekreasi dibagi menjadi tiga, yaitu pembelian material, pembelian pengalaman, dan aktivitas kreatif. Temuan dari penelitian ini menunjukan bahwa tingkat materialisme yang tinggi memoderasi hubungan antara pembelian material
Apakah mahasiswa…, Annabelle Karyanti Amor Wenas, FPsi UI, 2014
terhadap kebahagiaan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pembelian barang material berhubungan dengan tingkat kebahagiaan tinggi apabila dimoderasi oleh tingkat materialisme yang tinggi. Berdasarkan studi Richins (1994) serta Millar dan Thomas (2009) dapat disimpulkan bahwa kepemilikan objek bernilai finansial dan pembelian material berkorelasi dengan tingkat materialisme yang tinggi. Oleh karena itu penulis memprediksi bahwa individu dengan tingkat materialisme tinggi akan cenderung bersedia melakukan transaksi baik tabu ataupun reguler dibandingkan individu dengan tingkat materialisme rendah. Semakin banyak objek yang diperoleh dari transaksi maka semakin bahagia individu materialis. Richins dan Dawson (1992) menjelaskan materialisme sebagai pemahaman yang dapat berubah tentang seberapa pentingnya kepemilikan di dalam kehidupan. Oleh karena itu, sebelum masuk ke pembahasan lebih lanjut kita perlu mengetahui apa faktor yang mempengaruhi perubahan materialisme. Penelitian Ahuvia dan Wong (2002) menjelaskan bahwa kestabilan ekonomi merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat materialisme. Partisipan dari penelitian ini adalah 287 mahasiswa yang diminta untuk mengisi kuesioner skala kepribadian materialisme Ger dan Belk (1996), dan skala nilai materialisme Richins dan Dawson (1992). Mereka juga diminta untuk mengerjakan skala “felt formative deprivation” untuk mengukur pengalaman subyektif mereka terhadap kondisi ekonomi mereka pada masa anak-anak dan remaja. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tingkat kepribadian materialisme tinggi (Ger & Belk, 1996) memiliki hubungan yang secara positif signifikan dengan kondisi ekonomi yang tidak stabil. Individu yang tumbuh dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil cenderung menunjukan tingkat materialisme yang tinggi saat dewasa. Richins (2004) melakukan asesmen psikometri pada empat versi pendek (3, 6, 9, dan 15-item) dari skala MVS (18- item) yang dikembangkan Richins & Dawson (1992) sebelumnya. Terdapat tiga dimensi pada skala nilai materialisme ini yaitu “success” atau kesuksesan, “centrality” atau sentralitas, dan “happiness” atau kebahagiaan. Ketiga dimensi itu didasarkan pada proposisi Richins dan Dawson (1992) mengenai individu dengan tingkat materialisme tinggi atau yang disebut sebagai materialis. Pertama, materialis cenderung menilai kesuksesan dirinya dan orang lain dari jumlah dan kualitas akumulasi kepemilikannya. Kedua, materialis menempatkan kepemilikan sebagai pusat kehidupannya, dan menganggap tingkat konsumsi yang tinggi berfungsi sebagai tujuan dan pembuatan rencana. Ketiga, bagi materialis kepemilikan merupakan pusat kehidupan yang penting untuk pencapaian kepuasan hidup.
Apakah mahasiswa…, Annabelle Karyanti Amor Wenas, FPsi UI, 2014
Berdasarkan penelitian Richins (2004) dapat disimpulkan bahwa MVS versi 18-item dapat digantikan dengan MVS 15-item. Bahkan MVS 15-item lebih di rekomendasikan karena memiliki jumlah item setara pada setiap dimensi sehingga dianggap memiliki struktur dimensional yang lebih stabil. Analisis juga menunjukkan bahwa MVS versi 9-item juga memiliki kualitas pengukuran yang lebih superior dibandingkan dengan MVS versi 6-item dan 3-item. Pada skripsi ini penulis memilih menggunakan MVS versi 9-item untuk mengukur tingkat materialisme.
Metodologi Penelitian Desain kelompok penelitian ini adalah 2 (jenis barang: tabu vs reguler) x 2 (tipe relasi: CS vs MP) between subjects design. Partisipan akan dibagi ke dalam 4 kelompok, yang masing-masing menerima manipulasi jenis barang dan tipe relasi. Setiap kelompok kemudian akan menerima pengukuran tingkat kegeraman moral dan jumlah uang yang bersedia dibayarkan (WTP). Terdapat tiga kriteria partisipan yang ditetapkan, yaitu: 1. Mahasiswa S1 Fakultas Psikologi dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 2. Tidak berasal dari Program Ekstensi 3. Berasal dari angkatan 2012 Tiga kriteria diatas didasari pada tiga alasan. Pertama, mahasiswa dari Fakultas Psikologi dan Fakultas Ekonomi dipilih karena diasumsikan memiliki tingkat materialisme yang berbeda. Materialisme merupakan nilai yang tidak menetap dalam diri individu dan bisa berubah (Richins & Dawson, 1992; Richins, 2004). Oleh karena itu materialisme dapat dipengaruhi oleh lingkungan kampus setelah sekian tahun. Mahasiswa Fakultas Ekonomi terbiasa melakukan analisis cost dan benefit dengan tujuan untuk memaksimalkan keuntungan (Frank, 2008). Kedua, partisipan dari Program Ekstensi tidak dipilih karena sebelumnya sudah mengikuti Program D3 selama tiga tahun. Ketiga, partisipan berasal dari angkatan 2012 untuk menyeragamkan lama waktu partisipan di lingkungan kampus. Hal ini disebabkan karena materialisme dapat berubah, dan penulis berasumsi lama waktu di lingkungan kampus juga berperan dalam menjelaskan variasinya. Partisipan dari angkatan 2012 dipilih karena mereka sudah mempunyai waktu yang cukup lama berada di lingkungan kampus yaitu selama dua tahun.
Apakah mahasiswa…, Annabelle Karyanti Amor Wenas, FPsi UI, 2014
Partisipan yang berhasil didapatkan melalui proses rekrutmen adalah sebanyak 146 orang. Jumlah partisipan yang merupakan Mahasiswa dari Fakultas Psikologi adalah 73 orang, 21 pria dan 52 wanita. Mahasiswa Fakultas Ekonomi yang bersedia menjadi partisipan penelitian juga sebanyak 73 orang, 36 pria dan 37 wanita. Pada saat pengecekan data terdapat satu partisipan dari Fakultas Ekonomi yang tidak memenuhi kriteria karena berasal dari Program Ekstensi. Terdapat dua variabel terikat dalam penelitian ini, yaitu WTP dan tingkat kegeraman moral. Kemudian variabel bebas penelitian ini adalah jenis barang (tabu dan reguler) dan tipe relasi (communal sharing dan market pricing). Pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat di moderasi oleh tingkat materialisme. Sebelum pengambilan data, dilakukan tiga studi pendahuluan sebelumnya dan juga adaptasi alat ukur nilai materialisme Richins (2004). Instrumen dalam penelitian ini terdiri dari 6 rangkaian map (A, B, C, D, E, dan F). Map A berisi sampul, kata pembuka, dan lembar persetujuan. Map B berisi petunjuk pengisian penelitian dan contoh pengerjaan soal. Map C berisi manipulasi jenis barang dan tipe relasi yang berupa skenario, beserta pengukuran WTP dan tingkat kegeraman moral. Map D berisi pengukuran tingkat materialisme, lalu map E berisi kuesioner data diri partisipan. Terakhir map F berisi kuesioner manipulation check. Eksperimen pada partisipan dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dilakukan pada tanggal 2, 5, dan 6 Mei 2014. Sedangkan eksperimen pada partisipan dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dilakukan pada tanggal 7, 8, dan 9 Mei 2014. Eksperimen pada Mahasiswa Psikologi diadakan di ruang H303, Gedung H Fakultas Psikologi UI. Sedangkan pada Mahasiswa Ekonomi eksperimen dilakukan di Ruang Persatuan Orang Tua Mahasiswa (POM) Fakultas Ekonomi UI. Pada setiap ruang eksperimen disediakan delapan kursi bermeja. Jarak antar kursi adalah 1 meter untuk menyulitkan partisipan melihat lembar penelitian partisipan lain. Setiap ruang eksperimen dilengkapi dengan pendingin ruangan dengan suhu 20 derajat Celcius. Pertama, partisipan yang datang diminta untuk menunggu oleh rekruter sampai eksperimenter memberikan tanda untuk masuk ke ruangan. Selanjutnya eksperimenter mempersilahkan partisipan untuk meletakan tas, duduk, dan menonaktifkan ponsel. Setelah memperkenalkan diri, eksperimenter meminta partisipan mengambil Map A yang berisi lembar persetujuan, membacanya bersama-sama, dan meminta partisipan menandatanganinya apabila sudah setuju. Kemudian eksperimenter meminta partisipan memasukan lembar persetujuan kembali ke Map A, meletakannya di lantai sebelah kanan kursi, dan mengambil Map B. Prosedur serupa juga dilakukan sampai seluruh penelitian selesai dikerjakan.
Apakah mahasiswa…, Annabelle Karyanti Amor Wenas, FPsi UI, 2014
Setelah partisipan selesai mengisi kuesioner manipulation check dalam Map F, eksperimenter meminta kesediaan partisipan untuk merahasiakan prosedur penelitian sampai dengan tanggal 30 Mei 2014. Sehabis partisipan menyatakan persetujuannya, eksperimenter mengucapkan terima kasih dan mempersilahkan partisipan mengambil reward dan segelas air mineral yang terletak di dekat pintu sembari meninggalkan ruangan penelitian. Pada reward disertakan secarik kertas yang berisi alamat e-mail penulis, sehingga partisipan dapat menyampaikan pertanyaan terkait penelitian. Eksperimenter kemudian mengumpulkan semua kuesioner yang sudah diisi oleh partisipan, dan mengisi ulang Map.
Hasil Penelitian Hasil analisis faktorial menunjukkan bahwa terdapat efek jenis barang yang signifikan terhadap jumlah uang yang dibayarkan (WTP) pada skenario pertama, F(1,144) = 290,27, p < 0,01, partial η2 = 0,67. Tabel ANOVA Faktorial 2 x 2, dengan Variabel Terikat WTP pada Skenario 1 Jenis Barang 1 Tipe Relasi 1 Jenis Barang 1 * Tipe Relasi 1
F 290,27 0,54 0,98
Sig. 0,00 0,47 0,32
Partial η2 0,67 0,00 0,01
Pada skenario kedua juga terdapat efek jenis barang yang signifikan terhadap jumlah uang yang dibayarkan (WTP) F(1,144) = 36,49, p < 0,01, partial η2 = 0,21. Tabel ANOVA Faktorial 2 x 2, dengan Variabel Terikat WTP pada Skenario 2 Jenis Barang 2 Tipe Relasi 2 Jenis Barang 2 * Tipe Relasi 2
F 36,49 0,88 2,17
Sig. 0,00 0,35 0,14
Partial η2 0,21 0,01 0,02
Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat efek jenis barang yang signifikan terhadap jumlah uang yang dibayarkan (WTP), dimana partisipan pada kelompok jenis barang tabu membayarkan uang (WTP) yang lebih sedikit dibandingkan partisipan pada kelompok jenis barang reguler, sehingga hipotesis 1 diterima. Berbeda dengan jenis barang, tidak ditemukan efek tipe relasi yang signifikan terhadap jumlah uang yang dibayarkan (WTP) pada skenario pertama, F(1,144) = 0,54, p = 0,47, partial η2 = 0,00. Pada skenario kedua juga tidak terdapat efek tipe relasi yang signifikan terhadap jumlah yang dibayarkan (WTP), F(1,144) = 0,88, p = 0,35, partial η2 =
Apakah mahasiswa…, Annabelle Karyanti Amor Wenas, FPsi UI, 2014
0,01 Hasil ANOVA Faktorial dapat dilihat pada halaman sebelumnya. Berdasarkan hasil, tipe relasi tidak secara signifikan mempengaruhi jumlah uang yang dibayarkan (WTP), sehingga hipotesis 2 ditolak. Selanjutnya analisis dilakukan untuk mengetahui moderasi tingkat materialisme (M) terhadap jumlah uang yang bersedia dibayarkan (WTP) (Y). Jenis barang merupakan prediktor utama (X) dalam analisis moderasi ini. Koefisien regresi interaksi jenis barang dan materialisme pada skenario pertama adalah
=5321,53, yang menggambarkan estimasi
perbedaan WTP pada kondisi jenis barang tabu dan jenis barang reguler saat tingkat materialisme berubah satu unit. Berdasarkan hasil disimpulkan bahwa saat tingkat materialisme naik satu unit, perbedaan WTP antar kelompok jenis barang tabu dan reguler naik sebesar 5321,53 unit, t(141)=0,39, p=0,69. Hasil regresi signifikan, sehingga
secara statistik tidak
0.
Selanjutnya titik transisi Johnson-Neyman (JN) tidak diketahui karena interaksi jenis barang dan materialisme secara omnibus tidak signifikan. Meskipun demikian, penulis menggunakan spotlight analysis atau pick-a-point-approach (Hayes, 2013; Spiller, Fitzsimons, Lynch, & McClelland, 2013) untuk mengilustrasikan efek kondisional jenis barang terhadap WTP pada persentil tingkat materialisme ke 10, 25, 50, 75, dan 90. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat moderasi tingkat materialisme pada pengaruh jenis barang terhadap WTP pada skenario pertama. Koefisien regresi interaksi jenis barang dan materialisme pada skenario kedua adalah
=42722,9, Berdasarkan hasil disimpulkan
bahwa saat tingkat materialisme naik satu unit, perbedaan WTP antar kelompok jenis barang tabu dan reguler naik sebesar 42722,9 unit, t(141)=2,01, p=0,04. Hasil regresi statistik signifikan, sehingga
0.
Interaksi jenis barang dan materialisme signifikan.
secara
omnibus
Selanjutnya
teknik
Johnson-Neyman (JN) digunakan untuk mengidentifikasi area dimana terdapat
efek
moderasi
tingkat
materialisme pada pengaruh jenis barang terhadap WTP. Titik transisi JN tingkat materialisme (
)
Apakah mahasiswa…, Annabelle Karyanti Amor Wenas, FPsi UI, 2014
secara
adalah sebesar 4,6127. Analisis terhadap
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh jenis
barang yang secara positif signifikan terhadap WTP saat tingkat materialisme kurang dari 4,6127, namun tidak saat tingkat materialisme lebih dari 4,6127. Penulis mengilustrasikan efek kondisional jenis barang terhadap WTP berdasarkan tingkat materialisme melalui teknik JN. Melalui analisis diketahui bahwa terdapat moderasi tingkat materialisme yang signifikan pada pengaruh jenis barang terhadap WTP pada skenario kedua. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa hipotesis 3 ditolak pada skenario pertama ( pada skenario kedua
0), namun diterima
0).
Tipe relasi tidak diikutsertakan dalam analisis moderasi karena berdasarkan hasil ANOVA Faktorial sebelumnya tidak menunjukkan efek yang signifikan terhadap WTP. Berdasarkan hal tersebut penulis memprediksi bahwa tidak terdapat moderasi tingkat materialisme pada pengaruh tipe relasi terhadap WTP yang signifikan, sehingga hipotesis 4 ditolak
0).
Analisis faktorial juga dilakukan untuk mengetahui efek jenis barang dan tipe relasi terhadap tingkat kegeraman moral. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat pengaruh jenis barang yang signifikan terhadap tingkat kegeraman moral pada skenario pertama, F(1,144) = 118,74, p < 0,01, partial η2 = 0,46. Tabel ANOVA Faktorial 2 x 2, dengan Variabel Terikat Tingkat Kegeraman Moral pada Skenario 1 F Sig. Partial η2 Jenis Barang 1 118,74 0,00 0,46 Tipe Relasi 1 0,14 0,71 0,00 Jenis Barang 1 * Tipe Relasi 1 2,07 0,15 0,01 Pada skenario kedua juga diketahui terdapat pengaruh jenis barang yang signifikan terhadap tingkat kegeraman moral, F(1,144) = 196,16, p < 0,01, partial η2 = 0,58. Tabel ANOVA Faktorial 2 x 2, dengan Variabel Terikat Tingkat Kegeraman Moral pada Skenario 2 F Sig. Partial η2 Jenis Barang 2 196,16 0,00 0,58 Tipe Relasi 2 0,15 0,69 0,00 Jenis Barang 2 * Tipe Relasi 2 0,09 0,76 0,00
Apakah mahasiswa…, Annabelle Karyanti Amor Wenas, FPsi UI, 2014
Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat efek jenis barang yang signifikan terhadap tingkat kegeraman moral, dimana partisipan pada kelompok jenis barang tabu menunjukkan tingkat kegeraman moral yang lebih tinggi dibandingkan partisipan pada kelompok jenis barang reguler, sehingga hipotesis 5 diterima. Berlawanan dengan jenis barang, tidak terdapat efek tipe relasi yang signifikan terhadap tingkat kegeraman moral. Berdasarkan analisis diketahui bahwa tidak terdapat efek tipe relasi yang signifikan terhadap tingkat kegeraman moral pada skenario pertama, F(1,144) = 0,14, p = 0,71, partial η2 = 0,00. Hasil serupa juga ditemukan pada skenario kedua dimana tidak terdapat efek tipe relasi yang signifikan terhadap tingkat kegeraman moral, F(1,144) = 0,15, p = 0,69, partial η2 = 0,00. Hasil ANOVA Faktorial dapat dilihat pada halaman sebelumnya. Berdasarkan hasil diketahui bahwa tidak terdapat efek tipe relasi yang signifikan terhadap tingkat kegeraman moral sehingga hipotesis 6 ditolak. Terakhir, analisis dilakukan untuk mengetahui moderasi tingkat materialisme (M) terhadap tingkat kegeraman moral (Y). Oleh karena itu jenis barang merupakan prediktor utama (X) dalam analisis moderasi ini. Koefisien regresi interaksi jenis barang dan materialisme pada skenario pertama adalah
=-1,21, yang menggambarkan estimasi
perbedaan tingkat kegeraman moral pada kondisi jenis barang tabu dan jenis barang reguler saat tingkat materialisme berubah satu unit. Berdasarkan hasil disimpulkan bahwa saat tingkat materialisme naik satu unit, perbedaan tingkat kegeraman moral antar kelompok jenis barang tabu dan reguler turun sebesar 1,21 unit, t(141)=-3,12, p=0,00. Hasil regresi signifikan, sehingga
secara statistik
0.
Interaksi jenis barang dan materialisme signifikan.
secara Selanjutnya
omnibus teknik
Johnson-Neyman (JN) digunakan untuk
mengidentifikasi
area
dimana terdapat efek moderasi tingkat materialisme pengaruh jenis barang terhadap tingkat kegeraman moral. Titik transisi JN tingkat materialisme (
) adalah sebesar 5,09. Analisis terhadap
menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh jenis barang yang secara positif signifikan terhadap tingkat kegeraman moral saat tingkat materialisme kurang dari 5,09, namun tidak saat tingkat materialisme lebih dari 5,09.
Apakah mahasiswa…, Annabelle Karyanti Amor Wenas, FPsi UI, 2014
Penulis mengilustrasikan efek kondisional jenis barang terhadap tingkat kegeraman moral berdasarkan tingkat materialisme melalui teknik JN. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat moderasi tingkat materialisme pada pengaruh jenis barang terhadap tingkat kegeraman moral pada skenario pertama. Koefisien regresi interaksi jenis barang dan materialisme pada skenario kedua adalah =-0,98, yang menggambarkan estimasi perbedaan tingkat kegeraman moral pada kondisi jenis barang tabu dan jenis barang reguler saat tingkat materialisme berubah satu unit. Berdasarkan hasil disimpulkan bahwa saat tingkat materialisme naik satu unit, perbedaan tingkat kegeraman moral antar kelompok jenis barang tabu dan reguler turun sebesar 0,98 unit, t(141)=-3,05, p=0,00. Hasil regresi
secara statistik signifikan, sehingga
0.
Titik transisi Johnson-Neyman (JN) tidak dapat diketahui melalui SPSS Macro PROCESS (Hayes, 2014) walaupun interaksi jenis barang dan materialisme secara omnibus signifikan. Untuk mengatasi hal ini penulis menggunakan spotlight analysis atau pick-apoint-approach (Hayes, 2013; Spiller, Fitzsimons, Lynch, & McClelland, 2013) untuk mengilustrasikan efek kondisional jenis barang pada tingkat kegeraman moral di persentil tingkat materialisme ke 10, 25, 50, 75, dan 90. Melalui analisis diketahui bahwa pengaruh interaksi jenis barang dan tingkat materialisme yang signifikan terhadap tingkat kegeraman moral pada skenario kedua. Namun tidak diketahui titik transisi moderasi tingkat materialisme (
). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa hipotesis 7 diterima pada skenario pertama moderat diterima pada skenario kedua
0) dan juga secara
0).
Tipe relasi tidak diikutsertakan dalam analisis moderasi karena berdasarkan hasil ANOVA Faktorial sebelumnya tidak menunjukkan efek yang signifikan terhadap tingkat kegeraman moral. Berdasarkan hal tersebut penulis memprediksi bahwa tidak terdapat moderasi tingkat materialisme pada pengaruh tipe relasi terhadap tingkat kegeraman moral yang signifikan, sehingga hipotesis 8 ditolak
0).
Berdasarkan uji hipotesis terdapat tiga temuan. Pertama, jenis barang secara signifikan mempengaruhi jumlah uang yang dibayarkan (WTP) dan tingkat kegeraman moral. Kedua, tingkat materialisme memoderasi pengaruh jenis barang terhadap WTP dan tingkat kegeraman moral. Ketiga, tipe relasi tidak secara signifikan mempengaruhi WTP dan tingkat kegeraman moral. Untuk menjelaskan lebih lanjut tiga temuan tersebut, dilakukan analisis tambahan untuk melihat korelasi antar variabel yang diukur dalam penelitian ini. Karena
Apakah mahasiswa…, Annabelle Karyanti Amor Wenas, FPsi UI, 2014
semuanya adalah variabel interval, maka analisis statistik yang dilakukan adalah Pearson’s correlation. Tabel Hasil Analisis Tambahan Tingkat Kegeraman Moral 1 WTP 1 1 -0,613** 0,582** WTP 2 -0,613** 1 -0,324** Tingkat Kegeraman Moral 1 0,582** -0,324** 1 Tingkat Kegeraman Moral 2 -0,611** 0,717** -0,515** Tingkat Materialisme -0,37 0,000 0,127 ** Catatan: Korelasi signifikan pada level 0,01 (2-tailed), p < 0,01. WTP 1
WTP 2
Tingkat Kegeraman Moral 2 -0,611** 0,717** -0,515** 1 0,001
Tingkat Materia -lisme -0,37 0,000 0,127 0,001 1
Hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara WTP dengan tingkat kegeraman moral pada semua skenario. Namun, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara WTP dengan tingkat materialisme. Lalu juga tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kegeraman moral dan tingkat materialisme. Koefisien Pearson’s correlation (r) yang negatif menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kegeraman moral maka semakin rendah jumlah uang yang bersedia dibayarkan (WTP). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua variabel terikat berhubungan secara negatif. Diskusi Temuan studi ini menunjukan bahwa individu dengan tingkat materialisme tinggi akan cenderung membayarkan uang lebih banyak saat ditawarkan untuk membeli jenis barang tabu dibandingkan individu dengan tingkat materialisme rendah. Selain itu individu dengan tingkat materialisme juga menunjukan tingkat kegeraman moral yang lebih rendah dibandingkan individu dengan tingkat materialisme rendah saat ditawarkan untuk membeli jenis barang tabu. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat moderasi tingkat materialisme yang signifikan pada pengaruh jenis barang terhadap jumlah uang yang dibayarkan. Secara sederhana hasil ini menjawab pertanyaan pada sampul skripsi ini bahwa materialis, atau individu dengan tingkat materialisme yang tinggi, memang bersedia membeli barang tabu. Sehingga memperkaya temuan serupa dari penelitian Tetlock, Kristel, Elson, Green, dan Lerner (2000). Berbeda dengan jenis barang, tipe relasi tidak menunjukkan efek yang signifikan terhadap jumlah uang yang dibayarkan dan tingkat kegeraman moral. Hasil analisis yang tidak signifikan memprediksi tidak adanya moderasi tingkat materialisme yang signifikan pada pengaruh tipe relasi terhadap kedua variabel terikat. Penulis menduga hal ini disebabkan karena barang yang dijual tidak memiliki nilai emosional yang secara adekuat diasosiasikan
Apakah mahasiswa…, Annabelle Karyanti Amor Wenas, FPsi UI, 2014
dengan penjual. Sehingga tidak dapat disamakan dengan hasil penelitian McGraw, Tetlock, dan Kristel (2003) yang signifikan dimana barang yang dijual pada lelang sebelumnya pernah dimiliki oleh penjual dari tipe relasi tertentu. Berdasarkan hasil dapat disimpulkan bahwa transaksi yang melibatkan individu dari tipe relasi CS tidak dianggap tabu apabila barang yang diperjualbelikan tidak memiliki nilai yang diasosiasikan dengan relasi CS. Pengaruh tipe relasi yang tidak signifikan ini merupakan temuan baru dalam penelitian transaksi tabu. Berdasarkan temuan ini dapat disimpulkan bahwa objek yang bernilai sakral tidak dapat ditukarkan dengan uang tanpa dipengaruhi relasi penjual dalam transaksi. Oleh karena itu individu akan cenderung menolak transaksi tabu baik saat saudara maupun orang asing yang berperan menjadi penjual objek sakral. Temuan dari penelitian dirangkum dalam rerangka teoretik pada kerangka di bawah ini. Garis hitam solid menggambarkan bahwa hipotesis didukung oleh data. Sedangkan garis hitam putus-putus menggambarkan bahwa hipotesis tidak didukung oleh data. Tingkat Materialisme Jenis Barang Tabu vs. Reguler
H3
H4
H1 H2
WTP Terhadap Transaksi
Tipe Relasi CS vs. MP
Pengaruh Variabel Bebas Terhadap Variabel Terikat Pertama dengan di Moderasi Variabel Moderator Tingkat Materialisme Jenis Barang Tabu vs. Reguler
Tipe Relasi CS vs. MP
H7 H8
H5 H6
Tingkat Kegeraman Moral Terhadap Transaksi
Pengaruh Variabel Bebas Terhadap Variabel Terikat Kedua dengan di Moderasi Variabel Moderator Saran Metodologis Saran pertama untuk penelitian selanjutnya adalah menjadikan tingkat kegeraman moral sebagai mediator pengaruh jenis barang terhadap jumlah uang yang bersedia dibayarkan
Apakah mahasiswa…, Annabelle Karyanti Amor Wenas, FPsi UI, 2014
(WTP) dengan adanya moderasi tingkat materialisme. Untuk memperjelas ide ini, model penelitian lanjutan dapat dilihat berikut ini: Tingkat Materialisme
Jenis Barang Tabu vs. Reguler
Tingkat Kegeraman Moral
WTP Terhadap Transaksi
Model Konseptual Mediasi Tingkat Kegeraman Moral dengan Moderasi Tingkat Materialisme (Hayes, 2013, hal. 444) Ide ini bermula dari pengaruh signifikan jenis barang terhadap WTP, dimana pada kondisi jenis barang tabu partisipan cenderung memberikan WTP yang lebih sedikit. Namun, dibalik hasil yang signifikan ini terdapat sebanyak 50% (f=37) partisipan pada skenario pertama, dan 39% (f=29) partisipan pada skenario kedua yang mengosongkan jawaban untuk WTP pada transaksi jenis barang tabu. Penulis memprediksi bahwa keengganan untuk menjawab ini merupakan salah satu bentuk dari kegeraman moral terhadap transaksi tabu. Prediksi ini juga didukung dari hasil analisis tambahan yang menunjukan korelasi tingkat kegeraman moral dan WTP yang signifikan. Oleh karena itu penelitian lanjutan diharapkan dapat menjawab dua pertanyaan yang tidak dapat dijawab di skripsi ini. Pertama, apakah terdapat mediasi tingkat kegeraman moral pada pengaruh jenis barang terhadap WTP terhadap transaksi? Kedua, apakah tingkat materialisme memoderasi mediasi tingkat kegeraman moral pada pengaruh jenis barang terhadap WTP? Saran untuk penelitian selanjutnya adalah menguji pengaruh jenis transaksi terhadap pemilihan taktik Value Pluralism Model (VPM). Sebagian besar penelitian tentang transaksi tabu, termasuk skripsi ini, menjadikan kegeraman moral dan atau pembersihan moral (Tetlock, 2000) sebagai variabel terikat. Namun belum ada penelitian yang menelaah transaksi tabu dari perspektif pelaku, serta taktik apa yang akan dipilih untuk menghindari kegeraman moral dari lingkungannya. Penelitian lanjutan tersebut diharapkan dapat memberikan perspektif baru terkait penelitian transaksi tabu dari sisi pelaku yang tidak diteliti pada skripsi ini. Saran terakhir adalah dilakukannya replikasi penelitian ini dengan perbedaan rancangan manipulasi tipe relasi pada skenario. Partisipan pada penelitian replikasi lanjutan ini tetap berperan sebagai pembeli, namun barang yang dijual memiliki nilai yang diasosiasikan
Apakah mahasiswa…, Annabelle Karyanti Amor Wenas, FPsi UI, 2014
dengan penjual dari tipe relasi (CS dan MP). Misalnya pada kondisi tipe relasi CS barang sebelumnya diperoleh penjual dari Ibunya. Lalu pada tipe relasi MP barang sebelumnya diperoleh penjual dari transaksi jual beli dengan orang yang tidak dikenal. Melalui penelitian tersebut dapat dilihat pada kondisi apa tingkat kegeraman moral paling tinggi. Apakah pada saat penjual dari tipe relasi CS menjual barang tabu? atau justru saat penjual dari tipe relasi MP menjual barang tabu? Diharapkan dengan manipulasi tipe relasi tersebut, dapat diperoleh efek interaksi yang signifikan antara jenis barang dan tipe relasi yang tidak terdapat pada penelitian di skripsi ini.
Saran Praktis Berdasarkan hasil diketahui bahwa terdapat moderasi tingkat materialisme yang signifikan pada pengaruh jenis barang terhadap tingkat kegeraman moral dan WTP. Implikasi dari hasil ini dapat bermanfaat untuk menjelaskan salah satu faktor dibalik banyaknya transaksi tabu di Indonesia, seperti fenomena “wani piro”, kasus korupsi, sampai perdagangan manusia. Penelitian ini selanjutnya dapat dilakukan dengan melibatkan sampel yang lebih banyak. Tujuannya adalah untuk memperlihatkan adanya anomali antara tingkat kegeraman moral yang tinggi terhadap transaksi tabu dan prakteknya yang meningkat dilakukan di Indonesia. Penelitian tersebut juga akan mempertegas bahwa tingkat materialisme adalah faktor dibalik anomali tersebut. Oleh karena itu hasil dari penelitian dapat menjadi urgensi untuk diadakan penelitian lanjutan maupun intervensi sosial terkait materialisme kepada masyarakat Indonesia. Hal ini mungkin dilakukan karena materialisme merupakan cara pandang hidup yang dapat berubah (Richins & Dawson, 1992; Richins, 2004). Sehingga tingkat materialisme masyarakat dapat mulai dikelola secara menyeluruh melalui intervensi yang dapat berbentuk pelatihan hingga aksi sosial. Diharapkan melalui intervensi tersebut justifikasi transaksi tabu yang sering terjadi karena indikasi tingkat materialisme tinggi dapat mengalami penurunan.
Daftar Pustaka Fauzi, Achmad (2012). Pergulatan hukum di negeri wani piro. Yogyakarta: Leutikaprio. Ahuvia, A. C., & Wong, N. Y. (2002). Personality and values based materialism: Their relationship and origins. Journal of Consumer Psychology,12(4), 389-402.
Apakah mahasiswa…, Annabelle Karyanti Amor Wenas, FPsi UI, 2014
Badan Pusat Statistik (2010). Penduduk wilayah dan agama yang dianut, Indonesia. Diunduh 1 Juni,
2014,
dari
Badan
Pusat
Statistik:
http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/Tabel?tid=321 Beaton, D. E., Bombardier, C., Guillemin, F., & Ferraz, M. B. (2000). Guidelines for the process of cross-cultural adaptation of self-report measures. Spine, 25(24), 3186-3191. Belk, R. W. (1985). Materialism: Trait aspects of living in the material world. Journal of Consumer research, 12(3), 265. Field, A. P. (2009). Discovering statistics using SPSS. London, England: Sage. Fiske, A. P. (1990). Relativity within Moose (“Mossi”) culture: Four incommensurable models for social relationships. Ethos, 18(2), 180-204. Fiske, A. P. (1992). The four elementary forms of sociality: framework for a unified theory of social relations. Psychological review, 99(4), 689. Fiske, A. P., & Tetlock, P. E. (1997). Taboo trade‐offs: reactions to transactions that transgress the spheres of justice. Political psychology, 18(2), 255-297. Foa, U. G. (1971). Interpersonal and economic resources. Science, 171(3969), 345-351. Foa E. B., & Foa, U. G. (2012). Resource theory of social exchange. Dalam Törnblom, K., & Kazemi, A. (Eds.), Handbook of social resource theory: Theoretical extensions, empirical insights, and social applications (hal. 15-32). New York: Springer. Frank, R. H. (2008). The economic naturalist: Why economics explains almost everything. New York: Random House. Ger, G., & Belk, R. W. (1996). Cross-cultural differences in materialism. Journal of economic psychology, 17(1), 55-77. Hayes, A. F. (2013). Introduction to mediation, moderation, and conditional process analysis: A regression-based approach. New York: Guilford Press. Hayes, A. F. (2014). PROCESS for SPSS and SAS (version 2.11). Colombus, Ohio: The Ohio State University. Diunduh dari http://www.afhayes.com/introduction-to-mediationmoderation-and-conditional-process-analysis.html Jakarta Globe (22 April, 2014). Surabaya to shut down Dolly by mid-June. Diunduh 1 Juni, 2014, dari The Jakarta Globe: http://www.thejakartaglobe.com/news/surabaya-shut-dollymid-june/ Kaplan, R. M., & Sacuzzo, D. P. (2005). Psychological testing: Principles, applications, and issue. Belmont: Thomson Wadsworth. McGraw, A. P., & Tetlock, P. (2005). Taboo trade-offs, relational framing, and the acceptability of exchanges. Journal of Consumer Psychology, 15(1), 2-15.
Apakah mahasiswa…, Annabelle Karyanti Amor Wenas, FPsi UI, 2014
McGraw, A. P., Tetlock, P. E., & Kristel, O. V. (2003). The limits of fungibility: Relational schemata and the value of things. Journal of Consumer Research, 30(2), 219-229. Merdeka (25 Mei, 2014). Ini alasan Risma mati-matian tutup lokalisasi gang Dolly. Diunduh 1 Juni, 2014, dari Merdeka: http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-alasan-risma-tutuplokalisasi-gang-dolly-mati-matian.html Millar, M., & Thomas, R. (2009). Discretionary activity and happiness: The role of materialism. Journal of Research in Personality, 43(4), 699-702. Richins, M. L., & Dawson, S. (1992). A consumer values orientation for materialism and its measurement: Scale development and validation. Journal of consumer research. Richins, M. L. (1994). Valuing things: The public and private meanings of possessions. Journal of consumer research, 504-521. Richins, M. L. (2004). The material values scale: Measurement properties and development of a short form. Journal of Consumer Research, 31(1), 209-219. Saatcioglu, B., & Ozanne, J. L. (2013). Moral Habitus and Status Negotiation in a Marginalized Working-Class Neighborhood. Journal of Consumer Research, 40(4), 692-710. Spiller, S. A., Fitzsimons, G. J., Lynch Jr, J. G., & McClelland, G. H. (2013). Spotlights, floodlights, and the magic number zero: Simple effects tests in moderated regression. Journal of marketing research, 50(2), 277-288. Stanton, Jeffrey M., Evan F. Sinar, William K. Balzer, and Patricia C. Smith (2002). Issues and strategies for reducing the length of self report scales. Personnel Psychology, 55(1), 167–94. Susianto, Harry. (1992). Memadukan “ilmu” dan “seni” dalam menyusun skala likert. Jurnal psikologi sosial, 5(1), 5-19. Tanner, C., & Medin, D. L. (2004). Protected values: No omission bias and no framing effects. Psychonomic bulletin & review, 11(1), 185-191. Tempo (14 Mei, 2014). 58 ormas Islam dukung Risma tutup gang Dolly. Diunduh 1 Juni, 2014, dari
Tempo:
http://www.tempo.co/read/news/2014/05/14/058577705/58-Ormas-
Islam-Dukung-Risma-Tutup-Gang-Dolly Tetlock, P. E. (2000). Coping with trade-offs: Psychological constraints and political implications. Elements of reason: Cognition, choice, and the bounds of rationality, 239-263. Tetlock, P. E., Kristel, O. V., Elson, S. B., Green, M. C., & Lerner, J. S. (2000). The psychology of the unthinkable: Taboo trade-offs, forbidden base rates, and heretical counterfactuals. Journal of personality and social psychology, 78(5), 853.
Apakah mahasiswa…, Annabelle Karyanti Amor Wenas, FPsi UI, 2014